Skip to main content

Full text of "Mengingat dan Melupakan-Nuraini Juliastuti"

See other formats


BERJALAN DARI MENGINGAT KE MELUPAKAN, LALU KEMBALI LAGI. 

Nuraini Juliastuti 

1. Soekarno bilang, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah" 

Ini adalah cerita tentang persoalan mengingat dan melupakan di suatu negeri 
dimana masa lalu didewakan, ditempatkan di tempat yang tinggi. Orang tua 
dan bekas pejuang adalah bagian dari masyarakat yang hams dihormati 
karena terutama, mereka adalah penjaga sejarah. 

Ketika berhubungan dengan sejarah, salah satu prinsip utama yang dipegang 
oleh pemegang otohtas negeri ini adalah: masa kini dibangun dari puing- 
puing masa lalu, dan semua penghuninya — anak muda terutama — 
diharapkan untuk selalu ingat dan tidak sekali-kali melupakannya. 

Lirik lagu mars para mantan pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam 
Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) ini mungkin dengan baik 
merepresentasikan hal tersebut diatas. 

Veteran Pejuang Kemerdekaan, Republik Indonesia 
Mengusir Lawan. Menghimpun Kawan Pejuang Empat Lima 
Veteran Berarti Prajurit Inti, Angkatan Revolusi 
Pantang Menyerah Pada Penjajah, Pembela Proklamasi 

Reff 

Bimbinglah Angkatan Penerus Kita 
Wariskan Semangat Jiwa "Pat Lima" 
Ikhlas Berkorban Tuk Cita-cita 
Indonesia Jaya, Hidup Pancasila 

Veteran Pembela Kemerdekaan, Republik Indonesia 
Bertekad Bulat Mempertahankan, Negara Pancasila 
Dengan Berbuat Serta Bekerja, Kita Amalkan Ampera 
Panca Marga Kode Kehormatan, Veteran Indonesia 

http://www.veteranri.go.id/MarsVeteran.html 



Ruang publik telah diisi dengan memorabilia. Aneka museum dilengkapi 
dengan diorama-diorama untuk merekonstruksi peristiwa bersejarah, patung- 
patung para pahlawan ditegakkan di jalanan, nama-nama pahlawan 
merupakan nama biasa bagi jalan-jalan. 

Pihak otohtas mendesain mekanisme pendisiplinan mengingat secara sangat 
sistematis. Sejarah, sebagai sebuah pelajaran di sekolah, adalah tempat 
dimana para pelajar harus menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam 
mengingat banyak hal: tanggal-tanggal penting dilaksanakannya perjanjian 
bersejarah antara Indonesia dengan para mantan penjajah, nama tempat- 
tempat dimana para pejuang kita disiksa dan diasingkan, keharusan 
menghapal aneka teks pidato dan isi perjanjian... 

1 



Para penghuni negeri ini dikelilingi oleh fakta-fakta sejarah. Mereka ada di 
mana-mana, begitu nyata dan bisa kita sentuh. 

Tapi di luar usaha yang sengaja diarahkan untuk mengarahkan 
penghormatan sejarah, disini dan disana terdapat suara-suara yang 
menandakan adanya kesenjangan antara apa yang didesain dengan yang 
dirasakan bagi sebagian orang tentang kerumitan masa kini dan masa lalu. Di 
bawah ini adalah petikan dari diskusi tentang salah satu episode lama Kick 
Andy, sebuah acara talk show mingguan yang diproduksi oleh Metro TV. Di 
tahun 2007, acara ini mengundang pejuang veteran Mustafa, mantan pejuang 
kemerdekaan, untuk berbicara tentang Indonesia masa kini. 

