^i
meija
Jurnal Eniu Ekonomi, Akuntansi & Manajemen
ISSN : 1410-9999
MODEL EKONOMI RUMAHT ANGGA PERTANIAN MISKIN :
Perluasan Model Ekonomi Rumahtangga Usaha Tani
Yuhka Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung
Diterima tanggal 5 Nopember 2007; diterima dalam bentuk revisi tanggal 19 Desember 2007
Abstract
This paper aim to build aframework of the poor agricultural household economy. I specify
the utility function on the basic household economic models. With using statica comparative
analysis, I promote a land reform policy in order to reducing the poor farmer. Given price of
staple food, its policy potentially will be able to increase the poor household production and
motivate they to participate in the market of staple food. Its analysis motivate research activity
more empirically.
Key words : Household economic, poverty
I. PENDAHULUAN
Kemiskinan (poverty) merupakan
masalah utama perekonomian. Tingginya
angka kemiskinan dapat mengurangi
prestasi pemerintah dalam kegiatan
pembangunan, karena salah satu sasaran
dari pembangunan adalah memperbaiki
kondisi ekonomi masyarakat. Kegiatan
pembangunan yang tidak mengubah
kondisi kemiskinan akan menyisakan
masalah yang memicu permasalahan sosial
dan politik. Stabilitas negara akan
terganggu dan biasanya secara simultan
akan berbalik mengganggu kinerja
perekonominan yang sedang dibangun.
Karena itu, masalah kemiskinan
telah menjadi agenda bersama setiap
negara yang tergabung dalam membangun
komitmen tujuan pembangunan millenium
(Millenium Development Goals, MDGs).
Tujuan ini memiliki kekuatan mengikat
bagi pemerintah setiap negara untuk
memberikan kontribusi dalam mengurangi
populasi penduduk miskin dunia melalui
basis wilayah pembangunan masing-
masing. MDGs menetapkan target, bahwa
pada tahun 2015 angka kemiskinan dunia
harus turun sepanahnya dari populasi
rumahtangga miskin pada tahun 1990.
Menurut Pasha dan Palanivel (2004),
setiap tahun angka kemiskinan harus turun
minimal 3 persen untuk mencapai target
tersebut.
Kemiskinan mencerminkan kondisi
rumahtangga dimana daya belinya lebih
rendah dibandingkan dengan kebutuhan
dasar (basic need). Oleh karena itu,
gagasan utama untuk mengurangi
kemiskinan adalah meningkatkan daya beli
supaya sepadan dengan kebutuhan dasar.
Kerangka kerja mengenai perilaku
ekonomi rumahtangga miskin masih jarang
dipublikasikan. Topik kemiskinan
seringkah diterjemahkan dengan seberapa
dalam kemiskinan itu terjadi pada suatu
komunitas atau negara. Boleh jadi arah
pemikiran ini merupakan implikasi dari
kurangnya penjelasan mengenai perilaku
57
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
ekonomi rumahtangga miskin dalam buku
teks ekonomi. Teks ekonomi yang ada
cenderung mengarahkan aspek pengukuran
tingkat kemiskinan. Konsep yang biasa
dikenal dalam komunitas ahli ekonomi
adalah Lorenz curve, indeks Gini ratios,
indeks pembangunan manusia dan
variasinya. Hasil studi literatur
memberikan motivasi kepada para ahli
ekonomi untuk mengembangkan kerangka
kerja ekonomi rumahtangga miskin.
Menurut kegiatan ekonominya, ada
rumahtangga miskin yang pasif dan
sebagian ada yang aktif. Anak-anak yang
terlantar, kemudian gelandangan dan
pengemis berbeda sekali karakternya
dengan petani misalnya. Komunitas petani
seringkah terjebak ke dalam situasi
kemiskinan, meski curahan waktu kerjanya
lebih intensif Dalam paper ini, komunitas
petani menjadi fokus pembahasan.
Komunitas petani, meski sebagian besar
tergolong miskin, memiliki peran strategis
dalam perekonomian regional maupun
nasional. Mereka memasok hasil produksi
untuk kebutuhan konsumsi dan bahan baku
produksi sektor manufaktur.
Keterbelakangan sektor pertanian,
berdasarkan pengalaman di Indonesia,
telah menimbulkan masalah
makroekonomi yang cukup serius.
Kemampuan sektor pertanian yang rendah
dalam memenuhi kebutuhan lokal,
mendorong tingginya impor beragam
komoditi pertanian. Fenomena ini telah
menimbulkan persoalan khusus dalam
neraca perdagangan suatu negara.
Paper ini bertujuan untuk
membangun replika atau model ekonomi
rumahtangga miskin. Model ini pada
dasarnya memperluas model ekonomi
rumahtangga yang dikembangkan oleh
Bekcer (1965) dan Singh et al, (1986).
Dengan demikian model ekonomi
rumahtangga miskin ini merupakan variasi
dari model ekonomi rumahtangga
sebagaimana biasanya. Spesifikasinya
terletak pada bentuk fungsi utilitas dan
fungsi anggaran rumahtangga miskin, dan
tentu saja spesifikasi ini akan memberikan
argumentasi yang boleh jadi serupa atau
berbeda dengan model ekonomi
rumahtangga biasanya.
Bagian berikutnya dari paper ini
terdiri dari empat bagian. Bagian kedua
berisi studi literatur dalam topik
kemiskinan dan apa yang sudah capai oleh
beberapa ahli ekonomi yang berhasil
dikumpulkan. Pada bagian ketiga
dijelaskan model dasar yang
dikembangkan oleh penulis. Bagian
keempat merupakan inti dari paper ini. Di
dalamnya dijelaskan perilaku ekonomi
mereka dalam pengambilan keputusan
konsumsi dan produksi. Pada bagian ini
diberikan penjelasan mengenai alternatif
mereka di dalam meningkatkan
pendapatannya. Bagian terakhir
menyajikan diskusi yang berpotensi
memiliki untuk memiliki manfaat praktis.
II. ULASAN PENELITIAN
TERKAIT
Masalah kemiskinan perlu
didefinisikan secara jelas, meski ada
pembatasan, agar memudahkan di dalam
memahaminya dan sekurang-kurangnya
dapat dimodelkan. Melalui cara ini, kita
dapat menganalisa sebab kemiskinan dan
merumuskan pendekatan untuk
meredamnya. Menurut Encyclopedia
Americana, kemiskinan {poverty) adalah
insufficiency atau ketidakcukupan barang
secara relatif terhadap kebutuhan manusia.
Dalam ensiklopedi tersebut dijelaskan
bahwa kemiskinan biasanya dipandang
dalam dua perspektif yang berbeda yaitu
sebagai kekurangan uang (moneylessness)
dan ketidakberdayaan (powerlessness).
Kekurangan tersebut tidak selalu berarti
kekurangan kas melainkan kekurangan
kronis atas semua jenis sumber daya untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti nutrisi,
istirahat, ketentraman hati, kesehatan
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
58
jasmani. Kebanyakan ahli ekonomi
merepresentasikan masalah kemiskinan
dengan tingkat pendapatan, dengan
perkataan lain masalah tersebut didekati
dengan secara moneter. Bank Dunia,
Assian Development Bank (ADB),
Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) dan Millenium
Development Goals (MDGs) menitik
beratkan indikator pendapatan untuk
mengurangi tingkat kemiskinan.
