Skip to main content

Full text of "Tafsir Ibn Katsir Juz 2"

See other formats


AL-1MAM ABUL FIDA ISMA'IL IBNU KASIR AD-DIMASYQI 

Tafsir 

Ibvw Kasir 






2 

Al-Baqarah 142 s.d. Al-Baqarah 252 

■*■ 

SINAR BARU ALGENSINDO 




1 



JUZ 2 

KAMPVMGWMMiM 



Al-Baqarah, ayat 142-143 



Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan ber- 
kata, "Apakah yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Bakul 
Maqdis) yang dahulu mereka lelah berkiblat kepadanya?" Kata- 
kanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi pe- 
tunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. 
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) 
umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (per- 
buatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi 
atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan kiblat 
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami 
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan 



siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu 
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi 
petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imun 
kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha 
Penyayang kepada manusia. " 

Menurut Az-Zujaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini 
ialah orang-orang musyrik Arab. Menurut Mujahid adalah para rahib 
Yahudi. Sedangkan menuait As-Saddi, mereka adalah orang-orang 
munafik. Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka 
semua. 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Na'im; ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadis berikut dari 
Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a., bahwa Rasulullah Saw. salat menghadap 
ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal 
dalam hatinya beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah 
Baitullah Ka'bah. Mula-mula salat yang beliau lakukan (menghadap 
ke arah kiblat) adalah salat Asar, dan ikut salat bersamanya suatu 
kaum. Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang 
salat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu mas- 
jid yang sedang mengerjakan salat (menghadap ke arah Baitul Maq- 
dis), maka ia berkata, "Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku 
telah salat bersama Nabi Saw. menghadap ke arah Mekah (Ka'bah)." 
Maka jamaah tersebut memutarkan tubuh mereka yang sedang salat 
itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki yang mening- 
gal dunia selama salat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum di- 
pindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak mengetahui apa yang harus 
kami katakan mengenai mereka. Maka Allah Swt. menurunkan fir- 
man-Nya: 

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguh- 
nya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manu- 
sia. (Al-Baqarah: 143) 



Imam Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadis ini melalui 
sanad tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi melalui 
jalur sanad yang lain. 

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepada- 
ku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang men- 
ceritakan hadis berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. salat 
menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pan- 
dangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Maka 
Allah menurunkan firman-Nya: 

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, 
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang ka- 
mu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al- 
Baqarah: 144) 

Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum muslim mengatakan, "Kami 
ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh orang-orang yang te- 
lah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat 
(Ka'bah), dan bagaimana dengan salat kami yang menghadap ke arah 
Baitul Maqdis." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



/jciiji^iiiio^j 



Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 

143) 

Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara ma- 
nusia; mereka adalah Ahli Kitab, yang disitir oleh firman-Nya: 

Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya 
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al- 
Baqarah: 142) 



Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan ber- 
kata. (Al-Baqarah: 142), hingga akhir ayat. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah 
menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah salat menghadap ke arah 
Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan 
hati beliau Saw. lebih suka bila diarahkan menghadap ke Ka'bah, ma- 
ka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, 
maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang ka- 
mu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al- 
Baqarah: 144) 

Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi Saw. mengha- 
dapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah orang-orang yang 
kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang di- 
sitir oleh firman-Nya: 

Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya 
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al- 
Baqarah: 142) 

Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia membe- 
ri petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lu- 
rus." (Al-Baqarah: 142) 

Ali ibiui Abu Talilah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika 
Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar 
menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya). Maka orang- 
orang Yahudi gembira melihatnya, dan Rasulullah Saw. menghadap 
kepadanya selama belasan bulan, padahal di dalam hati beliau Saw. 
sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim. Untuk 
itu. beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta sering 
menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan 
firman-Nya: 



Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144) 



Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka 
mengatakan: 

Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya 
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? 
(Al-Baqarah: 142) 

Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia mem- 
beri petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang 
lurus." (Al-Baqarah: 142) 

Banyak hadis yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besar- 
nya menyatakan bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. menghadap ke 
arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau Saw. ketika di Mekah selalu 



salat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. De- 
ngan demikian, di hadapannya ada Ka'bah; sedangkan ia menghadap 
ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis (Yeaissalcm). Ketika beliau Saw. 
hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun kedua kiblat itu; 
maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah 
Baitul Maqdis. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama. 

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah 
Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah 
melalui Al-Qur'an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya. 

Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikri- 
mah Abui Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke Bai- 
tul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi Saw. sendiri. Yang di- 
maksudkan dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau 
Saw. tiba di Madinah. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi Saw. selama 
belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa dan ibtihal 
kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar dihadapkan ke arah 
Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut diper- 
kenankan oleh Allah, lalu Allah Swt. memerintahkannya agar meng- 
hadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah Saw. berkhotbah kepada 
orang-orang dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada me- 
reka. Salat pertama yang beliau lakukan menghadap ke arah Ka'bah 
adalah salat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam kitab 
Sahihain melalui hadis Al-Barra r.a. 

Akan tetapi, di dalam kitab Imam Nasai melalui riwayat Abu 
Sa'id ibnul Ma'la disebutkan bahwa salat tersebut (yang pertama kali 
dilakukannya menghadap ke arah Ka'bah) adalah salat Lohor. Abu 
Sa'id ibnul Ma'la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk 
orang-orang yang mula-mula salat menghadap ke arah Ka'bah. 

Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya 
menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah 
Saw. ketika beliau Saw. salat dua rakaat dari salat Lohor, turunnya 
wahyu ini terjadi ketika beliau sedang salat di masjid Bani Salimah, 
kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain. 

Di dalam hadis Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang 
kepada mereka berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam sa- 
lat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, "Setelah ada 



berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wa- 
nita dan kaum wanita menduduki tempat kaum laki-laki." Demikian- 
lah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul 
Bar An-Namiri. 

Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada 
mereka pada salat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan di 
dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari Ibnu 
Umar r.a. yang menceritakan: 

Ketika orang-orang sedang melakukan salat Subuh di Masjid 
Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang me- 
ngatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menerima 
wahyu tadi malam yang memerintahkan agar menghadap ke 
arah Ka'bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke Ka'bah. Saat 
itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka 
berputar ke arah Ka'bah. 

Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hukum 
yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti kecuali setelah 
mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah berlalu. 
Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi salat 
Asar, Magrib, dan Isya. 

Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum 
munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan 
keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka 
mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 

4. 



(ifcV 



» W^Xffij%^ls*-^}ie^& 



Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya 
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" 
(Al-Baqarah: 142) 

Dengan kata lain, mereka bermaksud 'mengapa kaum muslim itu se- 
sekali menghadap ke anu dan sesekali yang lain menghadap ke anu'. 
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap 
mereka: 






Katakanlah, "Kepunyaan Allah -lah timur dan barat." (Al-Baqa- 
rah: 142) 

Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan 
semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. 

Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. 
(Al-Baqarah: 115) 

Adapun firman-Nya: 



Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu 
suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebak- 
tian orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177) 

Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai kebaktian bilama- 
na didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah. Untuk itu ke 
mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat yang 
sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun 
setiap hari kita diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita 



adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita 
adalah pelayan-pelayan-Nya; ke mana pun Dia mengarahkan kita, 
maka kita harus menghadap ke arah yang diperintahkan-Nya. 

Allah Swt. mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan 
Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Hal ini ditun- 
jukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk meng- 
hadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemu- 
rah, yaitu menghadap ke arah Ka'bah yang dibangun atas nama Allah 
Swt. semata,tiada sekutu bagi-Nya. Ka'bah merupakan rumah Allah 
yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia dibangun oleh 
kekasih Allah Swt., Nabi Ibrahim a. s. Karena itu, di dalam firman- 
Nya disebutkan: 

Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia membe- 
ri petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lu- 
rus." (Al-Baqarah: 142) 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu Asim, dari Husain ibnu 
Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy'As, 
dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah bersabda sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: 

Sesungguhnya mereka belum pernah merasa dengki terhadap se- 
suatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari 
Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mere- 
ka sesat darinya; dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh 
Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas 
ucapan kita amin di belakang imam. 



11 



orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian 
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al- 
Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan 
supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia. (Al- 
Hajj! 78) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waqi\ 
dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id yang menceritakan 
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



__ s*i 

t, 






Afafc/ Afwfc fce/afc dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepa- 
danya, "Apakah engkau telah menyampaikan (risalahmu)?" Nuh 
menjawab, "Ya." Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada 
mereka, "Apakah dia telah menyampaikannya) kepada kalian?" 
Maka mereka menjawab, "Kami tidak kedatangan seorang pem- 
beri peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang ke- 
pada kami." Lalu ditanyakan kepada Nuh, "Siapakah yang ber- 
saksi untukmu?" Nuh menjawab, "Muhammad dan umatnya." 
Abu Sa'id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firman- 
Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat 
Islam) umat yang adil" (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya 
adil. Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan per- 
saksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) 
kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula 
terhadap kalian. 



12 



Hadis riwayat Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Imam Nas^i. Ain Lt.^ti 
Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari 
Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Ra- 
sulullah Saw. pernah bersabda: 




";<,S'l"" ^il7« "'K ^,"-i.'< . ' , \'9<- ■"*$"" 9'l 

Seorang nabi dalang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki 
atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, "Apa- 
kah nabi ini telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Mereka 
menjawab, "Tidak." Maka dikatakan kepada si nabi, "Apakah 
kamu telah menyampaikannya) kepada mereka?" Nabi menja- 
wab, "Ya." Lalu dikatakan kepadanya, "Siapakah yang menjadi 
saksimu?" Nabi menjawab, "Muhammad dan umatnya." Lalu di- 
panggillah Muhammad dan umatnya dan dikatakan kepada me- 
reka, "Apakah nabi ini telah menyampaikan kepada kaumnya?" 
Mereka menjawab, "Ya." Dan ditanyakan pula, "Bagaimana ka- 
lian dapat mengetahuinya?" Mereka menjawab, "Telah datang 
kepada kami Nabi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bah- 



13 



wa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya." Yang demi- 
kian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah 
menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian men- 
jadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Mu- 
hammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" (Al-Baqarah: 
143). 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu 
Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu 
Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Nabi Saw. sehubungan dengan 
firman-Nya: 

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) 
umat yang adil. (Al-Baqarah: 143) 

Bahwa yang dimaksud dengan wasatan ialah adil. 

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Ibnu Abu Hatim meri- 
wayatkan melalui hadis Abdul Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik Al- 
Asyja'i, dari Al-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang mengatakan 
bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari 
Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah ber- 
sabda: 

Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit 
yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun 
di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah 
seorang di antara kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang di- 
dustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa na- 
bi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya. 



14 



Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Musiadrak-nya dan Ibnu 
Murdawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut apa 
yang ada pada Ibnu Murdawaih melalui hadis Mus'ab ibnu Sabit, dari 
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Jabir ibnu Abdullah yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. menghadiri suatu jenazah di ka- 
langan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah 
Saw. Maka sebagian dari mereka mengatakan, "Demi Allah, wahai 
Rasulullah, dia benar-benar orang yang baik, sesungguhnya dia se- 
masa hidupnya adalah orang yang memelihara kehormatannya lagi 
seorang yang berserah diri (muslim)," dan mereka memujinya dengan 
pujian yang baik. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Anda berani me- 
ngatakan yang seperti itu?" Maka laki-laki itu menjawab, "Hanya 
Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, 
begitulah." Maka Nabi Saw. bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." 

Kemudian Rasulullah Saw. menghadiri pula jenazah lain di ka- 
langan Bani Harisah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah 
Saw. Maka sebagian dari mereka (orang-orang yang hadir) berkata, 
"Wahai Rasulullah, dia adalah seburuk-buruk manusia, jahat lagi ke- 
jam." Lalu mereka membicarakannya dengan pembicaraan yang bu- 
ruk. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada sebagian mereka, "Anda 
berani mengatakan yang seperti itu?" Jawabnya, "Hanya Allah Yang 
Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." 
Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." 

Mus'ab ibnu Sabit berkata, "Pada saat itu Muhammad ibnu Ka'b 
mengatakan kepada kami, 'Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasu- 
lullah Saw. itu,' kemudian ia membacakan firman-Nya: 

'Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) 
umat yang adil dan pilihan,agar kalian menjadi saksi atas (per- 
buatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi 
atas (perbuatan) kalian ' (Al-Baqarah: 143)." 



15 



Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, 
tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengete- 
ngahkannya. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yu- 
nus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu 
Abui Furat, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abui Aswad yang 
menceritakan hadis berikut: Aku datang ke Madinah, maka aku jum- 
pai kota Madinah sedang dilanda wabah penyakit, hingga banyak di 
antara mereka yang meninggal dunia. Lalu aku duduk di sebelah 
Khalifah Umar r.a., maka lewatlah suatu iringan jenazah, kemudian 
jenazah itu dipuji dengan pujian yang baik. Khalifah Umar ibnul 
Khattab berkata, "Hal itu pasti baginya." Kemudian lewat pula suatu 
iringan jenazah yang lain. Jenazah itu disebut-sebut sebagai jenazah 
yang buruk. Maka Umar r.a. berkata, "Hal itu pasti baginya." Abui 
Aswad bertanya, "Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Mu-minin?" 
Umar r.a. mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah 
menuruti apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw., yaitu sab- 
danya: 




^ps^VZjLSfa.cc&fa »J^ 



Siapa pun orang muslimnya dipersaksikan oleh empat orang de- 
ngan sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga. 
Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau tiga orang?" Beliau 
Saw. menjawab, "Ya, tiga orang juga." Maka kami bertanya, 
"Bagaimana kalau oleh dua orang?" Beliau Saw. menjawab, 
"Ya, dua orang juga." Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya 
tentang persaksian satu orang. 

Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam 
Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Daud ibnul Furat dengan la- 
faz yang sama. 



16 



Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami 
Abu Qilabah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepadaku Abui Walid, 
telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Umar, telah menceritakan 
kepadaku Umayyah ibnu Safwan, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair 
As-Saqafi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mende- 
ngar Rasulullah Saw. bersabda ketika di Al-Banawah: 

Hampir saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari 
kalian dan orang-orang yang jahat dari kalian. Mereka berta- 
nya, "Dengan melalui apakah, wahai Rasulullah?" Rasulullah 
Saw. menjawab, "Dengan melalui pujian yang baik dan sebutan 
yang buruk; kalian adalah saksi-saksi Allah yang ada di bumi." 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu 
Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun, dan diriwayatkan pula oleh 
Imam Ahmad, dari Yazid ibnu Harun dan Abdul Malik ibnu Umar 
serta Syuraih, dari Nafi', dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama. 
Firman Allah Swt.: 

Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (se- 
karang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa 
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh 
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang- 
orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. (Al-Baqarah: 143) 



17 



Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami pada mulanya mensya- 
riatkan kepadamu Muhammad untuk menghadap ke arah Baitul Maq- 
dis, kemudian Kami palingkan kamu darinya untuk menghadap ke 
Ka'bah. Hal ini tiada lain hanya untuk menampakkan keadaan se- 
sungguhnya dari orang-orang yang mengikutimu, taat kepadamu, dan 
menghadap bersamamu ke mana yang kamu hadapi." 

dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143) 
Maksudnya, murtad dari agamanya. 

** > 

Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat. (Al-Ba- 
qarah: 143) 

Yakni pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah terasa amat 
berat, kecuali bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah 
serta merasa yakin dengan percaya kepada Rasul, dan semua yang di- 
datangkan beliau hanyalah perkara hak semata yang tidak diragukan 
lagi. Allah Swt. berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia me- 
mutuskan hukum menurut kehendak-Nya, Dia berhak membebankan 
kepada hamba-hamba-Nya apa yang Dia kehendaki, dan me-nasakh 
apa yang Dia kehendaki. Hanya milik-Nyalah hikmah yang sempurna 
dan hujah (alasan) yang kuat dalam hal tersebut secara keseluruhan. 

Lain halnya dengan orang-orang yang di dalam hati mereka ter- 
dapat penyakit; sesungguhnya setiap kali terjadi sesuatu hal, maka 
timbullah rasa keraguan dalam hati mereka. Berbeda dengan keadaan 
orang-orang yang beriman, di dalam hati mereka keyakinan dan ke- 
percayaan bertambah kuat, seperti yang disebutkan di dalam firman- 
Nya: 



10 

Firman Allah Swt.: 

Dan demikian (pula) tem/ /eta/j menjadikan kalian (umat Islam) 
«m«( yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (per- 
buatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi 
atas (perbuatan) kalian. (Al-Baqarah: 143) 

Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami palingkan kalian ke arah 
kiblat Ibrahim a. s. dan Kami pilihkan kiblat tersebut untuk kalian, ha- 
nya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih, 
dan agar kalian kelak di hari kiamat menjadi saksi atas umat-umat 
lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian." 

Al-wasat dalam ayat ini berarti pilihan dan yang terbaik, seperti 
dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang Arab yang 
paling baik keturunan dan kedudukannya. Rasulullah Saw. seorang 
yang terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunan- 
nya. Termasuk ke dalam pengertian ini salatul wusta, salat yang pa- 
ling utama, yaitu salat Asar, seperti yang telah disebutkan di dalam 
kitab-kitab sahih dan lain-lainnya. Aliah Swt. menjadikan umat ini 
(umat Nabi Muhammad Saw.) merupakan umat yang terbaik; Allah 
Swt. telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling 
sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan 
yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: 






Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan 
untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama 



JjCU^S» &JX£& u 3& > fit; 

9 

Dfl« apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka 
(orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara 
kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? 
Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah 
imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun 
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka de- 
ngan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafir- 
annya (yang telah ada). (At-Taubah: 124-125) 



Katakanlah, *Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi 
orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak ber- 
iman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur'an 
itu suatu kegelapan bagi mereka." (Fussilat: 44) 

Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar 
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qttr'an itu 
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain ke- 
rugian. (Al-Isra: 82) 



19 



Karena itu, terbuktilah bahwa orang-orang yang teguh dalam membe- 
narkan Rasulullah Saw. dan tetap mengikutinya dalam hal tersebut 
serta menghadap menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. ke- 
padanya tanpa bimbang dan tanpa ragu barang sedikit pun, mereka 
adalah para sahabat yang terhormat. 

Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang mendapat 
predikat sabiqin awwalin adalah dari kalangan Muhajirin dan orang- 
orang Ansar, yaitu mereka yang salat ke dua kiblat. 

Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, te- 
lah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada 
kami Yahya, dari Sufyan, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar 
yang menceritakan: 



Ketika orang-orang sedang mengerjakan salat Subuh di Masjid 
Quba, tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, 
"Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi Saw. sebuah ayat 
yang memerintahkan kepada Nabi Saw. agar menghadap ke arah 
Ka'bah, maka menghadaplah kalian ke Ka'bah." Maka mereka 
pun menghadapkan dirinya ke Ka'bah. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim melalui jalur yang 
lain dari sahabat Ibnu Umar, dan Imam Turmuzi meriwayatkannya 
melalui hadis Sufyan As-Sauri. Di dalam riwayat Imam Turmuzi di- 
sebutkan: 

Bahwa mereka sedang rukuk, lalu mereka berputar, sedangkan 
mereka dalam keadaan masih rukuk menghadap ke arah Ka'bah. 



20 



Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis 
Hammad ibnu Salimah, dari Sabit, dari Anas dengan lafaz yang semi- 
sal. 

Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ketaatan mereka kepa- 
da Allah dan Rasul-Nya, juga ketundukan mereka terhadap perintah- 
perintah Allah Swt. Semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya ke- 
pada mereka (para sahabat) semua. 

Firman Allah Swt.: 

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 
143) 

Yakni salat kalian yang telah kalian lakukan dengan menghadap ke 
arah Baitul Maqdis sebelum ada pemindahan ke arah Ka'bah. Dengan 
kata lain, Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan pahalanya; pahala itu 
ada di sisi-Nya. 

Di dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Ishaq As-Subai'i, 
dari Al-Barra yang menceritakan: 

f 'C "k'"'? "'S vs*' ^ -2 ^- 9 f 9 ^y<3 ' ^ .. 

Telah meninggal dunia kaum yang dahulu mereka salat mengha- 
dap ke Baitul Maqdis, maka orang-orang bertanya, "Bagaima- 
nakah keadaan mereka?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman- 
Nya, "Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian" (Al- 
Baqarah: 143). 

Hadis diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ibnu Abbas, dan Imam 
Turmuzi menilainya sahih. 



21 



Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muham- 
mad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari 
Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



O^-S^JO 






Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 
143) 

Yaitu iman kalian kepada kiblat yang terdahulu, dan kepercayaan ka- 
lian kepada Nabi kalian serta mengikutinya menghadap ke arah kiblat 
yang lain (Ka'bah). Dengan kata lain, Allah pasti akan memberi ka- 
lian pahala keduanya. 



5j4u-dJi/iwS) 



Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepa- 
da manusia. (Al-Baqarah: 143) 

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman- 
Nya: 

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 
143) 

Dengan kata lain, Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad Saw. 
dan berpaling kalian bersamanya mengikuti ke mana dia menghadap. 



%~>A 



A 



Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepa- 
da manusia. (Al-Baqarah: 143) 

Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melihat se- 
orang wanita dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara wanita 



22 



itu dengan anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu 
menjumpai seorang bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya 
pada teteknya, sedangkan dia teais berputar ke sana kemari mencari 
bayinya. Setelah wanita itu menemukan bayinya, maka langsung di- 
gendong dan disusukannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: 




.C&^o^l&oi&u 



"Bagaimanakah pendapat kalian, akankah wanita ini tega me- 
lemparkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia sendiri mampu 
untuk tidak melemparkannya?" Mereka menjawab, "Tentu tidak, 
wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda, "Maka demi 
Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba- 
Nya daripada wanita ini kepada anaknya." 

Al-Baqarah, ayat 144 

Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke la- 
ngit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat 
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Ha- 
ram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian 
ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nas- 



23 



rani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, 
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tu- 
hannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka 
kerjakan. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mula-mula ayat 
Al-Qur'an yang di-mansukh adalah masalah kiblat. Demikian itu ter- 
jadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, kebanyakan penduduk 
Madinah saat itu terdiri atas orang-orang Yahudi. Maka Allah meme- 
rintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis. Melihat hal ini 
orang-orang Yahudi merasa gembira. Rasulullah Saw. menghadap ke 
Baitul Maqdis selama belasan bulan, padahal beliau sendiri menyukai 
kiblat Nabi Ibrahim a. s. Beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta 
sering memandang ke langit (menunggu-nunggu wahyu). Maka Allah 
Swt. menurunkan firman-Nya: 

t, • 

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. 
(Al-Baqarah: 144) 



Sampai dengan firman-Nya: 

^"i &••'/' <^"»> * \'y< 

Palingkanlah muka kalian ke arahnya. (AI-Baqarah: 144) 

Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka 
mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 

"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya 
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka lelah berkiblat kepadanya?" 
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Ba- 
qarah: 142) 



24 



Mate £e mana pw« tem« menghadap, di situlah wajah Allah. 
(Al-Baqarah: 115) 



M tv 



Dan /Ta/n/ f/Vfafc menjadikan kiblat yang menjadi kiblat kalian 
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang 
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. (AI-Baqarah: 143) 

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Al-Qasim Al-Umra 
dan pamannya Ubaidillah ibnu Amr, dari Daud ibnul Husain, dari 
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Saw. apa- 
bila telah salam dari salatnya yang menghadap ke arah Baitul Maqdis 
selalu menengadahkan kepalanya ke langit, maka Allah menurunkan 
firman-Nya: 

Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang ka- 
mu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al- 
B'aqarah: 144) 

Yakni ke arah Ka'bah, tepat ke arah mizab (talang)nya, sedangkan 
Malaikat Jibril a.s. bermakmum kepadanya. 

Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan me- 
lalui hadis Syu'bah, dari Ya'la ibnu Ata, dari Yahya ibnu Quttah 
yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr du- 
duk di Masjidil Haram di tempat yang lurus dengan talang Ka'bah, 
lalu ia membacakan firman-Nya: 






25 



Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang 
kamu sukai. (Al-Baqarah: 144) 

Ia membacakan ayat ini seraya mengisyaratkan ke arah talang 
Ka'bah. Kemudian Imam Hakim mengatakan, hadis ini sahih sanad- 
nya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak me- 
ngetengahkannya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, 
dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Hisyam, dari Ya'la ibnu Ata dengan 
lafaz yang sama. Hal yang sama dikatakan pula oleh yang lainnya. 
Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii r.a. 
yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud ialah mengha- 
dap ke arah 'ainul Ka'bah. Sedangkan pendapat lainnya yang dianut 
oleh kebanyakan ulama mengatakan, yang dimaksud ialah mu- 
wajahah (menghadap ke arahnya), seperti yang disebutkan di dalam 
riwayat Imam Hakim melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari 
Umair ibnu Ziad Al-Kindi, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan 
dengan tafsir firman-Nya: 



<1^' 



'i.' 



Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 
144) 

Yang dimaksud dengan syatrahu ialah ke arahnya (tidak harus tepat 
ke Ka'bah). Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sa- 
hih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengete- 
ngahkannya. Hal ini merupakan pendapat Abui Aliyah, Mujahid, Ik- 
rimah, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lain- 
nya. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis terdahulu, yaitu: 

Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat. 

Al-Qurtubi mengatakan bahwa Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari 
Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



26 



Baitullah adalah kiblat bagi ahli masjid, dan masjid adalah kib- 
lat bagi penduduk kota suci, sedangkan kota suci merupakan kib- 
lat bagi penduduk bumi yang ada di timur dan barat dari ka- 
langan umatku. 

Abu Na'im (yaitu Al-Fadl ibnu Dakin) mengatakan, telah mencerita- 
kan kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceri- 
takan hadis berikut: 

£>^>«3 • ^3 <a* jvj jv**l l o *U^> J-J Al» TJ^.oiaJl 

Bahwa Nabi Saw. salat menghadap ke arah Baitul Maqdis sela- 
ma enam belas atau tujuh belas bulan, padahal beliau sendiri le- 
bih suka bila kiblatnya ke arah Baitullah (Ka'bah). Dan (pada 
suatu hari) beliau melakukan salat Asar dan salat pula 
bersamanya suatu kaum (maka turunlah ayat memerintahkan 
agar menghadap ke Ka'bah), lalu keluarlah seorang lelaki dari 
jamaah yang ikut salat bersamanya. Kemudian lelaki itu 
melewati ahli masjid yang sedang rukuk dalam salatnya, lalu 
lelaki itu berkata, "Aku bersaksi dengan nama Allah, 
sesungguhnya aku telah solat bersama Rasulullah Saw. dengan 



Tafsir Ibnu Kasir 27 



menghadap ke arah Mekah. " Maka mereka berputar menghadap 
ke arah Baitullah dalam keadaan rukuk. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, 
dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan "bahwa ketika Ra- 
sulullah Saw. tiba di Madinah, beliau salat menghadap ke Baitul 
Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah Saw. 
menyukai bila dipalingkan ke arah Ka'bah. Maka turunlah firman- 
Nya: 

O" i "»js^n j . t UJU 1 <L— <-A^?=J 4^ (SJM 

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. 
(Al-Baqarah: 144) 

Maka beliau berpaling menghadap ke arah Ka'bah. 

Imam Nasai meriwayatkan dari Abu Sa'id ibnul Ma'la yang mence- 
ritakan, "Kami biasa berangkat ke masjid di siang hari pada masa Ra- 
sulullah Saw. untuk melakukan salat. Pada suatu hari kami lewat ke- 
tika Rasulullah Saw. sedang duduk di atas mimbarnya. Maka aku ber- 
kata, 'Sesungguhnya telah terjadi suatu peristiwa penting.' Aku duduk 
dan Rasulullah Saw. membacakan ayat ini: 

l fl <-y>j~ 4^&Q^ tfc^l£ i 2*tf-3 ^-cLu^jjOS 






Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, 
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang ka- 
mu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga selesai dari ayat ini. 

Aku berkata kepada temanku, 'Marilah kita salat dua rakaat sebelum 
Rasulullah Saw. turun dari mimbarnya. Dengan demikian, kita adalah 
orang yang mula-mula salat (menghadap ke arah Ka'bah).' Maka ka- 
mi bersembunyi dan salat dua rakaat. Kemudian Nabi Saw. turun dari 
mimbarnya dan salat Lohor menjadi imam orang-orang yang hadir 
saat itu." 



28 Juz 2 — Al-Baqarah 



Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui saha- 
bat Ibnu Umar r.a., bahwa salat yang mula-mula dilakukan oleh Ra- 
sulullah Saw. dengan menghadap ke arah kiblat ialah salat Lohor. Sa- 
lat Lohorlah yang dimaksud dengan salat Wusta itu. 

Tetapi menurut pendapat yang masyhur, salat yang mula-mula 
dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah Ka'bah 
adalah salat Asar. Karena itu, maka berita pemindahan ini terlambat 
sampai kepada penduduk Quba dan baru sampai kepada mereka pada 
salat Subuhnya. 

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan ke- 
pada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepa- 
da kami Raja' ibnu Muhammad As-Siqti, telah menceritakan kepada 
kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu 
Ja'far, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari neneknya (ibu ayah- 
nya) — yaitu Nuwailah binti Muslim — yang menceritakan, "Kami sa- 
lat Lohor atau salat Asar di masjid Bani Harisah. Kami menghadap- 
kan wajah kami ke arah Masjid Elia (Yerussalem/Baitul Maqdis). Se- 
telah kami lakukan salat dua rakaat, tiba-tiba datanglah seseorang 
yang menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah meng- 
hadap ke arah Baitullah. Maka kaum wanita beralih menduduki tem- 
pat kaum laki-laki, dan kaum laki-laki beralih menduduki tempat 
kaum wanita. Lalu kami melanjutkan salat kami yang tinggal dua 
rakaat lagi menghadap ke arah Baitullah." 

Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Harisah yang 
menceritakan kepadaku bahwa Nabi Saw. telah bersabda: 

Mereka adalah kaum laki-laki yang beriman kepada yang gaib. 

Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami 
Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Is- 
mail An-Nahdi, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Ziad ibnu 
Alaqah ibnu Imarah ibnu Aus yang menceritakan, "Ketika kami se- 
dang dalam salat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, yaitu da- 



Tafsir Ibnu Kasir 29 

lam rukuk kami, tiba-tiba datanglah seorang yang menyerukan di pin- 
tu (masjid) bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah." 

Imarah ibnu Aus melanjutkan kisahnya, bahwa ia menyaksikan 
imam mereka berpaling mengalihkan wajah mereka ke arah Ka'bah 
bersama-sama kaum laki-laki dan anak-anak yang bermakmum kepa- 
danya, semua dalam keadaan rukuk. 

Firman Allah Swt: 



0«- i^LJi -] . tfPa-^j^^A^5|yj9>^U4 



Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah mukamu ke arah- 
nya. (Al-Baqarah: 144) 

Allah Swt. memerintahkan menghadap ke arah Ka'bah dari segenap 
penjuru dunia, baik dari timur, barat, utara, maupun selatan; semua 
diperintahkan agar menghadap ke arahnya. Dalam hal ini tiada yang 
dikecualikan selain dari orang yang mengerjakan salat sunat di atas 
kendaraannya dalam perjalanan; ia diperbolehkan mengerjakan salat 
sunat menghadap ke arah mana pun kendaraannya menghadap, tetapi 
hatinya harus tetap tertuju ke arah Ka'bah. Demikian pula di saat pe- 
rang sedang berkecamuk, orang-orang yang terlibat di dalamnya di- 
perbolehkan salat dalam keadaan apa pun. Dan orang yang tidak me- 
ngetahui arah kiblat boleh salat menghadap ke arah yang menurut ijti- 
hadnya adalah arah kiblat, sekalipun pada hakikatnya keliru; karena 
sesungguhnya Allah Swt. tidak sekali-kali memberatkan seseorang 
melainkan sesuai dengan kemampuannya. 

Mazhab Maliki menyimpulkan dalil ayat ini, bahwa orang yang salat 
harus memandang ke arah depannya, bukan ke arah tempat sujudnya. 
Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad, dan 
Imam Abu Hanifah. 

Mazhab Maliki mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: 






O * eyUO • ^'3=eu^)^-U^>-J 



$ 



Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 
144) 



30 Juz 2 — Al-Baqarah 



Seandainya seseorang menghadapkan pandangannya ke tempat sujud- 
nya, niscaya hal ini memerlukan sedikit menunduk, padahal hal ini 
bertentangan dengan kesempurnaan berdiri. 

Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang yang berdiri dalam 
salatnya memandang ke arah dadanya. 

Syuraik Al-Qadi mengatakan bahwa orang yang berdiri dalam sa- 
latnya memandang ke arah tempat sujudnya. Hal yang sama dikata- 
kan oleh jumhur jamaah, karena hal ini lebih menampilkan rasa tun- 
duk dan lebih kuat kepada kekhusyukan, dan memang ada keterangan 
hadis yang menganjurkannya. 

Dalam keadaan rukuk pandangan mata diarahkan ke tempat ke- 
dua telapak kaki, dan dalam keadaan sujud pandangan mata ditujukan 
ke arah hidung, sedangkan dalam keadaan duduk pandangan mata di- 
arahkan ke pangkuan. 

Firman Allah Swt.: 

Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang di- 
beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa ber- 
paling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. (Al- 
Baqarah: 144) 

Yakni orang-orang Yahudi yang memprotes kalian menghadap ke 
arah Ka'bah dan berpalingnya kalian dari arah Baitul Maqdis menge- 
tahui bahwa Allah Swt. pasti akan mengarahkan kamu ke Ka'bah, 
melalui apa yang termaktub di dalam kitab-kitab mereka dari para na- 
bi mereka tentang sifat dan ciri khas Nabi Muhammad Saw. serta 
umatnya. Disebutkan pula di dalamnya kekhususan yang diberikan oleh 
Allah kepadanya serta penghormatan yang diberikan-Nya, yaitu berupa 
syariat yang sempurna lagi besar. Akan tetapi Ahli Kitab menyembunyi- 
kan hal ini di antara sesama mereka karena dengki, kufur, dan ingkar. 
Karena itulah Allah mengancam mereka melalui firman-Nya: 



0« » s^jo - OjU-J ux- Ji u> <uj I Uj 



Tafsir Ibnu Kasir 3 \ 

Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerja- 
kan. (Al-Baqarah: 144) 

Al-Baqarah, ayat 145 

Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang- 
orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan 
Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kib- 
latmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan se- 
bagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang 
lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka 
setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu 
termasuk golongan orang-orang yang zalim. 

Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan tentang kekufuran dan ke- 
ingkaran orang-orang Yahudi serta pertentangan mereka terhadap apa 
yang mereka ketahui mengenai diri Rasulullah Saw. Seandainya di- 
tegakkan terhadap mereka semua dalil yang membuktikan kebenaran 
apa yang disampaikan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan 
mengikutinya dan justru mereka hanya tetap mengikuti hawa nafsu 
mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu 
firman-Nya: 



O-vt^j^.;) 



.j^V&H£J^ 



Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka ka- 
limat Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada 



32 Juz 2 — Al-Baqarah 

mereka segala macam keterangan, hingga menyaksikan azab 
yang pedih. (Yunus: 96-97) 

Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: 

Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang- 
orang yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (kete- 
rangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 
145) 

Adapun firman Allah Swt.: 

Dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. (Al-Baqarah: 
145) 

Ayat ini menggambarkan tentang keteguhan hati Rasulullah Saw. da- 
lam mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Se- 
bagaimana beliau berpegang teguh kepada perintah Allah, maka se- 
baliknya mereka pun berpegang teguh pula kepada pendapat dan ke- 
inginan mereka sendiri. Nabi Saw. akan tetap berpegang teguh kepa- 
da perintah Allah dan taat kepada-Nya serta mengikuti jalan yang di- 
ridai-Nya, beliau tidak akan mengikuti keinginan mereka dalam se- 
mua tindak tanduknya. Tidak sekali-kali beliau pernah menghadap ke 
arah Baitul Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, me- 
lainkan semata-mata karena perintah Allah belaka. 

Kemudian Allah Swt. memperingatkan agar jangan menentang 
perkara yang hak yang telah diketahuinya, dengan cara mengikuti ke- 
inginan diri sendiri. Karena sesungguhnya orang yang mengetahui, ji- 
ka ia salah dalam berhujan akan berbalik menyerangnya, haruslah 
bersikap lebih lurus daripada orang lain (yang tidak mengetahui hu- 
jan). Untuk itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya, sedangkan yang 
dimaksudkan adalah umatnya, yaitu: 



Tafsir Ibnu Kasir 33 



.^^ t 

£)fl« sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka sete- 
lah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu ter- 
masuk golongan orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 145) 



Al-Baqarah, ayat 146-147 

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-Kitab 
(Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal 
anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara me- 
reka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. 
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali 
kamu termasuk orang-orang yang ragu. 

Allah Swt. memberitahukan bahwa ulama Ahli Kitab mengenal kebe- 
naran dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada me- 
reka, sebagaimana seseorang dari mereka mengenal anaknya sendiri. 
Orang-orang Arab biasa membuat perumpamaan seperti ini untuk me- 
nunjukkan pengertian pengenalan yang sempurna. Seperti yang dise- 
butkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersab- 
da kepada seorang lelaki yang bersama anaknya: 

"Apakah ini adalah anakmu?" Si lelaki menjawab, "Benar, wa- 
hai Rasulullah, aku bersaksi bahwa dia adalah anakku." Rasu- 



34 Juz 2 — Al-Baqarah 

lullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia tidak samar 
kepadamu dan kamu tidak samar kepadanya." 

Al-Qurtubi mengatakan, telah diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia 
pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Salam, "Apakah engkau da- 
hulu mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu 
sendiri?" Abdullah ibnu Salam menjawab, "Ya, dan bahkan lebih dari 
itu; malaikat yang dipercaya turun dari langit kepada orang yang di- 
percaya di bumi seraya membawa keterangan mengenai sifat-sifatnya. 
Karena itu, aku dapat mengenalnya, tetapi aku tidak mengetahui se- 
perti apa yang diketahui oleh ibunya." 
Menurut kami, firman-Nya berikut ini: 

Mereka mengenalnya (Muhammad) sebagaimana mereka menge- 
nal anak-anaknya sendiri. (Al-Baqarah: 146) 

Dapat diartikan bahwa mereka mengenal Nabi Muhammad Saw. se- 
perti mereka mengenal anak-anaknya sendiri di antara anak-anak ma- 
nusia lainnya. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang bimbang dan 
ragu dalam mengenal anaknya sendiri jika dia melihatnya di antara 
anak-anak orang lain. 

Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa sekalipun mereka 
mengetahui kenyataan ini dengan pengenalan yang yakin, tetapi me- 
reka benar-benar menyembunyikan kebenaran ini. Dengan kata lain, 
mereka menyembunyikan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab me- 
reka mengenai sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dari pengetahuan 
umum, padahal mereka mengetahuinya, seperti yang disebutkan oleh 
firman selanjutnya: 

Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan 
kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 146) 

Kemudian Allah Swt. mengukuhkan kedudukan Nabi-Nya dan kaum 
mukmin serta memberitahukan kepada mereka bahwa apa yang di- 



Tafsir Ibnu Kasir 35 



bawa oleh Rasul Saw. adalah perkara yang hak, tiada keraguan di da- 
lamnya dan tiada pula kebimbangan. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali 
kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147) 



Al-Baqarah, ayat 148 



&m®%^^&&^ 



s .''L "i'. 



. i — i — n —i . H 



!jmW^&®H 



Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia mengha- 
dap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam mem- 
buat) kebaikan. Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan 
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat), sesungguhnya 
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. 

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan pe- 
ngertian 'tiap-tiap umat mempunyai kiblatnya yang ia menghadap ke- 
padanya' ialah semua pemeluk agama. Dengan kata lain, tiap-tiap ka- 
bilah mempunyai kiblatnya sendiri yang disukainya, dan kiblat yang 
diridai oleh Allah ialah kiblat yang orang-orang mukmin menghadap 
kepadanya. 

Abui Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai 
kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya, dan orang- 
orang Nasrani mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap 
kepadanya. Allah memberikan petunjuk kepada kalian, hai umat Mu- 
hammad, kepada kiblat yang merupakan kiblat yang sesungguhnya. 

Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ib- 
nu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal dengan pendapat Abui 
Aliyah tadi. 



36 Juz 2 — Al-Baqarah 



Mujahid mengatakan dalam riwayat yang lain — begitu pula Al- 
Hasaiv — bahwa Allah memerintahkan kepada semua kaum agar salat 
menghadap ke arah Ka'bah. 

Ibnu Abbas, Abu Ja'far Al-Baqir, dan Ibnu Amir membaca ayat 
ini dengan bunyi walikullin wajhatun huwa muwallaha (Bagi tiap-tiap 
umat ada kiblatnya sendiri yang diperintahkan oleh Dia (Allah) agar 
mereka menghadap kepadanya). Ayat ini serupa maknanya dengan 
firman-Nya: 



Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan 
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian 
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kali- 
an terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lom- 
balah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kalian 
semuanya. (Al-Maidah: 48) 



Dalam surat ini Allah Swt. berfirman: 

C «A « \jLJ 



Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan mengumpulkan ka- 
mu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa 
atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 148) 

Yakni Dia berkuasa untuk menghimpun kalian dari muka bumi, se- 
kalipun jasad dan tubuh kalian bercerai-berai. 

<U-Baqarah, ayat 149-150 



Tafsir Ibnu Kasir 37 

Dan dan mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah 
wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu 
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali- 
kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. Dan dari mana 
saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Mas- 
jidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, maka palingkan- 
lah wajah kalian ke arahnya, agar tidak ada hujah bagi manusia 
atas kalian, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. 
Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kepa- 
da-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan su- 
paya kalian mendapat petunjuk. 

Apa yang disebutkan oleh ayat ini adalah perintah yang ketiga dari 
Allah Swt. yang memerintahkan agar semuanya dari berbagai penjuru 
dunia menghadap ke arah kiblat. 

Mufassirin berbeda pendapat mengenai hikmah yang terkandung 
di dalam pengulangan sebanyak tiga kali ini. Menurut suatu pendapat, 
hal ini merupakan taukid (pengukuhan), mengingat ia merupakan per- 
mulaan nasikh yang terjadi di dalam Islam, menurut apa yang dinas- 
kan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. 

Menurut pendapat yang lain bahkan hal ini merupakan tahapan 
dari berbagai keadaan. Tahapan yang pertama ditujukan kepada orang 
yang menyaksikan Ka'bah, tahapan yang kedua ditujukan kepada 
orang yang berada di dalam kota Mekah tetapi tidak melihat Ka'bah, 
dan tahapan yang ketiga ditujukan bagi orang yang berada di kota-ko- 
ta lainnya. Demikianlah menurut pengarahan yang diketengahkan 
oleh Fakhrud Din Ar-Razi. 



38 Juz 2 — Al-Baqarah 

Menurut Al-Qurtubi, tahapan yang pertama ditujukan kepada 
orang yang berada di dalam kota Mekah, tahapan yang kedua ditu- 
jukan kepada orang yang tinggal di kota-kota lainnya, sedangkan ta- 
hapan yang ketiga ditujukan kepada orang yang berada di dalam per- 
jalanannya. Demikianlah menurut apa yang ditarjihkan oleh Imam 
Qurtubi dalam jawabannya. 

Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya yang demikian itu di- 
kemukakan hanyalah karena ia berkaitan dengan konteks yang sebe- 
lum dan yang sesudahnya. Pada awalnya Allah Swt. berfirman: 

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, 
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang ka- 
mu sukai. (Al-Baqarah: 144) 

Sampai dengan firman-Nya: 



Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang di- 
beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa ber- 
paling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan 
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. 
(Al-Baqarah: 144) 

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang permintaan Nabi Saw. 
yang dikabulkan-Nya dan Allah memerintahkannya untuk menghadap 
ke arah kiblat yang disukainya. Kemudian dalam tahapan yang kedua 
Allah Swt. berfirman: 



Tafsir Ibnu Kasir 39 



Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah 
wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu 
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali- 
kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 
149) 

Maka Allah Swt. menyebutkan bahwa perintah tersebut adalah kebe- 
naran yang datang dari Allah. Pada tahapan pertama disebutkan bah- 
wa kiblat Ka'bah tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh 
Rasul Saw. sendiri, dan padanya disebutkan bahwa hal tersebut meru- 
pakan kebenaran yang disukai dan diridai Allah pula. 

Kemudian dalam tahapan yang ketiga disebutkan suatu hikmah 
yang mematahkan hujah orang-orang yang menentangnya dari ka- 
langan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang memprotes masalah 
Rasul Saw. yang menghadap ke arah kiblat mereka, padahal mereka 
mengetahui melalui kitab-kitab mereka bahwa kelak Rasul Saw. akan 
dipalingkan ke arah kiblat Nabi Ibrahim a.s., yaitu ke Ka'bah. Demi- 
kian pula terpatahkan hujah orang-orang musyrik Arab ketika Rasu- 
lullah Saw. dipalingkan dari kiblat orang-orang Yahudi ke kiblat Nabi 
Ibrahim a.s., yaitu kiblat yang lebih mulia daripada kiblat Yahudi. 
Mereka mengagungkan Ka'bah dan merasa takjub dengan menghadap- 
nya Rasul ke arah Ka'bah. 

Menurut pendapat yang lain tidak demikian alasan hikmah yang 
terkandung dalam pengulangan ini, seluruhnya dikemukakan oleh Ar- 
Razi dan lain-lainnya dengan bahasan yang terinci. 

Firman Allah Swt.: 

Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 
150) 

Yang dimaksud dengan manusia adalah Ahli Kitab, karena sesung- 
guhnya mereka mengetahui bahwa salah satu dari sifat umat ini ialah 
menghadap ke arah Ka'bah dalam ibadahnya. Apabila umat ini (Nabi 
Saw.) tidak mempunyai sifat tersebut, barangkali mereka (Ahli Kitab) 
akan menjadikannya sebagai senjata buat menghujan orang-orang 



40 Juz 2 — Al-Baqarah 

muslim. Agar mereka tidak menghujati kaum muslim pula, karena 
kaum muslim mempunyai kiblat yang sesuai dengan kiblat mereka, 
yaitu Bakul Maqdis. Hal ini jelas. 

Abui Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 

Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 
150) 

Yang dimaksud dengan manusia dalam ayat ini ialah kaum Ahli Ki- 
tab, yaitu di kala mereka mengatakan. "Muhammad telah dipalingkan 
ke arah Ka'bah." Mereka mengatakan pula, "Lelaki ini merindukan 
rumah ayahnya dan agama kaumnya." Tersebutlah bahwa hujah 
mereka terhadap Nabi Saw. ialah berpalingnya Nabi Saw. ke arah 
Baitul Haram, lalu mereka mengatakan, "Kelak dia akan kembali lagi 
kepada agama kita, sebagaimana dia kembali lagi kepada kiblat kita." 
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, 
Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi hal 
yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan sehubungan dengan firman- 
Nya: 

Kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. (Al-Baqarah: 
150) 

Menurut mereka, yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim di 
antara mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy. Salah seorang 
dari mereka menghipotesiskan hujah orang-orang yang zalim itu, pa- 
dahal hujah mereka dapat dipatahkan. Mereka mengatakan, "Sesung- 
guhnya lelaki ini menduga bahwa dirinya berada dalam agama Nabi 
Ibrahim. Maka jika dia menghadap ke arah Baitul Maqdis karena me- 
meluk agama Nabi Ibrahim, lalu mengapa dia berpaling darinya?" Se- 
bagai jawabannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. memerintahkan- 
nya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis pada mulanya karena 
hikmah yang tertentu, lalu Nabi Saw. menaati Tuhannya dalam hal 



Tafsir Ibnu Kasir 41 



tersebut. Setelah itu Allah memalingkannya ke arah kiblat Nabi Ibra- 
him, yaitu Ka'bah; maka beliau menjalankan pula perintah Allah Swt. 
dalam hal tersebut. Nabi Saw. dalam semua keadaannya selalu taat 
kepada Allah, beliau tidak pernah menyimpang dari perintah Allah 
barang sekejap pun, dan umatnya berjalan mengikuti jejaknya. 
Firman Allah Swt.: 



O- »3^0 



.&&»;>;£&$ 



Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kalian 
kepada-Ku. (Al-Baqarah: 150) 

Artinya, janganlah kalian merasa takut terhadap tuduhan yang dilan- 
carkan oleh orang-orang zalim yang ingkar itu, dan takutlah kalian 
hanya kepada-Ku, karena sesungguhnya Allah Swt. lebih berhak un- 
tuk ditakuti. 

Firman Allah Swt. yang mengatakan: 

Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian. (Al-Baqarah: 
150) 

di-a/fl/-kan kepada firman-Nya: 

Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 
150) 

Dengan kata lain, Aku akan menyempurnakan kepada kalian nikmat- 
Ku, yaitu dengan mensyariatkan kepada kalian agar menghadap ke 
arah Ka'bah, agar syariat yang kalian jalani merupakan syariat yang 
paling sempurna dari segala seginya. 

'i /*>/->' '/^"i' 

Dan supaya kalian mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 150) 



42 Juz 2 — Al-Baqarah 



Yakni agar kalian tidak sesat seperti apa yang dialami oleh umat- 
umat terdahulu dari apa yang telah Kami tunjukkan kepada kalian dan 
Kami khususkan hal itu buat kalian. Karena itu, maka umat ini me- 
rupakan umat yang paling mulia dan paling utama. 

Al-Baqarah, ayat 151-152 

Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di anta- 
ra kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan 
menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan 
hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian 
ketahui. Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku 
ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan ja- 
nganlah kalian mengingkari (nikmat-Ku). 

Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan nik- 
mat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, yaitu diutus-Nya se- 
orang Rasul — yakni Nabi Muhammad Saw. — untuk membacakan 
kepada mereka ayat-ayat Allah yang jelas; menyucikan serta member- 
sihkan mereka dari akhlak-akhlak yang rendah, jiwa-jiwa yang kotor, 
dan perbuatan-perbuatan Jahiliah; mengeluarkan mereka dari kegelap- 
an kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al-Qur'an dan sun- 
nah, serta mengajarkan kepada mereka banyak hal yang sebelumnya 
tidak mereka ketahui. Di zaman Jahiliah mereka hidup dalam kebo- 
dohan yang menyesatkan. Akhirnya berkat barakah risalah Nabi Saw. 
dan misi yang diembannya, mereka menjadi orang-orang yang di- 
kasihi oleh Allah, berwatak sebagai ulama, dan menjadi orang-orang 
yang berilmu paling mendalam, memiliki hati yang suci, paling se- 
dikit bebannya, dan paling jujur ungkapannya. 



~afsir Ibnu Kasir 43 

Allah Swt. berfirman: 

Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang 
yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang 
rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada 
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (ji wa ) mereka. (Ali 
Imran: 164), hingga akhir ayat. 

Allah Swt. mencela orang yang tidak menghargai nikmat ini. Untuk 
itu Allah Swt. berfirman: 

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nik- 
mat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lem- 
bah kebinasaan? (Ibrahim: 28) 

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan nikmat ini ialah nik- 
mat yang berupa diutus-Nya Nabi Muhammad Saw. kepada mereka. 
Karena itulah maka Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin 
agar mengakui nikmat ini dan membalasnya dengan banyak berzikir 
menyebut asma-Nya dan bersyukur kepada-Nya, seperti yang disebut- 
kan oleh flrman-Nya: 

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) 
kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah ka- 
lian mengingkari (nikmat) -Ku. (Al-Baqarah: 152) 

Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



44 Juz 2 — Al-Baqarah 



Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di 
tara kalian. (Al-Baqarah: 151) 



an- 



Yakni sebagaimana Aku telah melimpahkan nikmat kepada kalian, 
maka ingatlah kalian kepada-Ku. 

Abdullah ibnu Wahb meriwayatkan dari Hisyam ibnu Sa'id, dari 
Zaid ibnu Aslam, bahwa Nabi Musa pernah berkata, "Wahai Tuhan- 
ku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu?" Tuhan berfirman kepada- 
nya, "Ingatlah Aku dan jangan kamu lupakan Aku. Maka apabila ka- 
mu ingat kepada-Ku, berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku. Apa- 
bila kamu lupa kepada-Ku, berarti kamu ingkar kepada-Ku." 

Al-Hasan Al-Basri, Abui Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu 
Anas mengatakan bahwa Allah Swt. selalu mengingat orang yang 
ingat kepada-Nya, memberikan tambahan nikmat kepada orang yang 
bersyukur kepada-Nya, dan mengazab orang yang ingkar terhadap- 
Nya. Salah seorang ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan tak- 
wil firman-Nya: 



o-v j j^-_Dr) 



• t £^£>'4b\\j}u\ 



Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya. 
(Ali Imran: 102) 

Bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya kita taat kepada-Nya 
dan tidak durhaka terhadap-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan tidak 
melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar ter- 
hadap-Nya. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada 
kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Imarah As- 
Saidalani, telah menceritakan kepada kami Mak-hul Al-Azdi yang 
mengatakan asar berikut, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu 
Umar, "Bagaimanakah menurutmu tentang orang yang membunuh ji- 
wa, peminum khamr, pencuri, dan pezina yang selalu ingat kepada 
Allah, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 



Uv»s£j>) 'JyjsV&jzb 



45 



'Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) 
kepada kalian ' (Al-Baqarah: 152)?" 

Ibnu Umar menjawab, "Apabila Allah mengingat orang ini, maka Dia 
mengingatnya melalui laknat-Nya hingga dia diam." 

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 

Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) 
kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) 

Makna yang dimaksud ialah: "Ingatlah kalian kepada-Ku dalam se- 
mua apa yang telah Kufardukan atas kalian, maka niscaya Aku akan 
mengingat kalian dalam semua apa yang Aku wajibkan bagi kalian 
atas diri-Ku". 

Menurut Sa'id ibnu Jubair artinya: "Ingatlah kalian kepada-Ku 
dengan taat kepada-Ku, niscaya Aku selalu ingat kepada kalian de- 
ngan magfirah (ampunan)-Ku". Menurut riwayat yang lain disebutkan 
"dengan rahmat-Ku" . 

Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



C»0Y ?££_JO 






Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) 
kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) 

Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah 'ingat Allah kepada 
kalian jauh lebih banyak daripada ingat kalian kepada-Nya'. Di dalam 
sebuah hadis sahih disebutkan: 

Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang ingat kepada-Ku di 
dalam dirinya, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam di- 



46 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

ri-Ku; dan barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam suatu 
golongan, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam golong- 
an yang lebih baik daripada golongannya. " 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur 
Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari 
Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, jika kamu ingat kepada- 
Ku di dalam dirimu, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam 
diri-Ku. Dan jika kamu mengingat-Ku di dalam suatu golongan, 
niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam golongan dari ka- 
langan para malaikat -atau beliau Saw. bersabda, 'Di dalam go- 
longan yang lebih baik dari golonganmu'-. Dan jika kamu men- 
dekat kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku mendekat kepadamu 
satu hasta. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu hasta, nis- 
caya Aku mendekat kepadamu satu depa. Dan jika kamu datang 
kepada-Ku jalan kaki, niscaya Aku datang kepadamu dengan 
berlari kecil. " 

Sanad hadis ini sahih, diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui ha- 
dis Qatadah yang di dalamnya disebutkan bahwa Qatadah mengata- 
kan, "Makna yang dimaksud dari keseluruhannya ialah rahmat Allah 
lebih dekat kepadanya." 
Firman Allah Swt.: 



Tafsir Ibnu Kasir 47 

Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari 
(nikmaO-ATw. (Al-Baqarah: 152) 

Allah Swt. memerintahkan bersyukur dan menjanjikan pahala bersyu- 
kur berupa tambahan kebaikan dari-Nya. Seperti yang disebutkan di 
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: 

9 ' ■> 'f* 

Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya 
jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) ke- 
pada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat) -.Km, maka se- 
sungguhnya azab-Ku sangat pedih. " (Ibrahim: 7) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, te- 
lah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Fudail ibnu Fudalah 
(seorang lelaki dari kalangan Bani Qais), telah menceritakan kepada 
kami Abu Raja Al-Ataridi yang mengatakan bahwa Imran Ibnu 
Husain keluar menemui kami memakai jubah kain sutra campuran 
yang belum pernah kami lihat dia memakainya, baik sebelum itu 
ataupun sesudahnya. Lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah bersabda: 

Barang siapa dianugerahi suatu nikmat oleh Allah, maka sesung- 
guhnya Allah menyukai bila melihat penampilan dari nikmat 
yang telah Dia berikan kepada makhluk-Nya. 

Dan adakalanya Rauh mengatakan 'kepada hamba-Nya". 
Al-Baqarah, ayat 153-154 



48 Juz 2 — Al-Baqarah 



m^frs^^&B&&'&£ 



Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat se- 
bagai penolong kalian, sesungguhnya Allah beserta orang-orang 
yang sabar. Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang- 
orang yang gugur dijalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bah- 
kan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menya- 
darinya. 

Setelah Allah Swt. menerangkan perintah untuk bersyukur kepada- 
Nya, maka melalui ayat ini Dia menjelaskan perihal sabar dan hikmah 
yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat se- 
bagai penolong serta pembimbing. Karena sesungguhnya seorang 
hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukuri- 
nya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya. Se- 
bagaimana yang disebutkan oleh sebuah hadis yang mengatakan: 

Mengagumkan perihal orang mukmin itu. Tidak sekali-kali Allah 
menetapkan suatu ketetapan baginya, melainkan hal itu baik be- 
laka baginya. Jika dia mendapat kesenangan, maka bersyukurlah 
dia yang hal ini adalah lebih baik baginya; dan jika tertimpa ke- 
sengsaraan, maka bersabarlah dia yang hal ini adalah lebih baik 
baginya. 

Allah Swt. menjelaskan bahwa sarana yang paling baik untuk me 
nanggung segala macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak 
salat, seperti yang dijelaskan di dalam flrman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 49 



.W&4^£%^P®& 



Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. Dan se- 
sungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi 
orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45) 

Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila 
mendapat suatu cobaan, maka beliau mengerjakan salat. 

Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam meninggalkan hal- 
hal yang diharamkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam mengerjakan 
ketaatan dan amal-amal taqarrub. Jenis yang kedua inilah yang lebih 
utama, mengingat ia adalah tujuan utama. Adapun jenis sabar lainnya 
yaitu sabar dalam menanggung berbagai macam musibah dan cobaan, 
jenis ini pun hukumnya wajib; perihalnya sama dengan istigfar (me- 
mohon ampun) dari segala macam cela. 

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sabar 
itu ada dua macam, yaitu: Sabar karena Allah dalam mengerjakan 
hal-hal yang disukai oleh Allah, sekalipun berat terasa oleh jiwa dan 
raga; dan sabar karena Allah dalam meninggalkan hal-hal yang diben- 
ci oleh-Nya, sekalipun bertentangan dengan kehendak hawa nafsu 
sendiri. Barang siapa yang demikian keadaannya, maka dia termasuk 
orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang beroleh keselamatan. 
Insya Allah. 

Ali ibnul Husain Zainul Abidin mengatakan, apabila Allah meng- 
himpun semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, maka 
terdengarlah suara seruan, "Di manakah orang-orang sabar? Hendak- 
lah mereka masuk ke surga sebelum ada hisab (tanpa hisab)!" Maka 
bangkitlah segolongan manusia, lalu mereka bersua dengan para ma- 
laikat yang bertanya kepada mereka, "Hendak ke manakah kalian, hai 
anak Adam?" Mereka menjawab, "Ke surga." Para malaikat bertanya, 
"Sebelum ada hisab?" Mereka menjawab, "Ya." Para malaikat berta- 
nya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang- 
orang yang sabar." Para malaikat bertanya, "Apakah sabar kalian?" 
Mereka menjawab, "Kami sabar dalam mengerjakan taat kepada 
Allah dan sabar dalam meninggalkan maksiat terhadap* Allah, hingga 
Allah mewafatkan kami." Para malaikat berkata, "Kalian memang se- 



5Q Juz 2 — Al-Baqarah 

perti apa yang kalian katakan, sekarang masuklah kalian semua ke 
dalam surga, maka sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal ada- 
lah kalian." 

Menurut kami, hal ini dapat dibuktikan dengan nas firman Allah 
Swt. yang mengatakan: 

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicu- 
kupkan pahala mereka tanpa hisab (batas). (Az-Zumar: 10) 

Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sabar itu merupakan pengakuan 
seorang hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, dan ia jalani 
hal ini dengan penuh ketabahan karena mengharapkan pahala yang 
ada di sisi-Nya. Adakalanya seorang lelaki itu berkeluh kesah, tetapi 
dia tabah dan tiada yang kelihatan dari dirinya melainkan hanya kesa- 
baran semata. 

Firman Allah Swt.: 

Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang 
gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenar- 
nya) mereka itu hidup. (Al-Baqarah: 154) 

Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang 
mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi 
rezeki oleh Allah; seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih Mus- 
lim, bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-bu- 
rung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka 
kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera 
yang bergantung di bawah 'Arasy. Kemudian Tuhanmu menjenguk 
mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman, "Apakah yang ka- 
lian inginkan?" Mereka menjawab, "Wahai Tuhan kami, apa lagi 
yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala 
sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di 
antara makhluk-Mu?" 



Tafsir Ibnu Kasir 5 1 

Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala 
mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan 
permintaannya, akhirnya mereka berkata, "Kami menginginkan agar 
Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami 
akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena mem- 
bela Engkau," mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati 
syahid yang tak terperikan itu. Maka Tuhan berfirman, "Sesungguh- 
nya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke 
dunia (sesudah mereka mati)." 

Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Imam 
Syafii, dari Imam Malik, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu 
Ka'b ibnu Malik, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 

« »\ j» }s • 

Roh orang mukmin itu merupakan burung yang hinggap di pepo- 
honan surga, hingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada 
hari dia dibangkitkan. 

Di dalam hadis ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa 
hal tersebut menyangkut semua orang mukmin lainnya, hanya saja ar- 
wah para syuhada secara khusus disebutkan di dalam Al-Qur'an se- 
bagai penghormatan buat mereka dan memuliakan serta mengagung- 
kan derajat mereka. 

Al-Baqarah, ayat 155-157 



52 Juz 2 — Al-Baqarah 

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan 
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah- 
buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang 
yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, 
mereka mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Me- 
reka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rah- 
mat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang menda- 
pat petunjuk. 

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan ke- 
pada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti 
yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu: 

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar 
Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan 
bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik bu- 
ruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31) 

Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakala- 
nya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa la- 
par, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: 



^%^l;p>0^ 



Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan 
dan ketakutan. (An-Nahl: 112) 



Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman: 

0«o 



.^.^MS$j 



Tafsir Ibnu Kasir 53 



dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155) 

Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit. 
Sedangkan firman-Nya: 

dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155) 
Yakni lenyapnya sebagian harta. 

dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155) 

Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan keka- 
sih-kekasih. 

dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155) 

Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan 
buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian 
ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak 
berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu coba- 
an yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Ba- 
rang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala; dan barang siapa ti- 
dak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di 
penghujung ayat ini disebutkan: 

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. 
(Al-Baqarah: 155) 

Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yang dimaksud 
dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan 
Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfui ialah ber- 



54 J uz 2 — Al-Baqarah 

bagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, penda- 
pat ini masih perlu dipertimbangkan. 

Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar 
yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di da- 
lam firman berikut: 

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka 
mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 
156) 

Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat terse- 
but manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri 
mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba- 
hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bah- 
wa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji 
sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di da- 
lam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mere- 
ka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada- 
Nya di hari akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita- 
hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka se- 
bagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya: 

i. 

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan 
rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) 

Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut 
Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah. 
Firman Allah Swt.: 



C* 



ss^o . 5ijc^^lU!/!3 



Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al- 
Baqarah: 157) 



Tafsir Ibnu Kasir 55 

Amirul Mu-minin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa 
sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam fir- 
man-Nya: 

Ji. 



(_\t\ 






Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan 
rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) 

Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempur- 
na. 

Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: 



0&v : oJLJl ~) 






Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al- 
Baqarah: 157) 

adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari 
kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula ke- 
adaan mereka; mereka diberi pahala yang setimpal berikut tambahan- 
nya. 

Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa mu- 
sibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud de- 
ngan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesung- 
guhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua 
dikembalikan). 

Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muham- 
mad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari 
Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul 
Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah 
yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepa- 
danya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, 
"Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan 
yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersab- 
da: 



56 Juz 2 — Al-Baqarah 






s<J< 



TYdafc sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia 
membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian meng- 
ucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, 
dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melain- 
kan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. 

Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut 
darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja' 
dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibah- 
ku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemu- 
dian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapat- 
kan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa 
idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika 
itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci 
kedua tanganku dari cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan 
beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisi- 
kan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah 
beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw. selesai dari ucapan- 
nya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau eng- 
kau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah se- 
orang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bi- 
la kelak engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebab- 
kan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita 
yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak- 
anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Adapun mengenai cemburu 
yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkan- 
nya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, se- 
sungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu 
alami (berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan 



Tafsir Ibnu Kasir 57 

tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi 
tanggunganku pula'." 

Umrau Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan 
diriku kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. menga- 
wininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah 
menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada 
dirinya, yaitu Rasulullah Saw." 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia 
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 

^_jybij &\±p xdy& *-&?* S-i-f^O^ 1 * 




Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia meng- 
ucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami 
adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah 
dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku 
ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," 
melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu 
dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya. 
Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika Abu Salamah 
meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintah- 
kan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya 
kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu 
Rasulullah Saw. sendiri. " 



58 Juz 2 — Al-Baqarah 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid 
dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan 
kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami 
Abbad ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah- 
nya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa 
suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah 
berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah si- 
lam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk mem- 
baca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu 
dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala 
ketika di hari ia tertimpa musibah. 

Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab 
sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari 
Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah- 
nya. Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan 
pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, 
dari ayahnya. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yah- 
ya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad 
ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru mengu- 
burkan salah seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku ma- 
sih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Tal- 
hah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan ber- 
kata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira kepa- 
damu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau '." Abu Talhah mengatakan 
bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rah- 
man ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 59 



Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut 
anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata 
dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. 
bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?" Malaikat maut menja- 
wab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. ber- 
firman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga 
dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi (rumah 
pujian)." 

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, 
dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang 
sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu 
Nasr, dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predi- 
kat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan. 



Al-Baqarah, ayat 158 

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar 
Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau 
berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i an- 
tara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu ke- 
bajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha 
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. 



60 Juz 2 — Al-Baqarah 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman 
ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim 
Sa'd, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan 
bahwa Siti Aisyah pernah berkata kepadanya, bagaimanakah penda- 
patmu mengenai makna firman-Nya: 






Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar 
Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau 
berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i an- 
tara keduanya. (Al-Baqarah: 158) 

Aku menjawab, "Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia 
tidak melakukan tawaf di antara keduanya." Siti Aisyah berkata, 
"Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu, hai anak saudara pe- 
rempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang eng- 
kau takwilkan, maka maknanya menjadi 'Tidak ada dosa bagi sese- 
orang bila tidak tawaf di antara keduanya'. Akan tetapi, ayat ini ditu- 
runkan hanyalah karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum me- 
reka masuk Islam, mereka selalu bsr-ihlal untuk berhala Manat se- 
sembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di an- 
tara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal 
untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara 
Safa dan Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Ra- 
sulullah Saw. dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ka- 
mi merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah 
karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt. menurunkan firman- 
Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir gj 



Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar 
Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau 
berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i an- 
tara keduanya '(Al-Baqarah: 158). 

Siti Aisyah r.a. berkata, "Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan 
(mewajibkan) sa'i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang 
untuk tidak melakukan sa'i di antara keduanya." Imam Bukhari dan 
Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain. 

Di dalam sebuah riwayat dari Az-Zuhri disebutkan, ia mengata- 
kan bahwa ia menceritakan hadis ini kepada Abu Bakar ibnu Abdur 
Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam. Maka Abu Bakar ibnu Abdur Rah- 
man menjawab, "Sesungguhnya pengetahuan mengenai ini belum 
pernah kudengar, dan sesungguhnya aku pernah mendengar dari ba- 
nyak lelaki dari kalangan ahlul 'ilmi. Mereka mengatakan, 'Sesung- 
guhnya orang-orang — kecuali yang disebutkan oleh Siti Aisyah — 
mengatakan bahwa tawaf di antara kedua batu ini (Safa dan Marwah) 
termasuk perbuatan Jahiliah.' Orang-orang lain dari kalangan Ansar 
mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya diperintahkan melakukan ta- 
waf di Baitullah dan tidak diperintahkan untuk tawaf antara Safa dan 
Marwah.' Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



0<M 



o^ i . ^]P&^£t&2 *& 



'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar 
Allah ' (Al-Baqarah: 158). 

Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Barangkali ayat ini di- 
turunkan berkenaan dengan mereka (sebagian ahlul ilmi) dan mereka 
(kalangan orang-orang Ansar) yang lainnya." Imam Bukhari meriwa- 
yatkannya melalui hadis Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayah- 
nya, dari Siti Aisyah yang lafaznya semisal dengan hadis di atas. 

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepa- 
da kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami 
Sufyan, dari Asim ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah, 
bertanya kepada Anas r.a. tentang masalah Safa dan Marwah. Maka 
Anas r.a. menjawab, "Pada mulanya kami menganggari termasuk per- 



62 Juz 2 — Al-Baqarah 

kara Jahiliah. Ketika Islam datang, maka kami berhenti melakukan ta- 
waf di antara keduanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

'Sesungguhnya Saf a dan Marwah adalah bagian dari syiar Allah. ' 
(Al-Baqarah: 158) 

Imam Qurtubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya,dari Ibnu Abbas 
r.a. yang mengatakan bahwa setan-setan menyebar di antara Safa dan 
Marwah di sepanjang malam, di antara keduanya banyak terdapat ber- 
hala-berhala. Ketika Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulul- 
lah Saw. tentang melakukan sa'i di antara keduanya, maka turunlah 
ayat ini (Al-Baqarah: 158). 

Asy-Sya'bi mengatakan, "Dahulu berhala Isaf berada di atas Sa- 
fa, dan berhala Na-ilah berada di atas Marwah; mereka selalu meng- 
usap keduanya. Akhirnya mereka merasa berdosa sesudah masuk 
Islam untuk melakukan tawaf di antara keduanya. Maka turunlah ayat 
ini (Al-Baqarah: 158). 

Menurut kami, Muhammad ibnu Ishaq menyebutkan di dalam ki- 
tab Sirah-nyz bahwa berhala Isaf dan Na-ilah pada mulanya adalah 
dua orang manusia (laki-laki dan perempuan), lalu keduanya berzina 
di dalam Ka'bah, maka keduanya dikutuk menjadi batu. Kemudian 
orang-orang Quraisy memancangkan keduanya di dekat Ka'bah untuk 
dijadikan sebagai pelajaran bagi orang lain. Ketika masa berlalu cu- 
kup lama, keduanya disembah, kemudian letaknya dipindahkan ke Sa- 
fa dan Marwah, lalu keduanya dipancangkan di tempat tersebut. Se- 
tiap orang yang melakukan tawaf (sa'i) di antara Safa dan Marwah 
selalu mengusap keduanya. Karena itu, Abu Talib pernah mengatakan 
dalam salah satu kasidahnya yang terkenal: 

Di tempat orang-orang yang ziarah menambatkan unta-unta ken- 
daraan mereka, mereka benar-benar bagaikan air bah turun dari 
Isaf dan Na-ilah. 



Tafsir Ibnu Kasir 63 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jabir yang cu- 
kup panjang, bahwa ketika Rasulullah Saw. selesai dari tawafnya di 
Baitullah, maka beliau kembali ke rukun, lalu mengusapnya, kemudi- 
an keluar dari pintu Saf a seraya membacakan firman-Nya: 

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar 
Allah. (Al-Baqarah: 158) 

Kemudian beliau Saw. bersabda: 

> v > • 

Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni dari 
Safa ke Marwah). 

Di dalam riwayat Imam Nasai disebutkan: 

) j, ♦ ^ j <' 

Mulailah oleh kalian dengan apa yang dimulai oleh Allah! 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, 
telah menceritakan kepada kami Abdullah Mu-ammal, dari Ata ibnu 
Abu Rabah, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Habibah binti Abu Taj- 
rah yang menceritakan: 

\y t, ossfsij ' S"f s * 'SS»s f^U' *""*& 

<&*- « <^3*3 f**b3 3*3??>**iCJte<j"^J 5-SLT' 

J, 



Aku melihat Rasulullah Saw. sa'i antara Safa dan Marwah, se- 
dangkan orang-orang berada di bagian depannya dan beliau di 



(54 Juz 2 — Al-Baqarah 



belakang mereka seraya bersa'i, hingga aku melihat kedua lutut- 
nya, karena sa'inya yang kencang hingga kain sarungnya berpu- 
tar seraya mengatakan, "Bersa'ilah kalian, karena sesungguhnya 
Allah telah memfardukan sa'i atas kalian." 

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Abdur Razzaq yang 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Wasil 
maula Abu Uyaynah, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Safiyyah binti 
Syaibah, bahwa ada seorang wanita menceritakan kepadanya; dia per- 
nah mendengar Nabi Saw. di antara Safa dan Marwah menyerukan: 






Telah difardukan atas kalian sa'i. Karena itu, bersa'ilah kalian! 

Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa sa'i an- 
tara Safa dan Marwah merupakan salah satu dari aikun ibadah haji, 
seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan para pengikutnya, dan 
menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang merupakan pen- 
dapat yang terkenal dari Imam Malik. 

Menurut suatu pendapat, sa'i bukan rukun haji, tetapi hukumnya 
wajib. Karena itu, barang siapa yang meninggalkannya — baik dengan 
sengaja atau lupa — ia dapat menggantinya dengan menyembelih kur- 
ban. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad 
dan dijadikan pegangan oleh segolongan ulama. 

Menurut pendapat yang lain, sa'i hukumnya sunat. Hal ini dikata- 
kan oleh Imam Abu Hanifah, As'-Sauri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Sirin 
yang bersumberkan dari riwayat Anas, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas; 
juga diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-Utabiyyah. 
Menurut Imam Qurtubi, alasan mereka mengatakannya sunat berda- 
sarkan firman-Nya: 

Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan ke- 
relaan hati. (Al-Baqarah: 158) 



Tafsir Ibnu Kasir 65 



Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat karena Rasulullah 
Saw. melakukan sa'i antara keduanya seraya mengucapkan: 

Hendaklah kalian mengambil dariku manasik-manasik kalian. 

Semua yang dilakukan oleh Nabi Saw. dalam hajinya itu hukumnya 
wajib dan harus dikerjakan dalam ibadah haji, kecuali hal-hal yang 
dikecualikan berdasarkan dalil. 

Dalam keterangan terdahulu telah disebutkan sabda Nabi Saw. 
yang mengatakan: 

Bersa'ilah kalian! Karena sesungguhnya Allah telah memfardu- 
kan sa'i atas kalian. 

Allah Swt. telah menjelaskan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah ter- 
masuk salah satu syiar Allah, yakni salah satu syiar yang disyariatkan 
oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s. dalam manasik haji. Telah 
dijelaskan pula dalam hadis Ibnu Abbas bahwa asal mula hal tersebut 
diambil dari tawaf Siti Hajar, ia pulang pergi antara Safa dan Marwah 
dalam rangka mencari air untuk putranya ketika persediaan air dan 
bekal mereka habis setelah mereka ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim 
a.s. di tempat tersebut. Sedangkan di tempat itu tidak ada seorang ma- 
nusia pun selain mereka berdua. 

Ketika Siti Hajar merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup 
putranya di tempat itu karena perbekalannya telah habis, maka Siti 
Hajar meminta pertolongan kepada Allah Swt. Ia mondar-mandir an- 
tara Safa dan Marwah seraya merendahkan diri, penuh dengan rasa 
takut kepada Allah dan sangat mengharapkan pcrtolongan-Nya, hing- 
ga Allah membebaskannya dari kesusahannya itu, dan mengusir rasa 
keterasingannya, melenyapkan kesengsaraannya, serta menganugerah- 
kan kepadanya zamzam yang airnya merupakan makanan yang me- 
ngenyangkan dan obat penawar bagi segala penyakit. 



66 Juz 2 — Al-Baqarah 



Karena itu, orang yang melakukan sa'i di antara Safa dan Mar- 
wah hendaknya melakukannya dengan hati yang penuh harap kepada 
Allah, rendah diri dan memohon petunjuk serta perbaikan keadaan- 
nya, dan mengharapkan ampunan-Nya. Hendaknya dia berlindung ke- 
pada Allah Swt. agar dibebaskan dari semua kekurangan dan aib yang 
ada pada dirinya, dan memohon hidayah-Nya akan jalan yang lurus. 
Hendaknya dia memohon kepada Allah agar hatinya ditetapkan pada 
hidayah itu (Islam) hingga akhir hayatnya. Hendaknya ia memohon 
kepada Allah agar Dia mengalihkan keadaan dirinya yang penuh de- 
ngan dosa dan kedurhakaan kepada keadaan yang sempurna, ampun- 
an, keteguhan hati dalam menempuh jalan yang lurus, seperti apa 
yang dialami oleh Siti Hajar a.s. 

Firman Allah Swt.: 

k' "AC'" 

Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan 
kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158) 

Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i 
lebih dari yang telah diwajibkan, misalnya delapan kali putaran atau 
sembilan kali putaran. 

Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah melakukan 
sa'i di antara Safa dan Marwah dalam haji tatawwu' (sunat) dan 'um- 
rah tatawwu' . 

Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah 
melakukan tambahan kebaikan dalam semua jenis ibadah. Semuanya 
diriwayatkan oleh Ar-Razi, dan pendapat yang ketiga dikaitkan dengan 
Al-Hasan Al-Basri. 

Firman Allah Swt.: 



0«A> 






Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha 
Mengetahui. (Al-Baqarah: 158) 



Tafsir Ibnu Kasir 67 



Yakni Allah memberi pahala kepada amal yang sedikit dan amal yang 
banyak tanpa pandang bulu, lagi Maha Mengetahui kadar pahala yang 
diberikan-Nya; maka tiada seorang pun dirugikan dalam menerima 
pahala dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, 
yaitu: 

** ^ — / * 

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang, walaupun se- 
besar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya 
Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya 
pahala yang besar. (An-Nisa: 40) 

Al-Baqarah, ayat 159-162 

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang te- 
lah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) 
dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia 
dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) 
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka 



68 Juz 2 — Al-Baqarah 



yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan 
(kebenaran); maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobat- 
nya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penya- 
yang. Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam 
keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, 
dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak 
akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka di- 
beri tangguh. 

Ancaman yang keras buat orang yang menyembunyikan apa yang te- 
lah disampaikan oleh rasul-rasul berupa keterangan-keterangan yang 
jelas yang bertujuan benar serta petunjuk yang bermanfaat bagi hati 
manusia, sesudah dijelaskan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba- 
Nya melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya. 

Abui Aliyah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan 
dengan orang-orang Ahli Kitab. Mereka menyembunyikan sifat Nabi 
Muhammad Saw. Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa sega- 
la sesuatu melaknat perbuatan mereka itu; sebagaimana halnya orang 
yang alim, segala sesuatu memohonkan ampun baginya, hingga ikan- 
ikan yang ada di air dan burung-burung yang ada di udara. Sikap me- 
reka (Ahli Kitab) bertentangan dengan sikap ulama. Karena itu, me- 
reka dilaknat oleh Allah, dan segala sesuatu ikut melaknat mereka. 

Telah disebutkan di dalam hadis musnad melalui berbagai jalur 
yang satu sama lainnya saling memperkuat predikat hadis, dari Abu 
Hurairah dan lain-lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. 
pernah bersabda: 

Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia me- 
nyembunyikannya, niscaya dia akan disumbat kelak di hari kia- 
mat dengan tali kendali dari api neraka. 

Di dalam kitab sahih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa ia pernah 
mengatakan, "Seandainya tidak ada suatu ayat dalam Kilabullah, nis- 
caya aku tidak akan menceritakan apa pun kepada orang lain." Yang 
dimaksud ialah firmaa-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 69 



Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang te- 
lah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) 
dan petunjuk. (Al-Baqarah: 159), hingga akhir ayat. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Ha- 
san ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Ammar ibnu Mu- 
hammad, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari 
Zazan Abu Umar, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan: 




1,V~ y,, *< f'* 






Bahwa kami pernah bersama Nabi Saw. menghadiri suatu jena- 
zah, maka beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang kafir 
akan dipukul sekali pukul di antara kedua matanya; semua 
makhluk hidup mendengar (jcritan)nya selain manusia dan jin, 
maka semua hewan yang mendengar suaranya melaknatnya. 
Yang demikian itu adalah firman Allah Swt., 'Mereka itu di- 
laknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang 
dapat melaknati! ' (Al-Baqarah: 1 59), yakni semua hewan bumi." 

Ibnu Majah meriwayatkan pula hadis ini dari Muhammad ibnus Sa- 
bah, dari Amir ibnu Muhammad dengan lafaz yang sama. Ata ibnu 
Abu Rabah mengatakan bahwa semua hewan, jin, dan manusia turut 
melaknatinya. 

Mujahid mengatakan bahwa apabila bumi kekeringan (paceklik), 
maka semua hewan mengatakan, "Ini akibat orang-orang yang durha- 



70 Juz 2 — Al-Baqarah 

ka dari Bani Adam, semoga Allah melaknat orang-orang durhaka dari 
Bani Adam." 

Abui Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah mengatakan se- 
hubungan dengan takwil firman-Nya: 

Dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melak- 
nati. (Al-Baqarah: 159) 

Yakni mereka dilaknati oleh para malaikat dan orang-orang mukmin. 
Telah disebutkan di dalam sebuah hadis bahwa orang yang alim itu 
dimintakan ampunan baginya oleh segala sesuatu sehingga ikan-ikan 
yang ada di laut memintakan ampunan buatnya. Di dalam ayat ini 
(Al-Baqarah ayat 159) disebutkan bahwa orang yang menyembunyi- 
kan ilmu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, seluruh manusia, 
dan semua makhluk yang dapat melaknati. Mereka adalah semua 
makhluk yang dapat berbicara dan yang tidak dapat bicara, baik de- 
ngan lisan ataupun dengan perbuatan, jika makhluk itu termasuk yang 
berakal pada hari kiamat. 

Kemudian Allah Swt. mengecualikan dari mereka orang-orang 
yang bertobat kepada-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 



O-iS^O 



s&^mzH 



Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan 
menerangkan (kebenaran). (Al-Baqarah: 160) 

Yaitu mereka kembali sadar dari apa yang sebelumnya mereka laku- 
kan dan mau memperbaiki amal perbuatannya serta menjelaskan ke- 
pada orang-orang semua apa yang sebelumnya mereka sembunyikan. 

_ .. .__ "f' >->^'A%\< 

C" 



„ w .^ii0iGi&#$fo$& 



Maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Aku- 
lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqa- 
rah: 160) 



Tafsir Ibnu Kasir 71 

Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa orang yang menyeru 
kepada kekufuran atau bid'ah, apabila ia bertobat kepada Allah, nis- 
caya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya telah disebutkan bahwa 
umat-umat terdahulu yang melakukan perbuatan seperti itu, tobat me- 
reka tidak diterima, karena sesungguhnya hal ini merupakan kekhu- 
susan bagi syariat Nabi pembawa tobat, yaitu Nabi pembawa rahmat; 
semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepadanya. 

Kemudian Allah Swt. menceritakan keadaan orang yang kafir 
dan tetap pada kekafirannya hingga ia mati, melalui firman-Nya: 

Mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia 
seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu. (Al-Baqarah: 161- 
162) 

Maksudnya, laknat terus mengikuti mereka sampai hari kiamat, ke- 
mudian laknat membarenginya di dalam neraka Jahannam yang tidak 
diringankan siksa dari mereka di dalamnya. Dengan kata lain, siksaan 
yang menimpa mereka tidak dikurangi, tidak pula mereka diberi tang- 
guh; yakni tidak ada perubahan barang sesaat pun, tidak pula ada henti- 
hentinya, bahkan siksaan terus-menerus berlangsung terhadap dirinya. 
Semoga Allah melindungi kita dari siksaan tersebut. 

Abui Aliyah dan Qatadah mengatakan, sesungguhnya orang kafir 
itu akan dihentikan di hari kiamat, lalu Allah melaknatnya, kemudian 
para malaikat melaknatnya pula, setelah itu manusia seluruhnya me- 
laknatnya. 

Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai 
masalah boleh melaknat orang-orang kafir. Sesungguhnya dahulu 
Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. serta para imam sesudahnya melak- 
nati orang-orang kafir dalam doa qunut mereka dan doa lainnya. 

Mengenai orang kafir tertentu, ada segolongan ulama yang ber- 
pendapat tidak boleh melaknatinya, dengan alasan bahwa kita belum 
mengetahui khatimah apakah yang dikehendaki oleh Allah buatnya. 
Sebagian di antara ulama memperbolehkan demikian dengan ber- 
dalilkan firman-Nya: 



72 Juz 2 — Al-Baqarah 






Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keada- 
an kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan 
manusia seluruhnya. (Al-Baqarah: 161) 

Segolongan ulama lainnya berpendapat, bahkan boleh melaknati 
orang kafir yang tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Al-Faqih Abu Ba- 
kar ibnul Arabi Al-Maliki, tetapi dalil yang dijadikan pegangannya 
adalah sebuah hadis yang di dalamnya mengandung ke-daif-m. Se- 
dangkan selain Abu Bakar ibnul Arabi berdalilkan sabda Rasulullah 
Saw. dalam kisah seorang lelaki pemabuk yang dihadapkan kepada- 
nya, lalu beliau menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Kemudian 
ada seorang lelaki (lain) yang mengatakan, "Semoga Allah melak- 
natinya, alangkah besar dosa yang dilakukannya." Maka Rasulullah 
Saw. bersabda: 

9< 9 9^*, Jl J J>-9^ ,'9'**' f'Vi 

Janganlah engkau melaknatinya, karena sesungguhnya dia men- 
cintai Allah dan Rasul-Nya. 

Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mencintai 
Allah dan Rasul-Nya boleh dilaknati. 



Al-Baqarah, ayat 163 



Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa: tidak ada Tu- 
han melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 



Taisir Ibnu Kasir 73 

Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan bahwa diri-Nya adalah Tu- 
han Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, tiada yang sama 
dengan-Nya. Dia adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung ke- 
pada-Nya segala sesuatu, yang tiada Tuhan yang wajib disembah ke- 
cuali hanya Dia, dan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Pemurah 
lagi Maha Penyayang. Tafsir kedua asma ini telah dikemukakan da- 
lam permulaaan tafsir surat Al-Fatihah. Di dalam sebuah hadis dari 
Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan, dari Rasu- 
lullah Saw., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Na- 
ma Allah Yang Mahaagung terdapat di dalam dua ayat berikut," yak- 
ni firman-Nya: 



t f* 



Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tu- 
han melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 
(Al-Baqarah: 163) 



i 



\ffi$$&&$'&'.p\ 



AlifLam Mim. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hi- 
dup Kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. (Ali Imran: 1-2) 

Kemudian Allah Swt. menyebutkan sifat-Nya Yang Maha Esa mela- 
lui penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya 
semua makhluk yang diciptakan dan diadakan-Nya, yang semuanya 
menunjukkan akan keesaan-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Al-Baqarah, ayat 164 



74 Juz 2 — Al-Baqarah 






Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti- 
nya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa 
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan 
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi se- 
sudah mati (keringnya dan Dia sebarkan di bumi itu segala je- 
nis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan 
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan 
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. 

Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan 
bumi yang kita lihat sekarang ketinggiannya, keindahannya, keluasan- 
nya, bintang-bintangnya yang beredar, yang tetap, serta perputaran fa- 
lak (kosmik)nya; dan bumi ini yang dengan kepadatannya, lembah- 
lembahnya, gunung-gunungnya, lautannya, padang saharanya, hutan 
belantaranya, dan keramaiannya serta segala sesuatu yang ada pada- 
nya berupa berbagai macam manfaat; pergantian malam dan siang ha- 
ri; datang, lalu pergi, kemudian digantikan dengan yang lainnya se- 
cara silih berganti tanpa ada keterlambatan barang sedikit pun, seperti 
yang disebutkan oleh firman-Nya: 

/■>} Sv4 {.< 

Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam pun 
tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada 
garis edarnya. (Yasin: 40) 



c 



Tafsir Ibnu Kasir 75 

Adakalanya yang ini panjang dan yang itu pendek, dan adakalanya 
yang ini mengambil sebagian waktu dari yang itu. Demikianlah sete- 
rusnya secara bergantian, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 

Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang 
ke dalam malam. (Fatir: 13) 

Dengan kata lain, menambahkan yang ini dari yang itu dan menam- 
bahkan yang itu dari yang ini. 

Firman Allah Swt.: 

Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi 
manusia. (Al-Baqarah: 164) 

Yakni Allah menundukkan laut agar dapat membawa berlayar pera- 
hu-perahu dari satu pantai ke pantai yang lain untuk keperluan peng- 
hidupan manusia dan dapat dimanfaatkan oleh para penduduk yang 
berada di kawasan tersebut, sebagai jalur transportasi untuk mengang- 
kut keperluan-keperluan dari suatu pantai ke pantai yang lainnya se- 
cara timbal balik. 

Firman Allah Swt.: 

dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan 
air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya. (Al-Ba- 
qarah: 164) 

Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: 



76 Juz 2 — Al-Baqarah 

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka ada- 
lah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluar- 
kan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan — sampai 
dengan firman-Nya, "Maupun dari apa yang tidak mereka ke- 
tahui "— (Yasln: 33-36). 

Adapun firman Allah Swt.: 



Qni t o^LJi 3 






dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. (Al-Baqarah: 
164) 

dengan berbagai macam bentuk, warna, kegunaan, kecil, dan besar- 
nya. Dia Maha Mengetahui semuanya itu dan Dia memberinya rezeki, 
tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari hal itu, seperti yang dise- 
butkan oleh firman-Nya: 

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan 
Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat 
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya 
tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Hud: 6) 






Firman Allah Swt.: 

dan pengisaran angin. (Al-Baqarah: 164) 

Yakni adakalanya datang membawa rahmat, dan adakalanya datang 
membawa bencana. Adakalanya angin datang membawa tanda yang 
menggembirakan, yaitu awan yang mengandung hujan; adakalanya 
angin menggiringnya dan menghimpunkannya; dan adakalanya men- 



Tafsir Ibnu Kasir 77 



cerai-bcraikannya, lalu mengusirnya. Kemudian adakalanya ia datang 
dari arah selatan yang dikenal dengan angin syamiyah, adakalanya da- 
tang dari arah negeri Yaman, dan adakalanya bertiup dari arah timur 
yang menerpa bagian muka Ka'bah, kemudian adakalanya ia bertiup 
dari arah barat yang menerpa dari arah bagian belakang Ka'bah. Me- 
mang ada sebagian orang yang menulis tentang angin, hujan, dan bin- 
tang-bintang ke dalam banyak karya tulis, yang pembahasannya me- 
merlukan keterangan yang panjang bila dikemukakan di sini. 
Firman Allah Swt.: 

dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. (Al-Ba- 
qarah: 164) 

Yakni bergerak antara langit dan bumi, ditundukkan menuju tempat- 
tempat yang dikehendaki oleh Allah dan dipalingkan menurut apa 
yang dikehendaki-Nya. 
Firman Allah Swt.: 



nt-. 5i_Ji _] 



Sjr^jJii^ 



sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) 
bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164) 

Yakni dalam kesemuanya itu benar-benar terdapat tanda-tanda yang 
jelas menunjukkan keesaan Allah Swt. dan kebesaran kekuasaan-Nya. 
Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: 



78 Juz 2 — Al-Baqarah 



0-^*oi~&_J~~) 



Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih ber- 
gantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- 
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah 
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan 
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya 
berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini de- 
ngan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari sik- 
sa neraka." (Ali Imran: 190-191) 

Al-Haflz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah mencerita- 
kan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah men- 
ceritakan kepada kami Sa'id Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepa- 
daku ayahku, dari kakek, dari Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far ibnu 
Abui Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceri- 
takan hadis berikut: 

^^L J % Cs^j^ V* J ****** '(-^(J*^ L^j^^^^o^Li 



Tafsir Ibnu Kasir 79 



Orang-orang Quraisy datang kepada Nabi Saw., lalu mereka 
berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya kami menginginkan 
kamu mendoakan kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit 
Safa ini emas buat kami. Untuk itu maka kami akan membeli ku- 
da dan senjata dengannya, dan kami akan beriman kepadamu 
serta berperang bersamamu." Nabi Saw. menjawab, "Berjanji- 
lah kalian kepadaku, bahwa sekiranya aku berdoa kepada Tu- 
hanku, kemudian Dia menjadikan bagi kalian Bukit Safa emas, 
kalian benar-benar akan beriman kepadaku. " Maka mereka 
mengadakan perjanjian dengan Nabi Saw. untuk hal tersebut. 
Lalu Nabi Saw. berdoa kepada Tuhannya, dan datanglah 
Malaikat Jibril kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya 
Tuhanmu sanggup menjadikan Bukit Safa emas buat mereka, 
dengan syarat jika mereka tidak juga beriman kepadamu, maka 
Allah mengazab mereka dengan siksaan yang belum pernah Dia 
timpakan kepada seorang pun di antara makhluk-Nya. " Nabi 
Muhammad Saw. berkata, "Wahai Tuhanku, tidak, lebih baik 
biarkanlah aku dan kaumku. Aku akan tetap menyeru mereka 
dari hari ke hari. " Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, 
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih 
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut 
membawa apa yang berguna bagi manusia. " (AI-Baqarah: 164), 
hingga akhir ayat. 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari jalur lain melalui Ja'far 
ibnu Abui Mugirah dengan lafaz yang sama. Ia menambahkan di 
akhirnya: 



Sl££j£ 



■<yi 



gQ Juz 2 — Al-Baqarah 



(Malaikat Jibril berkata), "Mengapa mereka meminta kepadamu 
Bukit Safa (agar dijadikan emas), padahal mereka melihat tanda- 
tanda kekuasaan Allah yang lebih besar daripada Bukit Safa 
itu?" 

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah mence- 
ritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata yang men- 
ceritakan bahwa diturunkan ayat berikut kepada Nabi Saw. ketika di 
Madinah, yaitu firman-Nya: 

Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tu- 
han melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 
(Al-Baqarah: 163) 

Maka orang-orang kafir Quraisy di Mekah berkata, "Bagaimanakah 
dapat memenuhi manusia semuanya hanya dengan satu Tuhan?" Lalu 
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti- 
nya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa 
apa yang berguna bagi manusia — sampai dengan firman-Nya — 
sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran dan keesaan Allah) 
bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164) 

Dengan demikian, maka mereka mengetahui bahwa Tuhan adalah 
Yang Maha Esa, dan Dia adalah Tuhan segala sesuatu serta Yang 
Menciptakan segala sesuatu. 



Tafsir Ibnu Kasir 8 1 



Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Sufyan, dari ayahnya, dari Abud Duha, bahwa ketika firman-Nya ber- 
ikut diturunkan: 

r ^ r S ji^ 1 -^li 4lJ,y^U* 

Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Baqarah: 
163), hingga akhir ayat. 

Maka orang-orang musyrik berkata, "Sekiranya demikian, hendaklah 
dia (Nabi Saw.) mendatangkan kepada kami suatu tanda (bukti)." Lalu 
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti- 
nya malam dan siang — sampai dengan firman-Nya — kaum yang 
memikirkan. (Al-Baqarah: 164) 

Adam ibnu Iyas meriwayatkan pula dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), 
dari Sa'id ibnu Masruq (orang tua Sufyan), dari Abud Duha dengan 
lafaz yang sama. 



Al-Baqarah, ayat 165-167 






82 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tan- 
dingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaima- 
na mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman 
amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang- 
orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat 
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah 
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya 
mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu 
berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka 
melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka ter- 
putus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, 
"Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan 
berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri da- 
ri kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka 
amal perbuatannya menjadi sesatan bagi mereka; dan sekali-kali 
mereka tidak akan keluar dari api neraka. 

Allah menyebutkan keadaan kaum musyrik dalam kehidupan di dunia 
dan apa yang bakal mereka peroleh di negeri akhirat, disebabkan me- 
reka menjadikan tandingan-tandingan dan saingan-saingan serta seku- 
tu-sekutu yang mereka sembah bersama Allah, dan mereka mencintai 
tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Pa- 
dahal kenyataannya Allah adalah Tuhan yang tiada yang wajib disem- 
bah selain Dia. Tiada lawan, tiada tandingan, dan tiada sekutu bagi- 
Nya. 

Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Abdullah ibnu Mas'ud 
yang menceritakan hadis berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 83 

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling be- 
sar?" Rasulullah Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tan- 
dingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu. " 

Firman Allah Swt.: 

Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada 
Allah. (Al-Baqarah: 165) 

Demikian itu karena mereka cinta kepada Allah, makrifat kepada- 
Nya, mengagungkan-Nya, serta mengesakan-Nya; dan mereka sama 
sekali tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melainkan 
hanya menyembah-Nya semata dan bertawakal kepada-Nya serta 
kembali kepada-Nya dalam semua urusan mereka. 

Kemudian Allah Swt. mengancam orang-orang yang memperse- 
kutukan diri-Nya, yang berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri. 
Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu menge- 
tahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa ke- 
kuatan itu kepunyaan Allah semuanya. (Al-Baqarah: 165) 

Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah, "Sean- 
dainya mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri siksaan 
tersebut, niscaya mereka mengetahui saat itu bahwa kekuatan itu ke- 
punyaan Allah semuanya." Dengan kata lain, hanya Dia sematalah 
yang berhak menghukumi, tiada sekutu baginya; dan bahwa segala 
sesuatu itu berada di bawah keperkasaan-Nya, kekuatan-Nya, dan ke- 
kuasaan-Nya. 

dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (Al-Baqarah: 165) 



g4 J uz 2 — Al-Baqarah 

Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: 

0-vox^0 .J^AsUj^Jj-^U^CJ^J^j? 

