BERJALAN DARI MENGINGAT KE MELUPAKAN, LALU KEMBALI LAGI.
Nuraini Juliastuti
1. Soekarno bilang, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah"
Ini adalah cerita tentang persoalan mengingat dan melupakan di suatu negeri
dimana masa lalu didewakan, ditempatkan di tempat yang tinggi. Orang tua
dan bekas pejuang adalah bagian dari masyarakat yang hams dihormati
karena terutama, mereka adalah penjaga sejarah.
Ketika berhubungan dengan sejarah, salah satu prinsip utama yang dipegang
oleh pemegang otohtas negeri ini adalah: masa kini dibangun dari puing-
puing masa lalu, dan semua penghuninya — anak muda terutama —
diharapkan untuk selalu ingat dan tidak sekali-kali melupakannya.
Lirik lagu mars para mantan pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam
Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) ini mungkin dengan baik
merepresentasikan hal tersebut diatas.
Veteran Pejuang Kemerdekaan, Republik Indonesia
Mengusir Lawan. Menghimpun Kawan Pejuang Empat Lima
Veteran Berarti Prajurit Inti, Angkatan Revolusi
Pantang Menyerah Pada Penjajah, Pembela Proklamasi
Reff
Bimbinglah Angkatan Penerus Kita
Wariskan Semangat Jiwa "Pat Lima"
Ikhlas Berkorban Tuk Cita-cita
Indonesia Jaya, Hidup Pancasila
Veteran Pembela Kemerdekaan, Republik Indonesia
Bertekad Bulat Mempertahankan, Negara Pancasila
Dengan Berbuat Serta Bekerja, Kita Amalkan Ampera
Panca Marga Kode Kehormatan, Veteran Indonesia
http://www.veteranri.go.id/MarsVeteran.html
Ruang publik telah diisi dengan memorabilia. Aneka museum dilengkapi
dengan diorama-diorama untuk merekonstruksi peristiwa bersejarah, patung-
patung para pahlawan ditegakkan di jalanan, nama-nama pahlawan
merupakan nama biasa bagi jalan-jalan.
Pihak otohtas mendesain mekanisme pendisiplinan mengingat secara sangat
sistematis. Sejarah, sebagai sebuah pelajaran di sekolah, adalah tempat
dimana para pelajar harus menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam
mengingat banyak hal: tanggal-tanggal penting dilaksanakannya perjanjian
bersejarah antara Indonesia dengan para mantan penjajah, nama tempat-
tempat dimana para pejuang kita disiksa dan diasingkan, keharusan
menghapal aneka teks pidato dan isi perjanjian...
1
Para penghuni negeri ini dikelilingi oleh fakta-fakta sejarah. Mereka ada di
mana-mana, begitu nyata dan bisa kita sentuh.
Tapi di luar usaha yang sengaja diarahkan untuk mengarahkan
penghormatan sejarah, disini dan disana terdapat suara-suara yang
menandakan adanya kesenjangan antara apa yang didesain dengan yang
dirasakan bagi sebagian orang tentang kerumitan masa kini dan masa lalu. Di
bawah ini adalah petikan dari diskusi tentang salah satu episode lama Kick
Andy, sebuah acara talk show mingguan yang diproduksi oleh Metro TV. Di
tahun 2007, acara ini mengundang pejuang veteran Mustafa, mantan pejuang
kemerdekaan, untuk berbicara tentang Indonesia masa kini.
"Negara sudah merdeka, tapi saya belum." Kalimat yang
dilontarkan Pak Mustafa itu serasa langsung menghujam ulu hati.