"Negara sudah merdeka, tapi saya belum." Kalimat yang 
dilontarkan Pak Mustafa itu serasa langsung menghujam ulu hati. 
"Sampai sekarang saya masih harus berjuang untuk bisa hidup 
sebagai kuli panggul dan pendorong gerobak," ujar veteran perang 
ini dengan suara masgul. Dalam usianya yang menjelang 82, 
Mustafa hanya satu dari sekian banyak veteran perang 
kemerdekaan yang "terlupakan". Banyak di antara para pejuang 
yang dulu mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan republik 
Indonesia kini harus menerima keadaan yang mengenaskan 
karena perhatian pemerintah yang sangat kurang. 

http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-19900.html 

Dan seperti hendak melakukan koreksi, respon umum yang diberikan adalah 
afirmasi. Ya, kita harus tetap ingat ucapan Soekarno: Jangan Sekali-sekali 
Melupakan Sejarah Indonesia. Penghargaan kepada para veteran harus lebih 
ditingkatkan. Berikut adalah beberapa komentar publik atas pernyataan 
pejuang veteran tersebut. 

gungbaster 

14-06-2007, 08:39 PM 

Negara yg besar negara yg menghargai pahlawannya. Negara 

indonesia negara yg gak menghargai pahlawanya...Perjuangan di 

indo masih belum selesai kita masih terjajah secara ekonomi, 

politik, dan kesehjahteraan. Makanya kita tetap harus berjuang 

merdeka Indonesia. 

Ageng 

15-06-2007, 09:31 AM 

Saya amat sangat menghargainya, malah lebih dari Presiden 

sekalipun J 

T!T!~ch@/V 

15-06-2007, 10:14AM 

Jujur saya pribadi sangat menghargai hasil perjuangan mereka 

tetapi sayang dari pemerintah sendiri tidak pernah mengetahui 

seberapa besar dan banyak adrah yang telah mereka berikan demi 

sebuah kemerdekaan bagi negara kita tercinta ini. 



2. Sejarah kolektif membawa kita ke jalan bercabang 

Apakah makna dari keseragaman sikap sejarah seperti diceritakan diatas? 
Apakah ia menunjukkan cara berpikir sejarah yang umum di masyarakat? 

Di bagian ini saya akan berusaha menjelaskan bahwa mungkin ia hanya bisa 
terjadi pada peristiwa-peristiwa sejarah yang punya kemampuan untuk 
mengikat semua orang dan menciptakan sebuah platform dimana 
pengingatan dan empati kolektif dimungkinkan. Kisah perjuangan rakyat 
Indonesia dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang misalnya, 
merupakan contoh klasik kisah sejarah kolektif dimana baik di level otoritas 
dan masyarakat telah terbangun kesepakatan cara mengingat dan bercerita. 

Kisah-kisah personal yang dialami oleh para mantan pejuang veteran pada 
jaman perjuangan melawan Belanda dan Jepang, seperti dikatakan oleh 
Stoler dan Strassler (2000), merupakan topik yang aman dan merupakan 
bahan bakar emosional bagi kisah nasionalisme. Kisah-kisah perang selalu 
sejalan dengan wacana publik tentang perjuangan bangsa. 

Di sini sejarah kolektif dipandang sebagai kompilasi dari berbagai macam 
kisah, masing-masingnya berfungsi memperkuat dan memperbesar nilai-nilai 
tertentu. Nilai-nilai ini berakar dari keseragaman pemahaman tentang suatu 
peristiwa sejarah. Dalam kisah perjuangan kemerdekaan misalnya, nilai 
umum yang dibangun adalah bahwa dalam kurun waktu yang panjang, 
Indonesia berjuang keras melawan mereka yang kita letakkan dalam satu 
kategori penjajah. 

Di sisi lain, alih-alih menunjukkan keseragaman sikap, sejarah kolektif juga 
bisa berjalan menuju ke keterpecahan. Ada peristiwa-peristiwa yang 
dimunculkan ke permukaan, ada juga yang sengaja disembunyikan. Ada 
bagian-bagian sejarah yang dibiarkan terang, ada bagian-bagian lain yang 
sengaja dibiarkan tetap gelap. 



3. Soal sejarah yang sengaja diseleksi 

Salah satu contoh peristiwa yang paling tepat menunjukkan proses seleksi 
sejarah adalah peristiwa 1965. 

Seperti diungkapkan oleh Stoler dan Strassler, dalam peristiwa 1965, cara 
pandang subyektif menjadi tidak berlaku, 'Saya' mendadak lenyap, digantikan 
oleh kesenyapan dan alusi semu". 

Saya lahir di tahun 1975. Masa sekolah dasar sampai sekolah menengah 
berlangsung dari 1981 sampai 1993. Dan itu adalah masa dimana kekuasaan 
Orde Baru berada di posisinya yang terkuat. 