Anahsa masalah kemiskinan juga
perlu dibatasi dari jenis aktivitas
ekonominya. Menurut ADB kemiskinan
merupakan kelompok yang heterogen.
Sifat kemiskinan bermacam-macam, ada
yang timbul karena sebab dan korban
(victim). Kemiskinan bisa timbul dari
sebuah keterbatasan dalam kegiatan
produktif yang menghasilkan pendapatan
yang rendah. Pelaku ekonomi produktif
namun miskin secara ekonomi perlu
menjadi fokus kebijakan ekonomi.
Informasi dari Arifin (2006), lebih dari 55
persen jumlah penduduk miskin adalah
petani, dan 75 persen dari petani miskin
adalah petani tanaman pangan. Di sektor
pertanian inilah, permasalahan menjadi
semakin pelik, karena Hasil Sensus
Pertanian 2003 menunjukkan bahwa
jumlah rumah tangga pertanian meningkat
menjadi 25,4 juta dari sekitar 20,8 juta
pada tahun 1993 atau meningkat sebesar
2,2 persen per tahun. Jumlah petani gurem
pun ikut meningkat dari 10,8 juta (52,7
persen) menjadi 13,7 juta (56,5 persen)
rumah tangga. Boleh jadi, kondisi
kemiskinan tersebut yang menjadi
penyebab turunnya produksi pertanian dari
tahun ke tahun.
Rumahtangga pertanian yang miskin
harus menjadi fokus dari arah kebijakan
ekonomi. Bagaimanapun keberadaan
sektor pertanian sangat penting peranannya
dalam perekonomian. Sektor ini
menyediakan komoditi primer yang dapat
dikonsumsi langsung ataupun menjadi
input kegiatan produksi sektor manufaktur.
Penurunan output pertanian karena itu
dapat mengganggu kegiatan konsumsi dan
produksi agregat.
Dari sisi praktis, terdapat beberapa
gagasan kebijakan untuk meredam
kemiskinan rumahtangga pertanian.
Eskola (2004) merekomendasikan
kebijakan komersialisasi pertanian,
sedangkan de Janvry dan Sadoulet (1996)
merekomendasikan program transfer
kekayaan masing - masing untuk meredam
kemiskinan. Eskola (2004) berpendapat
bahwa pembangunan fasilitas pasar yang
dekat dengan kegiatan pertanian serta
kemudahan petani untuk mengakses
informasi pasar dapat meningkatkan
derajat komersialisasi rumahtangga
pertanian. Partisipasi pasar akan terbuka
lebar bagi petani, dan dengan cara
demikian hambatan penjualan mengecil
yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan rumahtangga petani.
Argumentasi mereka didasarkan pada
analisa empiris yang berbasis pada
kerangka kerja ekonomi rumahtangga
pertanian. Kerangka kerja tersebut telah
menjadi benchmark atau model dasar
dalam menganalisis ekonomi rumahtangga
(Singh et al., (1986), Taylor dan Adelman
(2002)).
Peluang ahli ekonomi untuk
membangun model ekonomi rumahtangga
miskin masih besar. Ini bisa kita pelajari
dari Schreinemachers dan Berger (2006).
Mereka memberikan stimulus kepada para
ahli ekonomi untuk mengembangkan dan
menerapkan metode yang tersedia untuk
menganalisis kemiskinan.
Mereka membangun model
kemiskinan rumahtangga pertanian dengan
metodologi yang baru, istilah yang
digunakan mereka dan beberapa ahli
ekonomi adalah novel methodology.
Pendekatan statistik yang dihasilkan oleh
para ahli ekonomi mereka pandang kurang
memenuhi informasi dalam implementasi
59
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
kebijakan. Dari hasil studi literaturnya
mereka mengemukakan bahwa
kebanyakan analisis kemiskinan fokus
dengan pertanyaan seputar determinan atau
faktor penentu kemiskinan dengan
mengestimasi sejumlah besar variabel
eksogen (pendidikan, umur, ukuran
rumahtangga dan kepemilikan lahan) yang
semata-mata fokus pada pengukuran
tingkat kemiskinan. Pendekatan ini
memang direkomendasikan dalam World
Bank 's Sourcebook for Poverty Reduction
Strategies. Mengutip dari Pyatt (2003),
mereka memandang juga bahwa
pendekatan tersebut merupakan
pendekatan statistik {statistical approach)
yang bergantung pada kesimpulan statistik
(statistic inferential). Pendekatan statistik
memang berguna untuk mengindentifikasi
variabel penting dalam meredam
kemiskinan. Akan tetapi mereka
mengevaluasi bahwa pendekatan tersebut
memiliki dua kelemahan. Pertama,
pendekatan statistik tidak membuka
penjelasan detail mengenai peluang dan
kendala orang miskin untuk
mengembangkan lahan miliknya dan
karena itu menghasilkan informasi yang
terbatas untuk implementasi kebijakan.
Kedua, simulasi kebijakan berbasis
pendekatan statistik seolah
memperlakukan rumahtangga miskin
sebagai korban yang pasif (passive victims)
dan tidak menunjukkan pelaku yang
adaptif Contoh penelitian kemiskinan
dengan pendekatan statistik dilakukan oleh
Datt dan Johffe (2005) dan de Janvry et al,
(2005), Martin & Taylor (2007).
Penelitian sistem pertanian (farming
system research, FSR) sebagai pelengkap
pendekatan statistik juga mereka pandang
kurang memenuhi. FSR kurang
merepresentasikan heterogenitas dan
interaksi yang mendasar untuk memahami
kemiskinan dan efek distribusional dari
kebijakan untuk meredam kemiskinan.
FSR juga mereka pandang terlalu menitik
beratkan pada sisi produksi, dan relatif
mengabaikan sisi konsumsi rumahtangga
pertanian. Karena itu mereka menekankan
kembali bahwa kontribusi aktual ahli
ekonomi untuk menganalisis kemiskinan
masih perlu dikembangkan. Kebutuhan
analisis ini mereka respon dengan
membangun model yang mengkuantifikasi
kemiskinan, melakukan simulasi
rumahtangga pertanian untuk mengatasi
kerawanan pangan dan untuk menangkap
heterogenitas serta efek distribusional.
Arah penelitian tersebut mereka
munculkan dengan mengaplikasikan novel
methodology. Schreinemachers dan
Berger (2006) menggabungkan model
pemrograman matematik untuk
rumahtangga pertanian, model
disinvestment dan multy agent system
untuk merajut pemrograman matematik
terhadap dunia riil rumahtangga pertanian.
De Janvry et al., (2005)
menganalisis kemiskinan rumahtangga
pertanian di China. Menurut mereka,
dalam kaitannya dengan pengentasan
kemiskinan, negara ini dapat dijadikan
pembelajaran bagi negara lain.