Mata parfa /zan itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti sik- 
sa-Nya dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. 
(Al-Fajr: 25-26) 

Allah berfirman, "Seandainya mereka mengetahui apa yang bakal me- 
reka alami di akhirat nanti dan mengetahui apa yang bakal menimpa 
mereka, yaitu siksaan yang mengerikan lagi sangat besar karena per- 
buatan syirik dan keingkaran mereka, niscaya mereka akan bertobat 
dari kesesatannya." 

Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal protes berhala- 
berhala sesembahan mereka terhadap diri mereka dan orang-orang 
yang diikuti berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh para 
pengikutnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 



(_m t 'S 2-J 1 3 






(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang- 
orang yang mengikutinya. (Al-Baqarah: 166) 

Yakni para malaikat yang mereka jadikan sebagai sesembahan me- 
reka ketika di dunia berlepas diri dari perbuatan mereka, dan para 
malaikat mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 

Kami menyatakan berlepas diri (dari mereka) kepada Engkau, 
mereka sekali-kali tidak menyembah kami. (Al-Qasas: 63) 

Mereka mengatakan pula seperti yang disebutkan di dalam firman- 
Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 85 



Malaikat-malaikat itu menjawab, "Mahasuci Engkau, Engkaulah 
pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah 
jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu." (Saba': 41) 

Jin pun berlepas diri dari perbuatan mereka serta memprotes penyem- 
bahan orang-orang musyrik terhadap diri mereka, seperti yang dise- 
butkan di dalam firman-Nya: 

i 



Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah 
sembahan-sembdhan selain Allah yang tiada dapat memperke- 
nankan (doa)n;ya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari 
(memperhatikan) doa mereka? Dan apabila mereka dihimpunkan 
(pada hari kiamat), niscaya sembdhan-sembahan itu menjadi mu- 
suh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. (Al- 
Ahqaf: 5-6) 

O- m, ^3 A\^p^&^3^J*^*l 

Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, 
agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung mereka, sekali- 
kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan meng- 
ingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan 
mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi me- 
reka. (Maryam: 81-82) 



g6 Juz 2 — Al-Baqarah 

Nabi Ibrahim Al-Khalil pernah berkata kepada kaumnya yang disitir 
oleh firman-Nya: 

•i 






'^jfcji^'j^^:^^^ 



Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah 
adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara ka- 
lian dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagi- 
an kalian mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kalian 
melaknati sebagian (yang lain); dan tempat kembali kalian ialah 
neraka, dan sekali-kali tak ada bagi kalian para penolong pun. 
(Al-'Ankabut 25) 

Dan Allah Swt. telah berfirman: 

<i\fy^i £?£ ?%j -*-*t opJj'Ciry* ^j-^yj 



"3 



Tafsir Ibnu Kasir 87 

Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang 
yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari me- 
reka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; 
orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang 
yang menyombongkan diri, "Kalau tidaklah karena kalian, tentu- 
lah kami menjadi orang-orang yang beriman." Orang-orang 
yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang di- 
anggap lemah, "Ramikah yang telah menghalangi kalian dari 
petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), se- 
benarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa." Dan 
orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang 
yang menyombongkan diri, "(Tidak), sebenarnya tipu daya (ka- 
lian) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika 
kalian menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menja- 
dikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Kedua belah pihak menyatakan 
penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan Kami pasang be- 
lenggu-belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak 
dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. 
(Saba': 31-33) 

Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, 
"Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang 
benar; dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku 
menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap 
kalian melainkan (sekadar) aku menyeru kalian, lalu kalian me- 



88 Juz 2 — Al-Baqarah 

matuhi semanku. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencerca 
aku, tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak da- 
pat menolong kalian, dan kalian pun sekali-kali tidak dapat me- 
nolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan ka- 
lian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Se- 
sungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang 
pedih. (Ibrahim: 22) 

Adapun firman Allah Swt.: 

dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala hubungan antara 
mereka terputus sama sekali. (Al-Baqarah: 166) 

Yakni mereka melihat azab Allah dan terputuslah semua jalan untuk 
selamat, serta mereka tidak menjumpai suatu jalan keluar pun yang 
dapat menghindarkan dan memalingkan mereka dari neraka. 

Ata meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan maksud 
firman-Nya: 

Dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama se- 
kali. (Al-Baqarah: 166) 

Yang dimaksud dengan asbab ialah hubungan intim dan kasih sa- 
yang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid di dalam riwayat 
yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Nujaih. 
Firman Allah Swt.: 

Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami 
dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari me- 
reka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." (Al-Ba- 
qarah: 167) 



Tafsir Ibnu Kasir 89 



Yakni seandainya kami dapat kembali lagi ke kehidupan di dunia, 
pastilah kami akan berlepas diri dari mereka dan tidak akan menyem- 
bah mereka dan kami tidak akan menoleh mereka barang sedikit pun, 
melainkan kami akan mengesakan Allah dengan menyembah-Nya se- 
mata. Akan tetapi, sebenarnya mereka berdusta dalam pengakuannya 
itu; dan bahkan seandainya mereka dikembalikan lagi ke dunia, nisca- 
ya mereka akan kembali melakukan hal-hal yang dilarang mereka 
melakukannya, karena sesungguhnya mereka itu benar-benar berdus- 
ta, seperti yang diberitakan oleh Allah Swt. tentang kedustaan mereka 
dalam hal ini. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: 

Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal per- 
buatannya menjadi sesalan bagi mereka. (Al-Baqarah: 167) 

Yakni amalan mereka lenyap dan hilang. Sebagaimana yang diung- 
kapkan Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: 

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami 
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 
23) 



o^i .... ^?£^g 

Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan me- 
reka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada 
suatu hari yang berangin kencang. (Ibrahim: 18), hingga akhir 
ayat. 



90 Juz 2 — At-Baqarah 

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana 
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang- 
orang yang dahaga. (An-Nur: 39), hingga akhir ayat. 

Karena itulah maka dalam akhir ayat disebutkan: 

Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al- 
Baqarah: 167) 

Al-Baqarah, ayat 168-169 

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa 
yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah- 
langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh 
yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh 
kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah 
apa yang tidak kalian ketahui. 

Setelah Allah Swt. menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia 
dan bahwa hanya Dialah yang menciptakan segalanya, maka Allah 
Swt. menjelaskan bahwa Dialah yang memberi rezeki semua makh- 
luk-Nya. Untuk itu Allah Swt. menyebutkan sebagai pemberi karunia 
kepada mereka, bahwa Dia memperbolehkan mereka makan dari se- 
mua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan bagi mereka lagi 
baik dan tidak membahayakan tubuh serta akal mereka, sebagai ka- 



Tafsir Ibnu Kasir 9 1 

runia dari Allah Swt. Allah melarang mereka mengikuti langkah-lang- 
kah setan, yakni jalan-jalan dan sepak terjang yang digunakan untuk 
menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahirah (he- 
wan unta bahirah), saibah (hewan unta saibah), wasilah (hewan unta 
wasilah), dan lain sebagainya yang dihiaskan oleh setan terhadap me- 
reka dalam masa Jahiliah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam ha- 
dis Iyad ibnu Hammad yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim, 
dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

>>J"i J*rf> \\s* *<" *-*£'*>> .* "" ^lljfti 

Allah berfirman, "Sesungguhnya semua harta yang telah Kuberi- 
kan kepada hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka." Selan- 
jutnya disebutkan, "Dan sesungguhnya Aku mencintakan hamba- 
hamba-Ku dalam keadaan cenderung kepada agama yang hak, 
maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan menyesatkan 
mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka apa-apa 
yang telah Kuhalalkan bagi mereka." 

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah mencerita- 
kan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada 
kami Muhammad ibnu Isa ibnu Syaibah Al-Masri, telah menceritakan 
kepada kami Al-Husain ibnu Abdur Rahman Al-Ihtiyati, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Jauzajani (teman karib Ibra- 
him ibnu Adam), telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari 
Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: 

a/f-^ 






92 Ju z 2 — Al-Baqarah 

S^r.'.^J&i c£J «Xlvo «»1J^T Ujuui L Z>jlai < S^frjjl 

Afcw membacakan ayat ini di hadapan Nabi Saw., "Hai sekalian 
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat 
di bumi" (Al-Baqarah: 168). Maka berdirilah Sa'd ibnu Abu 
Waqqas, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sudilah kiranya eng- 
kau doakan kepada Allah semoga Dia menjadikan diriku orang 
yang diperkenankan doanya. " Maka Rasulullah Saw. menjawab, 
"Hai Sa'd, makanlah yang halal, niscaya doamu diperkenankan. 
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini berada di dalam geng- 
gaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya seorang lelaki yang mema- 
sukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya benar-benar 
tidak diperkenankan doa darinya selama empat puluh hari. Dan 
barang siapa di antara hamba Allah dagingnya tumbuh dari ma- 
kanan yang haram dan hasil riba, maka neraka adalah lebih la- 
yak baginya." 

Firman Allah Swt.: 

K* /A" W*. 

Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi 
kalian. (Al-Baqarah: 168) 

Di dalam ayat ini terkandung makna yang menanamkan antipati ter- 
hadap setan dan sikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang di- 
ungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: 



&>£ 



f^^BS^ite^^stiJ^i 



Tafsir Ibnu Kasir 93 



(.1 






Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian. Maka anggaplah 
ia musuh (kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya 
mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka 
yang menyala-nyala. (Fatir: 6) 



«Z'/' 



'\ tf/"^ 4* J '.*'}•> f i <T/' f/i'*}* <£"'<' 

Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai 
pemimpin selain dari-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kali- 
an? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi 
orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi: 50) 

Qatadah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan takwil fir- 
man-Nya: 

dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (Al-Ba- 
qarah: 168) 

Setiap perbuatan durhaka kepada Allah, maka perbuatan itu langkah 
(jalan) setan. 

Ikrimah mengatakan, yang dimaksud dengan langkah-langkah se- 
tan ialah bisikan-bisikannya. 

Mujahid mengatakan bahwa langkah-langkah setan ialah dosa- 
dosanya atau kesalahan-kesalahannya. 

Menurut Abu Mijlaz, yang dimaksud dengan langkah-langkah se- 
tan ialah bernazar dalam maksiat. Asy-Sya'bi mengatakan, "Ada se- 
orang lelaki bernazar akan menyembelih anak laki-lakinya, lalu Mas- 
ruq memberikan fatwa kepadanya agar dia menyembelih seekor dom- 



94 Juz 2 — Al-Baqarah 

ba sebagai penggantinya dan ia mengatakan bahwa hal seperti itu ter- 
masuk langkah-langkah setan." 

Abud Duha meriwayatkan sebuah asar dari Masruq, bahwa disu- 
guhkan kepada Abdullah ibnu Mas'ud bubur susu dan garam, lalu ia 
makan, tetapi ternyata ada seorang lelaki dari kaum yang hadir men- 
jauhkan dirinya. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Berikanlah bagian ke- 
pada teman kalian itu." Lelaki itu menjawab, "Aku tidak mengingin- 
kannya." Ibnu Mas'ud bertanya, "Apakah kamu sedang puasa?" Lela- 
ki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Mas'ud bertanya, "Lalu mengapa ka- 
mu tidak mau makan bersama?" Lelaki itu menjawab, "Aku telah 
mengharamkan diriku makan bubur susu untuk selama-lamanya." 
Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Ini adalah termasuk langkah-langkah se- 
tan, makanlah dan bayarlah kifarat untuk sumpahmu itu!" 

Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Dan Ibnu Abu Ha- 
tim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah 
menceritakan kepada kami Hassan ibnu Abdullah Al-Masri, dari Su- 
laiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang menceritakan, "Pada suatu hari 
ibuku marah-marah kepada istriku, lalu ibuku berkata bahwa istriku 
adalah wanita Yahudi, dan di lain kali ia mengatakan bahwa istriku 
adalah wanita Nasrani. Dia mengatakan pula bahwa semua budak mi- 
liknya akan dimerdekakan jika aku tidak menceraikan istriku. Maka 
aku datang kepada Abdullah ibnu Umar meminta fatwa kepadanya, 
dan ia mengatakan, 'Ini merupakan salah satu dari langkah-langkah 
setan'." 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Zainab binti Ummu Salamah 
yang saat itu merupakan wanita paling alim dalam masalah fiqih di 
kota Madinah. Aku datang kepada Asim dan Ibnu Umar, keduanya 
mengatakan hal yang semisal. 

Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Abu Na'im, dari Syarik, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu 
Abbas yang mengatakan bahwa sumpah atau nazar apa pun yang di- 
lakukan dalam keadaan emosi merupakan salah satu dari langkah- 
langkah setan, dan kifaratnya sama dengan kifarat sumpah. 

Firman Allah Swt.: 



Tafsir Ibnu Kasir 95 



Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat 
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian 
ketahui. (Al-Baqarah: 169) 

Yakni sesungguhnya setan musuh kalian hanya memerintahkan kalian 
kepada perbuatan-perbuatan yang jahat dan perbuatan-perbuatan yang 
berdosa besar, seperti zina dan lain-lainnya; dan yang paling parah di 
antaranya ialah mengatakan terhadap Allah hal-hal yang tanpa di- 
dasari pengetahuan, dan termasuk ke dalam golongan terakhir ini se- 
tiap orang kafir, juga setiap pembuat bid'ah. 

Al-Baqarah, ayat 170-171 

<A J,& »■>< P'* f &i 



■cm 




Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah 
diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak), tetapi kami ha- 
nya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek 
moyang kami." "Apakah (mereka akan mengikuti juga) walau- 
pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, 
dan tidak mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang 
menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang 
memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan 
seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) 
mereka tidak mengerti. 

Allah Swt. berfirman, "Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir 
yang musyrik itu, 'Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah kepada 



96 Juz 2 — Al-Baqarah 

Rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang kalian 
lakukan itu!' Mereka menjawab pertanyaan tersebut, 'Tidak, tetapi 
kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang ka- 
mi'," yakni menyembah berhala dan tandingan-tandingan Allah. Ma- 
ka Allah membantah mereka melalui firman-Nya: 



&'£&£2®£tfZ$\ S&='& 



Apakah (mereka mengikuti juga) walaupun nenek moyang me- 
reka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat pe- 
tunjuk? (Al-Baqarah: 170) 

Artinya, apakah mereka tetap akan mengikuti jejak nenek moyang- 
nya, sekalipun nenek moyang mereka tidak mengerti apa pun dan ti- 
dak pula mendapat hidayah? 

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muham- 
mad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa 
ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang Yahudi 
yang diajak oleh Rasulullah Saw. untuk memeluk Islam, lalu mereka 
menjawab bahwa mereka hanya mau pengikuti apa yang mereka da- 
pati nenek moyang mereka melakukannya. Lalu Allah Swt. menurun- 
kan ayat ini. Allah membuat suatu perumpamaan perihal mereka, se- 
perti yang disebutkan di dalam firman-Nya: 



Ci 



■^■^mmm 



Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat 
mempunyai sifat yang buruk. (An-Nahl: 60) 

Adapun firman Allah Swt.: 



■w m&& 



Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir. 
(Al-Baqarah: 171), hingga akhir ayat. 

Yakni menyeru mereka yang tenggelam di dalam kesesatan, kezalim- 
an, dan kebodohannya sama dengan menyeru hewan gembalaan yang 



Tafsir Ibnu Kasir "7 



tidak memahami apa yang diserukan kepada mereka. Bahkan apabila 
diserukan kepada mereka suatu seruan oleh penggembalanya untuk 
membimbingnya, maka mereka tidak memahami apa yang dikatakan- 
nya selain hanya suaranya saja yang didengar, tanpa memahami mak- 
sudnya. 

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, 
Abui Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ata, Al-Khur- 
rasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. 

Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan suatu perumpamaan 
yang dibuatkan terhadap mereka sehubungan seruan mereka kepada 
berhala-berhala sesembahan mereka yang tidak mendengar, tidak me- 
lihat, dan tidak memahami apa pun. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Ja- 
rir. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, 
mengingat berhala-berhala itu memang tidak mendengar apa pun, ti- 
dak memahami dan tidak melihatnya, tidak bergerak dan tidak hidup. 

Firman Allah Swt.: 



9 •>*&£> 




Mereka tuli, bisu, dan buta. (Al-Baqarah: 171) 

Yakni tuli tidak dapat mendengar perkara yang baik, bisu tidak mau 
mengutarakannya, dan buta tidak dapat melihat jalan yang hak. 



C^'SM^.cy^!^ 



Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah: 171) 

Yakni mereka sama sekali tidak dapat memahami apa pun dan tidak 
dapat mengerti. Perihal mereka sama dengan apa yang disebutkan 
oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: 



98 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, 
bisu, dan berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dike- 
hendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan ba- 
rang siapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), 
niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (Al- 
An'am: 39) 



Al-Baqarah, ayat 172-173 



Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang 
baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah ke- 
pada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyem- 
bah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian 
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembe- 
lih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam ke- 
adaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam ke- 
adaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas, maka ti- 
dak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun 
lagi Maha Penyayang. 

Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang 
mukmin untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan- 
Nya kepada mereka, dan hendaknya mereka bersyukur kepada Allah 
Swt. atas hal tersebut, jika mereka benar-benar mengaku sebagai 
hamba-hamba-Nya. 



Tafsir Ibnu Kasir 99 

Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabul- 
nya doa dan ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat 
menghambat terkabulnya doa dan ibadah. Seperti yang disebutkan di 
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah mencerita- 
kan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al- 
Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu 
Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersab- 
da: 

Hai manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak mene- 
rima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah me- 
merintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa 
yang diperintahkan-Nya kepada para rasul, maka Allah berfir- 
man, "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, 
dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Me- 
ngetahui apa yang kalian kerjakan" (Al-Mu-minun: 51). Dan 
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di 
antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian" 
(Al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal 
seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya dengan rambut 
yang awut-awutan penuh debu, lalu ia menengadahkan kedua ta- 



100 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 

ngannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai Tu- 
hanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya 
dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari 
yang haram, mana mungkin doanya dikabulkan dengan cara de- 
mikian? 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahih- 
nya, dan Imam Turmuzi melalui hadis Fudail ibnu Marzuq. 

Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan 
memberi mereka petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikut- 
nya Allah menyebutkan bahwa Dia tidak mengharamkan kepada me- 
reka dari hal tersebut kecuali bangkai. Yang dimaksud dengan bang- 
kai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses penyem- 
belihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau 
tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas. Akan tetapi, 
jumhur ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena 
berdasarkan firman-Nya: 

Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang 
berasal) dari laut. (Al-Maidah: 96) 

Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga ber- 
dasarkan hadis ikan anbar dalam kitab Sahih, kitab Musnad, kitab 
Muwatta\ dan kitab-kitab Sunan, yaitu sabda Rasul Saw. mengenai 
laut: 

Laut itu airnya menyucikan lagi bangkainya halal. 

Imam Syafli, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni 
telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfW yang me- 
ngatakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 101 



Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, 
yaitu ikan dan belalang, serta hati dan limpa. 

Pembahasan secara detail mengenai masalah ini nanti akan 

diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah. 

Air susu bangkai dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya 
hukumnya najis — menurut Imam Syafii dan lain-lainnya — karena 
masih merupakan bagian dari bangkai tersebut. 

Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air 
susu dan telur tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor 
mujawairah. Demikian pula halnya keju yang terbuat dari air susu 
bangkai, masih diperselisihkan; tetapi menurut pendapat yang terkenal 
di kalangan mereka, hukumnya najis. Mereka mengemukakan dalil 
untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju 
orang-orang Majusi. Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehu- 
bungan dengan masalah ini mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit, 
sedangkan campurannya yang terdiri atas air susu banyak. Karena itu, 
najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur dengan cairan (suci) 
yang banyak." 

Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Saif ibnu Harun, dari 
Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. 
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai 
samin, keju, dan bulu. Maka beliau Saw. bersabda: 



J "s 



Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab- 
Nya, dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di 
dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak diterangkan pada- 
nya termasuk sesuatu yang dimaafkan. 

Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih 
ataupun mati dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian da- 
ging babi ialah lemaknya, adakalanya karena faktor prioritas atau ka- 



102 Juz 2 — Al-Baqarah 

rena pengertian daging mencakup lemaknya juga, atau melalui jalur 
kias (analogi) menurut suatu pendapat. 

Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, 
yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misal- 
nya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam 
serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang- 
orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya. 

Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, 
yang Ibnu Atiyyah pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia 
pernah ditanya mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta per- 
kawinan buat bonekanya, lalu wanita itu menyembelih seekor unta 
untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa da- 
ging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk ber- 
hala. 

Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah 
r.a., bahwa Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disem- 
belih oleh orang-orang 'ajam (selain bangsa Arab) untuk hari peraya- 
an mereka, lalu mereka menghadiahkan sebagiannya kepada kaum 
muslim. Maka Siti Aisyah r.a. menjawab, "Hewan yang disembelih 
untuk merayakan hari tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian 
hanya boleh makan buah-buahannya." 

Selanjutnya Allah Swt. memperbolehkan makan semua yang di- 
sebutkan tadi dalam keadaan darurat dan sangat diperlukan bila ma- 
kanan yang lainnya tidak didapati. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 



Ov,; (/ a_Ji ) 



Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), se- 
dangkan ia tidak maksiat dan tidak (pula) melampaui batas, ma- 
ka tidak ada dosa baginya. (Al-Baqarah: 173) 

Yakni bukan dalam keadaan maksiat, bukan pula dalam keadaan me- 
lampaui batas; tidak ada dosa baginya makan apa yang telah disebut- 
kan. 



Tafsir Ibnu Kasir 103 

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
(Al-Baqarah: 173) 

Mujahid mengatakan, "Barang siapa yang tidak maksiat dan tidak pu- 
la melampaui batas, yakni bukan dalam keadaan sebagai pembegal ja- 
lan (rampok), atau memberontak terhadap imam (penguasa), atau be- 
pergian untuk tujuan maksiat terhadap Allah, diperbolehkan baginya 
memakannya. Tetapi barang siapa yang bepergian karena memberon- 
tak atau melampaui batas atau berbuat maksiat kepada Allah, tidak 
ada rukhsah (dispensasi) baginya, sekalipun ia dalam keadaan da- 
rurat." Hal yang sama dikatakan pula menurut suatu riwayat yang 
bersumber dari Sa'id ibnu Jubair. 

Sa'id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan, yang 
dimaksud dengan gaira bagin ialah tidak menghalalkannya. 

As-Saddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena 
memperturutkan selera ingin memakannya. 

Adam ibnu Abi Iyas mengatakan, telah menceritakan kepada 
kami Damrah, dari Us"man ibnu Ata (yakni Al-Khurrasani), dari ayah- 
nya yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memanggang se- 
bagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, ti- 
dak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya kecuali 
hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemu- 
kan makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan makanan yang 
halal, ia harus membuangnya. Demikianlah yang dimaksud oleh fir- 
man-Nya, "Wala 'adin," yakni tidak boleh melampaui batas dalam 
memakannya bila telah menemukan yang halal. 

Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna wala 'adir. ialah tidak 
boleh sekenyangnya. Sedangkan As-Saddi menafsirkannya dengan 
makna al-'udwan, yakni melampaui batas. 

Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin yakni tidak 
menginginkan bangkai tersebut, wala 'adin artinya dan tidak melam- 
paui batas dalam memakannya. 

Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin artinya tidak mengingin- 
kan bangkai tersebut, yakni 'ketika keadaan memaksanya untuk me- 
makan bangkai, ia memakannya tidak melampaui batas garis-garis 
yang dihalalkan sampai kepada batas yang diharamkan, padahal ia 
mempunyai jalan keluar dari itu'. 



104 Juz 2 — Al-Baqarah 



Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan mak- 
na firman-Nya: 

<\ 9 * i ' < 

Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya). 
(Al-Baqarah: 173) 

Yakni dipaksa untuk memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya 
sendiri. 

Apabila orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat) menemukan 
suatu bangkai dan makanan milik orang lain, sekiranya tidak ada hu- 
kum potong tangan dalam mengambilnya dan tidak pula hukuman 
lainnya (ta'zir), maka tidak dihalalkan baginya memakan bangkai, 
melainkan ia boleh memakan makanan milik orang lain itu. Semua 
ulama sepakat, tanpa ada yang memperselisihkannya. 

Selanjutnya disebutkan, apabila dia memakannya dalam keadaan 
demikian, lalu apakah dia harus menggantinya atau tidak? Sebagai ja- 
wabannya ada dua pendapat, yang keduanya merupakan dua riwayat 
dari Imam Malik. Selanjutnya diketengahkan sebuah hadis dari Sunan 
Ibnu Majah melalui hadis Syu'bah, dari Abu Iyas, dari Ja'far ibnu 
Abu Wahsyiyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syu- 
rahbil Al-Anazi menceritakan hadis berikut, "Ketika tahun paceklik 
menimpa kami, aku datang ke Madinah, lalu aku memasuki sebuah 
kebun dan mengambil setangkai buah kurma. Aku memakannya, dan 
selebihnya aku masukkan ke dalam kantong bajuku. Ternyata pemilik 
kebun itu datang, maka dia memukuliku dan merampas bajuku. Lalu 
aku datang kepada Rasulullah Saw. dan kuceritakan kepadanya hal 
tersebut Maka beliau Saw. bersabda kepada pemilik kebun: 



, i^-uij LA^J I 



Tafsir Ibnu Kasir 105 



'Kamu tidak memberinya makan ketika dia sedang kelaparan 
dan dalam keadaan tidak bermata pencaharian, dan kamu tidak 
mengajarnya sewaktu dia tidak mengerti (bodoh).' Lalu Nabi 
Saw. memerintahkan kepadanya agar mengembalikan pakaian 
lelaki itu, dan Nabi Saw. memerintahkan pula agar diberikan ke- 
pada si pemilik kebun satu wasaq atau setengah wasaq makanan 
(sebagai gantinya)." 

Sanad hadis ini sahih, kuat lagi jayyid dan mempunyai banyak sya- 
wahid lainnya yang memperkuatnya. Termasuk ke dalam bab ini ha- 
dis lain yang diriwayatkan melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari 
ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya 
mengenai buah-buahan yang bergantung pada pohonnya. Maka beliau 
Saw. menjawab: 



T^\^ „ . » Z* ' 




„ . -> 7. " ' \ " 'V "' 



Barang siapa yang mengambil sebagian darinya cukup untuk 
makannya sendiri, sedangkan dia dalam keadaan miskin serta ti- 
dak mengambil bekal darinya, tidak ada dosa baginya, hingga 
akhir hadis. 

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman- 
Nya: 



9' -<//<>l ,f , A ,f<4L, 



^t 






maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173) 

Yakni tidak ada dosa baginya karena memakan makanan itu, sebab 
dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu riwayat 
— hanya Allah Yang Mengetahui — bahwa makanan tersebut tidak 
boleh lebih dari tiga suap. 



106 Juz 2 — Al-Baqarah 

Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah sebagai berikut: 
"Allah Maha Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari 
barang yang haram, lagi Maha Penyayang karena Dia telah mengha- 
lalkan baginya barang yang haram dalam keadaan terpaksa." 

Waki' mengatakan bahwa Al-A'masy menceritakan kepada kami, 
dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan, "Barang siapa yang 
dalam keadaan terpaksa, lalu dia tidak mau makan dan minum, kemu- 
dian berakibat kepada kematiannya, maka dia masuk neraka." Penda- 
pat ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam 
keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan), bukan rukhsah (dis- 
pensasi). 

Abui Hasan At-Tabari yang dikenal dengan nama Kayalharasi 
(sahabat karib Imam Gazali) di dalam kitab Al-Istigal-nya mengata- 
kan, "Menurut pendapat yang sahih di kalangan kami, masalah ini sa- 
ma halnya dengan berbuka puasa bagi orang yang sakit dan karena 
penyebab lainnya yang membolehkannya berbuka puasa." 

Al-Baqarah, ayat 174-176 



Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang te- 
lah diturunkan Allah — yaitu Al-Kitab — dan menjualnya dengan 



Tafsir Ibnu Kasir 107 



harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak 
menelan) ke dalam perutnya melainkan api dan Allah tidak akan 
berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyuci- 
kan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itu- 
lah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan 
siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka me- 
nentang api neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah te- 
lah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan se- 
sungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al- 
Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari ke- 
benaran). 



Firman Allah Swt 

C 



«vt.^v^.L-^^lS^US^L^^S^Lt^Ol 



Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang te- 
lah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab. (Al-Baqarah: 174) 

Yakni orang-orang Yahudi yang menyembunyikan sifat-sifat (ciri- 
ciri) Nabi Muhammad Saw. dalam kitab-kitab yang ada di tangan me- 
reka, yang isinya antara lain mempersaksikan kerasulan dan kena- 
biannya. Lalu mereka dengan sengaja menyembunyikan hal tersebut 
agar kepemimpinan mereka tidak lenyap, dan agar tidak lenyap pula 
hadiah-hadiah dan upeti-upeti yang biasa diberikan oleh orang-orang 
Arab kepada mereka sebagai ungkapan rasa hormat orang-orang Arab 
kepada kakek moyang mereka. Maka mereka — semoga laknat Allah 
tetap menimpa mereka — merasa khawatir jika hal tersebut ditampak- 
kan kepada orang-orang, sehingga orang-orang akan mengikutinya 
dan meninggalkan mereka. 

Karena itulah mereka menyembunyikan berita tersebut demi 
mempertahankan apa yang biasa mereka hasilkan dari cara mereka 
itu, yaitu harta duniawi yang sedikit; mereka rela menjual akidah me- 
reka dengan hal tersebut. Dengan demikian, berarti mereka menukar 
hidayah perkara yang hak, membenarkan Rasul dan iman kepada apa 
yang diturunkan kepadanya dari Allah; dengan harta duniawi yang se- 



108 Juz 2 — Al-Baqarah 

dikit itu akhirnya kelak mereka akan kecewa dan merugi dalam kehi- 
dupan dunia dan akhiratnya. 

Kerugian mereka di dunia ialah karena sesungguhnya Allah me- 
nampakkan kepada hamba-hamba-Nya kebenaran Rasul-Nya melalui 
apa yang ditegakkannya dan Allah membekalinya dengan ayat-ayat 
yang jelas dan bukti-bukti yang mematahkan hujah mereka. Pada 
akhirnya orang-orang yang mereka khawatirkan akan mengikutinya 
kini benar-benar mengikutinya, dan jadilah orang-orang tersebut pem- 
bantu Rasul-Nya dalam memerangi mereka. Akhirnya mereka kem- 
bali dengan mendapat kemurkaan di atas kemurkaan. Allah mencela 
perbuatan mereka (Ahli Kitab) bukan hanya pada satu tempat dari Al- 
Qur'an-Nya, yang antara lain ialah ayat yang mulia ini, yaitu flrman- 
Nya: 

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang te- 
lah diturunkan Allah — yaitu Al-Kitab — dan menjualnya dengan 
harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak 
menelan) ke dalam perutnya melainkan api. (Al-Baqarah: 174) 

Yakni menukarnya dengan harta duniawi. Maka sesungguhnya apa 
yang mereka makan dari hasilnya itu hanyalah api belaka, sebagai ba- 
lasan dari penyembunyian mereka terhadap perkara yang hak. Api itu 
kelak di hari kiamat berkobar-kobar di dalam perut mereka. Sama 
halnya dengan gambaran yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu fir- 
man-Nya: 



t^" ^ '■>< ». 



c 






Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim se- 
cara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut- 



Tafsir Ibnu Kasir 109 

nya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala 
(neraka). (An-Nisa: 10) 

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah bersabda: 

Sesungguhnya orang yang makan atau minum dengan memakai 
wadah dari emas dan perak tiada lain hanyalah menegukkan 
(menelankan) ke dalam perutnya api neraka Jahannam. 

Firman Allah Swt: 

dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat 
dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat 
pedih. (Al-Baqarah: 174) 

Dikatakan demikian karena Allah Swt. murka terhadap mereka, 
mengingat mereka menyembunyikan perkara hak yang mereka ke- 
tahui. Untuk itu mereka berhak mendapat murka Allah, dan Allah ti- 
dak mau melihat mereka. 

Wala yuzakkihim, Allah tidak mau menyebut dan memuji nama 

mereka, bahkan Allah mengazab mereka dengan siksa yang amat 
pedih. 

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayat- 
kan melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah 
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



UO Juz 2 — Al-Baqarah 

Ada tiga macam orang, Allah tidak akan berbicara kepada mere- 
ka dan tidak akan melihat mereka, serta tidak akan menyucikan 
mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu: Orang 
tua yang berbuat zina, raja (penguasa) yang pendusta, dan orang 
miskin yang takabur. 

Kemudian Allah SwL berfirman menceritakan perihal mereka: 

Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesalan dengan pe- 
tunjuk. (Al-Baqarah: 175) 

Yaitu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan. Yang dimaksud 
dengan petunjuk ialah menyiarkan berita yang terdapat di dalam ki- 
tab-kitab mereka menyangkut sifat-sifat Rasulullah Saw. perihal kera- 
sulannya dan berita gembira kedatangannya, perintah mengikutinya 
dan percaya kepadanya; hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab nabi- 
nabi terdahulu. Yang dimaksud dengan kesesatan ialah mendustakan 
Nabi Saw., mengingkarinya, dan menyembunyikan sifat-sifatnya yang 
ada dalam kitab-kitab mereka. 



C' 



»• i -°jj>\ 3 . yi£i\i v Jl - ^ -* 



dan siksa dengan ampunan. (Al-Baqarah: 175) 

Maksudnya, mereka menukar magfirah Allah dengan siksa-Nya, yak- 
ni penyebab-penyebab magfirah mereka tukar dengan penyebab-pe- 
nyebab siksa. 

Firman Allah Swt.: 

Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (Al- 
Baqarah: 175) 

Allah menceritakan bahwa mereka berada di dalam siksa yang keras 
lagi besar dan mengerikan, hingga membuat orang yang melihat me- 



Tafsir Ibnu Kasir 111 



reka merasa takjub dengan keberanian mereka dalam menanggung 
siksa tersebut, padahal kerasnya siksaan yang mereka alami tak terpe- 
rikan dan semuanya berlindung kepada Allah dari siksa seperti itu. 

Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman- 
Nya: 

O- 



o». . ?^j\ d ouJ Ijfy^y»! C2 



Maka alangkah sabarnya mereka menentang api neraka. (Al-Ba- 
qarah: 175) 

Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah alangkah beraninya 
mereka kekal dalam mengerjakan kemaksiatan, padahal kemaksiatan 
itu menjerumuskan mereka ke dalam neraka. 
Firman Allah Swt.: 



[ivuSJLjl D 



.^a^ijr^sca> 



Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Ki- 
tab dengan membawa kebenaran. (Al-Baqarah: 176) 

Yakni sesungguhnya mereka berhak mendapat siksa yang keras ini, 
tiada lain karena Allah Swt. telah menurunkan kepada Rasul-Nya Na- 
bi Muhammad Saw. — juga kepada nabi-nabi sebelumnya — kitab-ki- 
tab-Nya yang membuktikan perkara hak dan menyalahkan perkara 
yang batil. Sedangkan mereka menjadikan ayat-ayat Allah sebagai 
olok-olokannya. Kitab mereka (Ahli Kitab) memerintahkan kepada 
mereka untuk menyampaikan ilmu dan menyebarkannya, tetapi me- 
reka menentangnya dan mendustakannya. Hal yang sama dialami pula 
oleh penutup para rasul, yaitu Nabi Muhammad Saw. Beliau menyeru 
mereka (Ahli Kitab) kepada Allah Swt., memerintahkan perkara yang 
makruf, serta melarang mereka melakukan perbuatan yang mungkar; 
tetapi mereka mendustakannya, menentangnya, mengingkari, dan me- 
nyembunyikan ciri-cirinya. Perbuatan mereka sama dengan memper- 
olok-olokkan ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada rasul-rasul- 
Nya. Oleh sebab itu, mereka berhak mendapat azab dan balasan yang 
setimpal. Karena itulah Allah Swt. berfirman: 



112 Juz 2 — Ai-Baqarah 






.i 



Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Ki- 
tab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang- 
orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-be- 
nar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran). (Al-Baqa- 
rah: 176) 

Al-Baqarah, ayat 177 

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu 
suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah 
kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, 
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta 
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang- 
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan 
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba 
sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang- 



Tafsir Ibnu Kasir 113 

orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang- 
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam 
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), 
dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa 

Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kai- 
dah-kaidah yang luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan 
oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah 
menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hisyam Al-Halbi, telah men- 
ceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Amir ibnu Syafi, 
dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a., telah menceritakan 
bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman, 
"Apakah yang dinamakan iman itu?" Maka Rasulullah Saw. mem- 
bacakan kepadanya firman Allah Swt.: 



(_WY t SjL-^ 3 



^p\&^m<^ 



Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu 
suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. 

Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar kembali 
bertanya, dan Rasulullah Saw. membacakan lagi ayat ini kepadanya. 
Kemudian Abu Zar bertanya lagi, maka Rasul Saw. menjawab: 

• 

Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buat- 
lah hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melaku- 
kan suatu keburukan, maka buatlah hatimu benci kepadanya. 

Akan tetapi, hadis ini berpredikat munqatf (terputus mata rantai sa- 
nadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan 
sahabat Abu Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di masa se- 
belumnya. 



114 Juz 2 — Al-Baqarah 

Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qa- 
sim Abdur Rahman, bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat 
Abu Zar, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu 
Zar membacakan kepadanya ayat berikut: 

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu 
suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 1 77), hingga akhir ayat. 

Kemudian lelaki itu berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah 
masalah kebajikan." Maka Abu Zar r.a. menceritakan kepadanya bah- 
wa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu menanya- 
kan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan kepadaku, 
maka beliau Saw. membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, le- 
laki itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka 
akhirnya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya dan mengisyaratkan 
dengan tangannya: 

Orang mukmin itu apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa 
gembira dan mengharapkan pahalanya; dan apabila dia menger- 
jakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut 
akan siksaannya. 

Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berpredikat munqati' 
pula. 

Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah 
Swt. setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mula- 
nya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan 
mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut terasa berat oleh segolong- 
an orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. 
Maka Allah Swt. menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di 



Tafsir Ibnu Kasir 1 15 

dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari 
hal tersebut tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan pe- 
rintah-perintah-Nya dengan patuh, serta menghadap ke arah mana 
yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah disyariatkan- 
Nya. 

Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; 
dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali de- 
ngan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan ka- 
rena perintah Allah dan syariatnya. Karena itulah maka Allah Swt. 
berfirman: 

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu 

suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah 
kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian. 
(Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. 

Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam masalah kurban dan 
menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya: 

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat 
mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang da- 
pat mencapainya. (Al-Hajj: 37) 

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna 
ayat ini, bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi 
tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari Mekah 
ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum 
had, maka Allah memerintahkan mereka untuk mengerjakan fardu- 
fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula 
dari Ad-Dahhak serta Muqatil. 



116 Juz 2 — Al-Baqarah 

Abui Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap 
ke arah barat, dan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. 
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



C IVV! 5 i/ J r J\J. 






Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii 
kebajikan. (Al-Baqarah: 177) 

Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya, yaitu 
pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan 
serta Ar-Rabi' ibnu Anas. 

Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ke- 
taatan kepada Allah Swt. yang telah meresap ke dalam hati." 

Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu 
ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ke- 
tentuannya. 

As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



C>vv J S_£J 



'■M&'&<& 



tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang 
yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir 
ayat. 

Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam keba- 
jikan. Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini. 
karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang disebut- 
kan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam 
ikatan Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan 
secara menyeluruh; yaitu iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan 
yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat 
yang merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasu!-N_va. 

Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup 
semua kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga di- 
akhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al- 
Qur'an yang isinya mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir 



Tafsir Ibnu Kasir 117 

padanya semua kebaikan, serta mengandung semua kebahagiaan di 
dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka di-na- 
sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran ber- 
iman kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling 
akhir, yaitu Nabi Muhammad Saw. 
Firman Allah Swt.: 



.&&&% 



dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177) 

Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat 
kepadanya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu 
Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti 
yang disebutkan di dalam hadis sahihain dari hadis Abu Hurairah 
secara marfu', yaitu: 

y ->S O y' »C, 

Sedekah yang paling utama ialah bila kamu mengeluarkannya, 
sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita 
ingin kaya dan takut jatuh miskin. 

Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui 
hadis Syu'bah dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, 
dari Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: 



"Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177), 
yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam 



118 Juz 2 — Al-Baqarah 

keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan kecukupan dan takut ja- 
tuh miskin. 

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan 
syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak 
mengetengahkannya. 

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al- 
A'masy, dan Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud 
secara mauauf dan lebih sahih. 

Allah Swt. telah berfirman: 

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada 
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguh- 
nya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk 
mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan 
dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 8-9) 

Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempur- 
na), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian 
cintai. (Ali Imran: 92) 



Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri 
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 
9) 

Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis 
lain dari cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada 



Tafsir Ibnu Kasir 119 

yang disebutkan oleh ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian itu karena 
mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sen- 
diri, padahal mereka sangat memerlukannya, tetapi mereka tetap 
memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang 
mereka sendiri mencintai dan memerlukannya. 

Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum 
kerabat lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang le- 
bih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di da- 
lam hadis sahih, yaitu: 

Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan 
sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan 
silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang le- 
bih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan pemberian- 
mu. 

Allah Swt. telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum ke- 
rabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari ki- 
tab-Nya. 

Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah me- 
reka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mere- 
ka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia 
di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian. 
Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, 
dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah Saw. 
yang telah bersabda: 



A 



^<^A 



Tiada yatim lagi sesudah usia balig. 



120 Juz 2 — Al-Baqarah 

Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemu- 
kan apa yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan me- 
reka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan 
dan keperluan mereka. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah 
hadis dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah 
bersabda: 

Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (memin- 
ta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, 
dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang se- 
sungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan apa yang men- 
cukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai 
orang miskin) hingga mudah diberi sedekah. 

Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang ke- 
habisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memu- 
langkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang 
akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi 
bekal yang mencukupinya buat pulang pergi. Termasuk ke dalam pe- 
ngertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu 
Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: 

Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan orang-orang 
muslim. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu 
Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' 
ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. 



Tafsir Ibnu Kasir 121 

Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya 
meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan se- 
dekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa telah men- 
ceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya menga- 
takan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Mu- 
hammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari 
ayahnya (yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 



't,'-}'* ~ 



*&&$zii$'frsm 



Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), seka- 
lipun dia datang dengan berkendaraan kuda. (Riwayat Imam 
Abu Daud) 

Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemu- 
kan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya. 
Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di 
dalam ayat sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Bara-ah (surat 
Taubah). 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, 
telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy- 
Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang menga- 
takan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah pa- 
da harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau mem- 
bacakan ayat berikut kepadanya, yaitu flrman-Nya: 



i^] 



■&&ti& 



dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177) 

Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu 
Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut 
dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti 
Qais yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersab- 
da; 



122 Juz 2 — Al-Baqarah 

"Di dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat. " Kemu- 
dian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah menghadapkan 
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan — sampai 
dengan firman-Nya — dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al- 
Baqarah: 177). 

Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu 
Hamzah (yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai 
daif. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, 
dari Asy-Sya'bi. 

Firman Allah Swt., "Wa-aqamas salata," artinya 'dan meram- 
pungkan semua pekerjaan salat pada waktunya masing-masing', yakni 
menyempurnakan rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tuma-ninah 
serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai. 

Firman Allah Swt., "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan 
zakat', tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian member- 
sihkan jiwa dan membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah la- 
gi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: 

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, 
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy- 
Syams: 9-10) 

Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya: 



*M$s- &JM& 



Tafsir Ibnu Kasir 123 

"Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesat- 
an). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu ta- 
kut kepada-Nya?" (An-Nazi'at: 18-19) 

Firman Allah Swt. yang mengatakan: 



Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang memper- 
sekutukan-(Ny&), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan 
zakat. (Fussilat: 6-7) 

Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh 
Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti 
hal yang telah disebutkan sebelumnya — yaitu memberikan sebagian 
harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan — hanyalah 
dianggap sebagai amal tatawww' (sunat), kebajikan, dan silaturahmi. 
Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang telah disebutkan 
di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat ke- 
wajiban selain zakat. 
Firman Allah Swt.: 

dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji. 
(Al-Baqarah: 177) 

Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.: 

(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak meru- 
sak perjanjian. (Ar-Ra'd: 20) 

Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan 
di dalam hadis sahih, yaitu: 



124 Juz 2 — Al-Baqarah 






Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; 
apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat. 

Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut: 

Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (jan- 
jinya); dan' 'apabila bersengketa, berbuat curang. 

Firman Allah Swt.: 

dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, 
dan dalam peperangan. (Al-Baqarah: 177) 

Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir, 
sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit 
dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinai ba-su ialah ketika pepe- 
rangan sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu 
Mas'ud, Ibnu Abbas, Abui Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id 
ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil 
ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya. 

Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-k&n karena mengandung 
pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk ber- 
sikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat ke- 
ras lagi sulit. 

Firman Allah Swt.: 



C^o^O.ljS^^iJLj^l 



Tafsir Ibnu Kasir 125 



Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). (Al-Baqarah: 
177) 

Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang 
yang benar imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan 
ucapan dan amal perbuatan; maka mereka itulah orang-orang yang 
benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka me- 
melihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan se- 
mua amal ketaatan. 

Al-Baqarah, ayat 178-179 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas 
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka 
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita de- 
ngan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan 
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti de- 
ngan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) memba- 
yar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik 
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan 
kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas 
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam 
qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai 
orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. 



126 Juz 2 — Al-Baqarah 



Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil da- 
lam hukum qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan 
orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita; ja- 
nganlah kalian melampaui batas dan jangan pula kalian berbuat ania- 
ya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas 
karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas." 
Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Ja- 
hiliah Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan dapat menga- 
lahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir 
membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dike- 
nakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa se- 
ratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh se- 
orang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq 
kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). 
Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum 
qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi me- 
nyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka 
karena ingkar dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang 
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba 
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) 

Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Mu- 
hammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada ka- 
mi Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul- 
lah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Lu- 
hai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu 
Jubair sehubungan dengan firman-Nya; 



O' 



,,^p%^4'^S^4^ 



Tafsir Ibnu Kasir 127 



Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas 
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Al-Baqarah: 178) 

Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan 
hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu 
karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berpe- 
rang di zaman Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka 
waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pem- 
bunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan 
kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat menuntut se- 
bagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu 
dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang 
menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekal- 
an). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang mer- 
deka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari 
kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh 
karena membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Berkenaan 
dengan mereka itu turunlah firman-Nya: 

Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, 
dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) 

Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat 
yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa." 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan 
dengan firman-Nya: 



£w > ojlJ\ 3 



* W 



;&« 



wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah: 
178) 

Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena 
membunuh wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena mem- 
bunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita 
lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



128 Ju7 2 — Al-Baqarah 



O'o-bUO 



.^O^lj^^cP^ 1 



Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45) 

Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam 
hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama 
mereka dengan sengaja; kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam 
kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis 
kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam 
kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus 
pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum wanitanya. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini 
di-mansukh oleh firman-Nya: 

jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45) 

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati 
karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat 
Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu 
Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu 
Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan 
Al-Hakam. 

Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As- 
Sauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang 
tuan pemilik budak dihukum mati karena membunuh budaknya, 
karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah yang menga- 
takan: 

v* 

Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula 
dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka 



Tafsir Ibnu Kasir 129 

kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri 
budaknya, maka kami kebiri pula ia. 

Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur 
ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena 
membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan barang 
dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru (tidak se- 
ngaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib 
hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya 
dalam kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; 
terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang mer- 
deka yang melakukannya. 

Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum 
mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadis sahih 
yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



•A^t^L&t* 



Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang 
kafir. 

Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan 
makna hadis ini. 

Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang mus- 
lim tetap dihukum mati karena membunuh orang kafir, karena 
keumuman surat Al-Maidah ayat 45. 

Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak 
dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan surat 
Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpen- 
dapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga 
berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: 

. f*Aj Lo j Ifl >c!<r^^cLluV 

Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama 
lainnya). 



130 Juz 2 — Al-Baqarah 

Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, 
maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh 
istrinya. 

Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa 
sejumlah orang-orang terkena hukuman mati semuanya karena mem- 
bunuh satu orang. Khalifah Umar r.a. pernah berkata dalam kasus 
seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang, "Seandainya semua 
penduduk San' a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati 
mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang 
sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang demikian itu sama 
kedudukannya dengan ijmd' (kesepakatan). 

Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang 
menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya mem- 
bunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati kecuali 
karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh 
Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Mar- 
wan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian 
Ibnul Munzir mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan 
tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati 
suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya ter- 
bukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang pen- 
dapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, 
maka jalan keluarnya ialah mempertimbangkannya. 

Firman Allah Swt.: 

Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari 
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan 
cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar 
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). 
(Al-Baqarah: 178) 

Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 1 3 1 






Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari sauda- 
ranya. (Al-Baqarah: 178) 

Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara 
sengaja ialah menerima pembayaran diat. Hal yang sama diriwayat- 
kan pula dari Abui Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair 
A^a, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan 
makna firman-Nya: 



C>VA 1 SjLJl ] 






Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari sauda- 
ranya. (Al-Baqarah: 178) 

Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya, 
yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut 
darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. 
Selanjutnya disebutkan: 

hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. 
(Al-Baqarah: 178) 

Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang 
baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada- 
ada. 



dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang 
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) 



1 32 Juz 2 — Al-Baqarah 



Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya tanpa membahaya- 
kan dirinya, juga tidak boleh menolak. Telah diriwayatkan oleh Imam 
Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu 
Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang di- 
beri maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan ca- 
ra yang baik. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, 
Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra- 
sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, 
yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Be- 
gitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii 
dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali 
darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, ke- 
cuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lain- 
nya berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan 
diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela. 

Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita ti- 
dak ada hak untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan demi- 
kian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al- 
Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda. 

Firman Allah Swt.: 

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian 
dan rahmat. (Al-Baqarah: 178) 

Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran 
diat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu 
keringanan dari Allah buat kalian dan merupakan suatu rahmat bagi 
kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan 
umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau me- 
maafkan secara cuma-cuma. Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu 
Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Di- 
nar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang me- 
ngatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas ber- 



Tafsir Ibnu Kasir 133 

kenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di ka- 
langan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi 
Muhammad Saw.): 



&&%&$%Wi 



Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang 
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak de- 
ngan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa 
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 
178) 

Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan sengaja. 
Yang demikian itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwa- 
jibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian. 



[_w\ j^jlJO 



.^£j&£P$$ 



hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, 
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang 
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) 

Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui 
Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya me- 
lalui Amr ibnu Dinar; hal yang semisal diriwayatkan pula oleh 
Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas. 

Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



£iym o ;l_J' 3 






Yang demikian itu adalah suat'u keringanan dari Tuhan kalian. 
(Al-Baqarah: 178) 



]34 Juz 2 — Al-Baqarah 



Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi 
mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada se- 
orang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di 
kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Se- 
dangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan 
kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas 
dan pemaafan serta diat. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id 
ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. 
Firman Allah Swt.: 

Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya 
siksa yang sangat pedih. (Al-Baqarah: 178) 

Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil 
diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka bagi- 
nya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras. 
Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu 
Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi ' ibnu 
Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Kesimpulan dari semua- 
nya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah 
orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya. 
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, 
dari Sufyan ibnu Abui Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa 
Nabi Saw. pernah bersabda: 






&&% x&m4&%'& 



Tafsir Ibnu Kasir 135 



Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau peluka- 
an, maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga 
perkara, yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya 
memaafnya, dan adakalanya mengambil diat. Dan jika dia meng- 
hendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya 
(lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melam- 
paui batas sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia ke- 
kal di dalamnya. (Riwayat Imam Ahmad) 

Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, 
dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah ber- 
sabda: 



&$\&s%&$&&tt 



Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si 
pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya). 

Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan 
kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun. 
Firman Allah Swt.: 

Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi 
kalian. (Al-Baqarah: 179) 

Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri' -m hukum qisas ba- 
gi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang 
besar, yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. 
Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh 
seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan 
mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini 
terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. 

Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu 
lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan 
oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, 
dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya: 



136 Juz 2 — Al-Baqarah 



»/ v 'k' 



On « sgjv 3 . ?£jk^& i<|^=Jj 



Dan da/am <?/.«« *7w ada (jaminan kelangsungan) ft/dwp fozg/ 
kztfan. (Al-Baqarah: 179) 

Abui Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai ja- 
minan kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang 
dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niat- 
nya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal 
yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ma- 
lik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu 
Hayyan. 

Firman Allah Swt.: 



(_vc\t S^_Ji 3 



.Sj&%3XtiM 



hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al- 
Baqarah: 179) 

Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pe- 
ngertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian 
sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua 
perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya menca- 
kup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar. 



Al-Baqarah, ayat 180-182 



Tafsir Ibnu Kasir 137 






Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian keda- 
tangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang ba- 
nyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara 
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. 
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mende- 
ngarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang 
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi 
Maha Mengetahui. (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap 
orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat do- 
sa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa 
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pe- 
nyayang. 

Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua 
orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, 
menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, yakni se- 
belum turunnya ayat mawaris (pembagian waris). Setelah ayat faraid 
(pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini d'i-mansukh olehnya. 
Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian 
waris yang telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang 
harus dilaksanakan oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tegas 
tanpa melalui proses wasiat lagi. Hukum-hukum bagian waris ini ti- 
dak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang berwa- 
siat. Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwa- 
yatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr 
ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ra- 
sulullah Saw, berkhotbah, yang antara lain mengatakan: 



138 Juz 2 — Al-Baqarah 



Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang 
berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi 
wasiat bagi ahli waris. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ib- 
nu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad 
ibnu Sirin yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di 
suatu majelis, lalu ia membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman- 

Nya: 



o « s^jo . %y^i^4fA^^^Wo\ 



Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu 
bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) 

Lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh. Hal yang sama 
diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari Yunus 
dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di da- 
lam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih de- 
ngan syarat keduanya (yakni Bukhari dan Muslim). 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan 
dengan takwil firman-Nya: 



\JK~ 1 OjL_J 



> . '&im%&$ 



berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al- 
Baqarah: 180) 

Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu bapak, 
kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menu- 
runkan ayat miras (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagi- 
an waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat 
dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada 
kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu 



Tafsir Ibnu Kasir 139 



Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan de- 
ngan makna firman-Nya: 

berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya. (Al-Baqarah: 
180) 

Ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: 

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu 
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian 
(pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik 
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An- 
Nisa: 7) 

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu 
Umar, Abu Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, 
Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, 
Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Ta- 
wus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri, bahwa 
ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah di-mansukh; yang me-mansukh- 
nya adalah ayatul miras (ayat yang menerangkan bagian-bagian ter- 
tentu dalam pewarisan). 

Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan 
oleh Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan 
di dalam kitab Tafsirul Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Mus- 
lim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak di-mansukh, dan sesungguhnya 
ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini berarti makna yang 
dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah disyariatkan 
Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan 
kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya: 



140 Juz 2 — Al-Baqarah 



i.,Uo. &$$$&&& 

Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka 
untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 1 1) 

Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengata- 
kan, hal ini merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih 
yang dianggap. Ia mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang 
mengatakan, sesungguhnya surat Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh 
berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai hak waris, dan tetap 
hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris. Penda- 
pat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, 
Ad-Dahhak, Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad. 

Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Ju- 
bair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi 
pendapat mereka ini menurut peristilahan di kalangan kami ulama 
mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh, karena ayatul mawaris ha- 
nyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh keumuman 
makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang- 
orang yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mem- 
punyai hak waris, maka dihapuslah hukum yang menyangkut orang- 
orang yang berhak mewaris karena telah ada bagian tertentu baginya, 
sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai bagian tertentu 
masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama (Al- 
Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi 
pendapat sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wa- 
siat itu pada permulaan Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh. 

Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada 
mulanya adalah wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah 
konteks ayat, maka sudah dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh 
ayat miras. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan 
para ahli fiqih terkemuka. Mereka mengatakan, sesungguhnya hukum 
wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat yang mewa- 
ris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma', dan bahkan dilarang 
karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi Saw.: 



Tafsir Ibnu Kasir 141 



Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang 
berhak (mewaris) bagiannya masing-masing. Maka tidak ada 
wasiat (lagi) bagi orang yang mewaris. 

Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan 
kewajiban dari sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian ter- 
tentu dan asabah. Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan 
wasiat secara keseluruhan. 

Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang ti- 
dak mempunyai bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat 
yang diambil dari sepertiga harta peninggalan, demi menghargai ayat 
wasiat dan keumuman maknanya; juga karena apa yang telah ditetap- 
kan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 



"V* %s*>VsJ>'„ " 



Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu 
yang akan ia wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua ma- 
lam, melainkan wasiatnya itu harus sudah tertulis di sisinya. 

Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan, "Tidak sekali-kali lewat 
bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari Rasulullah 
Saw. kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku." 

Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. yang menganjur- 
kan berbuat baik kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat 
banyak. 

Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah 
menceritakan kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari 
Nafi' yang menceritakan, Abdullah pernah menceritakan bahwa Ra- 
sulullah Saw. bersabda: 



142 Juz 2 — Al-Baqarah 



u^.i&Si^iW^w 




Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, ada dua perkara yang 
tiada satu pun di antaranya merupakan milikmu: Aku jadikan 
buatmu suat u bagian pada harta milikmu di saat Aku menim- 
pakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan diri- 
mu melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah ka- 
mu menunaikan ajalmu (mati)." 

Firman Allah Swt.: 

jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) 

Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. De- 
mikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu 
Jubair, Abui Aliyah, Atiyyah Al-Aufi, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar- 
Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah, dan lain-lainnya. 

Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat 
itu disyariatkan tanpa memandang apakah harta peninggalan berjum- 
lah banyak ataupun sedikit, perihalnya sama dengan yang untuk ahli 
waris. 

Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu di- 
wajibkan hanya bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta 
yang berjumlah banyak. Kemudian mereka berselisih pendapat me- 
ngenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini. Ibnu Abu Hatim me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah 
ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari 
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah 
dikatakan kepada Ali r.a. bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari ka- 
bilah Quraisy telah meninggal dunia dan meninggalkan harta se- 



Tafsir Ibnu Kasir 143 



banyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak berwasiat. 
Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak, 
karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: 



O 



^ « iuo • l^ilyol 



jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) 

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah 
(yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa 
Ali r.a. masuk ke dalam rumah seorang lelaki dari kalangan kaumnya 
(Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki itu berkata kepadanya, 
"Apakah aku harus berwasiat?" Ali r.a. menjawab: 

"Sesungguhnya Allah Swt. hanya mengatakan dalam firman-Nya, 
'Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat ' (Al-Baqarah: 
1 80) Dan sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah 
berjumlah sedikit, maka biarkanlah untuk anakmu. " 

Imam Hakim mengatakan, sesungguhnya Iban pernah menceritakan 
kepadaku sebuah asar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan de- 
ngan takwil firman-Nya: 

Jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) 

Maka Ibnu Abbas berkata, "Barang siapa yang tidak meninggalkan 
sejumlah enam puluh dinar, berarti dia tidak meninggalkan kebaikan 
(harta yang banyak)" 

Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, 
"Masih belum dikatakan meninggalkan harta yang banyak seseorang 



I 44 Juz 2 — Al-Baqarah 



yang tidak meninggalkan harta sejumlah delapan puluh dinar." 

Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak 
ialah sejumlah seribu dinar hingga lebih. 

Yang dimaksud dengan bil ma'rufiahh dengan cara yang baik 
dan lemah lembut. Seperu yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah 
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan 
kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah men- 
ceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, 
dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



W 



>.%2\#&'j&$&<g 



Diwajibkan atas kalian apabila seorang di antara kalian keda- 
tangan (tanda-tanda) maut. (Al-Baqarah: 180) 

Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Sebaik-baik wasiat, yang me- 
rupakan perkara yang hak atas setiap orang muslirn, ialah hendaknya 
ia berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila keda- 
tangan tanda-tanda maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf 
ialah hendaknya dia berwasiat untuk kaum kerabatnya suatu wasiat 
yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni tidak berlebih- 
lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di dalam 
hadis Sahihain, yaitu: 

Bahwa Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku 
mempunyai harta yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai 



Tafsir Ibnu Kasir 145 



ahli waris selain anak perempuanku, maka bolehkah aku berwa- 
siat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul Saw. menjawab, "Ti- 
dak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul 
Saw. menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan 
sepertiga?" Rasul Saw. menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cu- 
kup banyak. Sesungguhnya kamu jika meninggalkan ahli waris- 
mu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada kamu 
tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada 
orang lain." 

Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah 
mengatakan: 

Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperem- 
patnya (niscaya baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasu- 
lullah Saw. bersabda, "Sepertiga. Sepertiga itu cukup banyak." 

Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad 
ibnu Atabah ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ib- 
nu Juzaim ibnu Hanifah menceritakan bahwa kakeknya yang bernama 
Hanifah pernah berwasiat seratus ekor unta untuk seorang anak yatim 
yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut dirasakan amat be- 
rat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut kepada 
Rasulullah Saw. Hanifah berkata, "Sesungguhnya aku mewasiatkan 
buat anak yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami 
namakan Matiyyahr Maka Nabi Saw. menjawab: 



146 Juz 2 — Al-Baqarah 

Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya seperlimanya. Ji- 
ka tidak, maka sepuluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka lima 
belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta 
saja; dan jika tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan ji- 
ka tidak, maka tiga puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka ti- 
ga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi, jika ternak unta 
berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. 

Lalu hadis ini dikemukakannya hingga selesai. 
Firman Allah Swt.: 

Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mende- 
ngarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang 
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi 
Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 181) 

Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya 
hingga menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya 
atau menguranginya, dan termasuk ke dalam pengertian ini ialah 
orang yang menyembunyikan wasiat secara lebih prioritasnya, maka 
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. 

Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada 
di sisi Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang- 
orang yang mengubahnya." 



[ ia\ t 5X_JI ] 



U» I ' 



Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 
(Al-Baqarah: 181) 

Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia 
Maha Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang 
yang menerima wasiat. 



Tafsir Ibnu Kasir 147 



Firman Allah Swt.: 



jil 



.£tfi£^>>k£ 



(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwa- 
siat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 
182) 

Ibnu Abbas, Abui Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, 
dan As-Saddi mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini 
pengertiannya mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka 
menambahkan bagian salah seorang ahli waris dengan memakai suatu 
perantara atau suatu cara. Umpamanya bila ia mewasiatkan untuk 
menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang sangat murah, 
atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari anak 
perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perem- 
puan, atau dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak 
sengaja — karena terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya 
tanpa berpikir terlebih dahulu — ataupun ia lakukan dengan sengaja 
tanpa memikirkan dosanya, maka dalam keadaan seperti ini si peneri- 
ma harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap adil dalam me- 
nangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum 
syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat 
dengan meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum 
yang benar dan maksud yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, meng- 
gabungkan tujuan si pemberi wasiat dengan hukum syar'i. Perbaikan 
dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke dalam pengertian 
mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf-km (dikaitkan) de- 
ngan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang, un- 
tuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara perta- 
ma tadi. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan 
kepadaku ayahku, dari Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengata- 
kan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah, dari Nabi 
Saw. yang telah bersabda: 



148 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dikembalikan sebagian dari sedekah orang yang aniaya selagi ia 
masih hidup, sebagaimana dikembalikan sebagian wasiat orang 
yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia. 

Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al- 
Abbas ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim menga- 
takan bahwa Al-Walid ibnu Mazid melakukan kekeliruan padanya, 
perkataan ini hanyalah dari Urwah saja. Al-Walid ibnu Muslim meri- 
wayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini ia tidak 
sampai kepada Urwah. 

Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada 
kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan ke- 
pada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami 
Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul 
Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, 
dari Nabi Saw. yang bersabda: 

Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa besar. 

Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan. Hadis 
yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Ab- 
dur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ib- 
nu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

' Ja *'< Z'**'* «S „'*<.> *<r " ?'""\'->*\y 



Tafsir Ibnu Kasir 1 49 

Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu 
amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia 
berwasiat, lalu ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia 
akan diakhiri dengan keburukan amalnya, lalu dimasukkan ke 
dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar 
mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh 
tahun, tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia 
akan diakhiri dengan kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke da- 
lam surga. 

Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila 
kalian suka," yaitu firman-Nya: 

C-h , StfS j, ) .UiJC^o^S jp -W -Wig 

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar- 
nya. (Al-Baqarah: 229) 

Al-Baqarah, ayat 183-184 






150 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa 
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar 
kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Ma- 
ka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan 
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak 
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib 
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak 
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang 
miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan 
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa 
lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. 

Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin 
dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, 
yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan 
niat yang ikhlas karena Allah Swt. Karena di dalam berpuasa terkan- 
dung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebas- 
kannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan 
akhlak-akhlak yang rendah. 

Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, 
sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebe- 
lum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan 
dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka da- 
lam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih 
sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum 
mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 



C tA. ! SjuUJ i ") 



Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan 
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian 
dijadikan-Nya satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji ka- 
lian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba- 
lombalah berbuat kebajikan (Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat. 



Tafsir Ibnu Kasir 151 

Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan: 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa 
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar 
kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 183) 

Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan 
tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di 
dalam hadis Sahihain, yaitu: 

Ha/ para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu membe- 
ri nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu 
(memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya 
puasa merupakan peredam baginya. 

Kemudian Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan 
padanya puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat di- 
kerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunai- 
kannya, melainkan hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang de- 
mikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu mereka me- 
lakukan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian hal ini di-mansukh 
oleh perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya, seperti yang akan di- 
jelaskan kemudian. 

Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada per- 
mulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh 
umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Ri- 
wayat ini dari Mu'az, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan 
Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus berlangsung 



152 J uz 2 — Al-Baqarah 

sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah me-nasakh-nya dengan pua- 
sa bulan Ramadan. 

Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehu- 
bungan dengan makna firman-Nya: 



Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa 
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar 
kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al- 
Baqarah: 183-184) 

Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah, 
sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah 
lalu, sebagaimana diwajibkan atas kita sebulan penuh; yang dimaksud 
dengan ayydmam ma'dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimak- 
lumi." Dan telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang semisal. 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman 
Al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu 
Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari 
Abur Rabi' (seorang ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



$3zP&P&'<ZS&Z& 



L^v« 



Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat 
terdahulu. 

Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami 
singkat seperlunya menyangkut pembahasan ini. 

Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari 
orang yang menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan 
sehubungan dengan makna firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 153 



Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas 
orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) 

Bahwa diwajibkan atas mereka apabila seseorang di antara mereka 
salat malam hari lalu tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, 
dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang semisal di besok ma- 
lamnya. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayat- 
kan dari Ibnu Abbas, Abui Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, 
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu 
Anas, dan Ata Al-Khurrasani. 

Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan 
dengan takwil firman-Nya: 



m'tf&y&s 



Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al- 
Baqarah: 183) 

Yakni atas kaum Ahli Kitab. Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As- 
Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang semisal. 

Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang 
berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan 
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak 
hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Ba- 
qarah: 184) 

Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa 
di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, 



154 Juz 2 — Al-Baqarah 

bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal- 
kannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya. 
Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan pua- 
sa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi ma- 
kan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka 
berbuka, maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi ma- 
kan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak 
dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik 
baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama baginya daripada 
memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, 
Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalang- 
an ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman: 






Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika 
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi ma- 
kan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati 
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. 
Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al- 
Baqarah: 184) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun 
Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah mencerita- 
kan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu 
Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang menceritakan bahwa ibadah sa- 
lat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan me- 
lalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah sa- 
lat ialah ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, maka beliau Saw. salat 
dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. 
Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu fir- 
man-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 155 



Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, 
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang 
kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. 

Maka Allah Swt. memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan 
tahapan pertama. 

Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mula- 
nya mereka berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari 
mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka mem- 
buat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan 
tersebut. 

Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar — yang dikenal 
dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih — datang kepada 
Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya 
aku melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, 
niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya keti- 
ka aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat 
seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya berwarna 
hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. 
'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar), 
asyhadu alla ilaha Mallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain 
Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Ke- 
mudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, 
hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesung- 
guhnya salat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah 
Saw. bersabda: 



.tL.o5£5**L,fc£ 



Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan de- 
ngan kalimat ini. 

Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan 
kalimat ini. 

Mu'az ibnu Jabar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datang- 
lah Umar ibnul Khattab r.a. dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, se- 
sungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dili- 



156 Juz 2 — Al-Baqarah 

hatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan 
di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. 

Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mula- 
nya para sahabat sering datang terlambat di tempat salat; mereka da- 
tang ketika Nabi Saw. telah menyelesaikan sebagian dari salatnya. 
Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang 
sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat salat 
yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan 
isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan salat yang terting- 
gal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, mengga- 
bungkan diri bermakmum kepada Nabi Saw. 

Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak 
sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw. 
melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, se- 
dangkan Nabi Saw. telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. 

Maka Mu'az langsung ikut bermakmum kepada Nabi Saw. Sete- 
lah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan 
salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: 

Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kali- 
an, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung 
masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, 
baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). 

Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat. 

Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa 
ialah ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari 
setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan 
puasa atasnya melalui firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 157 



jo ,c 9^^ 



Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa 
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar 
kalian bertakwa — sampai dengan firman-Nya — Dan wajib bagi 
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak ber- 
puasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. 
(Al-Baqarah: 183-184) 

Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan 
orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang mis- 
kin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan 
ayat lain, yaitu firman-Nya: 

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan 
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an — sampai 
dengan firman-Nya — Karena itu, barang siapa di antara kalian 
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah 
ia berpuasa Dada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) 

Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, 
dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang 
sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi 
lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan 
yang dialami oleh puasa. 

Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan menda- 
tangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mere- 
ka dilarang melakukan hal tersebut. 

Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal 
dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa 
hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian 
ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu le- 



158 Juz 2 — Al-Baqarah 

lah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya ia melanjutkan puasa- 
nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam keadaan sangat ke- 
payahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat 
payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguh- 
nya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung me- 
rebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi 
hari dan aku terus dalam keadaan puasa." 

Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah 
tidur, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan apa yang te- 
lah dialaminya itu. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

'S — « ^ 9 s^ 9 

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian — sampai dengan firman-Nya — kemudian 
sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 
187) 

Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan- 
nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis 
Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama. 

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam 
Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang 
mengatakan: 



Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu 
yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin 
puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin ber- 
buka, boleh tidak puasa 'Asyura. 



Tafsir Ibnu Kasir 159 



Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan 
Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal. 
Firman Allah Swt.: 

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka 
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan se- 
orang miskin. (Al-Baqarah: 184) 

Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu 'pada mulanya 
barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa 
yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang mis- 
kin untuk setiap harinya'. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh 
Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa' yang menceritakan bah- 
wa ketika diturunkan firman-Nya: 

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka 
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan se- 
orang miskin. (Al-Baqarah: 184) 

Maka bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan 
fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me- 
nasakh-nyzi. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari 
Nafi', dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat 
ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya. 

As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud 
r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. 

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka 
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan se- 
orang miskin. (Al-Baqarah: 184) 



1 60 Ju z 2 — Al-Baqarah 

Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan pe- 
nuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; 
dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan 
seorang miskin sebagai fidyah. Yang dimaksud dengan firman-Nya: 

Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. 
(Al-Baqarah: 184) 

Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, 



maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik 
bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang mis- 
kin). (Al-Baqarah: 184) 

Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini 
di-mansukh oleh fiman-Nya: 

Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tem- 
pat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada 
bulan itu. (Al-Baqarah: 185) 

Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan ke- 
pada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr 
ibnu Dinar, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan 
firman-Nya: 



C'M. 



«im'3 .^^liajio^lios^ 



Tafsir Ibnu Kasir 161 



Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka 
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan se- 
orang miskin. (Al-Baqarah: 184) 

Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu 
berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu 
mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan se- 
orang miskin untuk setiap harinya. Hal yang sama diriwayatkan pula 
bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu 
Abbas. 

Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan 
kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Siwar, 
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yak- 
ni firman-Nya): 

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika 
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi ma- 
kan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) 

diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika pua- 
sa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan 
boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap 
harinya. 

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan 
kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, 
telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah mence- 
ritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang 
menceritakan, "Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, se- 
dangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah 
mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me- 
nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; 
maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan 
seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya'." 



162 Juz 2 — Al-Baqarah 



Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim 
di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: 

Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tem- 
pat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada 
bulan itu. (Al-Baqarah: 185) 

Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan 
puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaan- 
nya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqadainya. Te- 
tapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang 
miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kon- 
disinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan 
ulama sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya 
memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak 
kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; 
maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan 
anak kecil. Karena Allah Swt. tidak sekali-kali membebankan kepada 
seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan 
salah satu pendapat Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan di- 
jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya mem- 
bayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu 
Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat 
orang-orang yang membacakan wa'alal lazina yufiqunahu, yakni be- 
rat menjalankannya. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain- 
nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, 
karena Imam Bukhari mengatakan, "Adapun orang yang berusia lan- 
jut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi 
makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Se- 
sungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari yang di- 
tinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan da- 
ging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya se- 
lama satu atau dua tahun." 



Tafsir Ibnu Kasir 163 



Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari ini diriwayat- 
kan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya' la Al-Mausuli di dalam kitab Mus- 
nad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah 
menceritakan kepada kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah 
yang menceritakan bahwa Anas r. a. tidak mampu mengerjakan puasa 
karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid 
dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi 
mereka makan. 

Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh 
ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz 
yang sama. 

Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari 
murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna. 

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang ha- 
mil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terha- 
dap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya. Sehubungan dengan 
keduanya para ulama berselisih pendapat Sebagian dari mereka me- 
ngatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan 
qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan memba- 
yar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa 
yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat 
yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak 
puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini telah ka- 
mi bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di 
dalam kitab yang lain. 



Al-Baqarah, ayat 185 



164 Juz 2 — Al-Baqarah 









J?«/an Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an 
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan me- 
ngenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang ba- 
til). Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri 
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pa- 
da bulan itu; dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu 
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari 
yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghen- 
daki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran 
bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan 
hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang 
diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur. 

Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, ka- 
rena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang 
padanya diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah 
mengkhususkan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al- 
Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan 
Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi se- 
belum Nabi Muhammad Saw. 

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan ke- 
pada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada 
kami Imran Abui Awwam, dari Qatadah, dari Abui Falih, dari Wa- 
silah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 165 

Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan 
malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal 
enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga be- 
las Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua 
puluh empat Ramadan. 

Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di 
dalamnya disebutkan: 

Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Rama- 
dan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya. 

Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikian- 
lah menurut riwayat Ibnu Murdawaih. 

Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan 
Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan se- 
cara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus 
hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ra- 
madan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh 
firman-Nya: 



L' U 



jjUi ) 



.^\'$$&$£\ 



Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada ma- 
lam penuh kemuliaan. (Al-Qadar: 1) 



.,«, .3gi&te'<2$ffL 



166 Juz 2 — Al-Baqarah 



Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang di- 
berkati. (Ad-Dukhan: 3) 

Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara ber- 
tahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya. 

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh 
seorang perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh 
Israil, dari As-Saddi, dari Muhammad ibnu Abui Mujalid, dari Miq- 
sam, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad per- 
nah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa di dalam hatinya terdapat ke- 
musyrikan mengenai firman-Nya: 

Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. 
(Al-Baqarah: 185) 



Firman-Nya: 



Cr 



.<»» .-&i'£J&'*Sffii 



Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu 
malam yang diberkahi. (Ad-Dukhan: 3) 



Serta firman-Nya: 





>^.4&\0$}$$i 



Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada ma- 
lam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1) 

Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada 
yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada 
yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula 
yang diturunkan dalam bulan Rabi'. 

Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturun- 
kan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh dengan 



Tafsir Ibnu Kasir 1 67 



kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan ke- 
berkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan 
kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari 
yang berbeda-beda." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan 
oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih. 

Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, 
disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan 
pada pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, 
yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian diturunkan kepada Rasulullah Saw. se- 
lama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia." 

Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa 
Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul 
Qadar) ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. 
berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan 
tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perum- 
pamaan untuk mendebat Nabi Saw. melainkan Allah Swt. menda- 
tangkan jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya: 



Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini ti- 
dak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah su- 
paya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakan- 
nya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu da- 
tang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami 
datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik 
penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33) 

Adapun firman Allah Swt.: 

* i jT» K \ v' ^4i'"- -l '' (^ tf ^ 



168 Juz 2 — Al-Baqarah 



sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan me- 
ngenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang 
batil). (Al-Baqarah: 185) 

Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah 
Swt. sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman ke- 
pada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya. 

Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi 
gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkan- 
nya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah 
yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang 
keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil serta ha- 
lal dan haram. 

Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak 
suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, me- 
lainkan bulan Ramadan. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar 
ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari 
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari 
Abu Hurairah r.a., ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian katakan 
Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu 
dari asma Allah Swt. Tetapi katakanlah bulan Ramadan." 

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari 
Mujahid dan Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di 
atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan se- 
butan tersebut. 

Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman 
Al-Madani, seorang imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi 
daif (dalam periwayatan hadis); anak lelakinya yang bernama Mu- 
hammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah yang me-ra/a'-kan 
hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya ditolak 
oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena 
predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja 
akan predikat marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab- 
nya mendukung Abu Ma'syar, untuk itu ia mengatakan dalam kitab- 



Tafsir Ibnu Kasir 169 



jiya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan, lalu ia menge- 
tengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara lain ialah 
hadis yang mengatakan: 

Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengha- 
rapkan rida Allah, niscaya diampuni baginya semua dosanya 
yang terdahulu. 

Dan hadis-hadis lainnya yang semisal. 
Firman Allah Swt.: 



O»' «va-JO 






Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tem- 
pat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada 
bulan itu. (Al-Baqarah: 185) 

Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang me- 
nyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mu- 
kim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya 
dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa. 

Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi 
orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, membe- 
ri makan seorang miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah dite- 
rangkan sebelumnya. 

Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebut- 
kan kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang beper- 
gian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus 
mengqadainya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), 
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggal- 
kannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185) 



170 Juz 2 — Al-Baqarah 

Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberat- 
kannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, ma- 
ka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa seba- 
nyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Rama- 
dan). Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: 



(_wa x o i oJS 



£jl1 



. j^iJi }^'4j$j^\%&\^ 



Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghen- 
daki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185) 

Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian 
hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta- 
pi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se- 
hat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperi- 
ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Swt. buat kalian. 

Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini 

Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang se- 
jak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemu- 
dian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), 
maka tidak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian 
selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah Swt.: 

Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tem- 
pat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada 
bulan itu. (Al-Baqarah: 185) 

Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang me- 
lakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia 
telah berada dalam perjalanannya. 

Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu 
Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sa- 
habat dan tabi'in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka 



Tafsir Ibnu Kasir 171 



masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya te- 
lah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah Saw. bahwa beliau 
pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk 
melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Saw. ber- 
jalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau 
berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka 
mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan 
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. 

Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wa- 
jib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan flrman-Nya: 



f wo s o fi-r^^ ^ 






maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggal- 
kannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185) 

Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur 
sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan 
ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan. 
Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ra- 
madan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di 
antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pu- 
la yang berbuka. Maka Nabi Saw. tidak mencela orang yang tetap 
berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya 
berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Saw. mencela 
orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan 
pula dari perbuatan Rasulullah Saw. sendiri bahwa beliau pernah da- 
lam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau 
tetap berpuasa." Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari 
Abu Darda yang menceritakan: 



172 Juz 2 — Al-Baqarah 



^ 






Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Rama- 
dan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara ka- 
mi ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena 
teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara kami 
yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw. sendiri dan Abdullah 
ibnu Rawwahah. 

Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii menga- 
takan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka 
karena berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di 
atas tadi. 

Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih 
baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keri- 
nganan), juga karena ada sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang 
menceritakan bahwa beliau Saw. pernah ditanya mengenai puasa da- 
lam perjalanan. Maka beliau menjawab: 

Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa 
yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya. 

Di dalam hadis yang lain disebutkan: 

Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan- 
nya kepada kalian. 

Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya 
(berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan 
hadis Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-As- 
lami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah 



Tafsir Ibnu Kasir 1 73 



orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam per- 
jalanan?" Rasulullah Saw. menjawab: 

Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu 
menginginkan berbuka, berbukalah. 

Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain. 

Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, ma- 
ka berbuka adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang 
mengatakan: 






i 



Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang di- 
naungi (dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, 
"Ada apa?" Mereka menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka 
beliau Saw. bersabda, "Bukanlah merupakan suatu kebaktian 
melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh 
Imam Bukhari dan Imam Muslim) 

Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak su- 
ka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan 
haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini ber- 
dasarkan sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain- 
lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengata- 
kan: 



174 Juz 2 — Al-Baqarah 



Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka 
atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bu- 
kit Arafah. 

Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau 
boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini. 

Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada 
merupakan pengulangan dari ada'an. 

Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang 
yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh me- 
misah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut 
dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama 
Salaf dan Khalaf — dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat — karena 
berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, meng- 
ingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan 
Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib 
membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus 
berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: 

*-'<\ (Z' - 9 4 < 

maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggal- 
kannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) 

Kemudian Allah Swt. berfirman: 

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghen- 
daki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa- 
lamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari 
Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang 
mendengarnya langsung dari Nabi Saw.: 






Tafsir Ibnu Kasir 175 

Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang 
paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama ka- 
lian ialah yang paling mudah. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya- 
zid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, te- 
lah menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah 
menceritakan kepadaku Abu Urwah yang menceritakan: 



Ketika kami sedang menunggu Nabi Saw., maka keluarlah beliau 
dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu 
atau mandi, lalu beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat- 
nya, maka orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah kami ber- 
dosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw. bersab- 
da, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." 
Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. 

Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam taf- 
sir ayat ini melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu 
Hilal dengan lafaz yang sama. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah 
menceritakan kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar saha- 
bat Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap 
simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi. 



176 Juz 2 — Al-Baqarah 



Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab 
Sahih masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bah- 
wa ketika Rasulullah Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan 
Abu Musa ke negeri Yaman, beliau bersabda kepada keduanya: 

Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah 
kamu berdua bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; 
permudahkanlah oleh kamu dan janganlah kamu berdua mem- 
persulit; dan saling bantulah kamu berdua dan jangan sampai 
kamu berdua berselisih pendapat. 

Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulul- 
lah Saw. pernah bersabda: 

Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara 
yang hak dan penuh dengan toleransi. 

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya menga- 
takan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu 
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, te- 
lah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari Abdullah ibnu 
Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 177 



Bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang sa- 
lat, lalu beliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam 
selama sesaat, kemudian bersabda, "Bagaimanakah menurutmu, 
apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, 
"Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk 
Madinah yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Ra- 
sulullah Saw. bersabda, "Janganlah kamu memperdengarkan ja- 
wabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya (membuat- 
nya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda, "Sesungguh- 
nya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, 
dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan. " 

Firman Allah Swt: 

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghen- 
daki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan 
bilangannya. (Al-Baqarah: 185) 

Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian bo- 
leh berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan 
serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan 
bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk 
mengqadainya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan 
kalian. 

Firman Allah Swt.: 



.&a#&n J #& 



Cu a ,^£jo .^JlfcUJf «UinjjOClj 

dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. 
(Al-Baqarah: 185) 

Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai. 



178 Juz 2 — Al-Baqarah 

Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu fir- 
man-Nya: 

Apabila kalian lelah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka 
berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menye- 
but-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau 
(bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200) 

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di mu- 
ka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- 
banyak supaya kalian beruntung. (Al-Jumu'ah: 10) 

Dan firman Allah Swt.: 

^§&^^^^&%*$ 

Z)a« bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit mata- 
hari dan sebelum terbenam(ny&). Dan bertasbihlah kamu kepa- 
da-Nya di malam hari dan setiap selesai salat. (Qaf: 39-40) 

Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan 
membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat 
lima waktu. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengeta- 
hui selesainya salat Nabi Saw. melainkan melalui takbirnya." Karena 



Tafsir Ibnu Kasir 179 

itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca tak- 
bir disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: 

Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah 
kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan- 
nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) 

Hingga Daud ibnu Ali Al-As.bahani Az-Zahiri berpendapat wajib 
membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna lahi- 
riah perintah yang terkandung di dalam firman-Nya: 



dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya 
yang diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) 

Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bah- 
wa membaca takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedang- 
kan Imam lainnya mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pen- 
dapat di kalangan mereka dalam sebagian cabang-cabangnya. 
Firman Allah Swt.: 






Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185) 

Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh 
Allah kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua 
yang difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa yang diharamkan- 
Nya serta memelihara batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan 
menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan 
hal tersebut. 



1 8() Juz 2 — Al-Baqarah 



Al-Baqarah, ayat 186 



-T'-" V'' 

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, 
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabul- 
kan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada- 
Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-A« 
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu 
berada dalam kebenaran. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada ka- 
mi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah men- 
ceritakan kepada kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As- 
Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah (yakni Ibnu 
Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang 
penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita de- 
kat, maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia 
jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi Saw. diam, tidak menja- 
wab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, 
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabul- 
kan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada- 
Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) -£k 
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) 



Tafsir Ibnu Kasir 1 o 1 

Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa ke- 
pada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan 
mengabulkan mereka. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ib- 
nu Humaid Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan 
pula oleh Ibnu Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui 
hadis Muhammad ibnu Abu Humaid, dari Jarir dengan lafaz yang 
sama. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan 
bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw., "Di manakah 
Tuhan kita?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



(j Al J aJLJ'''] 



J&jfy^l 



Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, 
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabul- 
kan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada- 
Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. 

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa 
ketika firman-Nya ini diturunkan: 

Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya 
akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mu-min: 60) 

Maka orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat mana- 
kah yang lebih tepat untuk melakukan doa bagi kami?" Maka turun- 
lah firman-Nya: 



182 Juz 2 — Al-Baqarah 



C" 



,.^o lj£l\%$\ 



Dan apabila hamba- hamba- K u bertanya kepadamu tentang Aku, 
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabul- 
kan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada- 
Ku. (Al-Baqarah: 186) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul 
Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada ka- 
mi Khalid Al-Hazza, dari Abu Us'man An-Nahdi, dari Abu Musa Al- 
Asy'ari yang menceritakan, "Ketika kami (para sahabat) bersama Ra- 
sulullah Saw. dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki 
suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami 
menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan suara kami se- 
raya mengucapkan takbir." 

Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke 
arah kami dan bersabda: 

'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya 
kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada 
orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada 
Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya 
Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara 
kalian daripada leher unta kendaraannya. Hai Abdullah ibnu 
Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang terma- 
suk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala quwwata illa 
billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolong- 
an Allah)'." 



Tafsir Ibnu Kasir 183 



Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya 
melalui hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur 
Rahman ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semi- 
sal. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Su- 
laiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah 
menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan 
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 

Allah Swt. berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku menge- 
nai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepa- 
da-Ku." 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali 
ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceri- 
takan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah men- 
ceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti 
Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar Ra- 
sulullah Saw. bersabda: 

Allah Swt. berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia 
ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku." 

Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah 
Swt. yang mengatakan: 



O 






Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan 
orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128) 



1 84 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, 
yaitu: 






Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan 
melihat. (Taha: 46) 

Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak 
akan mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak 
sesuatu pun yang menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha 
Mendengar doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk 
berdoa, dan bahwa Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan doa yang 
dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah mencerita- 
kan kepada kami seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Us- 
man (yakni An-Nahdi) ketika ia menceritakan hadis berikut dari Sal- 
man (yakni Al-Farisi r.a.), bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 

Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar malu bila ada seorang 
hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan 
kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua 
tangan yang hampa. 

Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka men- 
jawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun. Hadis ini diriwayatkan 
pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah melalui hadis 
Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafaz yang sa- 
ma. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan ga- 
rib. Hadis ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia 
tidak me-ro/a'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abui Hajjah Al-Mazi di da- 
lam kitab Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti 



Tafsir Ibnu Kasir lg5 

pula oleh Abu Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Su- 
laiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi dengan lafaz yang 
sama. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abui Mutawak- 
kil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 



< 'S 9* ' 



.c5UM 



Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada 
Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang ber- 
dosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah 
pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara 
berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabul- 
kan, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuk- 
nya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya 
suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mere- 
ka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan memperba- 
nyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak (Menga- 
bulkan Doa)." 

Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada 
kami Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Sauban, dari ayahnya, dari Mak-hul, dari Jubair ibnu Nafir, bahwa 
Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadis berikut kepada me- 
reka, yaitu Nabi Saw. pemah bersabda: 



j §6 Juz 2 — Al-Baqarah 



r/ada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepa- 
da Allah Swt. memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabul- 
kan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang 
seimbang dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal 
yang berdosa atau memutuskan hubungan silaturahmi. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu 
Abdur Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, 
dari Ibnu Sauban (yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) de- 
ngan lafaz yang sama. 

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan 
sahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini. 

Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid 
maula Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah 
bersabda: 

Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak ter- 
gesa-gesa mengatakan, "Aku telah berdoa, tetapi masih belum 
diperkenankan juga bagiku. " 

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim 
melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa 
yang ada pada Imam Bukhari rahimahullah. 

Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah men- 
ceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari 
Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, 
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 187 



J 



Doa seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak 
mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, 
bilamana dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan, "Wahai Rasu- 
lullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau 
Saw. menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah ber- 
doa, aku telah berdoa, tetapi masih belum- diperkenankan juga 
bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa dan menghentikan doa- 
nya." 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus 
Samad, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari 
Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

'l ♦• v 

Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan selagi dia ti- 
dak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah 
pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia me- 
ngatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih be- 
lum diperkenankan juga bagiku'." 

Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, te- 
lah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A 'la, telah mencerita- 
kan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu 
Sakhr, bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit telah menceritakan ke- 
padanya, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang pernah 



jgg Juz 2 — Al-Baqarah 



mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin 
berdoa kepada Allah memohon sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan, 
sebelum disegerakan baginya di dunia atau ditangguhkan baginya un- 
tuk di akhirat, selagi dia tidak tergesa-gesa atau putus asa. Urwah ber- 
tanya, "Wahai bibi, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa dan 
putus asa itu?" Siti Aisyah menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah 
meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah berdoa, tetapi tidak di- 
kabulkan'." 

Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id 
ibnul Musayyab mengatakan hal yang serupa dengan apa yang dikata- 
kan oleh Siti Aisyah r.a. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ha- 
san, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah mencerita- 
kan kepada kami Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, 
dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



f 



Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya lebih 
memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian 
meminta kepada Allah, hai manusia, mintalah kepada-Nya, se- 
dangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena se- 
sungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang 
berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai. 

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Ishaq ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami 
Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, te- 
lah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba yang 
mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Ra- 
sulullah Saw. mengenai makna firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 189 



Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia 
berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) 

Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah per- 
tanyaan Aisyah?" Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: 

Allah menyampaikan salam-Nya kepadamu, ada seorang hamba- 
Ku yang saleh, dengan niat yang benar dan hatinya bersih me- 
ngatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," 
lalu Aku penuhi permintaannya. 

Akan tetapi, hadis ini garib bila ditinjau dari sanad ini. 

Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Al-Kalbi, dari Abu 
Saleh, dari Ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Ab- 
dullah, bahwa Nabi Saw. pernah membacakan firman-Nya: 

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, 
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabul- 
kan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada- 
Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. 

Maka Rasulullah Saw. bersabda: 



190 Juz 2 — Al-Baqarah 



£steiiCjZ£%&3£iajM&Z$' &2> 



^'J-UJ-'OU 




'). 



s, 



ya AMaft, Engkau memerintahkan untuk berdoa dan aku berta- 
wakal dalam masalah pengabulannya. Kupenuhi seruan-Mu, ya 
Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu 
bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nik- 
mat hanyalah milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada 
sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau tiada tandingan la- 
gi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu, tidak ber- 
anak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang se- 
tara dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, 
pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, ne- 
raka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan datang tanpa di- 
ragukan lagi, dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia 
dari kuburnya. 

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada 
kami Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al- 
Qat'i; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al- 
Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Mazi, 
dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi Saw. yang bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 191 



A/faft 5H7. berfirman, "Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan 
satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. 
Adapun hal yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, ja- 
nganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan ada- 
pun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan atau amal 
apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahalanya kepadamu. 
Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan 
Aku yang memperkenankan (mengabulkan). 

Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini 
mengandung petunjuk yang menganjurkan agar berdoa dengan sekuat 
tenaga di saat menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di se- 
tiap berbuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud At-Ta- 
yalisi di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami 
Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu Syu'aib ibnu Mu- 
hammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya (yak- 
ni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah 
mendengar Nabi Saw. bersabda: 

Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan. 

Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga 
dan anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa 
ketika berbuka puasa. 

Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab 
sunannya telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam 
ibnu Amraar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, 
dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mu- 
laikah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Nabi Saw. 
pernah bersabda: 



*J 



li ojL S ©^laj 4i^ (C-C^i b\ 



1 92 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sesungguhnya bagi orang puasa di saat berbukanya terdapat 
doa yang tidak ditolak (untuknya). 

Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Ab- 
dullah ibnu Amr selalu mengucapkan doa berikut bila berbuka: 

Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi rahmat-Mu yang 
memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau mengampuniku. 

Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Turmuzi, Nasai, dan Ib- 
nu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasu- 
lullah Saw. pernah bersabda: 

/4<fa f iga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam 
yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang ter- 
aniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah gamam (awan) di 
hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua pintu langit, 
dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar 
akan menolongmu, sekalipun sesudahnya. " 

Al-Baqarah, ayat 187 



Tafsir Ibnu Kasir 193 



Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, 
dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui 
bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu 
Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Ma- 
ka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah dite- 
tapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas ba- 
gi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian 
sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah ka- 
lian campuri mereka itu, sedang kalian ber -i' tikaf dalam masjid. 
Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. De- 
mikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, 



194 Juz 2 — Al-Baqarah 



nu Abdullah, Amr ibnu Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ad- 
Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, dan Mu- 
qatil ibnu Hayyan. 
Firman Allah Swt.: 






-- J'" 

I • 





Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah 
pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187) 

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, 
As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 
'mereka adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah kete- 
nangan bagi mereka'. 

Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah 
selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'. 

Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari kedua- 
nya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-me- 
niduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh ber- 
setubuh dalam malam Ramadan, agar tidak memberatkan mereka dan 
menjadikan mereka berdosa. Seorang penyair mengatakan: 

Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, 
maka jadilah dia seperti pakaiannya. 

Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis 
Mu'az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq 
meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah 
Saw. bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, 
maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu 
yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar se- 
dang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. 
Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan me- 
ngatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si istri menjawab, 



Tafsir Ibnu Kasir 1"5 

"Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu." 
Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, 
si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah kecewanya 
engkau, ternyata engkau tertidur." Ketika keesokan harinya, tepat di 
siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Saw. 
Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: 



A 

h 
V 






Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian, — sampai dengan firman-Nya — dan ma- 
kan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang 
hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) 

Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini. 

Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui 
Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa 
bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka 
sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap 
dirinya sendiri. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

£l AV i o S_J\ J 

Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu 
kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf 
kepada kalian. (Al-Baqarah: 187) 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mencerita- 
kan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bila- 
mana mereka telah salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita 
dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan ma- 
lamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli is- 



196 Juz 2 — Al-Baqarah 



tri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, 

di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan 
hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan firman- 
Nya: 

» ' > > i.\' < s l\(> 

Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu 
kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf 
kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 
187), hingga akhir ayat. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. 

Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu 
Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu se- 
belum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan 
kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan mi- 
num serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apa- 
bila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan 
minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbu- 
ka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepa- 
da kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib bagi- 
nya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. 
Kemudian ia datang menghadap Nabi Saw. dan berkata, "Aku mengadu 
kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat." 
Nabi Saw. bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?" Umar 
menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, 
akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku 
berkeinginan untuk puasa." 

Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw. pasti 
menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu la- 
kukan hal itu." Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: 



(j\V i sjlJO 



3W«W#& 



Tafsir Ibnu kasir 1 97 



Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) 

Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari Ata 
ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil fir- 
man-Nya: 

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian — sampai dengan firman-Nya — kemudian 
sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) 

Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka te- 
lah salat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita 
hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya. 

Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah 
salat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah 
salat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun 
kecuali setelah Rasulullah Saw. salat Isya; maka ia bangun, lalu ma- 
kan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasu- 
lullah Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah 
Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: 

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) 

Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri. 



198 Juz 2 — Al-Baqarah 

mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah 
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak 
dapat menahan nafsu kalian. (Al-Baqarah: 187) 

Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta mi- 
num sesudah Isya. 

karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada 
kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang 
telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) 

Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah 

ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. 

dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari 
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu 
sampai malam. (Al-Baqarah: 187) 

Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah. 

Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Ab- 
dur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar 
ibnul Khattab r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya 
aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang 
lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah ti- 
dur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku 
setubuhi dia." Maka berkenaan dengan Umar r.a. turunlah ayat berikut, 
yakni firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 1 99 



Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Mur- 
rah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama. 

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku 
Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceri- 
takan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceri- 
takan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia per- 
nah mendengar Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah 
hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ra- 
madan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang 
harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan 
menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya. 

Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke rumahnya da- 
ri rumah Nabi Saw. yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu 
Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi 
istrinya menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu 
belum tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik me- 
lakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke 
rumah Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Ke- 
mudian turunlah firman-Nya: 

o^^cjij &Zrvi 

Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu 
kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf 
kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 
187), hingga akhir ayat. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qata- 
dah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan 



200 Ju * 2 — Al-Baqarah 



dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang me- 
lakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sir- 
mah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan mi- 
num dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan 
serta belas kasihan dari Allah. 
Firman Allah Swt.: 

dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al- 
Baqarah: 187) 

Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mu- 
jahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, 
Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al- 
Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang 
dimaksud ialah anak. 