Peristiwa 1965 — dalam bahasa otoritas yang direproduksi dalam teks-teks 
sejarah yang resmi — adalah usaha perebutan kekuasaan oleh Partai Komunis 
Indonesia. Partai Komunis Indonesia, disingkat PKI, merupakan salah satu 
partai terkuat masa itu. Seperti yang diajarkan oleh buku sejarah di sekolah 
kepada kita, usaha ini diikuti oleh pembunuhan 7 petinggi militer Indonesia. 



Cara para komunis membunuh para jenderal ini diceritakan sedemikian rupa 
sehingga ia berubah menjadi kisah sejarah dengan kualitas horor. 

Kisah pembunuhan massal mereka yang tergabung dalam organisasi 
komunis tingkat lokal dan nasional, atau siapa saja yang dianggap terlibat 
dalam gerakan yang berhubungan dengan komunisme masuk dalam ranah 
pikiranku kemudian ketika mulai membaca buku-buku sejarah yang lain di 
bangku kuliah. Yang jelas, tidak diragukan lagi peristiwa ini membawa negara 
ke dalam kekacauan luar biasa. 

Wacana anti-komunisme, disertai dengan represi atas segala hal yang 
dianggap berpotensi membawa negara ke ketidakstabilan politik dan 
keamanan, adalah resep yang kemudian diambil oleh benih-benih 
pemerintahan Orde Baru untuk merubah kekacauan tersebut menjadi janji 
untuk mewujudkan Indonesia yang stabil secara ekonomi dan politik, dan 
dijadikan pondasi bagi pemerintahan Orde Baru sejak awal berkuasa di 1968 
sampai ketika ia menemui kematiannya di tahun 1998. 

Orde Baru menunjukkan nilai penting peristiwa 1965 dengan jelas. la 
membangun Monumen Lubang Buaya, Monumen Kesaktian Pancasila, dan 
membuat satu ritual pengingat khusus yaitu: mewajibkan tiap anak sekolah 
untuk menonton film "Pemberontakan G30S/PKI" (bikinan sutradara terkenal 
Arifin C Noer) di bioskop di kota-kota Indonesia setiap tanggal 30 September. 
Tanggal 30 September merupakan tanggal resmi penumpasan PKI oleh 
militer, kembalinya kekuasaan pemerintah yang sah dan kekuatan Pancasila 
dalam melindungi negara dari usaha cengkeraman komunisme. 

Jadi begitulah. Tanggal 30 September menjadi hari yang istimewa bagi. Kami 
berkumpul di sekolah sebelum berangkat bersama-sama ke gedung bioskop. 
Saya tidak bisa mengingat dengan jelas apakah film "Pemberontakan 
G30S/PKI" adalah benar-benar hal yang kunanti-nantikan dan membuat hari 
itu istimewa. Karena jika kurenungkan sekarang, gagasan pergi ke bioskop 
bersama para guru dan teman untuk menonton sebuah film, bagi seorang 
pelajar masa itu, merupakan pengalaman yang lebih menyenangkan dan 
karenanya selalu kutunggu-tunggu. 

Dari rumah, ibu dan nenek menyiapkan bekal minuman dan kue-kue. Tidak 
boleh dilupakan adalah membawa senter kecil, buku catatan kecil dan 
bolpoin. 

Beberapa hal penting dari film harus dicatat. Mereka adalah bahan untuk 
membuat ringkasan untuk dipresentasikan kepada guru-guru di sekolah. 
Sebagai murid yang rajin, dan saya yakin beberapa teman juga melakukan 
hal yang sama, saya mencatat banyak dialog. Saya pulang ke rumah dengan 
buku catatan yang nyaris penuh. Malam harinya, Televisi Republik 
Indonesia — satu-satunya televisi yang ada masa itu — kembali menyiarkan 
secara nasional film yang sama. 

Dengan menulis ringkasan, saya merasa sedang diminta untuk memindahkan 
apa yang saya lihat di film ke dalam buku catatan, dan membuatnya menjadi 
bagian dari ingatan personal. Ketika menulis ringkasan merupakan instruksi 



yang diterapkan ke seluruh pelajar Indonesia masa itu, ia menjadi praktek 
mengingat kolektif. 