Kesempatan kerja di luar pertanian dapat
menjadi penyumbang utama pendapatan
rumahtangga pertanian. Dengan
menggunakan data hasil survey dari
Provinsi Hubei, mereka melakukan
simulasi yang sifatnya counterfactual
terhadap rumahtangga pertanian yang tidak
mengakses sumber pendapatan dari
kegiatan off-farm. Simulasi mereka
lakukan dengan menggunakan model
ekonometrika probit. Persamaannya
menjelaskan bahwa perubahan pendapatan
dua jenis petani : petani yang tidak
memiliki pekerjaan lain di luar pertanian
dan petani yang terlibat dalam kegiatan off-
farm. Pendapatan tersebut dijelaskan oleh
alokasi input tenaga kerja, lahan, jarak
rumahtangga terhadap daerah kabupaten,
dan lamanya pendidikan. Variabel eksogen
ini mereka sebut dengan karakteristik
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
60
rumahtangga. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa tanpa ada kesempatan kerja off-
farm kemiskinan pedesaan akan lebih
tinggi dan mendalam, dan hasilnya
kesenjangan pendapatan akan makin
tinggi. Mereka menemukan bahwa
pendidikan, kedekatan lokasi terhadap
kota, efek tetangga dan efek desa terlihat
krusial dalam menolong rumahtangga
tertentu untuk memperoleh akses terhadap
kesempatan itu. Lebih lanjut mereka
menyimpulkan bahwa partisipasi dalam
kegiatan off-farm dapat memberikan efek
limpahan yang positif terhadap produksi
rumahtangga pertanian.
Datt dan Joliffe (2005) membangun
model empiris kemiskinan di Mesir.
Mereka memusatkan perhatian untuk
menggali determinan kemiskinan disana.
Dengan menggunakan metodologi
ekonometrika, mereka merepresentasikan
kemiskinan dengan konsumsi per kapita.
Model ekonominya menjelaskan
perubahan konsumsi per kapita yang
dideterminasi oleh karakteristik
rumahtangga. Hasil estimasi menunjukkan
bahwa karakteristik rumahtangga yang
menjelaskan perubahan pengeluaran per
kapita tersebut mencakup ukuran
rumahtangga, lama pendidikan primer
yang ditempuh oleh suami dan istri, luas
lahan olahan yang dimiliki, jarak sekolah
dari rumah, dan jarak rumah sakit dari
rumah. Hasil estimasi dan hasil validasi
variabel tersebut menjelaskan perubahan
konsumsi per kapita rumahtangga di
pedesaan dan perkotaan. Dikombinasikan
dengan hasil simulasi terhadap model
empiris tersebut, mereka menekankan
pentingnya peningkatan pendidikan orang
tua di dalam meredam masalah
kemiskinan.
de Janvry dan Sadoulet (1996)
merekomendasikan implementasi program
transfer kekayaan untuk memecahkan
masalah kemiskinan. Program ini mesti
didukung oleh fleksibilitas dalam
merealokasi sumber daya. Mereka
memandang bahwa terbatasnya akses
terhadap kekayaan (asset) merupakan
determinan utama masalah kemiskinan.
Pandangan ini selaras dengan definisi
kemiskinan menurut ADB. Hanya saja
dalam definisi ADB, asset tersebut tidak
terbatas fisik, lebih dari itu aspek
pendidikan dan kesehatan dipandang
sebagai asset. de Janvry dan Sadoulet
(1996) menganalisis peranan kekayaan
dalam menjelaskan strategi alokasi tenaga
kerja rumahtangga, sumber pendapatan,
tingkat pendapatan yang dicapai dan
kemiskinan per kapita diantara kelas
rumahtangga pertanian di Meksiko.
Mereka menggunakan model ekonomi
rumahtangga non separahle untuk
menjelaskan redistribusi kekayaan melalui
efek pendapatan langsung dan efek
keseimbangan umum. Hasilnya
menunjukkan bahwa redistribusi lahan
memberikan manfaat pemerataan dan
efisiensi. Mereka berpendapat bahwa
terdapat skala ekonomi dalam penggunaan
tenaga kerja sendiri {self-employment)
dalam usaha kecil, modal manusia untuk
partisipasi pasar tenaga kerja, dan modal
sosial untuk migrasi internasional yang
menimbulkan konflik antara pemerataan
dan efisiensi sosial dalam meredistribusi
kekayaan. Mereka mempertimbangkan
bahwa pembuat kebijakan harus
memahami derajat heterogenitas yang
menjadi ciri penduduk desa.
Bermula dari definisi kemiskinan,
tersirat bahwa model ekonomi untuk
membantu menganalisis kemiskinan,
sekurang-kurangnya harus menangkap gap
antara pendapatan dengan nilai kebutuhan
dasar. Dari hasil studi literatur karakteristik
ini belum terinternalisasikan secara
eksplisit ke dalam model yang digunakan
para ahli ekonomi untuk menganalisis
masalah tersebut. Ini memotivasi penulis
untuk berpartisipasi dengan para ahli
61
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
ekonomi lain dalam membangun model
ekonomi rumahtangga miskin.
III. MODEL DASAR
Becker (1965) melakukan revisi
terhadap teori ekonomi neo-klasik,
khususnya yang berpangkal pada
Marshallian. la membangun model
ekonomi rumahtangga dimana pendapatan
bersifat endogen, sedangkan dalam model
Marshallian pendapatan bersifat eksogen.
Asumsi dalam ciri pendapatan ini memiliki
implikasi penting terhadap teori
permintaan dan teori penawaran yang telah
dikembangkan oleh Neo-Klasik (Pollak,
2002).
Replika ekonomi rumahtangga
menyatakan bahwa ketika pendapatan
bersifat endogen, maka keputusan
konsumsi tidak bisa dilepaskan dengan
keputusan produksi. Sementara itu, dalam
model ekonomi neo-klasik, analisis
konsumsi separable dengan keputusan
produksi yang bersumber pada tahapan
analisis yang terpisah, konsumen murni
dan produsen mumi. Karenanya yang
dilakukan oleh Bekcer (1965) dan
Singh et al.,(1986) pada dasarnya adalah
melonggarkan asumsi yang digunakan oleh
ahli ekonomi neo-klasik dalam
menganalisis perilaku ekonomi
rumahtangga (household hehaviour).
Singh et al., (1986) melihat bahwa
anggaran rumahtangga bersifat
endogeneous, sedangkan di dalam model
Marshall anggaran dianggap bersifat
eksogen. Singh etal., (1986)
mengembangkan model ekonomi
rumahtangga Becker (1965) dengan unit
analisisnya di sektor pertanian. Becker
(1965) membangun teori ekonomi
rumahtangga secara umum tanpa aplikasi
kegiatan rumahtangga secara spesifik.
Teori tersebut pada dasarnya merelaksasi
model Marshall yang menganggap
pendapatan rumahtangga bersifat endogen
(money income held constani).
Seperti dalam model Marshall,
rumahtangga dianggap meningkatkan
kesejahteraannya melalui maksimisasi
kegunaan atau utilitas yang mereka peroleh
dari konsumsi beragam komoditi. Dalam
model Bekcer (1965) dan
Singh et al.,(1986) waktu santai dianggap
sebagai bentuk konsumsi. Karenanya,
rumahtangga tidak hanya mengkonsumsi
komoditi fisik, tapi ia juga mengkonsumsi
waktu seperti mengkonsumsi komoditi
fisik lainnya. Fungsi kegunaan ini
dinyatakan secara matematis pada
persamaan [1].
U(Xi„ Xin, Xi), untuk a, m, 1 = 1, ..., n
[1]
Fungsi kegunaan tersebut memiliki
property atau sifat-sifat seperti biasanya.
Sifat seolah cekung diterapkan terhadap
fungsi kegunaan, dimana kegunaan
meningkat seiring dengan bertambahnya
konsumsi atas komoditi tersebut, namun
dengan tingkat perubahan yang menurun.
Persamaan [1] menyederhanakan bahwa
kegunaan rumahtangga. U, diperoleh dari
konsumsi komoditi yang diproduksi
sendiri, Xa, komoditi yang dibeli dari
pasar, Xm (selanjutnya disebut dengan
komoditi pasar), dan waktu santai, Xi.
