Skip to main content

Full text of "Rua bineda in Bali : counterfeit justice in the trial of Nyoman Gunarsa"

See other formats


RUA  BINEDA  IN  BALI 

Counterfeit  Justice  In  The  Trial  of  Nyoman  Gun^sa 


^vu- 


Xv 


v^C 


Ron  Jenkins      Ron  Jenkins 


Ron  Jenkins  is  a  former  Guggenheim 

fellow  whose  research  in  Bali  over  the 

past  thirty  years  has  been  supported 

by  fellowships  from  the  Watson 

Foundation,  The  Asian  Cultural 

Council  of  the  Rockefeller  Brothers 

Fund,  and  the  Fulbright  Fund. 

A  professor  of  theater  at  Wesleyan 

University,  he  holds  a  doctorate  from 

Harvard  University  and  a  master's 

in  buffoonery  from  the  Ringling 

Brothers  Clown  College.  In  addition 

to  writing  numerous  books  on  theater, 

he  has  contributed  articles  to  Tiie 

New  York  Times,  Tlie  Village  Voice, 

and  UNESCO's  International  Tlieater 

Review. 


Ron  Jenkins  aiinlah  mantan  penerima 
beasiswa  Guggenheim  moigadakan 
penelitian  di  Bali  selama  tiga  puluhan 
tahun  dan  biaya  penelitiannya 
dibantu  oleh  Watson  Foundation, 
Ttie  Asian  Cultural  Council  of  the 
Rockefeller  Brothers  Fund,  dan  the 
Fulbright  Fund.  Dia  adalah  seorang 
profesor  di  bidang  teater  dari 
Wesleyan  University,  meraih  gelar 
doktor  dari  Harvard  University  dan 
masternya  dalam  bidang  pelav^/ak/ 
badut  dari  Ringling  Brothers  Clown 
College.  Di  samping  menulis  sejumlah 
buku  dalam  bidang  teater,  dia  juga 
mengkontribusikan  artikel-artikel 
pada  New  York  Times,   Vw  Village 
Voice,  dan  UNESCO's  Inter)iational 
Theater  Review. 


I  Nyoman  Gunarsa      /  Nyoman  Gunarsa 


I  Nyoman  Gunarsa  is  one  of  Bali's 

most  acclaimed  artists.  His  paintings 

have  been  exhibited  in  museums 

all  over  the  world,  and  he  has  won 

countless  awards  for  the  unique  ways  in 

which  his  works  combines  innovative 

modern  techniques  with  the  traditional 

_    principles  of  Balinese  Hindu  culture. 

Tlie  Gunarsa  Museum  in  Klungkung 

is  a  repository  of  many  of  Bali's  oldest 

artistic  artifacts  and  the  site  of  Bali's 

^  largest  ceremonial  uate. 


/  Nyoman  Gunarsa  adalah  seorang 
pelukis  Bali  yang  paling  dielu-elukan. 
Lukisannya  telah  dipamerkan  di 
musium-nnisium  seluruh  dunia, 
dan  tak  terhitung  memenangkan 
penghargaan  dengan  jalan  yang 
unik  dimana  karyanya  merupakan 
kombinasi  inovasi  teknik-teknik 
moderen  dengan  prinsip-prinsip 
tradisi  budaya  Bali  Hindu.  Musium 
Nyoman  Gunarsa  di  Klungkung 
adalah  tempat  penyimpanan  dari 
sekian  banyak  karya-karya  artistik 
artefak  seni  tua  Bali  dan  sebuah 
tempat  dengan  gapura  Bali  yang 
amat  besar 


'r*>'f' 


:^^^* 


RUA  BINEDA  IN  BALI 

Counterfeit  Justice  In  The  Trial  of  Nyoman  Gunarsa 


Ron  Jenkins 


Translation  by  Nyoman  Catra  &  Post  Graduate  Institute  of  Indonesian  Art  -  ISI  Jogjakarta 

Shadow  Puppet  Play  "False  Anggada"  by  Wayan  Nardayana  ('Dalang  CenkBlonk') 

"The  Heron  and  the  Crab"  by  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 

Photographs  by  Franziska  Blattner,  Ron  Jenkins,  and  Indrawati  Gunarsa 

Graphic  Design  by  Johannes  Satyadi 

Printed  by  PT.  Jayakarta  Agung  Offset 

Managing  Editor  -  Indrawati  Gunarsa 

Executive  Editor  -  Franziska  Blattner 

Associate  Editor  -  Gede  Artison  Andarawata 

Assistant  Editors  -  Komang  Artisti  Sekar  Linuwih  &  Luh  Estiti  Andarawati 