Kata 'mengingat', juga 'kolektif, di sini merupakan konsep yang mendasar. 
Karena kenyataannya jutaan anak lain yang lahir setelah 1965 jelas tidak 
memiliki ingatan langsung atas peristiwa 1965. 

Jika memori, kembali mengutip Auster (1992), bukan hanya kebangkitan 
kembali masa lalu seseorang, tetapi memasukkan diri dalam-dalam ke dalam 
masa lalu yang lain, maka menuliskannya kembali adalah salah satu metode 
untuk menangkap kembali memori itu, mengawetkannya. "Praktek menulis 
sama dengan praktek memori", katanya (Auster 1992: 142). 

Tetapi jika keindahan dari memori tertentu (kenangan melihat pameran 
lukisan Van Gogh pertama kali bersama seorang gadis yang dikasihinya; 
Auster berumur 16 tahun saat itu) yang menggerakkannya untuk menulis 
beberapa puisi, masing-masingnya diberi judul sama dengan judul lukisan 
Van Gogh, maka 23 tahun lalu, adalah eksistensi kekuasaan tertentu yang 
punya peran dalam memaksa saya menuliskan kembali isi film G30S/PKI. 

Menem patkan beberapa metode mengingat yang saya alami — negara 
memproduksi film G30S/PKI, meminta publik untuk menontonnya secara 
bersama-sama di bioskop, meminta semua anak sekolah untuk mencatat — 
dalam perspektif Halbwachs (1992), mereka adalah instrumen yang sengaja 
digunakan untuk merekonstruksi imaji masa lalu sesuai dengan imajinasi 
otoritas. Mereka adalah metode mengingat yang diciptakan dengan harapan 
untuk bisa memproduksi pola ingatan yang seragam. 

Seperti diungkapkan oleh Halbwachs (1992) dengan sangat artikulatif, 
"Kerangka kolektif tidaklah dibentuk setelah peristiwa terjadi dari kombinasi 
rekoleksi. la juga bukan suatu kerangka kosong dimana berbagai rekoleksi 
menemukan tempatnya disana. Kerangka kolektif, sebaliknya, merupakan 
instrumen yang digunakan oleh memori kolektif untuk merekonstruksi imaji 
masa lalu yang sesuai dengan pemikiran dominan masyarakat" (Halbwachs 
1992:39-40). 



4. Ingatan yang rapuh, dan betapa mudahnya sesuatu itu dilupakan 

Tidakkkah aneh bahwa di negeri dimana masyarakatnya diharapkan untuk 
mampu mengingat sejarah yang dilaluinya secara mendetil, yang kerap 
muncul di hadapan kita justru kisah-kisah amnesia? 

Suatu hah di tahun 2007, Pius Lustrilanang, salah satu mantan korban 
penculikan aktivis politik di tahun 1998, memutuskan untuk bergabung 
dengan partai politik baru bernama Gerindra — singkatan dari Gerakan 
Indonesia Raya. Gerindra dipimpin oleh Prabowo Subianto, mantan petinggi 
angkatan darat yang juga diduga berada di balik penculikan para aktivis politik 
tersebut. Prabowo juga dikenal sebagai mantan menantu dari Soeharto. 
Berambisi kuat menjadi orang nomor satu di negeri ini, Subianto merintis jalan 
ke sana dengan cara menjalin hubungan dengan komunitas tani tingkat 
nasional. Mengingat tingginya komunitas tani di negeri ini, tentu langkah 



Prabowo ini sangat strategis. Pada periode 2004-2009, Subianto resmi 
menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dan 
adalah dengan dukungan dari anggota HKTI inilah ia mendasarkan 
pembentukan Gerindra. 

Ketika Gerindra gagal untuk mencapai angka pemilih tertentu untuk bisa 
melaju ke putaran selanjutnya dari Pemilu 2009 lalu, ia menerima tawaran 
Megawati untuk menjadi wakil presiden dan sepakat untuk memimpin negeri 
berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Dalam lanskap politik Indonesia, PDI 
Perjuangan adalah sebuan partai yang kritis dan menjadi salah satu yang 
berada di garda depan tuntutan perubahan politik negara di tahun 1998, dan 
secara historis bertentangan dengan Prabowo. Megawati adalah pemimpin 
partai, mantan presiden dari 2001 sampai 2004, dan berniat untuk 
mencalonkan diri kembali sebagai presiden di Pemilu 2009. 