Kendala yang dihadapi rumahtangga
untuk tujuan memaksimisasi fungsi
kegunaannya berupa pendapatan potensial,
sumberdaya waktu dan fungsi produksi.
Pendapatan potensial ini bersifat endogen,
seperti dinyatakan secara matematis pada
persamaan [2].
P.„.X„ = Y = P,(Q,-X,) + W(L-F) [2]
- V.Z + E
Persamaan [2] menjelaskan
keseimbangan anggaran rumahtangga,
pengeluaran sama setara {equivalent)
dengan pendapatan. P^, Pa dan W masing-
masing adalah harga komoditi pasar, harga
komoditi sendiri dan tingkat upah. Qa, L,
F, dan Z masing-masing adalah jumlah
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
62
produksi rumahtangga, tenaga kerja
keluarga dan tenaga kerja luar keluarga
dan input produksi variabel non tenaga
kerja (selanjutnya disebut input produksi
lain). Rumahtangga disebut sebagai unit
yang menawarkan tenaga kerja jika L > F,
kondisi sebaliknya menyatakan bahwa
rumahtangga sebagai unit pengguna tenaga
kerja dari luar {hired labor). Rumahtangga
termasuk kategori komersial jika, Xa=0,
semi komersial jika Qa > Xa, dan
susbsisten jika Qa = Xa. Term "E" dalam
sisi kanan persamaan [2] menunjukkan
pendapatan lain yang diterima secara
eksogen di luar aktivitas produksi
rumahtangga.
Kendala kedua adalah kendala
sumberdaya waktu. Kendala ini merupakan
persamaan identitas, bentuknya dinyatakan
pada persamaan [3].
T = L+X
[3]
Persamaan [3] menyatakan bahwa waktu
yang dialokasikan untuk santai dan
bekerja, sama dengan total sumberdaya
waktu yang dimiliki oleh rumahtangga.
Identitas ini dapat disubstitusikan ke dalam
persamaan [2], sehingga diperoleh
persamaan [2a] berikut.
Y = Pa(Qa-Xa)
+ W(T - Xi
■ F) - V.Z + E [2a]
Dengan mengaturnya kembali maka
diperoleh identitas pendapatan potensial
yang lebih eksplisit seperti dinyatakan
pada persamaan [2b].
P,,.X.„ + Pa.Xa + W.Xi = Y =
PaQa-V.Z-W.F + W.T+E [2b]
Istilah "potensial", muncul dari
diinkorporasikannya nilai total sumberdaya
waktu yang dievaluasi dengan besaran
upah pada pasar kerja (W. T). Oleh karena
itu, pendapatan potensial dapat diartikan
sebagai penjumlahan dari keuntungan
rumahtangga, %, nilai total sumberdaya
waktu dan pendapatan eksogen. Term
keuntungan ditunjukkan pada persamaan
[2.b], yaitu % = PaQa - V.Z - W.F.
Kendala ketiga bagi rumahtangga
adalah kendala fungsi produksi. Dalam
bentuk yang implisit fungsi produksi ini
dinyatakan pada persamaan [4].
G(Qa;L,Z)
[4]
Dalam hal ini rumahtangga dianggap
hanya menghasilkan satu komoditi, Qa,
yang bergantung pada penggunaan secara
intensif atas dua jenis input, L dan Z.
Fungsi produksi implisit tersebut. G,
dianggap memiliki properti yang serupa
dengan teori ekonomi produksi biasanya.
Fungsi produksi ini dianggap seolah
cembung, yaitu produksinya berubah
secara positif seiring dengan perubahan
penggunaan input, namun dengan tingkat
perubahan yang menurun {diminishing
return).
Model dasar ekonomi rumahtangga
tersebut menunjukkan sifat separable atau
rekursif, walaupun bersifat simultan dalam
penggunaan sumberdaya waktunya. Secara
rekursif, tahap pertama, rumahtangga
menentukan terlebih dahulu penggunaan
inputnya yang optimal, L dan Z dengan
keputusan rasional, yaitu memaksimisasi
pendapatan potensialnya [2b] dengan
syarat ikatan fungsi produksi [4], dan tahap
kedua, rumahtangga memaksimisasi fungsi
kegunaannya dengan syarat ikatan
pendapatan potensialnya [2b].
Keputusan penggunaan input yang
optimal diperoleh dari upaya untuk
memaksimisasi keuntungan dengan syarat
ikatan fungsi produksi, sehingga
melahirkan kondisi dimana rumahtangga
akan menggunakan tenaga kerja dalam
proses produksinya pada saat nilai
tambahan produk fisik tenaga kerjanya
(value marginal physical product oflahor)
setara dengan tingkat upah di pasar kerja
63
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
(eguimarginal principle). Keputusan
penggunaan input lainnya serupa dengan
keputusan penggunaan tenaga kerj a.
P,.(2Q,/2L) = W
Pa.(?Qa/?Z) = v
[5]
Berdasarkan pada turunan parsial fungsi
keuntungan rumahtangga, maka
dideterminasi bahwa penawaran produk
rumahtangga dan alokasi penggunaan input
yang optimal ditentukan oleh variabel
eksogennya, yaitu harga output, tingkat
upah dan harga input lain.
Qa(Pa, W, V)
L*(Pa, W, V) dan Z*( P„ W, V)
[6]
[7]
Setelah rumahtangga membentuk
pendapatan potensialnya, maka ia dapat
mencapai kesejahteraannya melalui
maksimisasi fungsi kegunaan dengan
properti tertentu. Maksimisasi fungsi
kegunaan [1] dengan syarat ikatan
pendapatan potensialnya [2.b],
memberikan determinan permintaan
rumahtangga atas komoditi konsumsi,
seperti disajikan pada persamaan [8].
X,(P,„, Fa, W, Y*), untuk i = a, m, 1
[8]
Permintaan rumahtangga atas komoditi
konsumsi ditentukan oleh harga komoditi,
tingkat upah dan pendapatan potensial.
Rumahtangga memperoleh
pendapatan dari penjualan surplus
produksinya {marketed surplus, MS).
Surplus produksi merupakan selisih antara
banyaknya produksi rumahtangga, Qa,
dengan banyaknya konsumsi rumahtangga
atas produknya sendiri, Xa. Oleh karena
itu, penjualan surplus produksinya
dideterminasi oleh seluruh harga output,
harga input dan pendapatan.
MS, = Q,-X„ [9]
sehinggaMS,(P.„,P,,W,V,Y*)
Selanjutnya bisa dipertimbangkan,
bagaimana jika terjadi guncangan (shock)
terhadap harga produk rumahtangga. Ini
dapat dipelajari dari persamaan [10].
Persamaan tersebut merupakan hasil
differensiasi persamaan [8] dalam
menanggapi perubahan harga produk
RTPM. Sebagai penyederhaan dianggap
bahwa produk rumahtangga termasuk
kategori barang normal. Dalam kasus
usaha tani, guncangan ini bisa ditimbulkan
oleh kebijakan operasi pasar untuk
memberikan harga patokan minimum dan
maksimum. Dari sisi produksi, perubahan
produksi searah dengan perubahan harga.