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan 
dengan takwil firman-Nya: 

Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al- 
Baqarah: 187) 

Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan). 

Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abui Jauza, dari 
Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: 

dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al- 
Baqarah: 187) 

Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh de- 
ngan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan 
Ibnu Jarir. 



Tafsir Ibnu Kasir 201 



Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian 
keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni 
atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu la- 
kum), artinya 'apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian'. 

Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada 
kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah 
yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas 
mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: 

'J / " , i /> 



Cuvr^LJO .^&!C2ulyV^ 



dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al- 
Baqarah: 187) 

Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja yang kamu sukai boleh, te- 
tapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan ahal- 
la)" Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bah- 
wa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut. 
Firman Allah Swt.: 

dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari 
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu 
sampai malam. (Al-Baqarah: 187) 

Allah Swt. memperbolehkan pula makan dan minum di samping bo- 
leh menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang 
yang berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari 
gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan isti- 
lah 'benang putih' yang berbeda dengan 'benang hitam', kemudian 
pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya: 



202 Juz 2 — Al-Baqarah 

yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) 

Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah 
Al-Bukhari, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah 
menceritakan kepada kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu 
Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sahi 
ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut ini diturunkan: 

Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari 
benang hitam. (Al-Baqarah: 187) 

Sedangkan kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: 

yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) 

Maka orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang dari mereka 
mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih 
tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang 
itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: 

yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) 

Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah be- 
nang putih dan benang hitam ialah malam dan siang hari. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Hisyam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, te- 



Tafsir Ibnu Kasir 203 



lah menceritakan kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa 
ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: 

dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari 
benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) 

(Addi ibnu Hatim berkata), "Maka aku sengaja mencari dua buah tali, 
yang satu berwarna hitam, sedangkan yang lain berwarna putih; lalu 
aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. 
Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan 
benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri). 

Pada keesokan harinya aku datang menghadap Rasulullah Saw., 
lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan itu, maka be- 
liau bersabda: 



^ 



'Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Se- 
sungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah te- 
rangnya siang hari dan gelapnya malam hari'." 

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ber- 
bagai jalur dari Addi. Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demi- 
kian benar-benar lebar' ialah bantalmu memang lebar jika dapat me- 
muat dua buah tali, yakni tali yang berwarna hitam dan yang berwar- 
na putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat berikutnya, bah- 
wa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari dan ge- 
lapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan 
ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan 
di dalam riwayat Imam Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini. 



204 Juz 2 — Al-Baqarah 



Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari 
Addi yang menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna 
putih dan tali yang berwarna hitam. Ketika sebagian dari malam hari 
telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih 
belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, "Wahai 
Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku." 
Maka Rasulullah Saw. menjawab: 



^&^ot6lj34^%^ 4 k 



J 



f 






Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau 
demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah 
bantalmu. 

Menurut lafaz lainnya disebutkan: 






Sesungguhnya kamu ini benar-benar memiliki tengkuk yang 
lebar. 

Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang 
yang dungu; tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar 
ialah 'apabila bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula 
(yakni bukan makna kinayah, melainkan makna menurut lahiriah)'./ 

Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu 
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada 
kami Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang 
menceritakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 205 

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud de- 
ngan benang putih dari benang hitam, apakah keduanya memang 
benang?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya tengkukmu 
benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua benang 
itu." Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, "Tidak, bahkan yang 
dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari. " 

Ketetapan Allah Swt. yang membolehkan seseorang makan sampai 
fajar terbit menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke 
dalam bab rukhsah, dan mengamalkannya merupakan hal yang dian- 
jurkan. Karena itulah di dalam sunnah Rasul Saw. terdapat anjuran 
bersahur. Di dalam kitab Sahihain, dari Anas r.a. disebutkan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkan- 
dung barakah. 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As r.a. yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

*■* * * ' 

Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab 
ialah makan sahur. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ib- 
nu Isa (yaitu Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur 
Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id 
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



206 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka jangan- 
lah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian 
hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan 
para malaikat-Nya ber salawat untuk orang-orang yang makan 
sahur. 

Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadis yang menerangkan- 
nya, sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, 
karena disamakan dengan orang-orang yang makan. 

Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di 
dalam kitab Sahihain, dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit 
yang menceritakan, "Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., 
kemudian kami bangkit mengerjakan salat" Anas bertanya kepada 
Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan (salat Subuh) dan sahur?" 
Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh 
ayat." 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu- 
sa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari 
Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu 
Hatim Al-Hamsi, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 

Umatku masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menye- 
gerakan berbuka (puasa) dan mengakhirkan makan sahur(nya). 

Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menamakan 
makan sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam se- 
buah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan 
Imam Ibnu Majah, melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim 
ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceri- 
takan: 



Tafsir Ibnu Kasir 207 






Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., maka hari pun mu- 
lai pagi, hanya matahari belum terbit. 

Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nu- 
jud, dan Imam Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian de- 
kat pagi hari. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di 
dalam firman-Nya: 



C v yaJsft } 






Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka 
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2) 

Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan ke- 
luarnya ialah adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan 
dengan baik pula. Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupa- 
kan takwil makna hadis ini, dan takwil ini merupakan suatu pilihan 
yang terbaik karena mereka (para sahabat) terbukti melakukan sahur, 
sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar; hingga sebagian 
dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit, dan 
sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya. 

Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar ulama Salaf bah- 
wa mereka membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. 
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu 
Mas'ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu 
Sabit. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari se- 
bagian besar golongan tabi'in, antara lain ialah Muhammad ibnu Ali 
ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha'i, Abud Duha, dan Abu 
Wa'il serta lain-lainnya dari kalangan murid-murid Ibnu Mas'ud, Ata, 
Al-Hasan, Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, 
dan Abusya'sa (yaitu Jabir dan ibnu Zaid). Pendapat ini didukung 
oleh Al-A'masy dan Jabir ibnu Rasyid. Sesungguhnya kami telah 



208 Juz 2 — Al-Baqarah 

mencatat sanad-sanad itu di dalam Kitabus Siyam secara menyendiri. 

Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari 
sebagian di antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan 
hanyalah mulai dari terbitnya (dekat terbitnya) matahari, sebagaimana 
diperbolehkan baginya berbuka setelah matahari tenggelam. 

Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh sese- 
orang yang berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan 
makna firman-Nya: 

dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari 
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu 
sampai malam. (Al-Baqarah: 187) 

Telah disebutkan di dalam hadis Al-Qasiim, dari Siti Aisyah, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sa- 
hur kalian, karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di 
malam hari. Untuk itu makan dan minumlah kalian hingga ka- 
lian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum, kare- 
na sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar 
(subuh) terbit. 

Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu- 
sa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu 



Tafsir Ibnu Kasir 209 



Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah bersabda: 

Fajar itu bukanlah sinar yang memanjang di ufuk, melainkan si- 
nar merah yang melintang. (Riwayat Imam Turmuzi) 

Sedangkan menurut lafaz Imam Bukhari dan Imam Muslim disebut- 
kan: 



Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teper- 
daya oleh sinar yang naik (memanjang), maka makan dan 
minumlah kalian sebelum tampak cahaya merah yang melintang 
bagi kalian. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad 
ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu 
Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari seorang syekh 
dari kalangan Bani Qusyair; ia pernah mendengar Samurah ibnu Jun- 
dub menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 



Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan sinar 
putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak. 



210 Juz 2 — Al-Baqarah 

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Syu'bah 
dan lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang men- 
ceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan 
Bilal dan jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar 
itu ialah sinar yang melebar di ufuk timur. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu 
Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari 
ayahnya, dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasu- 
lullah Saw. pernah bersabda: 

Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh azan Bilal dan jangan 
pula oleh cahaya putih ini — seraya mengisyaratkan kepada si- 
nar yang tampak memanjang — sebelum ia melebar. 

Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari 
Zuhair ibnu Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) de- 
ngan lafaz yang semisal. 

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ib- 
nu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Su- 
laiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Janganlah se- 
seorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya karena azan 
yang dilakukan oleh Bilal — atau beliau Saw. bersabda, oleh seman 
Bilal — karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam 
hari (yakni hari masih malam) — atau beliau bersabda, untuk memba- 



Tafsir Ibnu Kasir 211 

ngunkan orang-orang yang tidur di antara kalian dan untuk meng- 
ingatkan orang-orang yang salat (sunat malam hari) dari kalian — . Fa- 
jar itu bukanlah yang tampak seperti ini, melainkan fajar yang se- 
sungguhnya ialah yang tampak seperti demikian." 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain 
melalui At-Taimi dengan lafaz yang sama. 

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An- 
Nakha'i, telah menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad 
ibnu Abu Zi'b, dari Al-Haris ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad 
ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban yang menceritakan bahwa Rasulul- 
lah Saw. pernah bersabda: 

Fajar itu ada dua macam, fajar yang bentuknya seperti ekor se- 
rigala tidak mengharamkan sesuatu pun. Sesungguhnya fajar 
yang benar adalah yang bentuknya melebar dan memenuhi ufuk 
(timur), maka fajar inilah yang membolehkan salat Subuh dan 
mengharamkan makanan. 

Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Juraij, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa 
fajar itu ada dua, yaitu fajar yang bentuknya memanjang menyinari 
langit. Fajar ini tidak menandakan masuknya waktu subuh, tidak pula 
mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang sebenarnya ialah yang 
cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang mengha- 
ramkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya). 

Ata mengatakan, "Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam 
bentuk memanjang (seperti tiang), fajar ini tidak mengharamkan mi- 
num bagi orang yang puasa, tidak memperbolehkan salat (Subuh) dan 
orang yang sedang haji belum habis waktunya karena fajar ini. Tetapi 



212 Juz 2 — Al-Baqarah 

apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka haramlah mi- 
num bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji." 

Asar ini sanadnya sahih sampai kepada Ibnu Abbas dan Ata, hal 
yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan 
ulama Salaf. 

Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar 
dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, 
dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bah- 
wa barang siapa yang berpagi hari dalam keadaan junub, hendaklah ia 
mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikian- 
lah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan 
Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam 
Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Aisyah dan Ummu Salamah 
r.a. yang keduanya menceritakan: 

Rasulullah Saw. pernah berpagi hari dalam keadaan junub kare- 
na habis jima' (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemu- 
dian beliau mandi dan puasa. 

Di dalam hadis Ummu Salamah r.a. yang ada pada Imam Bukhari 
dan Imam Muslim disebutkan: 

dan beliau Saw. tidak berbuka, tidak pula mengqadainya. 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah r.a. yang 
menceritakan hadis berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 213 

Bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku 
berada di waktu salat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan ju- 
nub. Bolehkah aku puasa?" Rasulullah Saw. menjawab, "Aku 
pun pernah berada dalam waktu salat (Subuh), sedangkan aku 
dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa." Lelaki itu ber- 
kata, "Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. 
Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas se- 
mua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian." Maka Rasu- 
lullah Saw. bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-be- 
nar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada 
Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai 
cara bertakwa." 

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan, telah 
menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ham- 
mam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: 

Apabila diserukan untuk salat, yakni salat Subuh, sedangkan se- 
seorang dari kalian dalam keadaan junub, maka janganlah dia 
melakukan puasa di hari itu. 

Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan 
syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui. Hadis ini menurut apa 
yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah, dari Al-Fadl ib- 
nu Abbas, dari Nabi Saw. Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu Hu- 
rairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam 



214 Juz 2 — Al-Baqarah 

Nasai tidak me-ra/a'-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi 
Saw.). Karena itu, ada sebagian ulama yang menilai daif 'hadis ini ka- 
rena faktor tersebut (tidak marfu'), dan di antara mereka ada yang 
berpegang kepada hadis ini. 

Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya 
dari Abu Hurairah, Salim, Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan 
Al-Basri. 

Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan an- 
tara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, 
maka tidak ada apa pun atas dirinya, berdasarkan kepada hadis Siti 
Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar 
(bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan ha- 
dis Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan 
Al-Hasan. 

Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa far- 
du dan puasa sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia ha- 
rus melanjutkan puasanya, tetapi harus mengqadainya. Kalau puasa- 
nya sunat, maka jinabah tidak membahayakannya. Pendapat ini diri- 
wayatkan oleh As-Sauri, dari Mansur, dari Ibrahim An-Nakha'i, juga 
merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri. 

Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadis Abu Hurairah 
di-nasakh oleh hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat 
ini tidak mempunyai alasan mana yang lebih dahulu di antara kedua- 
nya. 

Ibnu Hazm menduga bahwa hadis Abu Hurairah di-mansukh oleh 
ayat ini, tetapi pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuk- 
tian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh 
memberikan pengertian kebalikannya. 

Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadis Abu 
Hurairah dengan pengertian bertentangan dengan kesempurnaan pua- 
sa. Karena itu, tidak ada pahala puasa bagi pelakunya, berdasarkan 
hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang menunjukkan pengertian 
boleh. Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati kebenaran dan 
lebih mencakup keseluruhannya. 



Tafsir Ibnu Kasir 215 

Firman Allah Swt.: 



Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqa- 
rah: 187) 

Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat ma- 
tahari tenggelam sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah 
disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Amirul Mu-minin Umar ib- 
nul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 

Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah 
ini, berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa. 

Dari Sahi ibnu Sa'd As-Sa'idi r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. 
pernah bersabda: 

Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka me- 
nyegerakan berbuka. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Mus- 
lim) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid 
ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah men- 
ceritakan kepada kami Qurrah ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, 
dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang bersabda'. 



216 Juz 2 — Al-Baqarah 



Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling Aku 
cintai di antara hamba-hamba-Ku ialah orang yang paling se- 
gera berbuka. " 

Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui bukan hanya dari satu 
jalur, bersumber dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama, dan ia me- 
ngatakan bahwa hadis ini hasan garib. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Affan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang 
mendengarnya dari Ibnu Laqit, bahwa ia pernah mendengar dari Laila 
(istri Basyir ibnul Khasasiyah) yang menceritakan bahwa ia pernah 
hendak melakukan puasa dua hari berturut-turut, tetapi Basyir me- 
larangnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. 
melarang hal seperti itu dan bersabda: 






Yang melakukan demikian hanyalah orang-orang Nasrani, tetapi 
berpuasalah kalian sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, 
"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam" (Al-Ba- 
qarah: 187). Apabila malam tiba (magrib), maka berbukalah ka- 
lian. 

Karena itulah telah disebutkan di dalam hadis-hadis sahih larangan 
ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa ma- 
kan sesuatu pun di antara keduanya. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ab- 
dur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, 
dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Ra- 
sulullah Saw. pernah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 217 






, ^J J^jJId c ^Sstly 



"Janganlah kalian ber-wisal. " Mereka bertanya, "Wahai Rasu- 
lullah, sesungguhnya engkau pun melakukan wisal." Nabi Saw. 
menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, sesung- 
guhnya aku menginap seraya diberi makan dan minum oleh Tu- 
hanku." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka ti- 
dak mau menghentikan wisal-nya (karena mengikut Nabi Saw.). 
Nabi Saw. meneruskan wisal-nya bersama mereka selama dua 
hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal (bulan Syaw- 
wal), maka Nabi Saw. bersabda, "Seandainya hilal datang ter- 
lambat, niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang 
yang menghukum mereka. 

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam 
kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. De- 
mikian pula keduanya mengetengahkan hadis tentang larangan wisal 
ini melalui hadis Anas dan Ibnu Umar. 

Dari Siti Aisyah r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mela- 
rang mereka melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, 
ketika mereka berkata, "Sesungguhnya engkau pun htt-wisaV Maka 
beliau Saw. menjawab: 

Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya 
aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku. 

Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur 
periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan salah 
satu keistimewaan Nabi Saw. Beliau Saw. kuat melakukan hal terse- 
but dan mendapat pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi 



218 Juz 2 — Al-Baqarah 



menurut pendapat yang kuat, makanan dan minuman yang diberikan 
khusus kepada Nabi Saw. hanyalah berupa makanan dan minuman 
maknawi (abstrak), bukan hissi (konkret). Jika tidak demikian, berarti 
Nabi Saw. bukanlah orang yang ber-wisal bila ditinjau dari segi hissi, 
melainkan perihalnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh se- 
orang penyair, yaitu: 

Dia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu yang mem- 
buatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada perbekalannya. 

Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari teng- 
gelam hingga waktu sahur, diperbolehkan baginya melakukan hal itu 
seperti apa yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri r.a. 
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin 
melakukan wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka ber- 
kata, "Wahai Rasulullah, tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." 
Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti 
keadaan kalian. Sesungguhnya aku menginap, sedangkan aku 
ada yang memberi makan dan yang memberi minum." 

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadis ini di 
dalam kitab sahih masing-masing. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah mencerita- 
kan kepada kami Abu Israil Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari 
ibu anaknya Hatib ibnu Abu Balta'ah yang menceritakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 219 

Bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw. ketika beliau sedang 
makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan, tetapi ia ber- 
kata, "Sesungguhnya aku sedang puasa." Nabi Saw. bersabda, 
"Bagaimanakah cara puasamu?" Lalu ia menceritakan hal ter- 
sebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda, "Puasamu 
itu bukan termasuk wisal yang dilakukan oleh keluarga Muham- 
mad, (wisal) ialah dari sahur ke sahur yang lain'.' 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur 
Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abdul A'la, dari 
Muhammad ibnu Ali, dari Ali r.a.: 

Bahwa Nabi Saw. acapkali melakukan wisal dari sahur ke sahur 
yang lain. 

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair dan lain-lainnya 
dari kalangan ulama Salaf, bahwa mereka sering melakukan wisal da- 
lam hari-hari yang dapat dihitung. Ibnu Jarir menginterpretasikan 
bahwa mereka melakukan perbuatan ini hanya untuk melatih diri me- 
reka, bukan sebagai ibadah. Tetapi dapat diinterpretasikan pula bahwa 
mereka memahami larangan tersebut sebagai bimbingan yang me- 
ngandung rasa belas kasihan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis 
Siti Aisyah r.a., yaitu karena belas kasihan kepada mereka. Tersebut- 
lah bahwa Ibnuz Zubair dan anak laki-lakinya (yaitu Amir) serta 
orang-orang yang mengikuti jejaknya melakukan wisal ini dengan 



220 «Juz 2 — Al-Baqarah 



kuat, karena mereka memang mempunyai ketahanan tubuh yang 
mampu melakukan hal tersebut. 

Diriwayatkan dari mereka bahwa ketika mereka ber-wisal, ma- 
kanan yang mula-mula mereka makan sebagai bukanya ialah minyak 
samin dan jazam agar perut mereka tidak perih karena makanan se- 
lanjutnya. Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair bahwa ia sering melakukan 
wisal selama tujuh hari berturut-turut, tetapi pada hari yang ketujuh di 
pagi harinya ia kelihatan sebagai orang yang paling kuat dan paling 
tegar di antara mereka (yang berpuasa). 

Abui Aliyah mengatakan, sesungguhnya Allah hanya mewajib- 
kan puasa di siang hari saja. Tetapi bila malam hari tiba, maka orang 
yang ingin makan, boleh makan; dan bagi orang meneruskannya, bo- 
leh tidak makan. 



Firman Allah Swt.: 



(>V : S^l 1 



. %^$&&£&y&$ij 



(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber- 
itikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187) 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini 
berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf di 
dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. 
Diharamkan baginya menyetubuhi istrinya, baik di siang maupun di 
malam hari sebelum dia selesai dari i'tikaf. 

Ad-Dahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan i'tikaf 
di dalam masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya 
jika menghendakinya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

(tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber- 
itikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187) 

Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kali- 
an) selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik 



Tafsir Ibnu Kasir 221 

dalam bulan Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama 
dikatakan pula oleh Mujahid, Qatadah, dan bukan hanya seorang dari 
kalangan mereka, bahwa pada mulanya mereka melakukan hal terse- 
but (yakni menyetubuhi istri mereka selagi mereka masih dalam 
i'tikaf) hingga ayat ini diturunkan. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu 
Mas'ud, Muhammad ibnu Ka'b, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Qatadah, 
Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil, bahwa me- 
reka pernah mengatakan, "Janganlah seseorang mendekati istrinya, 
sedang dia dalam keadaan i'tikaf." 

Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka 
ini merupakan hal yang telah disekapati di kalangan semua ulama. 
Yaitu orang yang beri'tikaf diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia 
masih dalam i'tikaf di masjid. Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk 
suatu keperluan yang tak dapat dielakkan, tidak halal baginya tinggal 
di dalam rumah kecuali sekadar waktu seperlunya sesuai dengan ke- 
pentingannya, misalnya buang air besar atau makan; dan tidak diper- 
bolehkan mencium istri, tidak boleh pula memeluknya, dan tidak bo- 
leh menyibukkan diri dengan urusan lain kecuali i'tikafnya. Ia tidak 
boleh menjenguk orang yang sakit, tetapi boleh baginya menanyakan 
perihal si sakit bila ia mengambil jalan yang melewati si sakit. 

I'tikaf mempunyai hukum-hukum sendiri di dalam babnya, antara 
lain hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dan ada yang 
masih diperselisihkan. Sesungguhnya kami telah menyebutkan sebagi- 
an yang diperlukan darinya di akhir pembahasan puasa. Karena itulah 
para penulis kitab fiqih mengikutkan Bab "I'tikaf' dengan Bab "Pua- 
sa" demi mengikuti Al-Qur'an, karena sesungguhnya di dalam Al- 
Qur'an diperhatikan penyebutan masalah i'tikaf sesudah penyebutan 
masalah puasa. 

Penyebutan i'tikaf yang dilakukan oleh Allah Swt. sesudah masa- 
lah puasa mengandung petunjuk dan perhatian yang menganjurkan 
i'tikaf dalam berpuasa atau di akhir bulan Ramadan. Seperti yang te- 
lah disebutkan di dalam sunnah Rasul Saw. yang menceritakan bahwa 
Rasulullah Saw. selalu melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir 
bulan Ramadan, hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri- 
nya melakukan i'tikaf pula sesudah beliau tiada. Demikianlah me- 



222 Juz 2 — Al-Baqarah 

nurut hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Mus- 
lim melalui hadis Siti Aisyah Ummul Mu-minin r.a. 

Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Safiyyah binti Huyay- 
yin mengunjungi Nabi Saw. yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu 
Safiyyah berbicara sesaat dengan Nabi Saw., kemudian ia bangkit un- 
tuk pulang ke rumahnya; hal tersebut terjadi di malam hari. Maka Na- 
bi Saw. bangkit untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya. 

Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di 
perkampungan rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika 
berada di tengah jalan, Nabi Saw. bersua dengan dua orang lelaki dari 
kalangan Ansar. Ketika keduanya melihat Nabi Saw., maka keduanya 
berjalan dengan cepat. 

Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena 
malu kepada Nabi Saw., mengingat Nabi Saw. sedang bersama istri- 
nya (Siti Safiyyah binti Huyayyin). Maka Nabi Saw. bersabda, "Per- 
lahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti 
Huyayyin," yakni istrinya. Maka kedua lelaki itu berkata, "Subhanal- 
lah (Mahasuci Allah), wahai Rasulullah." Maka Rasulullah Saw. ber- 
sabda; 

Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam mela- 
lui aliran darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila 
timbul suatu kecurigaan di dalam hati kamu berdua — atau be- 
liau Saw. bersabda — suatu keburukan. 

Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Saw. bermaksud 
mengajarkan kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tem- 
pat kejadian, agar keduanya tidak terjerumus ke dalam hal yang dila- 
rang, padahal kedua orang tersebut adalah orang yang bertakwa-kepa- 
da Allah dan jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai prasangka 
yang buruk terhadap diri Nabi Saw. 



Tafsir Ibnu Kasir 223 



Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah 
bersetubuh dan semua pendahuluan yang menjurus ke arahnya, seper- 
ti ciuman, pelukan, dan lain sebagainya. Saling serah terima sesuatu 
dan hal lainnya yang semisal, hukumnya tidak mengapa. Sesungguh- 
nya telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a., 
bahwa Rasulullah Saw. pernah mendekatkan kepalanya ke tubuh Siti 
Aisyah, lalu Siti Aisyah menyisirkan rambutnya, sedangkan Siti 
Aisyah dalam keadaan bcrhaid. Nabi Saw. tidak memasuki rumah 
(dalam i'tikafnya) melainkan karena keperluan sebagaimana layaknya 
seorang manusia. Siti Aisyah r.a. mengatakan, "Dan pernah ada orang 
yang sedang sakit di dalam rumahnya, maka aku tidak menanyakan 
tentang keadaannya melainkan sambil lewat (menuju masjid)." 

Firman Allah Swt.: 

Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187) 

Yakni apa yang telah Kami terangkan, yang telah Kami wajibkan dan 
Kami bataskan menyangkut puasa dan hukum-hukumnya serta hal-hal 
yang Kami perbolehkan di dalamnya; dan hal-hal yang Kami haram- 
kan serta Kami sebutkan tujuan-tujuan, rukhsah-rukhsah, dan 'azaim- 
nya. Semua itu adalah batasan-batasan yang telah disyariatkan oleh 
Allah dan diterangkan-Nya sendiri. 
Firman Allah Swt.: 

maka janganlah kalian mendekatinya. (Al-Baqarah: 187) 

Maksudnya, janganlah kalian melampaui dan menabraknya. Se- 
dangkan menurut Ad-Dahhak dan Muqatil, makna firman-Nya: 

Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187) 



224 Juz 2 — Al-Baqarah 

Yakni melakukan persetubuhan dalam i'tikaf. Sedangkan menurut 
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, yang dimaksud ialah batasan- 
batasan yang empat, lalu ia membacakan firman-Nya: 

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian — sampai dengan firman-Nya — Kemudian 
sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) 

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayahnya 
dan orang lain dari kalangan guru-gurunya mengatakan hal yang sa- 
ma dan mengajarkannya kepada dia (dan murid-murid lainnya). 
Firman Allah Swt.: 

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia. 
(Al-Baqarah: 187) 

Yakni sebagaimana Allah menjelaskan masalah puasa berikut hukum- 
hukum syariat dan rinciannya, Dia pun menjelaskan pula semua hu- 
kum lainnya melalui lisan hamba dan Rasul-Nya — yaitu Nabi Mu- 
hammad Saw. — kepada umat manusia. 

supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah: 187) 

Artinya, agar mereka mengetahui bagaimana jalan hidayah itu dan ba- 
gaimana cara mereka bertaat. Perihalnya sama dengan makna yang 
terkandung di dalam firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 



225 









Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang te- 
rang (Al-Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelap- 
an kepada cahaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pe- 
nyantun lagi Maha Penyayang terhadap kalian. (Al-Hadid: 9) 

Al-Baqarah, ayat 188 

Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang 
lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) ka- 
lian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian 
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan 
(jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini 
berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah 
harta, sedangkan pemiutang (yang punya piutang) tidak mempunyai 
bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya dan 
mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia mengetahui bah- 
wa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya ber- 
ada di pihak yang salah (berdosa) dan memakan harta haram. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Iubair, 
Beriman, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan 
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa mereka pernah menga- 
takan, "Janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu menge- 
tahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim." 

Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ummu Salamah, 
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



226 -Juz 2 — Al-Baqarah 

Ingatlah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan se- 
sungguhnya sering datang kepadaku orang-orang yang menga- 
dukan perkaranya. Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai 
dalam mengemukakan alasannya daripada lawannya, karena itu 
aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang telah ku- 
putuskan buatnya menyangkut masalah hak seorang muslim, pa- 
da hakikatnya hal itu hanyalah merupakan sepotong api neraka; 
karena itu, hendaklah seseorang menyanggahnya atau mening- 
galkannya. 

Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh 
mengubah hakikat sesuatu — dengan kata lain, tidak dapat mengha- 
ramkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram — me- 
lainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada la- 
hiriahnya. Untuk itu apabila keputusannya bersesuaian dengan hakikat 
permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputus- 
annya itu tidak bersesuaian dengan hakikat permasalahan, maka si ha- 
kim hanya memperoleh pahalanya, sedangkan yang menanggung 
dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan ke- 
curangan dalam perkaranya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan: 



s 



Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian 
yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (jangan- 
lah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya 



Tafsir Ibnu Kasir 227 

kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu 
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (Al- 
Baqarah: 188) 

Yakni kalian mengetahui kebatilan dari apa yang kalian dakwakan dan 
kalian palsukan melalui ucapan kalian. 

Qatadah mengatakan, "Ketahuilah, hai anak Adam, bahwa kepu- 
tusan kadi itu tidak menghalalkan yang haram bagimu dan tidak pula 
membenarkan perkara yang batil. Sesungguhnya dia hanya memutus- 
kan berdasarkan apa yang dia lihat melalui kesaksian para saksi. Kadi 
adalah seorang manusia, dia terkadang keliru dan terkadang benar. 
Ketahuilah bahwa barang siapa yang diputuskan suatu perkara untuk 
kemenangannya dengan cara yang batil, maka perkaranya itu masih 
tetap ada hingga Allah menghimpunkan di antara kedua belah pihak 
di hari kiamat, lalu Allah memutuskan perkara buat kemenangan 
orang yang hak atas orang yang batil itu dengan keputusan yang lebih 
baik daripada apa yang telah diputuskan buat kemenangan si batil 
atas pihak yang hak sewaktu di dunia." 

Al-Baqarah, ayat 189 

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, 
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan 
(bagi ibadah) haji." Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah- 
rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan 
orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari 
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian ber- 
untung. 



228 Juz 2 — Al-Baqarah 



Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang bertanya 
kepada Rasulullah Saw. tentang bulan sabit. Maka turunlah ayat ber- 
ikut, yakni firman-Nya: 



'Al.; 



•W-iJl 



^&&u&i&\&3&i 



Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, 
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al- 
Baqarah: 189) 

Yakni dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya iba- 
dah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka. 

Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abui Aliyah, telah 
sampai sebuah hadis kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, 
"Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?" 
Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah^ 
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al- 
Baqarah: 189) 

Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu 
puasa kaum muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri- 
istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka. Hal yang sama di- 
riwayatkan pula dari Ata, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Ar- 
Rabi' ibnu Anas. 

Abdur Razzaq meriwayatkan, dari Abdul Aziz ibnu Abu Raw- 
wad, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 



«?-V 






Tafsir Ibnu Kasir 229 

Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi 
manusia, maka berpuasalah kalian karena melihatnya dan ber- 
bukalah kalian karena melihatnya. Maka apabila awan menutupi 
kalian, sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari. 

Hadis riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui 
hadis Ibnu Abu Rawwad dengan lafaz yang sama. Imam Hakim me- 
ngatakan bahwa Ibnu Abu Rawwad adalah orang yang siqah, ahli 
ibadah, seorang mujtahid lagi bernasab terhormat. Maka hadis ini sa- 
hih sanadnya, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengete- 
ngahkannya. 

Muhammad ibnu Jabir meriwayatkan dari Qais ibnu Talq, dari 
ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Allah telah menciptakan bulan sabit. Maka apabila kalian meli- 
hat bulan sabit, berpuasalah; dan apabila kalian melihatnya lagi, 
berbukalah. Tetapi jika awan menutupi kalian, maka sempurna- 
kanlah bilangan bulan kalian menjadi tiga puluh hari. 

Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Abu Hurairah, juga dari 
ucapan Ali ibnu Abu Talib r.a. 
Firman Allah Swt: 

V f M' * <"^\\Ar 6 \r\ 

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakang- 
nya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. 
Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al- 
Baqarah: 189) 



230 Juz 2 — Al-Baqarah 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidil- 
lah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang mence- 
ritakan bahwa pada mulanya di zaman Jahiliah apabila mereka telah 
melakukan ihram, mereka memasuki rumahnya dari arah belakang- 
nya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakang- 
nya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. 

Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al- 
Baqarah: 189) 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari 
Syu'bah, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa 
orang-orang Ansar pada mulanya bila mereka tiba dari perjalanannya, 
maka seseorang dari mereka tidak memasuki rumahnya dari arah pin- 
tunya, lalu turunlah ayat ini. 

Al-A'masy menceritakan dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa da- 
hulu orang-orang Quraisy dikenal dengan nama Humus, mereka sela- 
lu masuk dari pintu-pintunya dalam ihram mereka; sedangkan orang- 
orang Ansar dan semua orang Arab dalam ihram mereka tidak mema- 
sukinya dari pintu. Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di sebuah 
kebun, selanjutnya beliau keluar dari pintunya, tetapi keluar pula ber- 
samanya Qutbah ibnu Amir dari kalangan Ansar. Mereka berkata, 
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah seorang 
pedagang, sesungguhnya dia telah keluar bersamamu dari pintu itu." 
Maka Rasul Saw. bertanya kepada Qutbah, "Apakah yang mendo- 
rongmu melakukan demikian?" Qutbah menjawab, "Aku melihat eng- 
kau melakukannya, maka aku ikut melakukan seperti apa yang telah 
engkau lakukan." Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku adalah 
seorang Ahmas." Qutbah menjawab, "Sesungguhnya agamaku juga 
adalah agamamu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 23 1 

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakang- 
nya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. 
Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Ba- 
qarah: 189) 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, juga Al-Aufi, dari Ibnu Ab- 
bas dengan lafaz yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula dari 
Mujahid, Az-Zuhri, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Ar- 
Rabi' ibnu Anas. 

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, dahulu beberapa kaum dari ka- 
langan ahli Jahiliah apabila seseorang dari mereka hendak melakukan 
suatu perjalanan, lalu ia keluar dari rumahnya memulai perjalanan 
yang ditujunya. Kemudian sesudah ia keluar, timbul keinginan tetap 
tinggal dan mengurungkan niat bepergiannya; maka dia tidak mema- 
suki rumahnya dari pintunya, melainkan menaiki tembok bagian 
belakang. Lalu Allah Swt. berfirman: 

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakang- 
nya. (Al-Baqarah: 189), hingga akhir ayat. 

Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Seorang lelaki apabila hendak 
melakukan i'tikaf, ia tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, 
maka Allah menurunkan ayat ini." 

Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa penduduk Yasrib apa- 
bila kembali dari hari raya mereka, mereka memasuki rumahnya ma- 
sing-masing dari arah belakangnya, dan mereka berpendapat bahwa 
hal tersebut lebih mendekati kepada kebajikan. Maka Allah Swt. ber- 
firman: 



232 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakang- 
nya. (Al-Baqarah: 189) 

Akhirnya mereka tidak lagi berpendapat bahwa hal tersebut lebih de- 
kat kepada kebajikan. 
Firman Allah Swt.: 

Dfl/i bertakwalah kalian kepada Allah, agar kalian beruntung. 
(Al-Baqarah: 189) 

Yakni kerjakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada 
kalian dan tinggalkanlah oleh kalian apa yang telah diharamkan Allah 
bagi kalian. 



C 



^i^a_JO .UjPtl* ij^SsJjJ 



agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189) 

Yaitu kelak di hari kemudian. Bila kalian dihadirkan di hadapan 
Allah, maka kelak Dia akan memberi kalian pahala dan balasannya 
dengan lengkap dan sempurna. 



Al-Baqarah, ayat 190-193 



Tafsir Ibnu Kasir 233 



lV -- y - ^? 



1*^0' 



lo^i^^^S^^i^b^ 



Z)a« perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi ka- 
lian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesung- 
guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui ba- 
tas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, 
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian 
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembu- 
nuhan, dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Ha- 
ram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika 
mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah me- 
reka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian ji- 
ka mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesungguhnya 
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah 
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama 
itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memu- 
suhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap 
orang-orang yang zalim. 

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abui 
Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: 



Ov 



. ^ . p=£&$> ^if^b^&^j 



Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi ka- 
lian. (Al-Baqarah: 190) 

Ayat ini merupakan ayat perang pertama yang diturunkan di Madi- 
nah. Setelah ayat ini diturunkan, maka Rasulullah Saw. memerangi 
orang-orang yang memerangi dirinya dan membiarkan orang-orang 



234 Juz 2 "~ Al-Baqarah 

yang tidak memeranginya, hingga turunlah surat Bara-ah (surat At- 
Taubah). 

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan hal yang sa- 
ma, hingga dia mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh flrman- 
Nya: 



C» l SjyJ*0 






Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian 
jumpai mereka. (At-Taubah: 5) 

Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, 
mengingat firman-Nya: 



i.p^ysuyj^t 






orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) 

Sesungguhnya makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar 
semangat untuk memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi 
Islam dan para pemeluknya. Dengan kata lain, sebagaimana mereka 
memerangi kalian, maka perangilah mereka oleh kalian. Seperti mak- 
na yang terkandung di dalam firman-Nya: 

Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mere- 
ka pun memerangi kalian semuanya. (At-Taubah: 36) 

Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: 



O > yji J .j 



Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan 
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Me- 
kah). (Al-Baqarah: 191) 



Tafsir Ibnu Kasir 235 



Dengan kata lain, agar semangat kalian berkobar untuk memerangi 
orang-orang musyrik itu, sebagaimana semangat mereka menggebu- 
gebu untuk memerangi kalian; dan agar kalian terdorong untuk meng- 
usir mereka dari negeri yang mereka telah mengusir kalian darinya 
sebagai pembalasan yang setimpal. 
Firman Allah Swt.: 



3, .Su&iiitf&SjsESS 



(tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya 
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al- 
Baqarah: 190) 

Yakni perangilah mereka di jalan Allah, tetapi janganlah kalian bersi- 
kap melampaui batas dalam hal ini. Termasuk ke dalam pengertian 
bertindak melampaui batas ialah melakukan hal-hal yang dilarang 
(dalam perang). Menurut Al-Hasan Al-Basri antara lain ialah mencin- 
cang musuh, curang, membunuh wanita-wanita, anak-anak serta 
orang-orang lanjut usia yang tidak ikut berperang serta tidak mem- 
punyai kemampuan berperang, para rahib dan pendeta-pendeta yang 
ada di dalam gereja-gerejanya, membakar pohon, dan membunuh he- 
wan bukan karena maslahat. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, 
Umar ibnu Abdul Aziz, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari 
Buraidah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Pergilah di jalan Allah dan perangilah orang yang kafir kepada 
Allah. Berperanglah kalian, tetapi janganlah kalian curang, ja- 
ngan khianat, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak- 
anak serta jangan membunuh orang-orang yang ada di dalam 
gereja-gerejanya. (Riwayat Imam Ahmad) 



236 Juz 2 — Al-Baqarah 

Disebutkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw. bila membe- 
rangkatkan pasukannya, terlebih dahulu berpesan kepada mereka: 

Berangkatlah kalian dengan menyebut asma Allah, perangilah di 
jalan Allah orang-orang yang kafir kepada Allah, janganlah ka- 
lian melampaui batas, janganlah kalian curang, jangan mencin- 
cang (menyiksa), jangan membunuh anak-anak, dan jangan pula 
orang-orang yang berada dalam gereja-gerejanya. 

Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan pula hadis yang 
semisal secara marfu' dari sahabat Anas ibnu Malik r.a. 

Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari sahabat Ibnu Umar yang 
menceritakan: 

Pernah dijumpai seorang wanita yang terbunuh dalam suatu pe- 
perangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka sejak itu 
beliau membenci membunuh wanita-wanita dan anak-anak. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus'ab 
ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Ajlah, dari Qais ibnu 
Abu Muslim, dari Rub'i ibnu Hirasy yang mengatakan bahwa ia per- 
nah mendengar Huzaifah bercerita, "Rasulullah Saw. pernah membuat 
banyak perumpamaan kepada kami, satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, 
dan sebelas (perumpamaan). Maka Rasulullah Saw. membuat suatu 
perumpamaan dari semuanya itu kepada kami dan meninggalkan per- 
umpamaan yang lainnya. Beliau Saw. bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 237 

A j -Ic^lj JUjtS * f<^- «. ^"t ' )»^^ \ jjfc 1 4JL) \^Aa\£ 

'Sesungguhnya ada suatu kaum yang lemah lagi miskin, mereka 
diperangi oleh orang-orang yang kuat lagi memendam permu- 
suhan, tetapi Allah memenangkan orang-orang yang lemah atas 
mereka, lalu orang-orang yang lemah itu menghukum mereka 
dengan cara mempekerjakan dan menguasai mereka, maka Allah 
murka terhadap orang-orang yang berbuat demikian hingga hari 
kiamat'." 

Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat hasan. Makna hadis, 
bahwa ketika kaum yang lemah itu dapat mengalahkan kaum yang 
kuat, maka kaum yang lemah berbuat kelewat batas terhadap mereka 
dan mempekerjakan mereka secara paksa dengan pekerjaan-pekerjaan 
yang tidak layak bagi mereka. Maka Allah menjadi murka terhadap 
mereka yang menang itu disebabkan sikap mereka yang melebihi 
batas. 

Hadis dan asar yang membahas hal ini cukup banyak. Mengingat 
jihad itu mengandung risiko melayangnya banyak jiwa, terbunuhnya 
banyak kaum laki-laki, maka Allah mengingatkan bahwa perbuatan 
yang telah dilakukan oleh mereka — yaitu kafir kepada Allah, mem- 
persekutukan-Nya, dan menghalang-halangi jalan Allah — adalah per- 
buatan yang lebih parah dan lebih fatal, lebih besar akibatnya daripa- 
da pembunuhan. Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebut- 
kan: 



Oik ?£J' 1 



:$&&£% 



dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (AI- 
Baqarah: 191) 

Menurut Abu Malik, makna ayat ini ialah bahwa apa yang sedang ka- 
lian hadapi itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. 



238 Juz 2 — Al-Baqarah 

Abui Aliyah, Mujahid, Qatadah, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al- 
Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan 
dengan makna firman-Nya: 



\" y \^ h'/i'" \, 



dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al- 
Baqarah: 191) 

Artinya, musyrik itu bahayanya lebih besar daripada pembunuhan. 
Firman-Nya: 

dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram. 
(Al-Baqarah: 191) 

Di dalam kitab Sahihain disebutkan: 



Sesungguhnya kota ini telah disucikan Allah sejak Dia mencipta- 
kan langit dan bumi, maka dia tetap suci karena disucikan Allah 
sampai hari kiamat dan tidak pernah dihalalkan kecuali sesaat 
untukku di waktu siang hari, dia tetap suci karena disucikan 
Allah sampai hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, 



Tafsir Ibnu Kasir 239 



rerumputannya tidak boleh dicabut. Jika ada seseorang membo- 
lehkan karena alasan Rasulullah Saw. pernah melakukan perang 
padanya, maka katakanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya 
Allah hanya mengizinkan bagi Rasul-Nya dan Dia tidak meng- 
izinkan bagi kalian. 

Yang dimaksud ialah peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah 
Saw. terhadap penduduknya ketika hari kemenangan atas kota Mekah, 
karena sesungguhnya beliau Saw. membukanya dengan paksa, dan 
sebagian dari kaum lelaki di antara mereka ada yang terbunuh di 
Khandamah. 

Tetapi menurut pendapat yang lain, Nabi Saw. membuka kota 
Mekah secara damai, karena berdasarkan kepada sabda Nabi Saw. 
yang mengatakan: 



, ^i^o^^Jt' j b J*° 



~> 



Barang siapa yang menutup pintunya, maka dia aman; dan ba- 
rang siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram, maka dia 
aman; dan barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, ma- 
ka dia aman. 

Firman Allah Swt.: 

kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka 
memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demi- 
kianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 191) 

Dengan kata lain, janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil 
Haram (Mekah) kecuali bila mereka memulai memerangi kalian 
padanya, maka saat itu kalian boleh memerangi mereka untuk mem- 
bela diri. Sebagaimana, yang dilakukan oleh para sahabat ketika 



240 Juz 2 — Al-Baqarah 

mengucapkan baiat (janji setia) kepada Nabi Saw. pada hari Hu- 
daibiyyah di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji setia untuk mem- 
bela Nabi Saw., yaitu di saat semua suku Quraisy dan para pendu- 
kungnya dari kalangan suku Saqif dan orang-orang Habsyah pada ta- 
hun itu bersekutu untuk memerangi Nabi Saw. Kemudian Allah Swt. 
mencegah peperangan di antara mereka. Untuk itu Allah Swt. berfir- 
man: 

3 )&m 



Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) 
kalian dan (menahan) tangan kalian dari (membinasakan) me- 
reka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kalian 
atas mereka. (Al-Fat-h: 24) 

Allah Swt. berfirman pula: 



Cv- 



.->,)\ i 



Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perem- 
puan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa 
kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditim- 
pa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak 
akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya 
Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rah- 
mat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami 
akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan 
azab yang pedih. (Al-Fat-h: 25) 



Tafsir Ibnu Kasir 241 

Adapun firman Allah Swt.: 

Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka se- 
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al- 
Baqarah: 192) 

Dengan kata lain, apabila mereka tidak melakukan peperangan di ta- 
nah haram (suci), mereka menyerah mau masuk Islam dan bertobat, 
sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka, sekalipun 
mereka telah memerangi kaum muslim di Tanah Suci Allah. Karena 
sesungguhnya tiada suatu dosa besar pun dianggap berat oleh Allah 
bila Dia mengampuni orang yang bertobat darinya dan kembali ke ja- 
lan-Nya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan untuk memerangi 
orang-orang kafir dengan tujuan seperti yang diungkapkan oleh fir- 
man-Nya: 

sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193) 

Yang dimaksud dengan fitnah ialah syirik (mempersekutukan Allah). 
Demikianlah menurut apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, 
Abui Aliyah, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi', Muqatil ibnu 
Hayyan, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam. Allah Swt. berfirman: 



dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. (Al-Ba- 
qarah: 193) 

Yakni hanya agama Allah-lah menang lagi tinggi berada di atas aga- 
ma lainnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam hadis Sahi- 
hain melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan: 



242 Juz 2 — Al-Baqarah 



.cfr&az&z&fafr <&$&£&c 



Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang berpe- 
rang karena keberaniannya, seorang lelaki yang berperang kare- 
na fanatiknya, dan seorang lelaki yang berperang karena riya 
(pamer), manakah di antaranya yang termasuk ke dalam perang 
dijalan Allah? Nabi Saw. menjawab, "Barang siapa yang berpe- 
rang demi meninggikan kalimah Allah, maka dia adalah orang 
yang berperang dijalan Allah." 

Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula hadis berikut: 






Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka me- 
ngatakan tidak ada Tuhan selain Allah; apabila mereka mau 
mengucapkannya, berarti mereka memelihara darah dan harta 
bendanya dariku, kecuali karena alasan yang hak, sedangkan 
perhitungan mereka (yang ada di dalam hati mereka) diserahkan 
kepada Allah. 

Firman Allah Swt.: 

Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada 
permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. 
(Al-Baqarah: 193) 



Tafsir Ibnu Kasir 243 



Yakni jika mereka tidak melakukan lagi kebiasaan syiriknya dan tidak 
lagi memerangi orang-orang mukmin, maka cegahlah diri kalian dari 
mereka, karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka 
sesudah itu adalah orang yang zalim, dan tidak ada lagi permusuhan 
kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Demikianlah menurut tak- 
wil yang dikemukakan oleh Mujahid, yakni tidak ada perang lagi ke- 
cuali terhadap orang yang memulainya. Atau makna yang dimaksud 
ialah, apabila mereka berhenti memusuhi kalian, berarti kalian telah 
bebas dari gangguan perbuatan aniaya mereka, yaitu kemusyrikan 
mereka, maka tidak ada permusuhan lagi terhadap mereka sesudah 
itu. Yang dimaksud dengan istilah 'udwan dalam ayat ini ialah mem- 
balas dan memerangi, seperti pengertian yang terkandung di dalam 
firman-Nya: 

Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka se- 
ranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al- 
Baqarah: 194) 






Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. 
(Asy-Syura: 40) 



Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan ba- 
lasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. 
(An-Nahl: 126) 

Karena itulah maka Dcrimah dan Qatadah mengatakan bahwa orang 
yang zalim ialah orang yang menolak, tidak mau mengucapkan ka- 
limati 'Tidak ada Tuhan selain Allah'.. 



244 Juz 2 — Al-Baqarah 



Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman- 
Nya: 

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al- 
Baqarah: 193), hingga akhir ayat. 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah 
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan ke- 
pada kami Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan 
bahwa ia pernah kedatangan dua orang lelaki pada zaman fitnah Ib- 
nuz Zubair (kemelut yang terjadi di masa Abdullah ibnuz Zubair), 
lalu kedua lelaki itu berkata, "Sesungguhnya orang-orang telah meli- 
batkan dirinya dalam kemelut ini, sedangkan engkau — hai Ibnu 
Umar — sebagai sahabat Nabi Saw. mengapa tidak ikut berangkat 
berperang?" Ibnu Umar menjawab, "Diriku tercegah oleh hukum 
Allah yang melarang darah saudaraku." Keduanya mengatakan lagi, 
"Bukankah Allah Swt. telah berfirman: 

'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al- 
Baqarah: 193)?" 

Ibnu Umar menjawab, "Kami telah berperang sehingga tiada ada fit- 
nah lagi, dan agama hanyalah untuk Allah. Sedangkan kalian meng- 
hendaki agar perang kalian lakukan sehingga fitnah timbul lagi dan 
agar agama untuk selain Allah." 

Usman ibnu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Wahb, telah menceri- 
takan kepadaku Fulan dan Haiwah ibnu Syuraih, dari Bakr ibnu Umar 
Al-Magafiri, bahwa Bukair ibnu Abdullah pernah menceritakan kepa- 
danya dari Nafi', bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Ib- 
nu Umar dan mengatakan, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah yang 
mendorongmu melakukan ibadah haji satu tahun dan bermukim satu 
tahun, sedangkan engkau meninggalkan jihad di jalan Allah Swt., pa- 
dahal engkau mengetahui anjuran Allah mengenai berjihad itu?" 



Tafsir Ibnu Kasir 245 

Ibnu Umar menjawab, "Hai anak saudaraku, Islam dibangun di 
atas lima pilar, yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, salat lima 
waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah." 
Mereka mengatakan, "Bukankah engkau telah mendengar apa yang 
telah dikatakan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya, hai Abu Abdur 
Rahman, (yaitu): 

'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berpe- 
rang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari 
kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, 
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga go- 
longan itu kembali kepada perintah Allah' (Al-Hujurat: 9). 

Juga firman Allah Swt. yang mengatakan: 



C **" i ZJlJ 






'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al- 
Baqarah: 193)." 

Ibnu Umar berkata, "Kami telah melakukannya di zaman Rasulullah 
Saw. yang pada saat itu Islam masih minoritas, dan seorang lelaki 
muslim diuji dalam agamanya, adakalanya dibunuh oleh mereka atau 
disiksa. Ketika Islam menjadi mayoritas, maka tidak ada fitnah lagi." 
Lelaki itu berkata, "Bagaimanakah menurutmu tentang Ali dan 
Us'man?" Ibnu Umar menjawab, "Adapun mengenai Usman, maka 
Allah telah memaafkannya, dan kalian ternyata tidak suka memaaf- 
kannya. Sedangkan Ali, dia adalah anak paman Rasulullah Saw. dan 
juga sebagai menantunya," lalu Ibnu Umar mengisyaratkan dengan 
tangannya dan berkata, "Itulah rumah Ali seperti yang kalian lihat 
sendiri (yakni tinggal di rumah Rasulullah Saw.)." 



246 Juz 2 — Al-Baqarah 



Al-Baqarah, ayat 194 



. ^i^ig^r^^^-tt-i^ 



Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut 
dihormati berlaku hukum qisas. Oleh sebab itu, barang siapa 
yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan se- 
rangannya terhadap kalian. Bertakwalah kepada Allah dan ke- 
tahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. 

Dcrimah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Qatadah, Miqsam, Ar-Rabi' ibnu 
Anas, dan Ata serta lain-lainnya (dari kalangan tabi'in) telah menga- 
takan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah Saw. berangkat me- 
lakukan umrah pada tahun keenam Hijriah, kaum musyrik mela- 
rangnya masuk ke kota Mekah dan sampai ke Baitullah. Kaum 
musyrik menghambat Nabi Saw. dan kaum muslim yang bersamanya 
pada bulan Zul-Qa'dah, yaitu termasuk bulan haram, hingga beliau 
Saw. mengqadainya bersama kaum muslim pada tahun berikutnya. 
Akhirnya beliau Saw. dapat memasukinya bersama-sama kaum mus- 
lim pada tahun selanjutnya sebagai qisas dari Allah terhadap kaum 
musyrik. Maka turunlah ayat tersebut berkenaan dengan firman-Nya: 

Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut 
dihormati berlaku hukum qisas. (Al-Baqarah: 194) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ib- 
nu Isa, telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, dari Abuz 
Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 247 



Rasulullah Saw. belum pernah berperang dalam bulan haram ke- 
cuali bila diserang dan dipaksa untuk berperang. Apabila datang 
bulan haram, maka beliau menunggunya hingga ia lewat. 

Sanad hadis ini sahih. Karena itu, ketika sampai suatu berita kepada 
Nabi Saw. yang sedang berkemah di Hudaibiyyah bahwa sahabat Us- 
man telah terbunuh — padahal Usman sedang diutus beliau untuk me- 
nyampaikan sepucuk surat kepada kaum musyrik — maka beliau 
mem-baiat semua sahabatnya yang berjumlah seribu empat ratus 
orang di bawah sebatang pohon untuk memerangi kaum musyrik. 
Akan tetapi, ketika sampai lagi suatu berita yang menyatakan bahwa 
Usman sebenarnya tidak dibunuh, maka beliau mencegah diri dari pe- 
rang dan cenderung kepada perdamaian, hingga terjadilah di masa itu 
apa yang telah terjadi (yakni dilarang oleh kaum musyrik memasuki 
Mekah tahun itu, melainkan boleh untuk tahun depannya). 

Demikian pula ketika beliau selesai memerangi kabilah Hawazin 
dalam Perang Hunain, lalu sisa-sisa Hawazin berlindung di balik ben- 
teng kota Taif. Beliau menghentikan perang, dan yang beliau lakukan 
hanya mengepungnya saja karena bulan Zul-Qa'dah telah masuk. Na- 
bi Saw. mengepung kota Taif dengan manjaniq (meriam batu), hal ini 
dilakukannya selama empat puluh hari. Seperti apa yang disebutkan 
di dalam kitab Sahihain, dari Anas yang mengatakan, "Setelah ba- 
nyak orang terbunuh dari kalangan sahabatnya, maka beliau pergi me- 
ninggalkan Taif dan tidak jadi membukanya. Kemudian beliau kem- 
bali ke Mekah, lalu melakukan umrah dari Ji' ranah yang di tempat itu 
dibagi-bagikan ganimah Perang Hunain. Umrah kali ini beliau laku- 
kan pada tahun delapan Hijriah, tepatnya pada bulan Zul-Qa'dah." 

Firman Allah SwL: 



0«« iM 1 3. ^^^JcilU^^5jci&i3fc^JC^>J 



Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka se- 
ranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al- 
Baqarah: 194) 



248 Juz 2 — Al-Baqarah 



Ayat ini menganjurkan berbuat adil, sekalipun terhadap kaum 
musyrik (musuh). Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di 
dalam flrman-Nya: 



O 






e 



Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan 
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada 
kalian. (An-Nahl: 126) 

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. 
(Asy-Syura: 40) 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa firman- 

Nya: 

(9/efc karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka se- 
ranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al- 
Baqarah: 194) 

Ayat ini diturunkan di Mekah di masa tidak ada kekuatan dan tidak 
ada jihad, kemudian di-mansukh oleh ayat perang yang diturunkan di 
Madinah. Pendapat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dan ia mengata- 
kan bahkan ayat ini diturunkan di Madinah sesudah umrah qada. Ibnu 
Jarir menisbatkan pendapatnya ini kepada Mujahid. 
Firman Allah Swt.: 

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta 
orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 194) 



Tafsir Ibnu Kasir 249 

Allah memerintahkan mereka untuk taat dan bertakwa kepada-Nya, 
sekaligus memberitahukan kepada mereka bahwa Allah Swt. selalu 
bersama orang-orang yang bertakwa melalui pertolongan-Nya dan du- 
kungan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. 

Al-Baqarah, ayat 195 






Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan ja- 
nganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebina- 
saan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai 
orang-orang yang berbuat baik. 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, 
telah menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada 
kami Syu'bah, dari Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Abu Wa-il 
mengatakan dari Huzaifah sehubungan dengan firman-Nya: 

Dan belanjakanlah (harta kalian) di jalan Allah, dan janganlah 
kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al- 
Baqarah: 195) 

Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah memberi naf- 
kah. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, 
dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Abu Mu'awiyah, 
dari Al-A'masy. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayat- 
kan pula dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, 
Ad-Dahhak, Al-Hasan," Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. 



250 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 



Lais ibnu Sa'd meriwayatkan dari Yazid ibnu Abu Habib, dari 
Aslam Abu Imran yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari ka- 
langan Muhajirin ketika di Qustantiniyah (Konstantinopel) maju sen- 
dirian melabrak barisan musuh hingga dapat menerobosnya (lalu 
kembali lagi), sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub Al-Ansari. 
Maka orang-orang mengatakan, "Dia telah menjerumuskan dirinya 
sendiri ke dalam kebinasaan." Maka Abu Ayyub menjawab, "Kami 
lebih mengetahui tentang ayat ini, sesungguhnya ia diturunkan ber- 
kenaan dengan kami. Kami selalu menemani Rasulullah Saw. dan ka- 
mi ikut bersamanya dalam semua peperangan, dan kami bantu beliau 
dengan segala kemampuan kami. Setelah Islam menyebar dan me- 
nang, maka kami orang-orang Ansar berkumpul mengadakan reuni. 
Lalu kami mengatakan, 'Allah telah memuliakan kita karena kita 
menjadi sahabat Nabi Saw. dan menolongnya hingga Islam tersebar 
dan para pemeluknya menjadi golongan mayoritas. Kita lebih me- 
mentingkan Nabi Saw. daripada keluarga, harta benda, dan anak-anak 
kita.' Setelah perang tiada lagi, lalu kami kembali kepada keluarga 
dan anak-anak kami serta kami tinggal bersama mereka. Lalu turun- 
lah firman-Nya: 



[ i<\0 > 0^2-J 1 ~) 



%&\$%3$®&£$&% 



'Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan ja- 
nganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam ke- 
binasaan ' (Al-Baqarah: 195). 

Maka kebinasaan itu terjadi bila kami bermukim mengurusi keluarga 
dan harta benda. Sedangkan jihad kami tinggalkan." Hadis ini diriwa- 
yatkan oleh Abu Daud, Turmuzi, Nasai, dan Abdu ibnu Humaid di 
dalam kitab tafsirnya; dan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Mur- 
dawaih serta Al-Hafiz Abu Ya'la di dalam kitab musnadnya; Ibnu 
Hibban di dalam kitab sahihnya, dan Imam Hakim di dalam kitab 
mustadraknya. Semuanya meriwayatkan hadis ini melalui Yazid ibnu 
Abu Habib dengan lafaz seperti yang disebutkan di atas. Imam Tur- 
muzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, sahih, garib. Imam Hakim 



Tafsir Ibnu Kasir 25 1 

mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, sedang- 
kan keduanya tidak mengetengahkannya. 

Menurut lafaz yang ada pada Imam Abu Daud, dari Aslam Abu 
Imran, ketika kami berada di Konstantinopel, pemimpin pasukan 
kaum muslim dari Mesir dipegang oleh Uqbah ibnu Amir, dan dari 
negeri Syam dipegang oleh seorang lelaki kepercayaan Yazid ibnu 
Fudalah ibnu Ubaid. 

Maka keluarlah dari kota Konstantinopel sepasukan yang berjum- 
lah sangat besar dari pasukan Romawi; kami pun menyusun barisan 
pertahanan untuk menghadapi mereka. Kemudian ada seorang lelaki 
dari pasukan kaum muslim maju menerjang barisan pasukan Romawi, 
hingga sempat memorak-porandakannya, dan masuk ke tengah baris- 
an musuh, setelah itu ia kembali lagi ke barisan kami. Melihat peristi- 
wa tersebut pasukan kaum muslim berteriak seraya mengucapkan, 
"Subhanallah, dia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan!" Maka 
Abu Ayyub menjawab: 



Hai manusia, sesungguhnya kalian benar-benar menakwilkan 
ayat ini bukan dengan takwil yang semestinya. Sesungguhnya 
ayat ini hanya diturunkan berkenaan dengan kami, orang-orang 
Ansar. Sesungguhnya kami setelah Allah memenangkan agama-Nya 
dan banyak yang mendukungnya, maka kami berkata di antara 
sesama kami, "Sekiranya kita kembali kepada harta benda kita 
untuk memperbaikinya," maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 
195). 

Abu Bakar ibnu Iyasy meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang 
menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Al-Barra 



2 52 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 

ibnu Azib, "Jika aku maju sendirian menerjang musuh, lalu mereka 
membunuhku, apakah berarti aku menjerumuskan diriku ke dalam ke- 
binasaan?" Al-Barra menjawab, "Tidak, Allah Swt. telah berfirman 
kepada Rasul-Nya: 

'Maka berperanglah kalian pada jalan Allah, tidaklah kamu di- 
bebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri ' (An-Nisa: 
84). 

Sesungguhnya ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 195) hanyalah ber- 
kenaan dengan masalah nafkah." Ibnu Murdawaih meriwayatkannya 
pula, dan Imam Hakim telah mengetengahkannya di dalam kitab 
Mustadrak melalui hadis Israil, dari Abu Ishaq; dan Imam Hakim me- 
ngatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan 
Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Imam Turmuzi 
meriwayatkannya, begitu pula Qais ibnur Rabi', dari Abu Ishaq, dari 
Al-Barra. Kemudian Al-Barra menuturkan hadis ini, dan sesudah fir- 
man-Nya: 



i«>^.Z\lZwA)§39 



Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sen- 
diri. (An-Nisa: 84) 

Ia mengatakan, "Kebinasaan yang sesungguhnya ialah bila seorang 
lelaki melakukan suatu dosa, sedangkan ia tidak bertobat darinya. 
Maka dialah orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan." 
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al- 
Lais), telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepa- 
da kami Abdur Rahman ibnu Khalid ibnu Musafir, dari Ibnu Syihab, 
dari Abu Bakar ibnu Numair ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu 
Hisyam, bahwa Abdur Rahman Al-Aswad ibnu Abdu Yagus telah 
menceritakan kepadanya bahwa mereka mengepung kota Dimasyq 



Tafsir Ibnu Kasir 253 



(Damaskus). Maka berangkatlah seorang lelaki dari Azdsyanu-ah, ia 
maju dengan cepat menerjang musuh sendirian. Kaum muslim men- 
cela perbuatannya itu, lalu perkaranya dilaporkan kepada Amr ibnul 
As (panglima pasukan kaum muslim). Kemudian Amr mengirimkan 
pesuruh untuk menyuruhnya kembali (ke barisan kaum muslim). Ke- 
tika lelaki itu datang ke hadapannya, maka Amr membacakan kepada- 
nya firman Allah Swt.: 



„ m\m$&% 



Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam 
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) 

Ata ibnus Sa-ib meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas 
sehubungan dengan takwil firman-Nya: 

Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan ja- 
nganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebina- 
saan. (Al-Baqarah: 195) 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini bukan berkenaan dengan ma- 
salah perang, melainkan berkenaan dengan masalah membelanjakan 
harta, yaitu bila kamu genggamkan tanganmu, tidak mau membelan- 
jakan harta di jalan Allah, maka dikatakan, "Janganlah kalian menja- 
tuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan." 

Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Daud, dari Asy- 
Sya'bi, dari Ad-Dahhak ibnu Abu Jubair yang menceritakan bahwa 
orang-orang Ansar biasa menyedekahkan dan menginfakkan sebagian 
dari harta mereka. Pada suatu ketika paceklik menimpa mereka, kare- 
na itu mereka tidak lagi membelanjakan hartanya di jalan Allah. Lalu 
turunlah ayat ini: 



C 



^V^)!$$\&%$$®i 



254 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam 
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) 

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman- 

Nya: 

Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam 
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) 

Yang dimaksud ialah sifat kikir. 

Sammak ibnu Harb meriwayatkan dari An-Nu'man ibnu Basyir 
sehubungan dengan makna firman-Nya: 



C»so » "b j; _ X\ 3 



.^I^SO»' 



Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam 
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) 

Maksudnya ialah ada seorang lelaki melakukan suatu dosa, lalu ia 
mengatakan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Maka Allah Swt. 
menurunkan firman-Nya: 

Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam 
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah 
menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195) 

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih. Ibnu Abu Hatim me- 
ngatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah As-Salmani, Al-Hasan Al- 
Basri, Ibnu Sirin, dan Abu Qilabah hal yang semisal, yakni yang se- 
misal dengan apa yang telah diceritakan oleh An-Nu'man ibnu 
Basyir. Yaitu bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang 
melakukan suatu dosa, lalu ia berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan 
diampuni. Karena itulah dia menjerumuskan dirinya ke dalam kebi- 



Tafsir Ibnu Kasir 255 



nasaan. Dengan kata lain, karena dia merasa tidak akan diampuni, 
maka ia memperbanyak berbuat dosa, dan akhirnya dia binasa. Ka- 
rena itulah Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang 
pemah mengatakan bahwa kebinasaan adalah azab Allah. 

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan 
kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, te- 
lah menceritakan kepadaku Abu Sakr, dari Al-Qurazi (yaitu Muham- 
mad ibnu Ka'b), bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan 
takwil ayat ini: 



i^\^o :o H_J ; ) 



m^m^ 



Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam 
kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) 

Ada suatu kaum yang sedang berjuang di jalan Allah, dan seseorang 
dari mereka membawa bekal yang paling banyak di antara teman-te- 
mannya. Lalu ia menginfakkan perbekalannya itu kepada orang yang 
kekurangan, hingga tiada sesuatu pun yang tersisa dari bekalnya un- 
tuk menyantuni teman-temannya yang memerlukan pertolongan. Ma- 
ka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



*>. , %&tim$®;&&&& 



T 



256 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan ja- 
nganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan. 
(Al-Baqarah: 195) 

Demikian kisahnya, bermula dengan sejumlah kaum laki-laki ya^' 
berangkat mengemban misi yang ditugaskan oleh Rasulullah Saw. ke 
pundak mereka tanpa bekal. Ketiadaan bekal mereka adakalanya ka- 
rena mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai mata penca- 
harian, atau adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang 
mempunyai banyak tanggungan. Maka Allah memerintahkan kepada 
mereka untuk meminta perbelanjaan dari apa yang telah direzekikan 
Allah kepada mereka (kaum muslim), dan janganlah mereka menja- 
tuhkan dirinya ke dalam kebinasaan. 

Pengertian binasa ialah bila mereka yang bertugas mengemban 
misi ini binasa karena lapar dan dahaga atau karena jalan kaki. Allah 
Swt. berfirman kepada orang-orang yang mempunyai harta berlebih: 

Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai 
orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195) 

Kesimpulan dari makna ayat ini ialah perintah membelanjakan harta 
di jalan Allah dan semua jalan taqarrub (mendekatkan diri kepada 
Allah) dan taat kepada-Nya, khususnya membelanjakan harta untuk 
memerangi musuh, kemudian mengalokasikannya buat sarana dan be- 
kal yang memperkuat kaum muslim dalam menghadapi musuh-musuh 
mereka. Melalui ayat ini Allah memberitakan kepada mereka bahwa ji- 
ka hal ini ditinggalkan, maka akan berakibat kepada kehancuran dan 
kebinasaan bagi orang yang tidak mau membelanjakan hartanya untuk 
tujuan tersebut. Kemudian di-'a/a/-kan kepada perintah berbuat baik, 
yang mana hal ini merupakan amal ketaatan yang paling tinggi. Un- 
tuk itu Allah Swt. berfirman: 



[lla t o 






Tafsir Ibnu Kasir 257 

Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai 
orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195) 

Al-Baqarah, ayat 196 



Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika 
kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka 
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian 
mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat pe- 
nyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada 
gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya 
berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apa- 
bila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin me- 
ngerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia 
menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak 
menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib 
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila 
kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempur- 
na. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang 
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram 



258 Juz 2 — Al-Baqarah 

(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwa- 
lah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa- 
an-Nya. 

Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-'ata/ 
kannya dengan sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelas- 
kan masalah manasik. Untuk itu, Allah memerintahkan agar ibadah 
haji dan umrah disempurnakan. Menurut pengertian lahiriah konteks 
menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan haji dan um- 
rah bilamana seseorang telah memulainya. Karena itulah sesudahnya 
disebutkan: 

Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196) 

Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat 
hingga tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh 
musuh atau karena sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa 
memasuki ibadah haji dan umrah merupakan suatu keharusan, baik 
menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu wajib ataupun 
sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami 
telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam 
Kitabul Ahkam secara rinci. 

Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ib- 
nu Salamah, dari Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman- 
Nya: 



^■'p^A»»! 



Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Ba- 
qarah: 196) 

Dikatakan demikian bilamana kamu telah memasuki ihram dari ru- 
mah keluargamu. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, 
Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus. 



Tafsir Ibnu Kasir 259 



Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehu- 
bungan dengan takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan 
haji dan umrah itu ialah bila kamu telah berihram dari rumah keluar- 
gamu dengan tujuan hanya untuk haji dan umrah. Kamu ber-ihlal 
(berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan untuk berniaga, 
bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di 
dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya aku melakukan haji 
atau umrah," yang demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang 
sempurna ialah bila kamu berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali 
hanya untuk itu. 

Mak-hul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan um- 
rah ialah memulai keduanya dari miqat-nya. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakan, telah sampai kepada kami 
bahwa sahabat Umar pernah mengatakan sehubungan dengan takwil 
firman-Nya: 

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah ialah bila 
kamu meng-//ftzd-kan masing-masing dari yang lainnya secara terpi- 
sah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena 
sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: 



C^ v ' vLJO 



. £^*y*J*j^j\ ftJJ 



(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Ba- 
qarah: 197) 

Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al- 
Qasim ibnu Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah 
umrah di dalam bulan-bulan haji kurang sempurna." Ketika dikatakan 
kepadanya, "Bagaimana dengan umrah dalam bulan Muharram?" Ia 



260 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

menjawab, "Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam bulan 
tersebut dianggap sempurna." 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah. 
Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena dise- 
butkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw. melakukan um- 
rahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau lakukan dalam bulan 
Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun enam 
Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah tahun ketujuh Hijriah, 
umrah ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun delapan Hijriah, dan 
umrah yang beliau lakukan dalam ibadah haji — beliau berihram un- 
tuk keduanya secara bersamaan (qiran) — dalam bulan Zul-Qa'dah ta- 
hun sepuluh Hijriah. Beliau Saw. tidak melakukan umrah lagi selain 
dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah. Akan tetapi, Nabi 
Saw. bersabda kepada Ummu Hani': 






Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan iba- 
dah haji bersamaku. 

Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan 
ibadah haji bersama Nabi Saw., tetapi ia terhambat melakukannya ka- 
rena masa sucinya terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang 
lebar di dalam hadis Imam Bukhari. Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Ju- 
bair disebutkan bahwa hal tersebut hanya merupakan kekhususan bagi 
Ummu Hani'. 

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: 

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Yakni tegakkanlah (kerjakanlah) ibadah haji dan umrah. 

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehu- 
bungan dengan makna firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 261 



0* . yji ) *$jfyfflj& 

Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji atau um- 
rah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan ke- 
duanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban. Bila ia telah 
melempar jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i antara Safa 
dan Marwah; setelah semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa 
tahallul-nya. 

Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa 
Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah 
itu adalah tawaf." 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, 
dari Alqamah sehubungan dengan firman-Nya: 



0«. vMO *&)P$jN$> 



Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud bunyinya 
demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke 
Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, 
tidak melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia 
menceritakan hal tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka Sa'id ibnu 
Jubair mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu 
Abbas. 

Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqa- 
mah, bahwa ia pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan 
umrah sampai ke Baitullah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh 
As-Sauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa ia membaca 
ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, "Dan dirikanlah ibadah 
haji dan umrah sampai ke Baitullah." 



262 Juz 2 — Al-Baqarah 

Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-ra/a'-kan lafaz al-um- 
rah, dan ia mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak wajib, 
melainkan sunat. Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda, 
yakni yang mengatakan wajib. 

Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan mela- 
lui berbagai jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bah- 
wa Rasulullah Saw. dalam ihramnya menggabungkan ibadah haji dan 
ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadis sahih yang bersumber dari 
Nabi Saw. bahwa beliau Saw. pernah bersabda kepada para sahabat 



• Sj^J j*£.Jfck &>** <a^u^ C? 



Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hen- 
daklah ia ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya. 

Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi Saw. pernah 
bersabda: 



Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat. 

Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun 
nuzul ayat ini meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Untuk itu dia 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah 
menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah mencerita- 
kan kepada kami Gassan Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami 
Ibrahim ibnu Tahman, dari Ata, dari Safwan ibnu Umayyah yang 
menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. da- 
lam keadaan memakai minyak wangi za'faran yang ia balurkan pada 
baju jubahnya, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah yang harus aku laku- 
kan dalam ibadah umrahku menurutmu, wahai Rasulullah?" Maka 
Allah menurunkan firman-Nya: 



C<vi » s^_jt ) 



&#!$!$ 



Tafsir Ibnu Kasir 263 



Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Lalu Rasulullah Saw. bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya 
tentang umrah tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Nabi Saw. 
bersabda kepadanya, "Lepaskanlah bajumu itu, lalu mandilah dan ber- 
istinsyaq-\ah menurut kemampuanmu. Kemudian apa yang kamu la- 
kukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula dalam ibadah umrah- 
mu." Hadis ini garib dan konteksnya aneh. 

Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya'la ibnu 
Umayyah dalam kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi 
Saw. ketika di Ji 'ranah, disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagai- 
manakah menurutmu tentang seorang lelaki yang berihram untuk um- 
rah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri dengan minyak 
za'faran?" Nabi Saw. diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemu- 
dian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, "Manakah orang 
yang bertanya tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Maka beliau 
Saw. bersabda: 

Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun 
mengenai wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Ke- 
mudian apa yang biasa kamu lakukan dalam ibadah hajimu, ma- 
ka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu. 

Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air 
dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak 
pula sebutan asbdbun nuzul ayat ini. Hadis ini dari Ya'la ibnu 
Umayyah, bukan Safwan ibnu Umayyah. 
Firman Allah Swt.: 






254 Juz 2 — Al-Baqarah 

Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), 
maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 
196) 

Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hij- 
riah, yakni pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum 
musyrik menghalang-halangi antara Rasulullah Saw. dan Baitullah, 
hingga beliau tidak dapat sampai kepadanya, dan Allah menurunkan 
sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat Al-Fat-h secara leng- 
kap. Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka diper- 
bolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah he- 
wan hadyu yang mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor 
unta, lalu mereka mencukur rambut mereka masing-masing dan di- 
perintahkan untuk bcv-tahallul dari ihram mereka. 

Maka pada saat itu juga Nabi Saw. memerintahkan kepada me- 
reka untuk mencukur rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan 
tetapi, pada mulanya mereka tidak mau melakukannya karena me- 
nunggu adanya perintah nasakh. Maka terpaksa Rasulullah Saw. ke- 
luar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti jejaknya; 
dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambut- 
nya saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi Saw. bersabda: 



<".< 






"Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka 
berkata, "Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang 
yang memotong rambutnya. " Pada yang ketiga kalinya baru Ra- 
sulullah Saw. berdoa, "Dan juga orang-orang yang mencukur 
rambutnya. " 

Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh 
orang satu ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu 
empat ratus orang. Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Ta- 
nah Suci. Menurut pendapat yang lain, bahkan mereka berada di 
pinggir kawasan Kota Suci. 



Tafsir Ibnu Kasir 265 

Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh bev-tahal- 
lul di luar Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dike- 
pung oleh musuh, karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya 
orang yang dikepung oleh musuh, bukan karena faktor sakit atau fak- 
tor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah ini. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan 
kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu 
Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga dari Ibnu Abu Nujaih, 
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan kecuali ka- 
rena kepungan musuh. Orang yang terkena sakit atau penyakitnya 
kambuh atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, ka- 
rena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: 

Apabila kalian telah (merasa) aman. (Al-Baqarah: 196) 

Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung. Ibnu Abu Hatim 
mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu 
Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam. 

Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) 
lebih umum daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sa- 
kit atau karena tersesat jalannya atau faktor lainnya yang sejenis. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yah- 
ya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, 
dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr 
Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah 
Saw. bersabda: 

Barang siapa yang patah tulang atau sakit atau pincang, maka 
sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya me- 
lakukan haji lagi. 

Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini 
kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Keduanya mengatakan 



266 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 

bahwa dia (yakni Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari) memang benar. 

Penulis kitab-kitab pokok hadis yang empat menceritakan hadis 
ini melalui Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafaz yang sama. 

Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan: 

Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sa- 
kit. 

Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas, yakni se- 
makna dengannya. 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, 
dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf 
dengan lafaz yang sama. 

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari 
Ibnu Mas'ud, Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah 
ibnuz Zubair, Mujahid, An-Nakha'i, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan, 
bahwa mereka mengatakan, "Yang dimaksud dengan istilah ihsar 
ialah terhalang oleh musuh atau sakit atau patah tulang." 

As-Sauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang 
mengganggu. 

Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari hadis Aisyah bahwa Ra- 
sulullah Saw. memasuki rumah Duba'ah binti Zubair ibnu Abdul 
Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya 
aku bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit 
(sedang haid)." Maka Rasulullah Saw. bersabda: 

** ****** 

Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu bahwa tempat 
tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku. 

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan la- 
faz yang semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah 
mengadakan persyaratan dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini. 



Tafsir Ibnu Kasir 267 

Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, 
bahwa kebenaran pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis 
yang dijadikan landasannya. Imam Baihaqi dan lain-lainnya dari ka- 
langan huffaz (orang-orang yang hafal hadis) mengatakan bahwa ha- 
dis ini sahih. 

Firman Allah Swt.: 



C w >vMO .Z$Z$\&j&$ 



maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah dida- 
pat. (Al-Baqarah: 196) 

Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayah- 
nya, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubung- 
an dengan makna firman-Nya: 



£^^0.^jJV^H^t$ 



Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah di- 
dapat. (Al-Baqarah: 196) 

Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing. 

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah he- 
wan jantan dan hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, 
sapi, kambing, dan domba. 

As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari 
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: 

v 



Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah di- 
dapat. (Al-Baqarah: 196) 

Yang dimaksud ialah ternak kambing. Hal yang sama dikatakan pula 
oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abui Aliyah, Muhammad ibnu Ali ibnul 
Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al- 



268 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. 
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab empat. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al- 
Ahmar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan 
Ibnu Umar; keduanya berpendapat sehubungan dengan hewan kurban 
yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua je- 
nis ternak,yaitu berupa unta dan sapi. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayat- 
kan dari Salim, Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu 
Jubair. 

Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk 
memperkuat pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di 
Hudaibiyyah. Karena sesungguhnya belum pernah dinukil oleh se- 
orang pun di antara mereka bahwa Nabi Saw. dalam tahallul-nya itu 
menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh mereka se- 
bagai kurban ialah ternak unta dan sapi. 

Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan: 



Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk bersekutu dalam 
kurban unta dan sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu 
ekor sapi. 

Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada ka- 
mi, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan de- 
ngan firman-Nya: 

1 ••jV s S'" 



C'"iiV^O.^j^Jj^jiC*i& 



Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah dida- 
pat. (Al-Baqarah: 196) 



Tafsir Ibnu Kasir 269 

Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-ma- 
sing. Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersang- 
kutan adalah orang kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kur- 
ban ternak unta. Dan jika dia bukan orang kaya, ia termasuk ke dalam 
golongan kurban ternak sapi. Jika dia termasuk golongan yang lebih 
rendah tingkatan ekonominya, hendaklah ia berkurban dengan me- 
nyembelih seekor kambing." 

Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan de- 
ngan firman-Nya: 






Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah dida- 
pat. (Al-Baqarah: 196) 

Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan standar ialah menurut pa- 
sang surutnya harga antara murah dan mahalnya. Sebagai dalil yang 
membenarkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan cukup me- 
nyembelih kambing bila dalam keadaan terkepung, bahwa Allah Swt. 
hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban yang mudah dida- 
pat, yakni berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan 
hadyu, baik berupa unta, sapi, ataupun kambing. Demikianlah menu- 
rut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Hal ini terbukti di dalam 
kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Mu-minin r.a. yang men- 
ceritakan: 

1 Z' 



{^1fi^^&\& j ^\/j& 



Nabi Saw. pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor 
domba. 



Firman Allah Swt.: 



O-w «^Ji] 






270 Ju z 2 — Al-Baqarah 

Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sam- 
pai di tempat penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196) 



Jumlah ini di-' ataf-km kepada firman-Nya: 



c™^u\0y&\j& 



Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Bukan di-' ataf-km (dikaitkan) dengan firman-Nya: 







(W 



.^0 .<|i?\S^r¥-W^«S 



Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka 
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) 

Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi 
Saw. bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah — yaitu ketika 
orang-orang kafir Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci — 
beliau Saw. bersama para sahabatnya bercukur dan menyembelih he- 
wan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam keadaan aman 
dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur ram- 
butnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai 
di tempat penyembelihannya. Orang yang berhaji telah selesai dari se- 
mua pekerjaan haji dan umrahnya jika ia sebagai orang yang berji- 
ran, atau setelah ia mengerjakan salah satunya jika dia melakukan ha- 
ji ijrad atau tamattu\ Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sa- 
hihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan: 






Tafsir Ibnu Kasir 27 1 



"Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari um- 
rahnya, sedangkan engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah- 
mu?" Maka Nabi Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku telah me- 
minyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan kurbanku, 
maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan 
kurbanku." 

Firman Allah Swt.: 

Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepa- 
lanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfldyah, yaitu 
berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, 
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul 
Asbahani, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal berce- 
rita, "Aku pernah duduk di dekat Ka'b ibnu Ujrah di dalam masjid ini 
(yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah 
yang berupa melakukan puasa. Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bah- 
wa ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi Saw., sedangkan ke- 



272 Juz 2 — Al-Baqarah 












Afab/ Sah-', datang kepadaku ketika aku sedang menyalakan api 
untuk panci, dan ketombe bertebaran di wajahku, atau dia me- 
ngatakan, "Di alisku." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah pe- 
nyakit yang ada di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menja- 
wab, "Ya." Nabi Saw. bersabda, "Maka cukurlah rambutmu itu 
dan puasalah tiga hari (sebagai fidyahnya), atau berilah makan 
enam orang miskin, atau sembelihlah seekor hewan kurban." 

Ayyub (salah seorang perawi hadis ini) mengatakan bahwa ia tidak 
mengetahui manakah di antara semua fidyah itu yang disebutkan pa- 
ling dahulu. 

Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada ka- 
mi Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mu- 
jahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang 
menceritakan, "Ketika kami berada di Hudaibiyah bersama Rasulul- 
lah Saw., sedangkan kami semuanya dalam keadaan berihram, dan 
orang-orang musyrik telah mengepungnya. Tersebutlah bahwa ram- 
butku sangat lebat, maka ketombe bertebaran di wajahku (karena ba- 
nyaknya). Lalu Nabi Saw. lewat di dekatku. Beliau bersabda, 'Apa- 
kah penyakit di kepalamu itu menganggumu?' Maka Nabi Saw. me- 
merintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur." Selanjutnya Ka'b ibnu 
Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman- 
Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 273 

Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepa- 
lanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu 
berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari 
Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafaz yang sama. Diriwa- 
yatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu 
Abu Laila dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, 
dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal. 
Imam Malik meriwayatkannya dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, 
dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah, lalu Imam 
Malik menyebutkan hadis yang semisal. 

Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban 
ibnu Saleh, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b 
ibnu Ujrah mengatakan, "Maka aku menyembelih seekor kambing." 
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, telah diriwayatkan 
pula melalui hadis Umar ibnu Qais — dia orangnya daif— dari Ata, 
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah 
bersabda: 

Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama 
tiga hari, sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara 
enam orang (miskin). 

Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqa- 
mah, Ibrahim, Mujahid, Ata, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Yunus ibnu Abdul A 'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah 
ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas pernah menceritakan hadis kepa- 
danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari 
Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang mencerita- 
kan bahwa ia pernah bersama Rasulullah Saw., lalu terganggu oleh 
banyaknya ketombe di kepalanya. Maka Nabi Saw. memerintahkan 
agar ia mencukur rambutnya dan bersabda: 



274 Juz 2 — Al-Baqarah 

Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin 
dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kam- 
bing. Mana saja di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu 
sudah cukup sebagai fidyahmu. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari 
Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: 

Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersede- 
kah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'atafymg dipakai adalah au, 
maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah mencukupi fidyah- 
mu. 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ata, Ta- 
wus, Al-Hasan, Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dah- 
hak, lalu disebutkan hal yang semisal. 

Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayori- 
tas ulama merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. 
Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini orang yang bersangkutan 
diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa, atau menyedekah- 
kan satu farq makanan, yaitu tiga sa' untuk setiap orang miskin — se- 
tengah sa' yakni dua mud — atau menyembelih seekor kurban, lalu 
menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin. Mana saja yang ia 
pilih sudah cukup baginya, mengingat ungkapan Al-Qur'an dalam 
menjelaskan suatu keringanan, yang didahulukannya adalah yang 
paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: 

r t , \\»-*1~<>'/"{ K' %&"».< 



Tafsir Ibnu Kasir 275 



Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersede- 
kah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Akan tetapi, ketika Nabi Saw. memerintahkan hal tersebut kepada 
Ka'b ibnu Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling 
utama lebih dahulu, kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau 
Saw. bersabda: 

Sembelihlah seekor kambing, atau berilah makan enam orang 
miskin, atau berpuasalah tiga hari. 

Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi 
orang yang bersangkutan. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, 
bahwa Al-A'masy pernah menceritakan bahwa Ibrahim pernah berta- 
nya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang ayat berikut, yaitu firman-Nya: 



c w ,sp:. «iJL-iji f^> y $&*&&$ 



Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau berse- 
dekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Maka Sa'id ibnu Jubair menjawab dengan suatu jawaban yang men- 
jadikan makanan sebagai tolok ukurnya. Jika dia mempunyai kemam- 
puan untuk membeli seekor kambing, hendaklah ia membeli seekor 
kambing. Jika kambing tidak ada, maka harga kambing ditaksir, lalu 
jumlahnya diberikan berupa makanan untuk disedekahkan kepada fa- 
kir miskin. Jika ia tidak mempunyai uang, hendaklah ia berpuasa, un- 
tuk setengah sa' ganti dengan puasa satu hari (hingga jumlah hari- 
hari yang dipuasainya berjumlah enam hari). 

Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah ku- 
dengar pula dari Alqamah. Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ib- 
nu Jubair berkata kepadaku, 'Siapakah orang ini? Alangkah ganteng- 



276 Juz 2 — Al-Baqarah 

nya!' Maka kujawab, 'Dia adalah Ibrahim.' Sa'id ibnu Jubair menga- 
takan, 'Alangkah gantengnya dia duduk bersama kita.' Lalu aku ceri- 
takan kepada Ibrahim hal itu. Ketika kuceritakan kepadanya apa yang 
dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka Ibrahim pergi dari majelis 
itu." 

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Ibnu Abu Imran, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu 
Mu'az, dari ayahnya, dari Asy'as, dari Al-Hasan sehubungan dengan 
makna firman-Nya: 

Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau berse- 
dekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Ia mengatakan, "Apabila orang yang sedang ihram mengalami gang- 
guan di kepalanya, ia boleh bercukur dan membayar fidyah dengan 
salah satu di antara ketiga perkara ini menurut apa yang disukainya. 
Kalau puasa sebanyak sepuluh hari, kalau sedekah memberi makan 
sepuluh orang miskin dengan ketentuan tiap orang miskin sebanyak 
dua Makkuk ) yaitu satu Makkuk berupa kurma, sedangkan satu Mak- 
kuk lainnya berupa jewawut. Sedangkan yang dimaksud dengan nusuk 
ialah menyembelih kurban, berupa seekor kambing. 

Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan 
dengan firman-Nya: 



C 



m > 






Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersede- 
kah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) 

Yang dimaksud dengan sedekah ialah memberi makan sepuluh orang 
miskin. 

Kedua pendapat ini — yaitu yang bersumber dari Sa'id ibnu Ju- 
bair dan Alqamah serta Al-Hasan dan Ikrimah — merupakan dua pen- 



*) 1 Makkuk - 3,264 kg. 



Tafsir Ibnu Kasir 277 

dapat yang aneh, keduanya masih perlu dipertimbangkan. Karena te- 
lah disebutkan oleh sunnah melalui hadis Ka'b ibnu Ujrah bahwa 
puasa itu adalah tiga hari, bukan enam hari; dan memberi makan ada- 
lah kepada enam orang miskin, nusuk artinya menyembelih seekor 
kambing. Hal tersebut atas dasar takhyir (boleh memilih salah satu di 
antaranya), seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur'an. 
Adapun mengenai tartib (urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam ma- 
salah membunuh binatang buruan, seperti yang disebutkan di dalam 
nas Al-Qur'an dan telah disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya 
dengan masalah ini. 

Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari 
Tawus, bahwa ia selalu mengatakan sehubungan dengan masalah dam 
atau memberi makan; hal itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang 
menyangkut puasa boleh dilakukan di mana saja menurut apa yang 
disukai oleh orang yang bersangkutan. Hal yang sama dikatakan pula 
oleh Mujahid, Ata, dan Al-Hasan. 

Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan 
Abdul Malik serta selain keduanya, dari Ata. Ia acapkali mengatakan 
bahwa masalah apa saja yang menyangkut dam dilaksanakan di Me- 
kah, sedangkan apa saja yang menyangkut memberi makan atau pua- 
sa dilaksanakan menurut kehendak orang yang bersangkutan. 

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ib- 
nu Sa'id, dari Ya'qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami 
Abu Asma maula Ibnu Ja'far yang menceritakan bahwa Usman ibnu 
Affan pernah berhaji ditemani oleh Ali dan Al-Husain ibnu Ali. Us- 
man berangkat lebih dulu. Abu Asma' melanjutkan kisahnya, bahwa 
ia bersama Ibnu Ja'far, "Tiba-tiba kami bersua dengan seorang lelaki 
yang sedang tidur, sedangkan unta kendaraannya berada di dekat ke- 
palanya, lalu aku (Abu Asma) berkata, 'Hai orang yang sedang tidur.' 
Lelaki itu bangun, dan ternyata dia adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu 
Ibnu Ja'far membawanya sampai datang ke tempat air. Kemudian di- 
kirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang saat itu sedang ber- 
sama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain ibnu Ali se- 
lama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada Al- 
Husain, 'Apakah sakit yang kamu rasakan?' Al-Husain mengisyarat- 
kan dengan tangannya ke kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar 



278 Juz 2 — Al-Baqarah 

rambut Al-Husain dicukur, kemudian Ali meminta didatangkan se- 
ekor unta, lalu ia menyembelihnya." 

Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali me- 
nyembelihnya di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari 
tahallul, maka masalahnya sudah jelas. 

Firman Allah Swt.: 

Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin 
mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah 
ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) 

Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, 
tanpa hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin 
melakukan tamattu' dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum iba- 
dah haji tiba waktunya. 

Pengertian tamattu' di sini mencakup orang yang berihram untuk 
keduanya atau berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai da- 
ri umrah baru berihram lagi untuk haji. Demikianlah pengertian 
tamattu' secara khusus yang telah terkenal di kalangan para ahli fiqih. 
Sedangkan pengertian tamattu 1 secara umum mencakup keduanya, se- 
perti yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya 
di antara perawi ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. ber- 
tamattu', sedangkan yang lainnya mengatakan ber-qiran, tetapi di an- 
tara keduanya tidak ada perbedaan dalam masalah bahwa Nabi Saw. 
membawa hewan hadyunya. 

Firman Allah Swt.: 

Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di 
dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mu- 
dah didapat. (Al-Baqarah: 196) 

Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah di- 
dapat baginya, minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan bagi- 



Tafsir Ibnu Kasir 279 

nya menyembelih seekor sapi, karena Rasulullah Saw. sendiri me- 
nyembelih sapi untuk dam istri-istrinya. 

Al-Auza'i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu 
Salamah, dari sahabat Abu Hurairah r.a.: 

Bahwa Rasulullah Saw. menyembelih seekor sapi untuk (dam) 
istri-istrinya, karena mereka semuanya melakukan tamattu'. 

Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih. Di dalam hadis ini ter- 
kandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu' itu disyariatkan, se- 
perti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Imran ibnu 
Husain yang mengatakan, "Ayat tamattu' telah diturunkan di dalam 
Kitabullah dan kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah Saw. 
Kemudian tidak ada wahyu lagi yang turun mengharamkannya serta 
Nabi Saw. tidak melarangnya pula hingga beliau wafat." 

Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehen- 
daknya sendiri. Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah 
sahabat Umar. Apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari ini telah dise- 
butkan dengan jelas, bahwa Umar pernah melarang orang-orang me- 
lakukan tamattu 1 . Ia mengatakan bahwa kita harus memegang 
Kitabullah, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita 
untuk melakukannya dengan sempurna. Yang dimaksud adalah fir- 
man-Nya: 




Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al- 
Baqarah: 196) 

Tetapi pada kenyataannya Umar r.a. tidak melarang orang yang berih- 
ram dengan tamattu'. Sesungguhnya dia melarangnya hanya untuk 
tujuan agar orang-orang yang ziarah ke Baitullah bertambah banyak, 



280 Juz 2 — Al-Baqarah 

ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah, seperti yang telah 
dijelaskannya sendiri. 
Firman Allah Swt.: 



Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak 
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tu- 
juh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah se- 
puluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) 

Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang tidak dapat menemukan bi- 
natang kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yak- 
ni di hari-hari manasik." 

Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa di- 
lakukan sebelum hari Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikian- 
lah menurut Ata. Atau sejak dia melakukan ihram (untuk hajinya), 
menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, karena berdasarkan sabda Nabi 
Saw. dalam ibadah hajinya. Di antara mereka ada yang memperboleh- 
kan melakukan puasa sejak dari permulaan bulan Syawwal. Demi- 
kianlah menurut Tawus, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya 
seorang. 

Asy-Sya'bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua 
hari sebelumnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id 
ibnu Jubair, As-Saddi, Ata, Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, 
Ibrahim, Abu Ja'far Al-Baqir, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang tidak 
dapat menemukan hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari 
haji sebelum hari Arafah. Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga da- 
ri Arafah, maka puasanya harus sudah selesai. Ia juga harus puasa tu- 
juh hari setelah pulang ke tanah airnya." 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, 
dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan 



Tafsir Ibnu Kasir 28 1 



hendaknya memulai puasanya sehari sebelum hari Tarwih, kemudian 
hari Tarwih, dan yang terakhir pada hari Arafahnya. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ja'far ibnu Muhammad, 
dari ayahnya, dari Ali. 

Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya 
pada hari-hari haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari 
Raya Aci-ha, bolehkah ia melakukan puasanya itu pada hari-hari 
Tasyriq? 

Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan 
para ulama, kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Me- 
nurut qaul qadim-nyn, orang yang bersangkutan boleh melakukan 
puasanya pada hari-hari Tasyriq. Karena berdasarkan kepada ucapan 
Siti Aisyah dan Ibnu Umar yang terdapat di dalam kitab Sahih Bu- 
khari, yaitu bahwa Nabi Saw. tidak memperbolehkan melakukan 
puasa di hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak menemukan 
hadyu (hewan kurban). 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari 
Urwah, dari Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah 
diriwayatkan dari keduanya (Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui ba- 
nyak jalur. 

Sufyan meriwayatkannya dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayah- 
nya, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Barang siapa yang kelewat wak- 
tunya hingga tidak melakukan puasa tiga hari pada hari-hari haji, ma- 
ka ia harus melakukannya pada hari-hari Tasyriq." 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, 
dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri serta Urwah ibnuz Zubair. 

Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman 
makna yang terkandung di dalam firman-Nya: 



L^'V^O /£\<$^k\0$jL>*3 



maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji. (Al-Baqarah: 
196) 

Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada 
hari-hari Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan 



282 Juz 2 — Al-Baqarah 



oleh Imam Muslim melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang mencerita- 
kan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan 
berzikir kepada Allah Swt. 



Firman Allah Swt.: 



A 

*9 ■>// t'. «•- 



dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al- 
Baqarah: 196) 

Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Salah satunya 
mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian 
kembali ke perjalanan pulang kalian. Karena itulah Mujahid mengata- 
kan bahwa puasa tujuh hari ini merupakan rukhsah. Untuk itu apabila 
orang yang bersangkutan ingin melakukannya dalam perjalanan pu- 
langnya, ia boleh melakukannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh 
Ata ibnu Abu Rabah. 

Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum 
ialah apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah 
berada di negeri tempat tinggal kalian sendiri. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As- 
Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Salim, bahwa ia pernah mendengar 
ibnu Umar berkata sehubungan dengan makna firman-Nya: 

Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak 
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tu- 
juh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 
196) 



Tafsir Ibnu Kasir 283 

Makna yang dimaksud ialah bila orang yang bersangkutan telah kem- 
bali ke tempat keluarganya (tanah airnya). 

Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, 
Abui Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, 
dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa 
pendapat ini merupakan pendapat yang telah disepakati. 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari 
Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar 
pernah menceritakan: 



*■ *>' 



Rasulullah Saw. melakukan tamattu' dalam haji wada'-nya de- 
ngan melakukan umrah sebelum ibadah haji, lalu beliau me- 
nyembelih hewan kurbannya. Untuk itu beliau membawa hewan 



284 Juz 2 — Al-Baqarah 



hadyu (kurban) dari Zul Hulaifah, kemudian beliau berihram un- 
tuk ibadah umrahnya. Sesudah itu baru beliau berihram untuk 
ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut ber-tamattu' bersa- 
ma-sama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. memulai pekerjaan- 
nya dengan ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan 
orang-orang ada yang berkurban, ia membawa hewan kurban- 
nya; dan di antara mereka ada yang tidak berkurban. Ketika Na- 
bi Saw. tiba di Mekah, maka beliau bersabda kepada orang- 
orang, "Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan kur- 
ban, maka tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang di- 
haramkan atas dirinya sebelum menyelesaikan hajinya. Barang 
siapa di antara kalian tidak membawa hadyunya (hewan kurban- 
nya), hendaklah ia melakukan t/iwafdi Baitullah, dan sa'i di an- 
tara Safa dan Marwah serta memotong rambut dan ber-tahallul. 
Setelah itu hendaklah ia berihram lagi untuk ibadah hajinya. Ba- 
rang siapa yang tidak menemukan hewan kurban, hendaklah ia 
berpuasa selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi 
apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga akhir 
hadis. 

Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti 
Aisyah r.a. hal yang semisal dengan apa yang telah diceritakan kepa- 
daku oleh Salim, dari ayahnya. Hadis ini diketengahkan di dalam 
kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. 
Firman Allah Swt.: 



11 1 sjlJ\ 






Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) 

Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang 
menguatkan makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan ka- 
ta-kata orang Arab, "Aku melihat dengan kedua mataku sendiri, dan 
aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri, aku tulis dengan ta- 
nganku ini." Dan sama dengan makna yang terkandung di dalam fir- 
man-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 285 



ir^n .i?Q&:£Mj 



dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. 
(Al-An'am: 38) 



C i* a 



:^£La$\] . cA1>.».4»^j A J^^ pjJMI 



dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan 
kananmu. (Al-'Ankabut: 48) 

Adapun firman Allah Swt.: 

Dan fe/an Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) se- 
sudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan 
jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurna- 
kanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh (ma- 
lam lagi). (Al-A'raf: 142) 

Menurut pendapat yang lain, makna 'Kamilah' yang terkandung di 
dalam ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sem- 
purna. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. 

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup 
sebagai ganti menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari 
Abbad ibnu Rasyid, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan mak- 
na firman-Nya: 

Itulah sepuluh hari yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) 
Yakni sudah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban. 



286 Juz 2 — Al-Baqarah 



Firman Allah Swt.: 

Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang 
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bu- 
kan penduduk Mekah). (Al-Baqarah: 196) 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahli takwil berbeda pendapat sehubung- 
an dengan orang yang dimaksud di dalam firman-Nya: 

bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) 
Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah). (Al-Baqarah: 196) 

Padahal mereka telah sepakat bahwa yang dimaksud ialah penduduk 
kota Mekah. Tidak ada tamaltu' bagi mereka. Sebagian dari mereka 
berpendapat bahwa yang dimaksud ialah hanya khusus bagi penduduk 
kota Mekah, bukan selainnya. 

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah mencerita- 
kan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami 
Sufyan (yakni As-Sauri) yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas per- 
nah mengatakan, "Yang dimaksud dengan mereka (dalam ayat ini) 
adalah penduduk kota Mekah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh 
Ibnul Mubarak, dari As-Sauri. 

Jama'ah menambahkan dalam riwayatnya, dan Qatadah mengata- 
kan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Hai penduduk Mekah, 
tiada tamattu 1 bagi kalian. Tamattu' hanya dihalalkan bagi penduduk 
negeri-negeri lain dan diharamkan atas kalian. Sesungguhnya sese- 
orang dari kalian hanya tinggal menempuh sebuah lembah, atau dia 
menjadikan antara dirinya dan Tanah Suci sebuah lembah, kemudian 
ia berihram untuk umrahnya." 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa 
tamattu' hanya diperbolehkan bagi orang-orang lain, bukan untuk 



Tafsir Ibnu Kasir 287 

penduduk Mekah, yaitu bagi orang yang keluarganya tidak berada di 
sekitar Tanah Suci. Demikianlah menurut apa yang disebutkan di da- 
lam firman-Nya: 



&i^$£$$3&M 



Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang 
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al- 
Baqarah: 196) 

Abdur Razzaq mengatakan, telah sampai kepadanya dari Ibnu Abbas 
pendapat yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tawus. 

Ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Ta- 
nah Suci dan daerah sekitarnya yang masih berada di antara Mekah 
dan migat. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, telah menceri- 
takan kepada kami Ma'mar, dari Ata yang mengatakan, "Barang sia- 
pa yang keluarganya berada sebelum miqat (dari Mekah), maka kedu- 
dukannya sama dengan penduduk Mekah, yakni tidak boleh melaku- 
kan tamattu\" 

Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Abdur Rahman 
ibnu Yazid, dari Jabir, dari Mak-hul sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 



o\<u 



.wa^^lSsCJ^&aj 



Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang 
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al- 
Baqarah: 196) 

Makna yang dimaksud ialah orang yang tempat tinggalnya masih ber- 
ada di dalam lingkungan miqat. 

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 



288 Juz 2 — Al-Baqarah 



Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang 
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al- 
Baqarah: 196) 

Yang dimaksud ialah Arafah, Muzdalifah, Urnah, dan Ar-Raji'. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, bahwa ia pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, "Barang 
siapa yang keluarganya berada dalam jarak perjalanan kurang lebih 
satu hari dari Mekah, maka ia boleh ber-tamattu' ." Menurut riwayat 
yang lain darinya mengatakan perjalanan dua hari dari Mekah. 

Ibnu Jarir sehubungan dengan masalah ini memilih mazhab Imam 
Syafii yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Mekah 
dan orang-orang yang tinggal dalam jarak tidak diperbolehkan me- 
lakukan qasar dari Kota Suci, karena sesungguhnya orang yang tem- 
pat tinggalnya sejauh itu masih termasuk ke dalam pengertian hadir, 
bukan musafir. 

Firman Allah Swt.: 



Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 196) 

Yaitu dalam mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian 
dan apa yang dilarang-Nya terhadap kalian. 



c^ ,5^0 . c-*ty i £ -CsibiSi Gkac-^- 



Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Al- 
Baqarah: 196) 

Yakni terhadap orang yang menentang perintah-Nya dan mengerjakan 
hal-hal yang dilarang ia melakukannya. 



Tafsir Ibnu Kasir 289 

Al-Baqarah, ayat 197 



(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang 
siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerja- 
kan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik, dan berbantah- 
bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian 
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbe- 
kallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan 
bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. 

Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: 

Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) 

Sebagian di antara mereka mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bah- 
wa ibadah haji yang sesungguhnya yaitu haji yang dilakukan dalam 
bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu. Berdasarkan pengertian ini, 
berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan ihram ibadah haji 
dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihram ha- 
ji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bu- 
lan haji hukumnya sah. 

Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di 
sepanjang tahun merupakan, mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, 
Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dika- 



290 Juz 2 — Al-Baqarah 



takan pula oleh Ibrahim An-Nakha'i, As-Sauri, dan Al-Lais ibnu 
Sa'd. Hal yang dijadikan hujah untuk memperkuat pendapat mereka 
adalah firman-Nya: 



^&&U&$$ S 




Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, 
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan 
(bagi ibadah) haji" (Al-Baqarah: 189) 

Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka 
hukumnya sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun se- 
panjang tahun. Perihalnya sama dengan ibadah umrah. 

Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali 
dalam bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ih- 
ram haji sebelum bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah. 

Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau ti- 
dak? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan 
bahwa tidak sah melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulan- 
nya diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Hal yang sama dikata- 
kan pula oleh Ata, Tawus, dan Mujahid. Sebagai dalilnya ialah firman 
Allah Swt. yang mengatakan: 



C 



IV 



4 2 wV^'VMI 



(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqa- 
rah: 197) 

Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diuta- 
rakan oleh ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim 
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi; Allah mengkhususkan 
haji dalam bulan-bulan tersebut di antara bulan-bulan lainnya, maka 
hal ini menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram sebelum tiba 
bulan-bulan haji. Perihalnya sama dengan waktu-waktu salat. 

Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus- 
lim ibnu Khalid, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar 



Tafsir Ibnu Kasir 291 

ibnu Ata, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ti- 
dak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali dalam musim 
haji, karena berdasarkan kepada firman-Nya: 

, ... ...,;<>... A'* 






Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al- 
Baqarah: 197) 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu 
Yahya ibnu Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, 
dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang sama. 

Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui 
dua jalur, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari 
Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Termasuk tuntunan Na- 
bi Saw. ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan 
haji (musim haji)." 

Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami 
Abu Khalid Al-Ahmar, dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, 
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak boleh ihram haji 
kecuali dalam bulan-bulan haji, karena sesungguhnya termasuk sun- 
nah haji ialah melakukan ihram haji dalam bulan-bulan haji. Sanad 
asar ini berpredikat sahih. Perkataan seorang sahabat yang menyata- 
kan bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi Saw.) dikategorikan se- 
bagai hadis marfu' menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika 
yang mengatakannya adalah Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai 'juru 
terjemah Al-Qur'an dan ahli menafsirkannya'. Memang ada sebuah 
hadis marfu' sehubungan dengan masalah ini. Ibnu Murdawaih me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceri- 
takan kepada kami Nafi', telah menceritakan kepada kami Al-Hasan 
ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah 
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir, dari 
Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 



292 Juz 2 — Al-Baqarah 

Tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali di da- 
lam bulan-bulan haji. 

Sanad hadis ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam 
Baihaqi meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari 
Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah berta- 
nya: 

"Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim hajil" Beliau 
menjawab, "'Tidak boleh." 

Hadis mauquf ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadis 
marfu' tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat 
berkat adanya ucapan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk 
sunnah ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan 
haji. 

Firman Allah Swt.: 



C 



W : 






beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) 

Imam Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimak- 
sud dengan bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh 
hari bulan Zul-Hijjah. Asar yang di-ta'liq (dikomentari) oleh Imam 
Bukhari dengan ungkapan yang pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu 
Jarir secara mausul. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu Zagrah, telah menceritakan kepada ka- 
mi Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Warqa, dari Abdul- 
lah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman- 
Nya: 

*l s* f \ m 'JtY\ f *'Y\ 

Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqa- 
rah: 197) 



Tafsir Ibnu Kasir 293 



Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepu- 
luh hari dari bulan Zul-Hijjah. Sanad asar ini berpredikat sahih. Dan 
sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab 
Mustadrak, dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari 
Abdullah ibnu Numair, dari Ubaidillah ibnu Nafi', dari Ibnu Umar, 
lalu ia mengetengahkan asar ini dan mengatakan bahwa asar ini (di- 
katakan sahih) dengan syarat Syaikhain. 

Menurut kami, asar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu 
Mas'ud, Abdullah ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, Ata, Tawus, Mujahid, 
Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Mak-hul, Qa- 
tadah, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil 
ibnu Hayyan. Hal ini merupakan pegangan bagi mazhab Imam Syafii, 
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan 
Abu Saur. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir menga- 
takan bahwa dibenarkan menyebutkan jamak untuk pengertian dua 
bulan dan sepertiga dari satu bulan dengan pengertian taglib (priori- 
tas). Perihalnya sama dengan perkataan orang-orang Arab, "Aku me- 
lihatnya tahun ini," dan "Aku melihatnya hari ini," sedangkan makna 
yang dimaksud ialah sebagian dari satu tahun dan sehari. Juga seperti 
pengertian dalam firman-Nya: 

Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah 
dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203) 

Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada 
satu setengah hari (bukan setelah dua hari). 

Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya 
mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul- 
Qa'dah, dan Zul-Hijjah secara lengkap. Pendapat ini berdasarkan se- 
buah riwayat dari Ibnu Umar. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad 
ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah men- 
ceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Muja- 
hid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu 
adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah. 



294 Juz 2 — Al-Baqarah 

Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, tel? 1 . men- 
ceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan 
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij 
yang pernah mengatakan bahwa ia bertanya kepada Nafi', "Apakah 
engkau pernah mendengar Ibnu Umar menyebutkan tentang bulan-bu- 
lan haji itu?" Nafi' menjawab, "Ya, Abdullah ibnu Umar menyebut- 
nya bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah." 

Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh 
Ibnu Syihab, Ata, dan Jabir ibnu Abdullah r.a. Sanad a§ar ini ber- 
predikat sahih sampai kepada Ibnu Juraij. Hal yang sama telah diri- 
wayatkan pula dari Tawus, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, Ar-Rabi' 
ibnu Anas, dan Qatadah. 

Sehubungan dengan masalah ini ada hadis marfu', hanya sayang- 
nya berpredikat maudu\ diriwayatkan oleh Al-Hafiz ibnu Murdawaih 
melalui jalur Husain ibnu Mukhariq — sedangkan dia orangnya dicu- 
rigai suka membuat hadis maudu' — , dari Yunus ibnu Ubaid, dari 
Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan 
Syawwal, bulan Zul-Qa'dah, dan bulan iul-Hijjah. 

Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu' hadis ini 
tidak sah. 

Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa mu- 
sim haji itu berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung 
pengertian bahwa bulan tersebut khusus buat ibadah haji, maka mak- 
ruh melakukan ihram umrah pada sisa bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan 
berarti bahwa sah melakukan ihram haji sesudah malam kurban. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, 
dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang 
mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan, "Musim haji adalah 
beberapa bulan yang dimaklumi, tanpa ada umrah padanya." Sanad 



\ 



Tafsir Ibnu Kasir 295 



asar ini sahih. Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang ber- 
pendapat bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul- 
Qa'dah, dan Zul-Hijjah hanyalah bermaksud bahwa bulan-bulan ter- 
sebut bukanlah bulan-bulan untuk melakukan umrah. Sesungguhnya 
bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun pada ke- 
nyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan se- 
lesainya hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu 
Sirin, "Tiada seorang pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa 
ibadah umrah di luar bulan-bulan haji lebih utama daripada melaku- 
kan ibadah umrah dalam bulan-bulan haji." 

Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qa- 
sim ibnu Muhammad tentang, ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. 
Lalu Al-Qasim menjawab, "Mereka menganggapnya kurang sempur- 
na." 

Menurut kami, ada sebuah asar dari Umar dan Usman yang me- 
ngatakan bahwa keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bu- 
lan-bulan haji, dan keduanya melarang hal tersebut dalam bulan-bulan 
haji. 

Firman Allah Swt.: 






U» I 1 W f 



Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan 
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya. Di 
dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram 
haji dan melangsungkannya. 

Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang di- 
maksud dengan al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan 
dengan firman-Nya: 



''i'i' . '" "'. 



y " "'. 



296 Juz 2 — Al-Baqarah 

Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan 
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Yakni orang yang telah berihram untuk haji atau umrah. Menurut 
Ata, yang dimaksud dengan fard ialah ihram. Hal yang sama dikata- 
kan pula oleh Ibrahim dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu 
Ata, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan de- 
ngan makna firman-Nya: 



(^v tcJLJ\ ~) 






Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan 
mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Tidak layak bagi seseorang bila melakukan ihram untuk haji, kemudi- 
an ia tinggal di suatu tempat. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diri- 
wayatkan hal yang semisal dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnuz 
Zubair, Mujahid, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah, Ad-Dahhak, Qa- 
tadah, Sufyan As-Sauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimak- 
sud dengan fard ialah talbiyah. 

Firman Allah Swt.: 

maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197) 

Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau um- 
rah, hendaklah ia menjauhi rafas. Yang dimaksud dengan rafas ialah 
bersetubuh, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: 

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur de- 
ngan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) 



Tafsir Ibnu Kasir 297 

Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, se- 
perti berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga 
diharamkan membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, te- 
lah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepa- 
daku Yunus; Nafi' pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah 
ibnu Umar acapkali mengatakan bahwa rafas artinya menggauli istri 
dan membicarakan hal-hal yang berbau porno. 

Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu 
Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di 
atas. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad 
ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah, 
dari seorang lelaki, dari Abui Aliyah Ar-Rayyahi, dari Ibnu Abbas. 
Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mendendangkan syair untuk 
memberi semangat kepada unta kendaraannya, sedangkan dia dalam 
keadaan berihram, yaitu ucapan penyair: 

Sedangkan wanita-wanita itu berjalan bersama kami dengan 
langkah yang tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya kami 
dapat menyentuhnya. 

Abui Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Apakah 
engkau mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam ke- 
adaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya rafas yang 
dilarang ialah bila dituturkan di hadapan kaum wanita." Hal yang sa- 
ma diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ziyad ibnu Husain, dari 
Abui Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan asar ini. 

Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Abu Addi,-dari Auf, telah menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, 
telah menceritakan kepadaku Abu Husain ibnu Qais yang mencerita- 
kan bahwa ia pernah berangkat haji bersama Ibnu Abbas, dan pada 



298 Juz 2 — Al-Baqarah 

tahun itu dia menjadi teman Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (mema- 
suki miqat), Ibnu Abbas mendendangkan sebuah syair untuk mem- 
berikan semangat kepada unta kendaraannya, yaitu: 

Mereka (wanita-wanita itu) berjalan bersama kami dengan lang- 
kah-langkah yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai bu- 
rung, niscaya kami dapat memegangnya. 

Abu Husain ibnu Qais bertanya, "Apakah engkau berani mengucap- 
kan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ib- 
nu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila 
diucapkan di hadapan kaum wanita." 

Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayah- 
nya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman- 
Nya: 

maka tidak boleh rafas dan berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) 

Maka Ibnu Abbas menjawab, "Rafas artinya mengeluarkan kata-kata 
sindiran yang mengandung arti persetubuhan. Ungkapan ini dinama- 
kan 'irabah menurut istilah orang-orang Arab yang artinya 'kata-kata 
yang jorok'." 

Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetu- 
buhan dan yang lebih rendah daripada itu berupa perkataan yang jo- 
rok. Hal yang sama dikatakan pula oleh Amr ibnu Dinar. 

Ata mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ung- 
kapan 'irabah yang artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, 
hal ini hukumnya haram. 

Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepa- 
da istrinya, "Apabila kamu telah bcr-tahallul, niscaya aku akan meng- 
gaulimu." Hal yang sama dikatakan pula oleh Abui Aliyah. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ra- 
fas artinya menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayu- 



Tafsir Ibnu Kasir 299 



nya serta mengeluarkan kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang 
menjurus ke arah persetubuhan dan lain-lainnya yang semisal. 

Ibnu Abbas mengatakan pula — juga Ibnu Umar — bahwa rafas 
artinya menyetubuhi wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id 
ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim, Abui Aliyah, dari Ata, Mak- 
hul, Ata Al-Khurrasani, Ata ibnu Yasar, Atiyyah, Ibrahim An- 
Nakha'i, Ar-Rabi', Az-Zuhri, As-Saddi, Malik ibnu Anas, Muqatil ib- 
nu Hayyan, Abdul Karim ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dah- 
hak, dan lain-lainnya. 

Firman Allah Swt.: 

dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) 

Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu 
Abbas, bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuat- 
an maksiat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, 
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qata- 
dah, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata ibnu 
Yasar, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar 
yang pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah 
semua jenis perbuatan maksiat terhadap Allah, baik berupa berburu 
(di waktu ihram) ataupun perbuatan lainnya. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari 
Nafi', bahwa Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Yang dinamakan 
fusuq ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap 
Allah di Tanah Suci." Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang 
dimaksud dengan fusuq dalam ayat ini ialah mencaci maki. Demi- 
kianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, Mujahid, As- 
Saddi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan. Barangkali mereka yang 
mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada apa yang telah 
ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu: 



. JaS ^JCJfj <. 3_3^S xLiio)<-A^»-*jJ 



300 Juz 2 — Al-Baqarah 

Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memerangi- 
nya adalah kekufuran. 

Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim 
meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari 
Abu Wa-il, dari Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Mencaci orang muslim hukumnya fasik dan memeranginya hu- 
kumnya kufur. 

Telah diriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu 
Mas'ud, dari ayahnya, juga melalui hadis Abu Ishaq, dari Muhammad 
ibnu Sa'd, dari ayahnya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam me- 
ngatakan bahwa fusuq dalam ayat ini artinya melakukan sembelihan 
untuk berhala-berhala, seperti pengertian yang terdapat di dalam fir- 
man-Nya: 

atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al- 
An'am: 145) 

Ad-Dahhak mengatakan, al-fusug artinya saling memanggil dengan 
julukan-julukan yang buruk. 

Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq da- 
lam ayat ini ialah semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang 
benar, sebagaimana Allah melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam 
bulan-bulan haram, sekalipun dalam sepanjang masa perbuatan ini di- 
haramkan, hanya saja dalam bulan-bulan haram lebih keras lagi keha- 
ramannya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman: 

di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang 
lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri da- 
lam bulan yang empat itu. (At-Taubah: 36) 



Tafsir Ibnu Kasir 301 

Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah 
Swt. berfirman: 






dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan se- 
cara zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa 
yang pedih. (Al-Hajj: 25) 

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa istilah fusuq da- 
lam ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, se- 
perti membunuh binatang buruan, mencukur rambut kepala, memo- 
tong kuku, dan lain sebagainya yang sejenis, seperti yang disebutkan 
dari Ibnu Umar. Akan tetapi, semua apa yang telah kami sebutkan 
adalah harus lebih dijauhi. 

Disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hazm, 
dari sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak 
rafas dan tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari 
semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibu- 
nya. 

Firman Allah Swt.: 

dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerja- 
kan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat: 

Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan 
dalam musim haji, yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-ma- 



302 Juz 2 — Al-Baqarah 

nasiknya. Allah Swt. telah menjelaskannya dengan keterangan yang 
sempurna dan merincikannya dengan rincian yang gamblang. Sehu- 
bungan dengan hal ini Waki' telah meriwayatkan dari Al -Ala ibnu 
Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan se- 
hubungan dengan makna firman-Nya: 

dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerja- 
kan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan bulan-bulan haji, maka 
tidak boleh lagi ada bantah-bantahan di antara manusia dalam me- 
ngerjakannya. 

Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan 
makna firman-Nya: 

Cmvj 



. t<MO . pjji^; 



dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerja- 
kan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Tidak ada bulan yang ditangguhkan dan tidak ada bantahan-bantahan 
dalam masalah haji, semuanya sudah jelas. Kemudian Mujahid me- 
nyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap 
apa yang disebutkan di kalangan mereka dengan nama nasi' (me- 
nangguhkan bulan haji, lalu memindahkannya ke bulan yang lain). 
Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh Allah Swt. 

As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Mujahid 
sehubungan dengan makna firman-Nya: 



<,^ Si' 



Cw 



<.imo. ^4-Ju^Vi 



dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerja- 
kan haji. (Al-Baqarah: 197) 



Tafsir Ibnu Kasir 303 

Bahwa masalah haji telah diluruskan, maka tidak boleh ada bantah- 
bantahan lagi mengenainya. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi. Hisyam mengata- 
kan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu 
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: 



Gv !a (/ H_JO 



. w^ 



'■&& 



dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerja- 
kan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Yang dimaksud dengan jidal ialah berbantah-bantahan dalam masa 
mengerjakan ibadah haji. 

Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengata- 
kan sehubungan- dengan makna firman-Nya: 

dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerja- 
kan haji. (Al-Baqarah: 197) 

Makna yang dimaksud ialah melakukan bantah-bantahan dalam masa 
mengerjakan haji. Hanya Allah yang lebih mengetahui, bahwa pada 
mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf di Masy'aril Haram, 
yaitu di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab lainnya dan selain 
orang-orang Arab melakukan wuquf di Arafah. Mereka selalu berban- 
tah-bantahan. Golongan yang pertama mengatakan, "Kami lebih be- 
nar," sedangkan golongan yang lain mengatakan, "Kamilah yang le- 
bih benar." Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah 
yang lebih mengetahui. 

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu 
Aslam bahwa mereka mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se- 
cara berbeda-beda yang masih mereka perdebatkan, masing-masing 
pihak mengakui bahwa mauqif-ny& adalah berdasarkan mauqifNabi 
Ibrahim a.s. Maka Allah memutuskannya, yaitu ketika Dia memberi- 
tahukan kepada Nabi-Nya tentang manasik yang sesungguhnya. 



304 Juz 2 — Al-Baqarah 

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu 
Ka'b yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila 
berkumpul di Mina, maka sebagian dari mereka mengatakan kepada 
sebagian yang lainnya, "Haji kami lebih sempurna daripada haji ka- 
lian," begitu pula sebaliknya. 

Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari 
Al-Qasim ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-ban- 
tahan dalam ibadah haji ialah bila sebagian dari mereka yang terlibat 
mengatakan, "Haji adalah esok hari." Sedangkan sebagian yang lain 
mengatakan, "Haji adalah hari ini." 

Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua 
pendapat yang telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah- 
bantahan dalam manasik haji. 

Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah 
jidal dalam ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah mence- 
ritakan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abui Ah- 
was, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman- 
Nya: 

dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan 
haji. (Al-Baqarah: 197) 

Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah 
saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya. 

Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Ta- 
mimi, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas ten- 
tang makna al-jidal, maka Ibnu Abbas menjawab, "Artinya berban- 
tah-bantahan, yaitu bila kamu melakukan bantahan terhadap temanmu 
hingga kamu buat dia marah karenanya." Hal yang sama diriwayatkan 
pula oleh Miqsan dan Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama 
dikatakan pula oleh Abui Aliyah, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ik- 
rimah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Mak-hul, As-Saddi, Mu- 
qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu Dinar, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, 



Tafsir Ibnu Kasir 305 

Ibrahim An-Nakha'i, Ata ibnu Yasar, Al-Hasan, Qatadah, dan Az- 
Zuhri. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan 
dengan makna firman-Nya: 

dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan 
haji. (AJ-Baqarah: 197) 

Artinya, berbantah-bantahan dan perdebatan hingga engkau membuat 
marah saudara dan temanmu, kemudian Allah Swt. melarang hal ter- 
sebut. 

Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 



c-vMo. £*4-^' 



dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan 
haji. (Al-Baqarah: 197) 

Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan. 

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar 
yang mengatakan bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci 
maki dan bertengkar. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, 
dari Nafi', Umar pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan da- 
lam masa mengerjakan haji artinya melakukan caci maki, perdebatan, 
dan pertengkaran. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz 
Zubair, Al-Hasan, Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa 
mereka mengatakan, "Al-jidal artinya berbantah-bantahan." 

Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, 
dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: 

'i' 



Ov,^,;,. ^tJ^-JU^Vi 



306 Juz 2 — Al-Baqarah 

dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan 
haji. (AI-Baqarah: 197) 

Al-jidal artinya marah, yaitu bila kamu membuat marah seorang mus- 
lim, kecuali jika kamu menegur budak, lalu kamu membuatnya marah 
tanpa memukulnya, maka tidak menjadi masalah bagimu, insya Allah. 

Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini 
masih tetap diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah di- 
riwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ab- 
dullah ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu 
Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayah- 
nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan hadis berikut: 

Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk menunaikan iba- 
dah haji. Ketika kami berada di Araj, Rasulullah Saw. turun istirahat. 
Maka Siti Aisyah r.a. duduk di sebelah Rasulullah Saw., sedangkan 
aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku). Ketika itu pelayan perem- 
puan Abu Bakar dan Rasulullah Saw. hanya satu orang disertai de- 
ngan budak laki-laki milik Abu Bakar. 

Abu Bakar duduk menunggu budaknya muncul. Si budak muncul 
tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya, "Ke mana untamu?" 
Si budak menjawab, "Tadi malam aku kehilangan dia." Abu Bakar 
berkata, "Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat menjaganya, 
hingga ia kabur?" Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu, sedangkan 
Rasulullah Saw. tersenyum seraya berkata: 



.is^^S&^£i3i 



Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang 
ihram inil 

Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud 
dan Ibnu Majah melalui hadis Ibnu Ishaq. 

Berangkat dari pengertian hadis ini, ada sebagian ulama Salaf 
yang menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah 
memukul unta (kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi Saw. terha- 
dap Abu Bakar ini, yaitu: 



Tafsir Ibnu Kasir 307 



.£^l^i&Ji£& 



Lihailah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang 
ihram ini. 

dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya me- 
nyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama. 
Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengata- 
kan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Mu- 
sa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), 
dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. 
pernah bersabda: 

Barang siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang 
muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah 
memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terda- 
hulu. 



Firman Allah Swt.: 



C ^ v t ?/lJ' 






Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah 
mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197) 

Setelah Allah Swt. melarang mereka melakukan perbuatan yang bu- 
ruk, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjur- 
kan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, dan Allah Swt. 
memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahuinya; 
kelak Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan balasan 
yang berlimpah di hari kiamat nanti. 
Firman Allah Swt.: 



308 Juz 2 — Al-Baqarah 



O v 






Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. 
(Al-Baqarah: 197) 

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang be- 
rangkat meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mere- 
ka mengatakan, "Kami akan melakukan ibadah haji, mengapa Allah 
tidak memberi kami makan?" (yakni niscaya Allah memberi kami 
makan). Maka turunlah ayat ini yang maknanya, "Berbekallah kalian 
untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain." 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan 
kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa 
orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa membawa bekal. 
Maka Allah menurunkan firman-Nya: 



Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. 
(Al-Baqarah: 197) 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al- 
Fallas), dari Ibnu Uyaynah. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadis ini diriwayat- 
kan pula oleh Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu 
Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan 
oleh Warqa, dari Ibnu Uyaynah lebih sahih. 

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari 
Sa'id ibnu Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, 
dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada 
orang-orang yang menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu 
Allah menurunkan firman-Nya: 



O v 



. W o ■ *j&\$'&23$$&&i 



Tafsir Ibnu Kasir 309 

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. 
(Al-Baqarah: 197) 

Adapun, hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya 
ibnu Bisyr, dari Syababah. Diketengahkan oleh Abu Daud, dari Abu 
Mas'ud (yaitu Ahmad ibnul Furat Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Ab- 
dullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari Warqa, dari Amr ibnu Di- 
nar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang- 
orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa membawa bekal, dan 
mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal." 
Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. 
(Al-Baqarah: 197) 

Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya 
dari Syababah. 

Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui 
hadis Syababah dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Mur- 
dawaih meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Abdul Gaffar, dari 
Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa tersebutlah apabila 
mereka telah memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka bawa 
masih ada pada mereka, maka mereka membuangnya, lalu mereka 
mengadakan perbekalan lain yang baru. Maka Allah Swt. menurun- 
kan firman-Nya: 

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. 
(Al-Baqarah: 197) 

Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan 
agar membawa perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti ke- 
ring (yakni makanan yang tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula 
oleh Ibnuz Zubair, Abui Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya'bi, Aji- 



310 Juz 2 — Al-Baqarah 

Nakha'i, Salim ibnu Abdullah, Ata Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi' 
ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Berbekallah kalian dengan per- 
bekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering." 

Waki' ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah 
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari 
Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: 

Dan berbekallah*. (Al-Baqarah: 197) 

Yang dimaksud ialah bekal berupa tepung dan sagon. 

Waki' meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami 
Ibrahim Al-Makki, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu 
Amr yang mengatakan bahwa sesungguhnya termasuk kedermawanan 
seorang laki-laki ialah membawa bekal yang baik dalam perjalanan- 
nya. 

Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari 
Abu Raihanah, bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada 
orang yang mau bepergian dengannya agar membawa bekal yang 
baik. 

Firman Allah Swt.: 



C IV : 



*M> -&J& ] $Q^$ 



dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 
197) 

Setelah Allah Swt. memerintahkan mereka agar membawa bekal da- 
lam bepergian di dunia, maka Allah Swt. memberikan pctunjuk-Nya 
kepada mereka bekal lainnya untuk kebahagiaan di negeri akhirat, 
yaitu takwa kepada Allah. Perihalnya sama dengan makna yang ter- 
kandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: 



Cvt i *_i^» D 



. >£$>^&Mp 



Tafsir Ibnu Kasir 311 

dan pakaian indah unluk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah 
yang paling baik. (Al-A'raf: 26) 

Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (kon- 
kret), lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada 
jenis pakaian lainnya, yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khu- 
syuk, taat, dan takwa. Allah menyebutkan pula bahwa pakaian yang 
terakhir ini lebih baik dan lebih bermanfaat daripada jenis yang per- 
tama tadi. 

Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 



WO • 1S^0J^O% 



C w : s; 

dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 
197) 

Yang dimaksud dengan takwa ialah bekal untuk akhirat. 

Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 
Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu 
Mu'awiyah, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi 
Saw. yang bersabda: 

Barang siapa yang membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan 
bermanfaat di akhirat. 

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: 

Dan berbekallah. (Al-Baqarah: 197) 

Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan kaum fakir miskin kaum 
muslim, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan 
apa yang bisa dipergunakan buat bekal kami." Maka Rasulullah Saw. 
bersabda: 



312 Juz 2 — Al-Baqarah 



''S 



C f G»- 0)&> o 'i) ^ • ^jftSi' 



Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada 
orang lain, dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian 
ialah takwa. (Riwayat Ibnu Abu Hatim) 

Firman Allah Swt.: 

da/2 bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al- 
Baqarah: 197) 

Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab- 
Ku bagi orang yang mencntang-Ku dan tidak mau mengerjakan perin- 
tah-Ku, hai orang-orang yang berakal dan berpemahaman! 

Al-Baqarah, ayat 198 

T/JaA: aAz dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. Maka apabila kalian telah berto- 
lak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy 'aril Haram. 
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di- 
tunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum 
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. 



Tafsir Ibnu Kasir 313 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ibnu 
Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, Ukaz, Majinnah, 
dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan; mereka merasa ber- 
dosa bila melakukan perniagaan dalam musim "haji. Maka turunlah 
firman-Nya: 

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) 

Yaitu dalam musim haji. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq dan Sa'id 
ibnu Mansur serta lain-lainnya yang bukan hanya satu orang, dari 
Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafaz yang sama. 

Menurut sebagian di antara mereka, setelah Islam datang, mereka 
masih tetap merasa berdosa bila melakukan perniagaan (dalam musim 
haji), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal ter- 
sebut, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Di- 
nar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, tem- 
pat perniagaan orang-orang berada di Ukaz, Majinnah, dan Zul-Ma- 
jaz. Setelah Islam datang, mereka tidak menyukai hal tersebut. Maka 
turunlah ayat ini. 

Imam Abu Daud dan lain-lainnya meriwayatkan melalui hadis 
Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceri- 
takan bahwa mereka selalu menghindarkan dirinya dari melakukan 
perniagaan dalam musim haji, dan mereka mengatakan bahwa musim 
haji adalah hari-hari zikir. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) 



314 Juz 2 — Al-Baqarah 

Ibrvu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu 
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan 
kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah me- 
ngatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 




■K 




O' 

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) 

Yakni dalam musim haji. 

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehu- 
bungan dengan makna ayat ini: "Tidak ada dosa bagi kalian dalam 
melakukan transaksi jual beli, sebelum dan sesudah ihram." Hal yang 
sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. 

Waki' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu 
Amr Al-Hadrami, dari Ata, dari ibnu Abbas, bahwa ia membacakan 
firman-Nya: 

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) 

dalam musim haji. 

Abdurrahman mengatakan dari Ibnu Uyaynah, dari Abdullah ib- 
nu Abu Yazid, "Aku pernah mendengar Ibnu Zubair mengatakan se- 
hubungan dengan makna firman-Nya: 

'Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian' (Al-Baqarah: 198). 

dalam musim haji." 

Tafsir yang sama dikemukakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu 
Jubair, Ikrimah, Mansuf ibnul Mu'tamir, Qatadah, Ibrahim An- 



Tafsir Ibnu Kasir 315 

Nakha'i, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Ha- 
san ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Si- 
war, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Umaimah 
yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Ibnu Umar ketika 
Ibnu Umar ditanya mengenai perihal seorang lelaki yang menunaikan 
ibadah haji dengan membawa barang dagangannya. Lalu Ibnu Umar 
membacakan firman-Nya: 

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) 

Predikat asar ini mauejuf, tetapi sanadnya kuat dan baik. Sesungguh- 
nya asar ini telah diriwayatkan pula secara marfu'. Ahmad telah me- 
riwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asbat, telah mencerita- 
kan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Abu Umamah 
At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu 
Umar, "Sesungguhnya kami biasa melakukan transaksi kira (sewa- 
menyewa), maka apakah kami beroleh ibadah haji?" Ibnu Umar balik 
bertanya, "Bukankah kamu telah melakukan tawaf di Baitullah, da- 
tang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambutmu?" Lelaki 
itu menjawab, "Tentu saja." Ibnu Umar berkata bahwa pernah ada se- 
orang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya ten- 
tang masalah seperti apa yang kamu tanyakan kepadaku, maka beliau 
tidak menjawab hingga Malaikat Jibril turun membawa ayat ini, yaitu 
firman-Nya: 



Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil 
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) 

Maka Nabi Saw. memanggilnya dan bersabda kepadanya: 




316 Juz 2 — Al-Baqarah 

Kalian adalah jamaah haji. 

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ai- 
Sauri, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari seorang lelaki Bani Tamim 
yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ib- 
nu Umar, lalu berkata, "Hai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami 
adalah dari kaum yang berprofesi sewa-menyewa, dan mereka men- 
duga bahwa kami tidak akan mendapat haji (karena berbisnis)." Ibnu 
Umar menjawab, "Bukankah kalian telah berihram seperti mereka 
berihram, dan kalian bertawaf seperti mereka bertawaf, serta melem- 
par jumrah seperti yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya?" Lelaki 
itu menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demiki- 
an, kamu beroleh haji." Kemudian Ibnu Umar mengemukakan hadis 
berikut: 

Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu ia bertanya ke- 
padanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku ini, ma- 
ka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi ka- 
lian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan 
kalian." (Al-Baqarah: 198) 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab 
tafsirnya melalui Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Hal yang 
sarria telah diriwayatkan pula oleh Abu Huzaifah, dari As-Sauri seca- 
ra marfu', dan telah diriwayatkan pula melalui jalur lainnya secara 
marfu'. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul 
Awwam, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abu Umamah At-Taimi 



Tafsir Ibnu Kasir 317 

yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Se- 
sungguhnya kami adalah kaum yang suka berniaga kira ke arah ini 
— yakni ke Mekah — dan sesungguhnya ada segolongan orang yang 
menduga bahwa kami tidak akan memperoleh pahala haji. Bagai- 
manakah menurutmu, apakah kami memperoleh pahala haji?" Ibnu 
Umar bertanya, "Bukankah kalian berihram, bertawaf di Baitullah, 
dan menunaikan semua manasik?" Ia menjawab, "Memang benar." 
Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kalian adalah orang-orang yang 
telah berhaji." 

Selanjutnya Ibnu Umar mengatakan: 

Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepada- 
nya mengenai pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu, maka 
Nabi Saw. tidak mengetahui apa yang harus ia katakan kepada- 
nya — atau beliau tidak menjawab sepatah kata pun — hingga tu- 
runlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian 
untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan ka- 
lian" (Al-Baqarah: 198). Maka beliau memanggil lelaki itu dan 
membacakan ayat ini kepadanya, lalu bersabda, "Kalian adalah 
orang-orang yang telah berhaji." 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Mas'ud ibnu Sa'd dan Abdul 
Wahid ibnu Ziyad serta Syarik Al-Qadi, dari Al-Ala ibnul Musayyab 
dengan lafaz yang sama secara marfu'. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Taliq ibnu 
Muhammad Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu 
Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu 
Umar (yaitu Al-Faqimi), dari Abu Umamah At-Taimi yang menceri- 



318 Juz 2 — Al-Baqarah 

takan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya 
kami adalah orang-orang yang suka sewa-menyewakan. Apakah kami 
beroleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian tawaf di 
Baitullah, datang di Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut 
kalian?" Kami menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar menjawab 
dengan mengemukakan hadis berikut: 

Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepada- 
nya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku, maka beliau 
tidak mengetahui apa yang harus beliau katakan kepadanya, 
hingga turunlah Jibril a.s. membawa firman-Nya, "Tidak ada do- 
sa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) 
dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198), hingga akhir ayat. Dan 
Nabi Saw. bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang berhaji." 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu 
Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah mencerita- 
kan kepada kami Gundar, dari Abdur Rahman ibnul Muhajir, dari 
Abu Saleh maula Umar yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya 
kepada Khalifah Umar, "Wahai Amirul Mu-minin, mengapa kalian 
berdagang dalam musim haji?" Umar r. a. menjawab, "Karena tiada 
lain penghidupan mereka hanyalah dari hasil perniagaan dalam 
musim haji." 

Firman Allah Swt.: 



Tafsir Ibnu Kasir 3 1 9 

Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berpikirlah ke- 
pada Allah di Masy' aril Haram. (Al-Baqarah: 198) 

Sesungguhnya lafaz arafah di-tanwin-km, sekalipun ia sebagai alam 
yang mu-annas, karena pada asalnya berbentuk jamak seperti musli- 
mat dan mu-minat, kemudian dijadikan nama untuk suatu daerah ter- 
tentu, maka bentuk asalnya ini dipelihara hingga ia menerima tanwin. 
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. 

Arafah mempakan tempat wuquf dalam ibadah haji dan sebagai 
tiang dari semua pekerjaan haji. Karena itu, Imam Ahmad dan pe- 
milik kitab-kitab sunan meriwayatkan sebuah hadis yang sahih sanad- 
nya dari As-Sauri, dari Bukair, dari Ata, dari Abdur Rahman ibnu 
Ya'mur Ad-Daili yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ra- 
sulullah Saw. bersabda: 



Haji itu hanyalah di Arafah — sebanyak liga kali — . Barang sia- 
pa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, 
berarti dia telah menjumpai haji. Dan hari-hari Mina itu adalah 
tiga hari, karenanya barang siapa yang ingin cepat berangkat 
(dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan ba- 
rang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari 
dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya. 

Waktu wuquf itu dimulai dari tergelincirnya matahari (dari pertengah- 
an langit) di hari Arafah sampai dengan munculnya fajar yang kedua 
dari hari Kurban, karena Nabi Saw. melakukan wuqufnya dalam haji 
wada' sesudah salat Lohor sampai dengan matahari terbenam, lalu be- 
liau bersabda: 



♦ f»5v>^\^^^\jJ^-OJ, 



320 Juz 2 — Al-Baqarah 

Ambillah (contoh) manasik-manasik kalian dariku. 
Dalam hadis ini Nabi Saw. bersabda pula: 

Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar me- 
nyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. 

Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan 
Imam Syafii. 

Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf dimulai dari per- 
mulaan hari Arafah. Ia dan para pengikutnya mengatakan demikian 
dengan berdalilkan sebuah hadis dari Asy-Sya'bi, dari Urwah ibnu 
Midras ibnu Harisah ibnu Lamut Ta-i yang menceritakan: 



3l& L fe&%^^ J vfefi\&&'\ 







Aku datang kepada Rasulullah Saw. di Muzdalifah ketika beliau 
berangkat untuk menunaikan salat. Maka aku bertanya, "Wahai 
Rasulullah, sesungguhnya aku datang dari Pegunungan Ta-i, un- 
ta kendaraanku telah lelah dan juga diriku. Demi Allah, tiada 
suatu bukit pun yang aku tinggalkan melainkan aku berwuquf pa- 
danya. Maka apakah aku memperoleh haji?" Rasulullah Saw. 



Tafsir Ibnu Kasir 321 

menjawab, "Barang siapa yang mengikuti salat kami ini dan wu- 
quf bersama kami hingga kami berangkai, sedang sebelum itu ia 
telah wuquf di Arafah di malam, atau siang hari, maka sesung- 
guhnya hajinya telah lengkap dan keperluannya telah dipenuhi- 
nya." 

Hadis riwayat Imam Ahmad dan As-Habus Sunan, dinilai sahih oleh 
Imam Turmuzi. 

Kemudian dikatakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf itu di- 
namakan Arafah karena ada sebuah riwayat yang diketengahkan oleh 
Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang men- 
ceritakan bahwa Ibnul Musayyab pernah menceritakan kisah yang 
pernah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talib seperti berikut: 

Allah Swt. mengutus Jibril a.s. kepada Nabi Ibrahim a. s., lalu 
menuntunnya menunaikan ibadah haji. Dan ketika sampai di Arafah, 
Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah kenal daerah ini," sebelum itu Nabi 
Ibrahim pernah mendatanginya sekali. Karena itulah maka tempat 
wuquf dinamakan Arafah. 

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abui Malik ibnu Abu Sulai- 
man, dari Ata yang menceritakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf 
dinamakan Arafah, karena ketika Malaikat Jibril memperlihatkan ke- 
pada Nabi Ibrahim a.s. tempat-tempat manasik, Nabi Ibrahim berkata, 
"Aku telah mengenal ini" (yang dalam bahasa Arabnya disebut 
'Araftu), kemudian dinamakanlah Arafah. 

Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas, Ibnu 
Umar, dan Abu Mijlaz. 

Arafah dinamakan pula dengan sebutan Al-Masy 'aril Haram, Al- 
Masy 'aril Aqsa, dan Hal, sama wazannya dengan Hilal. Bukit yang 
ada di tengah-tengahnya dinamakan Jabal Rahmah. Sehubungan de- 
ngan hal ini Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu syairnya 
yang terkenal, yaitu: 



»"1.? 



*' 



^^%^/^U^^fi 



Apabila mereka hendak melakukan wuquf, maka mereka berada 
di Al-Masy' aril Aqsa, yaitu dikenal pula dengan sebutan Hal se- 
bagai kata persamaannya. 



322 Juz 2 — Al-Baqarah 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ham- 
mad ibnul Hasan ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Abu 
Amir, dari Zam'ah (yaitu Ibnu Saleh), dari Salamah ibnu Wahram, 
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang 
Jahiliah melakukan wuqufnya di Arafah. Manakala matahari berada 
di atas bukit seakan-akan seperti kain sorban di atas kepala laki-laki, 
maka mereka berangkat. Karena itu, maka Rasulullah Saw. menang- 
guhkan keberangkatan dari Arafah hingga matahari tenggelam. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui 
Zam'ah ibnu Saleh, dan menambahkan, "Kemudian Rasulullah Saw. 
berhenti di Muzdalifah, lalu melakukan salat Subuh di pagi buta. Ma- 
nakala segala sesuatu tampak kuning dan berada di akhir waktu Su- 
buh, barulah beliau bertolak." Hadis ini lebih baik sanadnya. 

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Muhammad ibnu Qais, dari Al- 
Miswar ibnu Makhramah yang menceritakan hadis berikut: 






Tafsir Ibnu Kasir 323 



Ketika Rasulullah Saw. berada di Arafah, beliau berkhotbah ke- 
pada kami. Untuk itu beliau mengucapkan hamdalah, puja serta 
puji kepada Allah Swt., setelah itu baru beliau bersabda, "Amma 
Ba'du, dan memang kebiasaan beliau apabila berkhotbah selalu 
mengucapkan kalimat amma ba'du pada permulaannya. Sesung- 
guhnya hari ini adalah hari haji akbar. Ingatlah, sesungguhnya 
orang-orang musyrik dan para penyembah berhala berangkat 
pada hari ini sebelum matahari tenggelam. Yaitu bila matahari 
berada di atas bukit-bukit seakan-akan seperti kain sorban laki- 
laki yang bertengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak 
sesudah matahari tenggelam. Dahulu mereka bertolak dari 
Masy'aril Haram sesudah matahari terbit, yaitu bila matahari 
(kelihatan) berada di atas bukit seakan-akan kain sorban laki-la- 
ki yang bertengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak 
sebelum matahari terbit agar petunjuk kita berbeda dengan pe- 
tunjuk kaum musyrik" 

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih, 
dan hadis ini berdasarkan lafaz darinya; Imam Hakim mcriwayatkan- 
nya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, kedua-duanya melalui hadis 
Abdur Rahman ibnul Mubarak Al-Aisyi, dari Abdul Waris ibnu 
Sa'id, dari Ibnu Juraij. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini ber- 
predikat sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengc- 
tengahkannya. 

Sesungguhnya terbukti dengan benar apa yang telah kami sebut- 
kan di atas yang menyatakan bahwa Al-Miswar benar-benar mende- 
ngar langsung dari Rasulullah Saw. Tidak seperti apa yang diduga oleh 
segolongan teman-teman kami yang mengatakan bahwa Al-Miswar 
termasuk orang yang hanya pernah melihat Nabi Saw., tetapi tidak 
pernah mendengar hadis darinya. 

Waki' meriwayatkan dari Syu'bah, dari Ismail ibnu Raja Az-Zu- 
baidi, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid yang menceritakan bahwa ia per- 
nah melihat sahabat Umar r.a. ketika bertolak dari Arafah, seakan- 
akan ia melihatnya seperti lelaki yang botak dengan mengendarai un- 
tanya seraya bertolak dan berkata, "Sesungguhnya kami menemukan 
cara berifadah (bertolak) ialah dengan langkah-langkah yang cepat." 



324 Juz 2 — Al-Baqarah 

Di dalam hadis Jabir ibnu Abdullah yang cukup panjang yang 
berada pada kitab Sahih Muslim disebutkan di dalamnya bahwa Nabi 
Saw. masih tetap berwuquf, yakni di Arafah, hingga matahari tengge- 
lam dan awan kuning mulai tampak sedikit, hingga bulatan matahari 
benar-benar tenggelam. Nabi Saw. memboncengkan Usamah di bela- 
kangnya, lalu beliau bertolak seraya mengencangkan tali kendali 
qaswa unta kendaraannya, seliingga kepala unta kendaraannya hampir 
menyentuh bagian depan rahl (pelana)nya, seraya mengisyaratkan de- 
ngan tangannya seakan-akan mengatakan: 

Hai manusia, tenanglah, tenanglah. 

Manakala menaiki bukit, beliau mengendurkan tali kendalinya sedikit 
agar qaswa dapat naik dengan mudah, hingga sampailah di Muz- 
dalifah, lalu salat Magrib dan Isya padanya dengan sekali azan dan 
dua kali iqamah, tidak membaca tasbih apa pun di antara keduanya. 

Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit, lalu salat Subuh 
ketika fajar Subuh telah tampak baginya dengan sekali azan dan se- 
kali iqamah. Sesudah itu beliau mengendarai qaswa dan berangkat 
hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu menghadap ke arah kiblat 
dan berdoa kepada Allah seraya bertakbir, bertahlil, dan menauhid- 
kan-Nya. Beliau Saw. masih tetap dalam keadaan wuquf hingga caha- 
ya pagi kelihatan kuning sekali. Kemudian beliau bertolak sebelum 
matahari terbit. 

Di dalam kitab Sahihain, dari Usamah ibnu Zaid disebutkan bah- 
wa ia pernah ditanya mengenai kecepatan kendaraan Rasulullah Saw. 
ketika bertolak (dari Muzdalifah ke Masy'aril Haram). Maka Usamah 
menjawab bahwa beliau Saw. memacu kendaraannya dengan lang- 
kah-langkah yang sedang; dan apabila menjumpai tanah yang legok, 
maka beliau memacunya dengan langkah yang lebih lebar lagi. 

Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami 
Abu Muhammad (anak lelaki dari anak perempuan Imam Syafii) da- 
lam surat yang ditujukannya kepadaku. Ia menceritakannya dari'ayah- 
nya atau dari pamannya, dari Sufyan ibnu Uyaynah sehubungan de- 
ngan makna firman Allah Swt.: 



Tafsir Ibnu Kasir 325 

Mafoz apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah ke- 
pada Allah di Masy 'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) 

Yang dimaksud dengan zikir dalam ayat ini ialah menjamak dua salat. 

Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari Amr ibnu Maimun, 
bahwa ia pernah bertanya kepada Abdul lab. ibnu Amr tentang 
Masy 'aril Haram. Maka Ibnu Amr diam, tidak menjawab. Tetapi keti- 
ka kaki depan unta kendaraan kami mulai mengambil jalan menurun 
di Muzdalifah, ia bertanya, "Ke manakah orang yang tadi bertanya 
tentang Masy'aril Haram? Inilah Masy'aril Haram." 

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim yang mengatakan bahwa Ibnu 
Umar pernah berkata, "Masy'aril Haram adalah seluruh Muzdalifah." 

Hisyam meriwayatkan dari Hajjaj, dari Nafi', dari Ibnu Umar, 
bahwa ia pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: 

Berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) 

Maka Ibnu Umar menjawab bahwa Masy'aril Haram ialah bukit ini 
dan daerah sekitarnya. 

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Al-Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Ibnu Umar melihat 
mereka berkumpul di Quzah. Maka ia berkata, "Mengapa mereka ber- 
kumpul di suatu tempat, padahal semua kawasan ini adalah Masy'aril 
Haram." 

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, 
Mujahid, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah, 
bahwa mereka pernah mengatakan, "Masy'aril Haram itu terletak di 
antara kedua buah bukit." 

Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata le- 
tak Muzdalifah, maka Ata menjawab, "Apabila kamu bertolak dari 
kedua ma'zam 'Arafah yang menuju ke arah lembah Muhassar, dan 



326 Juz 2 — Al-Baqarah 



bukan kedua ma'z,am 'Arafah itu termasuk bagian dari Muzdalifah, 
melainkan jalan menuju ke arah keduanya; maka berhentilah kamu di 
antara keduanya jika kamu suka. Aku suka bila kamu berhenti se- 
belum Quzah. Sekarang marilah bersamaku untuk memberi kesempat- 
an kepada jalan yang dilalui oleh orang banyak." 

Menurut kami, tempat-tempat untuk menunaikan haji merupakan 
rambu-rambu yang sudah jelas, dan sesungguhnya Muzdalifah dina- 
makan Masy'aril Haram hanyalah karena masih termasuk bagian dari 
Tanah Suci. Tetapi apakah melakukan wuquf di Muzdalifah merupa- 
kan rukun haji; bila tidak dilakukan, hajinya tidak sah? Seperti yang 
dikatakan oleh segolongan ulama Salaf dan sebagian murid-murid 
Imam Syafii, antara lain Al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan 
kepada hadis Urwah ibnu Midras. Ataukah hukumnya wajib, seperti 
yang dikatakan oleh salah satu dari dua pendapat Imam Syafii yang 
mengatakan jika ditinggalkan dapat ditambal dengan membayar dam'] 
Ataukah hukumnya sunat; dengan kata lain, tidak ada sanksi apa pun 
bila ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh selainnya? Sehubungan 
dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama, pemba- 
hasannya secara panjang lebar terdapat dalam kitab lain. 

Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, da- 
ri Zaid ibnu Aslam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

j?.~"\AZ>9*-'s £<"i*f><* x * 9^*s\A*%< " 

Arafah semuanya adalah tempat wuquf tetapi tinggalkanlah oleh 
kalian (lembah Arafah). Dan Jam'un (Arafah) seluruhnya adalah 
tempat wuquf kecuali lembah Muhassar. 

Hadis ini mursal. 

Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 
Abui Mugirah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul 
Aziz, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Musa, dari Jubair 
ibnu Mut'im, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 327 

Semua kawasan Arafah adalah tempat wuquf dan tinggalkanlah 
oleh kalian (lembah) Arafah. Muzdalifah seluruhnya adalah tem- 
pat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian lembah Muhassar. 
Dan seluruh pelosok Mekah adalah tempat penyembelihan kur- 
ban. Dan seluruh hari-hari tasyriq adalah hari-hari penyembe- 
lihan kurban. 

Hadis ini pun munqati', karena sesungguhnya Sulaiman ibnu Musa 
yang dikenal dengan sebutan Al-Asydaq tidak menjumpai masa 
Jubair ibnu Mut'im. 

Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim 
dan Suwaid ibnu Abdul Aziz, dari Sa"id ibnu Abdul Aziz, dari 
Sulaiman; dan Al-Walid mengatakan dari Jubair ibnu Mut'im, dari 
ayahnya. Sedangkan Suwaid mengatakan dari Nafi' ibnu Jubair, dari 
ayahnya, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkannya. 

Firman Allah Swt.: 

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di- 
tunjukkan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 198) 

Ayat ini mengingatkan mereka akan limpahan nikmat yang telah di- 
berikan Allah kepada mereka, yaitu beaipa hidayah, keterangan, dan 
bimbingan kepada masya'irul hajji. Hal ini sesuai dengan hidayah 
yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim a. s. Karena 
itulah sesudahnya disebutkan: 



328 Juz 2 ~~ A| -Baqarah 

dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk 
orang-orang yang sesat. (Al-Baqarah: 198) 

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sebelum itu ialah se- 
belum adanya petunjuk tersebut. Menurut pendapat yang lain, sebe- 
lum adanya Al-Qur'an; dan menurut pendapat yang lainnya lagi sebe- 
lum adanya Rasul Saw. Akan tetapi, pada prinsipnya masing-masing 
pendapat berdekatan pengertiannya, saling mengukuhkan dan benar. 

Al-Baqarah, ayat 199 

Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang- 
orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, se- 
sungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

Lafaz summa dalam ayat ini untuk meng-afa/-kan suatu khabar kepa- 
da khabar yang lain dan menunjukkan pengertian urutannya. Seakan- 
akan Allah memerintahkan kepada orang yang wakaf di Arafah agar 
bertolak menuju Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah Swt. di 
Masy'aril Haram. Allah memerintahkan kepadanya agar wuquf bersa- 
ma orang-orang banyak di Arafah, seperti yang telah dilakukan oleh 
mayoritas orang-orang di masa silam, kecuali orang-orang Quraisy; 
orang-orang Quraisy tidak mau keluar dari batasan Tanah Suci. Mere- 
ka melakukan wuqufnya di perbatasan Kota Suci yang berdekatan de- 
ngan Tanah Halal, lalu mereka mengatakan, "Kami adalah orang- 
orang kepercayaan Allah di negeri-Nya dan pengurus aunah-Nya." 

Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 
Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu 
Hazim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari 
Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy 
dan orang-orang yang mengikuti mereka berwuquf di Muzdalifah, la- 



Tafsir Ibnu Kasir 329 

lu mereka menamakannya Al-Hams, sedangkan orang-orang Arab 
lainnya berwuquf di Arafah. 

Ketika Islam datang, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya 
agar datang ke Arafah, kemudian melakukan wuquf padanya, lalu 
bertolak darinya. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: 



f |-*l <f»'f» *' 



dari tertolaknya orang-orang. (Al-Baqarah: 199) 

Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Qatadah, 
As-Saddi, dan lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir dan mengata- 
kannya sebagai suatu kesepakatan. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Suf- 
yan, dari Amr, dari Mujahid, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu 
Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan, "Aku pernah kehilangan 
seekor unta milikku di Arafah, maka aku berangkat mencarinya. Ti- 
ba-tiba aku menjumpai Nabi Saw. sedang wuquf. Maka aku berkata 
(kepada diriku sendiri), 'Sesungguhnya hal ini termasuk Hams, apa- 
kah gerangan yang sedang dilakukannya di sini?'." Riwayat ini dike- 
tengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sa- 
hihnya masing-masing. 

Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari hadis Musa 
Ibnu Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya me- 
nunjukkan bahwa yang dimaksud dengan istilah ifaclah (bertolak) da- 
lam ayat ini ialah bertolak dari Muzdalifah menuju Mina untuk me- 
lempar jumrah. 

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim saja, 
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dalam 
ayat ini adalah Nabi Ibrahim a. s., juga menurut salah satu riwayat 
lainnya yang ada pada Imam (Ibnu Jarir). Ibnu Jarir mengatakan, "Se- 
andainya tidak ada kesepakatan hujan yang memberikan pengertian 
sebaliknya, niscaya riwayat ini lebih kuat." 

Firman Allah Swt.: 

c^s^o. J^rjj^£- ^0\.^% 



330 Juz 2 — Al-Baqarah 

dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 199) 

Allah Swt. sering memerintahkan berzikir sesudah menunaikan iba- 
dah. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis sahih dalam kitab Sa- 
hih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila selesai dari sa- 
lat selalu membaca istigfar sebanyak tiga kali. Di dalam kitab Sahi- 
hain disebutkan bahwa Nabi Saw. menganjurkan membaca tasbih, 
tahmid, dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali (masing-masing). 

Dalam bab ini Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abbas 
ibnu Mirdas As-Sulami tentang permohonan ampun Nabi Saw. buat 
umatnya pada sore hari Arafah. Kami telah menghimpunnya di dalam 
sebuah kitab mengenai keutamaan hari Arafah. 

Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan sebuah hadis yang 
diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Syaddad ibnu Aus yang men- 
ceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 






Penghulu istigfar ialah bacaan seorang hamba akan doa berikut: 
"Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Eng- 
kau, Engkaulah yang menciptakan diriku, dan aku adalah ham- 
ba-Mu, dan aku berada di bawah perintah-Mu dan janji-Mu me- 
nurut kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan 
apa yang telah kuperbuat, aku kembali kepada-Mu dengan se- 



Tafsir Ibnu Kasir 331 

mua nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku, dan aku kem- 
bali kepada-Mu dengan semua dosaku. Maka ampunilah daku, 
karena sesungguhnya tiada seorang pun yang dapat mengampuni 
dosa-dosa kecuali hanya Engkau." Barang siapa yang membaca- 
nya di suatu malam, lalu di malam itu juga ia meninggal dunia, 
niscaya ia masuk surga. Dan barang siapa yang membacanya di 
siang hari, lalu ia meninggal dunia, niscaya masuk surga. 

Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu 
Uniar, bahwa Abu Bakar pernah bertanya, •"Wahai Rasulullah, ajar- 
kanlah kepadaku suatu doa yang akan kubacakan dalam salatku." Ma- 
ka Rasulullah Saw. bersabda: 



Katakanlah, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diri- 
ku sendiri dengan perbuatan aniaya yang banyak sekali, sedang- 
kan tiada seorang pun yang dapat memberikan ampunan kecuali 
Engkau; maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan 
belas kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima to- 
bat lagi Maha Penyayang." 

Hadis-hadis mengenai istigfar cukup banyak, dan yang disebutkan di 
sini hanya sebagian kecil saja. 



Al-Baqarah, ayat 200-202 



•3^2 ^ uz 2 — Al-Baqarah 



S< S , ^ A\i . £<i/s> e^* r i 






i 






Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka 
berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menye- 
but-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau 
(bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara ma- 
nusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami 
(kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menye- 
nangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang men- 
doa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan ke- 
baikan di akhirat, dan perliharalah kami dari siksa neraka."' Me- 
reka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang 
mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. 

Allah memerintahkan banyak berzikir kepada-Nya sesudah menunai- 
kan manasik dan merampungkannya. 
Firman Allah Swt.: 

sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian. (Al- 
Baqarah: 200) 

Para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya. Menuait Ibnu Ja- 
rir, dari Ata, disebutkan bahwa yang dimaksud ialah seperti ucapan 
seorang anak kecil kepada ayah dan ibunya. Yakni seperti anak kecil 
menyebut-nyebut ayah dan ibunya. Dengan kata lain, demikian pula 
kalian, maka sebut-sebutlah Allah dalam zikir kalian sesudah menu- 
naikan semua manasik. 



Tafsir Ibnu Kasir 333 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' 
ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu 
Abbas hal yang semisal. 

Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang- 
orang Jahiliah di masa lalu melakukan wuquf dalam musim haji dan 
seseorang dari mereka mengatakan bahwa ayahnya dahulu suka mem- 
beri makan dan menanggung beban serta menanggung diat orang lain. 
Tiada yang mereka sebut-sebut selain dari perbuatan bapak-bapak 
mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Nabi 
Muhammad Saw., yaitu: 

Maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian 
menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau (bahkan) berzikirlah 
lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200) 

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa As-Saddi meriwayatkan dari 
Anas ibnu Malik, Abu Wa-il, dan Ata ibnu Abu Rabbali merumit sa- 
lah satu pendapatnya, juga Sa'id ibnu Jubair; serta Ikrimah menurut 
salah satu riwayatnya; juga Mujahid, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, 
Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b, dan 
Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal dengan riwayat di atas. Demi- 
kianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Jama'ah. 
Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah anjuran untuk banyak 
berzikir kepada Allah Swt. Karena itu, maka lafaz asyadda dibaca na- 
sab sebagai tamyiz. Bentuk lengkapnya ialah seperti kalian menyebut- 
nyebut nenek moyang kalian atau bahkan lebih banyak lagi dari itu. 
Huruf au dalam ayat ini menunjukkan pengertian merealisasikan per- 
samaan dalam berita. Perihalnya sama dengan pengertian yang ter- 
kandung di dalam firman lainnya, yaitu: 



Cvt io^O 



\$&$£g££ 



hati kalian menjadi keras seperu batu, bahkan lebih keras lagi. 
rAl-Baqarah: 74) 



334 Juz 2 — Al-Baqarah 

mereka (orang-orang munafik) takut kepada manusia (musuh), 
seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu ta- 
kutnya. (An-Nisa: 77) 



Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. (As- 
Saffat: 147) 

Dan firman Allah Swt: 

Ma£a jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dwa «/««g bu- 
sur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9) 

Au di sini bukan menunjukkan makna syak (ragu), melainkan untuk 
merealisasikan subyek berita seperti apa adanya atau lebih banyak 
dari itu. 

Kemudian Allah Swt. memberikan petunjuk kepada mereka un- 
tuk berdoa kepada-Nya sesudah banyak berzikir kepada-Nya, karena 
keadaan seperti itu sangat dekat untuk diperkenankan. Dan Allah 
mencela orang yang tidak mau meminta kepada-Nya kecuali hanya 
mengenai urusan duniawinya, sedangkan urusan akhiratnya dia ke- 
sampingkan. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Maka di antara manusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan ka- 
mi, berilah kami (kebaikan) di dunia" dan tiadalah baginya ba- 
gian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 200) 



Tafsir Ibnu Kasir 335 

Yang dimaksud dengan khalaq ialah bagian, yakni tiada keberuntung- 
an baginya di akhirat nanti. Di dalam kalimat ini terkandung makna 
celaan dan menanamkan rasa antipati terhadap perbuatan seperti itu. 

Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu 
ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab datang ke tempat 
wuquf, lalu mereka berdoa, "Ya Allah, jadikanlah tahun ini tahun 
yang penuh dengan hujan, tahun kesuburan, dan tahun banyak anak 
yang baik-baik," mereka tidak menyinggung permintaan untuk akhi- 
ratnya barang sedikit pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

C y- :vMO 

Maka di antara manusia ada yang mendoa, "Ya Tuhan kami, be- 
rikanlah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian 
(yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 200) 

Lain halnya dengan orang-orang yang datang sesudah mereka dari ka- 
langan kaum mukmin. Maka doa mereka ialah seperti yang disebut- 
kan di dalam firman-Nya: 

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di 
akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Baqarah: 
201) 

Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan mereka 
itu, yaitu: 

Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang 
mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Al- 
Baqarah: 202) 



336 Juz 2 — Al-Baqarah 

Karena itulah Allah Swt. memuji mereka yang meminta kebaikan di 
dunia dan kebaikan di akhirat melalui firman-Nya: 

Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, 
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan pe- 
liharalah kami dari siksa neraka." (Al-Baqarah: 201) 

Doa ini mencakup semua kebaikan di dunia dan memalingkan semua 
keburukan, karena sesungguhnya kebaikan di dunia itu mencakup se- 
mua yang didambakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, ru- 
mah yang luas, istri yang cantik, rezeki yang berlimpah, ilmu yang 
bermanfaat, amal saleh, kendaraan yang mudah, dan sebutan yang 
baik serta lain-lainnya; semuanya itu tercakup di dalam ungkapan 
mufassirin. Semua hal yang kami sebutkan tadi termasuk ke dalam 
pengertian kebaikan di dunia. 

Adapun mengenai kebaikan di akhirat, yang paling tinggi ialah 
masuk surga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti aman dari 
rasa takut yang amat besar di padang mahsyar, dapat kemudahan da- 
lam hisab, dan lain sebagainya. 

Bagi orang yang menghendaki keselamatan, dituntut mengerja- 
kan hal-hal yang membawa dirinya ke jalan keselamatan itu, misalnya 
menjauhi hal-hal yang diharamkan, perbuatan-perbuatan yang berdo- 
sa, serta meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang diharamkan. 
Sehubungan dengan hal ini Abui Qasim Abu Abdur Rahman pernah 
mengatakan, "Barang siapa yang dianugerahi hati yang selalu bersyu- 
kur, lisan yang selalu berzikir, dan tubuh yang sabar, maka sesung- 
guhnya dia telah dianugerahi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhi- 
rat, serta dipelihara dari siksa neraka." 

Karena itulah maka banyak anjuran di dalam sunnah yang meme- 
rintahkan membaca doa ini. Imam Bukhari mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Ma*mar, telah menceritakan kepada kami Ab- 
dul Waris, dari Abdul Aziz, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan 
bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 337 

Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan ke- 
baikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ib- 
nu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib 
yang menceritakan bahwa Qatadah pernah bertanya kepada Anas Sua- 
tu doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi Saw. Maka Anas r.a. 
menjawab bahwa Nabi Saw. acapkali membaca doa berikut, yaitu: 

Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan 
kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. 

Anas r.a. apabila hendak mengucapkan suatu doa, ia pasti membaca 
doa ini; atau bila dia hendak mengucapkan suatu doa, maka ia meng- 
ikutkan doa ini di dalamnya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam 
Muslim. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah mencerita- 
kan kepada kami Abdus Salam ibnu Syaddad (yakni Abu Talut), bahwa 
ia pernah berada di rumah Anas ibnu Malik, lalu Sabit berkata kepada- 
nya, "Sesungguhnya saudara-saudaramu menginginkan agar engkau 
berdoa untuk mereka." Maka Anas r.a. membaca doa berikut: 

Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaik- 
an di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. 

Lalu mereka mengobrol selama sesaat; dan ketika mereka hendak bu- 
bar dari rumah sahabat Anas, mereka berkata, "Wahai Abu Hamzah, 
sesungguhnya saudara-saudaramu hendak bubar, maka doakanlah ke- 
pada Allah buat mereka." Sahabat Anas menjawab, "Apakah kalian 



338 Juz 2 — Al-Baqarah 

menghendaki agar aku memecah-belah semua urusan kalian? Apabila 
Allah memberi kalian kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta 
Allah memelihara diri kalian dari siksa neraka, berarti kalian telah di- 
beri semua kebaikan." 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Sabit, dari Anas, bah- 
wa Rasulullah Saw. menjenguk seorang lelaki dari kaum muslim 
yang keadaannya sudah sangat lemah. Rasulullah Saw. bersabda ke- 
padanya: 

< o\Jl&3<U)!I^JlS 1 JIS CjVUivj'JLftU^j * Ai^o- 

"Pernahkah engkau mendoakan sesuatu kepada Allah atau kamu 
meminta sesuatu kepada-Nya?" Lelaki itu menjawab, "Ya, aku 
sering mengucapkan, 'Ya Allah, jika Engkau akan menyiksaku di 
akhirat, maka kumohon agar Engkau menyegerakannya di dunia 
ini bagiku." Rasulullah Saw. bersabda, "Mahasuci Allah, kamu 
tidak akan kuat, atau kamu tidak akan mampu. Mengapa engkau 
tidak katakan, 'Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di 
dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa 
neraka'!" Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lelaki 
tersebut mendoa kepada Allah dengan doa itu; akhirnya Allah 
menyembuhkannya. 

Hadis ini hanya Imam Muslim sendiri yang mengetengahkannya. 
Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abu Addi dengan 
lafaz yang telah disebutkan di atas. 



Tafsir Ibnu Kasir 339 

Imam Syafii mengatakan, telati menceritakan kepada kami Sa'id 
ibnu Salim Al-Qaddah, dari Ibnu Juraij, dari Yahya ibnu Ubaid maula 
As-Sa-ib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnus Sa-ib, bahwa ia pernah 
mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan doa berikut di antara rukun 
Bani Jumah dan rukun Aswad, yaitu: 

Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia 
dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. 

As-Sauri meriwayatkannya pula dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang 
sama. Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Abu Hurairah 
r.a. dan Nabi Saw. dengan makna yang semisal, tetapi di dalam sa- 
nadnya terdapat kelemahan. 

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ib- 
nu Musawir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, 
dari Abdullah ibnu Hurmuz, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Tidak sekali-kali aku melewati rukun melainkan aku melihat 
padanya seorang malaikat yang mengucapkan amin. Karena itu, 
apabila kalian melewatinya, maka katakanlah, "Wahai Tuhan ka- 
mi, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di 
akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." 

Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya mengatakan, telah mence- 
ritakan kepada kami Abu Zakaria Al-Anbari, telah menceritakan ke- 
pada kami Muhammad ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada 



340 Juz 2 — Al-Baqarah 

kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari 
Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Juhair yang men- 
ceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu 
lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah memberikan bayaran ke- 
pada suatu kaum agar mereka mau menanggungku. Untuk itu aku 
berikan kepada mereka semua perongkosanku dengan syarat mereka 
harus menghajikan aku bersama-sama mereka, apakah hal itu sudah 
dianggap cukup (yakni dihajikan oleh orang lain dengan perongkosan 
dari orang yang bersangkutan)?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Eng- 
kau termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah Swt. di dalam fir- 
man-Nya: 

'Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa 
yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan- 
Nya' (Al-Baqarah: 202)." 

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan 
syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. 

Al-Baqarah, ayat 203 

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari 
yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari 
Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang 
siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari 
itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang beriak- 



Tafsir Ibnu Kasir 341 

wa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian 
akan dikumpulkan kepada-Nya. 

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hari-hari yang berbi- 
lang ialah hari-hari tasyriq (menjemur dendeng); juga dikenal dengan 
sebutan hari-hari yang telah diketahui, yaitu hari belasan. 

Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 

Dan berzikir lah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari 
yang berbilang. (Al-Baqarah: 203) 

Yang dimaksud dengan berzikir ialah bertakbir dalam hari-hari 
tasyriq sesudah salat lima waktu, yaitu: Allahu Akbar, Allahu Akbar 
(Allah Mahabesar, Allah Mahabesar). 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wa- 
ki', telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ali, dari ayahnya 
yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir 
menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

'S? & m* 

Hari Arafah dan hari Kurban serta hari-hari tasyriq adalah hari 
raya kita pemeluk agama Islam, ia adalah hari-hari makan dan 
minum. 

Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami 
Hisyam, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Abui Malih, 
dari Nabisyah Al-Huzali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. 
pernah bersabda: 



342 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hari-hari tasriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan ber- 
zikir kepada Allah. 

Imam Muslim meriwayatkan pula hadis ini. Dalam pembahasan yang 
lalu telah disebutkan hadis Jubair ibnu Mut'im yang bunyinya menga- 
takan: 

Arafah seluruhnya adalah tempat wuquf, dan hari-hari tasyriq 
adalah hari kurban. 

Telah disebutkan pula hadis Abdur Rahman ibnu Ya'mur Ad-Daili, 
yang bunyinya mengatakan: 



•ifi *~<.i <*'<>s&t:<\&< 'A 



'<.. 



Hari-hari Mina adalah tiga hari. Maka barang siapa yang ingin 
cepat berangkat dari Mina sesudah dua hari, tiada dosa bagi- 
nya; dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkat- 
annya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu 
Ibrahim dan Khallad ibnu Aslam; keduanya mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Hisyam, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari 
ayahnya, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 

Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan berzikir kepada 
Allah. 

Telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Aslam, telah mencerita- 
kan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Saleh, telah 



Tafsir Ibnu Kasir 343 

menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari 
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah ibnu Hu- 
zafah untuk berkeliling di Mina menyampaikan seaian berikut: 






Janganlah kalian melakukan puasa pada hari-hari ini, karena se- 
sungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan dan mi- 
num serta berzikir kepada Allah Swt. 

Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada 
kami Hisyam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri yang menceri- 
takan bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abdullah ibnu Huzafah pada 
hari-hari tasyriq untuk menyerukan pengumuman berikut: 

1 ^ v' *9 ^ 

Sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan, mi- 
num, dan berzikir kepada Allah, kecuali bagi orang yang diwa- 
jibkan puasa atas dirinya sebagai ganti dari berkurban. 

Dalam riwayat ini terdapat tambahan yang baik dan memperjelas 
makna, tetapi mursal. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Hisyam, dari Abdul Malik 
ibnu Abu Sulaiman, dari Amr ibnu Dinar, bahwa Rasulullah Saw. 
mengutus Bisyar ibnu Suhaim untuk menyerukan maklumat berikut 
pada hari-hari tasyriq, yaitu: 

Sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan dan 
minum serta berzikir kepada Allah. 

Hasyim meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah 
yang menceritakan: 



344 Juz 2 — Al-Baqarah 

* # *♦ 

Rasulullah Saw. melarang puasa pada hari-hari tasyriq. Beliau 
bersabda bahwa hari-hari tasyriq itu merupakan hari-hari untuk 
makan dan minum serta berzikir kepada Allah. 

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Hakim ibnu Hakim, dari 
Mas'ud ibnul Hakam Az-Zurqi, dari ibunya yang menceritakan: 

Sesungguhnya aku benar-benar melihat Ali yang sedang mengen- 
darai hewan bigal putih Rasulullah Saw., lalu ia berhenti di per- 
kemahan orang-orang Amar seraya mengatakan seman berikut: 
"Hai manusia, sesungguhnya hari-hari ini bukanlah hari-hari 
puasa, melainkan hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir 
kepada Allah." 

Miqsam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayyamam ma'dudat 
atau 'hari-hari yang berbilang' adalah hari-hari tasyriq, yaitu selama 
empat hari, dimulai dari Hari Raya Kurban hingga tiga hari berikut- 
nya. 

Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Ibnuz 
Zubair, Abu Musa, Ata, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu 
Malik, Ibrahim An-Nakha'i, Yahya ibnu Abu Kasir, Al-Hasan, Qata- 
dah, As-Saddi, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ad-Dahhak, Muqatil 
ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Malik ibnu Anas serta lain-lain- 
nya. 



Tafsir Ibnu Kasir 345 

Ali ibnu Abu Talib r. a. mengatakan bahwa hari-hari tasyriq itu 
adalah tiga hari (yaitu Hari Raya Kurban dan dua hari sesudahnya). 
Berkurbanlah di hari mana pun yang kamu sukai (di antara ketiga hari 
itu). Akan tetapi, yang paling utama ialah pada hari pemulaannya. 

Pendapat yang pertama lebih terkenal karena pendapat ini selaras 
dengan makna lahiriah yang ditunjukkan oleh firman-Nya: 

Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah 
dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang 
ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka 
tidak ada dosa pula baginya. (Al-Baqarah: 203) 

Dengan demikian, makna lahiriah ayat ini menunjukkan tiga hari di- 
tambah dengan Hari Raya Kurban sebelumnya, hingga jumlah keselu- 
ruhannya empat hari. 

Hal tersebut berkaitan dengan makna firman-Nya: 

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari 
yang berbilang. (Al-Baqarah: 203) 

Yakni melakukan zikir kepada Allah sewaktu melakukan kurban. Da- 
lam keterangan yang lalu telah disebutkan bahwa pendapat yang kuat 
dalam masalah ini adalah mazhab Imam Syafii rahimahuUah, yaitu 
bahwa waktu untuk berkurban dimulai pada Hari Raya Kurban sam- 
pai dengan akhir hari-hari tasyriq. Berkaitan pula dengannya yaitu 
melakukan zikir sementara sesudah melakukan tiap-tiap salat, dan zi- 
kir yang mutlak yang dianjurkan dalam semua keadaan. Mengenai 
waktu berzikir ini banyak pendapat dari ulama yang mengatakannya, 
yang paling terkenal dan banyak diamalkan ialah dimulai dari salat 
Subuh hari Arafah sampai dengan salat Asar di akhir hari tasyriq, te- 
patnya di akhir waktu nafar yang terakhir. Sehubungan dengan waktu 
ini ada sebuah hadis yang membicarakannya, diriwayatkan oleh Imam 
Daruqutni, tetapi tidak sahih predikat marfu'-nya. 



346 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ibnul 
Khattab r.a. melakukan takbir di dalam kemah kecilnya. Maka bertak- 
bir pulalah semua orang yang ada di pasar karena takbirnya, hingga 
Mina bergetar oleh suara takbir semua orang. 

Berkaitan pula dengan hal tersebut yaitu membaca takbir dan zik- 
rullah di saat melempar jumrah setiap hari di hari-hari tasyriq. Di da- 
lam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan lain- 
lainnya telah disebutkan bahwa sesungguhnya tawaf di Baitullah, sa'i 
di antara Safa dan Marwah, dan melempar jumrah disyariatkan ha- 
nyalah untuk menegakkan zikrullah. 

Setelah Allah menyebutkan perihal nafar awwal dan nafar sani, 
yaitu berpencarnya semua orang dari musim haji menuju ke berbagai 
negeri sesudah mereka melakukan ijtima -nya dalam manasik dan 
tempat-tempat wuquf, kemudian Allah Swt. berfirman: 

Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian 
akan dikumpulkan kepada-Nya. (Al-Baqarah: 203) 

Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, 
yaitu firman-Nya: 

Dan Dialah yang menciptakan serta mengembangbiakkan kalian 
di muka bumi ini, dan kepada-Nyalah kalian akan dihimpunkan. 
(Al-Mu-minun: 79) 

Al-Baqarah, ayat 204-207 



Tafsir Ibnu Kasir 347 



'i» 



Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehi- 
dupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah 
(atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang 
paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari muka kalian), ia 
berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan me- 
rusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak me- 
nyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertak- 
walah kepada Allah," bangkitlah kesombongannya yang menye- 
babkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka 
Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal 
yang seburuk-buruknya. Dan di antara manusia ada orang yang 
mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan 
Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. 

As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan 
Al-Akhnas ibnu Syuraiq As-Saqafi yang datang kepada Rasulullah 
Saw., lalu menampakkan keislamannya, sedangkan di dalam batinnya 
memendam kebalikannya. 

Dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan 
dengan segolongan orang-orang munafik yang membicarakan perihal 
Khubaib dan teman-temannya yang gugur di Ar-Raji', orang-orang 
munafik tersebut mencela mereka. Maka Allah menurunkan firman- 
Nya yang mencela sikap orang-orang munafik dan memuji sikap 
Khubaib dan teman-temannya, yaitu: 



348 Juz 2 — Al-Baqarah 

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 
karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207) 

Menurut pendapat yang lain, ayat ini mengandung celaan terhadap se- 
mua orang munafik secara keseluruhan, dan mengandung pujian ke- 
pada orang-orang mukmin secara keseluruhan. Pendapat ini dikemu- 
kakan oleh Qatadah, Mujahid, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lainnya; 
pendapat inilah yang sahih. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, te- 
lah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepa- 
daku Al-Lais ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Yazid, dari Sa'id ibnu Abu 
Hilal, dari- Al-Qurazi, dari Nauf (yakni Al-Bakkali, ahli dalam mem- 
baca kitab-kitab terdahulu) yang pernah mengatakan: 



Sesungguhnya aku menjumpai suatu sifat dari segolongan umat 
ini di dalam Kitabullah yang telah diturunkan, ada suatu kaum 
melakukan tipu muslihat dengan agama untuk meraih keduniawi- 
an; lisan mereka lebih manis daripada madu, tetapi kalbu mere- 
ka lebih pahit daripada jazam (kina); mereka menampilkan diri- 
nya di mata orang lain dengan berpakaian bulu kambing, pada- 
hal hati mereka adalah hati serigala. Allah Swt. berfirman, "Me- 
reka berani terhadap diri-Ku dan mencoba menipu-Ku. Aku ber- 
sumpah atas nama-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepa- 



Tafeir Ibnu Kasir 349 

da mereka suatu fitnah yang membuat orang yang penyantun 
(dari kalangan mereka) menjadi kebingungan." 

Selanjutnya Al-Qurazi mengatakan, "Setelah kupikirkan dan kubaca 
di dalam Al-Qur'an, ternyata kujumpai mereka yang bersifat demi- 
kian adalah orang-orang munafik," sebagaimana tertera di dalam fir- 
man-Nya: 



Cv-£*o^_JO«" A—iS^U 



Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehi- 
dupan dunia menarik hatimu dan dipersaksikannya kepada Allah 
(atas kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah: 204), hingga akhir 
ayat. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ib- 
nu Abu Ma'syar, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar (yakni 
Nujaih) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id Al- 
Maqbari melakukan muzakarah bersama Muhammad ibnu Ka'b Al- 
Qurazi. Maka Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya di dalam salah satu 
kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa sesungguhnya ada segolongan 
hamba-hamba yang lisan mereka lebih manis daripada madu, tetapi 
hati mereka lebih pahit daripada kina. Mereka menampilkan dirinya 
di mata orang-orang dengan pakaian bulu domba yang kelihatan begi- 
tu lembut, mereka menjual agama dengan duniawi. Allah berfirman, 
'Kalian berani kurang ajar terhadap-Ku dan mencoba menipu-Ku. De- 
mi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepada mere- 
ka suatu fitnah yang akan membuat orang yang penyantun dari ka- 
langan mereka kebingungan'." 

Maka Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Ini terdapat di dalam 
Kitabullah (Al-Qur'an)." Sa'id bertanya, "Di manakah hal ini terdapat 
di dalam Kitabullah!" Muhammad ibnu Ka'b menjawab bahwa hal 
tersebut terkandung di dalam firman-Nya: 



O-iis^O 



... o^^a^A; 



350 Juz 2 — Al-Baqarah 

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehi- 
dupan dunia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 204), hingga akhir 
ayat. 

Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya aku telah mengetahui berkenaan 
dengan siapakah ayat ini diturunkan." Maka Muhammad ibnu Ka'b 
menjawab, "Sesungguhnya ayat ini memang diturunkan berkenaan 
dengan seorang lelaki, kemudian maknanya umum sesudah itu." Apa 
yang dikatakan oleh Al-Qurazi ini hasan lagi sahih. 
Adapun mengenai firman-Nya: 

* \ C ^ Y'* t' \" 

dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. 
(Al-Baqarah: 204) 

Ibnu Muhaisin membacanya wayasyhadullahu dengan huruf ya yang 
d\-fat-hah-kan dan lafzul jalalah yang d\-dammah-kan, sehingga mak- 
nanya menjadi seperti berikut: "Dan Allah menyaksikan apa yang se- 
sungguhnya terkandung di dalam hatinya." Dengan kata lain, se- 
kalipun hal ini dapat menipu mata kamu, tetapi Allah mengetahui 
orang yang di dalam hatinya mengandung keburukan. Perihalnya sa- 
ma dengan makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu fir- 
man-Nya: 

Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, 
"Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul 
Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar- 
benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya 
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (Al- 
Muriafiqun: 1) 

Sedangkan menurut bacaan jumhur ulama, huruf ya dibaca dammah, 
dan lafzul jalalah dibaca nasab, yaitu: 



Tafsir Ibnu Kasir 351 



Cv-i i a t £ r Jl 






dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. 
(Al-Baqarah: 204) 

Makna yang dimaksud ialah bahwa dia menampakkan keislamannya 
di mata manusia, sedangkan Allah mengetahui kekufuran dan kemu- 
nafikan yang dipendam di dalam hatinya. Perihalnya sama dengan 
makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: 

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersem- 
bunyi dari Allah. (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat. 

Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari 
Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Sa'id ibnu 
Jubair, dari Ibnu Abbas. 

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah apabila 
dia ingin menampakkan keislamannya di mata orang-orang, maka ia 
bersumpah dan memakai nama Allah dalam sumpahnya itu untuk 
mendapat kepercayaan dari mereka bahwa apa yang diucapkan lisan- 
nya bersesuaian dengan apa yang ada dalam hatinya. Pengertian ini- 
lah yang sahih, dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid Aslam dan 
dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini dinisbatkan sampai kepada Ibnu 
Abbas, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Mujahid. 

Firman Allah Swt.: 



iv-t.s^sJo. ^l^^A_J\jJA_5 



padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 
204) 

Al-aladd menurut istilah bahasa artinya yang paling menyimpang 
(membangkang). Pengertiannya sama dengan yang terdapat di dalam 
firman-Nya: 



352 Juz 2 — Al-Baqarah 



dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum 
yang membangkang. (Maryam: 97) 

Makna yang dimaksud ialah menyimpang (membangkang). Demi- 
kianlah keadaan seorang munafik dalam perdebatannya, ia selalu ber- 
dusta dan melakukan pengelabuan terhadap perkara yang hak serta 
menyimpang dari jalan yang benar, bahkan seorang munafik itu selalu 
membuat-buat kedustaan dan melampaui batas. Seperti apa yang dise- 
butkan di dalam hadis sahih dari Rasulullah Saw. yang pernah ber- 
sabda: 

Pertanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara, dusta; 
apabila berjanji, ingkar; dan apabila bersengketa, curang. 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qu- 
baisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari 
Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan predikat marfu', yaitu: 

Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penan- 
tang yang paling keras. 

Imam Bukhari mengatakan bahwa Abdullah ibnu Yazid mengatakan, 
telah menceritakan kepada kami Sutyan, telah menceritakan kepada 
kami Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi 
Saw. yang pernah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 353 



Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penan- 
tang yang keras. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar 
sehubungan dengan makna firman-Nya: 



M .J&&S& 



padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 
204) 

Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi 
Saw. yang telah bersabda: 

Sesungguhnya lelaki yang paling dimurkai oleh Allah ialah pe- 
nantang yang paling keras. 

Firman Allah Swt: 






Dan apabila ia berpaling (dari mukamu) ia berjalan di bumi un- 
tuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanam- 
an dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. 
(Al-Baqarah: 205) 

Dengan kata lain, ucapannya selalu menyimpang dan perbuatannya 
jahat. Yang pertama tadi adalah mengenai ucapannya, sedangkan 
yang disebutkan di dalam ayat ini mengenai perbuatannya. Yakni per- 
kataannya dusta belaka dan keyakinannya telah rusak, perbuatannya 
semua buruk belaka. 

Makna as-sa'yu dalam ayat ini sama dengan lafaz al-qasdu (ber- 
tujuan), sebagaimana yang disebutkan di dalam firman lainnya yang 
menceritakan perihal Fir'aun: 



354 Juz 2 — Al-Baqarah 

Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). 
Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru 
memanggil kaumnya (seraya) berkata, "Akulah tuhan kalian yang 
paling tinggi." Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat 
dan azab di dunia. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat pe- 
lajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya). (An-Nazi'at: 
22-26) 

Allah Swt. telah berfirman: 

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunai- 
kan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat 
Allah. (Al-Jumu'ah: 9) 

Yakni segeralah kalian berangkat menuju tempat salat Jumat, karena 
sesungguhnya pengertian sa'yu secara konkret yakni berlari kecil 
menuju tempat salat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan 
sunnah Nabi Saw. yang mengatakan: 



.>j5&i2g<i\ 



Apabila kalian mendatangi salat, janganlah kalian mendatangi- 
nya dengan berlari-lari kecil, tetapi datangilah salat dengan 
langkah yang tenang dan anggun. 

Orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini (Al-Baqarah: 205) 
adalah orang munafik yang perbuatannya hanyalah membuat kerusak- 
an di muka bumi dan membinasakan tanam-tanaman, termasuk ke da- 



Tafsir Ibnu Kasir 355 

lam pengertian ini persawahan dan buah-buahan, juga ternak, yang 
keduanya merupakan makanan pokok bagi manusia. 

Mujahid mengatakan, "Apabila terjadi kerusakan di muka bumi, 
karena Allah mencegah turunnya hujan, maka binasalah tanam-ta- 
naman dan binatang ternak." 



Cv-o: 



v*»o. JU-JiiLj^^4J6!j 



dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205) 

Artinya, Allah tidak menyukai orang yang bersifat suka merusak, 
tidak suka pula kepada orang yang melakukannya. 
Firman Allah Swt.: 

Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah", 
bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat do- 
sa. (Al-Baqarah: 206) 

Apabila orang yang durhaka ini diberi nasihat agar mengubah bicara 
dan perbuatannya dan dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada 
Allah, dan berhentilah dari cara bicara dan perbuatanmu itu, serta 
kembalilah ke jalan yang benar," maka ia menolak dan membang- 
kang, timbullah rasa fanatisme dan kemarahannya yang menyebabkan 
dia melakukan dosa. Makna ayat ini serupa dengan makna ayat lain- 
nya, yaitu firman-Nya: 

Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang 
terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka 



356 Juz 2 — Al-Baqarah 

orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang 
orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan me- 
reka. Katakanlah, "Apakah akan aku kabarkan kepada kalian 
yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka!" Allah telah meng- 
ancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu 
adalah seburuk-buruknya tempat kembali. (Al-Hajj: 72) 

Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat ini: 

Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh 
neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. 
(Al-Baqarah: 206) 

Yakni neraka sudah cukup sebagai pembalasannya. 
Firman Allah Swt.: 

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 
karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207) 

Setelah Allah menyebutkan sifat orang-orang munafik yang tercela 
itu, pada ayat berikutnya Allah menyebutkan sifat orang-orang muk- 
min yang terpuji. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 
karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207) 

Menurut Ibnu Abbas, Anas, Sa'id ibnul Musayyab, Abu Usman An- 
Nahdi, Ikrimah, dan sejumlah ulama lainnya, ayat ini diturunkan ber- 
kenaan dengan Suhaib ibnu Sinan Ar-Rumi. Demikian itu terjadi keti- 
ka Suhaib telah masuk Islam di Mekah dan bermaksud untuk hijrah, 
lalu ia dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Mekah karena memba- 



Tafsir Ibnu KaSir 357 

wa hartanya. Mereka mempersyaratkan 'jika Suhaib ingin hijrah, ia 
harus melepaskan semua harta bendanya, maka barulah ia diperboleh- 
kan hijrah'. Ternyata Suhaib bersikeras hijrah, dan melepas semua 
harta bendanya, demi melepaskan dirinya dari cengkeraman orang- 
orang kafir Mekah; maka ia terpaksa menyerahkan harta bendanya 
kepada mereka, dan ikut hijrah bersama Nabi Saw. 

Lalu turunlah ayat ini, dan Umar ibnul Khattab beserta sejumlah 
sahabat lainnya menyambut kedatangannya di pinggiran kota Madi- 
nah, lalu mereka mengatakan kepadanya, "Alangkah beruntungnya 
perniagaanmu." Suhaib berkata kepada mereka, "Demikian pula kali- 
an, aku tidak akan membiarkan Allah merugikan perniagaan kalian 
dan apa yang aku lakukan itu tidak ada apa-apanya." Kemudian di- 
beritakan kepadanya bahwa Allah telah menurunkan ayat ini ber- 
kenaan dengan peristiwa tersebut. 

Menurut suatu riwayat, Rasulullah Saw. bersabda kepada Suhaib: 

Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya. 

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad 
ibnu Abdullah ibnu Rustuh, telah menceritakan kepada kami Sulai- 
man ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulai- 
man Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abu 
Usman An-Nahdi, dari Suhaib yang menceritakan: 




Q<8 Juz 2 — Al-Baqarah 



S <i ^ ^ _^XX j ^ Jts's' . . ^"_ .'f. 



Ketika aku hendak hijrah dari Mekah kepada Nabi Saw. (di Ma- 
dinah), wato orang-orang Quraisy berkala kepadaku, "Hai Su- 
haib, kamu datang kepada kami pada mulanya tanpa harta, se- 
dangkan sekarang kamu hendak keluar meninggalkan kami de- 
ngan harta bendamu. Demi Allah, hal tersebut tidak boleh terjadi 
selamanya." Maka kukatakan kepada mereka, "Bagaimanakah 
menurut kalian jika aku berikan kepada kalian semua hartaku, 
lalu kalian membiarkan aku pergiV Mereka menjawab, "Ya, ka- 
mi setuju." Maka kuserahkan hartaku kepada mereka dan mere- 
ka membiarkan aku pergi. Lalu aku berangkat hingga sampai di 
Madinah. Ketika berita ini sampai kepada Nabi Saw., maka be- 
liau bersabda, "Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya, 
Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya" sebanyak dua 
kali. 

Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Ali ibnu Zaid, dari Sa'id 
ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Suhaib berangkat berhij- 
rah untuk bergabung dengan Nabi Saw. (di Madinah), lalu ia dikejar 
oleh sejumlah orang-orang Quraisy. Maka Suhaib turun dari unta ken- 
daraannya dan mencabut anak panah yang ada pada wadah anak pa- 
nahnya, lalu ia berkata, "Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya ka- 
lian telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mahir da- 
lam hal memanah di antara kalian semua. Demi Allah, kalian tidak 
akan sampai kepadaku hingga aku melemparkan semua anak panah 
yang ada pada wadah panahku ini, kemudian aku memukul dengan 
pedangku selagi masih ada senjata di tanganku. Setelah itu barulah 
kalian dapat berbuat sesuka hati kalian terhadap diriku. Tetapi jika 
kalian suka, aku akan tunjukkan kepada kalian semua harta bendaku 
dan budak-budakku di Mekah buat kalian semua, tetapi kalian jangan 
menghalang-halangi jalanku." Mereka menjawab, "Ya." 



Tafsir Ibnu Kasir 359 

Ketika Suhaib datang ke Madinah, maka Nabi Saw. bersabda: 

Beruntunglah jual belinya. 

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa 
tersebut turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 

"^' -' • ** •. -* 

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 
karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun ke- 
pada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207) 

Menurut kebanyakan mufassirin, ayat ini diturunkan berkenaan dengan 
semua mujahid yang berjuang di jalan Allah. Seperti pengertian yang 
terkandung di dalam firman-Nya: 

/f 






Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin di- 
ri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. 
Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau 
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di da- 



360 Juz 2 — Al-Baqarah 

lam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih mene- 
pati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan 
jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan 
yang besar. (At-Taubah: 111) 

Ketika Hisyam ibnu Amir maju menerjang kedua sayap barisan mu- 
suh, sebagian orang memprotes perbuatannya itu (dan mengatakan 
bahwa ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan). Maka Umar ib- 
nul Khattab dan Abu Hurairah serta selain keduanya membantah pro- 
tes tersebut, lalu mereka membacakan ayat ini: 

Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena 
mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada 
hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207) 

Al-Baqarah, ayat 208-209 

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam 
keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah se- 
tan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. 
Tetapi jika kalian tergelincir (dari jalan Allah) sesudah datang 
kepada kalian bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah bahwasa- 
nya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. 



Tafsir Ibnu Kasir 361 



Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepa- 
da-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang 
kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua pe- 
rintahnya dan meninggalkan semua larangannya dengan segala ke- 
mampuan yang ada pada mereka. 

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Ad- 
Dahhak, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid sehubungan de- 
ngan firman-Nya: 



C V-A t«^JO 



."UffJUMii&i 



masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya. (Al-Baqarah: 
208) 

Yang dimaksud dengan as-silmi ialah agama Islam. 