"Sampai sekarang saya masih harus berjuang untuk bisa hidup
sebagai kuli panggul dan pendorong gerobak," ujar veteran perang
ini dengan suara masgul. Dalam usianya yang menjelang 82,
Mustafa hanya satu dari sekian banyak veteran perang
kemerdekaan yang "terlupakan". Banyak di antara para pejuang
yang dulu mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan republik
Indonesia kini harus menerima keadaan yang mengenaskan
karena perhatian pemerintah yang sangat kurang.
http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-19900.html
Dan seperti hendak melakukan koreksi, respon umum yang diberikan adalah
afirmasi. Ya, kita harus tetap ingat ucapan Soekarno: Jangan Sekali-sekali
Melupakan Sejarah Indonesia. Penghargaan kepada para veteran harus lebih
ditingkatkan. Berikut adalah beberapa komentar publik atas pernyataan
pejuang veteran tersebut.
gungbaster
14-06-2007, 08:39 PM
Negara yg besar negara yg menghargai pahlawannya. Negara
indonesia negara yg gak menghargai pahlawanya...Perjuangan di
indo masih belum selesai kita masih terjajah secara ekonomi,
politik, dan kesehjahteraan. Makanya kita tetap harus berjuang
merdeka Indonesia.
Ageng
15-06-2007, 09:31 AM
Saya amat sangat menghargainya, malah lebih dari Presiden
sekalipun J
T!T!~ch@/V
15-06-2007, 10:14AM
Jujur saya pribadi sangat menghargai hasil perjuangan mereka
tetapi sayang dari pemerintah sendiri tidak pernah mengetahui
seberapa besar dan banyak adrah yang telah mereka berikan demi
sebuah kemerdekaan bagi negara kita tercinta ini.
2. Sejarah kolektif membawa kita ke jalan bercabang
Apakah makna dari keseragaman sikap sejarah seperti diceritakan diatas?
Apakah ia menunjukkan cara berpikir sejarah yang umum di masyarakat?
Di bagian ini saya akan berusaha menjelaskan bahwa mungkin ia hanya bisa
terjadi pada peristiwa-peristiwa sejarah yang punya kemampuan untuk
mengikat semua orang dan menciptakan sebuah platform dimana
pengingatan dan empati kolektif dimungkinkan. Kisah perjuangan rakyat
Indonesia dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang misalnya,
merupakan contoh klasik kisah sejarah kolektif dimana baik di level otoritas
dan masyarakat telah terbangun kesepakatan cara mengingat dan bercerita.
Kisah-kisah personal yang dialami oleh para mantan pejuang veteran pada
jaman perjuangan melawan Belanda dan Jepang, seperti dikatakan oleh
Stoler dan Strassler (2000), merupakan topik yang aman dan merupakan
bahan bakar emosional bagi kisah nasionalisme. Kisah-kisah perang selalu
sejalan dengan wacana publik tentang perjuangan bangsa.
Di sini sejarah kolektif dipandang sebagai kompilasi dari berbagai macam
kisah, masing-masingnya berfungsi memperkuat dan memperbesar nilai-nilai
tertentu. Nilai-nilai ini berakar dari keseragaman pemahaman tentang suatu
peristiwa sejarah. Dalam kisah perjuangan kemerdekaan misalnya, nilai
umum yang dibangun adalah bahwa dalam kurun waktu yang panjang,
Indonesia berjuang keras melawan mereka yang kita letakkan dalam satu
kategori penjajah.
Di sisi lain, alih-alih menunjukkan keseragaman sikap, sejarah kolektif juga
bisa berjalan menuju ke keterpecahan. Ada peristiwa-peristiwa yang
dimunculkan ke permukaan, ada juga yang sengaja disembunyikan. Ada
bagian-bagian sejarah yang dibiarkan terang, ada bagian-bagian lain yang
sengaja dibiarkan tetap gelap.
3. Soal sejarah yang sengaja diseleksi
Salah satu contoh peristiwa yang paling tepat menunjukkan proses seleksi
sejarah adalah peristiwa 1965.
Seperti diungkapkan oleh Stoler dan Strassler, dalam peristiwa 1965, cara
pandang subyektif menjadi tidak berlaku, 'Saya' mendadak lenyap, digantikan
oleh kesenyapan dan alusi semu".
Saya lahir di tahun 1975. Masa sekolah dasar sampai sekolah menengah
berlangsung dari 1981 sampai 1993. Dan itu adalah masa dimana kekuasaan
Orde Baru berada di posisinya yang terkuat.