Kenaikan harga misalnya memberikan
dorongan kepada rumahtangga untuk
meningkatkan produksinya. Dari sisi
permintaan, melalui statika komparatif,
guncagan tersebut memberikan efek
substitusi (direct) dan efek keuntungan
(indirect). Karena itu, besar dan arah
perubahan permintaan tidak bisa dipastikan
(tentatif). Efek subsitusi, seperti biasanya
memiliki pengaruh negatif, sedangkan efek
keuntungan bisa memiliki efek negatif atau
positif Efek positif dalam efek keuntungan
terjadi bila rumahtangga memiliki surplus
produksi, Qa > Xa, sedangkan efek negatif
terjadi bila rumahtangga tersebut tidak
memiliki surplus produksi, Qa = Xa atau Qa
<Xa.
dX,/dP, = ?X,/?Pa
+ (?Xa/?Y*).(?Y*/?X,)
= dXJd?, +
(Qa-X,).(?X,/?Y*) [10]
Efek total perubahan harga tersebut
terhadap rumahtangga dapat dikaji dari
perubahan surplus produksi, seperti
disajikan pada persamaan [1 1].
dMS,/dP, = 2Qa/2Pa + dXJS?^
+ (Qa-X,).(?Xa/?Y*) [11]
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
64
Persamaan [11] menjelaskan bahwa
penjualan surplus produksi sebagai sumber
pendapatan rumahtangga sangat tergantung
pada kepekaan output dan permintaan
terhadap harga dan efek keuntungan
rumahtangga.
Model ekonomi rumahtangga
pertanian tersebut, pertama kali
diintroduksikan untuk menjelaskan temuan
empiris yang bersifat counterintuitive,
dimana kenaikan harga bahan makanan
pokok tidak secara signifikan
meningkatkan surplus pasar di sektor
pertanian Jepang (Kuroda dan Yotopoulos,
1978). Model ini menjelaskan keterkaitan
antara keputusan produksi dan konsumsi.
Dari sisi produsen, rumahtangga pertanian
harus memilih alokasi tenaga kerja dan
beragam input produksi lainnya, dan dari
sisi konsumen, rumahtangga harus
menentukan alokasi pendapatan dari
keuntungan pertanian dan partisipasi kerja
pada pekerjaan lain untuk barang dan jasa
konsumsi. Keuntungan pertanian
mencakup keuntungan yang melekat pada
barang yang diproduksi dan dikonsumsi
oleh rumahtangga yang sama, dan
konsumsi mencakup barang yang dibeli
serta diproduksi sendiri. Sepanjang pasar
barang dialokasikan pada pasar yang
bersaing sempurna, termasuk tenaga kerja,
maka rumahtangga akan indifferent antara
mengkonsumsi barang yang diproduksi
sendiri dan barang yang dibeli melalui
mekanisme pasar. Dengan mengkonsumsi
seluruh atau sebagian output yang dapat
dijual pada harga pasar tertentu,
rumahtangga secara melekat membeli
barang dari dirinya sendiri. Kemudian,
dengan mengalokasikan waktu untuk
istirahat atau kegiatan produksi,
rumahtangga secara melekat membeli
sumber daya waktunya sendiri, yang
dinilai dengan upah pasar. Model ini
diterapkan terhadap sektor pertanian yang
mengkonsumsi sebagian outputnya atau
sebagian inputnya, yaitu pertanian tanaman
pangan.
IV. MODEL EKONOMI RTPM
Pengertian kemiskinan tidak
memiliki pengertian tunggal. Tapi
bagaimanapun, menurut Glewwe (2003)
pengertian umumnya adalah standar hidup
layak minimal yang harus diperoleh
individu dan rumahtangga jika mereka
memiliki kesempatan hidup. Di dalam
mereplikasi fitur ekonomi RTPM,
kebutuhan dasar (subsisten) perlu
diinkorporasikan ke dalam fungsi utilitas
mereka. Belajar dari Henderson dan
Quandt (1980) fungsi utilitas Stone-Geary
karenanya cocok untuk menangkap ciri
RTPM ini. Relaksasi model ekonomi
rumahtangga untuk membuat model
ekonomi rumahtangga pertanian miskin,
dilakukan dengan menginkorporasikan
fungsi utilitas tersebut ke dalam fungsi
utilitas yang dijelaskan pada model dasar.
Fungsi utilitas RTPM disajikan pada
persamaan [12].
U = (X„-Cj'»(X,-Cj'-(X.-Cj^- [12]
(X,-Cj''(X^-Cj^'
dimana U adalah utilitas RTPM. Xm, Xs,
Xi, Xh, dan X„ secara berurutan adalah
jumlah konsumsi komoditi yang tersedia di
pasar, komoditi yang dihasilkan suami,
komoditi yang dihasilkan istri, waktu
senggang suami dan waktu senggang istri.
Cm, Cs, Cl, Ch, dan C„ adalah jumlah
konsumsi subsisten (kebutuhan dasar) dari
setiap komoditi yang dijelaskan
sebelumnya.
Fungsi utilitas Stone-Geary
menunjukkan tingkat pengembalian yang
konstan {constan return to scale) atau
mirip dengan properti fungsi Cobb-
Douglass, dimana ^Sz = 1, untuk z = m, s,
i, h, w. Rumahtangga yang pas-pasan atau
subsisten dicirikan oleh Xi = Cj, untuk i =
65
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
m, s, i, h, w, dan untuk RTPM dicirikan
oleh Xi < Cl, untuk i = m, s, i, h, w.
Kesejahteraan rumahtangga subsisten
bersifat konstan, hal ini disebabkan karena
mereka tidak menerima utilitas dari
konsumsi komoditas yang setara dengan
jumlah kebutuhan dasar setiap
komoditinya.' Sedangkan bagi RTPM,
jelas bahwa jika seluruh komoditi yang
dikonsumsinya berada di bawah jumlah
kebutuhan dasarnya, maka utilitas RTPM
menjadi irrasional, sedangkan jika hanya
separohnya atau salah satu konsumsinya
berada di bawah kebutuhan dasarnya,
maka utilitas RTPM hanya diperoleh dari
sebagian komoditi yang mana
konsumsinya di atas kebutuhan dasarnya.
Mirip dengan model dasar ekonomi
rumahtangga, kendala di dalam
memaksimisasi fungsi utilitas RTPM
adalah pendapatan potensial, sumberdaya
waktu dan fungsi produksi RTPM.
Selanjutnya, diasumsikan bahwa
pendapatan RTPM bersifat endogen.
Sebagai contoh, rumahtangga petani gurem
memperoleh pendapatan dari hasil
penjualan surplus produksi ubinya.
Dimana penjualan surplus ini merupakan
jumlah hasil panen ubi yang dijual setelah
dikurangi oleh kebutuhan dasar mereka
atas ubi. Surplus produksi dalam hal ini
merupakan pendapatan yang menjadi
sumber pengeluaran rumahtangga petani
gurem. Konsekuensi lainnya, jika hasil
panen ubi sama dengan jumlah kebutuhan
dasarnya, maka rumahtangga ini tidak akan
memperoleh pendapatan uang, besarnya
hasil panen sama dengan besarnya
kebutuhan dasar rumahtangga. Dari uraian
ini, secara intuitif menunjukkan bahwa
keputusan konsumsi tidak bisa dipisahkan
dengan keputusan produksi RTPM.
Anggaran RTPM merupakan kendala
Setiap bilangan nol dipangkalkan dengan bilangan
rasional hasilnya sama dengan nol, karenanya
utilitas. U, sama dengan nol
dalam memaksimisasi fungsi utilitasnya.
Anggaran RTPM dispesifikasi melalui
persamaan [13].