Bagi seseorang yang mengikuti penampilan politik dari Megawati, Subianto, 
juga kisah Lustrllanang di 1998, koalisi dan gerakan politik yang ditunjukkan 
ketiganya dengan jelas mengundang tatapan mengejek. Tawa mengejek tidak 
akan terhindarkan demi menyaksikan sebuah kepentingan politik yang tanpa 
malu mereka bawa, dan dengan demikian mengkhianati sejarah mereka 
sendiri. 

Bagaimana seorang manusia memperlakukan sejarah berikut kenangan- 
kenangan atasnya? Setelah suatu peristiwa terjadi dan melalui pusaran 
waktu, lalu apa? Saya membayangkan bahwa di kepala tiap orang dan 
otoritas telah terbangun folder-folder imajinatif penampung peristiwa- 
peristiwa. Tetapi siapa yang berkuasa dalam proses pengklasifikasian 
peristiwa-peristiwa? Mekanisme macam apa yang diterapkan untuk 
menentukan peristiwa tertentu masuk folder A misalnya, dan peristiwa yang 
lain masuk folder B? Praktek klasifikasi inilah yang berperan penting dalam 
menentukan bagaimana dan dengan cara apa sesuatu itu dikenang. 

Suatu proses yang inheren dalam proses tersebut adalah proses 
penyederhanaan dan generalisasi. Mereka merupakan hal yang dimaklumi 
untuk memudahkan penggolongan. Dengan demikian, suatu peristiwa atau 
kisah para manusia tertentu bisa saja dimasukkan ke dalam folder yang 
sama, tanpa peduli akan perbedaan-perbedaan dan perubahan sikap yang 
telah mereka lalui. 

Betapapun kuatnya konsistensi usaha otoritas untuk membuat kita supaya 
ingat kepada sejarah (baik ajakan untuk selalu ingat kepada perjuangan 
melawan kolonialisme, perintah untuk mengingat apa yang terjadi pada 
September 1965, dan sebagainya), sebenarnya kita juga berhadapan dengan 
sifat manusia yang mudah jatuh ke dalam amnesia. Selain kemunculannya 
yang ditimbulkan oleh faktor-faktor alami, amnesia juga didorong oleh aneka 
kepentingan personal. Kasus Pius Lustrilanang dan Prabowo Subianto 
dengan jelas menunjukkan dengan jelas menunjukkan bagaimana hasrat 
untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan politik yang lebih besar 
melampaui kontradiksi atas gerakan politik mereka dengan fakta sejarah. 

Ketika berhadapan dengan waktu, memori menampilkan karakter-karakter 
yang lain. Betapapun kuat usaha kita untuk menekan dalam-dalam ingatan 



kita akan sesuatu — biasanya terhadap sesuatu yang buruk — dan berharap 
supaya kita bisa lupa, memori bisa muncul tiba-tiba dengan jelas dan terang, 
seolah sesuatu itu baru saja terjadi. Mungkin karena dalam perjalanan kita 
menuju lupa, sebenarnya kita sedang mengingat-ingat perihnya. Jadi 
sebenarnya kenangan menyakitkan tidak hilang, ia hanya sedang 
bersembunyi (atau disembunyikan secara sengaja) dan menunggu-nunggu 
saat kemunculan yang tepat. Hal apa yang dimunculkan dengan tiba-tiba 
tersebut juga tidak bisa diperkirakan: bisa saja ia menampilkan satu 
gambaran utuh peristiwa masa lalu, atau bisa juga hanya berupa potongan- 
potongan dari suatu potongan cerita. 

Waktu punya kuasa luar biasa besar untuk menyederhanakan banyak hal, 
banyak fakta. Dipersenjatai dengan kekuatan untuk merepresentasikan 
kembali realitas ke dunia dengan cara yang betul-betul berbeda, ia memaksa 
kita untuk terus menerus melakukan penilaian ulang atas sikap kita terhadap 
suatu kenangan. Kemudian, apakah waktu juga bisa mengubah luka menjadi 
maaf dan simpati? 