Peristiwa 1965 — dalam bahasa otoritas yang direproduksi dalam teks-teks
sejarah yang resmi — adalah usaha perebutan kekuasaan oleh Partai Komunis
Indonesia. Partai Komunis Indonesia, disingkat PKI, merupakan salah satu
partai terkuat masa itu. Seperti yang diajarkan oleh buku sejarah di sekolah
kepada kita, usaha ini diikuti oleh pembunuhan 7 petinggi militer Indonesia.
Cara para komunis membunuh para jenderal ini diceritakan sedemikian rupa
sehingga ia berubah menjadi kisah sejarah dengan kualitas horor.
Kisah pembunuhan massal mereka yang tergabung dalam organisasi
komunis tingkat lokal dan nasional, atau siapa saja yang dianggap terlibat
dalam gerakan yang berhubungan dengan komunisme masuk dalam ranah
pikiranku kemudian ketika mulai membaca buku-buku sejarah yang lain di
bangku kuliah. Yang jelas, tidak diragukan lagi peristiwa ini membawa negara
ke dalam kekacauan luar biasa.
Wacana anti-komunisme, disertai dengan represi atas segala hal yang
dianggap berpotensi membawa negara ke ketidakstabilan politik dan
keamanan, adalah resep yang kemudian diambil oleh benih-benih
pemerintahan Orde Baru untuk merubah kekacauan tersebut menjadi janji
untuk mewujudkan Indonesia yang stabil secara ekonomi dan politik, dan
dijadikan pondasi bagi pemerintahan Orde Baru sejak awal berkuasa di 1968
sampai ketika ia menemui kematiannya di tahun 1998.
Orde Baru menunjukkan nilai penting peristiwa 1965 dengan jelas. la
membangun Monumen Lubang Buaya, Monumen Kesaktian Pancasila, dan
membuat satu ritual pengingat khusus yaitu: mewajibkan tiap anak sekolah
untuk menonton film "Pemberontakan G30S/PKI" (bikinan sutradara terkenal
Arifin C Noer) di bioskop di kota-kota Indonesia setiap tanggal 30 September.
Tanggal 30 September merupakan tanggal resmi penumpasan PKI oleh
militer, kembalinya kekuasaan pemerintah yang sah dan kekuatan Pancasila
dalam melindungi negara dari usaha cengkeraman komunisme.
Jadi begitulah. Tanggal 30 September menjadi hari yang istimewa bagi. Kami
berkumpul di sekolah sebelum berangkat bersama-sama ke gedung bioskop.
Saya tidak bisa mengingat dengan jelas apakah film "Pemberontakan
G30S/PKI" adalah benar-benar hal yang kunanti-nantikan dan membuat hari
itu istimewa. Karena jika kurenungkan sekarang, gagasan pergi ke bioskop
bersama para guru dan teman untuk menonton sebuah film, bagi seorang
pelajar masa itu, merupakan pengalaman yang lebih menyenangkan dan
karenanya selalu kutunggu-tunggu.
Dari rumah, ibu dan nenek menyiapkan bekal minuman dan kue-kue. Tidak
boleh dilupakan adalah membawa senter kecil, buku catatan kecil dan
bolpoin.
Beberapa hal penting dari film harus dicatat. Mereka adalah bahan untuk
membuat ringkasan untuk dipresentasikan kepada guru-guru di sekolah.
Sebagai murid yang rajin, dan saya yakin beberapa teman juga melakukan
hal yang sama, saya mencatat banyak dialog. Saya pulang ke rumah dengan
buku catatan yang nyaris penuh. Malam harinya, Televisi Republik
Indonesia — satu-satunya televisi yang ada masa itu — kembali menyiarkan
secara nasional film yang sama.
Dengan menulis ringkasan, saya merasa sedang diminta untuk memindahkan
apa yang saya lihat di film ke dalam buku catatan, dan membuatnya menjadi
bagian dari ingatan personal. Ketika menulis ringkasan merupakan instruksi
yang diterapkan ke seluruh pelajar Indonesia masa itu, ia menjadi praktek
mengingat kolektif.