Copy  Editors  -  I  Gusti  Ngurah  Artawan  &  Luh  Gede  Sujianingsih 

Copyright  of  illustrations,  2010,  Nyoman  Gunarsa 

Copyright  of  "The  False  Anggada,"  2010,  Wayan  Nardayana 

Copyright  of  "The  Heron  and  the  Crab,"  2010,  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 

Copyright  of  the  text  of  "Ruabineda,"  2010,  Ron  Jenkins 

Copyright  of  the  Indonesian  translation,  2010  by  Nyoman  Catra 

Copyright  photos,  2010,  Franziska  Blattner,  Ron  Jenkins,  Indrawati  Gunarsa 


RUA  BINEDA  IN  BALI 

Counterfeit  Justice  In  The  Trial  of  Nyoman  Gunarsa 


Ron  Jenkins 


Published  by 

INDONESIAN  INSTITUTE  OF  THE  ARTS 

ISI  JOGJAKARTA 


\ 


r 


DEDICATION 

Didedikasikan 


To  my  wife  Franziska, 
for  confusing  me  in  so  many  loving  and  enlightening  ways. 


Untuk  istri  saya  Franziska, 

karena  membuat  saya  bingung  dalam  berbagai  kesayangan  dan 

pencerahannya. 


^^J!^^. 


TABLE  OF  CONTENTS 

Daftar  Isi 


1 .  Acknowledgments  |  Pernyataan  rasa  terima  kasih  9 

2.  Preface:  The  Painter,  The  Puppet-Master,  and  the  Priest  |  Prawacana:  Pelukis,  Dalang,  dan  Pendeta  1 3 

3.  Introduction:  The  Battle  of  Dharma  and  Adharma  |  Pendahuluan:  Pertempuran  Dharma  dan  Adharma  21 

4.  Art  on  Trial:  Sekala  and  Niskala  |  Seni  di  Sidang:  Sekala  dan  Niskala  39 

5.  Puppet  Justice:  The  Shadows  of  Clowns  and  Kings  |  Keadilan  dalam  Wayang:  Bayang-bayang  para  Panakawan  dan  Raja  69 

6.  Astra  Geni:  Art  as  a  Weapon  |  Astra  Geni:  Seni  Sebagai  Senjata  87 

7.  A  Priest's  Perspective:  The  Light  and  the  Dark  |  Perspektif  Pendeta:  Terang  dan  Gelap  111 

8.  Karma  Pala:  The  Justice  of  Heaven  |  Karma  Pala:  Keadilan  Sorgawi  125 

9.  "The  False  Anggada"  -  Shadow  Play  by  I  Wayan  Nardayana  |   "Anggada  Palsu"  -  Pertunjukan  Wayang  Kulit  oleh  I  Wayan  Nardayana  1 59 

10.  Courtroom  Testimonies  of  Nyoman  Gunarsa  and  Indrawati  Gunarsa  |  Transkripsi  Kesaksian  oleh  I  Nyoman  Gunarsa  dan  Indrawati  Gunarsa         267 

11.  "The  Heron  and  the  Crab"  by  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  |    "Burung  Bangau  dan  Kepiting"  oleh  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  305 

12.  Epilogue:  Synest^es/a  -  The  Soul  of  an  Artist  |    Epilog:  Synesthesia:  Jiwa  seorang  Seniman  313 


ACKNOWLEDGMENTS  

1 

Pernyataan 

rasa  terima  kasih 


'Om  Awignam  Astu  Namo  Sidham" 


"Om  Awignam  Astu  Namo  Siddham' 


This  book  would  not  be  possible  without  the  kindness  and  wisdom  of  the 
many  extraordinary  Balinese  artists  who  have  been  so  generous  to  me  over 
the  past  thirty-three  years.  There  are  too  many  to  name,  but  1  will  try  to 
express  my  thanks  to  a  few  who  have  worked  directly  on  this  project. 


First  I  want  thank  I  Nyoman  Gunarsa  for  the  magnificent  artwork  that  is 
published  in  this  book  for  the  first  time.  His  wife  Indrawati  Gunarsa,  their 
son  Gede  Artison  Andarawata  and  the  entire  Gunarsa  family  were  extremely 
helpful  me  to  throughout  my  research. 


I  Wayan  Nardayana,  known  throughout  Bali  as  dalang  CenkBlonk,  also 
deserves  my  deep  gratitude  for  patiently  allowing  me  to  observe  and 
document  his  artistry  as  a  master  of  shadow  puppetry. 


Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  is  a  profoundly  wise  poet  and  priest  whose 
sense  of  spirituality  and  love  of  language  have  inspired  me  in  more  ways 
that  I  can  say. 

I  Nyoman  Catra  has  been  my  friend,  teacher  and  student  for  many  years, 
and  his  contributions  to  my  understanding  of  Balinese  culture  go  far 
beyond  his  help  with  the  Indonesian  translation  of  this  book. 