"Saya sudah lupa tepatnya tanggal dan hari pertemuan pertama dengan Pak 
Harto. Yang tidak akan terlupa adalah ia menerima kami dengan senyum 
seorang bapak yang arif-bijaksana. Saat itu ia memberi penjelasan kepada 
kami tentang ideologi Pancasila. Beliau adalah Bapak Pembangunan, dan 
Orang Timor Lorosae tidak akan pernah melupakan jasa besar Pak Harto 
dalam membangun Propinsi Timor Timur," demikian tulis Uskup Belo, 
seorang peraih Nobel Perdamaian 1996, yang bekerjadi Propinsi Timor 
Timur (sekarang negara Timor Leste) dalam emailnya ketika Soeharto, 
mantan orang nomor 1 di Indonesia meninggal dunia Januari 2008 lalu 
(Kompas, 28 Januari 2008). Dari apa tertulis di email Belo, jejak-jejak represi 
militer Indonesia kepada rakyat Timor Timur, pertikaian berdarah dan usaha 
tak putus-putus dari sebagian warga propinsi di ujung timur kepulauan 
Indonesia itu untuk melepaskan diri dan mendirikan negara sendiri dari 1976 
sampai 1999 seolah lenyap. 

Ketika berhadapan dengan kematian atau perpisahan tak terduga, rasa 
simpati muncul begitu saja, seolah lupa akan gambar buruk sejarah masa 
lalu. "Bapak sudah meninggal sekarang. Tolonglah ingat kebaikannya, jangan 
keburukannya," demikian kira-kira selalu ucap Tutut, putri tertua Soeharto 
ketika berhadapan dengan demonstrasi demi demonstrasi menuntut 
penuntasan kasus korupsi yang terjadi selama Soeharto menjabat presiden. 
Ini adalah suatu ajakan untuk melupakan kesalahan masa lalu demi 
semangat menjaga harmoni dan keteraturan. Tetapi dimana letak keadilan 
jika semua potensi konflik harus selalu disembunyikan dibalik harmoni dan 
keselarasan? 



5. Kadang pikiran kita secara otomatis menyeleksi sejarah 

Kekuasaan rasanya bukan satu-satunya hal yang menentukan mana yang 
pantas untuk kita ingat dan mana yang tidak, mana hal-hal yang seharusnya 
kita lupakan dan buang jauh-jauh selama-lamanya. Tatapan mata rasional 



dan ajakan untuk menempatkan semuanya dalam tempatnya masing- 
masing — seperti dipromosikan oleh buku-buku sejarah kritis itu — kadang juga 
merupakan hal yang sulit diterima. 

Pada awal masa pemerintahannya di tahun 1999, mantan Presiden 
Abdurrahman Wahid sempat berupaya untuk membuat rekonsiliasi nasional 
antara mereka yang punya relasi dekat dengan apa yang terjadi pada 
September 1965, mereka yang diletakkan dalam dua kubu yang 
bertentangan, antara para keluarga mantan anggota Partai Komunis 
Indonesia dan mereka yang melawan komunisme (para mantan anggota 
parta-partai Islam misalnya). Tetapi toh ajakan ini, betapapun tampak rasional 
dan etis tampaknya, tidak begitu saja bisa diterima. 

Derajat kedekatan persoalan dengan diri dan beban perasaan misalnya justru 
ternyata kadang hadir jadi sesuatu yang paling menentukan dalam melihat 
persoalan, dan menjadi faktor penentu untuk menentukan sikap terhadapnya. 

Pada paska 1998, tidak hanya kita saksikan ledakan ragam kisah tentang 
Peristiwa 1965 yang ditulis oleh para eksil politik di luar negeri maupun para 
mantan tahanan politik di Indonesia, tetapi juga tumbuh suburnya beberapa 
organisasi masyarakat sipil yang mempergunakan teknik sejarah lisan dan 
mendedikasikan dirinya untuk secara khusus menggali Peristiwa 1965. 
Keduanya merupakan contoh pembangunan yang membawa kontribusi untuk 
menaikkan historiografi Indonesia ke level yang lebih baru. 