P.„.X„ = Y = P,(Q, - X,) + P,(Q, - X0
+ PhToh + PwTow
V,.K,-V,K. + E
[13]
dimana P^, Ps, Pi, Ph, P„ secara berurutan
adalah harga komoditi konsumsi yang
dibeli di pasar, harga produk yang
dihasilkan suami, harga produk yang
dihasilkan istri. Notasi Qs, Qi, Toh, To„,
dan E secara berurutan adalah jumlah
produk yang dihasilkan suami, jumlah
produk yang dihasilkan istri, waktu kerja
suami pada pekerjaan lain, waktu kerja
istri pada pekerjaan lain, dan pendapatan
eksogen (pinjaman dan/atau pemberian
dari pihak luar RTPM). Notasi Vs dan V,
secara berurutan adalah harga input
variabel lainnya yang digunakan dalam
kegiatan produksi suami dan istri,
sedangkan Ks dan Kj adalah jumlah input
variabel lainnya yang digunakan dalam
kegiatan produksi mereka masing-masing.
Persamaan [13] menjelaskan bahwa
sumber pengeluaran RTPM untuk membeli
komoditi konsumsi yang tersedia di pasar
bersumber dari pendapatan RTPM yang
diperoleh dari penjualan surplus produksi
{marketed surplus) suami dan istri
ditambah dengan pendapatan suami dan
istri dari pekerjaan sambilannya, dikurangi
dengan biaya produksi dalam kegiatan
produksi suami dan istri dan ditambah
pendapatan eksogen.
Kendala kedua adalah kendala
sumberdaya waktu yang dimiliki oleh
suami dan istri, dinyatakan pada
persamaan [14].
Th - Xh + Tws + Toh
T = y + T + T
J- w -'^.w J- wi J- ow
[14]
Notasi Th dan T„ adalah total sumberdaya
waktu yang masing-masing dimiliki oleh
suami {husband) dan istri {wife). Suami
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
66
dan istri secara umum mengalokasikan
sumberdaya waktunya untuk waktu santai
(Xh dan X„), kegiatan produksi mereka
(T„s dan T„i), serta alokasi waktu untuk
pekerjaan lain sebagai pekerjaan sambilan
misalnya (Toh dan T„„).
Kendala kedua dapat dicolapse
menjadi kendala tunggal, yaitu dengan cara
mensubstitusikan identitas variabel waktu
untuk pekerjaan sambilan suami dan istri,
masing-masing pada persamaan [14] ke
dalam persamaan [13], dan dengan
menyusunnya kembali menurut komponen
pengeluaran konsumsi, pendapatan dan
pengeluaran produksi diperoleh.
PmXin + PhXh + Pw■X^^, -
Ps(Qs-X,) + P.(Q.-XO+Ph.Th
+ Pw.Tw- (Pi,T„, + P„.T„, + V,.K,
+ V,.KO + E
[15]
Persamaan [15] menyatakan pendapatan
potensial RTPM, atau menurut Becker
(1965) disebut dengan "full income".
Istilah "potensial" muncul karena
diinkorporasikannya nilai sumberdaya
waktu suami dan istri (Ph.Th + PwT„).
Pendapatan potensial berikutnya dapat
didefinisikan sebagai pendapatan RTPM
seandainya seluruh waktu digunakan untuk
kegiatan produktif. Sisi kiri persamaan
tersebut menunjukkan pengeluaran RTPM
untuk komoditi konsumsi, term pertama
dan kedua sisi kanan persamaan tersebut
menyatakan pendapatan RTPM dari
penjualan surplus produksi yang dihasilkan
suami dan istri. Dan term kelima
(persamaan dalam tanda kurung)
menyatakan pengeluaran atau biaya
produksi RTPM. Persaman [15]
menegaskan bahwa pendapatan RTPM
bersifat endogeneous. Untuk
penyederhanaan, kita ringkas seluruh term
sisi kanan persamaan [15'] dengan Y*,
seperti dinyatakan pada persamaan [4'].
Kendala terakhir yang dihadapi
RTPM dalam upaya memaksimisasi
kesejahteraannya adalah kendala fungsi
produksi suami dan istri. Untuk
penyederhanaan kendala ini dinyatakan
secara implisit (implicit joint production
function).
G(Qs,Q.;Kks,Kk,F)
[16]
Y* = P„.X„ + Ph.Xh + PwX„
[15'
Notasi G menyatakan bentuk fungsi
produksi yang diasumsikan seolah
cembung. Dimana tambahan produksi
mengalami penurunan seiring dengan
tambahan penggunaan input variabel.
Notasi "F" dalam persamaan [16]
menyatakan input tetap RTPM.
Berikutnya dianggap bahwa RTPM
berperilaku rasional^, sehingga
konsekuensinya penentuan jumlah
komoditi yang mesti diproduksi dan
dikonsumsi berbasis pada equimarginal
principle. Eguimarginal principle dapat
kita tentukan dengan cara memaksimisasi
fungsi utilitas RTPM dengan syarat ikatan
fungsi pendapatan potensial [15] dan
fungsi produksi gabungan [16]. Dalam
bentuk fungsi Lagrangean, perilaku
maksimisasi ini disimplifikasi pada
persamaan [17].
£ = (J^„ -Cj'- (X, -C,f (J^ -C,)'- (J^, -Q,)^ (X„ -Cj--
+ ^{P,(Q, - X,) + P.(Q. - X) + Pi,Th
+ P„.T„ - (Pi,T„, + P„.T„, + V,K, + V,KO
-(P„.X„ + Pi,Lh + P„.LJ+E}
+ eG(Q,,Q.;T„,,T„.,Kk,,Kk,F) [17]
Pengalaman penulis melalui wawancara secara
random dengan para petani di Jawa Barat dalam
waktu dan tempat yang berbeda menunjukkan
bahwa variable harga input dan harga output
menjadi pertimbangan RTPM dalam keputusan
ekonomi tertentu. Pengamatan random ini
menunjukkan bahwa prinsip equimarginal
exsistences dalam keputusan ekonomi RTPM.
67
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
Turunan parsial dari persamaan [17]
disajikan sebagai pada persamaan [18].
S£/ex,
5 %S,
Xz-Cz
=
[18.1a]
d£ldX
= Y* -P X
=
[18.1b]
\rk e£/SQn
= p„ +e/XG„
=
[18.2a]'
IIX 3£/STws
= -Ph + e/A,G„s
=
[18.2b]
IIX S£/3Twi
= -Pw + e/>.Gwi
=
[18.2C]
i/x a/SKfa
= -v, + e/XGfa
=
[18.2d]
11% a/SKM
=
[18.2e]
S£/se
Kk,F)
=
[18.21]
[18]
Disini diasumsikan bahwa
keputusan ekonomi RTPM ditentukan
secara rekursif atau separabel, meski
keduanya simultan dalam variabel waktu.