Kata 'mengingat', juga 'kolektif, di sini merupakan konsep yang mendasar.
Karena kenyataannya jutaan anak lain yang lahir setelah 1965 jelas tidak
memiliki ingatan langsung atas peristiwa 1965.
Jika memori, kembali mengutip Auster (1992), bukan hanya kebangkitan
kembali masa lalu seseorang, tetapi memasukkan diri dalam-dalam ke dalam
masa lalu yang lain, maka menuliskannya kembali adalah salah satu metode
untuk menangkap kembali memori itu, mengawetkannya. "Praktek menulis
sama dengan praktek memori", katanya (Auster 1992: 142).
Tetapi jika keindahan dari memori tertentu (kenangan melihat pameran
lukisan Van Gogh pertama kali bersama seorang gadis yang dikasihinya;
Auster berumur 16 tahun saat itu) yang menggerakkannya untuk menulis
beberapa puisi, masing-masingnya diberi judul sama dengan judul lukisan
Van Gogh, maka 23 tahun lalu, adalah eksistensi kekuasaan tertentu yang
punya peran dalam memaksa saya menuliskan kembali isi film G30S/PKI.
Menem patkan beberapa metode mengingat yang saya alami — negara
memproduksi film G30S/PKI, meminta publik untuk menontonnya secara
bersama-sama di bioskop, meminta semua anak sekolah untuk mencatat —
dalam perspektif Halbwachs (1992), mereka adalah instrumen yang sengaja
digunakan untuk merekonstruksi imaji masa lalu sesuai dengan imajinasi
otoritas. Mereka adalah metode mengingat yang diciptakan dengan harapan
untuk bisa memproduksi pola ingatan yang seragam.
Seperti diungkapkan oleh Halbwachs (1992) dengan sangat artikulatif,
"Kerangka kolektif tidaklah dibentuk setelah peristiwa terjadi dari kombinasi
rekoleksi. la juga bukan suatu kerangka kosong dimana berbagai rekoleksi
menemukan tempatnya disana. Kerangka kolektif, sebaliknya, merupakan
instrumen yang digunakan oleh memori kolektif untuk merekonstruksi imaji
masa lalu yang sesuai dengan pemikiran dominan masyarakat" (Halbwachs
1992:39-40).
4. Ingatan yang rapuh, dan betapa mudahnya sesuatu itu dilupakan
Tidakkkah aneh bahwa di negeri dimana masyarakatnya diharapkan untuk
mampu mengingat sejarah yang dilaluinya secara mendetil, yang kerap
muncul di hadapan kita justru kisah-kisah amnesia?
Suatu hah di tahun 2007, Pius Lustrilanang, salah satu mantan korban
penculikan aktivis politik di tahun 1998, memutuskan untuk bergabung
dengan partai politik baru bernama Gerindra — singkatan dari Gerakan
Indonesia Raya. Gerindra dipimpin oleh Prabowo Subianto, mantan petinggi
angkatan darat yang juga diduga berada di balik penculikan para aktivis politik
tersebut. Prabowo juga dikenal sebagai mantan menantu dari Soeharto.
Berambisi kuat menjadi orang nomor satu di negeri ini, Subianto merintis jalan
ke sana dengan cara menjalin hubungan dengan komunitas tani tingkat
nasional. Mengingat tingginya komunitas tani di negeri ini, tentu langkah
Prabowo ini sangat strategis. Pada periode 2004-2009, Subianto resmi
menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dan
adalah dengan dukungan dari anggota HKTI inilah ia mendasarkan
pembentukan Gerindra.
Ketika Gerindra gagal untuk mencapai angka pemilih tertentu untuk bisa
melaju ke putaran selanjutnya dari Pemilu 2009 lalu, ia menerima tawaran
Megawati untuk menjadi wakil presiden dan sepakat untuk memimpin negeri
berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Dalam lanskap politik Indonesia, PDI
Perjuangan adalah sebuan partai yang kritis dan menjadi salah satu yang
berada di garda depan tuntutan perubahan politik negara di tahun 1998, dan
secara historis bertentangan dengan Prabowo. Megawati adalah pemimpin
partai, mantan presiden dari 2001 sampai 2004, dan berniat untuk
mencalonkan diri kembali sebagai presiden di Pemilu 2009.