I  Gusti  Ngurah  Artawan  made  important  contributions  to  this  book  by 
transcribing  "Anggada  Palsu"  and  translating  a  first  draft  to  Indonesian. 
Ni  Luh  Gede  Sujianingsih  was  also  a  diligent  assistant  whose  translation 
skills  were  invaluable  throughout  the  process  of  writing  this  book.  Her 
father  I  Ketut  Jagra  made  valuable  contributions  to  the  translations. 


The  support  of  the  senior  faculty  of  the  Indonesian  Institute  of  the  Arts 
(ISI)  in  Denpasar  has  been  invaluable  to  me.  In  addition  to  thanking 


Buku  ini  tidak  akan  terwujud  tanpa  kebaikan  dan  kebijaksanaan  dari 
sejumlah  seniman  Bali  yang  luar  biasa  yang  telah  dengan  kemurahan  hati 
kepada  saya  selama  kurun  waktu  tigapuluh  dua  tahun  lamanya.  Terlalu 
banyak  nama-nama  untuk  disebutkan,  di  sini  saya  akan  coba  untuk 
menyatakan  rasa  hormat  dan  terima  kasih  saya  kepada  beberapa  yang  telah 
bekerja  secara  langsung  pada  proyek  ini. 

Pertama  saya  menyatakan  terima  kasih  kepada  I  Nyoman  Gunarsa  atas 
karya  seninya  yang  bagus  sekali  dipublikasikan  untuk  pertama  kali  dalam 
buku  ini.  Istrinya  Indrawati,  putranya  Gede  Artison  Andarawata  dan  seluruh 
keluarganya  Gunarsa  yang  sangat  membantu  saya  selama  penelitian  saya 
pada  perjuangan  mereka  di  pengadilan. 

I  Wayan  Nardayana,  dikenal  diseluruh  Bali  sebagai  dalang  CenkBlonk,  juga 
berhak  mendapat  rasa  hormat  saya  yang  paling  dalam  dengan  kesabaran 
memberikan  saya  untuk  mengobservasi  dan  mendokumentasikan  keahlian 
seninya  sebagai  dalang. 

Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  adalah  sastrawan  yang  amat  bijaksana  dan 
seorang  pendeta  yang  memiliki  rasa  spiritual  dan  kecintaannya  dengan 
bahasa  telah  menghilhami  saya  dari  berbagai  jalan  yang  dapat  saya  katakan. 

I  Nyoman  Catra  telah  menjadi  teman,  guru,  dan  murid  saya  untuk  sekian 
tahun  dan  kontribusinya  kepada  saya  mengertikan  budaya  Bali  melebihi 
dari  bantuannya  dalam  pengindonesiaan  dari  buku  ini. 

I  Gusti  Ngurah  Artawan  membuat  kontribusi  penting  untuk  buku  ini  dengan 
mentrakripsikan  'Anggada  Palsu"  dan  terjemahan  draf  awal  ke  dalam 
bahasa  Indonesia.  Ni  Luh  Gede  Sujianingsih  juga  asisten  yang  rajin  yang 
keterampilan  terjemahannya  amat  berharga  sepanjang  proses  penulisan 
buku  ini.  Ayahnya  I  Ketut  Jagra  memberi  sumbangan  yang  berharga  untuk 
terjemahan. 

Dukungan  dari  dosen  senior  Institut  Seni  Indonesia  (ISI)  Denpasar  untuk 
saya  adalah  tak  ternilai  harganya.  Di  samping  itu  terima  kasih  saya  untuk 


10 


I  Made  Bandem,  I  Wayan  Dibia,  I  Ketut  Kodi,  and  I  Nyoman  Sedana  for 
their  ongoing  advice.  I  want  to  thank  I  Wayan  Rai  for  estabhshing  the 
International  Translation  Center  and  initiating  its  work  making  the  texts 
of  Indonesian  performances  more  accessible  to  scholars  and  students 
around  the  world.  Indonesian  Shadow  Puppetry  has  been  declared  a  World 
Cultural  Treasure  by  the  United  Nations,  but  without  translations  of  the 
densely  textured  plays,  foreigners  will  never  fully  appreciate  the  complex 
interweaving  of  history,  religion  and  current  events  that  makes  this  art  so 
compelling.  Lastly  I  want  to  thank  my  colleagues  in  the  faculty  and  the 
administration  of  Wesleyan  University  for  their  continuing  support  of  my 
Indonesian  research. 