Persamaan [7.2a] menunjukkan bahwa
kombinasi jumlah produksi suami dan istri
ketika kurva isorevenue menyinggung di
satu titik pada kurva tingkat pergantian
produk {rate of product transformastion,
RPT). Dimana kemiringan isorevenue
ditunjukkan oleh kemirinan rasio harga
produk suami dan istri. Bagi rumahtangga
subsisten, harga tidak menjadi insentif
dalam keputusan produksinya. Alokasi
waktu kerja suami-istri RTPM dan
penggunaan input variabel lainnya yang
optimal ditentukan dengan equimarginal
principle. Waktu kerja yang dialokasikan
oleh RTPM dalam garapan produksinya
masing-masing ditentukan ketika
tambahan penerimaan atas tambahan
waktu kerja, Gkn (untuk n = h, w), sama
dengan tambahan pengeluaran atas
tambahan waktu kerja, dimana mereka
menyetarakannya dengan tingkat upah
pada pekerjaan sambilan. Jika mereka
untuk z = m, s, i, h, w
untuk n = s dan i
tidak memiliki pekerjaan sambilan, maka
alokasi waktu kerja itu ditentukan secara
subyektif yang bisa dipastikan menjadi
penyebab inefisiensi produksinya.
Penentuan jumlah input variabel lainnya
serupa dengan keputusan alokasi waktu
kerja. Dengan memecahkan persamaan
[18.2], maka kita dapat memperoleh
determinan dalam penawaran produk dan
permintaan input RTPM, hasilnya
disajikan pada persamaan [19].
Q„(P,,P„Ph,Pw,V,,VO, [19.1]
untuli n = s dan i
T™(Ps,P.Ph,Pw,V,,VO, [19.2]
untuli n = h dan
w
K^Ps, P. Ph, Pw, V,, VO, [19.3]
untuk n = s dan i
Hasil dari proses pengambilan
keputusan produksi RTPM menentukan
besarnya pendapatan potensial mereka.
Keputusan produksi sebelumnya
menentukan keuntungan melalui hasil
produksi aktual, Qs dan Qi, serta
menentukan biaya produksi melalui
penentuan alokasi waktu kerja dan input
variabel lainnya. Besarnya pendapatan
potensial ini selanjutnya menjadi kendala
RTPM dalam mencapai tingkat
kesejahteraannya melalui keputusan
konsumsi yang menentukan tingkat
utilitasnya. Dengan memecahkan
persamaan [18. la] dan [18. Ib], maka kita
dapat memperoleh determinan fungsi
permintaan RTPM, seperti disajikan pada
persamaan [20].
X,= C, + a,/P,(Y*-P,,.C„,
untuk Z = m. S, i, h, w [9]
Persamaan tersebut menyatakan bahwa
permintaan RTPM atas beragam komoditi
konsumsi ditentukan oleh kebutuhan
dasarnya yang bersifat konstan, nilai
tambahan kegunaan atas tambahan
konsumsi setiap komoditinya, (a^/Pz),
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
68
pendapatan potensialnya, dan seluruh
harga komoditi yang membentuk fungsi
utilitasnya. Karena pendapatan potensial
RTPM bersifat endogen, maka suatu
perubahan dalam harga komoditi konsumsi
akan menciptakan pengambilan keputusan
konsumsi yang cukup kompleks bagi
RTPM.
Contoh untuk mengevaluasi dampak
perubahan harga produk pertanian
disajikan pada persamaan [10]. Persamaan
tersebut menjelaskan bagaimana
perubahan konsumsi komoditi RTPM
seandainya terjadi shock yang
menyebabkan perubahan harga atas produk
yang dihasilkan suami.
dX,/dP, = (a,/P,2).(Q, - X, - C,).(eY*/eP,)
[10]
- ^sfPs z Pz-Cz
untuk z = m, i, h, w
Besarnya perubahan konsumsi
rumahtangga atas produk yang dihasilkan
oleh suami dalam menanggapi perubahan
harga produknya sendiri secara intuitif
dapat dikatakan mendekati inelastik
(hampir tidak peka). Pengaruhnya
dipastikan negatif, tapi hampir mendekati
nol. Hal ini menunjukkan bahwa RTPM
akan sangat sulit untuk melepaskan bagian
produksinya ke pasar. Jadi walaupun suami
merespon positif terhadap kenaikan harga
produknya, {dQJdVs > 0), namun dengan
kondisi permintaan RTPM yang hampir
tidak peka terhadap perubahan harga, maka
peluang RTPM untuk meningkatkan
pendapatannya melalui penjualan surplus
produksi suami sangatlah kecil. Intuisi ini
memberikan implikasi, bahwa kebijakan
ekonomi melalui pengendalian instrumen
harga produk pertanian sangat sulit untuk
mendorong RTPM dalam meningkatkan
produksi tanaman pangan. Bahkan,
kebijakan ekonomi untuk mendorong
komersialisasi sebagaimana dikemukakan
oleh Eskola (2004) bukan syarat utama
untuk meredam kemiskinan petani.
Komersialisasi pertanian yang
dioperasionalisasikan oleh peningkatan
akses pasar dan informasinya bagi petani
dikhawatirkan tidak mendorong kenaikan
produksi, karena batas produksinya yang
terbatas.
Model rumahtangga miskin petani
yang dibangun ini dapat menjadi kerangka
kerja untuk menggali alternatif kebijakan
dalam rangka mengatasi kemiskinan
petani. Dengan mempertimbangkan
properti ekonomi RTPM yang disajikan
sebelumnya, kita dapat membuat
simplifikasi berikutnya dalam wujud grafis
yang disajikan pada Gambar 1. Gambar
tersebut menjamin konsistensi dengan
penjelasan secara matematis. Gambar
tersebut terdiri dari empat kuadran. Ada
tiga kuadran yang penting untuk dipahami
dalam memprediksi dampak kebijakan
ekonomi terhadap rumahtangga miskin
pertanian. Kuadran pertama menjelaskan
fungsi produksi pertanian yang dikerjakan
oleh istri petani. Disamping kanannya,
kuadran dua, menjelaskan batas
kemungkinan produksi rumahtangga
pertanian. Garis vertikal pada kuadran ini
menunjukkan besarnya jumlah produksi
istri petani secara neto, dan garis horisontal
menunjukan besarnya jumlah produksi
suami yang dihasilkan suami secara neto.
Istilah neto tersebut menjelaskan
keputusan produksi dan konsumsi secara
simultan. Produksi neto tersebut
menunjukkan selisih antara jumlah
komoditi tanaman pangan yang diproduksi
dengan yang dikonsumsi. Kuadran di
bawahnya, kuadran keempat, menunjukkan
fungsi produksi yang dikerjakan oleh
suami. Notasi pada gambar tersebut
konsisten dengan notasi yang digunakan
dalam penjelasan matematis.
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
69
Gambar 1. Kerangka Kerja Ekonomi Rumahtangga Miskin Usaha Tani Tanaman
Pangan
V. DISKUSI KEBIJAKAN
EKONOMI
Gambar tersebut menampilkan tiga
macam kasus terkait dengan keputusan
ekonomi RTPM. Kasus pertama, jumlah
produksi suami lebih besar dari kebutuhan
dasarnya (Qs^ > Cs^). Dimana jumlah
produksi ini merupakan hasil dari
keputusan alokasi input variabel dengan
rasio K^s^^/T^s"^. RTPM memiliki surplus
yang bisa dijual dan menjadi sumber
pembelian komoditi yang tersedia di pasar.