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abui Aliyah, dan Ar- 
Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan firman-Nya: 



Cv-a :5-^LJl5 



. ^ijiii-3 



masuklah kalian ke dalam Islam. (Al-Baqarah: 208) 

Yang dimaksud dengan as-silmi ialah taat. Qatadah mengatakan pula 
bahwa yang dimaksud dengan as-silmi ialah berserah diri. 

Lafaz kaffah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Abui Aliyah, Ik- 
rimah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, Qa- 
tadah dan Ad-Dahhak artinya seluruhnya. 

Mujahid mengatakan makna ayat ialah berkaryalah kalian dengan 
semua amal dan semua segi kebajikan. 

Ikrimah menduga bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan 
segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi dan lain-lainnya 
yang masuk Islam, seperti Abdullah ibnu Salam, Asad ibnu Ubaid, 
dan Sa'labah serta segolongan orang-orang yang meminta izin kepada 
Rasulullah Saw. untuk melakukan kebaktian pada hari Sabtu dan 
membaca kitab Taurat di malam hari. 

Maka Allah memerintahkan mereka agar mendirikan syiar-syiar 
Islam dan menyibukkan diri dengannya serta melupakan hal lainnya. 



362 Juz 2 — Al-Baqarah 

Mengenai keterlibatan Abdullah ibnu Salam bersama mereka, masih 
perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena mustahil dia meminta 
izin kepada Rasulullah untuk melakukan kebaktian di hari Sabtu, se- 
dangkan dia selain memiliki iman yang sempurna; juga telah mem- 
buktikan bahwa hari Sabtu itu telah di-mansukh, dihapuskan, dan di- 
batalkan, kemudian diganti dengan hari-hari raya Islam. 

Dari kalangan mufassirin ada orang yang menjadikan firman- 
Nya, "Kaffah," sebagai hal (keterangan keadaan) dari lafaz ad-da- 
khilin, yakni masuklah kalian semua ke dalam Islam. 

Tetapi pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama, yaitu 
yang mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk mengamalkan 
semua cabang iman dan syariat Islam yang banyak sekali dengan se- 
genap kemampuan yang mereka miliki. Seperti yang dikatakan oleh 
Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, 
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnus Sabbah, telah menceri- 
takan kepadaku Al-Haisam ibnu Yaman, telah menceritakan kepada 
kami Ismail ibnu Zakaria, telah menceritakan kepadaku Muhammad 
ibnu Aun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna 
firman-Nya: 



"i 



rr^^i^OS 



Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam 
keseluruhannya. (Al-Baqarah: 208) 

Dengan lafaz kaffah yang dibaca nasab menurut qiraah-nya, yang di- 
maksud dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang mukmin 
dari kalangan Ahli Kitab. Karena sesungguhnya sekalipun telah ber- 
iman kepada Allah, mereka masih tetap berpegang kepada sebagian 
perkara kitab Taurat dan syariat-syariat yang diturunkan di kalangan 
mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya. (Al-Baqarah: 
208) 



Tafsir Ibnu Kasir 363 

Yakni masuklah kalian ke dalam syariat Nabi Muhammad Saw. dan 
janganlah kalian meninggalkan sesuatu pun yang ada padanya, dan 
tinggalkanlah apa yang ada di dalam kitab Taurat. Kalian hanya di- 
tuntut untuk beriman kepadanya saja, dan itu sudah cukup bagi ka- 
lian. 

Firman Allah Swt.: 



* t'* *ii - > t"» r' t~<t' 



dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. (Al-Baqarah: 
208) 

Maksudnya, kerjakanlah semua ketaatan, dan jauhilah apa yang dipe- 
rintahkan oleh setan kepada kalian. Sebagaimana yang disebutkan 
oleh firman-Nya: 

Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat 
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian 
ketahui. (Al-Baqarah: 169) 

Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongan- 
nya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fatir: 
6) 
Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: 

%• J, 

Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. (Al-Baqa- 
rah: 208) 

Mutarrif mengatakan bahwa di antara hamba-hamba Allah yang pa- 
ling banyak menipu sesama hamba-Nya adalah setan. 



364 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 



Firman Allah Swt.: 



Cv-<* t 



WJ ■&£\'M% f .££&£$5c>i 



Tetapi jika kalian tergelincir (dari jalan Allah) sesudah datang 
kepada kalian bukti-bukti kebenaran. (Al-Baqarah: 209) 

Yaitu bila kalian menyimpang dari jalan yang hak (benar) sesudah 
nyata bagi kalian bukti-bukti yang jelas, maka ketahuilah bahwa 
Allah Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya, tiada seorang pun yang 
dapat lari dari siksa-Nya, tiada seorang pun yang dapat mengalahkan- 
Nya; Dia Mahabijaksana dalam keputusan, ralat, dan ketetapan-Nya. 
Karena itulah maka Abui Aliyah dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu 
Anas mengatakan bahwa Dia Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya 
lagi Mahabijaksana dalam perkara-Nya. 

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Dia Mahakuasa da- 
lam pertolongan-Nya untuk menghadapi orang yang kafir kepada- 
Nya, jika Dia menghendaki; lagi Dia Mahabijaksana dalam pem- 
berian maaf dan alasan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. 

Al-Baqarah, ayat 210 



t',Ku>-'>. J, t, J,.zl ^ .'• 



^^ j^ais^i^ i 



Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan 
datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat, dan 
diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembali- 
kan segala urusan. 

Allah Swt. mengancam orang-orang kafir melalui Nabi Muhammad 
Saw. Untuk itu Dia berfirman: 



Tafsir Ibnu Kasir 365 

Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan 
datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al- 
Baqarah: 210) 

Yakni pada hari kiamat nanti di saat diputuskan semua perkara selu- 
ruh umat manusia dari awal sampai akhirnya, lalu setiap orang yang 
beramal mendapat balasan yang setimpal dari amal perbuatannya. Ji- 
ka amalnya baik, maka balasannya baik pula; jika amalnya buruk, 
maka balasannya buruk pula. Karena itulah dalam ayat berikutnya 
Allah Swt. berfirman: 



cvi- ts^i^Jo 



o^Vi^iiji^i^; 



dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikem- 
balikan segala urusan. (Al-Baqarah: 210) 

Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman- 

Nya: 



Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan bertu- 
rut-turut, dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris- 
baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pa- 
da hari itu ingatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingat 
itu baginya. (Al-Fajr: 21-23) 

Dan firman Allah Swt.: 



366 Juz 2 — Al-Baqarah 

Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan ma- 
laikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau ke- 
datangan (siksa) Tuhanmu, atau kedatangan beberapa ayat Tu- 
hanmu. (Al-An'am: 158), hingga akhir ayat. 

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bab ini menuturkan sebuah hadis 
mengenai As-sur (sangkakala) yang cukup panjang mulai dari permu- 
laannya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. Hadis ini cukup ter- 
kenal dan diketengahkan oleh banyak pemilik kitab musnad dan lain- 
lainnya. Antara lain di dalamnya disebutkan seperti berikut: 

Bahwa umat manusia di saat mengalami kesusahan di padang 
mahsyar, mereka meminta syafaat kepada Tuhannya melalui para na- 
bi seorang demi seorang, mulai dari Nabi Adam sampai nabi-nabi 
yang sesudahnya. Tetapi nabi-nabi itu mengelakkan dirinya dari me- 
mohon syafaat tersebut, hingga sampailah mereka kepada Nabi Mu- 
hammad Saw. Ketika mereka datang kepadanya, maka beliau Saw. 
bersabda: 

Akulah orangnya, akulah orangnya yang dapat memohonkan 
syafaat. 

Lalu Nabi Saw. berangkat dan bersujud kepada Allah di bawah 
Arasy, dan beliau meminta syafaat dari sisi Allah agar Dia berkenan 
datang untuk memutuskan peradilan di antara semua hamba-Nya. Ma- 
ka Allah memberi izin kepadanya untuk memberi syafaat. Lalu Allah 
datang dalam naungan awan sesudah langit dunia terbelah dan semua 
malaikat yang ada padanya turun; kemudian langit kedua, dan langit 
ketiga hingga langit ketujuh terbelah pula. Para malaikat penyangga 
Arasy dan malaikat Karubiyyun turun. 

Kemudian Allah Yang Mahaperkasa turun dalam naungan awan 
dan para malaikat yang terdengar gemuruh suara tasbih mereka sera- 
ya mengucapkan, "Mahasuci Allah yang mempunyai kerajaan dunia 
dan kerajaan langit. Mahasuci Allah yang memiliki segala keagungan 
dan keperkasaan. Mahasuci Allah Yang Mahahidup dan tak pernah 



Tafsir Ibnu Kasir 367 



mati. Mahasuci Allah yang mematikan semua makhluk, sedangkan 
Dia tidak mati. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan para malaikat dan 
roh. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan kami Yang Mahatinggi. Maha- 
suci Tuhan yang memiliki kekuasaan dan keagungan. Mahasuci Allah 
selama-lamanya." 

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dalam bab ini mengete- 
ngahkan banyak hadis yang di dalamnya terkandung hal-hal yang 
aneh. Antara lain ialah apa yang diriwayatkannya melalui hadis Al- 
Minhal ibnu Amr, dari Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Maisarah, 
dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Allah menghimpunkan orang-orang yang pertama dan orang- 
orang yang terakhir di suatu tempat pada hari yang telah dimak- 
lumi, semua orang mengarahkan pandangannya ke langit me- 
nunggu-nunggu keputusan peradilan. Lalu Allah turun dalam 
naungan awan dari Arasy sampai ke Al-Kursi. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ata ibnu 
Miqdam, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, 
bahwa ia pernah mendengar Abdul Jalil Al-Qaisi menceritakan asar 
berikut dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan makna firman- 
Nya: 



Cv>-«S^Jo 



^^mmjMfr 



Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan 
datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan. (Al-Baqarah: 210) 



368 Juz 2 — Al-Baqarah 

Di saat awan itu turun, sedangkan jarak antara awan dan penciptanya 
itu tujuh puluh ribu hijab (tirai). Di antara tirai itu ada cahaya kege- 
lapan dan air, kemudian di dalam kegelapan itu air mengeluarkan sua- 
ra gelegar yang dapat mengejutkan hati. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada 
kami, Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi telah menceritakan ke- 
pada kami, Al-Walid telah menceritakan kepada kami, bahwa aku 
bertanya kepada Zahir ibnu Muhammad mengenai firman Allah Swt. 
berikut: 

Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan 
dalangnya (siksa) Allah dalam naungan awan. (Al-Baqarah: 210) 

Naungan awan ini tersusun dari batu-batu yaqut dan bertahtakan ber- 
bagai mutiara dan zabarjad. 

Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan 
makna zulalin minal gamdm. Yang dimaksud dengan awan dalam 
ayat ini bukan sembarang awan. Awan ini belum pernah terlihat oleh 
seorang pun kecuali oleh Bani Israil ketika mereka tersesat di padang 
pasir. 

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari 
Abui Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: 

Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan 
kedatangan Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Ba- 
qarah: 210) 

Yakni para malaikat datang dengan bernaungkan awan, sedangkan 
Allah Swt. datang dengan cara yang Dia kehendaki. Pengertian ini 
menurut salah satu qiraah lainnya disebutkan seperti berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 369 

Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan 
datangnya Allah dan para malaikat dalam naungan awan. 

Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam ayat lain, 
yaitu firman-Nya: 

Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan ka- 
but putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang. 
(Al-Furqan: 25) 

Al-Baqarah, ayat 211-212 



Tanyakanlah kepada Bani Israil, "Berapa banyaknya tanda-tan- 
da (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada me- 
reka." Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah da- 
lang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat ke- 
ras siksa-Nya. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandang- 
an orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang 
yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mu- 
lia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki 
kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. 

Allah Swt. menceritakan perihal kaum Bani Israil, sudah berapa ba- 
nyak mereka melihat mukjizat yang jelas dari Nabi Musa a.s. Yang 



370 Juz 2 — Al-Baqarah 

dimaksud dengan ayatin bayyinah ialah hujah yang membuktikan ke- 
benaran Nabi Musa a..s. dalam menyampaikan kepada mereka apa 
yang telah diturunkan kepadanya, seperti tangan Nabi Musa, tongkat- 
nya, terbelahnya laut, batu yang ia pukul, awan yang menaungi mere- 
ka di panas yang sangat terik, dan diturunkan-Nya manna dan salwa 
serta lain-lainnya yang menunjukkan adanya Tuhan yang berbuat de- 
mikian dalam keadaan tak terpaksa, dan kebenaran dari orang yang 
menyebabkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan hukum 
alam tersebut. Tetapi sekalipun demikian, banyak dari kalangan me- 
reka yang berpaling dari tanda-tanda yang jelas itu, dan mereka 
menggantikan nikmat Allah dengan kekufuran, yakni mereka memba- 
las iman kepada hal-hal tersebut dengan keingkaran terhadapnya. Ma- 
ka Allah mengancam mereka dengan siksa-Nya yang amat keras, se- 
perti yang disebutkan di dalam firman-Nya: 

Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah datang 
nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras 
siksa-Nya. (Al-Baqarah: 211) 

Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman- 
Nya yang menceritakan perihal orang-orang kafir Quraisy, yaitu: 

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nik- 
mat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lem- 
bah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke da- 
lamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 
28-29) 

Kemudian Allah menyebutkan perhiasan kehidupan duniawi yang di- 
berikan-Nya kepada orang-orang kafir, yaitu mereka yang merasa 



Tafsir Ibnu Kasir 371 

puas dengannya dan merasa tenang bergelimang di dalamnya serta 
berupaya menghimpun harta benda, tetapi mereka tidak mau membe- 
lanjakannya ke jalan-jalan yang diperintahkan kepada mereka untuk 
mengeluarkannya, yaitu jalan-jalan yang diridai oleh Allah Swt. Bah- 
kan mereka mencemoohkan orang-orang beriman yang berpaling dari 
kesenangan duniawi, yaitu mereka yang membelanjakan sebagian apa 
yang mereka peroleh dari harta benda itu untuk ketaatan kepada Tu- 
han mereka. Mereka membelanjakannya demi memperoleh rida 
Allah. Karena itu, mereka beroleh kedudukan paling bahagia dan ba- 
gian yang berlimpah di hari mereka kembali pada hari kiamat nanti. 

Kelak di hari kiamat keadaan orang-orang mukmin tersebut ber- 
ada di atas mereka, baik di tempat mereka semua dihimpun — ketika 
mereka dibangunkan dari kuburnya masing-masing, dalam perjalanan 
mereka (hisabnya) — maupun tempat kembalinya. Orang-orang yang 
beriman akan menetap pada kedudukan yang paling tinggi di dalam 
surga, sedangkan orang-orang kafir berada di bagian paling bawah 
dari neraka- Jahannam dengan kekal dan untuk selama-lamanya. Ka- 
rena itulah Allah Swt. berfirman: 

Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehen- 
daki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212) 

Yakni Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki- 
Nya dari kalangan makhluk-Nya dan memberinya pemberian yang 
banyak lagi berlimpah tanpa batas dan tanpa hitungan, baik di dunia 
maupun di akhirat. Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah hadis 
berikut: 

Hai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku akan menggantikannya 
kepadamu. 

Nabi Saw. pernah bersabda: 



372 Juz 2 — Al-Baqarah 

Infakkanlah terus, hai Bilal, janganlah kamu merasa takut ke- 
kurangan dari Tuhan Yang mempunyai Arasy. 

Firman Allah Swt. yang mengatakan: 

Dan barang apa saja yang kalian nafkahkan (belanjakan), maka 
Allah akan menggantinya. (Saba': 39) 

Di dalam kitab sahih disebutkan seperti berikut: 



Bahwa ada dua malaikat yang turun dari langit di setiap pagi 
hari. Salah satunya mengatakan, "Ya Allah, berikanlah kepada 
orang yang berinfak penggantinya." Sedangkan yang lainnya me- 
ngatakan, "Ya Allah, timpakanlah kerusakan kepada orang yang 
kikir." 

Di dalam hadis sahih disebutkan: 

Anak Adam mengatakan, "Hartaku, hartaku." Tetapi tiada bagi- 
anmu dari hartamu kecuali apa yang telah kamu makan, lalu ka- 
mu lenyapkan; dan apa yang kamu pakai, lalu kamu rusakkan; 
apa yang kamu sedekahkan, maka kamu akan memetik hasilnya 
nanti, sedangkan hal-hal yang selain itu bakal lenyap dan menja- 
di peninggalan untuk orang lain. 



Tafsir Ibnu Ka&ir 373 

Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah hadis, bahwa 
Nabi Saw. pernah bersabda: 



s 



Dunia adalah rumah bagi orang yang tidak mempunyai rumah, 
dan harta bagi orang yang tidak memiliki harta, dan untuk 
dunialah orang yang tak berakal menghimpunnya. 

Al-Baqarah, ayat 213 

Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para 
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, 
dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, un- 
tuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang 
mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu, me- 
lainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yai- 
tu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang 
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah mem- 
beri petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran ten- 
tang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. 



374 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 

Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya 
kepada jalan yang lurus. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad 
ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah 
menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari 
Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa jarak antara Adam dan Nuh 
adalah sepuluh generasi, semuanya berada di atas suatu syariat yang 
diturunkan oleh Allah Swt. Lalu mereka berselisih, kemudian Allah 
mengutus nabi-nabi untuk membawa kabar gembira dan pemberi per- 
ingatan. 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh 
airaah (bacaan) Abdullah, yaitu: 

Pada mulanya manusia itu umat yang satu, lalu mereka berse- 
lisih. 

Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mus- 
tadrak-nya melalui hadis Bandar, dari Muhammad ibnu Basysyar; ke- 
mudian ia mengatakan bahwa riwayat itu sahih sanadnya, tetapi ke- 
duanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkan- 
nya. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ja'far Ar-Razi, dari 
Abui Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b. Disebutkan bahwa Ubay ibnu 
Ka'b membaca ayat ini dengan qiraah berikut: 

Pada mulanya manusia itu umat yang satu, lalu mereka berseli- 
sih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gem- 
bira dan pemberi peringatan. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, 
dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: 




Tafsir Ibnu Kasir 375 



'SigSUaSlS? 



Manusia itu adalah umat yang satu. (Al-Baqarah: 213) 

Yakni pada mulanya mereka berada dalam jalan petunjuk, lalu 
mereka berselisih pendapat, 



<. tf4l'i.( 1<£ 



mata A/Zali mengutus para nabi. (Al-Baqarah: 213) 

Nabi yang mula-mula diutus oleh Allah adalah Nabi Nuh. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, yakni sama dengan 
apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas tadi. 

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan mak- 
na firman-Nya: 



&£ 



Manusia itu adalah umat yang satu. (Al-Baqarah: 213) 
Yaitu pada mulanya adalah kafir. 



C\sr t SJLJ\0 . 






maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi berita gembira 
dan pemberi peringatan. (Al-Baqarah: 213) 

Tetapi pendapat yang pertama dari Ibnu Abbas lebih sahih sanad dan 
maknanya, karena manusia itu pada mulanya berada pada agama Nabi 
Adam a.s. dan lama-kelamaan mereka menyembah berhala. Maka 
Allah mengutus kepada mereka Nabi Nuh a.s. Dia adalah rasul perta- 
ma yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi ini. 

Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: 



376 J uz 2 — Al-Baqarah 



\^^\^\3'&m$-\d&^m 



JJ^i&^'J$$2&\%i&Mx% 



(v w 



■woj$2#l& 



Dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, 
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara 
yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu 
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, 
yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang 
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. (Al-Baqarah: 213) 

Yakni sesudah hujah-hujah melumpuhkan mereka. Tidak sekali-kali 
mereka terdorong berbuat demikian (perselisihan) kecuali perbuatan 
aniaya sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Dalam firman 
selanjutnya disebutkan: 

Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepa- 
da kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan 
kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang 
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 213) 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, 
dari Sulaiman Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah sehu- 
bungan dengan firman-Nya: 

Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepa- 
da kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan 
kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213), hingga akhir ayat. 



Cv\V: 



Tafsir Ibnu Kasir 377 

Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 



/tam/ adalah umat yang terakhir, tetapi kami adalah umat yang 
pertama di hari kiamat. Kami adalah orang yang mula-mula ma- 
suk ke surga, hanya saja mereka diberi kitab sebelum kami dan 
kami diberi kitab sesudah mereka. Maka Allah memberi petunjuk 
kami kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan 
itu dengan seizin-Nya. Dan hari ini (yakni hari Jumat) yang me- 
reka perselisihkan, Allah telah memberi kami petunjuk kepada- 
nya. Maka semua orang mengikut kepada kami tentangnya, dan 
besok untuk orang-orang Yahudi (hari Sabtu), kemudian sesudah 
besok (hari Ahad) untuk orang-orang Nasrani. 

Kemudian Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Ibnu 
Tawus, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, yakni melalui jalur lain. 

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu 
Aslam, dari ayahnya sehubungan dengan makna firman-Nya: 



C vi»" 



, ^o&k^^i^ossy &*& 



Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepa- 
da kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan 
kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213) 

Mereka berselisih pendapat mengenai hari Jumat. Akhirnya orang- 
orang Yahudi mengambil hari Sabtu dan orang-orang Nasrani meng- 



378 Juz 2 — Al-Baqarab 

ambil hari Ahad, dan Allah memberi petunjuk umat Nabi Muhammad 
kepada hari Jumat. 

Mereka pun berselisih pendapat mengenai kiblat. Orang-orang 
Nasrani menghadap ke arah timur, sedangkan orang-orang Yahudi 
menghadap ke arah Baitul Maqdis, dan Allah memberi petunjuk umat 
Muhammad ke arah kiblat. 

Juga berselisih pendapat dalam cara salat. Di antara mereka ada 
yang rukuk tanpa sujud, ada yang sujud tanpa rukuk, ada yang salat 
sambil berbicara, dan ada yang salat sambil berjalan. Maka Allah 
memberi petunjuk umat Muhammad kepada jalan yang benar dalam 
melakukan salat. 

Mereka berselisih pendapat mengenai puasa. Di antara mereka 
ada yang puasanya hanya setengah hari, ada pula yang puasa hanya 
meninggalkan jenis makanan tertentu. Maka Allah memberi petunjuk 
umat Muhammad kepada cara puasa yang benar. 

Mereka berselisih pendapat mengenai Nabi Ibrahim a.s. Orang- 
orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah pemeluk aga- 
ma Yahudi, sedangkan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi 
Ibrahim adalah pengikut agama Nasrani. Allah menjadikan Nabi Ibra- 
him seorang yang hanif\agi muslim, maka Allah memberi petunjuk 
umat Muhammad ke jalan yang benar dalam hal ini. 

Mereka berselisih pendapat mengenai Isa a.s. Orang-orang Yahu- 
di mendustakannya dan mereka menuduh ibunya berbuat dosa yang 
besar (yakni zina). Sedangkan orang-orang Nasrani menjadikannya 
sebagai tuhan dan anak tuhan, padahal kenyataannya Isa diciptakan 
oleh Allah melalui roh ciptaan-Nya dan perintah-Nya. Maka dalam 
masalah ini Allah memberi petunjuk umat Muhammad kepada jalan 
yang benar. 

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakah sehubungan dengan firman-Nya: 

Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepa- 
da kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan 
kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213) 



Tafsir Ibnu Kasir 379 



Yakni di saat mereka berselisih pendapat, maka umat Muhammad 
berada pada jalan seperti apa yang dibawa oleh rasul-rasul sebelum 
mereka (umat terdahulu) berselisih pendapat. Umat Muhammad me- 
negakkan keikhlasan hanya kepada Allah Swt. semata dan hanya me- 
nyembah kepada-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, mendirikan salat serta 
menunaikan zakat. Mereka menegakkan perkara yang semula sebe- 
lum terjadi perselisihan dan menjauhkan diri dari segala bentuk perse- 
lisihan. Mereka (umat Muhammad) menjadi saksi atas umat manusia 
semuanya kelak di hari kiamat; mereka menjadi saksi atas kaum Nabi 
Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, kaum Nabi Syu'aib, dan ke- 
luarga Fir'aun; bahwa para rasul telah menyampaikan risalah Allah 
kepada mereka, tetapi mereka mendustakan para rasulnya. 

Menurut qiraah (bacaan) Ubay ibnu Ka'b disebutkan: 

Dan agar mereka menjadi saksi atas umat manusia di hari kia- 
mat, dan Allah memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya 
kepada jalan yang lurus. 

Abui Aliyah selalu mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa 
ayat ini merupakan jalan keluar dari berbagai macam syubhat, kese- 
satan, dan fitnah. 

Firman Allah Swt. yang mengatakan bi-iznihi artinya dengan se- 
pengetahuan-Nya dan dengan petunjuk yang Dia berikan kepada me- 
reka. Demikianlah menurut Ibnu Jarir. 

Firman Allah Swt.: 



Cv\l": £3_J 



3.il3yc^§JL«?^5 



Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. 
(Al-Baqarah: 213) 

Yakni dari kalangan makhluk-Nya. 



380 Juz 2 — Al-Baqarah 

kepada jalan yang benar. (Al-Baqarah: 213) 

Hanya milik-Nyalah hikmah (kebijaksanaan) dan hujah yang kuat. Di 
dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan sebuah ha- 
dis dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila akan bangkit 
melakukan salat sunat malam harinya, beliau selalu mengucapkan doa 
berikut: 



Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil; Pencipta langit dan 
bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang gaib dan hal yang nyata, 
Engkaulah yang memutuskan perkara di antara hamba-hamba- 
Mu dalam hal-hal yang mereka perselisihkan di masa silam. 
Berilah daku petunjuk kepada kebenaran yang diperselisihkan itu 
dengan kehendak-Mu. Sesungguhnya Engkau selalu memberi pe- 
tunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus. 

Di dalam doa yang ma-sur disebutkan seperti berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 381 

Ya Allah, tunjukilah kami kepada perkara hak yang sesungguh- 
nya dan berilah kami rezeki untuk mengikutinya. Dan perlihat- 
kanlah kepada kami perkara yang batil seperti apa adanya, dan 
berilah kami rezeki untuk menjauhinya. Dan janganlah Engkau 
jadikan perkara yang batil itu tampak samar bagi kami karena 
nanti kami akan sesat, dan jadikanlah kami pemimpin bagi 
orang-orang yang bertakwa. 

Al-Baqarah, ayat 214 



Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, pada- 
hal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya 
orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh 
malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan ber- 
macam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang- 
orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan 
Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat 
dekat. 

Firman Allah Swt: 

Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga. (Al-Ba- 
qarah: 214) 

Yakni sebelum kalian mendapat cobaan, ujian, dan kesengsaraan se- 
perti apa yang pernah dialami oleh orang-orang sebelum kalian dari 



382 Juz 2 — Al-Baqarah 

kalangan umat terdahulu? Karena itulah dalam ayat selanjutnya dise- 
butkan: 

padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana hal- 
nya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh 
malapetaka dan kesengsaraan. (Al-Baqarah: 214) 

Yaitu berupa berbagai macam penyakit, kesengsaraan, musibah, dan 
malapetaka. 

Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abui Aliyah, Mujahid, Sa'id ibnu 
Jubair, Murrah Al-Hamdani, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar- 
Rabi', As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa al-ba- 
sa-u artinya kemiskinan, sedangkan ad-darra-u artinya penyakit. Wa- 
zul zilu artinya takut oleh musuh dengan takut yang sangat. Mereka 
mendapat cobaan yang sangat besar, seperti yang disebutkan di dalam 
hadis sahih dari Khabbab ibnul Art yang telah menceritakan hadis 
berikut: 



Kami berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak me- 
minta pertolongan buat kami, mengapa engkau tidak berdoa ke- 
pada Allah untuk kami?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Se- 
sungguhnya orang-orang sebelum kalian ada seseorang dari me- 
reka yang diletakkan pada ubun-ubunnya sebuah gergaji, lalu ia. 



Tafsir Ibnu Kasir 383 



dibelah dengan gergaji itu sampai kepada kedua telapak kakinya, 
tetapi hal itu tidak memaiingkannya dari agamanya. Ada pula 
yang antara daging dan tulangnya disisir dengan sisir besi, te- 
tapi hal tersebut tidak menggoyahkan imannya dari agamanya." 

Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: 




Demi Allah, sesungguhnya Allah pasti akan menyempurnakan 
agama ini hingga seorang pengendara berjalan dari San'a ke 
Hadramaut tanpa merasa takut kecuali kepada Allah dan se- 
rigala yang mengancam ternak kambingnya, tetapi kalian ini 
adalah kaum yang tergesa-gesa. 

Allah Swt. telah berfirman: 

i- "-r 



{_ r- * *c^SL^\ J 

Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka di- 
biarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan 
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji 
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah 
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia me- 
ngetahui orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 1-3) 

Sesungguhnya hal seperti itu pernah dialami oleh para sahabat, yaitu 
cobaan yang sangat besar pada hari menjelang Perang Ahzah. 



384 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: 

(Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari 
bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) 
dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian 
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purba- 
sangka. Dan di situlah diuji orang-orang mukmin dan diguncang- 
kan (hatinya) dengan guncangan yang sangat. Dan (ingatlah) 
ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit 
dalam hatinya berkata, "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan 
kepada kami melainkan tipu daya." (Al-Ahzab: 10-12), dan ayat- 
ayat selanjutnya. 

Ketika Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah kalian me- 
memeranginya?" Abu Sufyan menjawab, "Ya." Heraklius bertanya kem- 
bali, "Bagaimanakah keadaan perang di antara kalian?" Abu Sufyan 
menjawab, "Silih berganti, terkadang dia mengalami kemenangan atas 
kami, dan adakalanya kami mengalami kemenangan atas dia." Herak- 
lius menjawab, "Demikianlah para rasul mendapat cobaan, tetapi pada 
akhirnya akibat yang terpuji berada di pihak para rasul." 
Firman Allah Swt.: 



C viti ZJLJO 



33&Sfc$ti£ 



sebagaimana orang-orang yang terdahulu sebelum kalian. (Al- 
Baqarah: 214) 



Tafsir Ifanu Kaiir 385 



Yakni sebagaimana hukum yang telah berlaku atas mereka. Perihal- 
nya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu 
firman-Nya: 

Maka telah Kami binasakan orang-orang yang lebih besar ke- 
kuatannya daripada mereka itu (musyrikin Mekah) dan telah ter- 
dahulu (tersebut dalam Al-Qur'an) perumpamaan umat-umat ma- 
sa dahulu. (Az-Zukhruf: 8) 



Adapun firman Allah Swt.: 

«i. 



>,.&&Z^S&3\&&%& 



serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga 
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, 
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" (Al-Baqarah: 214) 

Artinya, bilakah mereka mendapat kemenangan atas musuh-musuh 
mereka dan mereka berdoa di saat keadaan sempit dan susah agar 
pertolongan dan kemenangan disegerakan. 
Firman Allah Swt.: 



9 >\ M' • .(VI 



Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (Al-Ba- 
qarah: 214) 

Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: 

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, se- 
sungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam 
Nasyrah: 5-6) 



386 Juz 2 — Al-Baqarah 

Yakni sebagaimana ada kesusahan, maka akan diturunkan pula per- 
tolongan yang semisal dengannya. Karena itulah maka disebutkan: 

Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al- 
Baqarah: 214) 

Di dalam sebuah hadis dari Abu Ruzain disebutkan: 

Tuhanmu merasa heran dengan keputusasaan hamba-hamba- 
Nya, padahal saat pertolongan-Nya sudah dekat. Maka Tuhan 
memandang mereka yang dalam keadaan putus asa itu seraya 
tertawa karena Dia mengetahui bahwa jalan keluar mereka su- 
dah dekat. 

Al-Baqarah, ayat 215 

^j^&&6 *&•&&&&£& 

& 

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. 
Jawablah, "Harta apa saja yang kalian nafkahkan hendaklah di- 
berikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, 
orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perja- 
lanan." Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesung- 
guhnya Allah Maha Mengetahuinya. 



Tafsir Ibnu Kasir 387 

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayai ini diturunkan berkena- 
an dengan masalah nafkah tatawwu' (sunat). 

As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini di-nasakh oleh zakat, tetapi 
pendapatnya ini masih perlu dipertimbangkan. 

Makna ayat: Mereka bertanya kepadamu bagaimanakah caranya 
mereka memberi nafkah. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan 
Mujahid. Maka Allah menjelaskan kepada mereka hal tersebut me- 
lalui firman-Nya: 



Katakanlah, "Harta apa saja yang kalian najkahkan hendaklah 
diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, 
orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perja- 
lanan." (Al-Baqarah: 215) 

Dengan kata lain, belanjakanlah harta tersebut untuk golongan- 
golongan itu. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, yaitu: 

Ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, ke- 
mudian orang yang lebih bawah (nasabnya) darimu dan yang le- 
bih bawah lagi darimu. 

Maimun ibnu Mahram pernah membacakan ayat ini, lalu berkata, 
"Inilah jalur-jalur nafkah, tetapi di dalamnya tidak disebutkan gen- 
dang, seruling, boneka kayu, tidak pula kain hiasan dinding." 
Kemudian Allah Swt. berfirman: 






Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesungguhnya 
Allah Maha Mengetahuinya. (Al-Baqarah: 215) 



388 Juz 2 — Al-Baqarah 

Yakni kebajikan apa pun yang telah kamu lakukan, sesungguhnya 
Allah mengetahuinya. Dan kelak Dia akan memberikan balasannya 
kepada kamu dengan balasan yang berlimpah, karena sesungguhnya 
Dia tidak akan berbuat aniaya terhadap seseorang barang sedikit pun. 

Al-Baqarah, ayat 216 

Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah 
sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, 
padahal ia amat baik bagi kalian; dan boleh jadi (pula) kalian 
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah me- 
ngetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. 

Allah mewajibkan jihad kepada kaum muslim demi mempertahankan 
agama Islam dari kejahatan musuh-musuhnya. Az-Zuhri mengatakan 
bahwa jihad itu wajib atas setiap orang, baik ia ahli dalam berperang 
ataupun tidak. Bagi orang yang tidak biasa berperang, apabila diminta 
bantuannya untuk keperluan jihad, maka ia harus membantu. Dan 
apabila dimintai pertolongannya, maka ia harus menolong. Apabila 
diminta untuk berangkat berjihad, maka ia harus berangkat; tetapi jika 
tidak diperlukan, ia boleh tinggal (tidak berjihad). 

Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah disebutkan se- 
perti berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 389 

Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia belum per- 
nah berperang (berjihad) dan tiada pula keinginan dalam hati- 
nya untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah. 

Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam hari kemenangan atas kota 
Mekah: 

Tidak ada hijrah sesudah kemenangan, tetapi hanya jihad dan 
niat; dan apabila kalian diperintahkan untuk berangkat ber- 
perang, maka berangkatlah. 



Firman Allah Swt.: 



:«yL-Jl"5 •«JvJs'jifti 






padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. (Al-Ba- 
qarah: 216) 

Yakni terasa keras dan berat bagi kalian, dan memang kenyataan pe- 
rang itu demikian, adakalanya terbunuh atau terluka selain dari ma- 
syaqat perjalanan dan menghadapi musuh. 
Kemudian Allah Swt. berfirman: 

Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi 
kalian. (Al-Baqarah: 216) 

Dikatakan demikian karena berperang itu biasanya diiringi dengan da- 
tangnya pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh, menguasai 
negeri mereka, harta benda mereka, istri-istri, dan anak-anak mereka. 

dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat 
buruk bagi kalian. (Al-Baqarah: 216) 



390 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hal ini bersifat umum mencakup semua perkara. Adakalanya sese- 
orang mencintai sesuatu, sedangkan padanya tidak ada kebaikan atau 
suatu maslahat pun baginya. Antara lain ialah diam tidak mau berpe- 
rang, yang akibatnya musuh akan menguasai neperi dan pemerin- 
tahan. 

Kemudian Allah Swt. berfirman: 



Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Ba- 
qarah: 216) 

Artinya, Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara 
daripada kalian, dan lebih melihat tentang hal-hal yang di dalamnya 
terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian. Maka per- 
kenankanlah seruan-Nya dan taatilah perintah-Nya, mudah-mudahan 
kalian mendapat petunjuk. 



Al-Baqarah, ayat 217-218 



Tafsir Ibnu Kasir 391 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Ha- 
ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be- 
sar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada 
Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir pen- 
duduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. 
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." 
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka 
(dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada keka- 
firan), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad 
di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, 
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di 
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di da- 
lamnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang 
yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengha- 
rapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha 
Penyayang. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah- 
ku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar 
Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu 
Sulaiman, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Al-Hadrami, 
dari Abus Siwar, dari Jundub ibnu Abdullah yang telah menceritakan 
hadis berikut: 

Rasulullah Saw. mengirimkan utusan yang terdiri atas sejumlah 
orang, dan mereka mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pe- 
mimpin. Ketika Abu Ubaidah hendak berangkat menunaikan tugas- 
nya, tiba-tiba ia menangis karena rindu kepada Rasulullah Saw. hing- 
ga terhentilah ia dari perjalanannya. Maka Rasulullah Saw. menggan- 
tinya dengan Abdullah ibnu Jahsy dan menulis sepucuk surat buatnya 
dengan instruksi ia tidak boleh membaca surat tersebut sebelum tiba 
di tempat tertentu. Nabi Saw. bersabda kepadanya: 



392 Juz 2 — Al-Baqarah 



Jangan sekali-kali kamu memaksa seseorang dari kalangan te- 
man-temanmu untuk berangkat bersamamu. 

Ketika ia membaca surat tersebut, ia mengucapkan istirja' (inna lil- 
lahi wa inna ilaihi raji'una), lalu mengatakan, "Aku tunduk dan taat 
kepada perintah Allah dan Rasul-Nya." 

Kemudian Abdullah ibnu Jahsy menceritakan kepada mereka dan 
membacakan surat Nabi Saw. itu kepada mereka. Maka ada dua 
orang lelaki dari kalangan mereka yang kembali, sedangkan sisanya 
tetap bersama Abdullah ibnu Jahsy. Kemudian mereka bersua dengan 
Ibnul Hadrami, lalu mereka membunuhnya, sedangkan mereka tidak 
mengetahui apakah bulan itu adalah bulan Rajab atau bulan Jumadi. 
Maka orang-orang musyrik berkata kepada orang-orang muslim, "Ka- 
lian telah melakukan pembunuhan dalam bulan Haram." Lalu Allah 
menurunkan firman-Nya: 

.... l &m^^^&&± 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Ha- 
ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be- 
sar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. 

As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu 
Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 

.... S J$^%^&&&*. 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Ha- 
ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be- 
sar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. 

Pada mulanya Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah pasukan raha- 
sia yang terdiri atas tujuh orang, di bawah pimpinan Abdullah ibnu 



Tafsir Ibnu Kasir 393 

Jahsy Al-Asadi. Mereka semuanya adalah Ammar ibnu Yasir, Abu 
Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi 'ah, Sa'id ibnu Abu Waqqas, Atabah 
ibnu Gazwan As-Sulami (teman sepakta Bani Naufal), Suhail ibnu 
Baida, Amir ibnu Fuhairah, dan Waqid ibnu Abdullah Al-Yarbu'i (te- 
man sepakta Umar ibnul Khattab). Nabi Saw. menulis sepucuk surat 
buat Ibnu Jahsy dan berpesan kepadanya agar janganlah ia membaca 
surat tersebut sebelum turun di Lembah Nakhlah. 

Ketika ia turun di Lembah Nakhlah, ia membuka surat itu dan 
ternyata di dalamnya terdapat perintah: "Berjalanlah terus sampai ka- 
mu turun di Lembah Nakhlah". Maka Ibnu Jahsy berkata kepada te- 
man-temannya, "Barang siapa yang ingin mati, hendaklah ia maju te- 
rus dan bcrwasiatlah, karena sesungguhnya aku sendiri akan berwa- 
siat dan maju melakukan perintah Rasulullah Saw." 

Ibnu Jahsy maju, dan yang tidak ikut dengannya adalah Sa'd ib- 
nu Abu Waqqas serta Atabah; keduanya kehilangan unta kendaraan- 
nya. Karena itulah ia tidak ikut serta, sebab mencari unta kendaraan- 
nya masing-masing. 

Ibnu Jahsy terus berjalan menuju ke tengah Lembah Nakhlah. Ti- 
ba-tiba ia bersua dengan Al-Hakam ibnu Kaisan dan Usman ibnu Ab- 
dullah ibnul Mugirah. 

Bulan Jumada telah berakhir, lalu Amr terbunuh; ia dibunuh oleh 
Waqid ibnu Abdullah. Perang ini mcaipakan perang pertama yang 
menghasilkan ganimah bagi sahabat Rasulullah Saw. Ketika mereka 
kembali ke Madinah dengan membawa dua orang tawanan perang 
dan harta ganimah, maka penduduk Mckah berkeinginan untuk mene- 
bus kedua tawanannya itu. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Mu- 
hammad menduga bahwa dia taat kepada Allah, tetapi dia sendirilah 
orang yang mula-mula menghalalkan bulan Haram dan membunuh te- 
man kami dalam bulan Rajab." 

Maka kaum muslim menjawab, "Sesungguhnya kami hanya 
membunuhnya dalam bulan Jumada, dan ia terbunuh pada permulaan 
malam Rajab dan akhir malam Jumada." Lalu kaum muslim menya- 
rungkan pedang mereka ketika bulan Rajab masuk, dan Allah me- 
nurunkan firman-Nya mencela penduduk Mekah, yaitu: 



Cvvv t S (/ JL-J* 3 



^nrm^^^^^. 



394 Juz 2 — Al-Baqarah 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Ha- 
ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be- 
sar r (Al-Baqarah: 217) 

Yaitu tidak halal. Apa yang telah kalian lakukan, hai kaum musyrik, 
lebih besar daripada melakukan pembunuhan dalam bulan Haram, ka- 
rena kalian kafir kepada Allah dan menghalang-halangi Muhammad 
Saw. dan sahabat-sahabatnya. Mengusir ahli Masjidil Haram darinya 
ketika mereka mengusir Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya 
merupakan perbuatan yang lebih besar dosanya di sisi Allah daripada 
melakukan pembunuhan. 

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan mak- 
na firman-Nya: 

Mereka bertanya kepadamu tentang perang pada bulan Haram. 
Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." 
(Al-Baqarah: 217) 

Pada mulanya kaum musyrik menghalang-halangi Rasulullah Saw. 
(untuk sampai ke Masjidil Haram) dan menolaknya masuk, hal ini 
terjadi pada bulan Haram. Maka Allah memberikan kemenangan ke- 
pada Nabi-Nya pada bulan Haram, juga tahun berikutnya. Lalu orang- 
orang musyrik mencela Rasulullah Saw. karena melakukan perang 
dalam bulan Haram. Allah Swt. berfirman: 



s. \ 



14$ 



tetapi menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, kafir ke- 
pada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir 
penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. 
(Al-Baqarah: 217) 

Yakni daripada melakukan peperangan di dalam bulan Haram. 



Tafsir Ibnu Kasir 395 

Selanjutnya Nabi Muhammad Saw. mengirimkan suatu pasukan 
khusus, lalu mereka bersua dengan Amr ibnul Hadrami yang sedang 
dalam perjalanannya dari Taif pada akhir malam Jumada dan permu- 
laan malam bulan Rajab. Sedangkan sahabat Nabi Saw. menduga 
bahwa malam itu masih termasuk bulan Jumada, padahal malam ter- 
sebut merupakan permulaan malam bulan Rajab, tetapi mereka tidak 
menyadarinya. Maka Amr ibnul Hadrami terbunuh oleh seseorang da- 
ri pasukan khusus tersebut dan mereka merampas semua barang ba- 
waannya (sebagai ganimah). Lalu kaum musyrik mengirimkan utus- 
annya, mencela Nabi Saw. yang telah melakukan demikian (dalam 
bulan Haram). Maka Allah Swt. berfirman: 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Ha- 
ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be- 
sar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada 
Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir pen- 
duduknya dari sekitarnya.'''' (Al-Baqarah: 217) 

Yaitu mengusir ahli Masjidil Haram lebih besar dosanya daripada apa 
yang telah dilakukan oleh sahabat Nabi Saw., dan dosa yang lebih be- 
sar lagi daripada semuanya ialah mempersekutukan Tuhan. Demi- 
kianlah menurut riwayat Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ib- 
nu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan pasukan ra- 
hasia yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Jahsy dan terbunuhnya Amr 
ibnul Hadrami. 

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepa- 
daku Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu 
Abbas yang mengatakan bahwa firman berikut diturunkan berkenaan 
dengan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami dari peristiwa yang berkaitan 
dengannya, yaitu: 



Cviv 



• wo . 4&]&$s£to 1&2®& 



396 Juz 2 — Al-Baqarah 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Ha- 
ram. (Al-Baqarah: 217),hingga akhir ayat. 

Abdul Malik ibnu Hisyam (seorang perawi Sirah) meriwayatkan dari 
Ziyad ibnu Abdullah, dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar Al-Ma- 
dani di dalam Kitabus Sirah-nya, bahwa Rasulullah Saw. pernah 
mengutus Abdullah ibnu Jahsy ibnu Rabbab Al-Asadi dalam bulan 
Rajab, sekembalinya beliau dari Badar pertama. Beliau pun mengutus 
pula bersama Ibnu Jahsy delapan orang lainnya yang semuanya dari 
kalangan Muhajirin tanpa ada seorang Ansar pun untuk membantu- 
nya. Nabi Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy seraya berpe- 
san bahwa janganlah Ibnu Jahsy membuka surat tersebut sebelum 
berjalan selama dua hari. 

Ibnu Jahsy berangkat seperti apa yang diperintahkan kepadanya 
dan tidak memaksa seorang pun di antara teman-temannya untuk ikut 
bersamanya. Teman-teman Abdullah ibnu Jahsy dalam misi tersebut 
terdiri atas kalangan Muhajirin, mereka dari Bani Abdusy Syams ibnu 
Abdu Manaf, yaitu Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Ab- 
dusy Syams ibnu Abdu Manaf; teman sepakta mereka adalah Abdul- 
lah ibnu Jahsy yang menjadi pemimpin mereka. Lalu Ukasyah ibnu 
Mihsan (seorang dari kalangan Bani Asad ibnu Khuzaimah, teman se- 
pakta mereka), dan dari kalangan Bani Naufal ibnu Abdu Manaf ialah 
Atabah ibnu Gazwan ibnu Jabir, teman sepakta mereka. Dari kalang- 
an Bani Zuhrah ibnu Kilab ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas, dan dari Ba- 
ni Ka'b ialah Addi ibnu Amir ibnu Rabi'ah, teman sepakta mereka. 
Sedangkan dari luar kalangan mereka ialah Ibnu Wa-il dan Waqid ib- 
nu Abdullah ibnu Abdu Manaf ibnu Urs ibnu Sa'labah ibnu Yarbu', 
salah seorang dari kalangan Bani Tamim, teman sepakta mereka; juga 
Khalid ibnul Bukair (salah seorang dari Bani Sa'd ibnu Lais, teman 
sepakta mereka), sedangkan dari kalangan Banil Haris ibnu Fihr ialah 
Suhail ibnu Baida. 

Ketika Abdullah ibnu Jahsy telah berjalan selama dua hari, ia 
membuka surat tersebut, lalu ia membacanya. Ternyata di dalamnya 
berisikan kalimat berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 397 

Apabila kamu membaca suratku ini di tempat yang dimaksud, 
maka lanjutkanlah perjalananmu hingga kamu istirahat di 
Nakhlah yang terletak antara Mekah dan Ta-if untuk mengintai 
orang-orang Quraisy dan kamu sampaikan kepada kami berita 
tentang (gerak-gerik) mereka. 

Setelah isi surat itu dibaca oleh Abdullah ibnu Jahsy, ia berkata, "Ka- 
mi tunduk dan patuh." Kemudian ia berkata kepada teman-temannya, 
"Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepadaku un- 
tuk berangkat ke Nakhlah guna mengintai orang-orang Quraisy, lalu 
aku sampaikan beritanya kepada beliau Saw. Sesungguhnya Nabi 
Saw. melarangku memaksa seseorang dari kalian untuk ikut bersama- 
ku. Maka barang siapa yang ingin mati syahid di antara kalian dan 
menyukainya, hendaklah ia berangkat bersamaku. Barang siapa yang 
tidak suka, ia boleh kembali. Adapun saya sendiri akan terus berang- 
kat melaksanakan perintah Rasulullah Saw." 

Maka Ibnu Jahsy berangkat bersama teman-temannya, tiada se- 
orang pun di antara mereka yang tertinggal. Ibnu Jahsy menempuh ja- 
lan Pegunungan Hijaz. Ketika ia sampai di suatu tambang yang terle- 
tak di atas bukit yang dikenal dengan nama Najran, Sa'd ibnu Abu 
Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan kehilangan unta cadangannya, ma- 
ka keduanya tertinggal karena mencari unta tersebut. Sedangkan Ab- 
dullah ibnu Jahsy dan teman-temannya tetap melanjutkan perjalanan- 
nya hingga sampai di Nakhlah. 

Kemudian lewatlah kafilah orang-orang Quraisy membawa muat- 
an berupa minyak, lauk-pauk, dan barang dagangan milik mereka. 
Kafilah tersebut dikawal oleh Amr ibnul Hadrami (nama aslinya ialah 
Abdullah ibnu Abbad, salah seorang pengawal bayaran), Usman ibnu 
Abdullah ibnul Mugirah dan saudaranya (yaitu Naufal ibnu Abdul- 
lah), keduanya dari Bani Makhzum; juga Al-Hakam ibnu Kaisan 
maula Hisyam ibnul Mugirah. 

Ketika mereka melihat Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawan- 
nya yang sedang beristirahat di dekat tempat mereka, maka rasa takut 
merayap di dalam hati mereka. Selanjutnya Ukasyah ibnu Mihsan 



398 Juz 2 — Al-Baqarah 



menampakkan dirinya, yang saat itu Ukasyah telah mencukur rambut- 
nya. Ketika mereka melihatnya, mereka tidak memeranginya dan 
membiarkannya dalam keadaan aman, dan mereka mengatakan, 
"Ammar termasuk salah seorang dari kaum." 

Kemudian kaum (pasukan kaum muslim) bermusyawarah di an- 
tara sesama mereka mengenai langkah yang akan mereka lakukan ter- 
hadap kafilah Quraisy itu. Hal tersebut terjadi pada akhir bulan Rajab. 
Lalu kaum berkata, "Demi Allah, seandainya kita membiarkan mere- 
ka malam ini, niscaya mereka berada di dalam bulan Haram, dan me- 
reka akan selamat dari tangan kalian. Tetapi jika kalian memerangi 
mereka, berarti kalian berperang dengan mereka dalam bulan Ha- 
ram." 

Pasukan kaum muslim ragu-ragu dan enggan memerangi mereka, 
tetapi pada akhirnya mereka membulatkan tekad untuk memerangi 
kafilah Quraisy dan sepakat untuk membunuh orang-orang yang da- 
pat mereka kejar dari rombongan kafilah itu serta mengambil barang 
yang dibawanya. Kemudian Waqid ibnu Abdullah At-Tamimi mele- 
paskan anak panahnya ke arah Amr ibnul Hadrami dan tepat menge- 
nainya hingga ia mati, sedangkan Usman ibnu Abdullah dan Al-Ha- 
kam ibnu Kaisan mereka tawan. Di antara rombongan kafilah yang 
selamat ialah Naufal ibnu Abdullah, ia melarikan diri dan tidak dapat 
dikejar lagi oleh pasukan kaum muslim. 

Selanjutnya Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya kembali 
membawa kafilah tersebut dan dua orang tawanan, hingga datang ke- 
pada Rasulullah Saw. di Madinah. 

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa salah seorang keluarga 
Abdullah ibnu Jahsy ada yang menuturkan bahwa Abdullah berkata 
kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. mempunyai 
bagian dari ganimah yang kita hasilkan ini sebanyak seperlimanya." 
Demikian itu sebelum ada perintah dari Allah yang memfardukan se- 
perlimanya buat Rasulullah Saw. (yakni seperlima ganimah). Lalu se- 
perlima dari ganimah dipisahkan khusus buat Rasulullah Saw., se- 
dangkan sisanya dibagi-bagikan kepada pasukan kaum muslim yang 
ikut dalam misi tersebut, yaitu Abdullah ibnu Jahsy dan teman-teman- 
nya. 



Tafsir Ibnu Kasir 399 

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mereka datang 
di hadapan Rasulullah Saw., maka bersabdalah beliau Saw., "Aku ti- 
dak memerintahkan kalian melakukan perang dalam bulan Haram." 
Akhirnya kafilah itu dan kedua tawanan tersebut didiamkan dan 
beliau tidak berani mengambil sesuatu pun darinya. 

Ketika Rasulullah Saw. bersabda demikian, maka semua kaum 
yang terlibat merasa takut dan mereka menduga bahwa dirinya akan 
binasa, terlebih lagi saudara-saudara mereka dari kalangan kaum mus- 
lim lainnya ikut mengecam perbuatan mereka itu. 

Di lain pihak orang-orang Quraisy mengatakan bahwa Muham- 
mad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram, meng- 
alirkan darah, dan merampas harta benda serta menahan orang-orang 
dalam bulan tersebut. Lalu orang yang menjawab ucapan mereka (da- 
ri kalangan kaum muslim) yang ada di Mekah mengatakan, "Sesung- 
guhnya apa yang telah mereka lakukan itu hanya terjadi dalam bulan 
Sya'ban." 

Sedangkan pihak orang-orang Yahudi mengaitkan hal tersebut 
kepada Rasulullah Saw. dan bahwa Amr ibnul Hadrami dibunuh oleh 
Waqid ibnu Abdullah. Mereka mengemukakan ramalannya bahwa 
amr artinya ramai (yakni perang mulai ramai), sedangkan al-hadrami 
artinya perang telah tiba masanya, dan waqid artinya perang telah 
berkobar. Maka Allah membalikkan kenyataan tersebut menimpa diri 
orang-orang Yahudi, bukan orang-orang muslim. 

Tatkala peristiwa tersebut ramai dibicarakan oleh orang-orang, 
maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Rasulullah Saw., 
yaitu: 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Ha- 
ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be- 



400 Juz 2 — Al-Baqarah 

sar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada 
Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir pen- 
duduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. 
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." 
(Al-Baqarah: 217) 

Dengan kata lain, jika kalian melakukan peperangan dalam bulan Ha- 
ram, sesungguhnya mereka telah menghalang-halangi kalian dari jalan 
Allah karena kekufuran mereka kepada-Nya; mereka juga telah 
mengusir kalian dari Masjidil Haram dan menghalang-halangi kalian 
darinya, padahal kalian adalah penduduknya. 

1 - 1 T: "'d' 

lebih besar dosanya di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) 
Yaitu daripada kalian membunuh seseorang di antara mereka. 



Cv> 



.^o.^&sssys 



Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. 
(Al-Baqarah: 217) 

Yakni sebelum itu mereka telah memfitnah orang muslim dalam aga- 
manya agar mereka mengembalikannya kepada kekufuran sesudah ia 
beriman. Perbuatan tersebut jauh lebih besar dosanya menurut Allah 
daripada membunuh. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman 
berikutnya: 

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka 
(dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada keka- 
firan), seandainya mereka sanggup. (Al-Baqarah: 217) 

Kemudian mereka tetap melakukan hal tersebut, bahkan yang lebih 
kotor dan lebih besar lagi tanpa henti-hentinya dan tanpa merasa je- 
nuh. 



Tafsir Ibnu Kasir 401 

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Al-Qur'an menurunkan ke- 
terangan ini, maka legalah hati kaum muslim, dan kini mereka merasa 
terbebas dari apa yang selama ini mengungkung hati mereka. Akhir- 
nya Rasulullah Saw. menerima ganimah kafilah itu berikut kedua ta- 
wanannya. 

Selanjutnya orang-orang Quraisy mengirimkan sejumlah harta 
kepada Nabi Saw. untuk menebus Usman ibnu Abdullah dan Al-Ha- 
kam ibnu Kaisan. Tetapi Rasulullah Saw. menjawab: 

Kami tidak mau menerima tebusan kedua orang ini dari kalian 
sebelum kedua sahabat kami datang (dengan selamat) . 

Yang dimaksud dengan kedua sahabat itu adalah Sa'd ibnu Abu Waq- 
qas dan Atabah ibnu Gazwan. Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: 

Karena sesungguhnya kami merasa khawatir kalian berbuat apa- 
apa terhadap kedua sahabatku itu. Jika kalian membunuh kedua- 
nya, maka kami akan membunuh kedua teman kalian ini. 

Ternyata Sa'd dan Atabah datang dengan selamat, maka Rasulullah 
Saw. baru mau menerima tebusan kedua tawanan itu dari mereka. 

Adapun Al-Hakam ibnu Kaisan, ia masuk Islam dan berbuat baik 
dalam masa Islamnya. Ia berada di dekat Rasulullah Saw. hingga gu- 
gur sebagai syahid dalam Perang Bi-r Ma'unah. Sedangkan Usman 
ibnu Abdullah bergabung di Mekah dan mati dalam keadaan kafir di 
Mckah. 

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah Abdullah ibnu 
Jahsy dan kawan-kawannya merasa lega dari apa yang selama itu 
mengungkungnya berkat adanya keterangan dari Al-Qur'an yang baru 
diturunkan, maka mereka merasa kehausan akan pahala, lalu mereka 
berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan agar kami 
maju berperang lagi, karena kami menginginkan perolehan. pahala 
orang-orang yang berjihad?" Maka Allah Swt. menurunkan firman- 
Nya: 



402 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang 
berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan 
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penya- 
yang. (Al-Baqarah: 218) 

Akhirnya Allah Swt. memenuhi keinginan mereka dengan pemenuhan 
yang memuaskan. 

lbnu Ishaq mengatakan bahwa hadis mengenai hal ini dari Az- 
Zuhri dan Yazid ibnu Rauman, dari Urwah. Yunus ibnu Bukair meri- 
wayatkan hal yang hampir sama konteksnya dengan hadis ini, dari 
Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Rauman, dari Urwah ibnuz 
Zubair. Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan pula hal yang semisal 
dari Az-Zuhri sendiri. 

Syu'aib ibnu Abu Hamzah meriwayatkannya dari Az-Zuliri, dari 
Urwah ibnuz Zubair hal yang semisal dengan hadis ini, tetapi di da- 
lamnya disebutkan bahwa Ibnul Hadrami merupakan korban pertama 
dalam perang yang terjadi antara kaum muslim dan kaum musyrik. 
Kemudian sejumlah orang kafir Quraisy sebagai utusan mereka, me- 
macu kendaraannya menuju Madinah, hingga tibalah mereka di ha- 
dapan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Apakah dihalalkan me- 
lakukan peperangan dalam bulan Haram?" Maka Allah Swt. menu- 
runkan firman-Nya: 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Ha- 
ram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. 

Hal ini telah diteliti oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam ki- 
tab Dalailun Nubuwwah-nya. 

Kemudian Ibnu Hisyam mengatakan darrZiyad, dari Ibnu Ishaq, 
bahwa salah seorang keluarga Ibnu Jahsy menceritakan bahwa harta 



Tafsir Ibnu Kasir 403 

fai' dibagi-bagikan di antara keluarganya, empat perlimanya diberikan 
kepada orang-orang yang terlibat dalam perang tersebut, sedangkan 
yang seperlimanya dikhususkan buat Allah dan Rasul-Nya. Maka ke- 
tentuan tersebut tetap berlaku seperti apa yang telah dilakukan oleh 
Abdullah ibnu Jahsy terhadap kafilah tersebut. 

Ibnu Hisyam mengatakan bahwa kafilah tersebut merupakan har- 
ta ganimah yang mula-mula didapat oleh kaum muslim, dan Amr ib- 
nul Hadrami adalah orang yang mula-mula terbunuh oleh kaum mus- 
lim, sedangkan Usman ibnu Abdullah serta Al-Hakam ibnu Kaisan 
merupakan orang yang mula-mula ditawan oleh kaum muslim. 

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah peristiwa perang yang di- 
alami oleh Abdullah ibnu Jahsy tersebut, sahabat Abu Bakar meng- 
ucapan syair berikut. Tetapi menurut pendapat lain, yang mengatakannya 
justru Abdullah ibnu Jahsy sendiri. Yaitu ketika orang-orang Quraisy 
mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah 
menghalalkan bulan Haram. Maka mereka mengalirkan darah padanya, 
merampas harta, dan menahan orang-orang." 

Ibnu Hisyam mengatakan bahwa bait-bait berikut adalah milik 
Abdullah ibnu Jahsy sendiri, yaitu: 

Kalian menganggap pembunuhan dalam bulan Haram merupa- 
kan dosa besar, padahal ada yang lebih besar lagi dosanya dari- 



9 



404 Juz 2 — Al-Baqarah 



pada itu sekiranya orang yang berakal mau menggunakan pikir- 
annya. Yaitu kalian telah menghalang-halangi apa yang dika- 
takan oleh Muhammad dan ingkar kepadanya, Allah melihat dan 
menyaksikan hal itu. Dan kalian telah mengusir penduduk Mas- 
jidil Haram dari tempat tinggalnya agar tidak terlihat lagi di ru- 
mah-Nya orang yang bersujud (kepada-Nya). Dan sesungguhnya 
kami —sekalipun kalian mencela kami karena telah membunuh- 
nya (Ibnul Hadrami) — hanyalah untuk menghajar orang yang 
kelewat batas dan orang yang dengki terhadap Islam. Kami telah 
membasahi tombak kami dengan darah Ibnul Hadrami di 
Nakhlah, yaitu ketika Waqid menyalakan peperangan. Dan Ibnu 
Abdullah —yaitu Vsman— berada di antara kami dalam keada- 
an terbelenggu oleh rantai akan dikembalikan. 

Al-Baqarah, ayat 219-220 



m^\$^&&&j\^Q0&£% 






:g$S2&& 



Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, 
"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat 
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada man- 
faatnya" Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka naf- 
kahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah 



Tafsir Ibnu Kasir 405 

Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian 
berpikir, tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepa- 
damu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan me- 
reka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan 
mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah menge- 
tahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan per- 
baikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat men- 
datangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha- 
perkasa lagi Mahabijaksana." 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf 
ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, 
dari Abu Maisarah, dari Umar yang menceritakan hadis berikut: 

Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan, Umar ber- 
kata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan 
penjelasan yang memuaskan." Maka turunlah firman-Nya: 



Cm> vlJO 



/&M&Fs&&&*&>. 



Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, 
"Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219) 

Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat ini. Maka ia me- 
ngatakan, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini de- 
ngan penjelasan yang memuaskan." Kemudian turunlah ayat yang ada 
di dalam surat An-Nisa, yaitu: 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati 
salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43) 

Tersebutlah bahwa juru azan Rasulullah Saw. apabila mendirikan sa- 
lat selalu menyerukan, "Orang yang mabuk tidak boleh mendekati sa- 
lat!" Kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat 
tersebut. Maka Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan ten- 
tang khamr ini dengan penjelasan yang lebih memuaskan lagi." Lalu 



406 Juz 2 — Al-Baqarah 

turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah. Ketika bacaan ayat 
sampai pada firman-Nya: 






maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al- 
Maidah: 91) 

maka Umar berkata, "Kami telah berhenti, kami telah berhenti." 

Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, 
dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Israil, dari Abu Ishaq. 
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ib- 
nu Murdawaih melalui jalur As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Abu Mai- 
sarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil AI-Hamdani Al- 
Kufi, dari Umar. Amr ibnu Syurahbil tidak mempunyai hadis lain 
yang dari Umar selain hadis ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abu 
Zar'ah disebutkan bahwa Amr ibnu Syurahbil belum pernah mende- 
ngar dari Umar. 

Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadis ini baik lagi sa- 
hih, dinilai sahih oleh Imam Turmu2i, sedangkan dalam riwayat Ibnu 
Abu Hatim disebutkan sesudah perkataan Umar, "Kami telah berhen- 
ti," yaitu "Sesungguhnya khamr itu melenyapkan harta dan menghi- 
langkan akal." 

Hadis ini diketengahkan lagi beserta hadis lain yang diriwayatkan 
oleh Imam Ahmad melalui jalur Abu Hurairah pada tafsir firman-Nya 
dalam surat Al-Maidah, yaitu: 

Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) 
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, 
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan 
itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90) 



Tafsir Ibnu Kasir 407 

Firman Allah Swt.: 

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al-Ba- 
qarah: 219) 

Definisi khamr ialah seperti apa yang dikatakan oleh Amirul Mu-mi- 
nin Umar ibnul Khattab, yaitu segala sesuatu yang menutupi akal 
(memabukkan), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir 
surat Al-Maidah. Demikian pula maisir, yakni judi. 
Firman Allah Swt.: 

Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan bebe- 
rapa manfaat bagi manusia.'''' (Al-Baqarah: 219) 

Adapun mengenai dosa kedua perbuatan tersebut berdasarkan peratur- 
an agama, sedangkan manfaat keduniawiannya jika dipandang se- 
bagai suatu manfaat. Maka manfaatnya terhadap tubuh ialah mencer- 
nakan makanan, mengeluarkan angin, dan mengumpulkan sebagian 
lemak serta rasa mabuk yang memusingkan, seperti apa yang dikata- 
kan oleh Hassan ibnu Sabit dalam masa Jahiliah: 

Kami meminumnya (khamr) dan khamr membuat kami bagaikan 
raja-raja dan juga bagaikan harimau yang tidak kuat perang 
(yakni menjadi pemberani). 

Termasuk manfaatnya pula memperjualbelikannya dan memanfaatkan 
hasilnya. Sedangkan manfaat judi ialah kemenangan yang dihasilkan 
oleh sebagian orang yang terlibat di dalamnya, maka dari hasil itu ia 
dapat membelanjakannya buat dirinya sendiri dan keluarganya. 

Akan tetapi, manfaat dan maslahat tersebut tidaklah sebanding 
dengan mudarat dan kerusakannya yang jauh lebih besar daripada 



4Qg Juz 2 — Al-Baqarah 

manfaatnya, karena kerusakannya berkaitan dengan akal dan agama, 
seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 

tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (Al-Ba- 
qarah: 219) 

Karena itu, ayat ini merupakan pendahuluan dari pengharaman khamr 
yang pasti. Di dalam ayat ini pengharaman tidak disebutkan dengan 
tegas, melainkan dengan cara sindiran. Karena itulah maka Umar ib- 
nul Khattab r.a. ketika dibacakan ayat ini kepadanya mengatakan: 

Ya Allah, berikanlah kami penjelasan tentang khamr ini dengan 
penjelasan yang memuaskan. 

Setelah itu barulah turun ayat yang mengharamkannya di dalam surat 
Al-Maidah, yaitu firman-Nya: 



C** - i- 1 



Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) 
khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib de- 
ngan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. 
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat 
keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak me- 
nimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran 
(meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari 



Tafsir Ibnu Kasir 409 

mengingati Allah dan salat; maka berhentilah kalian (dari me- 
ngerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91) 

Dalam tafsir surat Al-Maidah nanti, masalah ini akan diterangkan de- 
ngan keterangan yang rinci. 

Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, 
dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sesungguhnya 
ayat ini merupakan permulaan ayat yang menerangkan pengharaman 
khamr, yaitu firman-Nya: 



C v>* i^S—Jo 



.&^y*&&&®&* 



Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, 
"Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219) 

Kemudian turun pula ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, sesudah 
itu turun ayat yang terdapat di dalam surat Al-Maidah yang mengha- 
ramkan khamr secara tegas. 
Firman Allah Swt.: 

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka najkahkan. 
Katakanlah, "Yang lebih dan keperluan"" (Al-Baqarah: 219) 

Lafaz al-'ajwa dapat pula dibaca al-'afwu, keduanya baik dan berde- 
katan pengertiannya. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah 
menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami 
Yahya, telah sampai suatu hadis kepadanya bahwa sahabat Mu'az ib- 
nu Jabal dan Sa'labah datang menghadap Rasulullah Saw., lalu ke- 
duanya bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai 
banyak budak dan keluarganya yang semuanya itu termasuk harta 
kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



Cv^Jo^ilJO • jJaaJL*' 



.*Mft4iBJ&$i 



410 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka najkahkan. 
(Al-Baqarah: 219) 

Al-Hakam mengatakan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan de- 
ngan makna firman-Nya: 



Cv^a S1J 



, .5LdljJ^L^iSU£b^5 



Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. 
Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) 

Yakni lebihan dari nafkah yang diperlukan. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari. Ibnu Umar, Mujahid, Ata, 
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qata- 
dah, Al-Qasim, Salim, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas 
serta lain-lainnya. Disebutkan bahwa mereka mengatakan sehubungan 
dengan makna firman-Nya: 



cni'-^jo. ^L_«JIJS 



Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) 

Lafaz al-'afwa di sini artinya al-fadla atau lebihan (sisa dari yang di- 
perlukan). 

Telah diriwayatkan dari Tawus bahwa makna yang dimaksud 
ialah segala sesuatu yang mudah. 

Dari Ar-Rabi' disebutkan pula bahwa makna yang dimaksud 
ialah hartamu yang paling utama dan paling baik. Akan tetapi, semua 
pendapat merujuk kepada pengertian lebihan dari apa yang diperlu- 
kan. 

Abdu ibnu Humaid mengatakan dalam kitab tafsirnya, telah men- 
ceritakan kepada kami Hauzah ibnu Khalifah, dari Auf, dari Al-Hasan 
sehubungan dengan ayat berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 41 1 

Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Ka- 
takanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) 

Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-'afwa ialah ja- 
ngan sampai nafkah itu memberatkan hartamu yang akhirnya kamu ti- 
dak punya apa-apa lagi dan meminta-minta kepada orang lain. Pe- 
ngertian ini ditunjukkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ib- 
nu Jarir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah 
menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ibnu Ajian, dari Al-Maq- 
bari, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan: 






Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku 
mempunyai uang dinar." Nabi Saw. menjawab, "Belanjakanlah 
buat dirimu sendiri." Lelaki itu berkata, "Aku masih memiliki 
yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat keluar- 
gamu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lain- 
nya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat anakmu." Lelaki 
itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. 
menjawab, "Kamu lebih mengetahui." 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahih- 
nya, dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui Jabir r.a., bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki: 



412 ^ uz 2 — Al-Baqarah 



)<9, 






Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuknya; jika 
ada lebihannya, maka buat keluarga (istri)ww. Dan jika masih 
ada lebihannya lagi setelah istrimu, maka berikanlah kepada 
kaum kerabatmu; dan jika masih ada lebihan lagi setelah kaum 
kerabatmu, maka berikanlah kepada ini dan itu. 

Menurut Imam Muslim pula, disebutkan dari Abu Hurairah r.a., bah- 
wa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan setelah berkecukupan; 
tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah 
(penerima). Dan mulailah dengan orang yang berada dalam 
tanggunganmu. 



Di dalam sebuah hadis lain disebutkan pula: 

Hai anak Adam, sesungguhnya jikalau kamu memberikan lebihan 
dari yang diperlukan adalah lebih baik bagimu; dan jika kamu 
memegangnya, maka hal itu buruk bagimu, dan kamu tidak akan 
dicela karena tidak mempunyai sesuatu yang bersisa. 

Ak#n tetapi, menurut pendapat yang lain ayat ini di-mansukh oleh 
ayat zakat, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, Al- 
Aufi, dan Ibnu Abbas; juga yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani. 
Menurut pendapat yang lainnya lagi, ayat ini diperjelas pengertiannya 
oleh ayat zakat, menurut Mujahid dan lain-lainnya. Pendapat yang 
terakhir ini lebih terarah (kuat). 



Tafsir Ibnu Kasir 413 



Firman Allah Swt.: 

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayai-Nya kepada kalian 
supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 
219-220) 

Yakni sebagaimana Allah menguraikan hukum-hukum ini kepada ka- 
lian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat lainnya kepada kalian, 
baik mengenai hukum-hukum, janji, maupun ancaman-Nya, supaya 
kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. 

Dari Ibnu Abbas, Ali ibnu Abu Talhah mengatakan bahwa yang 
dimaksud adalah dunia dengan kefanaannya dan menyongsong akhi- 
rat dengan kekebalannya. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta- 
nafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Assa'q At- 
Tamimi yang telah mengatakan, aku telah menyaksikan Al-Hasan dan 
ia membaca ayat berikut: 



O y -- viijo^i:) 



m^n-sj^-^m 



Supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 
219-220) 

Demi Allah, ayat ini bagi orang-orang yang merenungi makna yang 
terkandung di dalamnya, niscaya ia akan mengetahui bahwa dunia ini 
adalah negeri cobaan, kemudian fana; dan agar ia mengetahui bahwa 
akhirat itu negeri pembalasan dan negeri yang kekal abadi. 

Qatadah dan Ibnu Juraij serta selain keduanya mengatakan demi- 
kian. 

Abdurrazaq —dari Ma'mar, dari Qatadah — mengatakan, "Agar 
kalian mengutamakan negeri akhirat daripada dunia." Dan menurut 
suatu riwayat dari Qatadah dikatakan, "Maka utamakanlah negeri akhi- 
rat daripada dunia " 



414 Juz 2 — Al-Baqarah 



Firman Allah Swt. 




Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakan- 
lah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan ji- 
ka kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara 
kalian; dan Allah mengetahui siapa yang berbuat kerusakan dari 
yang mengadakan perbaikan. Jikalau Allah menghendaki, nis- 
caya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian." (Al-Ba- 
qarah: 220), hingga akhir ayat. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu 
Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata ibnus Sa-ib, 
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan 
dengan makna firman-Nya: 



0»v 



Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan 
cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152) 

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim se- 
cara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut- 
nya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala 
(neraka). (An-Nisa: 10) 

Maka orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makan- 
annya dengan makanan anak yatim. Begitu, pula minumannya, ia pi- 
sahkan antara milik sendiri dan milik anak yatim. Akhirnya banyak 



Tafsir Ibnu Kasir 415 

lebihan makanan yang tak sempat dimakan, maka sisa tersebut ia 
simpan untuk dimakan di lain waktu atau makanan itu menjadi basi. 
Hal tersebut terasa amat berat atas diri mereka yang mempunyai 
anak-anak yatim, lalu mereka menceritakan perihalnya kepada Ra- 
sulullah Saw. Maka turunlah firman-Nya: 

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakan- 
lah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan ji- 
ka kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara 
kalian." (Al-Baqarah: 220) 

Akhirnya mereka berani mencampurkan makanan mereka dengan ma- 
kanan anak-anak yatim mereka, begitu pula minumannya. 

Demikianlah menurut riwayat Abu Daud, Nasai, Ibnu Abu Ha- 
tim, Ibnu Murdawaih, dan Al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya 
melalui berbagai jalur dari Ata ibnus Sa-ib dengan lafaz yang sama. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ali ibnu Abu Talhah dari 
Ibnu Abbas r.a. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Saddi, dari Abu Malik, 
dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamdani, dari 
Ibnu Mas'ud r.a. dengan lafaz yang semisal. 

Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang 
perawi saja mengenai asbabun nuzul ayat ini, antara lain seperti Mu- 
jahid, Ata, Asy-Sya'bi, Ibnu Abu Laila, dan Qatadah; bukan pula ha- 
nya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf. 

Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Hisyam (murid Ad-Dustiwa-i), dari Hammad, dari Ibrahim yang telah 
mengatakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan, "Sesungguh- 
nya aku tidak suka bila harta anak yatim yang ada dalam pemelihara- 
anku dipisahkan secara menyendiri, melainkan aku mencampurkan 
makanannya dengan makananku dan minumannya dengan minum- 
anku." 

Firman Allah Swt.: 






416 Juz 2 — Al-Baqarah 

Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah 
baik." (Al-Baqarah: 220) 

Makna yang dimaksud ialah memisahkannya secara menyendiri. 

Dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah 
saudara kalian. (Al-Baqarah: 220) 

Artinya, bila kamu mencampurkan makananmu dengan makanan me- 
reka, begitu pula minumanmu dengan minuman mereka, tidaklah me- 
ngapa kamu melakukannya, sebab mereka adalah saudara-saudara se- 
agama kalian. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: 

Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang 
mengadakan perbaikan. (Al-Baqarah: 220) 

Yakni Allah mengetahui tujuan dan niat yang sebenarnya, apakah 
hendak membuat kerusakan atau perbaikan. 
Firman-Nya: 

Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatang- 
kan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa 
lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 220) 

Yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan mempersulit 
kalian dan mempersempit kalian. Tetapi ternyata Dia meluaskan ka- 
lian dan meringankan beban kalian, serta memperbolehkan kalian ber- 
gaul dan bercampur dengan mereka (anak-anak yatim) dengan cara 
yang lebih baik. 

Allah Swt. telah berfirman: 



Tafsir Ibnu Kasir 417 

Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan 
cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152) 

Bahkan Allah memperbolehkan bagi orang yang miskin memakan se- 
bagian dari harta anak yatim dengan cara yang makruf, yaitu adakala- 
nya dengan jaminan akan menggantinya bagi orang yang mudah un- 
tuk menggantinya atau secara gratis. Seperti yang akan dijelaskan ke- 
terangannya dalam tafsir surat An-Nisa nanti. 

Al-Baqarah, ayat 221 

Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum 
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih 
baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. 
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan 
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya 
budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walau- 
pun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan 
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan 
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepa- 
da manusia supaya mereka mengambil pelajaran. 

Melalui ayat ini Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin me- 
nikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. 
Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti terma- 
suk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan waSani- 



418 Juz 2 — Al-Baqarah 

yah. Akan tetapi, dikecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab 
oleh firman-Nya: 

■c 






(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehor- 
matan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kali- 
an, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan mak- 
sud menikahinya, tidak dengan maksud berzina. (Al-Maidah: 5) 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan de- 
ngan makna firman-Nya: 

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum me- 
reka beriman. (Al-Baqarah: 221) 

Bahwa Allah mengecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab. 

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu 
Jubair, Mak-hul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' 
ibnu Anas, dan lain-lainnya. 

Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini 
adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan 
bukan Ahli Kitab secara keseluruhan. Makna pendapat ini berdekatan 
dengan pendapat yang pertama tadi. 

Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, 
yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Iyas 
Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceri- 
takan kepadaku Abdul Hamid ibnu Banram Al-Fazzari, telah mence- 
ritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa ia 
pernah mendengar Abdullah ibnu Abbas mengatakan hadis berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 419 



Rasulullah Saw. telah melarang menikahi berbagai macam wa- 
nita kecuali wanita-wanita yang mukmin dari kalangan Muhaji- 
rin dan mengharamkan pula mengawini wanita beragama selain 
Islam. 

Allah Swt. telah berfirman: 

Barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amal- 
annya. (Al-Maidah: 5) 

Talhah ibnu Abdullah pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, 
dan Huzaifah ibnul Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Nas- 
rani, maka Khalifah Umar ibnul Khattab marah sekali mendengarnya 
hingga hampir-hampir dia menghajar keduanya. Tetapi keduanya me- 
ngatakan, "Wahai Amirul Mu-minin, janganlah engkau marah, kami 
akan menceraikannya." Khalifah Umar menjawab, "Kalau boleh di- 
talak, berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka dari 
kalian secara hina dina." 

Hadis di atas berpredikat garib jiddan (aneh sekali), demikian 
pula asar yang dari Umar ibnul Khattab r.a. 

Abu Ja'far ibnu Jarir sesudah meriwayatkan perihal adanya kese- 
pakatan boleh menikahi wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa se- 
sungguhnya Khalifah Umar hanyalah tidak menyukai perkawinan se- 
perti itu dengan maksud agar kaum muslim tidak enggan menikahi 
wanita-wanita muslimah, atau karena alasan lainnya. Seperti yang te- 
lah diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib, telah menceritakan ke- 
pada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu 
Bahram, dari Syaqiq yang menceritakan bahwa Huzaifah mengawini 
seorang wanita Yahudi, lalu Umar r.a. berkirim surat kepadanya yang 
isinya mengatakan, "Lepaskanlah dia." Lalu Huzaifah membalas su- 
ratnya, "Apakah engkau menduga bahwa kawin dengan dia haram 
hingga aku harus melepaskannya?" Umar mengatakan, "Aku tidak 



420 Juz 2 — Al-Baqarah 

menduganya haram dikawin, melainkan aku merasa khawatir kalian 
enggan menikahi wanita-wanita mukmin karena mereka (wanita-wa- 
nita Ahli Kitab)." Sanad asar ini sahih. 

Al-Khalal meriwayatkan hal yang semisal dari Muhammad ibnu 
Ismail, dari Waki', dari As-Silt. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu 
Abdur Rahman Al-Masruq, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'd, 
dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Zaid ibnu Wahb yang menceritakan 
bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah mengatakan: 



Lelaki muslim boleh mengawini wanita Nasrani, tetapi lelaki 
Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah. 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa asar ini lebih sahih sanadnya daripada 
yang pertama tadi. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Tamim 
ibnul Muntasir, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraqi, dari 
Syarik, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdul- 
lah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Kami boleh mengawini wanita-wanita Ahli Kitab, tetapi mereka 
tidak boleh mengawini wanita-wanita kami. 

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa hadis ini sekalipun dalam sa- 
nadnya terdapat sesuatu, tetapi semua umat sepakat akan hal tersebut. 
Demikianlah pendapat Ibnu Jarir. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami 
Waki', dari Ja'far ibnu Barqan, dari Maimun ibnu Mihran, dari Ibnu 
Umar, bahwa ia menghukumi makruh mengawini wanita Ahli Kitab 
atas dasar takwil firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 421 



•%V'J^»<!^& 



Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum me- 
reka beriman. (Al-Baqarah: 221) 

Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Aku 
belum pernah mengetahui perbuatan syirik yang lebih besar daripada 
perkataan wanita Ahli Kitab, bahwa tuhannya adalah Isa." 

Abu Bakar Al-Khalal Al-Hambali mengatakan, telah mencerita- 
kan kepada kami Muhammad ibnu Harun, telah menceritakan kepada 
kami Ishaq ibnu Ibrahim. Dan telah menceritakan kepadaku Muham- 
mad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Ahmad, 
bahwa keduanya pernah bertanya kepada Abu Abdul lah Ahmad ibnu 
Hambal mengenai makna firman-Nya: 

& < V l' *Y VW&<\' 

' -v 

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum me- 
reka beriman. (Al-Baqarah: 221) 

Bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita musyrik ialah mereka 
yang menyembah berhala. 
Firman Allah Swt.: 

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang 
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221) 

As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan 
Abdullah ibnu Rawwahah. Dia mempunyai seorang budak wanita hi- 
tam, lalu di suatu hari ia marah kepadanya, kemudian menamparnya. 
Setelah itu ia merasa menyesal, lalu ia datang kepada Rasulullah Saw. 
dan menceritakan kepadanya peristiwa yang telah dialaminya itu. Ra- 
sulullah Saw. bertanya kepadanya, "Bagaimanakah perilakunya?" Ab- 
dullah ibnu Rawwahah menjawab, "Dia puasa, salat, melakukan wu- 
du dengan baik, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan 



422 Juz 2 — Al-Baqarah 

engkau adalah utusan Allah." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai 
Abu Abdullah, kalau demikian dia adalah wanita yang beriman." 

Abdullah ibnu Rawwahah lalu berkata, "Demi Tuhan yang telah 
mengutusmu dengan hak, aku benar-benar akan memerdekakannya, 
lalu akan aku nikahi." Abdullah ibnu Rawwahah melakukan apa yang 
telah dikatakannya itu. Lalu ada sejumlah kaum muslim yang meng- 
ejeknya dan mengatakan bahwa dia telah mengawini budak pe- 
rempuannya. 

Mereka bermaksud akan menikahkan budak-budak wanita me- 
reka kepada orang-orang musyrik karena faktor ingin mengambil ke- 
turunan dan kedudukannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

\ ' — ~" — >• w'' .» ^-_y j 

Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik daripa- 
da wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 
221) 






* *?*< 9 



Sesungguhnya budak lelaki yang mukmin lebih baik daripada 
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221) 

Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ja'far ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu 
Ziyad Al-Afriqi, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Umar, 
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 



Janganlah kamu mengawini wanita karena kecantikannya, kare- 
na barangkali kecantikannya akan menjerumuskan mereka. Dan 



Tafsir Ibnu Kasir 423 

janganlah kamu nikahi wanita karena harta bendanya, karena 
barangkali harta bendanya itu membuatnya kelewat batas. Tetapi 
nikahilah karena agamanya, sesungguhnya budak wanita hitam 
lagi tidak cantik tetapi beragama adalah lebih utama. 

Akan tetapi, Al-Afriqi orangnya daif. 

Disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Hurairah r.a., dari 
Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena harta- 
nya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena 
agamanya; maka pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya 
kamu akan beruntung. 

Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Jabir r.a., hal yang semisal. 
Imam Muslim meriwayatkan pula melalui Ibnu Umar r.a., bahwa Ra- 
sulullah Saw. pernah bersabda: 

Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia 
ialah (mempunyai) istri yang saleh. 



Firman Allah Swt. 



* < V l «' 



Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan 
wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 
221) 

Artinya, janganlah kalian mengawinkan wanita yang beriman dengan 
lelaki yang musyrik. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya: 



424 Juz 2 — Al-Baqarah 



O-'Al^b 



***$&$&# 



Mereka (wanita-wanita yang beriman) tiada halal bagi orang- 
orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi 
mereka. (Al-Mumtahanah: 10) 

Adapun firman Allah Swt.: 

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang 
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221) 

Dengan kata lain, seorang lelaki mukmin — sekalipun sebagai budak 
yang berkulit hitam (Habsyi) — adalah lebih baik daripada orang 
musyrik, sekalipun ia sebagai pemimpin lagi orang yang kaya. 

., ., ..tf/ 

Cvv\ 



V^o. j\ll\d$£A&$& 



Mereka mengajak ke neraka. (Al-Baqarah: 221) 

Yakni bergaul dan berjodoh dengan mereka membangkitkan cinta ke- 
pada keduniawian dan gemar mengumpulkannya serta mementingkan 
duniawi di atas segalanya dan melupakan perkara akhirat. Hal terse- 
but akibatnya akan sangat mengecewakan. 



Cvv\! S^LJO 



. &6#!»£&ifr$»& 



sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izi-n- 
Nya. (Al-Baqarah: 221) 

Yang dimaksud dengan bi iznihi ialah dengan syariat-Nya dan perin- 
tah serta larangan-Nya. 



£ V** laJL^"} 






Tafsir Ibnu Kasir 425 

Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) 
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Ba- 
qarah: 221) 

Al-Baqarah, ayat 222-223 

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu 
adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian men- 
jauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian 
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah 
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan 
Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang 
yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. 
Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang 
baik) untuk diri kalian, dan bertakwalah kepada Allah dan 
ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah 
kabar gembira orang-orang yang beriman. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur 
Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu 
Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila 
ada seorang wanita dari mereka mengalami haid, maka mereka tidak 



426 J uz 2 — Al-Baqarah 

mau makan bersamanya, tidak mau pula serumah dengan mereka. Ke- 
tika sahabat Nabi Saw. menanyakan masalah ini kepadanya, maka 
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu 
adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian men- 
jauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian 
mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222), 
hingga akhir ayat. 

Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: 

Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) 
kecuali nikah (bersetubuh). 

Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka me- 
reka mengatakan, "Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksud- 
nya Nabi Saw.), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan 
kami, melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya." 

Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, 
lalu keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang 
Yahudi mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh 
dengan mereka (wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu 
roman muka Rasulullah Saw. berubah hingga kami menduga bahwa 
beliau sangat marah terhadap Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya 
pulang, dan mereka berpapasan dengan hadiah yang akan diberikan 
kepada Rasulullah Saw. berupa air susu. Maka Rasulullah Saw. me- 
manggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika keduanya sampai 
di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya minum dari air 
susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw. tidak 
marah terhadapnya. 



Tafsir Ibnu Kasir 427 

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Ham- 
mad ibnu Zaid ibnu Salamah. 
Firman Allah Swt.: 

Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di 
waktu haid. (Al-Baqarah: 222) 

Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda 
Rasulullah Saw. yang mengatakan: 






Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (ber- 
setubuh). 

Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa 
boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan. 

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari 
Ayyub, dari Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.: 

Bahwa Nabi Saw. apabila menginginkan sesuatu dari istrinya 
yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya 
dengan kain. 

Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu 
Umar ibnu Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Ima- 
rah ibnu Garrab, bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan 
kepadanya hadis berikut: 

Bahwa ia pernah bertanya kepada Ski Aisyah r.a., "Salah seorang 
dari kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mem- 
punyai ranjang kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah menga> 



428 Juz 2 — Al-Baqarah 

takan, "Aku akan menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah 
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Pada suatu hari Rasulullah Saw. ma- 
suk ke dalam rumahku (menggilirnya), lalu beliau keluar ke musala- 
nya (masjid yang ada di dalam rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke ma- 
na-mana hingga mataku terasa mengantuk, dan ternyata Nabi Saw. 
merasa kedinginan, lalu ia berkata, 'Mendekatlah kepadaku!' Aku 
menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw. bersabda, 'Bukalah kedua 
pahamu.' Maka aku membuka kedua pahaku, lalu beliau meletakkan 
pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku mendekapnya hingga 
ia merasa hangat dan tidur'." 

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada ka- 
mi Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, 
telah menceritakan kepada kami Ayyubj dari catatan Abu Qilabah 
yang menceritakan hadis berikut: 



Bahwa Masruq memacu untanya menuju rumah Siti Aisyah, lalu 
ia berkata, "Semoga keselamatan terlimpah kepada Nabi dan ke- 
luarganya- Maka Siti Aisyah berkata, "Selamat datang, selamat 
datang."'' Mereka memberi izin kepadanya untuk menemui Siti 
Aisyah. Lalu Masruq masuk dan bertanya, "Sesungguhnya aku 
hendak menanyakan kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku 
malu mengutarakannya." Siti Aisyah menjawab, "Sesungguhnya 
aku adalah ibumu dan kamu adalah anakku." Masruq berkata, 
"Apakah yang boleh dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istri- 
nya yang sedang haid?" Siti Aisyah menjawabnya, "Segala se- 
suatu kecuali persetubuhan. " 



Tafsir Ibnu Kasir 429 

Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Humaid ibnu Mus'adah, dari Yazid 
ibnu Zurai', dari Uyaynah ibnu Abdurrahman ibnu Jusyan, dari Mar- 
wan Al-Asfar, dari Masruq yang mengatakan, "Aku bertanya kepada 
Siti Aisyah, apakah yang dihalalkan bagi seorang lelaki terhadap istri- 
nya apabila ia sedang haid?" Siti Aisyah menjawab, "Segala sesuatu 
kecuali persetubuhan." 

Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Mujahid, 
Al-Hasan, dan Ikrimah. 

Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Ibnu Abuz 
Zaidah, dari Hajyaj, dari Maimun ibnu Mihran, dari Siti Aisyah r.a. 
yang pernah mengatakan kepadanya, "(Kamu boleh melakukan segala 
sesuatu kepada istrimu) pada bagian di atas kain sarungnya." 

Menurut kami, seorang suami boleh tidur bersama istrinya yang 
sedang haid, boleh pula makan bersamanya tanpa ada yang memper- 
selisihkannya. Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan hadis berikut: 

Rasulullah Saw. pernah memerintahku agar aku mencuci kepala- 
nya, sedangkan aku dalam keadaan berhaid. Dan beliau Saw. 
pernah bersandar di alas pangkuanku, sedangkan aku dalam ke- 
adaan haid, lalu Rasulullah Saw. membaca Al-Qur'an. 

Di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. 
yang menceritakan: 



a " i'l/'^^f, . *\\ i^^t 'f- A/-' 



430 Juz 2 — Al-Baqarah 

Aku pernah makan daging yang ada tulangnya ketika sedang 
haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi 
Saw. meletakkan mulutnya di tempat bekas gigitanku, lalu aku 
minum dan memberikan bekas minumanku kepadanya, maka 
beliau meletakkan mulutnya di tempat bekas aku meletakkan mu- 
lutku. 

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Jabir ibnu 
Subhi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalas Al-Hajri 
menceritakan hadis berikut dari Siti Aisyah r.a.: 






Aku dan Rasulullah Saw. sering berada dalam satu selimut, se- 
dangkan aku dalam keadaan berhaid yang deras. Maka jika tu- 
buhnya terkena sesuatu (darah) dariku, beliau mencucinya tanpa 
melampaui bagian lainnya. Dan jika bajunya terkena sesuatu 
dariku, maka beliau mencuci bagian yang terkena tanpa melam- 
paui bagian lainnya dan memakainya untukasalat. 

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, yaitu telah menceri- 
takan kepada kami Sa'id ibnu Jabbar, telah menceritakan kepada ka- 
mi Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Abui Yaman, dari 
Ummu Zurrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: 

Adalah aku bila sedang haid, maka aku turun dari kasur ke tikar. 

Dengan kata lain, ia tidak mendekat kepada Rasulullah- begitu pula 
Rasulullah Saw., tidak mendekatinya hingga ia suci dari haidnya. Ma- 



Tafsir Ibnu Kasir 43 1 

ka hadis ini diinterpretasikan dengan pengertian sebagai tindakan pre- 
ventif dan hati-hati. 

Ulama lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang istri di- 
halalkan bagi suaminya dalam masa haidnya hanya pada bagian se- 
lain dari anggota di bawah kain sarungnya, seperti yang telah disebut- 
kan di dalam kitab Sahihain dari Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah 
yang telah menceritakan: 

%*[^ 'S Z''&\ < \'""'\ 

• o^^-jtj ^oy u »A j* i 

Adalah Nabi Saw. apabila ingin menggauli salah seorang istri- 
nya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau memerintah- 
kan kepadanya untuk memakai kain sarung. 

Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. Imam 
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hadis yang semisal 
dari Siti Aisyah r.a. 

Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta Imam 
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Ha- 
kim, dari pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa'd Al-Ansari), bahwa ia 
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah yang dihalalkan 
olehku terhadap istriku jika ia sedang haid?" Maka Rasulullah Saw. 
menjawab, "Bagian di atas kain sarung." 

Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu'az ibnu Jabal yang 
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. ten- 
tang apa yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. 
Maka Rasulullah Saw. bersabda: 

Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan diri dari hal tersebut 
adalah lebih utama. 

Hal ini semakna dengari riwayat dari Siti Aisyah seperti yang telah 
disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab 
serta Syuraih. 



432 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa merupakan hu- 
jan bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan bersenang- 
senang dengan istri yang sedang haid pada bagian di atas kain sarung- 
nya. Pendapat ini meaipakan salah satu dari dua pendapat di kalangan 
mazhab Syafii yang dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan 
lain-lainnya. 

Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa daerah yang 
ada di sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang 
diharamkan oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu 
bersetubuh pada farjinya. 

Kemudian orang yang melanggar hal tersebut, berarti dia telah 
berdosa dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat ke- 
pada-Nya. 

Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus membayar 
kifarat atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal, salah satunya me- 
ngatakan harus. Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwa 
yatkan oleh Imam Ahmad dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, 
dari Nabi Saw. mengenai seseorang yang mendatangi istrinya yang 
sedang haid. Maka dia harus menyedekahkan satu dinar atau setengah 
dinar. 

Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut: 

^^om^^LojIS ob < jL^uv^UjoS bj. 

Apabila darah haid berupa merah, maka kifaratnya satu dinar; 
dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya setengah 
dinar. 

Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah 
Saw. menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita yang 
sedang haid; dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedang- 
kan ia belum mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar. 

Pendapat kedua — yang merupakan pendapat yang sahih — ada- 
lah qaul jadid dari mazhab Imam Syafii dan pendapat jumhur- ulama 
menyebutkan bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan 
orang yang bersangkutan diharuskan beristigfar, meminta ampun ke- 



Tafsir Ibnu Kasir 433 

pada Allah Swt., mengingat tidak ada hadis marfu' yang sahih menu- 
rut pendapat mereka. Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan 
hadis mengenai ini secara marfu' . Ada juga yang diriwayatkan secara 
mauquf, bahkan yang mauquf inilah yang sahih menurut kebanyakan 
pendapat ulama hadis. 
Firman Allah Swt.: 



C VW! S^_J^ 



3. oJtkii~CM>»u 



Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. 
(Al-Baqarah: 222) 

Ayat ini merupakan tafsir dari firman-Nya: 

Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di 
waktu haid. (Al-Baqarah: 222) 

Allah Swt. melarang mendekati mereka untuk bersetubuh selagi me- 
reka masih dalam masa haidnya. Makna yang terkandung dari kalimat 
ini memberikan pengertian bahwa apabila darah haid telah berhenti, 
berarti boleh digauli lagi. 

Imam Abu Abdullah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal me- 
ngatakan di dalam kitab At-Ta'ah-nya sehubungan dengan makna fir- 
man-Nya: 

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu 
adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian men- 
jauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian 
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah 
suci, maka campurilah mereka itu. (Al-Baqarah: 222), hingga 
akhir ayat. 



434 Juz 2 — Al-Baqarah 

Bersuci menunjukkan boleh mendekatinya. Ketika Maimunah dan 
Aisyah r.a. mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka bila 
mengalami haid, maka ia memakai kain sarung dan masuk bersama 
Rasulullah Saw. di dalam selimutnya. Hal ini menunjukkan bahwa ti- 
dak sekali-kali beliau menghendaki demikian melainkan ingin mela- 
kukan persetubuhan. 
Firman Allah Swt.: 



Cvw 






Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tem- 
pat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) 

Makna ayat ini menganjurkan dan memberikan petunjuk tentang cara 
menggauli mereka sesudah bersuci. Bahkan Ibnu Hazm berpendapat, 
wajib melakukan jimak setelah tiap habis haid, karena berdasarkan 
firman-Nya: 

Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tem- 
pat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) 

Pendapat ini tidak mempunyai sandaran, mengingat masalahnya ter- 
jadi dengan adanya perintah sesudah larangan. Sehubungan dengan 
masalah ini banyak pendapat di kalangan ulama Usul yang mengo- 
mentarinya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa makna 
yang terkandung di dalam ayat ini menunjukkan pengertian wajib, sa- 
ma halnya dengan ayat yang mutlak. Mereka berpendapat sama de- 
ngan yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dan memerlukan jawaban yang 
sama pula dengannya. 