Finally,  although  they  are  not  cited  directly,  I  want  to  acknowledge  the 
superb  work  of  the  many  western  writers  who  have  investigated  Balinese 
culture  over  the  past  century.  They  have  helped  to  provide  the  foundation 
for  many  of  the  insights  in  this  book.  One  of  the  most  perceptive  observers 
of  Balinese  art  and  culture  is  Hildred  Geertz,  whose  recent  trilogy  of  books 
provides  an  outstanding  model  of  sensitive  and  illuminating  scholarship. 
The  publications  of  Adrian  Vickers,  Helen  Creese,  Clifford  Geertz,  Mark 
Hobart,  P.J.  Zoetmulder,  C.  Hooykaas,  Urs  Ramseyer,  H.I.R.  Hinzler,  Henk 
Schulte  Nordholdt,  S.O.  Robson,  Thomas  M.  Hunter,  Mary  Zurbuchen,  R. 
Rubenstein,  Jean  Couteau,  Fred  Eisner,  Jane  Belo,  Idanna  Pucci,  Margaret 
Mead,  Fritz  DeBoer,  Miguel  Covarrubias,  Walter  Spies,  David  Stuart- Fox, 
Claire  Holt,  and  Colin  McPhee,  each  in  their  own  distinctive  style,  have  made 
essential  contributions  to  my  understanding  of  Bali  in  all  its  incarnations. 


"Om  Santi,  Santi,  Santi,  Om" 


/  Made  Bandem,  I  Wayan  Dibia,  I  Ketut  Kodi  dan  I  Nyoman  Sedana  atas 
sarannya  yang  tiada  henti.  Saya  ingin  berterima  kasih  kepada  I  Wayan  Rai 
untuk  mewujudkan  International  Translation  Center  dan  mendukung  usaha 
yang  berkelanjutan  untuk  membuat  buku-buku  seperti  ini  yang  membuat 
teks-teks  pertunjukan  di  Indonesia  dapat  lebih  diakses  untuk  sarjana  dan 
mahasiswa  dari  seluruh  dunia.  Pertunjukan  Wayang  Kulit  Indonesia  sudah 
dideklarasikan  sebagai  World  Cultural  Treasure  oleh  Perserikatan  Bangsa- 
bangsa,  akan  tetapi  tanpa  terjemahan  dari  kepadatan  tekstur  pertunjukan, 
orang  asing  tidak  bakalan  pernah  sepenuhnya  dapat  mengapresiasi 
kompleksitas  rajutan  sejarah,  agama,  dan  peristiwa  kekinian  yang  membuat 
seni  ini  menjadi  meyakinkan.  Juga  saya  berterima  kasih  teman-teman  dosen 
dan  administrasi  di  Weleyan  University  atas  dukungannya  yang  tak  pernah 
surut  untuk  penelitian  saya  di  Indonesia. 

Akhirnya,  kendati  mereka  tidak  dikutip  karyanya  secara  langsung  saya  ingin 
menyampaikan  rasa  terima  kasih  terhadap  hasil  kerja  yang  gemilang  dari 
sejumlah  penulis  barat  yang  telah  mengadakan  investigasi  tentang  budaya 
Bali  sejak  seabad  yang  lampau.  Mereka  telah  membantu  memberikan  dasar 
wawasan  luas  dalam  buku  ini.  Salah  seorang  yang  paling  memiliki  perspektif 
observasi  tentang  seni  dan  budaya  Bali  adalah  Hildred  Geertz  dengan 
triology  buku  barunya  menyediakan  model  yang  luar  biasa  dari  sensitif  dan 
mengiluninasi  para  sarjana.  Publikasi-publikasi  dari  Adrian  Vickers,  Helen 
Creese,  Clifford  Geertz,  Mark  Hobart,  P.J.  Zoetmulder,  C.  Hooykaas,  Urs 
Ramseyer,  H.I.R.  Hinzler,  Henk  Schulte  Nordholdt,  S.O.  Robson,  Thomas  M. 
Hunter,  Mary  Zurbuchen,  R.  Rubenstein,  Jean  Couteau,  Fred  Eisner,  Jane 
Belo,  Idanna  Pucci,  Margaret  Mead,  Fritz  DeBoer,  Miguel  Covarrubias, 
Walter  Spies,  David  Stuart-Fox,  Claire  Holt,  dan  Colin  McPhee,  dengan 
gaya  mereka  masing-masing,  telah  memberi  kontribusi  mendasar  untuk 
pengertian  saya  tentang  Bali  di  dalam  keseluruhan  kelahirannya. 

"Om  Santi,  Santi,  Santi,  Om" 


11 


12 


PREFACE: 

The  Painter,  the  Puppet-master, 

and  the  Priest 


Prawacana: 

PelukiSy  Dalangy  dan  Pendeta 


13 


"There  is  no  limit  to  learning.  The  sea  goes  on  forever.  Where  is  the 
end  of  the  sea?  There  is  none.  That  is  what  knowledge  is  like.  Where  is 
the  footprint  of  a  flying  bird?  You  cannot  see  it.  It  is  there,  but  it  is  not 
there.  That's  why  we  have  to  be  patient." 