Dikombinasikan dengan jumlah komoditi
konsumsi lainnya, maka kita dapat
menganalisis kesejahteraan RTPM pada
kurva indifferen, IA. Kasus kedua, jumlah
hasil produksi suami dan istri sama dengan
besarnya kebutuhan dasar kedua produk
tersebut. Kasus ini merupakan kasus
rumahtangga subsisten, dan RTPM tidak
memiliki iso revenue - tidak memiliki
pendapatan, sehingga tidak mampu
membeli komoditi konsumsi yang tersedia
di pasar. Kasus ketiga {the real poor),
besarnya hasil produksi RTPM lebih
rendah dari besarnya kebutuhan dasar atas
produk mereka. Kasus ini merupakan
kasus irrasional yang direpresentasikan
oleh IC. Kemampuan dan hasil produksi
RTPM tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya - tidak ada surplus yang bisa
dijual dan tidak ada pendapatan uang kas
untuk memenuhi pembelian komoditi yang
70
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007). 56 - 71
tersedia di pasar. Kasus ketiga memberikan
tiga pilihan ketat bagi RTPM. Pertama,
boleh jadi ia terdorong untuk melanggar
norma/aturan/kaidah yang berlaku untuk
memperoleh tambahan komoditi
konsumsinya. Kedua, RTPM harus
menambah pendapatan eksogennya, misal
dengan cara meminjam atau melakukan
urbanisasi ke perkotaan, dan boleh jadi
berpotensi menjadi ''beggar". Sedangkan
pilihan ketiga adalah memanfaatkan
komoditi yang tersedia tapi berpotensi
untuk mengakibatkan busung lapar, lack of
nutrition, dan pilihan keempat adalah
melakukan likudasi asset yang mereka
miliki dengan resiko keadaan ekonomi
kedepan cenderung lebih buruk. Dari
keempat kemungkinan pilihan tindakan,
nampak tidak ada pilihan yang paling baik.
Semua pilihan tersebut akan membuahkan
hasil yang tidak menguntungkan bagi
RTPM. Dan persolan ini melegalisasi
campur tangan pemerintah dengan segera
{immediately).
Gagasan mendasar untuk meredam
kemiskian tipe ini adalah dengan
menambah kapasitas produksi terhadap
RTPM. Berdasarkan analisis statika
komparatif, alternatifnya adalah kebijakan
non harga. Karena itu, kebijakan reformasi
lahan {land reform ploicy) merupakan
alternatif yang dapat dipertimbangkan.
Melalui regulasi, kebijakan tersebut
dioperasionalisasikan dengan cara
merelokasi lahan yang tidak
diproduktifkan kepada RTPM. Sedangkan
melalui mekanisme pasar, alternatifnya
adalah dengan mengkreasi kebijakan
ekonomi yang berpotensi untuk
menciptakan land pricing berbasis pada
produktivitasnya.
VI. SIMPULAN
Model ekonomi RTPM yang
disajikan dalam paper ini merupakan
spesifikasi dari model ekonomi rumtangga.
Dengan membandingkan model dasar
dengan model yang dikembangkan penulis,
spesifikasinya terletak pada fungsi utilitas.
Fungsi utilitas tersebut menangkap
karakter kemiskinan, yaitu pendapatan
lebih rendah dari nilai kebutuhan dasar.
Hasil pemecahan model
mempromosikan kebijakan reformasi lahan
sebagai dasar untuk meredam kemiskinan
petani. Hasil analisis statika komparatif
menunjukkan bahwa efek perubahan harga
tidak memberikan dorongan yang kuat
terhadap perubahan produksi. RTPM
diperkirakan sulit untuk melepas surplus
produksinya ke pasar tanaman pangan,
karena terdesak oleh pemenuhan
kebutuhan subsisten.
Argumentasi tersebut sifatnya masih
tentatif Bagaimanapun, fungsi utilitas dan
fungsi produksi RTPM perlu untuk
diestimasi parameternya untuk
memberikan informasi yang lebih spesifik.
Namun demikian, model ini berpotensi
untuk menjadi kerangka kerja di dalam
menjelaskan perilaku ekonomi RTPM.
Dari sana bisa dipertimbangkan beberapa
variabel ekonomi yang perlu dikaji secara
empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Amason, R, and Kashorte, M. 2006.
Commercialization of South
Africa's Subsistence Fisheries ?
Considerations, Criteria and
Approach. International Journal of
Oceans and Oceanography ISSN
0973-2667 Vol.I No.l (2006), pp.
45-65.
Arifm, Bustanul. 2006. Refleksi Strategi
Pengentasan Kemiskinan. Bisnis &
Ekonomi Politik, Vol.7 (4). Jakarta.
Becker, Gary S. A Theory of the
Allocation of Time. Economic
Journal, Vol. 75, No. 299,
(September 1965), 493-517.
(Reprinted in Becker [1976]).
Datt, G. and D. Jolhffe. 2005. Poverty in
Egypt Modeling and Policy
Sunday a/Kinerja : Jurnal Ilmu Ekonomi, Akuntansi dan Manajemen (2007): 56 - 71
71
Simulations. Economic
Development and Cultural Change.
TheUniversityofChicago. Chicago.
de Janvry, A. Sadoulet, E and Zhu, N.
2005. The Role of Non-Farm Inc
ome s in Re duc ing Rural Poverty
and Ine quality in China. CUDARE
Working Papers. DepaRTPMent of
Agricultural & Resourc e
Economics. Cahfornia.
de Janvry, A and Sadoulet, E. 1996.
Household Modelling for The
Design of Poverty Alleviation
Strategies. California Agricultural
Experiment Stasion Giannini
Foundation of Agricultural
Economics January. California.
Eskola, E. 2005. Commercialisation and
Poverty in Tanzania: Household-
level Analysis. Discusion Paper
DepaRTPMent of Economics.
University of Copenhagen.
Denmark.
Glewwe, P. 2003. Using multi-topic
household surveys to improve
poverty reduction policies in
developing countries.
DepaRTPMent of Apphed
Economics University of Minnesota.
St. Paul, Minnesota, United States of
America.
Henderson, J.M and Quandt, R.E. 1980.
Microeconomic Theory. McGraw-
Hill Book Co, Third Edition.
Singapore.
Kuroda, Yoshimi and Pan Yotopoulos.
1978. A Microeconomic Analysis of
Production Behaviour of Farm
Household in Japan : A Profit
Function Approach. The Economic
Review. Japan.
Mora, J and Taylor, J.E. Determinants of
Migration, Destination, and Sector
Choice: Disentangling Individual,
Household and Community Effects.
Pollak, R. S. 2002. Gary Becker's
Contributions to Family and
Household Economics. Dept. of
Economics. Washington University
in St. Louis.
Pasha, H.T and Palanivel, T. 2004. Pro -
Poor Growth and Policies : The Asia
Experiment. Asia-Pacific Regional
Programme on the Macroeconomics
of Poverty Reduction, United
Nations Development Programme.
Pyatt, G. 2003. An Altemative Approach
to Poverty Analysis. Economic
Systems Reasearch.
Singh, 1, Squire, L, Strauss, J. 1986.
Agricultural Household Models:
Extensions,Applications, and Policy,
The John Hopkins University Press,
Baltimore.
Schreinemachers, P and Berger, T. 2006.
Simulating farm household poverty:
from passive victims to adaptive
agents. Contributed paper prepared
for presentation at the International
Association of Agricultural
Economists Conference, Gold Coast,
Australia, August 12-18, 2006 .
Australia.
Taylor, J.E, and Adelman, 1. 2003.
Agricultural Household Model
Genesis, Evolution and Extension.
Kluwer Academic Publisher.
Netherlands.
Taylor, J.E, Mora, J. Adam, Feldman.
2005. Remittances, lnequality and
Poverty: Evidence from Rural
Mexico. Selected Paper prepared for
presentation at the American
Agricultural Economics Association
Annual Meeting, Providence, Rhode
Island, July 24-27, 2005.