Bagi seseorang yang mengikuti penampilan politik dari Megawati, Subianto,
juga kisah Lustrllanang di 1998, koalisi dan gerakan politik yang ditunjukkan
ketiganya dengan jelas mengundang tatapan mengejek. Tawa mengejek tidak
akan terhindarkan demi menyaksikan sebuah kepentingan politik yang tanpa
malu mereka bawa, dan dengan demikian mengkhianati sejarah mereka
sendiri.
Bagaimana seorang manusia memperlakukan sejarah berikut kenangan-
kenangan atasnya? Setelah suatu peristiwa terjadi dan melalui pusaran
waktu, lalu apa? Saya membayangkan bahwa di kepala tiap orang dan
otoritas telah terbangun folder-folder imajinatif penampung peristiwa-
peristiwa. Tetapi siapa yang berkuasa dalam proses pengklasifikasian
peristiwa-peristiwa? Mekanisme macam apa yang diterapkan untuk
menentukan peristiwa tertentu masuk folder A misalnya, dan peristiwa yang
lain masuk folder B? Praktek klasifikasi inilah yang berperan penting dalam
menentukan bagaimana dan dengan cara apa sesuatu itu dikenang.
Suatu proses yang inheren dalam proses tersebut adalah proses
penyederhanaan dan generalisasi. Mereka merupakan hal yang dimaklumi
untuk memudahkan penggolongan. Dengan demikian, suatu peristiwa atau
kisah para manusia tertentu bisa saja dimasukkan ke dalam folder yang
sama, tanpa peduli akan perbedaan-perbedaan dan perubahan sikap yang
telah mereka lalui.
Betapapun kuatnya konsistensi usaha otoritas untuk membuat kita supaya
ingat kepada sejarah (baik ajakan untuk selalu ingat kepada perjuangan
melawan kolonialisme, perintah untuk mengingat apa yang terjadi pada
September 1965, dan sebagainya), sebenarnya kita juga berhadapan dengan
sifat manusia yang mudah jatuh ke dalam amnesia. Selain kemunculannya
yang ditimbulkan oleh faktor-faktor alami, amnesia juga didorong oleh aneka
kepentingan personal. Kasus Pius Lustrilanang dan Prabowo Subianto
dengan jelas menunjukkan dengan jelas menunjukkan bagaimana hasrat
untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan politik yang lebih besar
melampaui kontradiksi atas gerakan politik mereka dengan fakta sejarah.
Ketika berhadapan dengan waktu, memori menampilkan karakter-karakter
yang lain. Betapapun kuat usaha kita untuk menekan dalam-dalam ingatan
kita akan sesuatu — biasanya terhadap sesuatu yang buruk — dan berharap
supaya kita bisa lupa, memori bisa muncul tiba-tiba dengan jelas dan terang,
seolah sesuatu itu baru saja terjadi. Mungkin karena dalam perjalanan kita
menuju lupa, sebenarnya kita sedang mengingat-ingat perihnya. Jadi
sebenarnya kenangan menyakitkan tidak hilang, ia hanya sedang
bersembunyi (atau disembunyikan secara sengaja) dan menunggu-nunggu
saat kemunculan yang tepat. Hal apa yang dimunculkan dengan tiba-tiba
tersebut juga tidak bisa diperkirakan: bisa saja ia menampilkan satu
gambaran utuh peristiwa masa lalu, atau bisa juga hanya berupa potongan-
potongan dari suatu potongan cerita.
Waktu punya kuasa luar biasa besar untuk menyederhanakan banyak hal,
banyak fakta. Dipersenjatai dengan kekuatan untuk merepresentasikan
kembali realitas ke dunia dengan cara yang betul-betul berbeda, ia memaksa
kita untuk terus menerus melakukan penilaian ulang atas sikap kita terhadap
suatu kenangan. Kemudian, apakah waktu juga bisa mengubah luka menjadi
maaf dan simpati?