-Blonk:  a  clown  puppet  in  the  shadow  play  "The  False  Anggada" 


"Tiada  batas  untuk  belajar.  Laut  membentang  tanpa  batas.  Dimana 
ujungnya  laut?  Tidak  ada.  Seperti  itulah  pengetahuan  itu  adanya. 
Dimana  bekas  jejak  kaki  dari  seekor  burung  yang  sedang  terbang?  Kamu 
tak  dapat  melihatnya.  Sesungguhnya  ada  di  sana,  akan  tetapi  tidak  ada 
di  sana.  Itulah  sebabnya  kita  harus  bersabar" 

-  Blonk:  wayang  badutan  di  dalam  pertunjukan  wayang 
"Anggada  Palsu." 


Like  the  trace  a  bird  leaves  in  the  sky,  justice  is  elusive.  This  book  is  about 
a  search  for  justice  that  began  in  a  courtroom  battle  over  copyright  laws 
in  Denpasar,  Bali.  It  is  a  story  of  art  forgery,  mystical  shadow  puppets, 
international  crime  syndicates,  and  divine  identity  theft  as  seen  from 
the  perspectives  of  three  extraordinary  Balinese  individuals:  a  painter,  a 
puppet  master,  and  a  high  Brahmin  priest,  who  is  also  a  poet.  I  Nyoman 
Gunarsa,  one  of  Bali's  most  acclaimed  artists  has  devoted  eight  years  to 
a  legal  battle  over  the  forgery  of  his  paintings,  a  struggle  he  hopes  will 
strengthen  the  enforcement  of  Indonesia's  copyright  laws  for  all  artists.  I 
Wayan  Nardayana  is  one  of  Bali's  most  popular  and  accomplished  dalangs, 
a  master  of  shadow  puppetry  whose  witty  cinematic  performances  update 
the  plots  of  Hindu  epics  with  references  to  modern  moral  dilemmas.  Ida 
Pedanda  Ketut  Sidemen,  sometimes  known  as 
Ida  Pedanda  Ketut  Kencana  Singarsa,  is  a  high 
Brahmin  Hindu  priest,  who  is  also  one  of  Bali's 
most  gifted  poets,  the  author  of  sophisticated 
verses  that  give  renewed  spiritual  meaning  to 
sacred  Hindu  texts. 


The  collective  artistry  of  these  three  individuals 
provides  more  insight  into  the  issues  of 
justice,   morality,    and   truth   than   was    found 


Seperti  menelusuri  jejak  seekor  burung  di  udara,  keadilan  adalah  terabaikan. 
Buku  ini  tentang  penelusuran  untuk  keadilan  yang  perdebatannya  berlangsung 
di  ruang  pengadilan  berkenaan  masalah  hukum  hak  cipta  di  Denpasar, 
Bali.  Ini  adalah  sebuah  ceritera  tentang  pemalsuan  karya  seni,  pertunjukan 
wayang  kulit  yang  mistis,  sindikat  kejahatan  internasional,  dan  pencurian 
identitas  kedewataan  yang  muncul  dari  perspektif  tiga  orang  secara  individu: 
seorang  pelukis,  dalang  dan  seorang  pendeta  dari  kalangan  brahmana  yang 
juga  seorang  sastrawan.  I  Nyoman  Gunarsa  salah  seorang  seniman  Bali 
yang  dielu-elukan  telah  mencurahkan  dalam  kurun  waktu  delapan  tahun 
untuk  memperjuangkan  melalui  hukum  pengadilan  atas  pemalsuan  karya- 
karya  lukisannya,  sebuah  perjuangan  yang  dia  harapkan  akan  memperkuat 
penyelenggaraan  dari  hukum  hak  cipta  di  Indonesia  untuk  semua  seniman. 

I  Wayan  Nardayana  adalah  salah  seorang 
dalang  Bali  yang  popular  dan  sukses,  ahli  dalam 
mempermainkan  wayang  melalui  pertunjukan 
sinematik  yang  Jenaka  memperbaharui  alur 
ceritera  dari  epik  Hindu  dengan  referensi  moral 
dilema  moderen.  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 
salah  seorang  pendeta  dari  kalangan  brahmana 
juga  seorang  sastrawan  dermawan,  penulis  sanjak- 
sanjak  dengan  cangih  yang  memberi  kebaharuan 
arti  spiritual  pada  teks  sakral  Hindu. 