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini 
menunjukkan ibahah (pembolehan), dan mereka menjadikan larangan 
yang mendahuluinya merupakan qarinah yang memalingkan makna 
ayat dari pengertian wajib. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu di- 
pertimbangkan. 



Tafsir Ibnu Kasir 435 

Pendapat yang kuat sesuai dengan makna yang terkandung di da- 
lam dalil ini mengatakan bahwa permasalahannya dikembalikan kepa- 
da hukum sebelumnya, yakni kepada perintah sebelum ada larangan. 
Jika perintahnya menunjukkan pengertian wajib, maka hukumnya wa- 
jib. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam fir- 
man-Nya: 

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang- 
orang musyrik itu. (At-Taubah: 5) 

Atau menunjukkan makna mubah, maka hukumnya mubah pula. Se- 
perti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: 

Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh 
berburu. (Al-Maidah: 2) 

Firman Allah Swt.: 

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di mu- 
ka bumi. (Al-Jumu'ah: 10) 

Dalil-dalil di atas memperkuat pendapat ini. Imam Gazali dan ulama 
lainnya meriwayatkan pendapat irii, lalu dipilih oleh sebagian para 
Imam Mutakhkhirin; pendapat inilah yang sahih. 

Para ulama sepakat bahwa seorang wanita apabila masa haidnya 
telah habis, tidak halal digauli suaminya sebelum mandi dengan air 
atau tayamum jika bersuci dengan air tidak dapat dilakukannya ka- 
rena uzur berikut dengan segala persyaratannya. Kecuali Imam Abu 
Hanifah; ia mengatakan bahwa jika darah haidnya baru terhenti lebih 
dari sepuluh hari yang merupakan batas maksimal masa haid menu- 



436 Juz 2 — Al-Baqarah 

rutnya, maka si wanita halal bagi suaminya begitu darahnya terhenti, 
tidak perlu mandi terlebih dahulu. 

Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan finnan-Nya: 

sebelum mereka bersuci. (Al-Baqarah: 222) 
Yakni suci dari darah haidnya. 

Apabila mereka telah suci. (Al-Baqarah: 222) 






Yaitu bersuci dengan air. Demikian pula apa yang dikatakan oleh 
Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Lais" ibnu 
Sa'd serta lain-lainnya. 
Firman Allah Swt.: 



C.*** !^L)0 



&t\if fg'< \?^ ' < >>>J(< 



maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah 
kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) 

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta ulama lainnya yang bukan 
hanya seorang, yang dimaksud ialah farjinya. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan 
dengan makna firman-Nya: 

maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah 
kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) 

Yang dimaksud ialah farjinya dan tidak boleh melampauinya ke ang- 
gota lainnya. Maka barang siapa yang melakukan penyimpangan da- 
lam hubungannya, berarti ia telah berbuat melampaui batas. 



Tafsir Ibnu Kasir 437 



Ibnu Abbas, Mujahid, dan Ikrimah telah mengatakan sehubungan 
dengan makna firman-Nya: 






di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 

222) 

Yakni janganlah kalian menjauhi mereka. Di dalam ayat ini terkan- 
dung pengertian yang menunjukkan haram melakukan persetubuhan 
pada dubur (liang anus), seperti yang akan diterangkan kemudian. 

Abu Razin, Ikrimah, Ad-Dahhak, dan bukan hanya seorang ula- 
ma saja telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 

Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah 
kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) 

Maksudnya, dalam keadaan suci dan tidak berhaid. Karena itulah 
maka pada akhir ayat disebutkan oleh firman-Nya: 

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat. (Al- 
Baqarah: 222) 

Yaitu bertobat dari perbuatan dosa, sekalipun ia melakukan persetu- 
buhannya berkali-kali. 



Cwv 



^•&t£fi<LS 



4^j 



dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Al-Baqarah: 
222) 

Yakni orang-orang yang membersihkan dirinya dari kotoran dan pe- 
nyakit, larangan mendatangi istri yang sedang haid atau mendatangi 



438 Juz 2 — Al-Baqarah 

istri bukan pada tempat (anggota tubuh)nya yang diperkenankan un- 
tuk itu. 

Firman Allah Swt.: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam. (Al-Baqarah: 223) 



Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hars ialah 
peranakan (kemaluan). Dalam firman selanjutnya disebutkan: 



"&gm$ 



maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagai- 
mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Yakni bagaimanapun caranya menurut kehendak kalian, baik dari de- 
pan ataupun dari belakang dengan syarat yang didatanginya adalah 
satu lubang, yaitu lubang kemaluan, seperti yang telah ditetapkan oleh 
banyak hadis. 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aku 
Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnul Munkadir 
yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Jabir menceri- 
takan hadis berikut: Dahulu orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa 
jika seseorang menyetubuhi istrinya dari arah belakang, maka kelak 
anaknya bermata juling. Maka turunlah firman-Nya: 

\* a * -i * 



Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam, 
maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagai- 
mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Imam Muslim meriwayatkannya — begitu pula Imam Abu Daud — 
melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 



Tafsir Ibnu Kasir 439 

Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, 
telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, Ibnu Juraij, dan Suf- 
yan Ibnu Sa'id As-Sauri. Disebutkan bahwa Muhammad ibnul Mun- 
kadir pernah menceritakan kepada mereka bahwa. Abdullah ibnu Jabir 
pernah menceritakan kepadanya, orang-orang Yahudi sering berkata 
kepada kaum muslim, "Barang siapa yang mendatangi istrinya dari 
arah belakang, maka kelak anaknya akan bermata juling." Lalu turun- 
lah firman-Nya: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam 
kalian, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Ibnu Juraij mengatakan, sehubungan dengan hadis ini disebutkan di 
dalamnya bahwa Rasulullah Saw. bersabda: 

Boleh dari depan dan boleh dari belakang jika yang didatangi- 
nya adalah farji. 

Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah ibnu Haidah Al- 
Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa Mu'awiyah 
ibnu Haidah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sehubungan dengan 
istri-istri kami, bagaimanakah cara yang diperbolehkan untuk men- 
datanginya dan apa sajakah cara yang dilarang?" Rasulullah Saw. 
bersabda: 






Seperti lahan bercocok tanammu, maka datangilah lahan berco- 
cok tanammu bagaimana saja kamu kehendaki, hanya kamu ti- 



440 Juz 2 — Al-Baqarah 

elak boleh memukul wajah, dan jangan berkata buruk, jangan 
pula mengisolisasi(nya) kecuali di dalam rumah. 

Hingga akhir hadis. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan 
pemilik kitab-kitab sunnah. 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah mence- 
ritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu 
Abu Habib, dari Amir Ibnu Yahya, dari Abdullah ibnu Hanasy, dari 
Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan: 



Sejumlah orang dari Himyar datang kepada Rasulullah Saw., la- 
lu mereka bertanya kepadanya tentang banyak hal. Kemudian 
ada seorang lelaki berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku suka 
wanita, maka bagaimanakah yang harus kulakukan menurutmu?" 
Maka turunlah firman-Nya, "Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah 
tempat bercocok tanam kalian, maka datangilah tanah tempat 
bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendak? 1 
(Al-Baqarah: 223). 

Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yahya 
ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin, telah menceri- 
takan kepadaku Al-Hasan ibnu Sauban, dari Amir ibnu Yahya Al-Ma- 
gafiri, dari Hanasy, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ayat 
berikut, yaitu firman-Nya: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam 
kalian. (Al-Baqarahi 223) 



Tafsir Ibnu Kasir 441 

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang dari kalangan 
Ansar yang datang kepada Nabi Saw. dan bertanya kepadanya. Maka 
Nabi Saw. menjawab: 

v' 



■£4ii$%¥-$£&\ 



Datangilah ia dengan posisi apa pun selagi yang didatangi ada- 
lah farjinya. 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Abu Ja'far At-Tahawi di dalam ki- 
tabnya yang berjudul Musykilul Hadis. Disebutkan bahwa telah men- 
ceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud ibnu Musa, telah mencerita- 
kan kepada kami Ya'qub ibnu Kasib, telah menceritakan kepada kami 
Abdullah ibnu Nafi', dari Hisyam ibnu Sa'd ibnu Zaid ibnu Aslam, 
dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Kudri, bahwa ada seorang le- 
laki menyetubuhi istrinya pada liang anusnya. Maka orang-orang 
memprotes perbuatannya itu, lalu Allah menurunkan firman-Nya: 



Ovvm ^£JO 



*'£&£•&* 



Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam 
kalian. (Al-Baqarah: 223), hingga akhir ayat. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Yunus ibnu Ya'qub; 
juga diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli, dari Al-Haris 
ibnu Syuraih, dari Abdullah ibnu Nafi' dengan lafaz yang sama. 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dinyatakan bah- 
wa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada 
kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu 
Usman ibnu Khaisam, dari Abdullah ibnu Sabit yang menceritakan 
hadis berikut: 

Aku masuk menemui Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Ba- 
kar dan kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku akan bertanya ke- 
padamu tentang suatu masalah, tetapi aku malu mengemukakannya 
kepadamu." Hafsah menjawab, "Hai keponakanku, jangan malu-malu. 
Kemukakanlah." Abdullah ibnu Sabit berkata, "Mendatangi wanita 
(istri) pada liang anusnya." Hafsah berkata bahwa Ummu Salamah 



442 Juz 2 — Al-Baqarah 



pernah menceritakan hadis berikut: Orang-orang Ansar suka menda- 
tangi wanita dari arah belakang (posisi tengkurap). Sedangkan orang- 
orang Yahudi mengatakan bahwa barang siapa yang mendatangi istri- 
nya dari arah belakang, maka kelak anaknya bermata juling. 

Ketika kaum Muhajirin datang di Madinah, mereka ada yang me- 
nikah dengan wanita Ansar, lalu mereka mendatanginya dari arah be- 
lakang, tetapi tiada seorang pun yang menaati suaminya dan mengata- 
kan, "Jangan dulu kamu lakukan sebelum aku tanyakan kepada Ra- 
sulullah Saw. mengenai cara ini." Lalu wanita Ansar itu datang kepa- 
da Unimu Salamah dan menemuinya serta menceritakan kepadanya 
hal tersebut. Ummu Salamah menjawab, "Duduklah dahulu hingga 
Rasulullah Saw. tiba." Ketika Rasulullah Saw. datang, tiba-tiba wa- 
nita Ansar itu merasa malu mengemukakan pertanyaannya. Oleh ka- 
rena itu, ia keluar. 

Lalu Ummu Salamahlah yang menanyakannya kepada Nabi 
Saw., dan Nabi Saw. bersabda, "Panggillah wanita Ansar tadi." 
Ummu Salamah segera memanggil wanita Ansar tadi. Setelah wanita 
itu datang, maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya ayat ber- 
ikut, yaitu firman-Nya: 



Cvt<" : o£JO 



Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Yang dimaksud dengan anna syi'tum ialah subyeknya satu, yaitu satu 
liang (liang kemaluan). 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Bandar, 
dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Abu Khaisam dengan lafaz yang 
sama, dan ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. 

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur Hammad 
ibnu Abu Hanifah, dari ayahnya, dari Ibnu Khaisam, dari Yusuf ib- 
nu Mahik, dari Hafsah Ummul Mu-minin, bahwa ada seorang wanita 
datang kepadanya, lalu bertanya, "Sesungguhnya suamiku suka men- 
datangiku dari arah belakang dan arah depan, maka aku tidak suka 



Tafsir Ibnu Kasir 443 

dengan cara itu." Ketika hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah 
Saw., beliau menjawab: 



-*»*i&&*%tfn 



Tidak mengapa jika yang dimasukinya adalah satu liang (liang 
farjinya). 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa te- 
lah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada ka- 
mi Ya'qub (yakni Al-Qummi), dari Ja'far, dari Sa'id ibnu Jubair, dari 
Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab 
datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku 
telah binasa." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah yang menyebabkan 
kamu binasa?" Umar menjawab, "Tadi malam aku membalikkan pe- 
lanaku (istriku)." Rasulullah Saw. tidak menjawab sepatah kata pun. 

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Allah menurunkan 
wahyu kepada Rasul-Nya, yaitu ayat berikut: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: 

Datangilah dari depan dan dari belakang, tetapi jauhilah liang 
dubur dan masa haid. 

Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abdu ibnu Humaid, dari Hasan 
ibnu Musa Al-Asy-yab dengan lafaz yang sama. Hasan mengatakan 
bahwa hadis ini berpredikat garib. 

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada ka- 
mi Al-Haris ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah 



444 Juz 2 — Al-Baqarah 

ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari 
Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceri- 
takan bahwa ada seorang lelaki di masa Rasulullah Saw. mendatangi 
istrinya pada bagian belakangnya. Mereka mengatakan, "Si Fulan 
telah mendatangi istrinya pada bagian belakangnya." Maka Allah 
menurunkan firman-Nya: 



*&i$&J$pZ\ 



Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul 
Aziz ibnu Yahya Abui Asbag yang mengatakan bahwa telah menceri- 
takan kepadaku Muhammad (yakni Ibnu Salamah), dari Muhammad 
ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang 
menceritakan bahwa Ibnu Umar — semoga Allah mengampuninya — 
telah menduga bahwa sesungguhnya kaum Ansar pada mulanya ada- 
lah Ahli Wasani, sedangkan golongan lainnya adalah orang-orang Ya- 
hudi yang merupakan Ahli Kitab. Orang-orang Ansar berpandangan 
bahwa orang-orang Yahudi mempunyai keutamaan lebih dari mereka 
dalam hal ilmu. Oleh sebab itu, dalam kebanyakan hal orang-orang 
Ansar mengikuti cara mereka. Tersebutlah bahwa termasuk perkara 
Ahli Kitab ialah mereka tidak mendatangi istri-istrinya melainkan ha- 
nya dengan satu posisi saja; cara yang demikian lebih menutupi tubuh 
si istri. Lalu orang-orang Ansar meniru jejak mereka dalam hal ter- 
sebut. 

Sedangkan kebiasaan orang-orang Quraisy dalam mendatangi 
istrinya memakai berbagai macam cara dan posisi yang tidak pernah 
dilakukan oleh orang-orang Ansar. Mereka menikmati persetubuhan- 
nya dengan istri-istri mereka secara maksimal, baik dari arah depan, 
belakang, cara telentang, dan lain sebagainya. Ketika kaum Muhajirin 
datang ke Madinah, lalu seseorang dari mereka kawin dengan seorang 
wanita dari kalangan Ansar. Selanjutnya si lelaki itu melakukan terha- 
dapnya sebagaimana ia biasa melakukannya tJengan berbagai macam 
posisi, tetapi istrinya yang An§ar itu menolak dan mengatakan, "Se- 



Tafsir Ibnu Kasir 445 



sungguhnya kebiasaan yang berlaku di kalangan kami, kami biasa di- 
datangi dari arah depan saja. Maka lakukanlah itu. Jika kamu tidak 
mau, menjauhlah dariku." 

Kemudian perihal keduanya tersebar. Akhirnya sampailah berita 
itu kepada Rasulullah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman- 
Nya: 






Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Yakni boleh dengan cara dari 'belakang, dari depan, dan cara telen- 
tang, yang dimaksud ialah pada farjinya. Hadis ini hanya diriwayat- 
kan oleh Imam Abu Daud, tetapi banyak syahid yang mempersaksi- 
kan kesahihannya, yaitu hadis-hadis yang terdahulu tadi, terlebih lagi 
riwayat yang dikemukakan oleh Ummu Salamah yang mirip dengan 
hadis ini. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abui Qasim At-Tab- 
rani melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari 
Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah membacakan mus-haf ke- 
pada Ibnu Abbas mulai dari Fatihah hingga khatam. Ia berhenti pada 
tiap ayat dan menanyakan maknanya kepada Ibnu Abbas, hingga 
sampailah pada firman-Nya: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Maka Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya kaum Quraisy biasa. men- 
datangi istri-istrinya dengan berbagai macam posisi di Mekah dan 
menikmati persetubuhannya secara maksimal," lalu Ibnu Abbas me- 
nuturkan hadis ini hingga selesai. 



C wr 



446 Juz 2 — Al-Baqarah 

Perkataan Ibnu Abbas yang mengutarakan bahwa Ibnu Umar 
— semoga Allah mengampuninya — telah menduga seakan-akan ini 
mengisyaratkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bu- 
khari. Yaitu telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah mencerita- 
kan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada 
kami Ibnu Aun, dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al- 
Qur'an tidak pernah berbicara sebelum merampungkannya. Maka pa- 
da suatu hari aku memohon kepadanya untuk membacakannya, lalu ia 
membaca surat Al-Baqarah. Dan ketika bacaannya sampai pada suatu 
ayat, ia berkata, "Tahukah kamu, berkaitan dengan masalah apakah 
ayat ini diturunkan?" Aku menjawab, "Tidak." Ibnu Umar berkata, 
"Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah anu dan anu," lalu ia 
melanjutkan bacaannya. 

Abdus Samad mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, 
telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar 
sehubungan dengan firman-Nya: 



Cvw» v«_JO 






wm 



Maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagai- 
mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Ibnu Umar mengatakan, yang dimaksud ialah bila si istri didatanginya 
dari ... (dan seterusnya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan 
oleh Imam Bukhari, ditinjau dari segi ini hanya dia sendirilah yang 
mengetengahkannya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, te- 
lah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan ke- 
pada kami Ibnu Aun, dari Nafi' yang mengatakan bahwa pada suatu 
hari ia membaca firman-Nya: 



Cwr j ^£_JO 



\n*"t>.\A, f'» 



^&zm&'£&&&*. 



Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 



Tafsir Ibnu KaSir 447 



Ibnu Umar bertanya, "Tahukah kamu berkenaan dengan masalah apa- 
kah ayat ini diturunkan?" Nafi' menjawab, "Tidak." Ibnu Umar ber- 
kata, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah mendatangi wa- 
nita pada liang anusnya." 

Telah menceritakan kepadaku Abu Qilabah, telah menceritakan 
kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan ke- 
padaku ayahku, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar sehubungan 
dengan firman-Nya: 



Cw^e^O . 'j£&J$SZXT& 



Maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagai- 
mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Ibnu Umar mengatakan, yang dimaksud ialah pada liang anusnya. Te- 
lah diriwayatkan pula melalui hadis Malik, dari Nafi', dari Ibnu 
Umar, tetapi tidak sahih. 

Imam Nasai meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu 
Abdul Hakam, dari Abu Bakar ibnu Abu Uwais, dari Sulaiman ibnu 
Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang le- 
laki mendatangi istrinya pada liang anusnya, lalu ia merasa sangat 
bersalah akibat perbuatannya itu. Maka Allah menurunkan firman- 
Nya: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa sekiranya hadis ini berada pa- 
da Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar, niscaya orang-orang tidak akan 
menilai lemah hadis Nafi'. Pendapat ini merupakan ta'lil (komentar) 
dari Imam Nasai terhadap hadis ini. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnu Nafi', dari Daud 
ibnu Qais, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Y asar* dari Ibnu 
Umar, lalu ia mengetengahkan hadis ini. 



44g Juz 2 — Al-Baqarah 

Hadis ini (yang mengatakan mendatangi istri dari belakang pada 
liang anusnya) dapat ditakwilkan seperti pengertian terdahulu, yaitu 
mendatangi istri dari belakang pada farjinya, bukan pada liang anus- 
nya. Pengertian ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh 
Imam Nasai, dari Ali ibnu Usman An-Nafili, dari Sa'id ipnu Isa, dari 
Al-Fadl ibnu Fudalah, dari Abdullah ibnu Sulaiman At-Tawil, dari 
Ka'b ibnu Alqamah, dari Abun Nadr yang menceritakan bahwa ia 
pernah bertanya kepada Nafi' maula Ibnu Umar, "Sesungguhnya ba- 
nyak orang yang membicarakan perihalmu, bahwa kamu pernah me- 
ngatakan dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Ibnu Umar pernah 
memfatwakan kaum wanita boleh didatangi pada liang anusnya." 

Nafi' berkata, "Mereka berdusta kepadaku, sekarang akan aku 
ceritakan kepadamu bagaimana duduk perkaranya. Sesungguhnya 
Ibnu Umar pada suatu hari membaca Al-Qur'an, sedangkan aku ber- 
ada di sisinya, hingga bacaannya sampai pada firman-Nya: 



Cwv j yLJ\D 



*'&£m$ ! £&;f.&i. 



'Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
bagaimana saja kalian kehendaki' (Al-Baqarah: 223). 

Lalu Ibnu Umar berkata, 'Hai Nafi', tahukah kamu perkara yang me- 
nyangkut ayat ini?' Nafi' menjawab, 'Tidak.' Ibnu Umar mengatakan, 
'Sesungguhnya kami golongan orang-orang Quraisy biasa mendatangi 
istri-istri kami dari arah belakang. Ketika kami memasuki Madinah 
dan kami nikahi wanita-wanita Ansar, lalu kami menghendaki dari 
mereka seperti apa yang biasa kami lakukan sebelumnya, ternyata hal 
tersebut menyakitkan mereka. Mereka tidak menyukainya dan meng- 
anggapnya sebagai kesalahan yang besar. Kaum wanita Ansar bersi- 
kap demikian karena mereka meniru cara orang-orang Yahudi, yaitu 
mereka hanya didatangi dari arah sisi (dan depannya).' Maka Allah 
menurunkan firman-Nya: 



Cr** fSjLJ^ 



^te^js^^i 



Tafsir Ibnu Kasir 449 



'Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu 
dari arah mana saja yang kalian kehendaki' (Al-Baqarah: 223)." 

Hadis ini berpredikat sahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, 
dari At-Tabrani, dari Al-Husain ibnu Ishaq, dari Zakaria ibnu Yahya 
Katib Al-Umra, dari Mifdal ibnu Fudalah, dari Abdullah ibnu 
Ayyasy, dari Ka'b ibnu Alqamah, lalu ia mengetengahkan hadis ini. 

Telah diriwayatkan kepada kami, dari ibnu Umar, hal yang ber- 
beda dengan riwayat di atas secara terang-terangan, bahwa menda- 
tangi wanita pada liang anusnya tidak diperbolehkan dan tidak diha- 
lalkan, seperti yang akan dikemukakan nanti. 

Sekalipun pendapat ini (mendatangi istri boleh pada liang anus- 
nya) dinisbatkan kepada sejumlah ahli fiqih Madinah dan lain-lainnya 
— sebagian dari mereka menisbatkan kepada Imam Malik di dalam 
Kitabus S/rr-nya — tetapi kebanyakan ulama memprotes kesahihan- 
nya. 

Sesungguhnya hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur 
periwayatan telah menyebutkan adanya larangan melakukan perbuat- 
an itu (mendatangi istri pada liang anusnya). Al-Hasan ibnu Arafah 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, da- 
ri Suhail ibnu Abu Saleh, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir 
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Malulah kalian, sesungguhnya Allah tidak segan terhadap per- 
kara yang hak; tidak halal bagi kalian mendatangi wanita pada 
liang anusnya. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur 
Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abd ibnu 
Syadad, dari Khuzaimah ibnu Sabit: 



450 Juz 2 ~ Al-Baqarah 



Bahwa Rasulullah Saw. melarang seorang lelaki mendatangi 
istrinya pada liang anusnya. 

Menurut jalur yang lain, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah men- 
ceritakan kepada kami Ya'qub, bahwa ia pernah mendengar ayahnya 
menceritakan sebuah hadis dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Usamah 
ibnul Had, bahwa Ubaidillah ibnul Husain Al-Walibi pernah mence- 
ritakan sebuah hadis kepadanya; Abdullah Al-Waqifi pernah menceri- 
takan sebuah hadis kepadanya bahwa Khuzaimah ibnu Sabit Al-Khat- 
mi pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah 
bersabda: 

Malulah kalian, sesungguhnya Allah tidak segan terhadap per- 
kara yang hak; janganlah kalian mendatangi istri kalian pada 
liang anusnya. 

Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah menceritakan pula hadis ini mela- 
lui berbagai jalur dari Khuzaimah ibnu Sabit, tetapi di dalam sanad- 
nya banyak terdapat perbedaan. 

Hadis lainnya dikatakan oleh Abu Isa At-Turmuzi dan Imam 
Nasai, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah 
menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Ad-Dahhak 
ibnu Usman, dari Makhramah ibnu Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu 
Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Allah tidak mau melihat orang lelaki yang mendatangi lelaki lain 
atau seorang wanita pada liang anusnya. 

Kemudian Imam Turmu2i mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. 
Hal yang sama diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahih- 



Tafsir Ibnu Kasir 45 1 

nya dan dinilai sahih oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, Imam Nasai meri- 
wayatkannya pula dari Hannad, dari Waki', dari Ad-Dahhak dengan 
lafaz yang sama secara mauquf. 

Abdu mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Raz- 
zaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari 
ayahnya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada ibnu Abbas ten- 
tang mendatangi istri pada liang anusnya. Maka Ibnu Abbas men- 
jawab, "Kamu menanyakan kepadaku tentang kekufuran." Sanad ri- 
wayat ini sahih. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai 
melalui jalur Ibnul Mubarak, dari Ma'mar dengan lafaz yang se- 
makna. 

Abdu telah mengatakan pula dalam kitab tafsirnya, telah men- 
ceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakim, dari ayahnya, dari Ikri- 
mah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu 
Abbas, lalu berkata, "Sesungguhnya aku telah mendatangi istriku pa- 
da liang anusnya." Kemudian lelaki itu mengatakan bahwa ia telah 
mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan: 



% &bm^Z'&&}. 



Cw*- «S^JL-JO .*^L^5N^)yi5 f *==iJ<->_^' 



Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu 
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) 

Karena itu, ia menduganya sebagai hal yang dihalalkan. Maka Ibnu 
Abbas berkata, "Hai dungu, sesungguhnya yang dimaksud oleh fir- 
man-Nya: 



j^^<J^0j^\ds 



'Maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagai- 
mana saja kalian kehendaki' (Al-Baqarah: 223). 

hanyalah sambil berdiri, sambil duduk, dari depan dan dari belakang, 
tetapi yang dituju adalah farjinya. Jangan sekali-kali kalian melam- 
paui batas ke bagian lainnya (ke liang anusnya)." 



452 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah mencerita- 
kan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami 
Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Amr ibnu 
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Saw. pernah ber- 
sabda: 

Orang yang mendatangi istrinya pada liang anusnya adalah 
orang yang melakukan perbuatan kecil kaum Lut. 

Abdullah ibnu Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku 
Hadbah, telah menceritakan kepada kami Hammam, bahwa Qatadah 
pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang mendatangi istrinya pa- 
da liang anusnya. Maka Qatadah menjawab, telah menceritakan kepa- 
da kami Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi 
Saw. pernah bersabda: 



.SJ&^PZ 



Perbuatan itu adalah lutiyah sugra (perbuatan kecil kaum Nabi 
Lut). 

Qatadah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Uqbah ibnu 
Wisaj, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa tiada yang pantas 
melakukan hal tersebut (mendatangi istri pada liang anusnya) me- 
lainkan hanyalah orang kafir. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Yahya ibnus Sa'id Al-Qattan, 
dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Abu Ayyub, dari Ab- 
dullah ibnu Amr ibnul As yang mengatakan hadis Nabi Saw. tadi di 
atas. Riwayat ini lebih sahih sanadnya. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid, dari Yazid 
ibnu Harun,dari Humaid Al-A'raj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayah- 
nya, dari Abdullah ibnu Amr secara mauquf sabda Nabi Saw. yang 
telah disebutkan di atas. 



Tafsir Ibnu Kasir 453 

Jalur lainnya diketengahkan oleh Ja'far Al-Faryabi, telah mence- 
ritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Luhai'ah, dari Abdur Rahman ibnu Ziad ibnu An'am, dari Abu Abdur 
Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Ada tujuh macam orang yang Allah tidak mau memandang me- 
reka di hari kiamat nanti dan tidak mau pula menyucikan mere- 
ka, bahkan berfirman, "Masuklah kalian ke dalam neraka bersa- 
ma-sama orang-orang yang masuk neraka." Yaitu dua lelaki 
yang melakukan homoseks, lelaki yang menikahi tangannya 
(mastrubasi), lelaki yang menyetubuhi hewan, lelaki yang menye- 
tubuhi istrinya pada dubur (liang anus)nya, lelaki yang mengawi- 
ni antara ibu dan anak perempuannya, lelaki yang berzina de- 
ngan istri tetangganya, dan orang yang menyakiti tetangganya 
hingga si tetangga melaknatnya. 

Akan tetapi, Ibnu Luha'iah dan gurunya berpredikat daif. 

Hadis lainnya diketengahkan oleh Imam Ahmad, telah mencerita- 
kan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami 
Sufyan, dari Asim, dari Isa ibnu Huttan, dari Muslim ibnu Salam, dari 
Ali ibnu Talq yang telah mengatakan: 



< 






454 Juz 2 — Al-Baqarah 



Bahwa Rasulullah Saw. melarang istri-istri didatangi pada liang 
anusnya. Sesungguhnya Allah tidak merasa malu menerangkan 
perkara yang hak. 

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Ahmad, dari Abu 
Mu'awiyah dan Abu Isa At-Turmuzi melalui jalur Abu Mu'awiyah 
pula, dari Asim Al-Ahwal dengan lafaz yang sama, hanya dalam ri- 
wayat ini terdapat tambahan. Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis 
ini berpredikat hasan. 

Di antara ulama ada yang mengetengahkan hadis ini di dalam 
Musnad Ali ibnu Abu Talib, seperti yang ada pada kitab Musnad 
Imam Ahmad ibnu Hambal, tetapi yang benar adalah Ali ibnu Talq. 

Hadis lainnya diketengahkan oleh Imam Ahmad, telah mencerita- 
kan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari Al-Haris ibnu Makhlad, da- 
ri Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Sesungguhnya orang yang mendatangi istrinya pada liang anus- 
nya, Allah tidak mau memandang kepadanya. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan 
kepada kami Suhail, dari Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah 
yang me-ra/a'-kan hadis ini. Ia mengatakan: 

Allah tidak mau memandang kepada seorang lelaki yang menye- 
tubuhi istrinya pada liang anusnya. 

Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui jalur 
Suhail. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Waki', dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari Al-Haris ibnu Makhlad, dari 



Tafsir Ibnu Kasir 455 

Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 

Terlaknatlah orang yang mendatangi istrinya pada liang anus- 
nya. 

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam 
Nasai melalui jalur Waki ' dengan lafaz yang sama. 

Jalur lainnya diketengahkan oleh Al-Hafiz Abu Na'im Al-Asba- 
hani, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Ray- 
yan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai, 
telah menceritakan kepada kami Hannad dan Muhammad ibnu Ismail, 
yang lafaznya menurut apa yang ada pada Nasai. Keduanya mengata- 
kan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepa- 
da kami Sufyan, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu 
Hurairah yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah ber- 
sabda: 

Terlaknatlah orang yang mendatangi wanita pada liang anusnya. 

Akan tetapi, bukan demikian bunyi hadis yang ada pada Imam Nasai, 
dan sesungguhnya lafaz yang ini hanya diriwayatkan dari Suhail, dari 
Al-Haris ibnu Makhlad, seperti yang telah dikemukakan di atas. 

Guru kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi mengatakan bah- 
wa riwayat Ahmad ibnul Qasim ibnuz Zayyan mengenai hadis ini de- 
ngan sanad ini juga, merupakan dugaan dari Ahmad ibnul Qasim sen- 
diri, sedangkan dia dinilai daifo\<zh mereka (ulama hadis). 

Jalur lainnya diriwayatkan oleh Muslim ibnu Khalid Az-Zunji, 
dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, 
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 



0&£%&$\Jl-y%}pk 



456 Juz 2 — Al-Baqarah 



Terlaknatlah orang yang mendatangi wanita pada liang anusnya. 

Akan tetapi, pribadi Muslim ibnu Khalid masih perlu dipertimbang- 
kan. 

Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik 
kitab-kitab sunnah melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari Hakim 
Al-Asram, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Abu Hurairah, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang mendatangi wanita yang sedang haid atau se- 
orang wanita pada liang anusnya, atau mendatangi juru ramal, 
lalu mempercayainya, berarti ia telah kafir terhadap apa (Al- 
Qur'aa) yang telah diturunkan kepada Muhammad. 

Imam Turmuzi mengatakan bahwa Imam Bukhari menilai daif hadis 
ini. Perawi yang Imam Bukhari keberatan menerimanya ialah Hakim 
At-Turmuzi, dari Abu Tamimah, hadisnya tidak dapat dipakai. 

Jalur lainnya dikatakan oleh Imam Nasai. Telah menceritakan ke- 
pada kami Usman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami 
Sulaiman ibnu Abdur Rahman dalam kitabnya, dari Abdul Malik ibnu 
Muhammad As-San'ani, dari Sa'id ibnu Abdul Aziz, dari Az-Zuhri, 
dari Abu Salamah r.a., dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah 
bersabda: 

Malulah kalian terhadap Allah dengan malu yang sebenar-be- 
narnya, janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian pada liang 
anusnya. 

Dari jalur ini hanya diketengahkan oleh Imam Nasai sendiri. Hamzah 
ibnu Muhammad Al-Kannani Al-Hafiz mengatakan bahwa hadis ini 
munkar lagi batil, baik dari hadis Az-Zuhri, hadis Abu Salamah, juga 



Tafsir Ibnu Kasir 457 

hadis Sa'id. Jikalau memang Abdul Malik pernah mendengarnya 
langsung dari Sa'id, maka sesungguhnya ia baru mendengar darinya 
setelah Sa'id mengalami kepikunan. Imam Turmuzi meriwayatkan 
pula melalui Abu Salamah, bahwa ia pernah melarang perbuatan ter- 
sebut (yakni mendatangi istri pada liang anusnya). Adapun yang dari 
Abu Hurairah, dari Nabi Saw., tidak disebutkan adanya larangan. De- 
mikianlah menurut Hamzah ibnu Muhammad Al-Kannani Al-Hafiz. 

Memang kritik yang dikemukakan oleh Al-Kannani ini cukup 
baik, hanya saja Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani tidak me- 
ngetahui bahwa Sa'id telah pikun. Tidak ada seorang pun yang me- 
nyebutkan demikian selain Hamzah, dari Al-Kannani yang berpre- 
dikat siqah. Tetapi Duhaim, Abu Hatim, dan Ibnu Hibban merasa ke- 
beratan terhadapnya, dan mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat di- 
jadikan hujah. 

Jejak Hamzah Al-Kannani diikuti oleh Zaid ibnu Yahya ibnu 
Ubaid, dari Sa'id ibnu Abdul Aziz. Abdul Malik ibnu Muhammad 
As-San'ani ini meriwayatkan pula melalui dua jalur lain dari Abu Sa- 
lamah, tetapi tiada yang sahih. 

Jalur lainnya diriwayatkan oleh Imam Nasai, telah menceritakan 
kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Ab- 
dur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri,dari Lais ibnu Abu 
Sulaim, dari Mujahid, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa 
lelaki yang mendatangi istrinya pada liang anusnya adalah orang ka- 
fir. 

Kemudian Imam Nasai meriwayatkannya melalui Bandar, dari 
Abdur Rahman dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan, "Barang sia- 
pa yang mendatangi istrinya pada liang anusnya, maka perbuatan itu 
merupakan perbuatan orang kafir." 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai melalui jalur 
As-Sauri, dari Lais, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara mauquf. 
Ia meriwayatkannya melalui jalur Ali ibnu Nadimah, dari Mujahid, 
dari Abu Hurairah secara mauquf. 

Bakr ibnu Khunais meriwayatkan dari Lais, dari Mujahid, dari 
Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 



458 Juz 2 — Al-Baqarah 

Barang siapa yang mendatangi telaki dan wanita pada sesuatu 
dari liang anusnya, berarti ia telah kafir (ingkar terhadap nikmat 
Allah). 

Tetapi jika dikatakan hadis ini mauquf, maka lebih sahih, mengingat 
Bakr ibnu Khunais dinilai daif oleh bukan hanya seorang dari kalang- 
an para imam, sedangkan selain para imam tidak memakai hadisnya. 
Hadis yang lain diketengahkan oleh Muhammad ibnu Aban Al- 
Balkhi, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan 
kepadaku Zam'ah ibnu Saleh, dari ibnu Tawus, dari ayahnya dan 
Amr ibnu Dinar, dari Abdullah ibnu Yazid ibnul Had; keduanya me- 
ngatakan bahwa Umar ibnul Khattab mengatakan bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 

Sesungguhnya Allah tidak segan menerangkan perkara yang hak; 
janganlah kalian mendatangi wanita pada liang anusnya. 

Imam Nasai meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ib- 
nu Ya'qub At-Taliqani, dari Usman ibnul Yaman, dari Zam'ah ibnu 
Saleh, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnul Had, dari Umar 
yang mengatakan: 






Janganlah kalian mendatangi wanita pada liang anusnya. 

Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah mence- 
ritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dari Zam'ah ibnu Saleh, 
dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Abdullah ibnul Had Al-Laisi 
yang mengatakan bahwa Umar r. a. pernah mengatakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 459 

Malulah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak 
pernah segan dari perkara yang hak; janganlah kalian menda- 
tangi wanita pada pantatnya (liang anusnya). 

Sanad yang berpredikat mauquf\ebih sahih. 

Hadis yang lain diketengahkan oleh Imam Ahmad, telah mence- 
ritakan kepada kami Gundar dan Mu'az ibnu Mu'az; keduanya me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim Al- 
Ahwal, dari Isa ibnu Hattan, dari Muslim ibnu Salam, dari Talq ibnu 
Yazid atau Yazid ibnu Talq, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah 
bersabda: 



l^u^l -/fi 



) y 



Sesungguhnya Allah tidak pernah segan dari perkara yang hak; 
janganlah kalian mendatangi wanita pada pantatnya (liang anus- 
nya). 

Hal yang sama diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja dari 
Syu'bah. Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Asim Al- 
Ahwal, dari Isa ibnu Hattan, dari Muslim ibnu Salam, dari Talq ibnu 
Ali, tetapi yang lebih mendekati kebenaran ialah Ali ibnu Talq, seper- 
ti yang disebutkan di muka tadi. 

Hadis lainnya diketengahkan oleh Abu Bakar Al-Asram di da- 
lam kitab sunannya, telah menceritakan kepada kami Abu Muslim Al- 
Jurmi (saudara lelaki Unais ibnu Ibrahim), bahwa ayahnya (yaitu 
Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnul Qa'qa') telah menceritakan kepa- 
danya, dari ayahnya (yaitu Abui Qa'qa'), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari 
Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Perbuatan menyetubuhi wanita pada liang anusnya haram. 

Ismail ibnu Ulayyah, Sufyan As-Sauri, dan Syu'bah serta lain-lainnya 
telah meriwayatkan dari Abu Abdullah Asy-Syaqra yang nama asli- 
nya ialah Salamah ibnu Tamam — orang yang siqah — , dari Abui 



460 Juz 2 — Al-Baqarah 

Qa'qa', dari Ibnu Mas'ud secara mauquf, dan riwayat inilah yang lebih 
sahih (yakni berpredikat mauquf). 

Menurut jalur lainnya disebutkan oleh Ibnu Addi, telah menceri- 
takan kepada, kami Abu Abdullah Al-Mahamili, telah menceritakan 
kepada kami Sa'id ibnu Yahya As-Sauri, telah menceritakan kepada 
kami Muhammad ibnu Hamzah, dari Zaid ibnu Rafi', dari Abu 
Ubaidah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah bersabda: 






Janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian pada pantat me- 
reka (liang anusnya). 

Muhammad ibnu Hamzah (yang dikenal dengan Al-Jauzi) dan guru- 
nya masih perlu dipertimbangkan. Sesungguhnya dia meriwayatkan 
pula melalui hadis Ubay ibnu Ka'b, Al-Barra ibnu Azib, Uqbah ibnu 
Amir, Abu Zar, dan lain-lainnya; tetapi masing-masing hadis masih 
perlu dipertimbangkan, karena tiada hadis yang sahih berasal darinya. 
As-Sauri meriwayatkan dari As-Silt ibnu Bahram, dari Abui 
Mu'tamir, dari Abu Juwairah yang menceritakan bahwa ada seorang 
lelaki bertanya kepada sahabat Ali mengenai masalah mendatangi istri 
pada liang anusnya. Maka sahabat Ali r.a. menjawab, "Kamu rendah 
sekali, semoga Allah merendahkan dirimu. Tidakkah kamu mende- 
ngar firman Allah Swt. yang mengatakan: 

'Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang be- 
lum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum 
kalian' (Al-A'raf: 80)." 

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan pendapat Ibnu Mas'ud 
Abu Darda, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah ibnu Amr yang me- 
nyatakan bahwa perbuatan itu hukumnya haram. Hal yang kuat dan 
tidak diragukan lagi bersumber dari Abdullah ibnu Umar r.a. yang 
mengatakan bahwa dia telah mengharamkannya. 



Tafsir I bnu Kasir 461 



Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abdullah Ad-Da- 
rimi) mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan ke- 
pada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al- 
Lais, dari Al-Haris ibnu Ya'qub, dari Sa'id ibnu Yasar Abui Habab 
yang pernah menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu 
Umar, "Bagaimanakah pendapatmu tentang budak-budak wanita, bo- 
lehkah mereka di-tahmidl" Ibnu Umar bertanya, "Apakah yang di- 
maksud dengan tahmid]" Lalu dijawab bahwa yang dimaksud ialah 
liang anusnya disetubuhi. Maka Ibnu Umar balik bertanya, "Apakah 
ada seseorang dari kaum muslim yang melakukannya?" 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dan Qutaibah, dari 
Al-Lais, dengan lafaz yang sama. Sanad asar ini berpredikat sahih 
dan merupakan nas yang jelas yang mengharamkan perbuatan terse- 
but. Semua asar yang bersumber dari Ibnu Umar yang mengandung 
interpretasi lain dapat ditolak dengan adanya keputusan nas yang te- 
gas ini. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rah- 
man ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah 
menceritakan kepada kami Abu Zaid (yakni Ahmad ibnu Abdur Rah- 
man ibnu Ahmad ibnu Abui Umr), telah menceritakan kepadaku Ab- 
dur Rahman ibnul Qasim, dari Malik ibnu Anas, bahwa pernah dita- 
nyakan kepadanya, "Hai Abu Abdullah, sesungguhnya orang-orang 
meriwayatkan dari Salim ibnu Abdullah yang telah mengatakan, 'Si 
budak atau si Alaj (buruk) telah berdusta terhadap Abu Abdullah'." 
Maka Malik menjawab, "Aku menerima langsung dari Yazid ibnu 
Rauman yang telah menceritakan kepadaku dari Salim ibnu Abdullah, 
dari Ibnu Umar, sama seperti apa yang telah dikatakan oleh Nafi'." 
Maka dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya Al-Haris ibnu Ya'qub te- 
lah meriwayatkan dari Abui Habab (yakni Sa'id ibnu Yasar), bahwa 
ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar. Untuk itu ia mengatakan, "Wa- 
hai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami telah membeli budak- 
budak perempuan, bolehkah kami mendatangi mereka secara tah- 
midT Ibnu Umar balik bertanya, 'Apakah yang dimaksud dengan tah- 
mid itu?' Maka disebutkan kepadanya bahwa yang dimaksud ialah 
liang anusnya." Ibnu Umar berkata, "Husy, atau dia mengatakan apa- 
kah ada orang mukmin atau orang muslim yang melakukannya?" 



462 Juz 2 — Al-Baqarah 

Selanjutnya Malik mengatakan, "Aku bersaksi atas Rabi' ah bah- 
wa dia telah menceritakan kepadaku, dari Abui Habab, dari Ibnu 
Umar hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Nafi'." 

Imam Nasai meriwayatkan dari Ar-Rabi' Ibnu Sulaiman, dari 
Asbag ibnul Faraj Al-Faqih, telah menceritakan kepada kami Abdur 
Rahman ibnul Qasim yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya ke- 
pada Malik, "Sesungguhnya pada waktu kami di Mesir, Lais ibnu 
Sa'id menceritakan hadis dari Al-Haris ibnu Ya'qub, dari Sa'id ibnu 
Yasar yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, 
'Sesungguhnya kami telah membeli budak-budak perempuan, boleh- 
kah kami tahmid mereka?' Ibnu Umar balik bertanya, 'Apakah tah- 
mid itu?' Aku menjawab, 'Kami datangi mereka pada liang anusnya.' 
Ibnu Umar menjawab, 'Husy, atau apakah ada orang muslim yang 
melakukannya?' Lalu Malik berkata kepadaku, 'Aku bersaksi atas 
Rabi'ah, sesungguhnya dia telah menceritakan kepadaku dari Sa'id 
ibnu Yasar, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar (tentang 
masalah itu), ternyata jawabannya adalah, 'Tidak mengapa'." 

Imam Nasai meriwayatkan pula melalui jalur Yazid ibnu 
Rauman, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar r.a. tidak 
memandang sebagai sesuatu yang dilarang bila seorang lelaki men- 
datangi istrinya pada liang anusnya. 

Ma'mar ibnu Isa meriwayatkan dari Malik, bahwa melakukan hal 
tersebut (mendatangi istri pada liang anusnya) adalah haram. 

Abu Bakar ibnu Ziad An-Naisaburi mengatakan, telah mencerita- 
kan kepadaku Ismail ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Israil 
ibnu Rauh, bahwa ia pernah bertanya kepada Malik ibnu Anas, "Ba- 
gaimanakah menurutmu tentang mendatangi wanita pada liang anus- 
nya?" Malik ibnu Anas menjawab, "Kalian ini tiada lain adalah kaum 
Arab, tiada lain bercocok tanam itu hanyalah pada lahan yang dise- 
diakan untuknya, maka janganlah kalian melampaui batas farji." Aku 
berkata, "Hai Abu Abdullah, sesungguhnya mereka mengatakan bah- 
wa engkau mengatakan demikian (yakni boleh mendatangi wanita pa- 
da liang anusnya)." Malik ibnu Anas menjawab, "Mereka berdusta 
terhadapku, mereka berdusta terhadapku." 

Riwayat ini memang terbukti bersumber darinya (Malik ibnu 
Anas), dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah, 



Tafsir Ibnu Kasir 463 

Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal beserta semua murid 
mereka. Pendapat ini juga merupakan mazhab dari Sa'id ibnu Mu- 
sayyab, Abu Salamah, Ikrimah, Tawus, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Urwah 
ibnuz Zubair, Mujahid ibnu Jabr, dan Al-Hasan serta lain-lainnya dari 
kalangan ulama Salaf. Mereka mengingkari perbuatan tersebut de- 
ngan kecaman yang sangat keras. Di antara mereka ada yang menye- 
butnya sebagai perbuatan orang kafir, menurut pendapat jumhur ula- 
ma. Dalam masalah ini telah diriwayatkan pula sesuatu hal dari salah 
seorang ahli fiqih ulama Madinah, hingga mereka menceritakannya 
dari Imam Malik. Akan tetapi, kesahihannya masih perlu dipertim- 
bangkan. 

At-Tahawi mengatakan bahwa Asbag ibnul Farj meriwayatkan 
dari Abdur Rahman ibnul Qasim yang mengatakan, "Aku belum per- 
nah menjumpai seorang pun yang menjadi panutanku dalam agamaku 
merasa ragu bahwa perbuatan tersebut halal," yakni menyetubuhi istri 
pada liang anusnya. Kemudian ia membacakan firman-Nya: 

Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok 
tanam. (Al-Baqarah: 223) 

Setelah itu ia mengatakan, "Dalil apakah lagi yang lebih jelas dari- 
pada ini?" Demikianlah menurut riwayat At-Tahawi. Telah diriwayat- 
kan pula oleh Imam Hakim, Imam Daruqutni, dan Khatibul Bagdadi, 
dari Imam Malik melalui berbagai jalur yang menunjukkan pengertian 
bahwa hal tersebut diperbolehkan. Akan tetapi, di dalam sanad-sanad- 
nya terdapat kelemahan yang sangat. Guru kami (Al-Hafiz Abu Ab- 
dullah Az-Zahabi) merincikannya di dalam suatu juz yang ia gabung- 
kan untuk membahas masalah ini. 

At-Tahawi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami oleh 
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, bahwa ia pernah men- 
dengar Imam Syafii mengatakan, "Tiada suatu hadis pun dari Nabi 
Saw. yang berpredikat sahih menerangkan kehalalannya, tiada pula 
yang mengharamkannya. Akan tetapi, menurut anologi (kias)nya me- 
nunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya halal." Pendapat ini 



464 Juz 2 — Al-Baqarah 

diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Khatib, dari Abu Sa'id As-Sairafi, 
dari Abui Abbas Al-Asam yang mengatakan bahwa ia pernah mende- 
ngar Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam berkata, "Aku 
pernah mendengar Imam Syafii mengatakan ...," lalu ia menuturkan- 
nya. 

Abu Nasr As-Sabbag mengatakan bahwa Ar-Rabi' bersumpah 
dengan menyebut nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesung- 
guhnya dia (yakni Ibnu Abdul Hakam) telah berdusta terhadap Imam 
Syafii dalam masalah ini, karena Imam Syafii sendiri menaskan keha- 
ramannya di dalam enam buah kitab hasil karyanya. 

Firman Allah Swt.: 



C *w« v^JO 






Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. (Al-Baqa- 
rah: 223) 

Artinya, kerjakanlah amal-amal ketaatan dengan cara menjauhi semua 
hal yang dilarang kalian mengerjakannya, yaitu perkara-perkara yang 
diharamkan. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: 



Cvrr 



■ «*» *.3a*&$isjiigi>i$5 



dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian ke- 
lak akan menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223) 

Maka kelak Allah akan menghisab semua amal perbuatan kalian. 

Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Al-Ba- 
qarah: 223) 

Yakni orang-orang yang taat kepada Allah dalam mengerjakan perin- 
tah-Nya dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al- 
Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah mencerita- 



Tafsir Ibnu Kasir 4^5 



kan kepadaku Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari 
Ata yang mengatakan bahwa menurut dugaanku disebutkan dari Ibnu 
Abbas mengenai makna firman-Nya: 

Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. (Al-Ba- 
qarah: 223) 

Maksudnya ialah bila kamu mengucapkan bismillah, yakni membaca 
tasmiyah di kala hendak melakukan persetubuhan. Telah disebutkan 
di dalam kitab Sahih Bukhari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bah- 
wa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Seandainya seseorang dari kalian di saat hendak mendatangi 
istrinya mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, 
jauhkanlah dari kami setan dan jauhkanlah pula dari setan apa 
(anak) yang Engkau rezekikan kepada kami, " maka sesungguhnya 
jika ditakdirkan bagi keduanya punya anak dalam hubungannya 
itu, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap si 
anak selama-lamanya. 

Al-Baqarah, ayat 224-225 



466 Juz 2 — Al-Baqarah 

Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian se- 
bagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan me- 
ngadakan islah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar 
lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kalian disebab- 
kan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), te- 
tapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang 
disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. Dan Allah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyantun. 

Allah Swt. berfirman bahwa janganlah kalian menjadikan sumpah- 
sumpah kalian atas nama Allah menghalang-halangi kalian untuk ber- 
buat kebajikan dan silaturahmi, jika kalian bersumpah untuk tidak 
melakukannya. Perihalnya sama dengan ayat lainnya, yaitu firman- 
Nya: 

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan ke- 
lapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) 
akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang yang 
miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah; dan 
hendaklah mereka memaajkan dan berlapang dada, apakah ka- 
lian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur: 22) 

Berpegang teguh pada sumpah yang demikian, pelakunya beroleh do- 
sa. Karena itu, ia harus melepaskan sumpahnya dan membayar kifa- 
rat. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari, telah men- 
ceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada 
kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari 
Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa kalimat berikut 
merupakan hadis yang diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah 
r.a. dari Nabi Saw., yaitu bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 467 

Kami (umat Muhammad) adalah orang-orang yang terakhir 
(adanya), tetapi orang-orang yang paling dahulu (masuk surga) 
di hari kiamat. 

Rasulullah Saw. bersabda pula: 

Demi Allah, sesungguhnya seseorang dari kalian berpegang te- 
guh pada sumpahnya terhadap keluarganya menjadi orang yang 
berdosa menurut Allah daripada dia membayar kifarat yang te- 
lah diwajibkan oleh Allah atas sumpahnya itu. 

Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad 
ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Imam Alimad 
meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi'. 

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepa- 
da kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Yahya 
ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yaitu Ibnu 
Salam), dari Yahya (yaitu ibnu Abu Kasir), dari Ikrimah, dari Abu 
Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang bersitegang terhadap keluarganya dengan 
sumpahnya, maka perbuatan itu dosanya amat besar, kifarat ti- 
dak cukup untuk menutupinya. 

Menurut riwayat yang lain, hendaklah ia melanggar sumpahnya, lalu 
membayar kifarat. 

Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan de- 
ngan firman-Nya: 



468 Juz 2 — Al-Baqarah 



Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian 
sebagai penghalang. (Al-Baqarah: 224) 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah 'janganlah kamu ja- 
dikan sumpahmu menghalang-halangi dirimu untuk berbuat kebaikan, 
tetapi bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbuatlah kebaikan'. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Asy-Sya'bi, Ibrahim, 
An-Nakha'i, Mujahid, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ata, lkrimah, Mak- 
hul, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' 
ibnu Anas, Ad-Dahhak, Ata Al-Kurrasani, dan As-Saddi rahimahu- 
mullah. Pendapat mereka diperkuat oleh sebuah hadis di dalam kitab 
Sahihain, dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a. yang menceritakan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



s$82fg2$#£&%& 



Sesungguhnya aku, demi Allah, insya Allah, tidak sekali-kali 
mengucapkan sumpah, kemudian aku memandang bahwa hal lain 
lebih baik darinya, melainkan aku akan melakukan hal yang le- 
bih baik itu dan aku ber-tahallul dari sumpahku (dengan memba- 
yar kifarat). 

Telah disebutkan pula di dalam kitab Sahihain bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda kepada Abdur Rahman ibnu Samurah: 



Tafsir Ibnu Kasir 469 






Hai Abdur Rahman ibnu Samurah, janganlah kamu meminta 
imarah (jabatan), karena sesungguhnya jika kamu aku beri ima- 
rah tanpa ada permintaan dari pihakmu, niscaya aku akan mem- 
bantunya. Dan jika kamu diberi karena meminta, maka imarah 
itu sepenuhnya atas tanggung jawabmu sendiri. Dan apabila ka- 
mu mengucapkan suatu sumpah, lalu kamu melihat hal yang lain 
lebih baik daripada sumpahmu itu, maka kerjakanlah hal yang 
lebih baik darinya dan bayarlah kifarat sumpahmu. 

Imam Muslim meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulul- 
lah Saw. pernah bersabda: 



Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia melihat 
hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia 
membayar kifarat sumpahnya dan melakukan hal yang lebih baik 
itu. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Khalifah 
ibnu Khayyat, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari 
ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia meman- 
dang hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka mening- 
galkan sumpahnya itu merupakan kifaratnya. 

Imam Abu Daud meriwayatkan melalui jalur Abu Ubaidillah ibnul 
Akhnas, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



470 Juz 2 — Al-Baqarah 

Tiada nazar dan tiada sumpah dalam hal yang tidak dimiliki oleh 
anak Adam (orang yang bersangkutan), tidak pula dalam maksiat 
kepada Allah, dan tidak pula dalam memutuskan silaturahmi. 
Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia meman- 
dang hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka hendak- 
lah ia meninggalkan sumpahnya dan hendaklah ia melakukan hal 
yang lebih baik, karena sesungguhnya meninggalkan sumpah me- 
rupakan kifaratnya. 

Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadis-hadis yang dari 
Nabi Saw. semuanya mengatakan: 



>&*&fi£i& 



Maka hendaklah ia membayar kifarat sumpahnya. 

Riwayat inilah yang sahih. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu 
Sa'id Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari 
Harisah ibnu Muhammad, dari Umrah, dari Aisyah yang men- 
ceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah untuk memulus- 
kan silaturahmi dan berbuat maksiat, maka untuk menunaikan 
sumpahnya itu ialah hendaknya ia melanggarnya dan mencabut 
kembali sumpahnya. 



Tafsir Ibnu Kasir 47 1 

Hadis ini daif, mengingat Harisah adalah Ibnu Abur Rijal yang dike- 
nal dengan sebutan Muhammad ibnu Abdur Rahman; dia (Harisah) 
hadisnya tidak dapat dipakai lagi dinilai lemah oleh semuanya. 

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id 
ibnu Musayyab, Masruq serta Asy-Sya'bi, bahwa mereka mengata- 
kan: 

Tidak ada sumpah dalam maksiat, dan tidak ada kifarat atasnya. 
Firman Allah Swt.: 

Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang 
tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) 

Yakni Allah tidak akan menghukum kalian dan tidak pula mewajib- 
kan suatu sanksi pun atas diri kalian karena sumpah yang tidak di- 
maksud untuk bersumpah. Yang dimaksud dengan sumpah yang tidak 
disengaja ialah kalimat yang biasa dikeluarkan oleh orang yang ber- 
sangkutan dengan nada yang tidak berat dan tidak pula dikukuhkan. 
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az- 
Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang bersumpah, lalu mengatakan dalam sumpah- 
nya, "Demi Lata dan Uzza," maka hendaklah ia mengucapkan 
pula, "Tidak ada Tuhan selain Allah." 

Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. kepada orang-orang Jahiliah yang 
baru masuk Islam, sedangkan lisan mereka masih terikat dengan ke- 
biasaannya di masa lalu, yaitu bersumpah menyebut nama Lata tanpa 
sengaja. Untuk itu mereka diperintahkan mengucapkan kalimah 



472 Tafsir Ibnu Kasir 

ikhlas, mengingat mereka mengucapkannya tanpa sengaja, dari 
kalimat terakhir (kalimat tauhid) berfungsi meralat kalimat yang per- 
tama. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan: 

tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang 
disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 
225) 



Di dalam ayat yang lain disebutkan: 



VCt^k 



disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 
89) 

Imam Abu Daud di dalam Bab "Sumpah yang Tidak Disengaja" me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah 
Asy-Syami, telah menceritakan kepada kami Hayyan (yakni Ibnu 
Ibrahim), telah menceritakan kepada kami Ibrahim (yakni As-Sa-ig), 
dari Ata mengenai sumpah yang tidak disengaja; Siti Aisyah pernah 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: 

Sumpah yang tidak disengaja ialah perkataan seorang lelaki di 
dalam rumahnya, "Tidak demikian, demi Allah; dan memang be- 
nar, demi Allah." 

Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula 
oleh Ibnul Furat, dari Ibrahim As-Sa-ig, dari Ata, dari Siti Aisyah se- 
cara mauquf. 

Az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik ibnu Magul meriwayatkannya 
pula, semuanya melalui jalur Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf. 

Menurut kami, memang demikian telah diriwayatkan oleh Ibnu 
Juraij, Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf. 



Tafsir Ibnu Kasir 473 

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hannad, dari Waki', Abdah dan 
Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti 
Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: 



C.W0 5 (/ Z-^ 1 2 



m^Mf±&$ 



Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang 
tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) 

Yang dimaksud adalah seperti 'Tidak, demi Allah. Memarig benar, 
demi Allah' . 

Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkannya pula dari Muhammad 
ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hisyam, dari ayah- 
nya, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, 
dari Az-Zuhri, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diri- 
wayatkan pula dari Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata, dari 
Siti Aisyah, dan perkataan Abdurrazzaq, yaitu Ma'mar telah mence- 
ritakan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah se- 
hubungan dengan firman-Nya: 



o .m^^-f^ss 



Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang 
tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) 

Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang tergesa- 
gesa dalam suatu perkara. Maka Abdurrazzaq mengatakan demikian, 
'Tidak, demi Allah' dan 'Memang benar, demi Allah' dan 'Tidak de- 
mikian, demi Allah', mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam 
suatu perkara, tidak ada kesengajaan dalam hati mereka. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Harun Ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami 
Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayah- 
nya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan makna firman-Nya: 



C*'Vaio l ^JO 



.fm&Mfe® 



474 Juz 2 — Al-Baqarah 



Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang 
tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) 

Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud adalah seperti perkataan se- 
orang lelaki, Tidak,demi Allah', 'Memang benar.demi Allah'. 

Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan ke- 
pada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepada- 
ku ibnu Luhai'ah, dari Abui Aswad, dari Urwah yang menceritakan 
bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya sumpah yang 
tidak disengaja itu hanya terjadi pada senda gurau dan berseloroh, 
yaitu seperti perkataan seorang lelaki, Tidak, demi Allah,', dan 'Ya, 
demi Allah.' Maka hal seperti itu tidak ada kifaratnya. Sesungguhnya 
yang ada kifaratnya ialah sumpah yang timbul dari niat hati orang 
yang bersangkutan untuk melakukannya atau tidak melakukannya." 

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah 
diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam salah satu penda- 
patnya, Asy-Sya'bi dan Ikrimah dalam salah satu pendapatnya, serta 
Urwah ibnuz Zubair, Abu Saleh, dan Ad-Dahhak dalam salah satu 
pendapatnya; juga Abu Qilabah dan Az-Zuhri. 

Pendapat yang kedua menyebutkan, telah dibacakan kepada Yu- 
nus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, te- 
lah menceritakan kepadaku orang yang siqah, dari Ibnu Syihab, dari 
Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa ia mengemukakan takwilnya sehu- 
bungan dengan makna firman-Nya: 

Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang 
tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) 

Menurutnya makna yang dimaksud ialah jika seseorang di antara ka- 
lian mengemukakan sumpahnya atas sesuatu hal, sedangkan dia tidak 
bermaksud, melainkan hanya kebenaran belaka, tetapi kenyataannya 
berbeda dengan apa yang disumpahkannya. 

Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semi- 
sal telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah sa- 
tu pendapatnya, Sulaiman ibnu Yasar, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid pa- 



Tafsir Ibnu Kasir 475 

da salah satu pendapatnya, Ibrahim An-Nakha'i dalam salah satu pen- 
dapatnya, Al-Hasan, Zararah ibnu Aufa, Abu Malik, Ata Al-Khurra- 
sani, Bakr ibnu Abdullah, salah satu pendapat Ikrimah, Habib ibnu 
Abu Sabit, As-Saddi, Mak-hul, Muqatil, Tawus, Qatadah, Ar-Rabi' 
ibnu Anas, Yahya ibnu Sa'id, dan Rabi 'ah. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad ibnu Musa Al-Jarasyi, telah menceritakan kepada kami Abdullah 
ibnu Maimun Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Auf Al- 
A'rabi, dari Al-Hasan ibnu Abui Hasan yang menceritakan: 

'i?*, . os 'A 'Z' *< A /s A tf'tl U S X\\ *> "*' 

Rasulullah Saw. bersua dengan suatu kaum yang sedang berlom- 
ba memanah, ketika itu Rasulullah Saw. ditemani oleh salah se- 
orang sahabatnya. Maka berdirilah salah seorang lelaki dari ka- 
langan kaum, lalu ia berkata, "Panahku mengenai sasaran, demi 
Allah; dan panah yang lainnya melenceng dari sasaran, demi 
Allah." Maka berkatalah orang yang menemani Nabi Saw. kepa- 
da Nabi Saw., "Wahai Rasulullah, lelaki itu telah melanggar 
sumpahnya." Rasulullah Saw. menjawab, "Tidaklah demikian, 
sumpah yang diucapkan oleh orang-orang yang memanah meru- 
pakan sumpah yang tidak disengaja, tidak ada kifarat padanya, 
tidak ada pula hukuman." 

Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan dari Al-Hasan. 



476 Juz 2 — Al-Baqarah 

lbnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Siti Aisyah 
dua pendapat kesemuanya. 

Telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah men- 
ceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami 
Syaiban, dari Jabir, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Siti Aisyah r.a. 
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak 
disengaja ialah ucapan seseorang, "Tidak, demi Allah; dan memang 
benar, demi Allah," dia menduga bahwa apa yang dikatakannya itu 
benar, tetapi kenyataannya berbeda. 

Pendapat-pendapat yang lain disebutkan oleh Abdur Razzaq, dari 
Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan 
sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah atas sesuatu, 
kemudian ia lupa kepada sumpahnya. 

Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sumpah tersebut adalah se- 
perti ucapan seorang lelaki, "Semoga Allah membutakan penglihatan- 
ku jika aku tidak melakukan anu dan anu," atau "Semoga Allah me- 
lenyapkan hartaku jika aku tidak datang kepadamu besok, yakni har- 
taku yang ini." 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu 
Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan 
kepada kami Ata, dari Tawus, dari lbnu Abbas yang mengatakan bah- 
wa sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang kamu ucapkan, 
sedangkan kamu dalam keadaan emosi. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayah- 
ku, telah menceritakan kepada kami Abui Jamahir, telah menceritakan 
kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepadaku Abu 
Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bah- 
wa sumpah yang tidak disengaja ialah bila kamu mengharamkan apa 
yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu, yang demikian itu tidak ada 
kifaratnya bagimu jika kamu melanggarnya. Hal yang sama diriwa- 
yatkan dari Sa'id ibnu Jubair. 

Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Sumpah dalam Ke- 
adaan Emosi", telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu 
Minhal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah 
menceritakan kepada kami Habib Al-Mu'allim, dari Amr ibnu 



Tafsir Ibnu Kasir 477 

Syu'aib, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa ada dua orang bersaudara 
dari kalangan Ansar, keduanya mempunyai bagian warisan. Lalu sa- 
lah seorang meminta bagian dirinya kepada saudaranya, kemudian 
saudaranya berkata, "Jika kamu kembali meminta bagian kepadaku, 
maka semua hartaku disedekahkan untuk Ka'bah." Maka Khalifah 
Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya Ka'bah tidak memerlukan harta- 
mu. Maka bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbicaralah dengan 
saudaramu. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. 
bersabda: 

'Tiada sumpah atas dirimu dan tiada pula nazar dalam maksiat 
terhadap Allah Swt., tiada pula dalam memutuskan silaturahmi, 
serta tiada pula dalam apa yang tidak kamu miliki'." 

Adapun firman Allah Swt.: 



WW%&* 



tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang 
disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 
225) 

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta lainnya yang bukan hanya se- 
orang, yang dimaksud ialah bila seseorang bersumpah atas sesuatu, 
sedangkan ia mengetahui bahwa dirinya berdusta dalam sumpahnya 
itu. 

Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini 
sama dengan firman-Nya: 

tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah yang kalian 
sengaja. (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat. 



478 Juz 2 — Al-Baqarah 

Firman Allah Swt.: 

Dan A//a/i Ma/ia Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Ba- 
qarah: 225) 

Al-Baqarah, ayat 226-227 



^ai#si&#*3Ws 



Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh em- 
pat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada 
istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha 
Penyayang. Dan jika mereka ber-'azam (bertetap hati untuk) ta- 
lak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Me- 
ngetahui. 

Ila ialah sumpah seorang suami terhadap istrinya bahwa dia tidak 
akan menggaulinya selama suatu masa. Hal ini adakalanya berjangka 
waktu kurang dari empat bulan atau lebih. Jika jangka waktunya ku- 
rang dari empat bulan, maka pihak suami harus menunggu habisnya 
masa yang disumpahkannya, setelah itu baru boleh menyetubuhi kem- 
bali istrinya; dan pihak istri harus bersabar, pihaknya tidak boleh me- 
minta dijimak dalam masa tersebut. Hal ini telah disebutkan di dalam 
kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan: 

Bahwa Rasulullah Saw. pernah meng-ila istri-istrinya selama sa- 
tu bulan. Maka beliau baru turun setelah dua puluh sembilan ha- 
ri, lalu bersabda, "Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan 
hari." 



Tafsir Ibnu Kasir 479 

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semi- 
sal melalui Umar ibnul Khattab r.a. 

Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh me- 
minta kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa em- 
pat bulan. Setelah habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada sa- 
lah satu pilihan: Adakalanya menyetubuhi istrinya dan adakalanya 
menceraikan istrinya, pihak hakim boleh menekan pihak suami untuk 
melakukan hal tersebut. Demikian itu agar pihak istri tidak mendapat 
mudarat karenanya. Oleh sebab itulah maka disebutkan oleh firman- 
Nya: 

Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya. (Al-Baqarah: 226) 

Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Di dalam ayat ini 
terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya khusus 
bagi istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Seperti yang dikata- 
kan oleh jumhur ulama. 

diberi tangguh empat bulan (lamanya). (Al-Baqarah: 226) 

Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia mengucapkan 
sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi 
istrinya atau menceraikannya. Karena itulah pada firman selanjutnya 
disebutkan: 



Cvvx ! 5 i/ lJD .jd^O» 



Kemudian jika mereka kembali (kepada istri-istrinya). (Al-Baqa- 
rah: 226) 

Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami 
istri secara utuh. Kalimat ini merupakan kata sindiran yang menun- 



4^() Juz 2 — Al-Baqarah 

jukkan pengertian bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu 
Abbas, Masruq, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, dan ulama lainnya 
yang bukan hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu Jarir. 
Firman Allah Swt.: 



Cvv 



f ^ <fj> < "'i 1<S(< 



moto sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penya- 
yang. (Al-Baqarah: 226) 

Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang atas semua 
kelalaian yang dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah 
ila. 

Firman Allah Swt.: 



Cvvi 



■^=.te&2&&&& 



Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesung- 
guhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ba- 
qarah: 226) 

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi pegangan salah satu 
di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu gaul qadim 
dari Imam Syafii. Bahwa orang yang bersumpah ila apabila kembali 
kepada istrinya sesudah empat bulan, tidak ada kifarat atas dirinya. 
Hal ini diperkuat oleh hadis yang terdahulu mengenai ayat ini, diriwa- 
yatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu ia melihat bah- 
wa selainnya lebih baik daripadanya, maka kifaratnya ialah me- 
ninggalkan sumpahnya itu. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu 
Daud, dan Imam Turmuzi. 



Tafsir Ibnu Kasir 48 1 

Akan tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan qaul jadid 
Imam Syafii yang mengatakan bahwa si suami dikenakan kifarat, 
mengingat keutamaan makna wajib membayar kifarat bagi setiap 
orang yang bersumpah, lalu melanggar sumpahnya, sebagaimana 
yang dijelaskan oleh hadis-hadis terdahulu yang semuanya sahih. 

Firman Allah Swt.: 



.$&!#3» 



Dan jika mereka bertetap hati untuk talak. (Al-Baqarah: 227) 

Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bah- 
wa talak tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demi- 
kianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhkhirin. Sedangkan 
menurut pendapat ulama lainnya, talak satu jatuh setelah lewat masa 
empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang sanad-sanad- 
nya berpredikat sahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 
Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dipe- 
gang oleh Ibnu Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu Sala- 
mah, Qatadah, Syauraih Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, Ata, Abu 
Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Tarkhan At-Taimi, 
Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi. 

Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya ma- 
sa Ha empat bulan dengan status talak rafi. Demikianlah menurut 
Sa'id ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris 
ibnu Hisyam, Mak-hul, Rabi'ah, Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Ha- 
kam. 

Menurut pendapat yang lainnya lagi, si istri tertalak ba-in. Penda- 
pat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu 
Umar, dan Zaid ibnu Sabit; serta dipegang oleh Ata, Jabir ibnu Zaid, 
Masruq, Ikrimah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hana- 
fiyyah, Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu Hanifah, As-Sauri, dan 
Al-Hasan ibnu Saleh. 

Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri tertalak dengan 
lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya idah atas pihak istri. 
Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa 



482 Juz 2 — Al-Baqarah 

yang mengatakan bahwa si istri telah mengalami haid tiga kali, maka 
tidak ada idah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh 
Imam Syafii. 

Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama 
mutaakhkhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia di- 
tuntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada 
suatu talak pun yang jatuh atas diri si istri hanya karena lewatnya ma- 
sa empat bulan. 

Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar 
yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki meng-//a istrinya, maka ta- 
laknya tidak ada yang jatuh, sekalipun telah berlalu masa empat bu- 
lan; melainkan pihak suami dihentikan, lalu dituntut untuk kembali 
kepada istrinya atau menceraikannya." Demikianlah menurut riwayat 
yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. 

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepa- 
da kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman 
ibnu Yasar yang mengatakan, "Aku telah menjumpai belasan orang 
sahabat Nabi Saw., semua berpendapat bahwa lelaki yang bersumpah 
ila dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii paling sedi- 
kit terdiri atas tiga belas orang. 

Imam Syafii meriwayatkan sebuah asar melalui Ali r.a., bahwa ia 
menghentikan suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan 
bahwa memang demikianlah menurut pendapat kami, pendapat ini se- 
suai dengan apa yang telah kami riwayatkan melalui Umar, Ibnu 
Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu Sabit dan belasan orang sahabat 
Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii rahimahullah. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, da- 
ri Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya 
yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada dua belas lelaki 
sahabat tentang masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah 
ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan bahwa si suami tidak dike- 
nakan apa pun sebelum lewat masa empat bulan, setelah itu si suami 
dihentikan dan dipaksa memilih salah satu di antara dua alternatif: 
Adakalanya kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) atau mence- 
raikannya. 



Tafsir Ibnu Kasir 483 



Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni melalui 
Suhail. 

Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, 
Abu Darda, Aisyah Ummul Mu-minin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas. 
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu 
Abdul Aziz, Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu Ka'b, dan Al-Qasim. 

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan 
Imam Ahmad ibnu Hambal serta murid-murid mereka semuanya, ra- 
himahullah. 

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir, juga yang di- 
katakan oleh Al-Lais, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Saur, 
dan Daud. Mereka semua berpendapat bahwa jika pihak suami tidak 
mau kembali kepada istrinya, maka pihak suami harus menalak istri- 
nya. Jika pihak suami tidak mau menalak istrinya, maka pihak hakim- 
lah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak yang dijatuhkan ber- 
sifat rafi, si suami boleh merujuknya selagi dalam masa idahnya. 

Tetapi Imam Malik berpendapat menyendiri. Ia mengatakan, ti- 
dak boleh pihak suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya 
dalam idahnya. Pendapat ini aneh sekali. 

Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan dengan masalah me- 
nangguhkan seorang suami yang bersumpah ild selama empat bulan 
telah menyebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik 
ibnu Anas di dalam kitab Muwattd 1 -nya, dari Abdullah ibnu Dinar 
yang menceritakan bahwa di suatu malam Khalifah Umar ibnul Khat- 
tab keluar, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan syair ber- 
ikut: 



Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya kelihatan su- 
dah menghitam, sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada 
kekasih yang biasa bermain denganku. Maka demi Allah, se- 
andainya aku tidak mempunyai perasaan bahwa Allah selalu 



484 Juz 2 — Al-Baqarah 

mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari tempat tidur 
ini. 

Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya (yaitu Siti Haf- 
sah r.a.), "Berapa lamakah seorang wanita bertahan ditinggal suami- 
nya?" Siti Hafsah menjawab, "Enam atau empat bulan." Maka Umar 
berkata, "Aku tidak akan menugaskan seorang pun dari pasukan 
kaum muslim lebih dari masa tersebut." 

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib ibnu Jubair 
maula ibnu Abbas yang telah menjumpai masa sahabat Nabi Saw. 
(yakni tabi'in) mengatakan bahwa ia masih tetap teringat kepada ha- 
dis Umar. Disebutkan bahwa di suatu malam Khalifah Umar mengeli- 
lingi kota Madinah, dia sering melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia 
melewati rumah seorang wanita Arab, sedangkan pintu rumah wanita 
itu tertutup, lalu terdengar wanita itu mendendangkan syair berikut: 




Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat tidurnya su- 
dah lapuk, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada 
kekasih yang aku biasa bermain dengannya. Aku bermain de- 
ngannya tahap demi tahap, seakan-akan bulan menampakkan 
alisnya di malam yang pekat. Dia membuat senang orang yang 
bermain di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak be- 
sar itu aku mendekatinya. Demi Allah, seandainya tidak ada 



Tafsir Ibnu Kasir 435 

Allah dan memang kenyataannya tiada sesuatu pun selain Allah, 
niscaya lambungnya pasti direbahkannya di atas tempat tidur ini. 
Akan tetapi, aku takut kepada malaikat pengawas yang ditugas- 
kan menjaga diri kami, sepanjang masa dia selalu mencatat se- 
muanya karena taat kepada perintah Tuhanku, sedangkan rasa 
malu menghalang-halangi diriku dan demi menghormat suamiku 
agar diriku jangan tercemar. 

Kemudian perawi melanjutkan asar ini seperti yang disebutkan di atas 
atau semisal dengannya. Asar ini diriwayatkan pula melalui berbagai 
jalur, dan merupakan salah satu as'ar yang terkenal. 

Al-Baqarah, ayat 228 

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 
tiga kali auru' . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang 
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada 
Allah dan hari akhirat. Dan suaminya lebih berhak merujukinya 
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu meng- 
hendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang 
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, 
para suami mempunyai suatu tingkatan kelebihan daripada 
istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. 

Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah 
dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa guru', hendaklah me- 



48g Juz 2 — Al-Baqarah 

reka menunggu selama tiga kali quru' . Yakni salah seorang dari me- 
reka yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali 
quru', kemudian kawin jika menghendaki. 

Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman makna 
ayat ini, yaitu berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. 
Maka sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali 
quru', mengingat segala sesuatunya adalah separo dari wanita yang 
merdeka; sedangkan quru' tidak dapat dipecahkan, maka digenapkan- 
lah baginya dua kali quru'. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu 
Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qa- 
sim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan 
idahnya adalah dua kali haid. 

Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam 
Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali. Al-Hafiz 
Ad-Daruqutni mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang be- 
nar ialah hadis ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad 
sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah mcriwayatkannya melalui jalur 
Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu\ Imam Daruqutni 
mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh Salim 
dan Nafi', dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni 
mauquf, bukan marfu'). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar 
ibnul Khattab. 

Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbeda- 
an pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian 
ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama de- 
ngan wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al- 
Baqarah: 228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat 
pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka 
dan budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar 
ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut 
mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya daif. 



Tafsir Ibnu Kasir 487 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Abui Yaman, telah menceri- 
takan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Mu- 
hajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan 
Al-Ansariyah) telah menceritakan hadis berikut: Ia pernah diceraikan 
di masa Rasulullah Saw., sedangkan saat itu masih belum ada idah 
bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya- 
ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah 
wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita 
pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita 
yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya: 

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 
tiga kali quru' . (Al-Baqarah: 228) 

Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur) ini. 

Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat ten- 
tang makna yang dimaksud dari istilah quru' . Apakah makna yang 
sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu: 

Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah 
masa suci. Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta' -nya, 
dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti 
Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid- 
nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal 
tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengata- 
kan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah 
ulama yang membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya 
Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: 

tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) 

Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian 
apa yang dimaksud dengan quru'l Sesungguhnya yang dimaksud de- 
ngan istilah quru' ialah masa suci." 



488 Juz 2 — Al-Baqarah 

Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia per- 
nah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku 
belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami 
melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa 
suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh 
Aisyah. 

Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu 
Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki mence- 
raikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, ber- 
arti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya." 
Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang 
berlaku di kalangan kami." 

Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid 
ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Ba- 
kar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, 
Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat 
inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain- 
lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Penda- 
pat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. 

Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya: 

Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka da- 
pat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1) 

Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si 
suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjuk- 
kan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang di- 
perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka 
mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, 
masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki ma- 
sa haidnya yang ketiga. 

Batas minimal masa yang dijalani oleh seorang istri hingga masa 
idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah 
dan lain-lainnya mengatakan demikian dengan berpegang kepada per- 
kataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya: 



Tafsir Ibnu Kasir 489 

Setiap tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, te- 
kad dan semangatmu tetap menyala, banyak harta benda (gani- 
mah) yang kamu peroleh, dan kamu dari keturunan yang terhor- 
mat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci istri-istrimu. 

Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih ber- 
perang daripada tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa 
suci istri-istrinya; ia tidak menyetubuhi mereka di masa-masa terse- 
but. 

Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid. 
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis ma- 
sa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lain- 
nya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya. 

Batas minimal waktu yang dijalani oleh seorang wanita hingga 
sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lah- 
zah. 

As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah 
yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar 
ibnu Khattab r.a. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata 
kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama 
sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku te- 
lah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar berka- 
ta kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah 
menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu 
Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'." 

Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, 
Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Ma- 
lik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, 
Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, 
Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu 
Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hay- 



490 J uz 2 — Al-Baqarah 

yan, As-Saddi, Mak-hul, Ad-Dahliak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka 
semua mengatakan bahwa quru' artinya haid. 

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid- 
muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang 
paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan 
darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembe-. 
sar sahabat Rasulullah Saw. mengatakan bahwa quru' artinya haid." 
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ib- 
nu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu 
Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah 
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai me- 
lalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari 
Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda 
kepadanya: 



&<pp$v*&\£ 



Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu). 

Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka 
hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) dise- 
butkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak di- 
kenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam 
kitab As-Siqat. 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan 
orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan 
suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam 
waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang 
biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini 
menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Penda- 
pat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul. 

Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala 
mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebut- 
an quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dina- 
makan quru'. 



Tafsir Ibnu Kasir 491 

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perseli- 
sihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang 
dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci; dan sesungguhnya mere- 
ka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat 
ini, yaitu terdiri atas dua pendapat. 

Firman Allah Swt.: 

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah 
dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228) 

Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang 
dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Ha- 
kam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain- 
lainnya yang bukan hanya seorang. 
Firman Allah Swt.: 

jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Al-Baqa- 
rah: 228) 

Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka 
jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bah- 
wa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak 
wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka 
sendiri; dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyak- 
annya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu di- 
kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar 
jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran 
belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa 
idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada 
maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan 
agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menam- 
bah-nambahi atau mengurangi. 



492 Juz 2 — Al-Baqarah 

Firman Allah Swt.: 



dw\ 



■ujo \ «Dj^i^^S3r®^ 



Z)a/7 suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, 
jika mereka (para suami) itu menghendaki z's/a/z. (Al-Baqarah: 228) 

Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk meru- 
jukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu 
adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita- 
wanita yang ditalak rafi. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan 
secara ba-in, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya 
talak ba-in. Talak ba-in baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali. 

Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih 
berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak 
seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga 
kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita 
yang ditalak ba-in dan yang bukan talak ba-in (talak rafi). 

Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi 
Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, 
yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah 
kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir 
tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang sebelumnya atau- 
kah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersi- 
fat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan. 

Firman Allah Swt.: 

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan ke- 
wajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228) 

Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang de- 
ngan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hen- 
daklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wa- 
jib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf. Seperti 



Tafsir Ibnu Kasir 493 

yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa Ra- 
sulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'nya: 

Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, 
karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat 
dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat 
Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak 
mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak perma- 
dani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, 
maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan 
bagi mereka pangan dan sandangnya secara makruf. 

Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al- 
Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah 
bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah hak 
istri seseorang di antara kami?" Rasulullah Saw. menjawab: 

Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi 
pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu 
memukul wajah, jangan pula berkala-kata buruk serta jangan 
pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah. 

Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ib- 
nu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka 



494 Juz 2 — Al-Baqarah 

berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias untukku." 
Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah Swt. telah berfirman: 

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewa- 
jibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228) 

Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. 
Firman Allah Swt.: 

Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan da- 
ripada istrinya. (Al-Baqarah: 228) 

Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pa- 
da perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutama- 
an di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman- 
Nya: 

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh ka- 
rena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas se- 
bagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah 
menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34) 

Adapun firman Allah Swt.: 

Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 228) 
Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang dur- 



Tafsir Ibnu Kasir 495 

haka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana 
dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya. 

Al-Baqarah, ayat 229-230 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi 
dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang 
baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari 
yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau kedua- 
nya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. 
Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat 
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas ke- 
duanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus 
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian me- 
langgarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, 
mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami 
menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu ti- 
dak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang 



496 Juz 2 — Al-Baqarah 



lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka 
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) 
untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat 
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, di- 
terangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. 

Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang 
berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih ber- 
hak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus 
kali talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya. 

Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah 
membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan ru- 
juk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruh- 
an pada talak yang ketiga kalinya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: 



f#.?»<i»-f ,7f,srfi\^,.' i *\ s/J s. S k <C 






Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi 
dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang 
baik. (Al-Baqarah: 229) 

Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya mengatakan, yaitu dalam 
Bab "Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah menceritakan 
kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah mencerita- 
kan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid 
ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan 
makna firman-Nya: 

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang 
diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228), hingga 
akhir ayat. 



Tafsir Ibnu Kasir 497 

Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah 
yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya 
sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman- 
Nya: 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229), hingga 
akhir ayat. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Zakaria ibnu Yah- 
ya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafaz yang 
sama. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ib- 
nu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada se- 
orang lelaki berkata kepada istrinya, "Aku tidak akan menceraikanmu 
selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-la- 
manya." Si istri bertanya, "Bagaimana caranya bisa demikian?" Le- 
laki (si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila 
masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali." 

Lalu si istri datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan ke- 
padanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (AI-Baqarah: 229) 

Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab 
tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris. Abdu 
ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari 
Ja'far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadis ini dari Hisyam, dari 
ayahnya yang menceritakan: 



498 Juz 2 — Al-Baqarah 

Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, se- 
kalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendaki- 
nya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya. Dan ada 
seorang lelaki dari kalangan Amar marah kepada istrinya, lalu 
ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan ti- 
dak pula akan menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana 
bisa demikian?" Si suami menjawab, "Aku akan menceraikanmu; 
dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan me- 
rujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila 
sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu 
kembali." Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulul- 
lah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang 
dapat dirujuki) dua kali" (Al-Baqarah: 229). 

Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang 
tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka men- 
jatuhkannya maupun yang belum pernah. 

Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur 
Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair, 
dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha- 
dis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya. 

Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya'la ibnu 
Syabib dengan lafaz yang sama. 

Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui Abu 
Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mur sal, dan 
mengatakan bahwa sanad hadis ini paling sahih. 

Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya 
melalui jalur Ya'qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu Syabib 



Tafsir Ibnu Kasir 499 

dengan lafaz yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini sa- 
hih. 

Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan ke- 
pada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan 
kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah 
ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari 
ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: 

J ^ fiat**: s <<* s -^T< wlti'"' j. 9 • <><"'"'^Jt<L£u. 

Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; searang lelaki dapat 
menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri be- 
lum habis masa idahnya. Dan tersebutlah terjadi antara seorang 
lelaki Ansar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh 
kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenak- 
nya). Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan mem- 
buat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita 
yang bersuami." Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah 
istrinya hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melaku- 
kan hal tersebut berkali-kali. Maka Allah Swt. menurunkan fir- 
man-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh 
rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan 



500 Juz 2 — Al-Baqarah 

cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sam- 
pai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si 
istri kawin dengan suami yang baru. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As- 
Saddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu 
Jarir memilih bahwa hadis ini merupakan tafsir dari ayat ini. 
Firman Allah Swt.: 

Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau men- 
ceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229) 

Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau 
dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih da- 
lam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat mem- 
perbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia 
menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan 
ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu ber- 
buat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu 
membuat dia mudarat. 

Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengata- 
kan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, ma- 
ka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni da- 
lam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang 
makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik, atau mencerai- 
kannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya 
barang sedikit pun." 

Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami 
Yunus ibnu Abdul A'la secara airaah (bacaan), telah menceritakan 
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan As- 
Sauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami' yang mengata- 
kan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadis ber- 
ikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 50 1 

Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai 
Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman- 
Nya, 'Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau 
menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka 
manakah talak yang ketiganyaV Nabi Saw. menjawab, "Mele- 
paskan (menceraikan) dengan cara yang baik." 

Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsir- 
nya yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Telah menceritakan ke- 
pada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sa- 
mi', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadis berikut: 



/ > 






Seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pen- 
dapatmu mengenai firman Allah Swt., 'Talak (yang boleh di- 
rujuki) dua kalV (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang 
ketiganya?" Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) 
dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.'''' 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Hal yang sama diri- 
wayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, 
dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Sami', 
dari Abu Razin dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan 
pula oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Qaisibnur Rabi', dari Ismail 
ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama secara mursal. 

Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid 
ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi 
Saw., lalu ia menceritakan hadis tersebut. 



502 Juz 2 — Al-Baqarah 



Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan ke- 
pada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah mencerita- 
kan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada ka- 
mi Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada ka- 
mi Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Sala- 
mah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: 



<\<< i^ , S\'A\A^ « tf^n %>")£. 



Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai 
Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka ma- 
nakah talak yang ketiganya?"' Rasulullah Saw. menjawab, "Ru- 
juk lagi dengan cara yang makruf atau melepaskan (mencerai- 
kan) dengan cara yang baik." 

Firman Allah Swt.: 

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang te- 
lah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229) 

Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit 
mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada 
kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada 
mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkap- 
kan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: 



i 



*«.•** 



Tafsir Ibnu Kasir 503 

Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak 
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan 
kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji 
yang nyata. (An-Nisa: 19) 

Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka 
hati, maka diterangkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: 



C i s 9-0^3 



£J&'&tzz&$$M 



Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari 
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) 
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. 
(An-Nisa: 4) 

Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menu- 
naikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepada- 
nya — begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergauli- 
nya — , maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami de- 
ngan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima 
darinya. Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak 
ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena 
itulah Allah Swt. berfirman: 

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang te- 
lah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kha- 
watir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika 
kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menja- 
lankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya 
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. 
(Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat. 

Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia me- 
minta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, me- 



504 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

nurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan, telah men- 
ceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada ka- 
mi Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub ibnu 
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya 
(Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan 
kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang mencerita- 
kannya, dari Sauban, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. 
pernah bersabda: 

Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk dicerai- 
kan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya 
bau surga. 

Demikian pula menurut riwayat Imam Turmuzi, dari Bandar, dari Ab- 
dul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam Turmuzi menga- 
takan bahwa predikat hadis ini hasan. Imam Turmuzi mengatakan, te- 
lah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, 
dari Sauban. Sebagian ahli hadis ada yang meriwayatkannya dari 
Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu' . 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ab- 
dur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, 
dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah 
menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah menceritakan bah- 
wa Rasulullah Saw. telah bersabda: 

Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya 
tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu 



Tafsir Ibnu Kasir 505 

Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadis Hammad ibnu Zaid dengan la- 
faz yang sama. 

Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir, telah 
menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan ke- 
pada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Lais ibnu Abu Idris, juga 
Sauban (pelayan Rasul Saw.), bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: 

Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya agar dicerai- 
kan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan 
atasnya bau surga. 

Nabi Saw. bersabda pula: 






Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan oleh suaminya) 
adalah wanita-wanita munafik. 

Kemudian Ibnu Jarir dan Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abu 
Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari 
Lais (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abui Khattab, dari Abu Zar'ah, 
dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: 






Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah wanita-wanita mu- 
nafik. 

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib bila di- 
tinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan ke- 
pada kami Ayyub, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, 
telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Asy'as ibnu 



506 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, 
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka 
bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik. 

Hadis ini berpredikat garib lagi daif 'bila ditinjau dari segi ini. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan 
kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah 
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, 
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 

Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka ber- 
tengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, telah menceritakan kepada 
kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami 
Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Ima- 
rah ibnu Sauban, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. 
telah bersabda: 

Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang 
bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium 
baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar da- 
pat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun. 

Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan pa- 
ra Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali 
jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam 



Tafsir Ibnu Kasir 507 

keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima te- 
busan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. 
Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya: 

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang le- 
lah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kha- 
watir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al- 
Baqarah: 229) 

Mereka mengatakan bahwa masalah khulu' hanya disyariatkan bila 
kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena itu, masalah khu- 
lu' tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Se- 
dangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada. 

Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, 
Tawus, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam 
Malik dan Al-A'uzai mengatakan, "Seandainya seorang suami meng- 
ambil sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak is- 
tri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah 
talaknya sebagai talak raf i." Imam Malik mengatakan, "Demikianlah 
yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian." 

Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan mela- 
kukan khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan 
tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi 
yang lebih utama. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua mu- 
ridnya. 

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Is- 
tizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bah- 
wa khulu' itu di-mansukh oleh firman-Nya: 

sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara 
mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil 
kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 20) 



508 Juz 2 — Al-Baqarah 



Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, 
tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena sesungguh- 
nya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan ber- 
kenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Ha- 
bibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan 
jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya. 

Imam Malik di dalam kitab Muwatta' -nya mengatakan dari Yah- 
ya ibnu Sa'id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zara- 
rah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari 
Habibah binti Sahi Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ib- 
nu Qais ibnu Syammas. Ketika Rasulullah Saw. keluar menunaikan 
salat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahi berada di depan 
pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah 
Saw. bertanya, "Siapakah wanita ini?" Ia menjawab, "Aku Habibah 
binti Sahi." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah keperluanmu?" Ia 
menjawab, "Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais," mak- 
sudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, 
maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Perempuan ini adalah 
Habibah binti Sahi, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh 
Allah mengenai dirinya." Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, semua 
apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah 
Saw. bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), "Ambillah kembali darinya." 
Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah, lalu 
Habibah tinggal di rumah keluarganya. 

Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Ab- 
dur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu 
Daud meriwayatkannya pula dari Al-Qa'nabi, dari Malik, sedangkan 
Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari 
Ibnul Qasim, dari Imam Malik. 

Hadis lain diriwayatkan dari Siti Aisyah. Imam Abu Daud dan 
Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, 
telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah 
ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti 
Sahi adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukul- 
nya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian 



Tafsir Ibnu Kasir 509 

Habibah datang kepada Rasulullah Saw. sesudah salat Subuh, dan 
mengadu kepadanya. 

Maka Rasulullah Saw. memanggil Sabit dan bersabda, "Ambillah 
sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!" Sabit bertanya, "Apakah hal 
tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menja- 
wab, "Ya." Sabit berkata, "Sesungguhnya aku menyedekahkan kepa- 
danya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangan- 
nya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya, 
kemudian ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut. 

Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi ada- 
lah Sa'id ibnu Salamah ibnu Abui Husam. 

Hadis lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas. Imam Bukhari 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah 
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah mence- 
ritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah 
menceritakan hadis berikut: 



.C 



i^^&JZ^h ^j,oJ^i|^ 



Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi 
Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya da- 
lam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melain- 
kan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam." Maka 
Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan ke- 
padanya kebun (kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah 
Saw. bersabda, "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali 
talak." 



510 Juz 2 — Al-Baqarah 

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dari Azar ibnu 
Jamil berikut sanadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari 
Ishaq Al- Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid 
(yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan 
lafaz yang semisal. 

Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai 
jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada se- 
bagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan: 



.{£&&£<! 



Aku tidak tahan dengannya, yakni benci. 

Hadis ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Bukhari sendiri yang 
memilikinya. Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah mencerita- 
kan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada ka- 
mi Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah r.a. 
— demikianlah menurutnya — , tetapi yang masyhur nama pelaku wa- 
nitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya. 

Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan, telah 
menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu Yusuf At- 
Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abui Qasim (yaitu Abdul- 
lah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Bagawi), telah mencerita- 
kan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah mencerita- 
kan kepadaku Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, da- 
ri Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis 
berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 511 

Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi Saw., lalu ber- 
kata, "Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais 
dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada ke- 
munafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena 
benci." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau me- 
ngembalikan kebunnya kepadanya?" Jamilah menjawab, "Ya" 
Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk 
mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih. 

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui 
Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Mar- 
wan, telah menceritakan kepada kami Abdul A 'la hal yang semisal. 
Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan 
berikut sanadnya dengan lafaz yang sama, sanad hadis ini baik lagi 
benar. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hu- 
maid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah men- 
ceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdul- 
lah ibnu Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, 
bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang ke- 
pada suaminya. Maka Nabi Saw. memanggilnya, kemudian bersabda 
kepadanya: 

S* J -> 






<f\ 



"Hai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?" Ja- 
milah menjawab, "Demi Allah, bukannya aku tidak senang ke- 
padanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akh- 
lak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang bu- 



512 Juz 2 — Al-Baqarah 



ruk." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau 
mengembalikan kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." 
Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi Saw. mence- 
raikan di antara keduanya. 

Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al- 
Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar 
kepada Fudail yang menerima hadis berikut dari Abu Jarir, bahwa 
Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, "Apakah masalah khulu' 
mempunyai dalil asal?" Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah 
menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam Islam terjadi pada 
saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay. 

Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah 
ibnu Ubay datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Ra- 
sulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lama- 
nya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia 
datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki ber- 
kulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Ma- 
ka suaminya berkata, "Wahai Rasulullah, seunggunnya aku telah 
memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu ke- 
bunku. Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepada- 
ku?" Rasulullah Saw. bertanya kepada istrinya, "Bagaimanakah pen- 
dapatmu?" Si istri menjawab, "Ya. Dan jika dia menghendaki, aku 
beri tambahannya." Maka Nabi Saw. memisahkan (menceraikan) ke- 
duanya. 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majali, telah menceritakan 
kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu 
Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, 
dari kakeknya yang menceritakan: 



0^4j)l ^U^SjJ^'j^'J^lijb ; e^dVo^U-^ja 



's" c 

1 * ,\ 



9 k' 



Tafsir Ibnu Kasir 513 

Habibah binti Sahi pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais 
ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupa- 
nya. Lalu Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, se- 
kiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, 
niscaya aku ludahi wajahnya." Rasulullah Saw. bersabda, "Mau- 
kah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah 
menjawab, "Ya." Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit ke- 
bun (yang pernah ia berikan kepada)nya. Kemudian Rasulullah 
Saw. memisahkan keduanya. 

Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki me- 
minta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang per- 
nah ia berikan kepada pihak si istri. 

Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena meng- 
ingat keumuman makna firman-Nya: 

maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di- 
berikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu 
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah men- 
ceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bah- 
wa dihadapkan kepada Khalifah Umar seorang wanita yang mem- 
bangkang terhadap suaminya. Maka Khalifah Umar memerintahkan 
agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak 
sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, "Ba- 
gaimanakah perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum pernah 



514 Juz 2 — Al-Baqarah 

merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi se- 
waktu engkau menyekapku." Maka Khalifah Umar berkata kepada 
suaminya, "Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-anting- 
nya." 

Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari 
Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafaz yang semisal. Tetapi 
di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wa- 
nita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari. 

Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari 
Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang ke- 
pada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal 
dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam ru- 
mah yang penuh dengan sampah. Pada keesokan harinya Khalifah 
Umar berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?" 
Wanita itu menjawab, "Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah 
merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini." Maka 
Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), "Ambillah, sekalipun kon- 
denya (lalu ceraikanlah dia)." 

Imam Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan 
khulu' dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde. 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi' 
binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah menceritakan asar berikut. Ia per- 
nah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di 
rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya. 

Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada 
suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu' 
kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki." Si suami menja- 
wab, "Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal itu. 

Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu'az 
ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu 
Affan. Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu' itu dan meme- 
rintahkan kepada suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan 
yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih 
kecil daripada konde. 

Makna yang dimaksud dari asar ini ialah bahwa pihak suami di- 



Tafsir Ibnu Kasir 515 

perbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu' seperti itu 
segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar atau- 
pun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde ke- 
palanya. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mu- 
jahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zu-aib, Al-Hasan 
ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti. 

Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Lais, 
Imam Syafii, dan Abu Saur serta dipilih oleh Ibnu Jarir. 

Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mu- 
darat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami 
diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan ke- 
padanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut 
tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. 

Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, ma- 
ka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istri- 
nya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya di- 
perbolehkan lewat pengadilan. 

Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan 
bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa 
yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu'. Hal ini 
dikatakan oleh Sa'id ibnu Musayyab, Ata, Amr ibnu Syu'aib, Az- 
Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, 
dan Ar-Rabi' ibnu Anas. 

Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah 
mengatakan, "Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang 
meminta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke- 
padanya." 

Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan se- 
orang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' lebih banyak 
daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya. 

Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadis yang telah ka- 
mi sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, 
dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah Saw. 
memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu 
(yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu. 



516 Juz 2 — Al-Baqarah 

Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid 
yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari 
Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, bahwa Nabi Saw. tidak suka bila 
seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' hal yang le- 
bih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya. Mereka 
menakwilkan makna ayat berikut: 

Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di- 
berikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) 

Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, 
mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: 

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang te- 
lah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kha- 
watir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika 
kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menja* 
lankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya 
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. 
(Al-Baqarah: 229) 

Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut. 

Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas 
melalui qiraahnya yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya 
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya de- 
ngan mengembalikan pemberian tersebut." Demikianlah menurut ri- 
wayat Ibnu Jarir. Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: 



Tafsir Ibnu Kasir 517 

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar- 
nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka 
itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229) 

Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih penda- 
pat dalam masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami Sufyan 
ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah 
seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu 
pihak istri meminta khulu' darinya. Maka pihak suami boleh menga- 
wininya jika suka, mengingat Allah Swt. telah berfirman: 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) 
sampai dengan firman-Nya: 

bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali. 
(Al-Baqarah: 230) 

Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Suf- 
yan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu 
yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya. 

Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu 
Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa 
Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya me- 
ngenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali ta- 
lak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bo- 
lehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menja- 
wab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah 
talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' 
disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan 
sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a. 
membacakan firman-Nya: 



C«^>«/JO 






518 Juz 2 — Al-Baqarah 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Selelah itu boleh rujuk lagi 
dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang 
baik. (Al-Baqarah: 229) 

Firman-Nya: 

Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), 
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin 
dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) 

Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. yang kesimpulannya 
menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ib- 
nu Affan r.a. dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikata- 
kan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh 
Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan 
Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam 
Syafii dalam qaul qadim-nya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat 
yang bersangkutan. 

Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bah- 
wa khulu' adalah talak ba-in, kecuali jika lelaki yang bersangkutan 
berniat lebih dari itu. 

Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayah- 
nya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiy- 
yah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama 
Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap 
Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Us- 
man mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bi- 
langannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan." 

Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang 
bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam 
Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif. 

Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu 
Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, 
Al-Hasan, Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Ju- 



Tafsir Ibnu Kasir 519 

ga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; 
serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii da- 
lam qaul jadid-nya. 

Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat 
dengan khulu' -ny a itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau me- 
mutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu ba-inah. Jika pi- 
hak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah ti- 
ga talak." 

Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu' , 
yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak 
ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan se- 
bagai suatu masalah sama sekali. 

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, 
Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal 
mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama de- 
ngan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wa- 
nita yang berhaid. 

Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal 
yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu 
Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu 
Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal- 
las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu 
Sa'd, dan Abui Ubaid. 

Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikata- 
kan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. 
Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa 
khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikate- 
gorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan. 

Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' 
dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk 
membersihkan rahimnya. 

Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi' me- 
minta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada 
Khalifah Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. ber- 
kata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid." 



520 Ju * 2 — Al-Baqarah 

Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, 
"Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali 
haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, 
dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman 
adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami." 

Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari 
Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang me- 
minta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid. 

Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muham- 
mad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang me- 
ngatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya 
adalah sekali haid. 

Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman be- 
serta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka 
yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan 
demikian berdalilkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 
dan Imam Turmuzi; masing-masing dari keduanya mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagda- 
di, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Yahya, telah men- 
ceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr 
ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: 

Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di 
masa Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya 
agar melakukan idah sekali haid. 

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi 
garib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari 
Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal. 



Tafsir Ibnu Kasir 521 



Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, telah menceritakan 
kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami 
Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari 
Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bah- 
wa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah Saw. Maka Nabi 
Saw. memerintahkan kepadanya — atau dia diperintahkan — untuk 
melakukan idah sekali haid. 

Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah disebutkan bahwa 
ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid. 

Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, telah menceritakan ke- 
pada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepa- 
da kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada 
kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah men- 
ceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, da- 
ri Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata 
kepada Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar- 
Rabi' menjawab, "Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemu- 
dian aku datang kepada Khalifah Us'man dan menanyakan kepadanya 
berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Us'man men- 
jawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja meng- 
gaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." 
. ^melanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia da- 
lam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah dipu- 
tuskan oleh Rasulullah Saw. terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Mar- 
yam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khu- 
lu' darinya. 

Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abui Aswad, dari Abu Salamah 
dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' bin- 
ti Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasu- 
lullah Saw. memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika me- 
rrJnta khulu' dari suaminya agar melakukan idah sekali haid. 

Lelaki yang mtng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya 
>sng meminta khulu' dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. 
Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, ka- 



522 Juz 2 — Al-Baqarati 

rena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia 
berikan kepada pihak suami. 

Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Ha- 
nafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka me- 
ngatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut ke- 
pada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya 
selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." 
Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Saur rahimahullah. 

Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan 
memakai lafaz talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada 
jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami me- 
nyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih 
berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya." Penda- 
pat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri. 

Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya 
berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah. 

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari se- 
jumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah 
di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin 
mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat di- 
terima. 

Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukh- 
tali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga 
pendapat di kalangan ulama. 

Pendapat pertama mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh 
melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri 
dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ib- 
nuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam 
Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu 
Saur. 

Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan 
dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka 
talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya 
(lafaz khulu' dan lafaz talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul 
Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang di- 
riwayatkan dari sahabat Usman r.a. 



Tafsir Ibnu Kasir 523 

Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri 
yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun selagi si istri masih ber- 
ada dalam idahnya. Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah 
dan semua teman-temannya serta As-Sauri dan Al-Auza'i. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, 
Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Ham- 
mad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan 
Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum 
terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu Darda). 

Firman Allah Swt.: 

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar- 
nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka 
itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229) 

Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian me- 
rupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. 
Seperti yang dijelaskan di dalam hadis sahih yang mengatakan: 

Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, ma- 
ka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan 
fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia 
telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian 
melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan 
kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian me- 
nanyakan tentangnya. 

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa mengga- 
bungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti 



% 



524 Juz 2 — AI "Baqarah 

yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat 
dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di ka- 
langan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berda- 
sarkan kepada firman-Nya: 

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) 
Kemudian Allah Swt. berfirman: 

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar- 
nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka 
itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229) 

Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadis dari Mahinud 
ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunan- 
nya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman 
ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhra- 
mah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang 
menceritakan: 

%&$&£%>$&&&&■* i^fetfj 

Diceritakan kepada Rasulullah Saw. tentang seorang lelaki yang 
menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau ber- 
diri dalam keadaan emosi dan bersabda, "Apakah Kitabullah di- 
permainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalianV Hing- 
ga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, "Wahai 
Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya?" 

Akan tetapi, di dalam sanad hadis ini terdapat inqita'. 



Tafsir Ibnu Kasir 525 

Firman Allah Swt.: 



Ov- t 



vm i ^£&^y&&'^&A&i&(^bi 



Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), 
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin 
dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) 

Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang 
ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka 
si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki 
yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam 
perkawinan yang benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki 
yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin 
(budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang 
pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin de- 
ngan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, 
maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama. 

Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id 
ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah ber- 
hasil untuk men-tahlil-km (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang 
pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang 
lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu diper- 
timbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah 
meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istizkar-nya. 

Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, 
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan 
kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah 
ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari 
Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. tentang se- 
orang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya 
sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu 
dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetu- 
buhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi Saw., "Bolehkah si wanita 
tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi Saw. men- 
jawab: 



526 Juz 2 — Al-Baqarah 



*H ^'' l?j ^J ' ^ ^ lt^"^ 

Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si 
suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya. 

Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir. Hadis ini 
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceri- 
takan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang menga- 
takan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan ha- 
dis berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib 
ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan 
masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu di- 
talaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikan- 
nya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya 
yang pertama. Maka Nabi Saw. bersabda: 

(Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya. 

Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari Amr ibnu Ali Al- 
Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; ke- 
duanya menceritakan hadis ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, 
dari Syu'bah dengan lafaz yang sama. 

Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu 
Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari 
Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. 
Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada san- 
darannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya. 

Imam Ahmad meriwayatkan pula — begitu pula Imam Nasai dan 
Imam Ibnu Jarir — hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Alqa- 
mah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu 
Umar yang menceritakan: 



Tafsir Ibnu Kasir 527 

Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang mence- 
raikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh 
lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya 
serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikan- 
nya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi sua- 
minya yang pertama? Nabi Saw. menjawab, "Tidak, sebelum si 
wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya." 

Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat 
dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan 
kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ib- 
nu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al- 
Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya 
tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya 
dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan le- 
laki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum me- 
nyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh 
suaminya yang pertama? Maka Rasulullah Saw. menjawab: 

Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu 
kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu 
Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah mencerita- 
kan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis 
ini. 

Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal 
dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang 
juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abui Furat, para ahli hadis berse- 



cto Juz 2 — Al-Baqarah 

lisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilai- 
nya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat dite- 
rima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan 
bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepa- 
da kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah mence- 
ritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami 
Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu KaSir, dari 
Abui Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang di- 
ceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh 
lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya 
yang pertama hendak menikahinya kembali: 

Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya. 

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari 
Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu 
Haris orangnya tidak terkenal. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepa- 
da kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al- 
Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istri- 
nya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki 
lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu 
Rasulullah Saw. ditanya, "Apakah si wanita itu" halal bagi suaminya 
yang pertama?" Maka Rasulullah Saw. bersabda: 

Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu 
kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakan- 
nya. 

Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta 
Imam Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al- 



Tafsir Ibnu Kasir 529 

Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah 
dengan lafaz yang sama. 

Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan 
kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Wa- 
ki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibra- 
him, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi 
Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istri- 
nya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami 
yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia 
belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suami- 
nya yang pertama? Rasulullah Saw. bersabda: 

Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum 
suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun me- 
rasakan kemanisan suaminya yang baru itu. 

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Musad- 
dad dan Imam Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awi- 
yah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafaz 
yang sama. 

Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahih- 
nya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Ham- 
dani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari 
ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya me- 
ngenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu di- 
ceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki 
yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula se- 
belum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi 
oleh suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab: 



^s^Jj^ci^^' 



530 Juz 2 — Al-Baqarah 

Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kema- 
nisannya. 

Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ba- 
kar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, 
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan ke- 
pada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini. 

Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah 
(yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. 
Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdul- 
lah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti 
Aisyah secara marfu' dengan lafaz yang sama atau yang semisal de- 
ngannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik). 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur 
Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu 
Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. 

Konteks hadis di atas merupakan kependekan dari hadis yang di- 
riwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu: Telah menceritakan kepada ka- 
mi Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari 
Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti 
Aisyah secara marfu', dari Nabi Saw. Telah menceritakan pula ke- 
pada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami 
Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a., 
bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia men- 
ceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi Saw. dan 
menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum meng- 
gauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan 
ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi Saw. bersabda: 

Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun 
mencicipi kemanisanmu. 

Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatan- 
nya. 



Tafsir Ibnu Kasir 53 1 

Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan 
kepada kami Abdul A 'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, 
dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: 

/j/n' Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi Saw. Ketika itu aku 
dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, 
"Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan, dan 
sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi 
apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya 
memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ib- 
nul As berada di dekat pintu rumah Nabi Saw. karena belum 
mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Ba- 
kar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara 
blakblakan ini di depan Rasulullah Saw.?" Tiada yang dilaku- 
kan oleh Rasulullah Saw. kecuali hanya tersenyum, lalu bersab- 
da, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak bo- 
leh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan 
pula kemanisanmu. " 



532 Juz 2 — Al-Baqarah 

Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui ha- 
dis Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadis Abdur 
Razzaq, serta Imam Nasai melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga- 
tiganya meriwayatkan hadis ini dari Ma'mar dengan lafaz yang sama. 
Menurut hadis Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim dise- 
butkan: 

Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Daud me- 
lalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur 
Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada 
pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ke- 
tiga. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, 
dan Saleh ibnu Abui Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, 
dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama. 

Imam Malik meriwayatkan dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qu- 
razi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa 
Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah 
binti Wahb di masa Rasulullah Saw. dengan tiga kali talak. Lalu Ta- 
mimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, 
Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Ma- 
ka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. 

Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah 
menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut di- 
ceritakan kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. melarang 
Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: 



Z' * s' J $ 'S* Z ^ '<& <s 



Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (sua- 
mi bwm)nya. 

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam 
Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di da- 
lam sanadnya terdapat ingita'. 



Tafsir Ibnu Kasir 533 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Ab- 
dullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur 
Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-wasal-km hadis ini. 

Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendak- 
nya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepa- 
da wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang 
lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam keten- 
tuan perkawinan. 

Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang ba- 
ru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu se- 
andainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihram 
atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang 
nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihram atau 
sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan 
untuk dikawini oleh suami pertamanya. 

Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi 
yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah de- 
ngan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki. 

Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan 
oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan 
hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam per- 
setubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna 
yang terkandung di dalam sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: 

Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi 
kemanisanmu. 

Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula 
mengalami inzal (ejakulasi). 

Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bu- 
kanlah air mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh 
Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Ra- 
sulullah Saw. pernah bersabda: 



534 Juz 2 — Al-Baqarah 



&$%£&'%& 



Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan). 

Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita 
untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan 
istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak 
hadis. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang 
sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-te- 
rangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kese- 
pakatan jumhur para imam. 



Hadis-hadis tentang muhallil 

1. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. Imam Malik 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, 
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al- 
Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: 



Rasulullah Saw. telah melaknat wanita yang menato dan yang 
ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang 
meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta 
muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wa- 
kilnya. 

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam Tur- 
muzi dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni As- 
Sauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan 
Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu 
Mas'ud, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam 
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi sahih. Imam Tur- 
muzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan 



Tafsir Ibnu Kasir 535 

ahlul 'ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, 
dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari 
kalangan tabi'in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan 
Ibnu Abbas. 

Jalur lain melalui Ibnu Mas'ud. Imam Ahmad mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan ke- 
pada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abui Wasil, dari Ibnu 
Mas'ud, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: 



.•fljfc%3jsaHig2 



Allah melaknat muhallil dan muhallal lah. 

Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai me- 
lalui hadis Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al- 
A'war, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa pemakan 
riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka 
mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan 
yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut 
zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan 
bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; 
semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad Saw. di hari kiamat. 

2. Hadis yang diriwayatkan melalui sahabat Ali r.a. Imam 
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, 
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, 
dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan: 

Rasulullah Saw. telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua 
saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wa- 
nita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau 



536 Juz 2 — Al-Baqarah 

membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau 
Saw. melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah). 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu'bah, dari Ja- 
bir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju'fi), dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari 
Ali dengan lafaz yang sama. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui ha- 
dis Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid 
ibnu Sa'id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya'bi dengan lafaz yang 
sama. 

Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwa- 
yatkannya pula melalui hadis Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama. 

Kemudian Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada 
kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Is- 
rail, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: 



Rasulullah Saw. telah melaknat tukang riba, pemakannya, juru 
tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal lah. 

3. Hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a. Imam Turmuzi me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah 
menceritakan kepada kami Asy'aS ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid 
Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy- 
Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali r.a., 
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



/4j^;j&M£2 



Allah telah melaknat muhallil dan muhallal lah (lelaki penghapus 
talak dan yang memintanya). 

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, sanad hadis ini kurang kuat, 
karena Mujalid dinilai cto/bukan hanya oleh seorang saja, antara lain 
ialah Imam Ahmad ibnu Hambal. 



Tafsir Ibnu Kasir 537 

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula 
oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Ab- 
dullah, dari Ali r.a. Imam Turmuzi mengatakan, sanad ini merupakan 
dugaan dari Ibnu Numair; hadis pertama tadi lebih sahih. 

4. Hadis yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir r.a. Abu Abdul- 
lah (yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, 
telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar 
Al-Lais ibnu Sa'd mengatakan bahwa Abui Mus/ab (yaitu Musarrih 
yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pemah menceritakan 
bahwa Uqbah ibnu Amir r.a. pernah mengatakan bahwa Rasulullah 
Saw. telah bersabda: 

"Maukah kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?" Me- 
reka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi 
Saw. bersabda, "Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak). 
Allah melaknat muhallil dan muhallal lah." 

Hadis ini hanya ada pada Imam Ibnu Majah sendiri. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Ya'qub Al- 
Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Lais dengan lafaz yang sa- 
ma. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam 
hadis ini munkar dengan penilaian munkar yang berat. 

Menurut kami, Usman yang disebut dalam sanad hadis ini adalah 
salah seorang perawi siqah; Imam Bukhari meriwayatkan hadis dari- 
nya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang 
lain. Maka hadis ini diriwayatkan pula oleh Ja'far Al-Giryani, dari 
Al-Abbas yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh 
(yaitu Abdullah ibnu Saleh), dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. 
Karena itu, maka Usman terbebas dari tuduhan yang dilancarkan 
kepada dirinya. 



538 Juz 2 — Al-Baqarah 

5. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Imam Ibnu Ma- 
jah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu 
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah 
ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas 
yang mengatakan: 

Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallat lah. 

Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Al-Hafiz juru khotbah kota Da- 
maskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani As- 
Sa'di), telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah 
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu Hanifah 
dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang men- 
ceritakan: 

Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan 
oleh muhallil, maka beliau bersabda, "Tidak sah, kecuali nikah 
karena kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula 
memperolok-olokkan Kitabullah, kemudian dia merasakan ke- 
manisannya." 

Kedua sanad ini bertambah kuat dengan adanya hadis yang diriwayat- 
kan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Humaid ibnu Abdur 
Rahman, dari Musa ibnu Abui Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari Nabi 
Saw. dengan lafaz yang semisal. Dengan demikian, maka bertambah 
kuatlah dengan adanya hadis mursal ini, satu sama lainnya saling 
memperkuat. 



Tafsir Ibnu Kasir 539 

6. Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Imam Ahmad 
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah men- 
ceritakan kepada kami Abdul! ah (yakni Ibnu Ja'far), dari Usman ibnu 
Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: 

Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lah. 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah 
dan Al-Jauzjani Al-Baihaqi melalui jalur Abdullah ibnu Ja'far Al- 
Qurasyi. Imam Ahmad menilainya siqah, begitu pula Ali ibnul Madi- 
ni dan Yahya ibnu Mu'in serta lain-lainnya. 

Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya 
dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang dinilai siqah oleh Ib- 
nu Mu'in, dari Sa'id Al-Maqbari. Hadis ini termasuk hadis yang di- 
nilai muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Mus- 
lim). 

7. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. Imam Hakim 
mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan 
kepada kami Abui Abbas Al-Asam, iclah menceritakan kepada kami 
Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah menceritakan kepada kami 
Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu 
Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu 
Nafi', dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki 
datang kepada Ibnu Umar, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya ten- 
tang masalah seorang lelaki yang menalak istrinya tiga kali. Lalu 
wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada persetujuan dari pihak 
suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut halal 
dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh 
suami barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami per- 
tamanya)? 

Maka Ibnu Umar menjawab, "Tidak boleh, kecuali nikah karena 
senang. Kami dahulu menganggap perkawinan seperti itu termasuk 
sifah (zina), yakni di masa Rasulullah Saw." 



540 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat 
sahih, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengah- 
kannya. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Abdullah ibnu 
Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama. Ung- 
kapan ini memberikan pengertian bahwa hadis ini berpredikat marfu' . 

Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar 
ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan Abu Bakar ib- 
nul Asram melalui hadis Al-A'masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', 
dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar r.a. yang mengatakan: 

Tidak sekali-kali dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal 
lah, melainkan aku pasti merajam keduanya. 

Imam Baihaqi meriwayatkan melalui hadis Ibnu Luhai'ah, dari 
Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar, bahwa Khalifah Us- 
man ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang kawin 
dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wa- 
nita halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman 
ibnu Affan memisahkan keduanya. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta 
sahabat lainnya yang bukan hanya seorang, semoga Allah melimpah- 
kan rida-Nya kepada mereka. 

Firman Allah Swt.: 



c^-'^jo .yaiȣ)U 



Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqa- 
rah: 230) 

Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya. 

maka tidak ada dosa bagi keuuanya untuk kawin kembali. (Al- 
Baqarah: 230) 



Tafsir Ibnu Kasir 541 

Yaitu dia dan bekas suami yang pertama. 

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum- 
hukum Allah. (Al-Baqarah: 230) 

Maksudnya, kembali membangun aimali tangga secara makruf. Mu- 
jahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya 
menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu. 



cyv-.^jejo .<ui\ ■>$■**- ^?J 



Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230) 
Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya. 

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Ba- 
qarah: 230) 

Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah bila 
seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, 
lalu si lelaki membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian 
si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, se- 
telah itu ia dicerai kembali hingga habis masa idahnya. Selanjutnya ia 
dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepada- 
nya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh 
mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal? 
Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah suami 
yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi 
sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali 
lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya ta- 
lak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah 
dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami 



542 Juz 2 — Al-Baqarati 

yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak" 
yang dihapuskan itu kurang dari tiga. 

Al-Baqarah, ayat 231 

Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati 
akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, 
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Ja- 
nganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, kare- 
na dengan demikian kalian menganiaya mereka. Bara.ig siapa 
berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap 
dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah 
permainan, dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, dan apa yang 
telah diturunkan Allah kepada kalian, yaitu Al-Kitab dan Al-Hik- 
mah. Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang 
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta keta- 
huilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 

Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum lelaki apabila se- 
seorang dari mereka menceraikan istrinya, sedangkan ia berhak me- 
rujukinya, hendaklah ia memperlakukannya dengan baik. Apabila 
idahnya hampir habis dan yang tinggal hanya sisa waktu yang me- 
mungkinkan bagi dia untuk merujukinya, maka adakalanya meme- 
gangnya (yakni merujukinya kembali ke dalam ikatan nikah) dengan 
cara yang makruf. Hendaklah ia memakai saksi dalam rujuknya itu 
serta berniat mempergaulinya dengan cara yang makruf. Atau ada- 



Tafsir Ibnu Kasir 543 

kalanya ia melepaskannya, yakni membiarkannya hingga habis masa 
kiahnya serta mengeluarkannya dari rumah dengan cara yang lebih 
baik, tanpa percekcokan dan tanpa pertengkaran, tanpa saling men- 
caci. 

Allah Swt. berfirman: 

Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, ka- 
rena dengan demikian kalian menganiaya mereka. (Al-Baqarah: 
231) 

Ibnu Abbas, Mujahid, Masruq, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar- 
Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya yang bukan hanya 
seorang telah mengatakan, "Dahulu ada seorang lelaki yang mence- 
raikan istrinya; apabila masa idahnya hampir habis, maka si lelaki itu 
merujukinya untuk menimpakan kemudaratan agar si istri tidak terle- 
pas dari tangannya. Setelah itu ia menceraikannya lagi dan si istri me- 
lakukan masa idahnya. Maka apabila masa idahnya hampir habis, si 
suami merujukinya kembali, lalu menceraikannya lagi agar masa 
idahnya bertambah panjang. Maka Allah Swt. melarang mereka ber- 
buat demikian, dan mengancam pelakunya melalui firman-Nya: 

'Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat 
zalim terhadap dirinya sendiri' (Al-Baqarak 231). 

karena telah melanggar perintah Allah Swt." 
Firman Allah Swt.: 



Cx^>3j^__JO 



■&M®Wi 



Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al- 
Baqarah: 231) 

Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Jarir mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami 



544 Juz 2 — Al-Baqarah 

Ishaq ibnu Mansur, dari Abdus Salam ibnu Harb, dari Yazid ibnu Ab- 
dur Rahman, dari Abui Ala Al-Audi, dari Humaid ibnu Abdur Rah- 
man, dari Abu Musa, bahwa Rasulullah Saw. marah terhadap orang- 
orang Asy-'ariyyin. Lalu Abu Musa datang kepadanya dan berkata, 
"Wahai Rasulullah, mengapa engkau marah kepada orang-orang Asy- 
'ariyyin?" Maka Nabi Saw. menjawab: 



•'V- , -» «^ 



.fe J^&s^S^ $pl 



Seseorang di antara kalian mengatakan, "Aku telah menceraikan 
dan aku telah merujuknya kembali " fra? iw bukanlah talak 
orang-orang muslim. Mereka menalak istrinya sebelum masa 
idahnya. 

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur yang lain 
dari Abu Khalid Ad-Dallal (yaitu Yazid ibnu Abdur Rahman), tetapi 
keadaan dirinya masih perlu dipertimbangkan. 

Masruq mengatakan, yang dimaksud oleh hadis ini ialah lelaki 
yang menceraikan istrinya bukan dalam keadaan yang sewajarnya, tu- 
juannya ialah menimpakan mudarat kepada istrinya melalui talak dan 
rujuk, dengan maksud agar masa idahnya panjang. 

Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi', dan Muqatil 
ibnu Hayyan mengatakan bahwa yang dimaksud ialah seorang lelaki 
yang menalak istrinya seraya mengatakan, "Aku hanya bermain- 
main." Atau dia memerdekakan atau nikah, lalu mengatakan, "Aku 
hanya main-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al- 
Baqarah: 231) 

Maka Allah Swt. memastikan hal tersebut (yakni talak, merdeka, dan 
nikahnya dihukumi sah). 



Tafsir Ibnu Kasir 545 

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ah- 
mad As-Sairafi, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Muhammad 
As-Simsar, dari Ismail ibnu Yahya, dari Sut'yan, dari Lais, dari Mu- 
jahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki 
menalak istrinya dengan maksud bermain-main yang pada kenyataan- 
nya dia tidak bermaksud menalak istrinya. Maka Allah Swt. menu- 
runkan firman-Nya: 

... i. llKJM 



.sgy^s&gs 



Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al- 
Baqarah: 231) 

Maka Rasulullah Saw. mematikan talaknya. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah 
menceritakan kepada kami Al-Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan 
(yaitu Al-Basri) yang menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki 
menalak istrinya, lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Ia 
memerdekakan, lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Dan ia 
nikah, lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Maka Allah 
Swt. menurunkan firman-Nya: 

Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al- 
Baqarah: 231) 

Rasulullah Saw. bersabda: 

Barang siapa yang menjatuhkan talak atau memerdekakan atau 
nikah atau menikahkan dengan sungguhan dan main-main, maka 
apa yang dikatakannya adalah sah atas dirinya. 



546 Juz 2 — Al-Baqarah 



Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari jalur Az-Zuhri, 
dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Al-Hasan dengan lafaz yang semisal. 
Hadis ini berpredikat mursal. Akan tetapi, Ibnu Murdawaih meriwa- 
yatkannya melalui jalur Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Abu 
Darda secara mauquf sampai kepada Abu Darda. 

Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami 
Ahmad ibnul Hasan ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami 
Ya'qub ibnu Abu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Yahya ib- 
nu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, 
dari Ismail ibnu Salamah, dari Al-Hasan, dari Ubadah ibnus Samit se- 
hubungan dengan firman-Nya: 

Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al- 
Baqarah: 231) 

Bahwa dahulu di masa Nabi Saw. ada seorang lelaki mengatakan, 
"Aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku," lalu ia berkata, 
"Aku hanya bermain-main." Ia mengatakan (kepada budaknya), "Aku 
merdekakan kamu," lalu ia berkata, "Aku hanya bermain-main." 
Maka Allah Swt. menuninkan firman-Nya: 

Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al- 
Baqarah: 231) 

Karena itu, Rasulullah Saw. bersabda: 

Ada tiga perkara, barang siapa yang mengatakannya baik secara 
main-main atau sungguhan, maka semuanya jadi sungguhan atas 
dirinya, yaitu talak, memerdekakan, (dan) nikah. 



Tafsir Ibnu Kasir 547 

Hal yang terkenal mengenai hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu 
Daud, Imam Turmu2i, dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Abdur 
Rahman ibnu Habib ibnu Adrak, dari Ata, dari Ibnu Mahik, dari Abu 
Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 

Ada tiga perkara yang sungguhan dan main-mainnya dianggap 
sungguhan, yakni nikah, talak, dan rujuk. 

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. 
Firman Allah Swt.: 



Crr\,- j L j^ .J^f^C^»^Sf^3 



dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 231) 

Yakni karena Dia telah mengutus seorang rasul yang membawa hida- 
yah dan keterangan-keterangan kepada kalian. 



C.vn :SS 



^M 



, .&£*$&&$& 



dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian, yaitu Al-Ki- 
tab dan Al-Hikmah. (Al-Baqarah: 231) 

Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah Al-Qur'an, dan yang dimaksud 
dengan Al-Hikmah ialah sunnah. 

Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang 
diturunkan-Nya itu. (Al-Baqarah: 231) 

Yakni Dia memerintahkan kepada kalian, melarang kalian, serta 
memperingatkan kalian agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan 
yang diharamkan. 




548 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 231) 

Yaitu dalam semua amal perbuatan yang kalian kerjakan dan hal-hal 
yang kalian tinggalkan. 



$e#$$m% 



serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 
(Al-Baqarah: 231) 

Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari semua urusan 
kalian, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan; dan ke- 
lak Dia akan memberikan balasannya kepada kalian atas perbuatan 
tersebut 



Al-Baqarah, ayat 232 

Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu habis idahnya, 
maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin 
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat ketetapan di 
antara mereka dengan cara yang makruf. Itulah yang dinasihat- 
kan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada 
Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagi kalian dan lebih 
suci. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini 
diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang menalak istrinya 



Tafsir Ibnu Kasir 549 

dengan sekali atau dua kali talak, lalu si istri menyelesaikan masa 
idahnya. Kemudian pihak lelaki berminat untuk mengawininya dan 
merujukinya kembali, dan pihak wanita menyetujuinya. Akan tetapi, 
para wali pihak wanita mencegah hal tersebut. Maka Allah melarang 
mereka mencegahnya untuk kembali kepada suaminya itu. 

Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ali ib- 
nu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, 
Az-Zuhri, dan Ad-Dahhak, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan de- 
ngan masalah tersebut. 

Pendapat yang mereka katakan memang tampak jelas dari makna 
lahiriah ayat, dan di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjuk- 
kan bahwa seorang wanita tidak mempunyai hak untuk mengawinkan 
dirinya sendiri. Dalam suatu pernikahan diharuskan adanya seorang 
wali, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu 
Jarir dalam mengulas makna ayat ini. Juga seperti yang disebutkan di 
dalam sebuah hadis yang mengatakan: 

Seorang wanita tidak dapat mengawinkan wanita lainnya, dan 
seorang wanita tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, karena 
sesungguhnya wanita pezina ialah orang yang mengawinkan di- 
rinya sendiri. 

Di dalam asar yang lain disebutkan seperti berikut: 

Tiada nikah kecuali dengan seorang wali mursyid dan dua orang 
saksi laki-laki yang adil. 

Sehubungan dengan masalah ini terdapat perbedaan pendapat di ka- 
langan para ulama yang tercatat di dalam kitab-kitab yang khusus 



550 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

membahas mengenainya, yaitu kitab-kitab fiqih. Sesungguhnya kami 
telah menetapkan masalah ini di dalam Kitabul Ahkam. 

Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan 
Ma'qal ibnu Yasar Al-Muzani dan saudara perempuannya. Maka Imam 
Bukhari mengatakan di dalam kitab Sahih-nya ketika menafsirkan ayat 
ini, bahwa Ubaidillah ibnu Sa'id telah menceritakan kepada kami, Abu 
Amir Al-Aqdi telah menceritakan kepada kami, Ibad ibnu Rasyid telah 
menceritakan kepada kami, Al-Hasan telah menceritakan kepada kami; 
dia mengatakan bahwa Ma'qal ibnu Yasar telah menceritakan kepada- 
nya, "Aku pernah mempunyai saudara perempuan yang dilamar 
melaluiku." 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ibrahim, dari Yunus, dari Al-Hasan, telah menceritakan kepadaku 
Ma'qal ibnu Yasar dan telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, 
telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan ke- 
pada kami Yunus, dari Al-Hasan, bahwa saudara perempuan Ma'qal 
ibnu Yasar ditalak oleh suaminya. Lalu suaminya membiarkannya 
hingga habislah masa idah istrinya itu. Setelah itu ia datang lagi mela- 
marnya, maka Ma'qal menolaknya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu 
firman-Nya: 

maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin 
lagi dengan bekas suaminya. (Al-Baqarah: 232) 

Demikian pula menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, 
Imam Ibnu Majah, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Murdawaih 
melalui berbagai jalur, dari Al-Hasan, dari Ma'qal ibnu Yasar dengan 
lafaz yang sama. 

Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, lafaznya berbunyi se- 
perti berikut: Disebutkan dari Ma'qal ibnu Yasar bahwa ia me- 
ngawinkan saudara perempuannya dengan seorarlg lelaki dari kalang- 
an kaum muslim di masa Rasulullah Saw. Saudara perempuannya itu 
selama beberapa masa menjadi istri lelaki tersebut, kemudian lelaki 
itu menceraikannya dan membiarkan dia menjalani idahnya sampai 
habis. Sesudah itu ternyata lelaki itu masih tetap mencintainya, begitu 



Tafsir Ibnu Kasir 55 1 

pula sebaliknya. Kemudian lelaki itu melamarnya bersamaan dengan 
para pelamar lainnya. Maka Ma'qal ibnu Yasar berkata, "Hai si 
dungu anak si dungu, aku menghormatimu dengan mengawinkan dia 
kepadamu, tetapi kamu menalaknya. Demi Allah, kamu tidak boleh 
rujuk dengan dia kembali untuk selamanya, aku sudah kapok dengan- 
mu." 

Ma'qal ibnu Yasar melanjutkan kisahnya, bahwa ternyata ke- 
inginan keduanya itu didengar oleh Allah Swt. Maka Allah Swt. me- 
nurunkan firman-Nya: 



C w 



, M .$^&£2}'2&& 



Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati 
akhir idahnya. (Al-Baqarah: 231) 



c'f«/'^f; 



sampai dengan firman-Nya: 

sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 232) 

Ketika Ma'qal ibnu Yasar mendengar ayat ini, maka ia mengatakan, 
"Aku tunduk dan patuh kepada Tuhanku," lalu ia memanggil bekas 
suami adik perempuannya dan mengatakan kepadanya, "Aku nikah- 
kan kamu, dan aku hormati kamu." 

Menurut riwayat Ibnu Murdawaih ditambahkan bahwa Ma'qal 
ibnu Yasar mengatakan pula, "Dan aku bayar kifarat sumpahku." 

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa perempuan ter- 
sebut bernama Jamil binti Yasar; dia adalah istri Abui Badah. 

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang 
telah menceritakan bahwa perempuan tersebut bernama Fatimah binti 
Yasar. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh ulama lainnya yang bukan 
hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Semuanya mengatakan 
bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qal ibnu Yasar dan 
saudara perempuannya. 



552 Juz 2 — Al-Baqarah 

As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan de- 
ngan Jabir ibnu Abdullah dan anak perempuan pamannya (sepupu- 
nya). Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama (yaitu 
Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya). 

Firman Allah Swt.: 

Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di 
antara kalian kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 
232) 

Larangan ini yang kalian dilarang melakukannya, yaitu para wali 
mencegah wanita mereka untuk kawin dengan bekas suaminya ma- 
sing-masing bila mereka sama-sama rela di antara sesamanya dengan 
cara yang makruf, merupakan nasihat dan perintah serta hal yang 
perlu ditanggapi. 

kepada orang-orang di antara kalian yang beriman kepada Allah 
dan hari kemudian. (AI-Baqarah: 232) 

Yakni kepada orang-orang yang beriman kepada syariat (hukum) 
Allah dan takut kepada ancaman serta azab-Nya di akhirat serta pem- 
balasan yang akan terjadi padanya. 

Itu lebih baik bagi kalian dan lebih suci. (Al-Baqarah: 232) 

Yaitu bila kalian (para wali) mengikuti syariat Allah dalam masalah 
mengembalikan wanita kalian kepada suaminya masing-masing, dan 
meninggalkan sikap fanatismenya, maka hal ini lebih baik bagi kalian 
dan lebih suci untuk hati kalian. 



C^ y > v^O 



.£$5 



Tafsir Ibnu Kasir 553 

Allah mengetahui. (Al-Baqarah: 232) 

Yakni tentang maslahat-maslahat yang terkandung di dalam apa yang 
Dia perintahkan dan apa yang Dia larang. 

sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 232) 

Maksudnya, kalian tidak mengetahui kebaikan dari apa yang kalian 
lakukan dan apa yang tidak kalian lakukan. 

Al-Baqarah, ayat 233 

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua ta- 
hun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. 
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para 
ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melain- 
kan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu 
menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah ka- 
rena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila 



554 Juz 2 — Al-Baqarah 

keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan 
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas ke- 
duanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang 
lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberi- 
kan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada 
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kali- 
an kerjakan. 

Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. kepada para ibu, meng- 
anjurkan agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan 
yang sempurna, yaitu selama dua tahun penuh. Sesudah itu penyusu- 
an tidak berpengaruh lagi terhadap kemahraman. Karena itulah dalam 
firman selanjutnya disebutkan: 

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al-Baqarah: 
233) 

Kebanyakan para imam berpendapat bahwa masa penyusuan tidak da- 
pat menjadikan mahram kecuali bila si bayi yang disusui berusia di 
bawah dua tahun. Untuk itu seandainya ada anak yang menyusu ke- 
pada seorang wanita, sedangkan usianya di atas dua tahun, maka pe- 
nyusuan itu tidak menjadikan mahram baginya. 

Di dalam bab hadis yang mengatakan bahwa penyusuan tidak 
menjadikan mahram pada diri seorang anak kecuali bila usianya di 
bawah dua tahun, Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan ke- 
pada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, 
dari Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Ummu Sa- 
lamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Persusuan tidak menjadikan mahram kecuali susuan yang dila- 
kukan langsung pada tetek lagi mengenyangkan perut dan terjadi 
sebelum masa penyapihan. 



Tafsir Ibnu Kasir 555 

Hadis ini hasan sahih. Hal inilah yang diamalkan di kalangan keba- 
nyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan lain- 
lainnya. Yaitu bahwa penyusuan tidak menjadi mahram kecuali bila 
dilakukan dalam usia di bawah dua tahun, sedangkan penyusuan yang 
dilakukan sesudah usia genap dua tahun, hal ini tidak menjadikan 
mahram sama sekali. 

Fatimah bintil Munzir ibnuz Zubair ibnul Awwam adalah istri 
Hisyam ibnu Urwah. 

Menurut kami, hanya Imam Turmuzi sendiri yang mengetengah- 
kan riwayat hadis ini, sedangkan para rawinya bersyaratkan Sahihain. 
Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "lila rria kana fis sadyi," 
ialah kecuali susuan yang dilakukan pada tetek sebelum usia dua ta- 
hun. Seperti yang terdapat di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan 
oleh Imam Ahmad, dari Waki' dan Gundar, dari Syu'bah, dari Addi 
ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa ketika 
Ibrahim ibnu Nabi Saw. meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda: 



j^Ia£tf&. l fSa&o£#<S 



Sesungguhnya anak lelakiku meninggal dunia dalam usia persu- 
suan, sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya 
di dalam surga. 

Hal yang sama diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis 
Syu'bah. Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda demikian tiada lain kare- 
na putra beliau yang bernama Ibrahim a.s. wafat dalam usia dua pu- 
luh dua bulan. Karena itulah beliau Saw. bersabda: 






sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya. 

Yakni yang akan menggenapkan masa persusuannya. Pengertian ini 
diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni 
melalui jalur Al-Haisam ibnu Jamil, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari 
Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



556 Juz 2 — Al-Baqarah 



<^1.^;^h \^>s^ fiS?* 



4Pfy&&%^&%& 



Tiada yang menjadikan mahram karena persusuan kecuali yang 
dilakukan sebelum usia dua tahun. 

Kemudian Imam Daruqutni mengatakan, tiada yang menyandarkan- 
nya kepada Ibnu Uyaynah selain Al-Haisam ibnu Jamil, tetapi Al- 
Haisam orangnya siqah lagi hafiz (hafal hadis). 

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Malik di 
dalam kitab Muwatta', dari Saur ibnu Yazid, dari Ibnu Abbas secara 
marfu'. Imam Darawardi meriwayatkannya pula dari Saur, dari Ikri- 
mah, dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya ditambahkan seperti 
berikut: 

Dan persusuan yang terjadi sesudah usia dua tahun tidak mem- 
punyai pengaruh apa pun. 

Riwayat ini lebih sahih. 

Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkan melalui Jabir yang menceri- 
takan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Tiada penyusuan lagi sesudah masa penyapihan, dan tiada status 
yatim sesudah usia balig. 

Penunjukan makna yang diketengahkan oleh hadis ini menjadi lebih 
sempurna dengan adanya firman Allah Swt. yang mengatakan: 



A'&\b\SC&&,&-l$3 



dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku. 
(Luqman: 14) 



Tafsir Ibnu Kasir 557 



C i» * ciliL—^O 



^sj^yj^j^-j 



Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. 
(Al-Ahq5f: 15) 

Pendapat yang mengatakan bahwa persusuan sesudah usia dua tahun 
tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu 
Mas'ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa'id ib- 
nul Musayyab, dan Ata serta jumhur ulama. Pendapat inilah yang di- 
pegang oleh mazhab Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, As-Sauri, Abu Yu- 
suf, Muhammad, dan Malik dalam salah satu riwayatnya. 

Menurut riwayat yang lain dari Imam Malik juga disebutkan bah- 
wa masa persusuan itu adalah dua tahun dua bulan, dan menurut ri- 
wayat yang lainnya lagi yaitu dua tahun tiga bulan. 

Imam Abu Hanifah mengatakan, masa penyusuan adalah dua se- 
tengah tahun. Zufar ibnul Huzail mengatakan bahwa selagi si anak 
masih mau tetap menyusu, maka batas maksimalnya adalah tiga ta- 
hun; pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Al-Auza'i. 

Imam Malik mengatakan, "Seandainya seorang anak telah disa- 
pih dari penyusuan sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita 
menyusukannya setelah disapih, maka penyusuan kali ini tidak men- 
jadikan mahram, karena persusuan saat itu disamakan kedudukannya 
dengan makanan." Pendapat ini pun merupakan suatu riwayat lain da- 
ri Al-Auza'i. 

Telah diriwayatkan dari Umar r.a. dan Ali r.a., bahwa keduanya 
pernah mengatakan, "Tiada persusuan sesudah penyapihan." Maka 
kalimat ini diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud usia dua ta- 
hun, sama halnya dengan pendapat jumhur ulama, yakni baik telah di- 
sapih ataupun belum. Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa 
keduanya bermaksud kenyataannya. Dengan demikian, berarti sama 
dengan apa yang dikatakan oleh Imam Malik. 

Telah diriwayatkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a.; 
ia berpendapat bahwa penyusuan anak yang sudah besar mempunyai 
pengaruh pula dalam kemahraman. Pendapat inilah yang dipegang 
oleh Ata ibnu Abu Rabah dan Al-Lais ibnu Sa'd. Tersebutlah bahwa 



558 Juz 2 — Al-Baqarah 

Siti Aisyah r.a. selalu memerintahkan kepada orang yang ia pilih bo- 
leh masuk ke dalam rumahnya untuk menemui wanita-wanita yang 
ada di dalam asuhannya, untuk menyusu kepadanya terlebih dahulu. 
Siti Aisyah r.a. berpendapat demikian karena berdasarkan kepada ha- 
dis yang mengisahkan masalah Salim maula Abu Huzaifah. Nabi 
Saw. memerintahkan kepada istri Abu Huzaifah untuk menyusukan 
Salim, sedangkan Salim ketika itu sudah besar. Setelah itu Salim be- 
bas menemui istri Abu Huzaifah berkat penyusuan tersebut. Akan te- 
tapi istri-istri Nabi Saw. yang lainnya (selain Siti Aisyah r.a.) tidak 
mau melakukan hal tersebut, mereka berpendapat bahwa peristiwa 
Salim tersebut termasuk hal yang khusus. Pendapat inilah yang dianut 
oleh jumhur ulama. 

Hujah yang dipegang oleh jumhur ulama — mereka terdiri atas 
para imam yang empat orang, ulama ahli fiqih yang tujuh orang, para 
sesepuh sahabat, dan istri-istri Nabi Saw. selain Siti Aisyah r.a. — 
ialah sebuah hadis yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Siti 
Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) siapakah saudara-sau- 
dara kalian, karena sesungguhnya persusuan itu hanyalah kare- 
na kelaparan. 

Mengenai masalah persusuan dan hal-hal yang berkaitan dengan ma- 
salah anak yang sudah besar menyusu, akan dibahas dalam tafsir fir- 
man-Nya: 

dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian. (An-Nisa: 23) 
Firman Allah Swt.: 



C v v v i ej^a-Jl} 



Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para 
ibu dengan cara yang makruf. (Al-Baqarah: 233) 



Tafsir Ibnu Kasir 559 



Yakni diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang 
ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang 
berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berle- 
bih-lebihan, juga tidak terlalu minim. Hal ini disesuaikan dengan ke- 
mampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena 
ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti 
yang dijelaskan di dalam firman-Nya: 

"H 

* ♦ 









Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemam- 
puannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah 
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. 
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (se- 
kadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan 
memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (At-Talaq: 7) 

Ad-Dahhak mengatakan, "Apabila seseorang menceraikan istrinya, 
sedangkan ia telah punya anak dari istrinya itu yang masih dalam ma- 
sa penyusuan, maka ia wajib memberi nafkah dan sandang kepada 
istrinya yang telah diceraikan itu dengan cara yang makruf (selama 
bekas istrinya itu masih menyusukan anaknya)." 
Firman Allah Swt.: 



C vvv»(^i_JO 



■ty$0& 



Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya. 
(Al-Baqarah: 233) 

Yakni misalnya pihak si ibu menyerahkan bayi itu kepada pihak ayah 
si bayi untuk menimpakan kemudaratan terhadap pihak ayah si bayi 
karena diharuskan memeliharanya. Pihak ibu tidak boleh menyerah- 
kan si bayi yang telah dilahirkannya (kepada suaminya) sebelum me- 
nyusukannya yang pada kebanyakan si bayi tidak dapat hidup melain- 



560 Juz 2 ~ ' Al-Baqarah 

kan dengan susu ibunya. Setelah masa penyusuan telah habis, maka 
pihak ibu si bayi baru diperbolehkan menyerahkan bayinya itu kepada 
ayah si bayi jika pihak ibu berkenan. Sekalipun demikian, jika hal ter- 
sebut mengakibatkan pihak ayah si bayi menderita kesengsaraan kare- 
na harus memelihara bayinya, maka pihak ibu tidak boleh menyerah- 
kan bayinya itu kepada ayah si bayi. Sebagaimana tidak dihalalkan 
bagi pihak ayah si bayi merampas bayi dari tangan ibunya hanya se- 
mata-mata untuk menimpakan kesengsaraan kepada pihak ibu si bayi. 
Karena itu, maka Allah Swt. berfirman: 



Crrr: ;^£_J| 5 



•tiBt^jS^ 



dan (janganlah menderita kesengsaraan) seorang ayah karena 
anaknya. (Al-Baqarah: 233) 

Yaitu misalnya ayah si anak (bayi) ingin merampas anak dari tangan 
ibunya dengan tujuan menyengsarakan ibunya. 

Demikianlah menurut penafsiran Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, 
Az-Zuhri,As-Saddi, As-Sauri, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. 

Firman Allah Swt.: 

dan waris pun berkewajiban demikian. (Al-Baqarah: 233) 

Menurut suaru pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpa- 
kan mudarat kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. 
Demikianlah pendapat Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak. 

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'kepa- 
da ahli waris diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan 
atas ayah si bayi, yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi, meme- 
nuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan mudarat kepadanya'. 
Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini telah di- 
bahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. 

Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab 
Hambali yang mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi 
nafkah sebagian di antara mereka kepada sebagian lainnya. Pendapat 



Tafsir Ibnu Kasir 561 

ini bersumber dari riwayat yang diceritakan oleh Umar ibnul Khattab 
r.a. dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan 
adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu: 

Barang siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mah- 
ram dengannya, maka ia harus memerdekakannya. 

Telah disebutkan bahwa persusuan atau rada' ah sesudah usia dua ta- 
hun adakalanya menimpakan kesengsaraan terhadap pihak anak, ba- 
rangkali pada tubuhnya atau akalnya. Sufyan As-Sauri meriwayatkan 
dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah melihat 
seorang ibu yang menyusukan anaknya sesudah si anak berusia dua 
tahun, maka ia berkata kepada si ibu tersebut, "Janganlah kau susui 
dia!" 

Firman Allah Swt.: 

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan 
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa 
atas keduanya. (Al-Baqarah: 233) 

Dengan kata lain, apabila pihak ayah dan ibu si bayi sepakat untuk 
menyapih anaknya sebelum si anak berusia dua tahun, dan keduanya 
memandang bahwa keputusan inilah yang mengandung maslahat bagi 
diri si bayi, serta keduanya benriusyawarah terlebih dahulu untuk itu 
dan membuahkan kesepakatan, maka tidak ada dosa atas keduanya 
untuk melakukan hal tersebut. 

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa bila salah satu pi- 
hak saja yang melakukan hal ini dinilai kurang cukup, dan tidak boleh 
bagi salah satu pihak dari keduanya memaksakan kehendaknya dalam 
hal ini tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya. Demikianlah menu- 
rut apa yang dikatakan oleh As-Sauri dan lain-lainnya. Pendapat ini 
mengandung sikap preventif bagi si bayi demi kemaslahatannya; dan 
hal ini merupakan rahmat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, 



562 Juz 2 — Al-Baqarah 

mengingat Dia telah menetapkan keharusan bagi kedua orang tua un- 
tuk memelihara anak mereka berdua, dan memberikan bimbingan ke- 
pada apa yang menjadi maslahat bagi kedua orang tua, juga maslahat 
si anak. Seperti yang diungkapkan di dalam surat At-Talaq melalui 
firman-Nya: 

y^o\3^^\& \j o^H^Jb^J^JjU 

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk ka- 
lian, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan bermusya- 
warahlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik; dan jika 
kalian menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusu- 
kan (anak itu) untuknya. (At-Talaq: 6) 

Firman Allah Swt.: 

Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, ma- 
ka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pem- 
bayaran menurut yang patut. (Al-Baqarah: 233) 

Apabila ibu dan ayah si bayi sepakat bahwa masalah persusuan si ba- 
yi diserahkan kepada pihak ayah, adakalanya karena pihak ibu si bayi 
berhalangan menyusukannya atau adakalanya halangan dari pihak ba- 
yinya, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam masalah penyerahan 
bayi mereka. Bukan merupakan suatu keharusan bagi pihak ayah un- 
tuk menerima penyerahan itu bilamana ia telah menyerahkan kepada 
pihak ibu upah penyusuan si bayi dengan cara yang lebih baik, lalu si 
bayi disusukan wanita lain dengan upah tersebut. Pengertian ini sudah 
tidak asing lagi. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh ulama 
yang bukan hanya satu orang. 



Tafsir Ibnu Kasir 5^3 



Firman Allah Swt.: 



1 / tf" 



Bertakwalah kalian kepada Allah. (Al-Baqarah: 233) 
Yakni dalam semua keadaan kalian. 

dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian ker- 
jakan. (Al-Baqarah: 233) 

Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari sepak terjang 
dan semua ucapan kalian. 

Al-Baqarah, ayat 234 

Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan me- 
ninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan di- 
rinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila te- 
lah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) mem- 
biarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang 
patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat. 

Hal ini merupakan perintah dari Allah yang ditujukan kepada wanita- 
wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka harus 
melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini me- 
ngenai pula pada istri-istri yang telah digauli oleh suaminya, juga 



564 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 

istri-istri yang belum sempat digauli suaminya. Demikianlah menurut 
kesepakatan para ulama. Dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita 
yang masih belum digauli ialah makna umum yang terkandung di da- 
lam ayat ini. Hadis berikut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para 
pemilik kitab sunnah dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, yaitu: 

9<S\s ['*' '\&-its*i 'C 'Z J"' <^ 9j*"*{>\ 

Bahwa Ibnu Mas' ud pernah ditanya mengenai masalah seorang 
lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu mening- 
gal dunia sebelum sempat menggaulinya dan belum pula memas- 
tikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka 
(yang bertanya) itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali 
menanyakan masalah ini. Pada akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, 
"Aku akan memutuskan masalah ini dengan ra-yu (pendapat)£w 
sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari Allah; dan jika keliru, 
maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya 
berlepas diri dari jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya 
dengan penuh — menurut riwayat yang lain disebutkan mendapat 
mahar misilnya — tanpu ada pengurangan dan penggelapan, dan 
diwajibkan atas diri si wanita melakukan idahnya, serta ia dapat 



Tafsir Ibnu Kasir 565 



mewaris (dari peninggalan suaminya)." Lalu berdirilah Ma'qal 
ibnu Yasar Al-Asyja'i dan mengatakan, "Aku pernah mendengar 
Rasulullah Saw. memutuskan hal yang sama terhadap Buru' bin- 
ti Wasyiq." Mendengar hal itu hati Abdullah ibnu Mas'ud sangat 
gembira. 

Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti berikut: 

Maka berdirilah orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mere- 
ka mengatakan, "Kami menyaksikan bahwa Rasulullah Saw. per- 
nah memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq.' 1 '' 

Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut kecuali wanita yang 
ditinggal mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan mengandung. 
Maka sesungguhnya idah yang harus dilakukannya ialah sampai ia 
melahirkan bayinya, sekalipun sesudah kematian suaminya selang 
waktu yang sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan demikian ka- 
rena mengingat keumuman makna firman-Nya yang mengatakan: 

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu 
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq: 4) 

Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat, "Wanita hamil yang di- 
tinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa idahnya selama 
masa yang paling panjang di antara kedua masa tersebut, yaitu antara 
masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari." Pendapatnya ini 
merupakan kesimpulan gabungan dari kedua ayat di atas. Pendapat ini 
merupakan kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang 
kuat seandainya tidak ada apa yang telah ditetapkan oleh sunnah da- 
lam hadis yang menceritakan kasus Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadis 
ini diketengahkah di dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur peri- 
wayatan. 



566 Juz 2 — Al-Baqarah 

Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu Khaulah) me- 
ninggal dunia, sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil darinya. Ti- 
dak lama kemudian setelah kematian suaminya, Subai'ah melahirkan 
bayinya. 

Menurut riwayat yang lain, Subai'ah melahirkan bayinya selang 
beberapa malam sesudah kematian suaminya. 

Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri untuk pa- 
ra pelamar. Maka masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, 
dan langsung berkata kepadanya, "Mengapa engkau kulihat menghiasi 
dirimu, barangkali kamu mengharapkan kawin? Demi Allah, kamu ti- 
dak boleh kawin sebelum kamu melewati masa empat bulan sepuluh 
hari." 

Subai'ah mengatakan, "Setelah Abus Sanabil berkata demikian 
kepadaku, maka kupakai pakaianku pada petang harinya, lalu aku da- 
tang kepada Rasulullah Saw. dan menanyakan kepadanya masalah 
tersebut Maka beliau Saw. memberikan jawabannya kepadaku, bah- 
wa diriku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan bayiku, 
dan beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk kawin jika aku su- 
ka." 

Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya menurut 
suatu riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, la- 
lu merujuk kepada hadis Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu 
Abbas sendiri membantah pendapat tersebut dengan berdalilkan hadis 
Subai'ah. 

Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini dibenarkan 
dengan adanya suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua 
temannya menekuni hadis Subai'ah, sama halnya dengan pendapat se- 
mua ahlul ilmi. 

Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si istri adalah seorang 
budak wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak wanita ada- 
lah separo dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari, seper- 
ti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Dikatakan demikian karena hu- 
kuman had yang dijalani oleh budak wanita adalah separo dari hu- 
kuman had yang dijalani oleh seorang wanita merdeka. Maka demiki- 
an pula dalam masalah idah, yaitu separo dari idah wanita merdeka. 



Tafsir Ibnu Kasir 567 

Tetapi di kalangan ulama — seperti Muhammad ibnu Sirin dan 
sebagian kalangan mazhab Zahiri — dikatakan bahwa dalam masalah 
idah ini sama saja antara wanita merdeka dan budak wanita, meng- 
ingat keumuman makna ayat ini. Juga karena masalah idah merupa- 
kan masalah yang menyangkut pembawaan yang tidak mengenal ada- 
nya perbedaan antara seorang wanita dengan wanita lainnya. 

Sa'id ibnul Musayyab dan Abui Aliyah serta selain keduanya 
mengatakan bahwa hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal 
mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, karena barangkali ra- 
himnya telah terisi oleh kandungan. Untuk itu apabila si wanita yang 
bersangkutan menunggu dalam idahnya selama masa itu, bila ternyata 
kandungannya telah terisikan, niscaya akan tampak. Di dalam hadis 
Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab Sahihain dan kitab lainnya disebut- 
kan seperti berikut: 

Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kalian dihimpun 
di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, 
lalu menjadi alaqah dalam masa yang sama (empat puluh hari), 
kemudian beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang 
sama, kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu malaikat itu 
meniupkan roh ke dalam tubuhnya. 

Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya dengan empat bulan, 
adapun sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan ka- 
rena adakalanya bilangan sebagian bulan itu ada yang kurang genap. 
Sesudah peniupan roh ke dalam janin, maka janin mulai bergerak me- 
nunjukkan tanda kehidupan. 

Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah yang pernah 
bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang sepuluh 



568 Juz 2 — Al-Baqarah 

hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab menjawab, "Di masa itu dilakukan 
tiupan roh ke dalam tubuh janin." 

Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku pernah bertanya 
kepada Abui Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan kepada 
empat bulan?' Abui Aliyah menjawab, 'Karena digunakan untuk pe- 
niupan roh ke dalam tubuh janin'." Kedua asar ini diriwayatkan oleh 
Ibnu Jarir. 

Berangkat dari asar ini Imam Ahmad berpendapat di dalam suatu 
riwayat yang bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad 
(budak perempuan yang mempunyai anak dari hasil tuannya) sama 
dengan idah wanita merdeka dalam masalah ini, karena ia telah ber- 
ubah status menjadi firasy (hamparan atau pendamping suaminya), 
sama halnya dengan wanita merdeka. Juga karena berdasarkan sebuah 
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Yazid ibnu Harun, 
dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah, 
dari Qubaisah ibnu Zu-aib, dari Amr ibnul As yang mengatakan: 

Janganlah kalian mengaburkan sunnah Nabi kita kepada kita; 
idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya ialah em- 
pat bulan sepuluh hari. 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Qutaibah, dari 
Gundar, dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A 'la, sedangkan Imam Ibnu 
Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ke- 
tiga-tiganya menerima hadis ini dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Ma- 
tar Al-Wariq, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah, dari Amr ibnul 
As yang menceritakan hadis ini. 

Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam 
Ahmad, disebutkan bahwa ia mengingkari hadis ini. 

Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah mendengar dari 
Amr. Akan tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang kepa- 
da hadis ini, di antaranya ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id 



Tafsir Ibnu Kasir 5(59 

ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ib- 
nu Abdul Aziz. Hal ini pula yang dianjurkan oleh Yazid ibnu Abdul 
Malik ibnu Marwan ketika ia menjabat sebagai Amirul Mu-minin. Hal 
ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i, Ishaq ibnu Rahawaih, dan 
Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat darinya. 

Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah ummul 
walad apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah 
wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari. 

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta As-Sauri dan Al- 
Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad mela- 
kukan idahnya dengan tiga kali haid. Pendapat ini berasal dari Ali 
r.a., Ibnu Mas'ud, Ata, dan Ibrahim An-Nakha'i. 

Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut riwayat 
yang terkenal darinya mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid. 
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mak- 
hul, Al-Lais, Abu Ubaid, dan Abu Saur serta jumhur ulama. 

Al-Lais mengatakan, "Seandainya suami ummul walad mening- 
gal dunia, sedangkan dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu 
sudah cukup untuk idahnya." 

Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul walad dari kalang- 
an wanita yang tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga bulan." 

Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan, "Hal yang paling 
aku sukai ialah bila ummul walad menjalani idahnya selama satu 
bulan tiga hari." 

Firman Allah Swt.: 

Kemudian apabila lelah habis idahnya, maka tiada dosa bagi 
kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri 
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian 
perbuat. (Al-Baqarah: 234) 

Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wajib hukumnya 
ihdad (berbelasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati oleh suami- 



570 Juz 2 — Al-Baqarah 

nya selama ia menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadis di 
dalam kitab Sahihain yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari 
Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy Ummul Mu-minin, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan 
hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawanya atas mayat 
lebih dari tiga hari; kecuali bila yang meninggal adalah suami- 
nya, maka selama empat bulan sepuluh hari. 

Di dalam kitab Sahihain pula disebutkan sebuah hadis dari Ummu 
Salamah r.a.: 



51 



Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, se- 
sungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, se- 
dangkan matanya mengalami gangguan penyakit, bolehkah kami 
mencelakinya (mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi Saw. 
menjawab, "Tidak," semua pertanyaan beliau jawab dengan ti- 
dak sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau Saw. bersab- 
da, "Sesungguhnya idah yang harus dijalaninya adalah empat 
bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara kalian di 
masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun.'''' 

Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu bila seorang 
wanita ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka 



Tafsir Ibnu Kasir 571 

wanita itu memasuki sebuah rumah gubuk, lalu memakai pakaiannya 
yang paling buruk; tiada wewangian dan tiada lainnya yang ia pakai 
selama satu tahun. Setelah lewat satu tahun ia keluar dari gubuk itu 
dan diberi kotoran unta, lalu ia melempar kotoran itu. Kemudian di- 
berikan kepadanya seekor hewan, yaitu keledai atau kambing atau bu- 
rung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan tersebut. Maka jarang 
sekali hewan yang diusapnya dapat bertahan hidup melainkan keba- 
nyakan mati (karena baunya yang sangat busuk). 

Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama berpendapat bah- 
wa ayat ini me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya: 



O t.- »\Ar^D 



..:#££ slAJU&Z 



Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian 
dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, 
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disu- 
ruh pindah. (Al-Baqarah: 240), hingga akhir ayat. 

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Akan tetapi, 
hal ini masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana yang akan dite- 
rangkan kemudian dalam pembahasannya. 

Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah meninggalkan perhias- 
an berupa wewangian dan tidak memakai pakaian yang mendorong- 
nya untuk bergairah kawin lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta 
lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal mati 
suaminya, tanpa ada yang memperselisihkannya. Tetapi sebaliknya, 
hal ini tidak wajib bagi wanita yang berada dalam idah talak raji' . 

Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang 
ditalak ba-inl Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat. 

BeT-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang ditinggal oleh 
suami-suami mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak ber- 
haid, wanita merdeka, maupun budak wanita yang muslimah dan 
yang kafir, mengingat keumuman makna ayat. 

As-Sauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua temannya me- 



572 Juz 2 — Al-Baqarah 

ngatakan tidak ada ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan 
pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' dari kalangan teman-teman Imam 
Malik. Hujan yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang ber- 
pendapat demikian ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan: 

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan 
hari kemudian melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang le- 
bih dari tiga hari; kecuali bila ditinggal mati suaminya, maka 
empat bulan sepuluh hari. 

Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud. 
Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta As-Sauri memasukkan 
ke dalam pengertian ini istri yang masih kecil yang belum terkena 
taklif. Imam Abu Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke da- 
lam pengertian ini budak wanita muslimah yang tidak memiliki ke- 
merdekaan (mengingat masalah idah adalah masalah ta'abbud). Pem- 
bahasan mengenai masalah ini secara rinci terdapat di dalam kitab-ki- 
tab yang membahas masalah hukum dan cabang-cabangnya. 
Firman Allah Swt.: 

Kemudian apabila telah habis idahnya. (Al-Baqarah: 234) 

Yakni masa idahnya telah habis, menurut Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' 
ibnu Anas. 



maka tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 234) 
Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri. 



.mz^m 



Tafsir Ibnu Kasir 573 



membiarkan mereka berbuat. (Al-Baqarah: 234) 



:> .5&& 



Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah menghabiskan 
masa idahnya. Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila se- 
orang istri diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah 
menghabiskan masa idahnya, maka tidak dosa atas dirinya untuk 
menghias diri dan mempercantik diri serta menawarkan diri untuk di- 
kawini. Pengertian ini sudah dimaklumi. Hal yang semisal telah diri- 
wayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan. 

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan mak- 
na firman-Nya: 



maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka 
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah: 
234) 

Makna yang dimaksud ialah untuk nikah yang halal lagi baik. Telah 
diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Az-Zuhri, dan As- 
Saddi. 

Al-Baqarah, ayat 235 



574 Juz 2 — Al-Baqarah 



tf 



>^_^i>i yj^JUj 



Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu de- 
ngan sindiran atau kalian menyembunyikan (keinginan menga- 
wini mereka) dalam hati kalian. Allah mengetahui bahwa kalian 
akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kalian 
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali 
sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkara yang makruf. 
Janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, 
sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah me- 
ngetahui apa yang ada dalam hati kalian; maka takutlah kepada- 
Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha 
Penyantun. 

Firman Allah Swt.: 

Dan tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 235) 

Yakni untuk melamar wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami 
mereka dalam idahnya secara sindiran (tidak terang-terangan). 

As-Sauri, Syu'bah,dan Ibnu Jarir serta lain-lainnya meriwayatkan 
dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan fir- 
man-Nya: 

Tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan 
sindiran. (Al-Baqarah: 235) 

Yang dimaksud dengan istilah ta'rid atau sindiran ialah bila seorang 
lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin, dan sesungguh- 
nya aku ingin mengawini seorang wanita yang anu dan anu sifatnya," 
dengan kata-kata yang telah dikenal. Menurut suatu riwayat, contoh 
kata-kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila Allah mera- 



Tafsir Ibnu Kasir 575 



beriku rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kali- 
mat yang bermakna; yang penting tidak boleh menyebutkan pinangan 
secara tegas kepadanya. Menurut riwayat yang lain ialah, "Sesung- 
guhnya aku tidak ingin kawin dengan seorang wanita selainmu, insya 
Allah." Atau "Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang 
wanita yang saleh." Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan 
lamarannya kepada dia selagi dia masih dalam idahnya. 

Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq. Untuk itu ia mengata- 
kan, telah menceritakan kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, 
dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan fir- 
man-Nya: 



C v^o , ' e J_J,' 



Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu de- 
ngan sindiran. (Al-Baqarah: 235) 

Yang dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki mengata- 
kan, "Sesungguhnya aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar- 
benar merupakan hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk 
mendapat wanita yang saleh." 

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id 
ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah, 
Az-Zuhri, Yazid ibnu Qasit, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim ib- 
nu Muhammad serta sejumlah ulama Salaf dan para imam sehubung- 
an dengan masalah ta'rid atau sindiran ini. Mereka mengatakan, bo- 
leh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita yang ditinggal 
mati oleh suaminya. 

Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang ditalak ba-in, 
yakni boleh melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti yang telah 
dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais ketika dicerai- 
kan oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak yang ketiga. Nabi 
Saw. terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk mela- 
kukan idahnya di dalam rumah Ibnu Ummi Maktum, lalu bersabda 
kepadanya: 



576 Juz 2 — Al-Baqarah 



» /o—'j JiioJUb-bli 

Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beri tahulah aku. 

Ketika masa idah Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar 
oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan Nabi Saw.), lalu Nabi Saw. menga- 
winkan Fatimah binti Qais dengan Usamah. 

Wanita yang diceraikan, tidak ada perselisihan pendapat di ka- 
langan ulama, bahwa tidak boleh bagi selain suaminya melakukan la- 
maran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara sindiran. 

Firman Allah Swt.: 

atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam 
hati kalian. (Al-Baqarah: 235) 

Yakni kalian memendam keinginan untuk melamar mereka menjadi 
istri kalian. Perihalnya sama dengan makna firman-Nya: 

Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) da- 
da mereka dan apa yang mereka nyatakan. (Al-Qasas: 69) 

Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa 
yang kalian nyatakan. (Al-Mumtahanah: 1) 

Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya: 

Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka. 
(Al-Baqarah: 235) 



Tafsir Ibnu Kasir 577 



Yakni di dalam hati kalian. Maka Allah menghapus dosa dari kalian 
karena hal tersebut. Kemudian Allah Swt. berfirman: 

tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka 
secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) 

Menurut Abu Mijlaz, Abu Sya'sa Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, 
Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi ibnu Anas, Sulai- 
man At-Taimi, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi, makna yang di- 
maksud ialah zina. Dan ini adalah makna riwayat Al-Aufa dari Ibnu 
Abbas, dan Ibnu Jarir telah memilihnya; Ali ibnu Abu Talhah menga- 
takan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: 

.1 r 



Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka 
secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) 

Yakni janganlah kamu katakan kepadanya, "Sesungguhnya aku cinta 
kepadamu. Berjanjilah kamu bahwa kamu tidak akan kawin dengan 
lelaki selainku," atau kalimat-kalimat lain yang semisal. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Asy- 
Sya'bi, Ikrimah, Abud Duha, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Mujahid, dan 
As-Sauri, yaitu bila si lelaki mengambil janji darinya agar dia tidak 
kawin dengan orang lain selain dirinya. 

Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan janji 
rahasia ialah ucapan seorang lelaki kepada wanita yang bersangkutan, 
"Janganlah engkau biarkan dirimu terlepas dariku, karena sesungguh- 
nya aku akan mengawinimu." 

Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah bila seorang lelaki 
mengambil janji dari seorang wanita yang masih berada dalam idah- 
nya, yang isinya mengatakan, "Janganlah kamu kawin dengan selain- 
ku nanti." 

Maka Allah melarang hal tersebut dan melakukannya, tetapi dia 
menghalalkan lamaran dan ucapan secara makruf. 



578 Juz 2 — Al-Baqarah 



Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 



*j-&i*J&'& 



Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka 
secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) 

Yakni bila si lelaki mengawininya secara rahasia, sedangkan dia ma- 
sih berada dalam idah. Lalu sesudah si wanita halal untuk kawin, 
barulah si lelaki itu mengumumkannya. 

Akan tetapi, barangkali makna ayat tersebut lebih menyeluruh 
daripada semuanya itu. Karena itulah disebutkan dalam firman selan- 
jutnya: 

kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang 
makruf. (Al-Baqarah: 235) 

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, As-Sauri, 
dan Ibnu Zaid, makna yang dimaksud ialah apa yang sebelumnya di- 
perbolehkan, yaitu melakukan lamaran secara sindiran, seperti ucap- 
an, "Sesungguhnya aku berhasrat kepadamu," atau kalimat-kalimat la- 
in yang semisal. 

Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya ke- 
pada Ubaidah tentang makna firman-Nya: 

kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang 
makruf. (Al-Baqarah: 235) 

Yaitu bila si lelaki berkata kepada wali si wanita, "Janganlah engkau 
mendahulukan orang lain daripada aku untuk memperolehnya," yakni 
aku mau mengawininya, beri tahukanlah aku lebih dahulu. Demikian- 
lah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. 



Tafsir Ibnu Kasir 579 

Firman Allah Swt.: 

Dan janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati) untuk berakad 
nikah sebelum habis idahnya. (Al-Baqarah: 235) 

Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah idah, yakni janganlah kalian 
melakukan akad nikah dengannya sebelum masa idahnya habis. 

Ibnu Abbas, Mujahid, Asy-Sya'bi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, 
Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, Ata 
Al-Khurrasani, As-Saddi, As-Sauri, dan Ad-Dahhak mengatakan sehu- 
bungan dengan makna firman-Nya: 

sebelum habis masa idahnya. (Al-Baqarah: 235) 

Yakni janganlah kalian melakukan akad nikah sebelum idahnya habis. 
Para ulama sepakat bahwa tidak sah melakukan akad nikah dalam 
masa idah. Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai masalah se- 
orang lelaki yang mengawini seorang wanita dalam idahnya, lalu si 
lelaki menggaulinya, kemudian keduanya dipisahkan. Maka apakah 
wanita tersebut haram bagi lelaki yang bersangkutan untuk selama-la- 
manya? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalang- 
an para ulama. 

Jumhur ulama berpendapat bahwa si wanita tidak haram baginya, 
melainkan pihak lelaki boleh melamarnya kembali bila idah si wanita 
telah habis. 

Imam Malik berpendapat bahwa si wanita haram bagi pihak lela- 
ki untuk selama-lamanya. Ia mengatakan demikian berdalilkan sebuah 
asar yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan Sulaiman ibnu Yasar 
yang menceritakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah mengatakan, 
'Wanita mana pun yang melakukan perkawinan di dalam idahnya, ji- 
ka suami yang kawin dengannya belum menggaulinya, maka kedua- 
nya dipisahkan, lalu si wanita melakukan sisa idah dari suaminya per- 



580 Juz 2 — Al-Baqarah 

tama, sedangkan si lelaki dianggap sebagai salah seorang pelamarnya. 
Akan tetapi, jika suaminya yang baru ini telah menggaulinya, maka 
keduanya dipisahkan, lalu si wanita menjalani sisa idah dari suami 
pertamanya, setelah itu ia harus melakukan idah lagi dari suaminya 
yang kedua. Setelah selesai, maka si wanita haram bagi lelaki tersebut 
untuk selama-lamanya." 

Mereka mengatakan, diputuskan demikian mengingat ketika si 
suami mempercepat masa tangguh yang telah ditetapkan oleh Allah, 
maka ia dihukum dengan hal yang kebalikan dari niatnya, untuk itu si 
wanita diharamkan atas dirinya untuk selama-lamanya. Perihalnya sa- 
ma dengan seorang pembunuh yang diharamkan dari hak mewaris 
(harta peninggalan si terbunuh). 

Imam Syafii meriwayatkan asar ini dari Imam Malik. Imam Bai- 
haqi mengatakan bahwa kemudian Imam Syafii di dalam qaul jadid- 
nya merevisi pendapat yang telah ia katakan dalam gaul qadim-nya~ 
Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa si wanita halal bagi le- 
laki tersebut. Menurut hemat saya, kemudian asar ini hanya sampai 
pada Ibnu Umar. As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy'as, dari Asy- 
Sya'bi, dari Masruq, bahwa Khalifah Umar r.a. menarik kembali ke- 
putusannya itu, lalu menjadikan bagi pihak wanita maskawinnya, ke- 
mudian menjadikan keduanya dapat bersatu lagi. 

Firman Allah Swt.: 



C* Y" 



Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada da- 
lam hati kalian; maka takutlah kepada-Nya. (Al-Baqarah: 235) 

Allah memperingatkan mereka tentang apa yang ada di dalam hati 
mereka menyangkut masalah wanita, dan memberikan bimbingan ke- 
pada mereka agar menyembunyikan niat yang baik dan menjauhi ke- 
burukan. Kemudian Allah tidak membuat mereka berputus asa dari 
rahmat-Nya dan ampunan-Nya, untuk itulah maka Allah Swt. berfir- 
man dalam ayat selanjutnya: 



Tafsir Ibnu Kasir 5g j 



Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pe- 
nyantun. (Al-Baqarah: 235) 



Al-Baqarah, ayat 236 



::■ "Jfefc 



Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian mencerai- 
kan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka 
dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah ka- 
lian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang 
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin 
menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang 
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang 
yang berbuat kebajikan. 

Allah Swt. memperbolehkan menalak istri sesudah melakukan akad 
nikah dengannya dan sebelum menggaulinya. 

Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, dan Al-Hasan Al-Basri mengata- 
kan, yang dimaksud dengan istilah al-mdssu ialah nikah. Bahkan bo- 
leh menceraikannya sebelum menggaulinya, dan sebelum menetapkan 
besarnya maskawin jika dia menyerahkan hal tersebut, sekalipun da- 
lam perceraian itu menyakitkan hatinya. Karena itulah Allah Swt. me- 
merintahkan kepada pihak suami agar memberinya mut'ah, yaitu 
pemberian untuk menghibur hatinya. Pemberian mut'ah tersebut dise- 
suaikan dengan keadaan kemampuan ekonomi pihak suami; bagi yang 
kaya disesuaikan dengan kekayaannya, dan bagi yang tidak mampu 
disesuaikan dengan kemampuannya. 

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ismail ibnu Umayyah, dari 
Dcrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mut'ah talak yang 



582 Juz 2 — Al-Baqarah 



jumlahnya paling besar ialah berupa seorang pelayan (budak), se- 
dangkan yang lebih rendah dari itu berupa uang perak, dan yang lebih 
rendah lagi dari semuanya adalah berupa pakaian. 

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yaitu apabi- 
la si lelaki yang bersangkutan dari kalangan orang yang mampu, hen- 
daklah ia memberinya mut'ah berupa seorang pelayan atau yang se- 
imbang dengannya. Jika dia orang yang tidak mampu, hendaklah dia 
memberi mut'ah dengan tiga setel pakaian. 

Asy-Sya'bi mengatakan bahwa mut'ah yang pertengahan ialah 
berupa baju kurung, kerudung, milhafah, dan jilbab. Ia mengatakan 
bahwa dahulu Syuraih memberikan mut'ah-nya sejumlah lima ratus 
(dirham). 

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ma'mar, dari Ayyub ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah 
memberi mut'ah berupa seorang pelayan, atau nafkah atau pakaian. Ia 
mengatakan, Al-Hasan ibnu Ali pernah memberi mut'ah-nya sejum- 
lah sepuluh ribu (dirham). Menurut suatu riwayat, wanita yang dice- 
raikannya mengatakan, "Harta yang sedikit dari kekasih yang mence- 
raikannya." 

Imam Abu Hanifah berpendapat, apabila suami istri bersengketa 
mengenai jumlah mut'ah, maka hal yang diwajibkan atas pihak suami 
bagi pihak istri adalah separo mahar misil-nya. 

Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya mengatakan bahwa pihak 
suami tidak boleh dipaksa membayar jumlah tertentu dari mut'ah, ke- 
cuali bila mut'ah yang dibayarnya itu jauh di bawah standar yang di- 
namakan mut'ah. Imam Syafii mengatakan, hal yang paling ia sukai 
dalam jumlah minimal mut'ah ialah pakaian yang cukup untuk dike- 
nakan si wanita dalam salatnya. 

Di dalam qaul qadim-ny& Imam Syafii mengatakan bahwa ia ti- 
dak mengetahui kadar tertentu dalam masalah mut'ah kecuali ia 
menganggap baik berupa uang yang jumlahnya tiga puluh dirham, se- 
perti apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. 

Para ulama berselisih pendapat pula mengenai mut'ah ini, apakah 
mut'ah diwajibkan bagi setiap wanita yang ditalak, atau mut'ah itu 
hanya wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum digauli 



Tafsir Ibnu Kasir 583 

lagi belum ditentukan jumlah maskawinnya? Di kalangan ulama ba- 
nyak pendapat yang menanggapinya. 

Pendapat pertama mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan 
kepada setiap wanita yang diceraikan, mengingat keumuman makna 
flrman-Nya: 



Cvti t S^£_JO 



. -10\& fe!s$*g&cj£& 



Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan 
oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu ke- 
wajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241) 

Juga karena firman-Nya: 

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian 
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah 
supaya kuberikan kepada kalian mut'ah dan aku ceraikan kalian 
dengan cara yang baik." (Al-Ahzab: 28) 

sedangkan mereka telah menerima maskawinnya yang telah disebut- 
kan, dan mereka pun telah digauli. Hal ini merupakan pendapat Sa'id 
ibnu Jubair, Abui Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, dan pendapat ini meru- 
pakan salah satu dari pendapat Imam Syafii. Akan tetapi, dari kalang- 
an mereka ada yang memilih pendapat dalam qaul jadid merupakan 
pendapat yang benar. 

Pendapat kedua mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan ke- 
pada seorang wanita apabila diceraikan sebelum digauli, sekalipun 
maskawinnya telah ditentukan, karena firman-Nya: 



&*3&&^^®&\<di\t&i l 



584 Juz 2 — Al-Baqarah 

//a/ orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perem- 
puan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mere- 
ka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib 
atas mereka idah bagi kalian yang kalian minta menyempurna- 
kannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka 
itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab: 49) 

Syu'bah dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id 
ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh 
oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Baqarah (ayat 236). 

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Sahih-nya dari Sahi 
ibnu Sa'd dan Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan ha- 
dis berikut: 



Rasulullah Saw. pernah mengawini Umaimah binti Syurahbil, ke- 
tika Umaimah dimasukkan ke dalam rumah Nabi Saw. dan Nabi 
Saw. mengulurkan tangannya kepada Umaimah, maka seakan- 
akan Umaimah tidak suka dengan perkawinan ini. Lalu Nabi 
Saw. memerintahkan kepada Abu Usaid agar memberinya per- 
lengkapan dan pakaian, yaitu berupa dua setel pakaian berwar- 
na biru (sebagai mut'ah-nya). 

Pendapat ketiga mengatakan bahwa mut'ah hanya diberikan ke- 
pada wanita yang diceraikan dalam keadaan belum digauli dan belum 
ditentukan maharnya. Untuk itu apabila si suami pernah menggauli- 
nya, maka suami diwajibkan membayar mahar misil-nya, bilamana si 



Tafsir Ibnu Kasir 585 

istri menyerahkan masalah tersebut. Jika pihak suami telah menentu- 
kan jumlah maskawinnya, lalu ia menceraikannya sebelum meng- 
gaulinya, maka wajib diberikan kepadanya separo dari maskawin 
yang telah ditentukan itu. Apabila si suami telah menggaulinya (serta 
telah menentukan maharnya), maka seluruh mahar harus diberikan 
kepada si istri sebagai ganti dari mut'ah. 

Sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut'ah hanyalah 
wanita yang belum ditentukan maskawinnya, juga belum digauli oleh 
suaminya. Pengertian inilah yang ditunjukkan oleh ayat di atas, yaitu 
yang mewajibkan pemberian mut'ah kepadanya atas tanggungan pi- 
hak suami yang menceraikannya. Demikianlah menurut pendapat Ib- 
nu Umar dan Mujahid. 

Tetapi di kalangan ulama ada yang menyunatkan pemberian 
mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan selain wanita mufawwi- 
dah (yang memasrahkan jumlah maskawinnya), lalu ia diceraikan se- 
belum digauli. Hal ini jelas tidak diingkari, dan berdasarkan pengerti- 
an ini pula ditakwilkan ayat takhyir yang ada di dalam surat Al- 
Ahzab. Karena itulah Allah Swt. berfirman: 

Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang 
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut 
yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang- 
orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) 

Firman-Nya: 



C.vt.1 « v^-r^ 



Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan 
oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu ke- 
wajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241) 

Tetapi di antara ulama ada yang mengatakan bahwa pemberian mut- 
'ah disunatkan secara mutlak. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Qazwaini, telah 



586 Juz 2 — Al-Baqarah 

menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah 
menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Abu Qais), dari Abu 
Ishaq, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa mereka menanyakan 
kepadanya tentang mut'ah, apakah ada batasannya? Maka ia memba- 
cakan firman-Nya: 

Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang 
miskin menurut kemampuannya (pula). (Al-Baqarah: 236) 

Asy-Sya'bi mengatakan bahwa ia belum pernah melihat seseorang 
yang melakukan batasan dalam mut'ah. Demi Allah, seandainya mut- 
'ah adalah hal yang wajib, niscaya para kadi menetapkan batasan 
untuknya. 

Al-Baqarah, ayat 237 

Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercam- 
pur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menen- 
tukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah 
kalian tentukan itu, kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan 
atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan 
pemaafan kalian itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah 
kalian melupakan keutamaan di antara kalian. Sesungguhnya 
Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan. 



Tafsir Ibnu Kasir 587 

Ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan kekhususan mut'ah (pem- 
berian) yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya, mengingat di dalam 
ayat ini yang diwajibkan hanyalah separo dari mahar yang telah di- 
tentukan, bilamana seorang suami menceraikan istrinya sebelum 
menggaulinya. Karena sesungguhnya seandainya ada kewajiban lain 
menyangkut masalah mut'ah ini, niscaya akan dijelaskan oleh Allah 
Swt., terlebih lagi ayat ini mengiringi ayat sebelumnya yang keduduk- 
annya men-takhsis masalah mut'ah yang ada padanya. 

Membayar separo maskawin dalam kondisi demikian merupakan 
hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tiada seorang pun yang 
berbeda pendapat dalam masalah ini. Untuk itu manakala seorang le- 
laki telah menentukan jumlah maskawin kepada wanita yang dini- 
kahinya, kemudian si lelaki menceraikannya sebelum menggaulinya, 
maka si lelaki diwajibkan membayar separo maskawin yang telah di- 
tentukannya itu. 

Tetapi menurut ketiga orang imam (selain Imam Syafii, pent.), 
pihak suami tetap diwajibkan membayar mahar secara penuh jika ia 
ber-khalwat dengannya, sekalipun tidak menyetubuhinya. Pendapat 
inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii di dalam qaul qadim-nya. Hal 
ini pulalah yang dijadikan pegangan dalam keputusan oleh para Kha- 
lifah Ar-Rasyidun. Akan tetapi, Imam Syafii mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, telah menceritakan kepa- 
da kami Ibnu Juraij, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Tawus, dari Ibnu 
Abbas yang mengatakan sehubungan dengan seorang lelaki yang me- 
ngawini seorang wanita, lalu si lelaki ber-khalwat dengannya tanpa 
menyetubuhinya, setelah itu si lelaki menceraikannya, "Tiada yang 
berhak diperoleh istrinya selain separo maskawin." Ibnu Abbas me- 
ngatakan demikian karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan: 

Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercam- 
pur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menen- 
tukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah 
kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237) 



588 Juz 2 — Al-Baqarah 

Imam Syafii mengatakan, "Pendapat inilah yang saya pegang karena 
memang demikian makna lahiriah dari ayat yang bersangkutan." 

Imam Baihaqi dan Lais ibnu Abu Sulaim — sekalipun predikat 
keduanya tidak dapat dijadikan hujah — telah mengatakan bahwa se- 
sungguhnya kami telah meriwayatkannya melalui Ibnu Abu Talhah, 
dari Ibnu Abbas, bahwa hal ini merupakan perkataan Ibnu Abbas sen- 
diri. 

Firman Allah Swt.: 

kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) 

Yakni mereka memaafkan suaminya dan membebaskannya dari tang- 
gungan yang harus dibayarnya kepada mereka, maka tiada suatu pun 
yang harus dibayar oleh si suami. 

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubung- 
an dengan makna firman-Nya: 

kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) 

Bahwa makna yang dimaksud ialah 'kecuali jika si janda yang ber- 
sangkutan memaafkan dan merelakan haknya'. Imam Abu Muham- 
mad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Syuraih, Sa'id ibnul 
Musayyab, Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Nafi', Qatadah, 
Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Muqatil 
ibnu Hayyan, Ibnu Sirin, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang 
semisal. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, lain halnya dengan Muhammad ib- 
nu Ka'b Al-Qurazi, ia berpendapat berbeda. Ia mengatakan sehubung- 
an dengan firman-Nya: 

terkecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) 



Tafsir Ibnu Kasir 589 

Yang dimaksud ialah para suami. Akan tetapi, pendapat ini bersifat 
syaz (menyendiri) dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. 
Firman Allah Swt.: 



C y r v j 



sjljo -^2 



vl^ii^-C^i^T 



atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan. (Al- 
Baqarah: 237) 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari Ibnu Luhai'ah, te- 
lah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari ka- 
keknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: 



.i$\ x &&$& 



Orang yang menguasai ikatan nikah adalah suami. 

Demikian pula menurut sanad yang diketengahkan oleh Ibnu Murda- 
waih melalui hadis Abdullah ibnu Luhai'ah dengan lafaz yang sama. 
Ibnu Jarir telah menyandarkannya pula dari Ibnu Luhai'ah, dari Amr 
ibnu Syu'aib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda demikian. Lalu 
Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini, tetapi ia tidak menyebutkan dari 
ayah Amr, dari kakeknya. 

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula 
kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu 
Daud, telah menceritakan kepada kami Jabir (yakni Ibnu Abu Ha- 
zim), dari Isa (yakni Ibnu Asim) yang mengatakan bahwa ia pernah 
mendengar Syuraih mengatakan, "Ali ibnu Abu Talib pernah bertanya 
kepadaku tentang makna orang yang memegang ikatan nikah. Maka 
aku menjawabnya, bahwa dia adalah wali si pengantin wanita. Maka 
Ali mengatakan, 'Bukan, bahkan dia adalah suami'." 

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa di dalam suatu riwayat dari 
Ibnu Abbas, Jubair ibnu Mut'im, Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih di 
dalam salah satu pendapatnya, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Asy-Sya'- 
bi. Ikrimah, Nafi', Muhammad ibnu Sirin, Ad-Dahhak, Muhammad 
ibnu Ka*b AI-Qurazi, Jabir ibnu Zaid, Abui Mijlaz, Ar-Rabi' ibnu 
Anas. kas ibnu Mu'awiyah, Mak-hul, dan Muqatil ibnu Hayyan, di- 



5QQ Juz 2 — Al-Baqarah 

sebutkan bahwa dia (orang yang di tangannya ikatan nikah) adalah 
suami. 

Menurut kami, pendapat ini pula yang dikatakan oleh Imam Sya- 
fii dalam salah satu qaul jadid-nya, mazhab Imam Abu Hanifah dan 
semua temannya, As-Sauri, Ibnu Syabramah, dan Al-Auza'i. Ibnu Ja- 
rir memilih pendapat ini. 

Alasan pendapat ini yang mengatakan bahwa orang yang di ta- 
ngannya terpegang ikatan nikah secara hakiki adalah suami, karena 
sesungguhnya hanya di tangan suamilah terpegang ikatan nikah, ke- 
pastian, pembatalan, dan pengrusakannya. Perihalnya sama saja, ia ti- 
dak boleh memberikan sesuatu pun dari harta anak yang berada da- 
lam perwaliannya kepada orang lain, begitu pula dalam masalah mas- 
kawin ini. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa pendapat yang kedua me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah mencerita- 
kan kepada kami Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Di- 
nar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna orang yang di ta- 
ngannya terdapat ikatan nikah. Ibnu Abbas mengatakan, dia adalah 
ayahnya atau saudara laki-lakinya atau orang yang si wanita tidak bo- 
leh kawin melainkan dengan seizinnya. 

Telah diriwayatkan dari Alqamah, Al-Hasan, Ata, Tawus, Az- 
Zuhri, Rabi'ah, Zaid ibnu Aslam, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah di da- 
lam salah satu pendapatnyajdan Muhammad ibnu Sirin menurut salah 
satu pendapatnya, bahwa dia adalah wali. 

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik dan pendapat 
Imam Syafii dalam qaul qadim-nyn. Alasannya ialah karena walilah 
yang mengizinkan mempelai lelaki boleh mengawininya, maka pihak 
walilah yang berkuasa menentukannya; berbeda halnya dengan harta 
lain milik si mempelai wanita (maka pihak wali tidak berhak bertasar- 
ruf padanya). 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ib- 
nur Rabi' Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr 
ibnu Dinar, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah meng- 
izinkan untuk memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, 
wanita yang memaafkan, undakannya itu diperbolehkan. Apabila ter- 



Tafsir Ibnu Kasir 591 

nyata dia kikir dan tidak mau memaafkan, maka pihak walinyalah 
yang boleh memaafkan. Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindak- 
an pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai wanita bersikap ke- 
ras. 

Riwayat ini diketengahkan melalui Syuraih, tetapi sikapnya itu 
diprotes oleh Asy-Sya'bi. Akhirnya Syuraih mencabut kembali pen- 
dapatnya dan cenderung mengatakan bahwa dia adalah suami, dan 
tersebutlah bahwa Asy-Sya'bi melakukan mubahalah terhadapnya 
(Syuraih) untuk memperkuat pendapatnya ini. 

Firman Allah Swt.: 



Cyw 



y-Zu"?\f\ "$**- 



* ' -»'"14 7^** l P'» " . \^ 



dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 

237) 

Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan mufassirin mengata- 
kan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum wanita. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, te- 
lah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ia pernah mende- 
ngar Ibnu Juraij menceritakan asar berikut dari Ata ibnu Abu Rabah, 
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: 

dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takWa. (Al-Baqarah: 
237) 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang paling dekat kepada takwa di 
antara kedua belah pihak (suami istri) adalah orang yang memaafkan. 
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Asy-Sya'bi dan lain-lain- 
nya. 

Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Ra- 
bi" ibnu Anas, dan As-Sauri mengatakan bahwa hal yang utama da- 
lam masalah ini ialah hendaknya pihak wanita memaafkan separo 
maskawinnya, atau pihak lelaki melengkapkan maskawin secara pe- 
nuh buat pihak wanita. Karena itulah dalam firman selanjutnya dise- 
butkan: 



592 Juz 2 — Al-Baqarah 



Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. 
(Al-Baqarah: 237) 

Yang dimaksud dengan al-fadl ialah kebajikan, menurut Sa'id. 

Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Abu Wa-il mengatakan bah- 
wa yang dimaksud dengan al-fadl ialah hal yang bajik, yakni jangan- 
lah kamu melupakan kebajikan, melainkan amalkanlah di antara sesama 
kalian. 

Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan, telah menceritakan 
kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah mencerita- 
kan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami 
Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu 
Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Ar- 
Rassafi, dari Abdullah ibnu Ubaid, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia suatu za- 
man yang kikir akan kebajikan, seorang mukmin menggigit (ki- 
kir) apa yang ada pada kedua tangannya (harta bendanya) dan 
melupakan kebajikan. Padahal Allah Swl. telah berfirman, "Ja- 
nganlah kalian melupakan keutamaan (kebajikan) di antara ka- 
lian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah orang-orang yang jahat, 
mereka melakukan jual beli dengan semua orang yang terpaksa. 

Rasulullah Saw. sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa dan 
jual beli yang mengandung unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya 
ialah apabila kamu memiliki kebaikan, maka ulurkanlah tanganmu 
untuk menolong saudaramu. Janganlah kamu menambahkan kepada- 
nya kebinasaan di atas kebinasaan yang dideritanya, karena sesung- 



Tafsir Ibnu Kasir 593 

guhnya seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain; ia tidak 
boleh membuatnya susah, tidak boleh pula membuatnya sengsara. 

Sufyan meriwayatkan dari Abu Harun yang mengatakan bahwa 
ia pernah melihat Aun ibnu Abdullah berada di dalam majelis Al-Qu- 
razi, dan Aun berbicara kepada kami, sedangkan janggutnya basah 
karena air matanya. Ia berkata, "Aku pernah bergaul dengan orang- 
orang kaya dan ternyata diriku adalah orang yang paling banyak meng- 
alami kesusahan ketika aku melihat mereka berpakaian yang baik- 
baik dan penuh dengan bebauan yang wangi serta menaiki kendaraan 
yang paling baik. Tetapi ketika aku bergaul dengan kaum fakir mis- 
kin, maka hatiku menjadi tenang bersama mereka." 

Firman Allah Swt.: 

dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. 
(Al-Baqarah: 237) 

Apabila seseorang kedatangan orang yang meminta-minta, sedangkan 
ia tidak memiliki sesuatu pun yang akan diberikan kepadanya, maka 
hendaklah ia berdoa untuknya. Demikianlah menurut apa yang diri- 
wayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. 
Firman Allah Swt.: 



-V. *-|^ ^i. 



urw 



■*^ .S^w^ 



ll 



Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian ker- 
jakan. (Al-Baqarah: 237) 

Yakni tiada sesuatu pun dari urusan kalian dan sepak terjang kalian 
yang samar bagi Allah Swt. Kelak Dia akan membalas semua orang 
sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya. 

Al-Baqarah, ayat 238-239 



394 Juz 2 — Al-Baqarah 

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Ber- 
dirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Jika kalian 
dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan 
atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka 
sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan 
kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. 

Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara dalam waktunya 
masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di 
dalam waktunya masing-masing. Seperti yang telah disebutkan di da- 
lam kitab Sahihain, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan: 

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Amal apakah 
yang paling utama?" Ia menjawab, "Mengerjakan salat pada 
waktunya." Aku berkata lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau men- 
jawab, "Berjihad di jalan Allah." Aku bertanya lagi, "Lalu apa 
lagi!" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Ib- 
nu Mas'ud mengatakan, "Semua itu diceritakan oleh Rasulullah 
Saw. kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih 
lanjut, niscaya beliau akan menambahkannya." 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, 
telah menceritakan kepada kami Lais, dari Abdullah ibnu Umar ibnu 



Tafsir Ibnu Kasir 595 

Hafs ibnu Asim, dari Al-Qasim ibnu Ganam, dari neneknya (yakni 
ibu ayahnya yang bernama Ad-Dunia), dari neneknya (yaitu Ummu 
Farwah). Ummu Farwah tennasuk salah seorang sahabat wanita yang 
ikut ber-£>a/a/ kepada Rasulullah Saw. Bahwa ia pernah mendengar 
Rasulullah Saw. menyebut tentang berbagai amal perbuatan. Beliau 
Saw. bersabda: 

Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah ialah 
menyegerakan salat pada awal waktunya. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmu- 
zi, dan ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini melainkan 
hanya melalui jalur Al-Umari, sedangkan dia orangnya dinilai tidak 
kuat oleh kalangan ahli hadis." 

Allah Swt. menyebutkan secara khusus di antara semua salat, 
yaitu salat wusta, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ula- 
ma Salaf dan Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang di- 
maksud dari salat wusta ini, salat apakah ia? 

Menurut suatu pendapat, salat wusta itu adalah salat Subuh, se- 
perti yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'- 
nya melalui Ali dan Ibnu Abbas. 

Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Addi, Abdul Wahhab, 
dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf Al-A'rabi, 
dari Abu Raja Al-Utaridi yang mengatakan bahwa ia pernah salat Su- 
buh bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas membaca doa 
qunut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata, 
"Inilah salat wusta yang diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di 
dalamnya seraya membaca doa qunut." Asar ini diriwayatkan oleh Ib- 
nu Jarir, dan dia telah meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khal- 
las ibnu Amr, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Basvsyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah 
menceritakan kepada kami Auf, dari Abui Minhal, dari Abui Aliyah, 
dari Ibnu Abbas, bahwa ia salat di masjid Basrah, yaitu salat Subuh, 



596 Juz 2 — Al-Baqarah 

lalu ia melakukan doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia berkata, 
"Inilah salat wusta yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab (Al- 
Qur'an)-Nya," lalu ia membacakan firman-Nya: 

Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta. Ber- 
dirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqa- 
rah: 238) 

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul 
Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari 
Abui Aliyah yang mengatakan, "Aku pernah salat di belakang Abdul- 
lah ibnu Qais di Basrah, yaitu salat Subuh. Lalu aku bertanya kepada 
seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang berada di 
sebelahku, 'Apakah salat wusta itu?' Ia menjawab, 'Salat wusta ada- 
lah salat sekarang ini (yaitu Subuh)'." 

Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi', dari Abui Aliyah, 
bahwa ia pernah salat bersama sahabat Rasulullah Saw., yaitu salat 
Subuh. Ketika mereka selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepa- 
da mereka, "Manakah yang dimaksud dengan salat wusta itu?" Mere- 
ka menjawab, "Salat yang baru saja kamu kerjakan." 

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ib- 
nu Yasyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Asmah, dari Sa'id 
ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: 



. &&\ifej£ffiy&\ 



Salat wusta adalah salat Subuh. 

Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui Ibnu Umar, 
Abu Umamah, Anas, Abui Aliyah, Ubaid ibnu Umair, Ata, Mujahid, 
Jabir ibnu Zaid, Ikrimah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. 

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had. 
Hal inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah seraya ber- 
dalilkan firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 597 



Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan membaca doa 
qunut. (Al-Baqarah: 238) 

Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam salat Subuh. 

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa salat ini dinama- 
kan wusta karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara 
dua salat ruba'iyyah yang dapat diqasar. Menurut pendapat lain, salat 
wusta adalah salat Magrib, karena letak waktunya di antara dua salat 
jahriyyah di malam hari dan dua salat siang yang sirri (perlahan ba- 
caannya). 

Menurut pendapat yang lain, salat wusta adalah salat Lohor. Abu 
Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi'b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu 
Amr), dari Zahrah (yakni Ibnu Ma'bad) yang menceritakan, "Ketika 
kami sedang berada di dalam majelis sahabat Zaid ibnu Sabit, mereka 
(jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada sahabat Usamah un- 
tuk menanyakan kepadanya tentang salat wusta. Maka ia berkata: 

'Salat wusta adalah salat Lohor, dahulu Rasulullah Saw. selalu 
mengerjakannya di waktu hajir (panas matahari 1 terik sekali)'." 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah men- 
ceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Hakim, bahwa ia pernah men- 
dengar Az-Zabarqan menceritakan hadis berikut dari Urwah ibnuz 
Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan: 



598 Juz 2 — Al-Baqarah 

Rasulullah Saw. melakukan salat Lohor di waktu hajir (panas 
matahari sangat terik), tiada suatu salat pun yang dirasakan 
amat berat oleh sahabat-sahabat Rasul Saw. selain dari salat 
Lohor. Maka turunlah firman-Nya, "Peliharalah semua salat- 
(mu), dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (da- 
lam salatmu) dengan khusyuk" (Al-Baqarah: 238). Beliau me- 
ngatakan bahwa sebelum salat Lohor terdapat dua salat lain, 
dan sesudahnya terdapat pula dua salat lainnya. 

Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab sunannya me- 
lalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama. 

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami 
Yazid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Wahb, dari Az-Za- 
barqan, bahwa segolongan orang-orang Quraisy dijumpai oleh Zaid 
ibnu Sabit ketika mereka sedang berkumpul. Lalu mereka mengutus 
dua orang budak kepada Zaid ibnu Sabit untuk menanyakan kepada- 
nya tentang apa yang dimaksud dengan salat wusta. Maka Zaid ibnu 
Sabit menjawab, bahwa salat wusta adalah salat Asar. 

Mereka kurang puas, lalu berdirilah dua orang lelaki dari kalang- 
an mereka. Kemudian keduanya menanyakan hal tersebut kepada Za- 
id, maka Zaid ibnu Sabit menjawab bahwa salat wusta itu adalah salat 
Lohor. 

Kemudian keduanya berangkat menuju sahabat Usamah ibnu Za- 
id, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepadanya, dan ia menja- 
wab bahwa salat wusta adalah salat Lohor. Sesungguhnya Nabi Saw. 
selalu mengerjakan salat Lohornya di waktu hajir, maka orang-orang 
yang bermakmum di belakangnya hanya terdiri atas satu atau dua saf 
saja, karena saat itu orang-orang sedang dalam istirahat siang harinya 
dan di antara mereka ada yang sibuk dengan urusan dagangnya. Maka 
Allah menurunkan firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 599 



y y 



Peliharalah semua salal(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Ber- 
dirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqa- 
rah: 238) 

Maka Rasulullah Saw. bersabda: 

Hendaklah kaum lelaki benar-benar berhenti (dari meninggalkan 
salat jamaah Lohor) atau aku benar-benar akan membakar ru- 
mah mereka. 

Az-Zabarqan adalah Ibnu Anu ibnu Umayyah Ad-Dimri, ia belum 
pernah menjumpai masa seorang sahabat pun. Hal yang benar ialah 
apa yang telah disebutkan sebelum ini, yaitu riwayatnya yang dari 
Zuhrah ibnu Ma'bad dan Urwah ibnuz Zubair. 

Syu'bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul 
Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, 
"Salat wusta adalah salat Lohor." 

Abu Daud At-Tayalisi dan lain-lainnya meriwayatkan dari Syu'- 
bah, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar (salah se- 
orang anak Umar ibnul Khattab r.a.) yang mengatakan bahwa ia per- 
nah mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu Usman menceri- 
takan asar berikut dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang mengata- 
kan, "Salat wusta adalah salat Lohor." 

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zai- 
dah, dari Abdus Samad, dari Syu'bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari 
Zaid ibnu Sabit di dalam hadis marfu'-nya yang mengatakan: 



.J&\i^j^f\i$£fr 



Salat wusta adalah salat Lohor. 

Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya (Zaid ibnu Sabit), 
bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor ialah Ibnu Umar, Abu Sa'id, 



600 Juz 2 — Al-Baqarah 



dan Siti Aisyah, sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari 
mereka. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan 
Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had, serta salah satu riwayat dari Imam 
Abu Hanifah. 

Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Asar. 
Imam Turmuzi dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah yang 
dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lain- 
nya. 

Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat inilah yang di- 
katakan oleh jumhur ulama dari kalangan tabi'in. 

Al-Hafiz Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa penda- 
pat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ahli asar. Abu Muhammad 
ibnu Atiyyah di dalam tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikata- 
kan oleh mayoritas ulama. 

Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Mu-min ibnu Khalaf Ad-Dim- 
yati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gila fi Tabyini Salatil 
Wusta (Menyingkap Tabir Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di- 
naskan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar. 
Ia meriwayatkannya dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Ab- 
dullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub, Abu Hurairah, Abu Sa'id, 
Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, 
dan Siti Aisyah, menurut pendapat yang sahih dari mereka. 

Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zur ibnu Hubaisy, Sa'id 
ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Al-Kalbi, 
Muqatil, Ubaid ibnu Maryam dan lain-lainnya mengatakan bahwa 
pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal. 

Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan bahwa Ibnul 
Munzir pernah mengatakan, "Pendapat inilah yang sahih dari Abu 
Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al- 
Maliki." 

Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan oleh Imam 
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah men- 
ceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu 
Syakl, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah 
bersabda dalam Perang Ahzab: 



Tafsir Ibnu KaSir 60 1 

Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Se- 
moga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. 

Kemudian Rasulullah Saw. mengerjakannya di antara salat Magrib 
dan Isya. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis 
Abu Mu'awiyah dan Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedang- 
kan Imam Nasai meriwayatkannya dari jalur Isa ibnu Yunus. Kedua- 
nya meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, 
dari Abud Duha, dari Syittir ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali ibnu 
Abu Talib, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. 

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Syu'bah, dari 
Al-Hakam ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnul Jazzar, dari Ali ibnu Abu 
Talib. 

Syaikhain, Abu Daud, Turmuzi, dan Imam Nasai serta bukan ha- 
nya seorang dari kalangan pemilik kitab musnad, sunah, dan sahih te- 
lah mengetengahkannya melalui berbagai jalur yang amat panjang bi- 
la dikemukakan, melalui Ubaidah As-Salmani, dari Ali dengan lafaz 
yang sama. 

Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui 
jalur Al-Hasan Al-Basri, dari Ali dengan lafaz yang sama. Imam Tur- 
muzi mengatakan, "Belum pernah dikenal bahwa Al-Hasan Al-Basri 
pernah mendengar dari Ali." 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman 
ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Asim, dari Zur yang menceritakan bah- 
wa ia pernah berkata kepada Ubaidah, "Tanyakanlah kepada sahabat 
Ali tentang makna salat wusta." Lalu Ubaidah menanyakan hal ini ke- 
padanya. Maka Ali menjawab, "Dahulu kami menganggapnya salat 
Ts-js yakni salat Subuh, hingga aku mendengar dari Rasulullah Saw. 
yang telah bersabda dalam Perang Ahzab: 



602 Juz 2 — Al-Baqarah 



;£33&&*^SM£ >jL2$i&&£8$2 






'Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. 
Semoga Allah memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau 
rumah mereka dengan api'." 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Ibnu 
Mahdi dengan lafaz yang sama. 

Hadis mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang membuat 
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat me- 
ngerjakan salat Asar pada hari itu diriwayatkan oleh banyak perawi 
dari para sahabat yang bila disebutkan akan panjang sekali. Hal yang 
dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah menerangkan tentang pen- 
dapat orang yang mengatakan bahwa salat wusta itu adalah salat Asar 
dengan berdalilkan hadis ini. 

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Ibnu Mas'ud 
dan Al-Barra ibnu Azib r.a. 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bah- 
wa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada 
kami Hammam, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



^f&^^t&L^ 



Salat wusta adalah salat Asar. 



Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan; keduanya menga- 
takan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan ke- 
pada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah 
Saw. membacakan firman-Nya: 

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al- 
Baqarah: 238) 



Tafsir Ibnu Kasir 603 

Lalu beliau Saw. menyebutkan keterangannya kepada kami sebagai 
salat Asar. 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Ra- 
uh; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id, 
dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa 
Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan salat wusta: 

'/'i 



42& 



Ia adalah salat Asar. 



Ibnu Ja'far mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda demikian karena 
ditanya mengenai maksud salat wusta. 

Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id 
ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam 
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih. Imam 
Turmuzi pernah mendengar hadis lainnya (mengenai masalah yang 
sama) dari Sa'id ibnu Abu Arubah. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad 
ibnu Mani', telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu 
Ata, dari At-Taimi, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa 
Rasulullah Saw. telah bersabda: 



,j^agb\ tj^a Ja^jyl BAyk)^ 



Salat wusta adalah salat Asar. 

Jalur yang lain — dan bahkan hadis yang lain — diriwayatkan oleh Ib- 
nu Jarir, bahwa Al-Musanna telah menceritakan kepadanya, telah 
menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad Al-Jarasyi Al-Wa- 
siti, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang per- 
nah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Sadaqah ibnu Khalid, 
telah menceritakan kepadanya Khalid ibnu Dihqan, dari Khalid ibnu 
Sailan, dari Kahil ibnu Harmalah yang pernah menceritakan bahwa 
Abu Hurairah pernah ditanya mengenai makna salat wusta. Maka ia 
menjawab, "Kami pernah berselisih pendapat mengenainya sebagai- 
mana kalian berbeda pendapat mengenainya. Saat itu kami berada di 



604 Juz 2 — Al-Baqarah 

halaman rumah Rasulullah Saw. dan di kalangan kami terdapat se- 
orang lelaki yang saleh, yaitu Abu Hasyim ibnu Atabah ibnu Rabi 'ah 
ibnu Abdu Syams. Ia berkata, 'Akulah yang akan memberitahukan- 
nya kepada kalian.' Lalu ia meminta izin untuk menemui Rasulullah 
Saw. Setelah diberi izin, ia masuk menemuinya. Kemudian ia keluar 
menemui kami, lalu berkata, 'Beliau telah bersabda kepada kami bah- 
wa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar'." Ditinjau 
dari segi sanad ini predikat hadis garib jiddan. 

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir yang mengata- 
kan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah men- 
ceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami 
Abdus Salam, dari Muslim maula Abu Jubair, telah menceritakan ke- 
padaku Ibrahim ibnu Yazid Ad-Dimasyqi yang menceritakan asar 
berikut: 

Ketika aku sedang duduk di majelis Abdul Aziz ibnu Marwan, 
maka Abdul Aziz ibnu Marwan berkata, "Hai Fulan, berangkatlah ke- 
pada si anu dan tanyakanlah 'apa saja yang pernah ia dengar dari 
Rasulullah Saw. tentang salat wusta'." Maka seorang lelaki dari ha- 
dirin yang ada di majelis berkata, "Abu Bakar dan Umar pernah 
mengutusku, ketika itu aku masih kecil untuk menanyakan kepada 
beliau Saw. tentang salat wusta. Maka beliau Saw. memegang jari ke- 
cilku, lalu bersabda, 'Ini adalah salat Subuh,' lalu memegang jari se- 
sudahnya dan bersabda, 'Ini salat Lohor.' Lalu memegang jari jem- 
polku dan bersabda, 'Ini salat Magrib,' lalu beliau memegang jari se- 
sudahnya (yakni jari telunjukku) dan bersabda, 'Ini salat Isya.' Kemu- 
dian beliau Saw. bersabda, 'Jarimu yang manakah yang belum terpe- 
gang?' Aku menjawab, 'Jari tengah.' Dan beliau saw. bersabda, 'Sa- 
lat apakah yang belum disebutkan?' Aku menjawab, 'Salat Asar.' 
Maka beliau bersabda, 'Salat wusta adalah salat Asar'." 

Akan tetapi, hadis ini pun berpredikat garib (aneh). 

Hadis lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan 
kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada 
kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepada- 
ku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abu Damdam ibnu Zar'ah, 
dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mencerita- 
kan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



Tafsir Ibnu Kasir 605 



i*-» < 



^mcjt^'i-m 



Salat wusta adalah salat Asar. 

Sanad hadis ini tidak mengandung cela. 

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban yang 
mengatakan di dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepa- 
da kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada 
kami Al-Jarrah ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Amr 
ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Hammam ibnu Mauriq 
Al-Ajali, dari Abui Ahwas, dari Abdullah yang telah menceritakan 
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 



"^pyaau \ o y^+,0, Jo-lu J \ o jC^ 



Salat wusta adalah salat Asar. 



Dan sesungguhnya Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Mu- 
hammad ibnu Talhah ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari Mur- 
rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud yang mencerita'kan bahwa 
Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Salat wusta adalah salat Asar. 

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. 
Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya me- 
lalui jalur Muhammad ibnu Talhah yang lafaznya seperti berikut: 

Mereka telah menyibukkan kita dari salat wusta, yaitu salat 
Asar. 

Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung suatu takwil pun 
(karena sudah jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya perintah 



606 Juz 2 — Al-Baqarah 



yang menganjurkan untuk memelihara salat wusta. Dalil lainnya ialah 
sabda Nabi Saw. di dalam sebuah hadis sahih melalui riwayat Az- 
Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah ber- 
sabda: 

Barang siapa yang meninggalkan salat Asarnya, maka seakan- 
akan ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan harta ben- 
danya. 

Di dalam kitab sahih pula dari hadis Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu 
Kasir, dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abui Mujahir, dari Bu- 
raidah ibnul Hasib, dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut, bahwa 
Nabi Saw. pernah bersabda: 

Bersegeralah dalam melakukan salat (yakni di awal waktunya) 
pada hari yang berawan; karena sesungguhnya barang siapa 
yang meninggalkan salat Asar, niscaya amal perbuatannya diha- 
puskan. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya 
ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ab- 
dullah ibnu Hubairah, dari Abu Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari 
yang menceritakan hadis berikut: 



Tafsir Ibnu Kasir 607 

Kami salat dengan Rasulullah Saw. di sebuah lembah milik me- 
reka yang dikenal dengan nama Al-Hamis, yaitu salat Asar. Lalu 
beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini pernah diwajibkan atas 
orang-orang sebelum kalian, lalu mereka menyia-nyiakannya. 
Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya, maka dilipatgan- 
dakan pahalanya menjadi dua kali lipat. Ingatlah, tiada salat 
(sunat) sesudahnya sebelum kalian melihat asy-syahid (matahari 
tenggelam dan malam hari mulai gelap). 

Kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa dia meriwayatkannya 
pula dari Yahya ibnu Ishaq, dari Al-Lais, dari Jubair ibnu Na'im, dari 
Abdullah ibnu Hubairah dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diri- 
wayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Nasai secara bersamaan, 
dari Qutaibah, dari Al-Lais. Imam Muslim meriwayatkannya pula 
melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku 
Yazid ibnu Abu Habib; keduanya menerima hadis ini dari Jubair ibnu 
Na'im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu Hubairah As-Siba-i dengan 
lafaz yang sama. 

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah seperti ber- 
ikut: Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan ke- 
padaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa'qa ibnu Hakim, dari 
Abu Yunus maula Aisyah yang menceritakan hadis berikut: 



608 Juz 2 ~~ Al-Baqarah 

Siti Aisyah pernah memerintahkan kepadaku agar menuliskan 
buatnya sebuah mus-haf. Ia berkata, "Apabila tulisanmu sampai 
pada ayat berikut, yaitu firman-Nya, 'Peliharalah semua salat 
kalian dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238), maka 
beri tahukanlah aku." Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, ma- 
ka kuberi tahu dia. Lalu ia mengimlakan kepadaku yang bunyi- 
nya menjadi seperti berikut, "Peliharalah semua salat kalian dan 
(peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk 
Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk." Lalu Siti Aisyah-berkata 
bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw. 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Yahya ibnu 
Yahya, dari Malik dengan lafaz yang sama. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musan- 
na, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan ke- 
pada kami Hammad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang 
menceritakan bahwa di dalam mus-haf Siti Aisyah disebutkan seperti 
berikut: 

Peliharalah semua salat (kalian) dan (peliharalah) salat wusta, 
yaitu salat Asar. 

Hal yang sama diriwayatkan pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, 
seperti berikut: 

Bahwa Rasulullah Saw. membacanya seperti itu (yakni memakai 
tafsirnya). 

Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Amr ibnu Ra- 
fi' yang mengatakan, "Dahulu aku pernah menuliskan sebuah mus- 
haf untuk Siti Hafsah, istri Nabi Isa. Lalu ia berkata, 'Apabila tulisan- 
mu sampai kepada firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 



609 



C**'*» 



Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al- 
Baqarah: 238) 

maka beri tahukanlah aku.' Ketika tulisanku sampai kepadanya, aku 
beri tahu dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut yang bunyinya 
seperti berikut: 

'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, ya- 
itu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) de- 
ngan khusyuk'." 

Hal yang sama diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar. 
Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ja'far (yaitu Mu- 
hammad ibnu Ali dan Nafi' maula Ibnu Umar), bahwa Amr ibnu Ra- 
fi' menceritakan hadis ini dengan lafaz yang semisal. Akan tetapi, di 
dalam riwayat ini ditambahkan bahwa Siti Hafsah berkata, "Seperti 
yang aku hafalkan dari Nabi Saw." 

Jalur lain dari Hafsah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan 
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, 
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah men- 
ceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Abdullah ibnu 
Yazid Al-Azdi, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Siti Hafsah meme- 
rintahkan seseorang untuk menuliskan sebuah mus-haf buatnya, lalu 
ia berpesan, "Jika kamu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya: 

'Peliharalah semua salat{m\x) dan (peliharalah) salat wusta' (Al- 
Baqarah: 238). 

maka beri tahukanlah aku." Ketika si penulis sampai pada ayat terse- 



610 Juz 2 — Al-Baqarah 

but, ia memberitahukannya kepada Ski Hafsah. Lalu Siti Hafsah me- 
merintahkan kepadanya agar mencatat apa yang diucapkannya, yaitu: 

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu 
salat Asar. 

Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah men- 
ceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami 
Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Na- 
fi', bahwa Siti Hafsah pernah memerintahkan kepada salah seorang 
maula (pelayan)nya untuk menuliskan sebuah mus-haf untuknya. Ia 
berpesan kepada maulanya, "Apabila tulisanmu sampai kepada ayat 
ini, yaitu firman-Nya: 



C yr\ j sja Jl 2> 



.J^^foiWS^ 



'Peliharalah semua salat(m\i) dan (peliharalah) salat wusta' (Al- 
Baqarah: 238). 

janganlah kamu tulis, karena aku yang akan mengimlakannya kepada- 
mu seperti apa yang pernah kudengar Rasulullah Saw. membacakan- 
nya." 

Setelah Nafi' sampai kepada ayat ini, maka Hafsah memerintah- 
kan kepadanya untuk menulisnya seperti berikut: 



- M"4JQ 



Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu 
salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan 
khusyuk. 

Nafi' mengatakan bahwa ia membaca mus-haf tersebut, dan ternyata 
ia menjumpai adanya huruf wawu. 



Tafsir Ibnu Kasir 611 



Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas dan 
Ubaid ibnu Umair, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan 
tersebut (yakni memakai wasalatil asri). 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ku- 
raib, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan 
kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku 
Abu Salamah, dari Amr ibnu Rafi' maula Umar yang menceritakan 
bahwa di dalam mus-haf Siti Hafsah terdapat: 

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu 
salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan 
khusyuk. 

Menurut analisis dari orang-orang yang menentang pendapat ini, lafaz 
salatil 'asri di-'o/o/kan kepada salatil wusta dengan memakai wawu 
'ataf. Hal ini menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara 
ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Maka demikian itu menunjukkan bahwa 
yang dimaksud dengan salat wusta adalah selain salat Asar. 

Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah dengan berbagai 
alasan, antara lain ialah 'jika hal ini diriwayatkan dengan anggapan 
bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadis Ali lebih sahih dan 
lebih jelas darinya'. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa wawu yang 
ada merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti yang terdapat di da- 
lam firman-Nya: 

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat AVQur'an, supaya 
jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An'am: 55) 



612 Juz 2 — Al-Baqarah 

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda 
keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia 
termasuk orang-orang yang yakin. (Al-An'am: 75) 

Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan ataf sifat kepada sifat yang 
lain, bukan zat kepada zat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam 
firman-Nya: 

tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (Al-Ahzab: 
40) 

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan 
dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan ka- 
dar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menum- 
buhkan rumput-rumputan. (Al-A'la: 1-4) 

Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak. Sehubungan dengan hal 
ini seorang penyair mengatakan: 

Kepada raja yang agung yaitu anak orang yang berkuasa, hari- 
mau dalam barisan perang bila perang berkobar. 



■*)V| 



Tafsir Ibnu- Kasir 613 

Abu Daud Al-Iyadi mengatakan dalam salah satu bait syairnya: 

' "J- x 

Semoga maut dan ajal menguasai mereka, maka tempat mereka 
hanyalah kuburan. 

Al-maut yang juga berarti al-manun; keduanya mempunyai makna 
yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi mengatakan: 

la memotong kulit itu untuk kedua sisi pelananya, maka ia men- 
jumpai ucapannya hanya dusta dan main-main. 

Al-main dan al-kazib artinya sama, yakni dusta. Imam Sibawaih 
— Syekh ilmu Nahwu — menaskan bahwa seseorang diperbolehkan 
mengatakan, "Aku bersua dengan saudaramu yang juga temanmu." 
Dengan demikian, berarti pengertian teman adalah saudara juga, 
yakni keduanya adalah orang yang sama. 

Jika diriwayatkan bacaan wasalatil 'asri adalah Al-Qur'an, maka 
riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan melalui 
hadis ahad yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al- 
Qur'an. Karena itulah maka bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh 
Amirul Mu-minin Usman ibnu Affan di dalam mus-hafnya. Tiada se- 
orang ahli qurra pun yang membacanya dari kalangan mereka yang 
qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari kalangan aurrasab 'ah 
maupun dari lainnya. 

Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa qiraah 
tersebut d\-mansukh, yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di 
dalam hadis di atas (yakni lafaz wa salatil 'asri). Imam Muslim me- 
ngatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Rahawaih, telah 
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Fudail ibnu Mar- 
zuq. dari Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengata- 
kan bahwa pada mulanya diturunkan ayat berikut: 



614 Juz 2 — Al-Baqarah 

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat Asar. 

Maka kami membacakannya kepada Rasulullah Saw. selama apa 
yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah Swt. menasakhnya 
dengan menurunkan firman-Nya: 

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al- 
Baqarah: 238) 

Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zahir yang saat itu 
ada bersama Syaqiq. Ia bertanya, "Apakah salat wusta itu adalah salat 
Asar?" Syaqiq menjawab, "Sesungguhnya aku telah menceritakan ke- 
padamu bagaimana pada mulanya ayat ini diturunkan dan bagaimana 
pada akhirnya Allah Swt. menasakhnya." 

Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al- 
Asyja'i, dari As-Sauri, dari Al-Aswad, dari Syaqiq. 

Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya diriwayatkan 
oleh Imam Muslim kecuali hanya hadis yang satu ini. 

Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini — yakni tilawah yang ter- 
akhir — menasakh lafaz yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan Siti 
Hafsah, juga maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjuk- 
kan makna mugayarah. Jika bukan menunjukkan makna mugayarah, 
berarti yang di-mansukh hanyalah lafaznya saja. 

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan salat wusta adalah 
salat Magrib. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu 
Abbas, tetapi di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesa- 
hihannya. Karena sesungguhnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya 
dari ayahnya, dari Abui Jamahir, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, 
dari Abui Khalil, dari pamannya, dari Ibnu Abbas. 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Magrib, 
dan pendapat ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah ib- 
nu 2uaib. Qatadah meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang 
bersumber darinya, sekalipun ada perbedaan pendapat. 



Tafsir Ibnu Kasir 515 

Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian mengemuka- 
kan alasannya bahwa salat Magrib dinamakan salat wusta karena bi- 
langan rakaatnya pertengahan antara salat ruba'iyyah dan salat Suna- 
iyyah, atau karena bilangan rakaatnya ganjil di antara salat-salat fardu 
lainnya, juga karena hadis-hadis yang menerangkan tentang keutama- 
annya. 

Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Isya. Pendapat ini 
dipilih oleh Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi di dalam kitab tafsirnya yang 
terkenal itu. 

Menurut pendapat yang lainnya, salat wusta adalah salah satu da- 
ri salat fardu yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan sesungguh- 
nya salat wusta ini disamarkan di antara salat lima waktu; perihalnya 
sama dengan lailatul qadar yang disamarkan dalam tahun, bulan, dan 
bilangan puluhannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id ibnul Mu- 
sayyab, Syuraih Al-Qadi, dan Nafi' maula Ibnu Umar serta Ar-Rabi' 
ibnu Khaisam. Pendapat ini dinukil pula dari Zaid ibnu Sabit, lalu di- 
pilih oleh Imamul Haramain — yaitu Al-Juwaini — di dalam kitab ni- 
hayahnya. 

Menurut pendapat lain, salat wusta itu adalah semua salat lima 
waktu. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu 
Umar. Akan tetapi, kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu diper- 
timbangkan. Yang mengherankan, pendapat ini dipilih oleh Syekh 
Abu Amr ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam di negeri sebe- 
rang laut. Sesungguhnya hal ini merupakan salah satu dosa besar, me- 
ngingat ia memilihnya, padahal ia memiliki wawasan luas lagi hafal 
semuanya, selagi ia tidak dapat menegakkan hujah yang memperkuat 
pendapatnya, baik dari Al-Qur'an atau sunnah atau asar. 

Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Isya dan 
salat Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah salat berja- 
maah. Pendapat lain mengatakan salat Jumat, ada yang berpendapat 
salat Khauf, yang lain mengatakan salat Idul Fitri, dan yang lainnya 
lagi mengatakan salat Idul Ad-ha. Menurut pendapat yang lain yaitu 
salat witir, ada pula yang mengatakannya salat duha. Sementara ula- 
ma lainnya hanya bersikap abstain, mengingat menurut mereka dalil- 
nya bersimpang siur dan tidak jelas mana yang lebih kuat di antara- 
nya. Sedangkan ijma' belum pernah ada kesepakatan mengenainya 



616 Juz 2 — Al-Baqarah 

dalam satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada se- 
jak zaman sahabat hingga masa sekarang. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad 
ibnu Basysyar dan Ibnu Musanna; keduanya mengatakan, telah men- 
ceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan 
kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar 
Qatadah menceritakan asar berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang 
pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. berselisih 
pendapat tentang salat wusta seperti ini, lalu ia merangkumkan jari je- 
mari kedua tangannya menjadi satu. 

Semua pendapat mengenai salat wusta ini dinilai lemah bila di- 
bandingkan dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok 
pangkal perselisihan ini terpusat pada salat Subuh dan salat Asar. 
Sunnah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta ialah 
salat Asar, maka hal ini dapat dijadikan pegangan. 

Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Hatim 
Ar-Razi) telah mengatakan di dalam kitab Asy-Syafii, telah mencerita- 
kan kepada kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mende- 
ngar Harmalah ibnu Yahya Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam 
Syafii pernah berkata, "Semua pendapatku, lalu ada hadis Nabi Saw. 
yang sahih berbeda dengan pendapatku, maka hadis Nabi adalah lebih 
utama untuk diikuti dan janganlah kalian mengikutiku." 

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ar-Rabi', Az-Za'farani, 
dan Ahmad ibnu Hambal, dari Imam Syafii. 

Musa Abui Walid ibnu Abui Jarud meriwayatkan dari Imam Sya- 
fii yang mengatakan, "Apabila ada hadis sahih, sedangkan aku mem- 
punyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali pendapatku dan 
merujuk kepada hadis sahih tersebut." 

Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki oleh Imam 
Syafii. Jejaknya itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya dari 
kalangan para imam rahimahumullah. 

Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi Al-Mawardi 
memutuskan bahwa mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa salat 
wusta adalah salat Asar, sekalipun dalam qaul jadid-nya Imam Syafii 
menaskan bahwa salat wusta adalah salat Subuh, mengingat hadis-ha- 
dis yang sahih menyatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar. 



Tafsir Ibnu Kasir 617 

Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah ahli hadis dari 
kalangan mazhab Imam Syafii sendiri. 

Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafii ada yang me- 
nolak bahwa salat wusta sebagai salat Asar, dan mereka bersikeras 
bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Subuh saja. 

Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada yang meri- 
wayatkan masalah ini dua pendapat. Untuk lebih jelasnya, rincian me- 
ngenai masalah ini antara sanggahan dan bantahan terdapat di dalam 
kitab lain yang telah kami tulis khusus untuk masalah tersebut. 

Firman Allah Swt.: 

,, A i L i »>»-?.^' 

Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Ba- 
qarah: 238) 

Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di hadapan-Nya. Pe- 
rintah ini mengharuskan tidak boleh berbicara dalam salat, karena 
berbicara dalam salat bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah 
Rasulullah Saw. tidak menjawab salam yang diucapkan oleh Ibnu 
Mas'ud kepadanya ketika beliau sedang salat. Setelah beliau Saw. se- 
lesai dari salatnya, barulah beliau bersabda: 

Sesungguhnya di dalam salat benar-benar ada kesibukan. 

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda 
kepada Mu'awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam 
salatnya: 



s 



^^&^£(&^^'&U 



.£#&?&$&.'" 



618 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sesungguhnya salat ini tidak layak dilakukan padanya sesuatu 
pun dari pembicaraan manusia, melainkan salat itu adalah tas- 
bih, takbir, dan zikrullah. 

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada 
kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail, telah menceritakan kepadaku Al- 
Haris ibnu Syubail, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Zaid ibnu Ar- 
qam yang menceritakan bahwa di zaman Nabi Saw. seorang lelaki 
biasa berbicara dengan temannya untuk suatu keperluan di dalam sa- 
lat, hingga turunlah firman-Nya: 

Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Ba- 
qarah: 238) 

Kemudian kami diperintahkan agar diam. Hadis ini diriwayatkan oleh 
Jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur, dari Ismail. 

Akan tetapi, hadis ini dianggap sebagai suatu hal yang musykil 
oleh sebagian ulama, karena telah terbukti di kalangan mereka bahwa 
pengharaman berbicara dalam salat terjadi di Mekah sebelum hijrah 
ke Madinah, tetapi sesudah hijrah ke negeri Habsyah. Seperti yang di- 
tunjukkan oleh makna yang terkandung di dalam hadis Ibnu Mas'ud 
yang terdapat di dalam kitab sahih. Disebutkan, "Kami dahulu biasa 
mengucapkan salam kepada Nabi Saw. sebelum kami hijrah ke negeri 
Habsyah, sedangkan beliau dalam salatnya. Maka beliau Saw. selalu 
menjawab salam kami." 

Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia tiba (dari 
Habsyah), lalu ia mengucapkan salam kepadanya, tetapi ternyata 
beliau tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu Mas'ud dipenuhi 
oleh berbagai macam perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi setelah 
beliau Saw. bersalam, beliau bersabda: 



o-t 






11 



Tafsir Ibnu Kasir 619 



Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada lain karena aku 
sedang dalam salat, dan sesungguhnya Allah memperbarui pe- 
rintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya; dan sesungguh- 
nya di antara perintah yang diperbarui-Nya ialah janganlah ka- 
lian berbicara di dalam salat. 

Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas'ud termasuk salah seorang yang ma- 
suk Islam paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan datang 
kembali dari Habsyah ke Mekah bersama orang-orang yang datang, 
lalu ia hijrah ke Madinah. Ayat ini, yaitu firman-Nya: 

Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Ba- 
qarah: 238) 

adalah Madiniyah, tanpa ada yang memperselisihkannya. Maka ada 
orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Zaid ibnu Arqan 
bermaksud dengan ucapannya yang mengatakan bahwa 'seorang lela- 
ki berbicara kepada saudaranya tentang keperluannya di dalam salat' 
hanyalah menceritakan tentang jenis pembicaraan. Ia mengambil ke- 
simpulan dalil dari ayat ini untuk mengharamkan hal tersebut sesuai 
dengan apa yang dipahaminya dari ayat ini. 

Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia bermaksud bahwa 
hal tersebut (berbicara dalam salat) telah terjadi pula sesudah hijrah 
ke Madinah. Dengan demikian, berarti hal tersebut telah diperboleh- 
kan sebanyak dua kali dan diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti 
pendapat yang dipilih oleh segolongan orang dari kalangan teman-te- 
man kami dan lain-lainnya. Akan tetapi, pendapat pertama lebih kuat. 

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada ka- 
mi Bisyr ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu 
Yahya, dari Al-Musayyab, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis 
berikut: 



620" Juz 2 — Al-Baqarah 

Kami biasa mengucapkan salam antara sebagian kami kepada 
sebagian yang lain di dalam salat. Lalu aku bersua dengan 
Rasulullah Saw., dan aku mengucapkan salam kepadanya, ternyata 
beliau tidak menjawab salamku, hingga timbullah dugaan dalam 
diriku bahwa telah turun sesuatu mengenai diriku. Setelah 
Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, beliau bersabda, "Wa'alaikas 
salam warahmatulldhi, hai orang muslim. Sesungguhnya Allah Swt. 
memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. 
Maka apabila kalian berada di dalam salat, bersikap khusyuklah 
kalian dan janganlah kalian berbicara. " 

Firman Allah Swt.: 

Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil 
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah 
aman, maka sebutlah Allah, sebagaimana Allah telah mengajar- 
kan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 
239) 

Sesudah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar 
memelihara semua salat dan menegakkan batasan-batasannya serta 
mempertegas perintah ini dengan ungkapan yang mengukuhkan, lalu 
Allah Swt. menyebutkan suatu keadaan yang biasanya menyibukkan 



Tafsir Ibnu Kasir 62 1 

seseorang dari mengerjakan salat dengan cara yang sempurna, yaitu 
keadaan perang dan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran. 
Untuk itu Allah Swt. berfirman: 



O*- 5 - '>JL^\^ 



:%&&&&*$ 



Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil 
berjalan atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239) 

Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun, baik kalian se- 
dang berjalan ataupun berkendaraan. Dengan kata lain, baik mengha- 
dap ke arah kiblat ataupun tidak. Demikianlah seperti yang diriwayat- 
kan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila ditanya 
mengenai salat khauf, maka ia menggambarkannya, lalu berkata, 
"Dan jika keadaan takut lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka 
mereka salat sambil berjalan kaki atau berkendaraan, baik menghadap 
ke arah kiblat ataupun tidak menghadap kepadanya." 

Selanjutnya Nafi' mengatakan, ia merasa yakin bahwa tidak se- 
kali-kali Ibnu Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari 
Nabi Saw. semata-mata. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari 
pula, sedangkan apa yang disebutkan menurut lafaz Imam Muslim. 

Imam Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang lain, yaitu dari 
Ibnu Juraij, dari Musa ibnu Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari 
Nabi Saw. hal yang semisal atau mirip dengannya. 

Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang telah me- 
ngatakan: 

Apabila rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka sa- 
latlah kamu — baik sedang berkendaraan ataupun berdiri — de- 
ngan memakai isyarat yang sesungguhnya. 

Di dalam hadis Abdullah ibnu Unais Al-Juhani disebutkan bahwa tat- 
kala Nabi Saw. mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu Sufyan 
Al-Huzali, ketika itu Khalid berada di arah Arafah atau Arafat. Sete- 
lah Abdullah ibnu Unais berhadapan dengannya, maka tibalah waktu 



622 Juz 2 — Al-Baqarah 

salat Asar. Abdullah ibnu Unais melanjutkan kisahnya, ""Maka aku 
merasa khawatir bila kesempatan ini digunakan oleh musuh, lalu aku 
salat dengan memakai isyarat," hingga akhir hadis yang ( cukup pan- 
jang. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud 
dengan sanad yang jayyid (baik). 

Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah (keri- 
nganan) dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka 
terlepaslah dari mereka belenggu dan beban yang memberatkan mere- 
ka. 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur Syahib, dari 
Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan 
dengan makna ayat ini, yaitu 'hendaklah orang yang berkendaraan sa- 
lat di atas kendaraannya dan orang yang berjalan kaki salat sambil 
berjalan kaki' . 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semi- 
sal dari Al-Hasan, Mujahid, Mak-hul, As-Saddi, Al-Hakam, Malik, 
Al-Auza'i, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini 
ditambahkan, hendaklah ia salat dengan cara memakai isyarat dengan 
kepalanya ke arah mana pun kendaraannya menghadap. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
ayahku, telah menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan 
kepada kami Daud (yakni Ibnu Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, 
dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, "Apabila pedang saling 
beradu, hendaklah seseorang salat dengan isyarat kepalanya mengha- 
dap ke arah mana pun menurut mukanya menghadap." Yang demiki- 
an itu adalah makna firman-Nya: 

sambil berjalan kaki atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239) 

Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan, Mujahid, Sa'id ib- 
nu Jubair, Ata, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah. 

Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah ditetapkannya, 
bahwa salat khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan ha- 
nya dengan satu rakaat, yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam 
pertempuran yang sengit. Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasi- 



Tafsir Ibnu Kasir 623 

kan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, 
Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir melalui hadis Abu 
Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri — Imam Muslim, 
Imam Nasai, dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan — bahwa keduanya 
meriwayatkan hadis ini dari Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Muja- 
hid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: 

Allah telah memfardukan salat atas kalian melalui lisan Nabi ka- 
lian sebanyak empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal 
dan dua rakaat bila kalian sedang bepergian, dan dalam keada- 
an khauf satu rakaat. 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ad- 
Dahhak, dan lain-lainnya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu 
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu'bah 
yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hakam, Ham- 
mad, dan Qatadah tentang salat di .saat pedang sedang beradu. Maka 
mereka menjawab, "Satu rakaat saja." 

Hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sauri dari mereka. 

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Sa'id 
ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ib- 
nul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah mence- 
ritakan kepada kami Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang 
mengatakan bahwa salat khauf adalah satu rakaat. 

Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Jarir. 

Imam Bukhari di dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng 
Musuh dan Bersua dengan Musuh" dan Al-Auza'i mengatakan, "Apa- 
bila kemenangan telah di ambang pintu, sedangkan mereka tidak 
mampu mengerjakan salat, hendaklah mereka salat dengan isyarat, 
yakni masing-masing dari pasukan salat untuk dirinya sendiri. Jika 
mereka tidak juga mampu mengerjakan salat dengan isyarat, hendak- 



624 Juz 2 — Al-Baqarah 

lah mereka mengakhirkan salat hingga perang berhenti dan aman dari 
serangan musuh, barulah mereka mengerjakan salat sebanyak dua ra- 
kaat saja. Apabila situasi tidak mengizinkan mereka salat dua rakaat, 
maka salat cukup dilakukan hanya dengan satu rakaat dan dua kali 
sujud. Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena takbir saja 
tidak cukup untuk mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya 
hingga situasi aman." 

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mak-hul. 

Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam serangan men- 
jebolkan Benteng Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai 
terang, lalu berkobarlah pertempuran sengit, hingga mereka tidak 
mampu mengerjakan salat (Subuhnya). Kami tidak salat kecuali sete- 
lah matahari meninggi, lalu kami salat bersama Abu Musa dan kami 
peroleh kemenangan. Anas mengatakan, "Salat tersebut bagiku lebih 
baik daripada dunia dan seisinya." Demikianlah menurut lafaz yang 
ada pada Imam Bukhari. 

Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu dengan dalil 
hadis yang menceritakan Nabi Saw. mengakhirkan salat Asar pada 
hari Perang Khandaq karena uzur sedang menjalani perang, dan 
beliau baru melaksanakan salatnya itu setelah matahari tenggelam. 
Ketika Nabi Saw. mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani Qu- 
raizah, maka beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya: 

Jangan sekali-kali seseorang dari kalian salat Asar melainkan 
nanti di tempat Bani Quraizah. 

Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai waktu salat di te- 
ngah jalan, lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan, 
"Tidak sekali-kali Rasulullah Saw. memerintahkan demikian kepada 
kami melainkan beliau menghendaki agar kami tiba dengan cepat." 
Di antara mereka ada yang menjumpai waktu salat, tetapi mereka ti- 
dak mengerjakannya hingga matahari tenggelam di tempat Bani Qu- 
raizah (karena patuh kepada makna lahiriah perintah Rasul Saw.). Te- 
tapi Nabi Saw. tidak mencela salah satu pihak pun di antara dua ke- 



Tafsir Ibnu Kasir 625 

lompok sahabatnya itu. Hal inilah yang menjadi dasar pegangan pilih- 
an Imam Bukhari terhadap pendapat ini, sedangkan jumhur ulama 
berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya bahwa sa- 
lat khauf menurut gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa 
dan diterangkan oleh banyak hadis masih belum disyariatkan di wak- 
tu Perang Khandaq. Sesungguhnya salat khauf itu hanyalah disyariat- 
kan setelah masa itu, hal ini secara jelas disebutkan di dalam hadis 
Abu Sa'id dan lain-lainnya. 

Adapun Mak-hul, Al-Auza'i, dan Imam Bukhari menjawab ban- 
tahan itu, bila salat khauf memang disyariatkan sesudah Perang Khan- 
daq, kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan hal tersebut, meng- 
ingat hal ini merupakan keadaan yang jarang terjadi lagi bersifat khu- 
sus. Oleh karena itu, sehubungan dengan masalah ini diperbolehkan 
hal seperu' apa yang kami katakan. Sebagai dalilnya ialah perbuatan 
yang dilakukan oleh para sahabat di masa pemerintahan Khalifah 
Umar, yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang terkenal itu, dan 
tiada seorang ulama pun yang membantahnya. 

Firman Allah Swt.: 



.&i0te;iiSj$ 



Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah. (Al- 
Baqarah: 239) 

Artinya, dirikanlah salat kalian seperti yang diperintahkan kepada ka- 
lian. Untuk itu sempurnakanlah rukuk, sujud, qiyam, duduk, khusyuk, 
dan bangunnya. 



Cvri i o^oJO 



■c$&}$$p#&& 



sebagaimana Allah lelah mengajarkan kepada kalian apa yang 
belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239) 

Yakni sebagaimana Dia telah melimpahkan nikmat dan memberi pe- 
tunjuk iman serta mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat 
di dunia dan akhirat. Maka kalian harus membalas-Nya dengan ber- 
syukur dan berzikir menyebut-Nya. Makna ayat ini sama dengan ayat 
lain yang juga setelah menyebut masalah salat khauf, yaitu firman-Nya: 



626 Juz 2 — Al-Baqarah 



Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah 
salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah far- 
du yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. 
(An-Nisa: 103) 

Hadis-hadis yang menerangkan perihal salat khauf dan cara-caranya 
akan diketengahkan nanti dalam tafsir surat An-Nisai yaitu pada fir- 
man-Nya: 

c,.,.u, .£#»#^fc*ij» 

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), 
lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An- 
Nisa: 102) 



Al-Baqarah, ayat 240-242 



Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian 
dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, 



Tafsir Ibnu Ka£ir 627 

(yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak di- 
suruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah 
(sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari 
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf ter- 
hadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. 
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan 
oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu ke- 
wajiban bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah mene- 
rangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supa- 
ya kalian memahaminya. 

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat 
sebelumnya, yaitu firman-Nya: 

menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al- 
Baqarah: 234) 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umay- 
yah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari Habib, 
dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan bahwa Ibnuz Zubair per- 
nah mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Usman ibnu 
Affan mengenai firman-Nya: 

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian 
dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) 

Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat lainnya, maka mengapa engkau 
tetap menulisnya atau mengapa tidak engkau tinggalkan? Khalifah 
Usman ibnu Affan menjawab, "Hai anak saudaraku, aku tidak akan 
mengubah barang sedikit pun bagian dari Al-Qur'an ini dari tempat- 
nya." 

Kemusykilan yang diutarakan oleh Ibnuz Zubair kepada Usman 
ibnu Affan ialah bilamana hukum ayat telah di-mansukh dengan ayat 



628 Juz 2 — Al-Baqarah 

^^— » i 

yang menyatakan beridah empat bulan sepuluh hari, maka hikmah 
apakah yang terkandung dalam penetapan rasamnya, padahal hukum- 
nya telah dihapuskan. Sedangkan keberadaan rasamnya sesudah hu- 
kumnya telah di-mansukh memberikan pengertian bahwa hukum ayat 
yang bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Mu-minin menja- 
wabnya, bahwa hal ini merupakan perkara yang bersifat taugifi. Aku 
menjumpainya ditetapkan dalam mus-haf sesudah itu (penasikhan), 
maka aku pun menetapkannya pula seperti apa yang aku jumpai. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada 
kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, 
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: 






Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian 
dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, 
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak di- 
suruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240) 

Pada mulanya istri yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh 
nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun penuh, kemudian ayat 
ini di-mansukh oleh ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya 
dicantumkan bahwa si istri beroleh seperempat atau seperdelapan dari 
harta peninggalan suaminya. 

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari 
Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, Ata, Al-Ha- 
san, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Mu- 
qatil ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bah- 
wa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh. 

Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu 
Abbas yang mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki me- 
ninggal dunia dan meninggalkan istrinya, maka si istri melakukan 
idahnya selama satu tahun di rumah si suami dan menerima nafkah 
dari harta suaminya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 



Tafsir Ibnu Kasir 629 



Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan me- 
ninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan di- 
rinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) 

Demikianlah idah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; 
kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai batas ia 
melahirkan kandungannya. Allah Swt. telah berfirman pula: 



$^bi%'££lh\2fcip3fis 



• f Y" 



U^V8M# 



Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan 
jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, 
maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian 
tinggalkan. (An-Nisa: 12) 

Maka melalui ayat ini dijelaskan hak waris istri dan ditinggalkanlah 
wasiat dan nafkah yang telah disebutkan oleh ayat di atas (Al-Baqa- 
rah: 240). 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, 
Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahh8k, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu 
Hayyan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh fir- 
man-Nya: 



C vrt'S^A-^ 






selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) 

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul 
Musayyab bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh 
iyat yang ada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya: 



g30 Juz 2 — Al-Baqarah 



C t* ' 



■^ ....C^lY^^p^i^ 



Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perem- 
puan-perempuan yang beriman. (Al-Ahzab: 49), hingga akhir 
ayat. 

Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari Muqatil dan Qatadah bah- 
wa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat miras. 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami 
Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah men- 
ceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid se- 
hubungan dengan flrman-Nya: 

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian 
dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) 

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang 
menunggu masa idahnya di rumah keluarga suaminya, sebagai suatu 
kewajiban. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya: 

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian 
dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, 
(yaitu) diberi najkah hingga setahun lamanya dengan tidak di- 
suruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah 
(sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari 
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf ter- 
hadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240) 



Tafsir Ibnu Kasir 63 1 

Allah menjadikan kelengkapan satu tahun — yaitu tujuh bulan dua pu- 
luh hari — sebagai wasiat (dari pihak suami). Untuk itu jika pihak 
istri setuju dengan wasiat tersebut, ia boleh tinggal selama satu tahun 
(di rumah mendiang suaminya); jika ia suka keluar, maka ia boleh ke- 
luar. Pengertian inilah yang tersitirkan dari firman-Nya: 




mcg-c4&-%> 



dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika 
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali 
atau waris dari yang meninggal). (Al-Baqarah: 240) 

Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan seperti apa adanya. Imam 
Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan dari Mujahid. 

Ata mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat di atas me- 
mansukh pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu 
si istri boleh beridah di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. 
Pengertian inilah yang tersitir dari firman-Nya: 

dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240) 

Ata mengatakan, jika si istri suka, ia boleh beridah di rumah suami- 
nya dan tinggal sesuai dengan hak wasiat yang diperolehnya; jika ia 
suka, boleh keluar (untuk melakukan idahnya di rumahnya sendiri), 
karena Allah Swt. telah berfirman: 

maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang me- 
ninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri 
mereka. (Al-Baqarah: 240) 

Ata mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah ayat miraS (waris- 
mewaris), maka di-mansukh-\ah ayat memberi tempat tinggal. Untuk 



532 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

itu si istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi tidak 
berhak mendapat tempat tinggal lagi. 

Kemudian Imam Bukhari menyandarkan kepada Ibnu Abbas 
suatu riwayat yang sama dengan pendapat yang disandarkan kepada 
Mujahid dan Ata yang mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan 
wajib beridah selama satu tahun. Pendapat ini sama dengan apa yang 
dikatakan oleh jumhur ulama, dan sama sekali tidak di-mansukh oleh 
ayat yang menyatakan beridah selama empat bulan sepuluh hari. Me- 
lainkan ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut masa- 
lah anjuran berwasiat buat para istri yang akan ditinggal mati oleh 
suami-suaminya, yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk 
tinggal di rumah suami-suami mereka sesudah suami-suami mereka 
meninggal dunia selama satu tahun, jika mereka mau menerimanya. 
Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: 

hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya. (Al-Baqarah: 240) 

Yakni Allah mensyariatkan kepada kalian untuk membuat wasiat buat 
mereka. Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman 
lainnya, yaitu: 

c*. ^*. ..$$$$$&&. 

Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka un- 
tuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat. 

Firman-Nya: 



cu-tttl^o f^^S^v^ 



(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang be- 
nar-benar dari Allah. (An-Nisa: 12) 

Menurut pendapat yang lain, lafaz wasiyyatan di-nasa£>-kan karena 
mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian berwasiat buat me- 




Tafsir Ibnu Kasir 633 

reka dengan sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya membaca- 
nya rafa' (wasiyyatun) dengan pengertian, "Telah ditetapkan atas ka- 
lian berwasiat," pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Tiada 
yang melarang mereka (para istri) untuk melakukan hal tersebut, ka- 
rena ada firman-Nya yang mengatakan: 

dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240) 

Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang empat bulan sepuluh 
hari, atau telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih keluar dari 
rumah mendiang suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak dila- 
rang untuk melakukannya, karena firman Allah Swt.: 

C V t- te^i-JO 

Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa 
bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan 
mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 
240) 

Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan makna ayat secara lahi- 
riahnya. Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah ulama, antara lain 
Imam Abui Abbas ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya membantah 
pendapat tersebut, di antaranya adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr. 

Pendapat Ata dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa hal 
tersebut di-mansukh oleh ayat miras, jika mereka bermaksud tidak le- 
bih dari empat bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan 
suatu masalah. Akan tetapi, jika mereka bermaksud bahwa memberi 
tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari bukan merupakan 
suatu kewajiban yang dibebankan kepada peninggalan mayat, maka 
hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di kalangan para 
imam. Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua 
pendapat. 

Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat tinggal di ru- 
mah suami berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam 



634 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

Malik di dalam kitab Muwatta' -nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b 
ibnu Ujrah, dari bibinya (yaitu Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah). Dise- 
butkan bahwa Fari'ah binti Malik ibnu Sinan (yaitu saudara perempu- 
an Abu Sa'id Al-Khudri r.a.) pernah menceritakan kepadanya (Zainab 
binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah datang menghadap Rasulullah 
Saw. untuk meminta izin agar diperkenankan kembali ke rumah ke- 
luarganya di kalangan orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguh- 
nya suaminya telah berangkat untuk mencari budak-budaknya yang 
minggat (melarikan diri). Tetapi ketika ia sampai di Tarful Qadum, ia 
dapat menyusul mereka, hanya saja mereka membunuhnya. 

Fari'ah melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada Rasulullah 
Saw. untuk kembali ke rumah keluargaku, karena sesungguhnya 
suamiku tidak meninggalkan diriku di dalam rumahnya sendiri, tiada 
pula nafkah buatku. Maka Rasulullah Saw. hanya menjawab, 'Ya.' 

Lalu aku pergi. Tetapi ketika aku sampai di Hujrah, Rasulullah 
Saw. memanggilku, atau memerintahkan seseorang untuk memanggil- 
ku. Setelah aku datang, beliau Saw. bertanya, 'Apa yang tadi kamu 
katakan?' Maka aku mengulangi lagi kepadanya kisah mengenai na- 
sib yang menimpa suamiku, lalu beliau Saw. bersabda: 

'Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu habis.' 

Maka aku melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bu- 
lan sepuluh hari. Ketika Khalifah Usman ibnu Affan mengutus sese- 
orang untuk menanyakan kasus yang sama, maka aku ceritakan hal 
itu kepadanya, dan ia mengikutinya serta memutuskan perkara dengan 
keputusan yang sama." 

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam 
Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Malik dengan lafaz yang sa- 
ma. 

Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula mela- 
lui jalur Sa'd ibnu Ishaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi me- 
ngatakan bahwa hadis ini hasan sahih. 




Tafsir Ibnu Kasir 535 



Firman Allah Swt: 

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan 
oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu ke- 
wajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241) 

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika fir- 
man-Nya diturunkan, yaitu: 



C.vvii 



Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi 
orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) 

Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat 
kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak mela- 
kukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. 
menurunkan ayat ini: 

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan 
oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu ke- 
wajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241) 

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang 
mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang 
diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya 
atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan 
sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan 
oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu 
Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ib- 
nu Jarir. 

Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajib- 
kan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh 
firman lainnya, yaitu: 



636 Juz 2 — Al-Baqarah 

TWafc ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian mencerai- 
kan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka 
dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah ka- 
lian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang 
yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin 
menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang 
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang 
yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) 

Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas 
termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang 
umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal 
lagi banyak pendukungnya. 
Firman Allah Swt.: 

s -' ~ *> • •• •* 

Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya 
(hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242) 

Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batas- 
an-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan se- 
mua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menje- 
laskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang 
bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya. 

supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242) 
Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya. 



Tafsir Ibnu Kasir 637 

Al-Baqarah, ayat 243-245 

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar da- 
ri kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu 
(jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada 
mereka, "Matilah kalian" kemudian Allah menghidupkan mere- 
ka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, 
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. Dan berperanglah 
kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha 
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Siapakah yang mau memberi 
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta- 
nya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pem- 
bayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah 
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah 
kalian dikembalikan. 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka adalah empat ri- 
bu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka adalah 
delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah 
sembilan ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jum- 
lah mereka adalah empat puluh ribu orang. 

Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan, mereka terdiri 
atas tiga puluh ribu orang lebih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim r 
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk 



638 Juz 2 — Al-Baqarah 

sebuah kota yang dikenal dengan nama iawurdan. Hal yang sama di- 
katakan oleh As-Saddi dan Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa me- 
reka dari arah Wasit. 

Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka adalah pendu- 
duk negeri Azri'at Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari Ata, hal ini 
hanyalah semata-mata misal (perumpamaan) saja. 

Ali ibnu Asim mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota 
Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit. 

Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah 
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib An- 
Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, da- 
ri Ibnu Abbas sehubungan deagan firman-Nya: 

C Y tv r T^^-Jl'D 

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar da- 
ri kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu 
(jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243) 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; 
mereka keluar meninggalkan kampung halamannya untuk menghin- 
dari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri mereka. Mereka berka- 
ta, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada kematian pada- 
nya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah ber- 
firman kepada mereka: 

Matilah kalian! (Al-Baqarah: 243) 

Maka mereka semuanya mati. Kemudian lewatlah kepada mereka se- 
orang nabi, lalu nabi itu berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan 
kembali, maka Allah menghidupkan mereka. Yang demikian itu di- 
nyatakan di dalam firman-Nya: 

*&&£$& &&&*$£&$ 



Tafsir Ibnu Kasir 639 

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar da- 
ri kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu 
(jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243), hingga akhir 
ayat. 

Bukan hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf menyebutkan 
bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di zaman 
salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di kemah- 
kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah 
wabah penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya 
mereka keluar menghindari maut ke daerah-daerah pedalaman. 

Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan jumlah mere- 
ka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut. Maka Allah mengi- 
rimkan dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lem- 
bah, sedangkan yang lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu 
memekik sekali pekik di antara mereka, akhirnya matilah mereka se- 
muanya seperti halnya seseorang mati. Kemudian mereka dikumpul- 
kan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka dibangun tem- 
bok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa 
dan tercabik-cabik serta berantakan. 

Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah kepada mereka seorang 
nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan sebutan 
Hizqil. Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidup- 
kan kembali di hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan 
tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar mengucapkan, "Hai 
tulang belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintah- 
kan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka tergabunglah tu- 
lang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang 
lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk 
mengucapkan, "Hai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya 
Allah memerintahkan kepadamu untuk memakai daging, urat, dan ku- 
litmu!" Maka terjadilah hal tersebut, sedangkan nabi menyaksikan- 
nya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada nabi untuk menga- 
ukan. "Hai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada- 
mu agar setiap roh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!" 
Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah te- 



(540 Juz 2 — Al-Baqarah 

lah menghidupkan mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, se- 
dangkan mereka mengucapkan kalimat berikut: 



.&tai&£ji 



Mahasuci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau. 

Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran dan bukti yang 
akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan di- 
bangkitkan hidup kembali. Karena itulah Allah Swt. berfirman: 

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia. (Al- 
Baqarah: 243) 

Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas yang diperlihatkan 
kepada mereka, hujah-hujah yang kuat, dan dalil-dalil yang akurat. 



£>tv* Zj_JS' 



= £&-*3&o£l&fi%& 



Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur. (Al-Baqarah: 

243) 

Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas limpahan nikmat 
yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan agama 
dan keduniawian mereka. 

Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil yang menun- 
jukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, 
dan tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia. 
Karena sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari 
wabah penyakit mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka 
panjang. Akan tetapi, pada akhirnya nasib yang menimpa mereka 
adalah kebaikan dari apa yang mereka dambakan, dan datanglah maut 
dengan cepat sekaligus membinasakan mereka semuanya. 

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah hadis sahih yang 
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah mencerita- 



Tafsir Ibnu Kasir 641 

kan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ma- 
lik dan Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar; ke- 
duanya meriwayatkan hadis berikut dari Az-Zuhri, dari Abdul Hamid 
ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul Ha- 
ris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ib- 
nul Khattab berangkat menuju negeri Syam. Ketika ia sampai di Sarg, 
para pemimpin pasukan yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah 
dan teman-temannya datang menjumpainya. Lalu mereka memberi- 
tahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang 
melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menutur- 
kan hadis mengenai hal ini. 

Abdur Rahman ibnu Auf — yang tadinya tidak ada di tempat ka- 
rena mempunyai suatu keperluan — datang, lalu ia berkata memberi- 
kan kesaksiannya, bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengeta- 
huan tentang masalah ini. Ia pernah mendengar Rasulullah Saw. ber- 
sabda: 

Apabila wabah berada di suatu tempat, sedangkan kalian berada 
di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk menghindari- 
nya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melan- 
da suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. 

Akhirnya Khalifah Umar mengucapkan hamdalah (memuji kepada 
Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali. 

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam 
kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz 
sama, sebagiannya melalui jalur yang lain. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Haj- 
jaj dan Yazid Al-Ama; keduanya mengatakan, telah menceritakan ke- 
pada kami Ibnu Abu Zu'aib, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah 
ibnu Amir ibnu Rabi 'ah, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah 
menceritakan kepada Khalifah Umar hadis berikut dari Nabi Saw. ke- 
tika Umar berada di negeri Syam, yaitu: 



642 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sesungguhnya wabah ini pernah menimpa umat-umat sebelum 
kalian sebagai azab. Karena itu, apabila kalian mendengar wa- 
bah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian mema- 
sukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan ka- 
lian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya 
karena menghindarinya. 

Maka Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam. 

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam 
kitab Sahihain melalui hadis Malik, dari Az-Zuhri dengan lafaz yang 
semisal. 

Firman Allah Swt.: 



cvtt, ^^^ !0^i^h^P^ ^ S^^^ 



Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesung- 
guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Ba- 
qarah: 244) 

Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi 
takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya 
tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal 
itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagian- 
nya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang diku- 
rangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya 
sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: 



C^*o^c_i' 



>b &^&1&^£JX 



Tafsir Ibnu Kasir 643 



Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan 
mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka meng- 
ikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Tolak- 
lah kematian itu dari diri kalian, jika kalian orang-orang yang 
benar r (Ali Imran: 168) 

Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan 
berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan 
(kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu 
lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan 
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan ka- 
lian tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kalian ber- 
ada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di 
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78) 

Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim 
yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid r.a., bahwa ia 
mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku te- 
lah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku 
yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, pa- 
nah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, 
seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang 
pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit 
karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa 
atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur. 
Firman Allah Swt.: 

s^ ) 9< i*^' r**' -^ ( '. 'J , -f.i-T"' 






r aa Juz 2 — Al-Baqarab 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman 
yang baik (di jalan Allah), moto Allah akan melipatgandakan 
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al- 
Baqarah: 245) 

Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkah- 
kan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini di 
dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis 
yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa 
Allah Swt. berfirman: 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Tuhan yang tidak 
miskin dan tidak pula berbuat aniaya. 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Ha- 
san ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khali- 
fah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah 
ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturun- 
kan, yaitu firman-Nya: 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman 
yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah 
akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah: 
245) 

Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah 
memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. men- 
jawab, "Benar, Abud Dahdah." 

Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tangan- 
mu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud 
Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjam- 
kan kepada Tuhanku kebun milikku." 

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud 
Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak- 



Tafsir Ibnu Kasir 645 

anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dandan datang ke 
kebunnya dan memanggil istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu 
Dandan menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah ka- 
mu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada 
Tuhanku." 

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Abdur 
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara 
marfu' dengan lafaz yang semisal. 

Yang dimaksud dengan firman-Nya: 

pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245) 

Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari ka- 
langan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut penda- 
pat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. 
Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis. 
Firman Allah Swt.: 

maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya de- 
ngan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) 

Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu fir- 
man-Nya: 

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang 
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan se- 
butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir 
seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang 
Dia kehendaki. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. 



546 Juz 2 — Al-Baqarah 

Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya. 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya- 
zid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Ridalah, dari Ali 
ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku da- 
tang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan kukatakan kepadanya, 
'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah menga- 
takan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya 
menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang 
membuatmu heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya 
sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah bersabda: 



.^$i^^pL&l\ 



'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua 
Juta kali lipat pahala kebaikan'." 

Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak 
memiliki hadis-hadis yang munkar. Akan tetapi, hadis ini diriwayat- 
kan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan, 
telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu 
Khallad Al-Mu-addib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu 
Muhammad Al-Mu-addib, telah menceritakan kepada kami Muham- 
mad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman 
An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih 
banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu 
Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudah- 
nya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa ia 
pernah mengatakan: 

Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguh- 
nya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi seju- 
ta kali lipat pahala kebaikan.'' 



Tafsir Ibnu Kasir 647 

Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun 
yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, te- 
tapi aku belum pernah mendengar hadis ini.' 

Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi 
kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat pula menu- 
naikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. 
Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 
'Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar dari pen- 
duduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' 

Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab, 
'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: 

Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan 
menjadi sejuta kebaikan. ' 

Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau 
herankan dari masalah ini, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman 
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah 
akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat gan- 
da yang banyak. (Al-Baqarah: 245) 

Allah Swt. telah berfirman pula: 

padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan ke- 
hidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38) 

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan- 
N;-i. ^sungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 



648 Juz 2 — Al-Baqarah 



;£^cjJV> £^vi*t&ttt&i 



Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan 
menjadi dua juta kebaikan'." 

Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang diriwayatkan oleh 
Imam TurmuZi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari 
Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah 
Saw. pernah bersabda: 

Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucap- 
kan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi- 
Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia 
Mahakuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan 
baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta 
keburukan (dosa). 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu 
Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu 
Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Mu-addib, 
dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan 
bahwa ketika diturunkannya firman Allah Swt.: 

'f rC 

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang 
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan se- 
butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. (Al-Baqarah: 261), 
hingga akhir ayat. 



Tafsir Ibnu Kasir 649 

Maka Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat 
umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 

C.vto ! S^£_Ji Z> 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman 
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah 
akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat gan- 
da yang banyak. (Al-Baqarah: 245) 

Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umat- 
ku." Lalu turunlah firman-Nya: 

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicu- 
kupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar: 10) 

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b 
Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata 
bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, 
"Barang siapa yang membaca qul huwalia.hu ahad sekali, maka Allah 
akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan ya- 
qut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? 

Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap 
hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan di- 
lipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan le- 
bih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendi- 
ri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: 






550 Juz 2 — Al-Baqarah 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman 
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah 
akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat 
ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) 

Istilah kasir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya. 
Firman Allah Swt.: 

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. (Al-Baqarah: 
245) 

Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pe- 
dulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi reze- 
ki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikchendaki-Nya di 
antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang 
lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sa- 
ngat bijak dari Allah. 

dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (Al-Baqarah: 245) 
Yakni di hari kiamat nanti. 

Al-Baqarah, ayat 246 



Tafsir Ibnu Kasir 65 1 

Apakah kalian tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil 
sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang 
nabi mereka, "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami 
berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah." Nabi mereka 
menjawab, "Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berpe- 
rang, kalian tidak akan berperang." Mereka menjawab, "Menga- 
pa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguh- 
nya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari 
anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas me- 
reka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di 
antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang 
yang zalim. 

Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, nama nabi ter- 
sebut adalah Yusya' ibnu Nun. Ibnu Jarir mengatakan bahwa nabi ter- 
sebut bernama Yusya' ibnu Ifrayim ibnu Yusuf ibnu Ya'qub. Akan 
tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran, mengingat Yusya' baru ada 
jauh setelah masa Nabi Musa. Sedangkan hal yang dikisahkan di da- 
lam ayat ini terjadi di masa Nabi Daud a.s., seperti yang dijelaskan di 
dalam kisah mengenainya. Jarak antara masa Nabi Daud dengan Nabi 
Musa kurang lebih seribu tahun, yakni lebih dahulu Nabi Musa a.s. 

As-Saddi mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Syam'un. 
Sedangkan menurut Mujahid adalah Syamuel a.s. Hal yang sama di- 
katakan pula oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Wahb ibnu Munabbih, 
bahwa dia adalah Syamuel ibnu Bali ibnu Alqamah ibnu Turkham ib- 
nu Yahd ibnu Bahrad ibnu Alqamah ibnu Majib ibnu Amrisa ibnu 
Azria ibnu Safiyyah ibnu Alqamah ibnu Abu Yasyif ibnu Qarun ibnu 
Yas-hur ibnu Qahis ibnu Lewi ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim 
a.s. 

Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya mengatakan, pada mula- 
nya kaum Bani Israil sesudah Nabi Musa a.s. berada dalam jalan 
>ang lurus selama satu kurun waktu. Kemudian mereka membuat- 
buat hal yang baru dan sebagian di antara mereka ada yang menyem- 
bah berhala-berhala. Di antara mereka masih ada nabi-nabi yang me- 



(^1 Juz 2 — Al-Baqarah 

■^— !■■■— !■ IIIIMIM»^ t ^ mmr ^ t ^ ^ — — 

merintahkan kepada mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang 
mereka berbuat kemungkaran, serta meluruskan mereka sesuai de- 
ngan ajaran kitab Taurat. Hingga akhirnya mereka melakukan apa 
yang mereka sukai, lalu Allah menguasakan mereka atas musuh-mu- 
suh mereka, dan akhirnya banyak di antara mereka yang terbunuh da- 
lam jumlah yang sangat besar, banyak yang ditawan oleh musuh-mu- 
suh mereka, serta negeri mereka banyak yang diambil dan dijajah 
oleh musuh-musuh mereka. 

Pada mulanya tiada seorang raja pun yang memerangi mereka 
melainkan mereka dapat mengalahkannya. Hal tersebut berkat kitab 
Taurat dan tabut (peti) yang telah ada sejak masa lalu; keduanya di- 
wariskan secara turun-temurun dari para pendahulu mereka sampai 
kepada Nabi Musa a.s. Tetapi tatkala mereka tenggelam di dalam ke- 
sesatannya, maka kedua barang tersebut dapat dirampas dari tangan 
mereka oleh salah seorang raja di suatu peperangan. Raja tersebut da- 
pat merebut kitab Taurat dan tabut dari tangan mereka, dan tiada 
yang hafal akan kitab Taurat di kalangan mereka kecuali hanya bebe- 
rapa gelintir orang saja. 

Kenabian terputus dari keturunan mereka, tiada yang tertinggal 
dari kalangan keturunan Lewi yang biasanya menurunkan para nabi 
selain seorang wanita hamil dari suaminya yang telah terbunuh. Maka 
kaum Bani Israil mengambil wanita tersebut dan mengarantinakannya 
di dalam sebuah rumah dengan harapan semoga Allah memberinya 
rezeki seorang anak yang kelak akan menjadi seorang nabi bagi mere- 
ka. Sedangkan si wanita tersebut terus-menerus berdoa kepada Allah 
Swt. agar diberi seorang anak lelaki. 

Allah Swt. memperkenankan doa wanita itu dan lahirlah darinya 
seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Samuel, yang artinya 
Allah memperkenankan doaku. Di antara ulama ada yang mengatakan 
bahwa bayi itu diberi nama Syam'un (Samson) yang artinya sama. 

Anak tersebut tumbuh dewasa di kalangan kaumnya (Bani Israil) 
dan Allah menganugerahinya dengan pertumbuhan yang baik. Ketika 
usianya sampai pada usia kenabian, maka Allah mewahyukan kepada- 
nya yang isinya memerintahkan kepadanya agar mengajak dan me- 
nyeru kaumnya untuk menauhidkan Allah Swt. 

Lalu ia menyeru kaum Bani Israil, dan mereka meminta kepada- 



Tafsir Ibnu Kasir 653 

nya agar ia mengangkat seorang raja buat mereka yang akan memim- 
pin mereka dalam memerangi musuh-musuh mereka, karena raja me- 
reka telah binasa. 

Maka si Nabi berkata kepada mereka, "Apakah kalian benar-be- 
nar jika Allah mengangkat seorang raja untuk kalian, bahwa kalian 
akan berperang dan menunaikan tugas yang dibebankan kepada kalian, 
yaitu berperang bersamanya?" Mereka menjawab, yang jawabannya 
disitir oleh firman-Nya: 

"Mengapa kami tidak mau berperang dijalan Allah, padahal se- 
sungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan 
dari anak-anak kami?" (Al-Baqarah: 246) 

Yakni negeri kami telah dirampas dari tangan kami, dan banyak 
anak-anak kami yang ditawan. Allah Swt. berfirman: 

Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun 
berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Allah 
Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 
246) 

Yaitu mereka tidak memenuhi apa yang telah mereka janjikan, bah- 
kan kebanyakan dari mereka membangkang, tidak mau berjihad; dan 
Allah Maha Mengetahui mereka. 



Al-Baqarah, ayat 247 






654 Juz 2 — Al-Baqarah 



ATafe/ mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya Allah 
telah mengangkat Talut menjadi raja kalian." Mereka menjawab, 
"Bagaimana Talut memerintah kami, padahal kami lebih berhak 
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun 
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) ber- 
kata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian 
dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa^ 
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki- 
Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengeta- 
hui. 

Ketika mereka meminta kepada nabi mereka agar diangkat seorang 
raja buat mereka, maka Allah menentukan Talut untuk menjadi raja 
mereka. Talut adalah seorang lelaki dari kalangan prajurit mereka, 
bukan berasal dari keluarga raja mereka; karena raja mereka berasal 
dari keturunan Yahuza, sedang Talut bukan dari keturunannya. Kare- 
na itulah disebut oleh firman-Nya, bahwa mereka mengatakan: 



Cvfcv 



. VrJ o£££&iitf3gjrt 



Bagaimana Talut memerintah kami. (Al-Baqarah: 247) 
Dengan kata lain, mana mungkin Talut menjadi raja kami. 



C*ts i a u A-^\.2> 



i n'U' „Z'" ''J' '\'S\ i (V H J " "{>* \ ' 



Tafsir Ibnu Kasir 655 



padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripa- 
danya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup ba- 
nyak? (Al-Baqarah: 247) 

Yakni selain dari itu Talut adalah orang yang miskin lagi tidak ber- 
harta yang dapat membantunya untuk menjadi seorang raja. Sebagian 
ulama mengatakan bahwa Talut adalah seorang pengangkut air. Me- 
nurut pendapat yang lain, Talut adalah penyamak kulit. 

Ungkapan ini merupakan sanggahan mereka terhadap nabi mere- 
ka dan sekaligus sebagai suatu protes, padahal yang lebih utama bagi 
mereka hendaknya mereka taat dan mengucapkan kata-kata yang ba- 
ik. Selanjutnya nabi mereka memberikan jawabannya yang disitir 
oleh firman-Nya: 






Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian. (Al- 
Baqarah: 247) 

Yaitu Allah-lah yang memilihnya menjadi raja kalian melalui nabi ka- 
lian. Allah lebih mengetahui tentang Talut daripada kalian. Dengan 
kata lain, bukan aku yang menentukan Talut menjadi raja atas ke- 
mauanku sendiri, melainkan Allah-lah yang memerintahkan kepadaku 
agar memilihnya di saat kalian meminta hal tersebut kepadaku. 

dan (Allah) menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang 
perkasa. (Al-Baqarah: 247) 

Selain dari itu Talut lebih berilmu daripada kalian, lebih cerdik, lebih 
banyak akalnya daripada kalian, dan lebih kuat, lebih teguh dalam pe- 
perangan serta lebih berpengalaman mengenainya. Singkatnya, Talut 
lebih sempurna ilmunya dan lebih kuat tubuhnya daripada kalian. 
Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang raja hen- 
ra memiliki ilmu, bentuk, cakap, kuat, serta perkasa tubuh dan 
ra. Kemudian Allah Swt. berfirman: 



656 Juz 2 — Al-Baqarah 

A/to/i memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki- 
nya. (Al-Baqarah: 247) 

Artinya, Dialah yang berkuasa yang melakukan semua apa yang dike- 
hendaki-Nya dan Dia tidak diminta pertanggungjawaban tentang apa 
yang telah diperbuat-Nya, sedangkan mereka diharuskan memper- 
tanggungjawabkannya. Hal ini berkat ilmu dan kebijaksanaan-Nya 
serta belas kasihan-Nya kepada makhluk-Nya. Untuk itu dalam fir- 
man selanjutnya disebutkan: 

Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. 
(Al-Baqarah: 247) 

Yakni Dia Mahaluas karunia-Nya, Dia mengkhususkan rahmat-Nya 
buat siapa yang dikehendaki-Nya, lagi Maha Mengetahui siapa yang 
berhak menjadi raja dan siapa yang tidak berhak. 

Al-Baqarah, ayat 248 



t"* > * f 

Dan iViafe/ mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya 
tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut kepada kali- 
an, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian dan sisa 



Tafsir Ibnu Kasir 657 

dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, tabut itu 
dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu 
terdapat tanda bagi kalian, jika kalian orang yang beriman. 

Nabi mereka berkata kepada mereka bahwa sesungguhnya alamat ke- 
berkatan Raja Talut kepada kalian ialah dengan dikembalikannya ta- 
but kepada kalian oleh Allah, yang sebelumnya telah direbut dari ta- 
ngan kalian. 



Ot-*> jmlJi "> 






di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian. (Al-Baqa- 
rah: 248) 

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sakinah ialah kete- 
nangan dan keagungan. Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, 
dari Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan sakinah adalah ketenang- 
an. Menurut Ar-Rabi', sakinah artinya rahmat. Hal yang sama dikata- 
kan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. 

Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata 
tentang makna firman-Nya: 



Cv*\ t 






di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan kalian. (Al-Baqa- 
rah: 248) 

Menurutnya ialah semua ayat Allah yang kalian kenal dan kalian me- 
rasa tenang dengannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan 
Al-Basri. 

Menurut suatu pendapat, sakinah adalah sebuah piala (gelas be- 
sar) dari emas yang dipakai untuk mencuci hati para nabi. Piala itu 
diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Musa a. s., maka piala tersebut 
dipakai untuk tempat menaruh lembaran-lembaran (kitab Taurat). Hal 
> ir.g sama telah diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Ib- 



658 Juz 2 — Al-Baqarah 

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari 
Abui Ahwas, dari Ali yang mengatakan bahwa sakinah mempunyai 
wajah seperti wajah manusia, kemudian merupakan angin yang wangi 
baunya lagi cepat tiupannya. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musan- 
na, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan 
kepada kami Syu'bah dan Hammad ibnu Salamah serta Abui Ahwas; 
semuanya dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, dari Ali yang me- 
ngatakan bahwa sakinah adalah angin kencang yang mempunyai dua 
kepala. Menurut Mujahid, sakinah mempunyai sepasang sayap dan 
ekor. 

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih, 
bahwa sakinah adalah kepala kucing yang telah mati; apabila menge- 
luarkan suara di dalam tabut (peti)nya, mereka yakin bahwa keme- 
nangan akan mereka peroleh. 

Abdur Razzaq mengatakan, Bakkar ibnu Abdullah pernah berce- 
rita kepadanya bahwa ia pernah mendengar Wahb ibnu Munabbih 
mengatakan, "Sakinah adalah roh dari Allah (ciptaan-Nya). Apabila 
mereka (kaum Bani Israil) berselisih pendapat dalam sesuatu hal, ma- 
ka roh tersebut berkata kepada mereka menjelaskan apa yang mereka 
kehendaki." 

Firman Allah Swt.: 

dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. 
(Al-Baqarah: 248) 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musan- 
na, telah menceritakan kepada kami Abui Walid, telah menceritakan 
kepada kami Hammad, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, da- 
ri Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Yang dimaksud 
dengan peninggalan tersebut adalah tongkat Nabi Musa dan lembar- 
an-lembaran lauh (Taurat). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qata- 
dah, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ikrimah. Ikrimah menambah- 
kan bahwa selain dari itu ada kitab Taurat. 



Tafsir Ibnu Kasir 659 

Abu Saleh mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 

dan sisa dari peninggalan keluarga Musa. (Al-Baqarah: 248) 

Yakni tongkat Nabi Musa dan tongkat Nabi Harun serta dua lembar 
laun kitab Taurat serta manna. 

Atiyyah ibnu Sa'id mengatakan bahwa isinya adalah tongkat Mu- 
sa dan Harun, baju Musa dan Harun, serta lembaran-lembaran lauh. 

Abdur Razzaq mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada As- 
Sauri tentang makna firman-Nya: 

dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. 
(Al-Baqarah: 248) 

Maka As-Sauri mengatakan bahwa di antara mereka ada yang menga- 
takan bahwa peninggalan tersebut berupa adonan manna, lembaran 
lauh. Ada pula yang mengatakan bahwa peninggalan tersebut adalah 
tongkat dan sepasang terompah. 
Firman Allah Swt.: 

tabut itu dibawa oleh malaikat. (Al-Baqarah: 248) 

Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ma- 
laikat datang seraya memikul tabut di antara langit dan bumi, hingga 
tabut itu diturunkan di hadapan Talut, sedangkan orang-orang me- 
nyaksikan peristiwa tersebut. 

As-Saddi mengatakan bahwa pada pagi harinya tabut telah ber- 
ada di tempat Talut, maka mereka beriman kepada kenabian Syam'un 
dan taat kepada Talut. 

Abdur Razzaq meriwayatkan dari As-Sauri, dari salah seorang di 
antara guru-gurunya, bahwa para malaikat datang membawa tabut itu 
yang dinaikkan di atas sebuah kereta yang ditarik oleh seekor lembu 



660 Juz 2 ~ Al-Baqarah 

betina. Menurut pendapat yang lain, ditarik oleh dua ekor lembu beti- 
na. 

Sedangkan yang lainnya menyebutkan bahwa tabut tersebut ber- 
ada di Ariha; dan orang-orang musyrik ketika mengambilnya, mereka 
meletakkannya di tempat peribadatan mereka, yaitu di bawah berhala 
mereka yang paling besar. Akan tetapi, pada keesokan harinya tabut 
itu telah berada di atas kepala berhala mereka. Maka mereka menu- 
runkannya dan meletakkannya kembali di bawah berhala itu, tetapi 
ternyata pada keesokan harinya terjadi hal yang sama. Maka mereka 
memakunya di bawah berhala mereka, tetapi yang terjadi ialah tiang- 
tiang penyangga berhala mereka runtuh dan ambruk jauh dari tempat- 
nya. 

Akhirnya mereka mengetahui bahwa hal tersebut terjadi karena 
perintah Allah yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Maka 
mereka mengeluarkan tabut itu dari negeri mereka dan meletakkan- 
nya di salah satu kampung, tetapi ternyata penduduk kampung itu ter- 
kena wabah penyakit pada leher mereka. Kemudian salah seorang 
wanita tawanan dari kalangan kaum Bani Israil menganjurkan kepada 
mereka agar mengembalikan tabut itu kepada kaum Bani Israil agar 
mereka terhindar dari penyakit itu. 

Maka mereka memuatkan tabut itu di atas sebuah kereta yang di- 
tarik oleh dua ekor lembu betina, lalu kedua lembu itu berjalan mem- 
bawanya; tiada seorang pun yang mendekatinya melainkan pasti mati. 
Ketika kedua ekor lembu betina itu telah berada di dekat negeri kaum 
Bani Israil, kendali kedua ekor lembu itu patah dan keduanya kemba- 
li. Lalu datanglah kaum Bani Israil mengambilnya. 

Menurut suatu pendapat, yang menerimanya adalah Nabi Daud 
a.s.; dan ketika Nabi Daud mendekati kedua lembu itu, ia merasa ma- 
lu karena gembiranya dengan kedatangan tabut itu. Menurut pendapat 
yang lain, yang menerimanya adalah dua orang pemuda dari kalangan 
mereka. 

Menurut pendapat yang lainnya, tabut itu berada di sebuah kam- 
pung di negeri Palestina yang dikenal dengan nama Azduh. 

Firman Allah Swt.: 



CU*iS 






Tafsir Ibnu Kasir 661 

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi kali- 
an. (Al-Baqarah: 248) 

Yakni tanda yang membenarkan diriku terhadap apa yang aku sam- 
paikan kepada kalian, yakni kenabianku; juga membenarkan apa yang 
aku perintahkan kepada kalian agar taat kepada Talut. 

t<* . t'- * ' f "V' l 

jika kalian orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 248) 
Maksudnya, beriman kepada Allah dan hari kemudian. 

Al-Baqarah, ayat 249 



j'. 



3 i CJsSifc? # to<#6efe£& 



A/a/ca tatkala Talut keluar membawa tentaranya, ia berkata, "Se- 
sungguhnya Allah akan menguji kalian dengan suatu sungai. Ma- 
ka siapa di antara kalian meminum airnya, bukanlah ia peng- 
ikutku. Dan barang siapa tidak meminumnya, kecuali mencedok 



gg9 ^ uz 2 — Al-Baqarah 

secedok tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka 
meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tat- 
kala Talut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah me- 
nyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, 
"Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut 
dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka 
akan menemui Allah berkata, "Berapa banyak terjadi golongan 
yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin 
Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." 

Melalui ayat ini Allah menceritakan perihal Talut — Raja kaum Bani 
Israil — ketika keluar bersama bala tentaranya dan orang-orang yang 
taat kepadanya dari kalangan kaum Bani Israil. Menurut apa yang di- 
katakan oleh As-Saddi, jumlah mereka ada delapan puluh ribu orang 
tentara. Talut berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya: 



e. -> *£< i-"»' 'l i': i 



Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan suatu sungai, 
(Al-Baqarah: 249) 

Yakni Allah akan menguji kesetiaan kalian dengan sebuah sungai. 
Menurut Ibnu Abbas, sungai tersebut terletak di antara negeri Yorda- 
nia dan negeri Palestina, yaitu sebuah sungai yang dikenal dengan na- 
ma Syari'ah. 






Maka siapa di antara kalian meminum airnya, bukanlah ia peng- 
ikutku. (Al-Baqarah: 249) 

Artinya, janganlah ia menemaniku sejak hari ini menuju ke arah ini. 

Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali mencedok secedok 
tangan, maka ia adalah pengikutku. (Al-Baqarah: 249) 



Tafsir Ibnu Kasir 663 

Yakni tidak mengapa baginya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman: 

Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di anta- 
ra mereka. (Al-Baqarah: 249) 

Ibnu Juraij mengatakan, "Menurut Ibnu Abbas, barang siapa yang 
mencedok air dari sungai itu dengan secedok tangannya, maka ia 
akan kenyang; dan barang siapa yang meminumnya, maka ia tidak 
kenyang dan tetap dahaga." 

Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Ib- 
nu Abbas; dikatakan pula oleh Qatadah dan Ibnu Syauzab. 

As-Saddi mengatakan bahwa jumlah pasukan Talut terdiri atas 
delapan puluh ribu orang tentara. Yang meminum air sungai itu ada- 
lah tujuh puluh enam ribu orang, sehingga yang tersisa hanyalah em- 
pat ribu orang. 

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Israil dan Sufyan 
As-Sauri serta Mis'ar ibnu Kidam, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari 
Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa kami menceritakan sa- 
habat-sahabat Nabi Muhammad Saw. yang ikut dalam Perang Badar 
adalah tiga ratus lebih belasan orang, sesuai dengan jumlah sahabat 
Talut yang ikut bersamanya menyeberangi sungai. Tiada yang menye- 
berangi sungai itu bersama Talut melainkan hanya orang yang muk- 
min. Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abdul- 
lah ibnu Raja, dari Israil ibnu Yunus, dari Abu Ishaq, dari kakeknya, 
dari Al-Barra. 

Firman Allah Swt.: 

Maka tatkala Talut dan orang-orang yang beriman bersama dia 
telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum 
berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk mela- 
wan Jalut dan tentaranya" (Al-Baqarah: 249) 



664 Juz 2 — Al-Baqarah 

Yakni mereka mengundurkan dirinya, tidak mau menghadapi musuh 
karena jumlah musuh itu jauh lebih banyak. Maka para ulama dan 
orang-orang yang ahli perang membangkitkan semangat mereka, bah- 
wa janji Allah itu benar, dan sesungguhnya kemenangan itu dari sisi 
Allah, bukan karena banyaknya bilangan, bukan pula karena perleng- 
kapan senjata. Karena itulah disebutkan di dalam firman selanjutnya: 

'f» i \, S ' t\ .' 

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan 
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta 
orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 249) 



Al-Baqarah, ayat 250-252 

A | lli'iAy' f t y' <-. i-*-,\ ■'■ i • i'-'''' i 

4JJI 0>^l^.ybjiJ»j4jui^jj»^- *^*3-** 

^-^ J^ -UJI ,JsJj u+S* ' ^-U^jl^ ^ >>tf 

Tatkala Jalut dan tentaranya lelah tampak oleh mereka, mereka 
pun berdoa, "Ya Tuhan kami, luangkanlah kesabaran atas diri 



Tafsir Ibnu Kasir 665 

kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terha- 
dap orang-orang kafir." Mereka (tentara Talut) mengalahkan 
tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Da- 
ud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya 
(Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Talut) 
dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Se- 
andainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia de- 
ngan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah 
mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. Itu 
adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan hak 
(benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di 
antara nabi-nabi yang diutus. 

Ketika tentara yang beriman yang berjumlah sedikit di bawah pimpin- 
an Talut berhadap-hadapan dengan bala tentara Jalut yang berjumlah 
sangat besar itu, maka bala tentara Talut berdoa: 

f-*^ i' » f> *. v<*r> t' 

Ya Tuhan kami, luangkanlah kesabaran atas diri kami. (Al-Baqa- 
rah: 250) 

Yakni curahkanlah kepada kami kesabaran dari sisi-Mu. 

t' 'l'TSi *»<' 

dan kokohkanlah pendirian kami. (Al-Baqarah: 250) 

Yaitu dalam menghadapi musuh-musuh kami itu, dan jauhkanlah ka- 
mi dari sifat pengecut dan lemah. 



!3 



dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 

250i 

Firman Allah Swt.: 



666 Juz 2 — Al-Baqarah 



Mereka (tentara Talut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin 
Allah. (Al-Baqarah: 251) 

Maksudnya, mereka dapat mengalahkan dan menaklukkan musuhnya 
berkat pertolongan Allah yang diturunkan kepada mereka. 

dfl« (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut. (Al-Baqarah: 
251) 

Disebutkan di dalam kisah israiliyat bahwa Daud membunuh Jalut 
dengan katapel yang ada di tangannya; ia membidiknya dengan kata- 
pel itu dan mengenainya hingga Jalut terbunuh. Sebelum itu Talut 
menjanjikan kepada Daud, bahwa jika Daud dapat membunuh Jalut, 
maka ia akan menikahkan Daud dengan anak perempuannya dan 
membagi-bagi kesenangan bersamanya serta berserikat dengannya da- 
lam semua urusan. Maka Talut menunaikan janjinya itu kepada Daud. 
Setelah itu pemerintahan pindah ke tangan Daud a.s. di samping ke- 
nabian yang dianugerahkan Allah kepadanya. Karena itulah disebut- 
kan di dalam firman-Nya: 

kemudian Allah memberikan kepadanya pemerintahan. (Al-Baqa- 
rah: 251) 

Yakni yang tadi dipegang oleh Talut, kini beralih ke tangan Daud a.s. 

dan hikmah. (Al-Baqarah: 251) 
Yang dimaksud dengan hikmah ialah kenabian, sesudah Syamuel. 



Tafsir Ibnu Kasir 667 



v*Jo *iC^^uS£j 



dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Ba- 
qarah: 251) 

Yaitu segala sesuatu yang dikehendaki Allah berupa ilmu yang khu- 
sus diberikan kepadanya. Kemudian dalam firman selanjutnya Allah 
Swt. berfirman: 



Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia 
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (Al-Baqarah: 

251) 

Yakni seandainya Allah tidak membela suatu kaum dari keganasan 
kaum yang lain seperti pembelaan-Nya kepada kaum Bani Israil me- 
lalui perang mereka bersama Talut dan didukung oleh Daud a.s., nis- 
caya kaum Bani Israil akan binasa. Perihalnya sama dengan apa yang 
disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: 



6 



Ci1/>*^^ v<s~'*S\ "'*<": 'titi \yY<\*\ 

Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manu- 
sia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara- 
biara Nasrani, gereja-gereja; dan rumah-rumah ibadat orang 
Yahudi serta masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut 
nama Allah. (Al-Hajj: 40), hingga akhir ayat. 

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Humaid Al- 
Hknsi i salah seorang dari kalangan Banil Mugirah), telah mencerita- 
tn kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami 
Rif* irou Sulaiman, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Wabrah ibnu 
A re «r Rjhman. dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah 
Su* t?" ih bersabda: 



668 Juz 2 — Al-Baqarah 

♦ 

Sesungguhnya Allah benar-benar menolak wabah (penyakit) me- 
lalui seorang muslim yang saleh terhadap seratus keluarga dari 
kalangan para tetangganya. 

Kemudian Ibnu Umar membacakan firman-Nya: 

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia 
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (Al-Baqarah: 
251) 

Sanad hadis ini daif, mengingat Yahya ibnu Sa'id yang dikenal de- 
ngan sebutan 'Ibnul Attar Al-Himsi ' ini orangnya daif sekali. 

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada ka- 
mi Abu Humaid Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Yahya 
ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rah- 
man, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 

Sesungguhnya Allah benar-benar akan memberikan kebaikan 
berkat kebaikan seorang lelaki muslim kepada anaknya, cucunya, 
keluarganya, dan para ahli bait yang tinggal di sekitarnya. Dan 
mereka masih tetap berada dalam pemeliharaan Allah Swt. sela- 
gi lelaki yang muslim itu berada di antara mereka. 

Hadis ini pun daif "lagi garib karena alasan yang telah lalu tadi. 



Tafsir Ibnu Kasir 669 

Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan ke- 
pada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan 
kepada kami Ali ibnu Ismail ibnu Hammad, telah menceritakan kepa- 
da kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yahya ibnu Sa'id, telah men- 
ceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepa- 
daku Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abus 
Siman, dari Sauban tentang sebuah hadis marfu, yaitu: 

&-^>3 ' oj^ f^j ' ojj^-^ rki*^* ^sa— Jl ji * 

S * s /A -f/i'' '**»<*$ 

Masih tetap berada di antara kalian tujuh orang, berkat kebera- 
daan mereka kalian mendapat pertolongan, berkat keberadaan 
mereka kalian mendapat hujan, dan berkat keberadaan mereka 
kalian diberi rezeki hingga datang perintah Allah (yakni hari 
kiamat). 

Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula, telah menceritakan pula kepada 
kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Mu- 
hammad ibnu Jarir ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Abu 
Mu'az, yaitu Nahar ibnu Mu'az ibnu Usman Al-Laisi, telah menceri- 
takan kepada kami Zaid ibnul Habbah, telah menceritakan kepadaku 
Umar Al-Bazzar, dari Anbasah Al-Khawwas, dari Qatadah, dari Abu 
Qilabah, dari Abui Asy'as As-San'ani, dari Ubadah ibnus Samit yang 
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: 

Wali Abdal di kalangan umatku ada tiga puluh orang, berkat me- 
reka kalian diberi rezeki, berkat mereka kalian diberi hujan, dan 
berkat mereka kalian mendapat pertolongan. 

Qaiaiih mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar berharap se- 
mo;i Ai-Hasan (Al-Basri) adalah salah seorang dari mereka." 



C"< > e 



57Q Juz 2 — Al-Baqarah 

Firman Allah Swt.: 

Tetapi Allah mempunyai karunia atas semesta alam. (Al-Baqa- 
rah: 251) 

Yakni Dialah yang memberikan karunia dan rahmat kepada mereka; 
dengan sebagian di antara mereka, maka tertolaklah keganasan seba- 
gian yang lain. Bagi-Nyalah keputusan, hikmah, dan hujah atas makh- 
luk-Nya dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya. 
Kemudian Allah Swt. berfirman: 

Itu adalah ayat-ayat Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak 
(benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di 
antara nabi-nabi yang diutus. (Al-Baqarah: 252) 

Yaitu ayat-ayat Allah yang Kami ceritakan kepadamu ini — yang 
menceritakan perihal orang-orang yang telah Kami sebutkan di da- 
lamnya — merupakan perkara yang hak, yakni kejadian yang sesung- 
guhnya dan sesuai dengan apa yang ada di dalam isi kitab kaum Bani 
Israil dan telah diketahui oleh semua ulama mereka. 

dan sesungguhnya kamu. (Al-Baqarah: 252) 

Khitab atau pembicaraan ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad 
Saw. 

benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus. (Al- 
Baqarah: 252) 

Ungkapan ayat ini mengandung makna taukid (pengukuhan) dan me- 
ngandung qasam (sumpah).