"Saya sudah lupa tepatnya tanggal dan hari pertemuan pertama dengan Pak
Harto. Yang tidak akan terlupa adalah ia menerima kami dengan senyum
seorang bapak yang arif-bijaksana. Saat itu ia memberi penjelasan kepada
kami tentang ideologi Pancasila. Beliau adalah Bapak Pembangunan, dan
Orang Timor Lorosae tidak akan pernah melupakan jasa besar Pak Harto
dalam membangun Propinsi Timor Timur," demikian tulis Uskup Belo,
seorang peraih Nobel Perdamaian 1996, yang bekerjadi Propinsi Timor
Timur (sekarang negara Timor Leste) dalam emailnya ketika Soeharto,
mantan orang nomor 1 di Indonesia meninggal dunia Januari 2008 lalu
(Kompas, 28 Januari 2008). Dari apa tertulis di email Belo, jejak-jejak represi
militer Indonesia kepada rakyat Timor Timur, pertikaian berdarah dan usaha
tak putus-putus dari sebagian warga propinsi di ujung timur kepulauan
Indonesia itu untuk melepaskan diri dan mendirikan negara sendiri dari 1976
sampai 1999 seolah lenyap.
Ketika berhadapan dengan kematian atau perpisahan tak terduga, rasa
simpati muncul begitu saja, seolah lupa akan gambar buruk sejarah masa
lalu. "Bapak sudah meninggal sekarang. Tolonglah ingat kebaikannya, jangan
keburukannya," demikian kira-kira selalu ucap Tutut, putri tertua Soeharto
ketika berhadapan dengan demonstrasi demi demonstrasi menuntut
penuntasan kasus korupsi yang terjadi selama Soeharto menjabat presiden.
Ini adalah suatu ajakan untuk melupakan kesalahan masa lalu demi
semangat menjaga harmoni dan keteraturan. Tetapi dimana letak keadilan
jika semua potensi konflik harus selalu disembunyikan dibalik harmoni dan
keselarasan?
5. Kadang pikiran kita secara otomatis menyeleksi sejarah
Kekuasaan rasanya bukan satu-satunya hal yang menentukan mana yang
pantas untuk kita ingat dan mana yang tidak, mana hal-hal yang seharusnya
kita lupakan dan buang jauh-jauh selama-lamanya. Tatapan mata rasional
dan ajakan untuk menempatkan semuanya dalam tempatnya masing-
masing — seperti dipromosikan oleh buku-buku sejarah kritis itu — kadang juga
merupakan hal yang sulit diterima.
Pada awal masa pemerintahannya di tahun 1999, mantan Presiden
Abdurrahman Wahid sempat berupaya untuk membuat rekonsiliasi nasional
antara mereka yang punya relasi dekat dengan apa yang terjadi pada
September 1965, mereka yang diletakkan dalam dua kubu yang
bertentangan, antara para keluarga mantan anggota Partai Komunis
Indonesia dan mereka yang melawan komunisme (para mantan anggota
parta-partai Islam misalnya). Tetapi toh ajakan ini, betapapun tampak rasional
dan etis tampaknya, tidak begitu saja bisa diterima.
Derajat kedekatan persoalan dengan diri dan beban perasaan misalnya justru
ternyata kadang hadir jadi sesuatu yang paling menentukan dalam melihat
persoalan, dan menjadi faktor penentu untuk menentukan sikap terhadapnya.
Pada paska 1998, tidak hanya kita saksikan ledakan ragam kisah tentang
Peristiwa 1965 yang ditulis oleh para eksil politik di luar negeri maupun para
mantan tahanan politik di Indonesia, tetapi juga tumbuh suburnya beberapa
organisasi masyarakat sipil yang mempergunakan teknik sejarah lisan dan
mendedikasikan dirinya untuk secara khusus menggali Peristiwa 1965.
Keduanya merupakan contoh pembangunan yang membawa kontribusi untuk
menaikkan historiografi Indonesia ke level yang lebih baru.