Pada  keahlian  artistik  dari  ketiga  masing-masing 
individu  menyediakan  pengertian  yang  mendalam 
kedalam    persoalan    keadilan,     moralitas,     dan 


14 


in  the  confusing  decision  of  the  judges  in  the 

copyright   trial,    ahhough   the   courtroom   was 

enhvened  by  Gunarsa's  artworks  and  the  dances 

he  performed  there  to  explain  the  difference 

between  the  forged  paintings  and  the  originals. 

Lawyers    for   the    Indonesian    Anti-Corruption 

Movement     (GerRAK)     and    Bali     Corruption 

Watch  have  declared  Gunarsa's  trial  an  example 

of  "mafia  justice."   Because  the  judge  s  decision 

acknowledged  the  forgery  of  Gunarsa's  paintings 

but  absolved  the  perpetrators   of  its   creation 

and    sale    from    any    punishment,    there    are 

strong  suspicions  that  organized  crime  figures 

manipulated  the  verdict.  Citing  the  "false  logic"  of 

the  ruling,  the  anti-corruption  lawyers  who  analyzed  the  trial's  proceedings 

called  it  a  "tragedy  of  the  law...  a  valuable  lesson  of  something  that  should 

never  be  repeated."' 


kebenaran  daripada  yang  telah  diperoleh  di  dalam 
Keputusan  yang  membingungkan  dari  para  hakim 
di  dalam  ruang  pengadilan  disemarakkan  dengan 
karya-karya  besarnya  Gunarsa  dan  tarian  yang 
dia  pertunjukkan  sebagai  bagian  dari  kesaksiannya 
menerangkan  perbedaan  antara  lukisan  palsu 
dengan  yang  asli.  Para  pengacara  untuk  Indonesian 
Anti-Corruption  Movement  (GerRAK)  dan  Bali 
Corruption  Watch  telah  mengumumkan  bahwa 
pemeriksaan  pengadilan  Gunarsa  sebagai  contoh 
dari  "mafia  pengadilan"  Oleh  karena  keputusan 
jaksa  telah  membuktikan  pemalsuan  atas  karya 
lukisannya  Gunarsa ...  di  sana  kuat  kecurigaannya 
bahwa  figure  kriminal  terorganisasi  memanipulasi 
keputusan.  Mengutip  "logika  palsu"  dari  penguasa,  para  hakim  anti  koupsi 
yang  menganalisa  dokumen  tentang  cara  kerja  pemeriksaan  pengadilan 
menyebutkannya  sebagai  "tragedi  hukum...  pelajaran  berharga  dari  sesuatu 
yang  seyogyanya  tidak  pernah  terulang  lagi."' 


Ttie  painter,  the  puppet-master  and  the  priest,  each  in  their  own  way,  rely 
on  the  animist-mystic  traditions  of  the  Balinese  Hindu  religion  to  provide 
a  sense  of  clarity,  truth  and  justice  that  was  missing  from  the  decision  of 
the  judges  in  the  court. 


Pelukis,  dalang,  pendeta,  masing-masing  dengan  caranya  sendiri,  bersandar 
pada  tradisi  animisme  mistis  dari  keagaman  Hindu  Bali  untuk  membagikan 
pengertian  kejelasan,  kebenaran,  dan  keadilan  yang  absen  dari  keputusan 
para  hakim  di  pengadilan. 


With  the  copyright  trial  as  a  starting  point  each  of  these  individuals 
comments  on  the  underlying  meanings  of  truth  and  falseness  as  seen 
through  the  Balinese-Hindu  philosophy  ofruabineda,  a  principle  of  spiritual 
dialectics  that  envisions  the  co-existence  of  opposites  in  a  state  of  dynamic 
equilibrium.  Darkness  and  light.  The  true  and  the  false.  Good  and  evil. 
Gods  and  demons.  The  Balinese  believe  that  all  these  contradictory  forces 
exist  in  opposition  to  one  another  and  that  the  continuing  tension  between 
them  is  necessary  for  the  balanced  functioning  of  the  world. 


Dengan  pengadilan  hak  cipta  sebagai  titik  berangkat  komentar-komentar 
masing-masing  dari  individu  ini  mengenai  pengertian  mendasar  tentang 
kebenaran  dan  kepalsuan  seperti  dapat  dilihat  melalui  filsafat  Hindu 
orang  Bali  yakni  ruabineda,  sebuah  prinsip  dari  dialektika  spiritual  yang 
memimpikan  kebersamaan  dari  pernyataan  yang  bertentangan  untuk 
dinamika  keseimbangan.  Kegelapan  dan  terang.  Kebenaran  dan  kepalsuan. 
Baik  dan  jahat.  Tuhan  dan  raksasa.  Orang  Bali  percaya  bahwa  semua 
dari  sifat  berseberangan  ini  ada,  saling  bertentangan  satu  sama  lain  dan 


Wahyu  Sasongko  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas 
Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata".  (Malang,  2009).  Pp.  89-90. 