Paling tidak ada tawaran alternatif baru dari materi bacaan sejarah yang 
selama ini ada. Juga ia merupakan upaya politik untuk secara kritis 
memandang kembali peristiwa sejarah dengan perspektif berbeda. Meskipun 
demikian, seperti dicontohkan oleh kegagalan gagasan rekonsiliasi yang 
ditawarkan oleh Presiden Gus Dur, jelas bahwa perkembangan baru ini tidak 
begitu saja dengan mudah merembes ke pemahaman masyarakat lokal. 

Kata 'komunis' terlanjur dimasukkan dibawah kategori sesuatu yang 
berbahaya dan membahayakan keamanan negara. Sulit untuk menariknya 
keluar dari kategori tersebut. Spanduk berbunyi "Awas bahaya laten 
komunisme" muncul secara regular setiap 30 September. Siapa yang 
membuatnya, dan siapa yang meletakkannya di ruang publik. Tidak diragukan 
lagi, ia merupakan contoh jelas bahwa tetap ada kelompok-kelompok 
masyarakat yang tidak menginginkan perubahan pada cara pandang publik 
terhadap Peristiwa 1 965. 

Salah satu penjelasan yang mungkin dari kegagalan tawaran rekonsiliasi 
adalah karena melupakan tidak selalu bisa sejalan dengan memaafkan. 
Kesiapan untuk memaafkan merupakan persyaratan utama yang harus 
dimiliki untuk melakukan rekonsiliasi. 



6. Penutup 

Saya selalu membayangkan bahwa tempat kita hidup ini sebenarnya 
terbentuk dari banyak lapisan. Dan jika di tiap lapisnya kita menyaksikan 



kisah-kisah manusia ketika berhadapan dengan sejarah, juga interior dari aksi 
melupakan dan mengingat. Maka sekaligus didalamnya kita dengan jelas bisa 
melihat bagaimana sejarah mengalami nasibnya sendiri-sendiri. 

Suatu hari saya bertanya kepada ibu saya, seorang pensiunan kepala 
sekolah sekolah dasar kecil di Gresik, kota kecil di dekat Surabaya, Jawa 
Timur: "Bagaimana pengalaman mengalami sejarah bagi kelompok agen 
suara otoritas seperti para guru?". Sebelum menjabat kepala sekolah, ibu 
mengajar beberapa mata pelajaran, salah satunya adalah Pendidikan Sejarah 
Perjuangan Bangsa (PSPB), atau begitulah pelajaran sejarah disebut pada 
saat saya SD dulu. Tidak hanya mengalami perubahan nama, para guru juga 
menyaksikan sekian banyak eksperimen dalam materi sejarah berupa 
perubahan materi ajar sejarah yang selalu bergerak sesuai kebijakan politik 
rejim yang berkuasa dari waktu ke waktu. 

Ketika perubahan akan kurikulum pengajaran sejarah merupakan sesuatu 
yang berjalan secara rutin, hampir menyerupai sebuah pola, bagaimana 
seorang guru memaknai sebuah peristiwa sejarah? 

"Ketika masih aktif bekerja sebagai guru, hal itu rasanya tidak terlalu ibu 
pikirkan. Sebagian karena persoalan hidup lain sudah terlalu banyak dan 
berat (gaji yang kecil, keluarga, anak-anak, dsb). Jadi setiap kali ada 
perubahan kurikulum, yang biasanya kami lakukan adalah menunggu orang 
dari 'pusat' datang, dan mengajarkan kami apa yang selanjutnya dilakukan. 
Saya pikir saya hanya menunggu sampai perubahan itu datang dan 
melakukan perubahan sesuai yang diinstruksikan," demikian kata ibu. 

Keraguan dan pertanyaan, jika ada, mungkin sebaiknya tetap disimpan rapat 
dalam hati, dan tidak selalu berupa sesuatu yang berujung pada sebuah 
tindakan. 

Yang paling aman untuk dilakukan adalah terus menjalankan hidup dan 
menjadi saksi bagi peristiwa sejarah yang berputar di sekitar kita. la adalah 
pilihan yang paling mungkin, yang membuat kita bisa bertahan hidup di suatu 
tempat dimana persoalan mengingat dan melupakan seperti selalu berada di 
timbangan yang bergerak-gerak liar-tidak pasti seperti ini.