Paling tidak ada tawaran alternatif baru dari materi bacaan sejarah yang
selama ini ada. Juga ia merupakan upaya politik untuk secara kritis
memandang kembali peristiwa sejarah dengan perspektif berbeda. Meskipun
demikian, seperti dicontohkan oleh kegagalan gagasan rekonsiliasi yang
ditawarkan oleh Presiden Gus Dur, jelas bahwa perkembangan baru ini tidak
begitu saja dengan mudah merembes ke pemahaman masyarakat lokal.
Kata 'komunis' terlanjur dimasukkan dibawah kategori sesuatu yang
berbahaya dan membahayakan keamanan negara. Sulit untuk menariknya
keluar dari kategori tersebut. Spanduk berbunyi "Awas bahaya laten
komunisme" muncul secara regular setiap 30 September. Siapa yang
membuatnya, dan siapa yang meletakkannya di ruang publik. Tidak diragukan
lagi, ia merupakan contoh jelas bahwa tetap ada kelompok-kelompok
masyarakat yang tidak menginginkan perubahan pada cara pandang publik
terhadap Peristiwa 1 965.
Salah satu penjelasan yang mungkin dari kegagalan tawaran rekonsiliasi
adalah karena melupakan tidak selalu bisa sejalan dengan memaafkan.
Kesiapan untuk memaafkan merupakan persyaratan utama yang harus
dimiliki untuk melakukan rekonsiliasi.
6. Penutup
Saya selalu membayangkan bahwa tempat kita hidup ini sebenarnya
terbentuk dari banyak lapisan. Dan jika di tiap lapisnya kita menyaksikan
kisah-kisah manusia ketika berhadapan dengan sejarah, juga interior dari aksi
melupakan dan mengingat. Maka sekaligus didalamnya kita dengan jelas bisa
melihat bagaimana sejarah mengalami nasibnya sendiri-sendiri.
Suatu hari saya bertanya kepada ibu saya, seorang pensiunan kepala
sekolah sekolah dasar kecil di Gresik, kota kecil di dekat Surabaya, Jawa
Timur: "Bagaimana pengalaman mengalami sejarah bagi kelompok agen
suara otoritas seperti para guru?". Sebelum menjabat kepala sekolah, ibu
mengajar beberapa mata pelajaran, salah satunya adalah Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB), atau begitulah pelajaran sejarah disebut pada
saat saya SD dulu. Tidak hanya mengalami perubahan nama, para guru juga
menyaksikan sekian banyak eksperimen dalam materi sejarah berupa
perubahan materi ajar sejarah yang selalu bergerak sesuai kebijakan politik
rejim yang berkuasa dari waktu ke waktu.
Ketika perubahan akan kurikulum pengajaran sejarah merupakan sesuatu
yang berjalan secara rutin, hampir menyerupai sebuah pola, bagaimana
seorang guru memaknai sebuah peristiwa sejarah?
"Ketika masih aktif bekerja sebagai guru, hal itu rasanya tidak terlalu ibu
pikirkan. Sebagian karena persoalan hidup lain sudah terlalu banyak dan
berat (gaji yang kecil, keluarga, anak-anak, dsb). Jadi setiap kali ada
perubahan kurikulum, yang biasanya kami lakukan adalah menunggu orang
dari 'pusat' datang, dan mengajarkan kami apa yang selanjutnya dilakukan.
Saya pikir saya hanya menunggu sampai perubahan itu datang dan
melakukan perubahan sesuai yang diinstruksikan," demikian kata ibu.
Keraguan dan pertanyaan, jika ada, mungkin sebaiknya tetap disimpan rapat
dalam hati, dan tidak selalu berupa sesuatu yang berujung pada sebuah
tindakan.
Yang paling aman untuk dilakukan adalah terus menjalankan hidup dan
menjadi saksi bagi peristiwa sejarah yang berputar di sekitar kita. la adalah
pilihan yang paling mungkin, yang membuat kita bisa bertahan hidup di suatu
tempat dimana persoalan mengingat dan melupakan seperti selalu berada di
timbangan yang bergerak-gerak liar-tidak pasti seperti ini.