Wahyu  Sasongko  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas 
Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata".  (Malang,  2009).  Pp.  89-90. 


15 


\ 


K^V 


::^'fi. 


.c 


0 


A 


rS 


C^^^ 


I 


.V.-7»? 


■M 


-4i*^! 


-■'—i^ 


1 


7 


,-^ 


1.0 


^ 


J^ 


K^ 


\/ 


yy 


X5 


/r 


^v 


/ 


©^ 


.^; 


/1" 


cvs»V-.i 


/ 


'\ 


Y 


: } 


/r 


i. 


M 


JL-, 


'Jls 


"jy.' 


-^ 


•^ 


*:^^^ 


/ 


^' 


</ 


•^ 


-^. 


J^ 


P 


v\ 


t  's.; 


-«^ 


^.it7' 


>-51 


Nardayana  transforms  Gunarsa's  copyright  trial  into 

an  allegorical  story  based  on  characters  from  the 

Ramayana,  animating  the  philosophical  issues  in  a 

spectacular  display  of  shifting  shadows  accompanied 

by  enlightening  comic  commentary.      In  a  kinetic 

series  of  watercolors  Gunarsa  brings  the  shadow  play 

to  life  in  his  distinctive  style  of  swirling  colors  and 

dynamic  lines.  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  provides 

additional  commentary  on  the  issues  of  truth  and  falsehood  by  quoting 

Hindu  texts  that  are  the  source  of  both  his  religious  faith  and  his  poetry. 


The  similarities  in  the  responses  to  the  trial  given  by  the  painter,  the  puppet 
master  and  the  priest  are  illuminating  in  the  way  they  reveal  the  common 
reference  points  of  all  three  men.  Each  of  them  in  their  own  way  relies  on 
the  animist-mystic  traditions  of  the  Balinese  Hindu  religion  to  provide  a 
sense  of  clarity,  truth  and  justice  that  was  missing  in  the  courtroom. 


Among  other  reference  points,  they  all  pointed  to  Saraswati,  the  Hindu 
goddess  of  wisdom,  as  a  source  of  guidance  in  distinguishing  the  true 
from  the  false.  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  broke  down  the  definition  of 
her  name  into  three  root  words  that  combine  to  mean  "The  weapon  of 
knowledge  as  a  guide  to  human  behavior."  Gunarsa  drew  a  diagrammatic 
sketch  that  illustrated  the  goddess  as  the  source  of  all  literature  and  arts. 
And  Nardayana  inserted  a  clown  dialogue  into  his  shadow  play  that  used 
humor  to  explain  the  significance  of  the  cecek  lizard  that  is  associated  with 
Saraswati.  The  cecek  is  the  name  of  a  lizard  but  it  is  also  a  grammatical  mark 


itulah  menjadi  ketegangan  yang  tidak  berkesudahan 
diantara  keduanya  adalah  sangat  diperlukan  untuk 
keseimbangan  fungsi  dunia. 

Nardayana  mentransformasikan  sidang  pengadilan  ke 
dalam  sebuah  kiasan  ceritera  berdasar  pada  karakter 
tokoh  dari  Ramayana,  menghidupkan  persoalan- 
persoalan  filsafat  ke  dalam  pertunjukannya  yang 
spektakuler  dengan  mengganti  bayang-bayang  disertai 
dengan  pencerahan  melalui  komentarnya  yang  Jenaka. 
Dalam  kinetis  serial  dari  lukisan  cat  airnya  Gunarsa 
membawa  pertunjukan  wayang  hidup  ke  dalam 
gayanya  yang  khas  dari  lingkaran  warna-warna  dan  dinamika  garis.  Ida 
Pedanda  Ketut  Sidemen  memberikan  komentar  tambahan  pada  persoalan- 
persoalan  dari  kebenaran  dan  kepalsuan  dengan  memetik  teks-teks  Hindu 
yang  menjadi  sumber  baik  sebagai  kepercayaan  agamanya  maupun  karya 
sastranya. 

Persamaan  di  dalam  memberi  respon  kepada  sidang  pengadilan  yang 
diberikan  oleh  pelukis,  dalang  dan  pendeta  menerangkan  dengan  cara 
mereka  dalam  menyatakan  hal-hal  pokok  referensi  umum  dari  ketiganya. 
Masing-masing  dengan  caranya  sendiri  bersandar  pada  tradisi  animisme 
mistis  dari  kepercayaan  agama  Hindu  untuk  memberikan  pengertian  untuk 
kejelasan,  kebenaran  dan  keadilan  yang  absen  di  dalam  ruang  persidangan 
pengadilan. 

Diantara  pokok  referensi  yang  lain  mereka  semua  menunjukpada  Saraswati, 
Dewi  kebijaksanaan  Hindu  sebagai  sumber  tuntunan  dalam  membedakan 
kebenaran  dari  kepalsuan.  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  memecah  definisi 
namanya  ke  dalam  tiga  akar  kata  yang  kemudian  dikombinasikan  berarti 
"Senjata  dari  ilmu  pengetahuan  sebagai  tuntunan  untuk  perangai  manusia" 
Gunarsa  menggambar  diagramatik  sketsa  yang  mengilustrasikan  sang  Dewi 
sebagai  sumber  untuk  semua  literatur  dan  seni.  Nardayana  memasukkan 
dialog  panakawan  ke  dalam  pertunjukan  wayangnya  dengan  menggunakan 
lelucon  untuk  menerangkan  arti  binatang  cecdk  yang  diasosiasikan  dengan 


17 


that  resembles  a  dot  or  a  period.  "That's  why  offerings  to  Saraswati  include 
a  cake  shaped  like  a  cecek"  says  the  clown  servant  Sanggut.  "Saraswati  is 
the  symbol  of  knowledge.  The  source  of  knowledge  comes  from  the  dot 
{cecek)" 


"From  what?"  asks  Sanggut's  less  enlightened  brother  and  fellow  servant, 
Delem. 

"From  the  dot,"  Sanggut  insists.  From  the  dot.  Letters  are  made  from  an 
arrangement  of  dots.  A  straight  succession  of  dots  is  called  a  line."  The 
wise  clown  goes  on  to  argue  that  all  written  words  are  made  of  dots,  so  all 
written  literature  and  wisdom  begins  with  a  dot.  He  takes  the  logic  a  step 
further  by  making  a  pun  on  the  Indonesian  word  for  dot  (titik)  which  is 
the  same  as  the  Balinese  word  for  vagina,  concluding  his  comic  lecture  by 


Saraswati.  Kata  cecek  adalah  sebutan  untuk  cecak  yang  juga  sebagai  tanda 
yang  berhubungan  dengan  tanda  pada  tata  bahasa  yang  berupa  bintik 
atau  titik.  "Itulah  sebabnya  sesajen  untuk  Saraswati  terdapat  jajan  yang 
menyerupai  bentuk  seekor  cecak,"  kata  panakawan  Sungut.  "Saraswati 
adalah  symbol  dari  ilmu  pengetahuan.  Sumber  pengetahuan  datangnya  dari 
titik  fcecekj." 

"Dari  apa?"  pertanyaan  saudaranya  Sangut  yang  kurang  akan  penerangan 
dan  temannya  sebagai  abdi,  Delem. 

"Dari  titik"  Sangut  bersikeras.  Dari  titik.  Huruf  dibuat  dari  pengaturan  titik- 
titik.  Rangkaian  titik-titik  lurus  disebut  garis.  Panakawan  yang  bijaksana 
meneruskan  untuk  berargumentasi  bahwa  semua  kata-kata  yang  ditulis 
dibuat  dari  titik,  dengan  demikian  semua  tulisan  literatur  dan  kebijaksanaan 
dimulai  dari  titik.  Dia  mengambil  logika  dalam  langkah  maju  membuat 
lelucon  dengan  permainan  kata  cecek  untuk  bahasa  Indonesianya  berarti 


18 


declaring  that  therefore  "everything  in  the  world  is  born  out  of  a  dot." 


The  puppet  master's  multi- linguistic  punning  is  only  one  of  the  sophisticated 
techniques  used  by  Nardayana  to  communicate  complex  spiritual  concepts 
to  a  general  audience  in  an  entertaining  manner.  The  virtuosic  skills 
of  Gunarsa  are  equally  astonishing  in  the  way  his  drawings  depict  the 
complicated  iconography  of  his  religion  in  a  few  artfully  shaped  lines.  Ida 
Pedanda  Ketut  Sidemen,  an  artist  in  his  own  right,  is  peerless  in  his  ability  to 
make  the  arcane  philosophy  of  Balinese  Hinduism  immediately  accessible 
to  anyone  who  reads  his  poetry  or  listens  to  him  speak. 


This  book  documents  the  collective  talents  of  these  three  gifted  men  in  an 

attempt  to  tell  the  story  of  a  copyright  trial  whose  importance  transcends 

the  secular  courtroom  in  which  it  was  held.    By  inspiring  the  artistry  of  a 

painter,  a  puppet  master,  and  a  priest,  the  trial  reveals  the 

extraordinary  ability  of  the  Balinese  to  use  their  cultural 

traditions  to  make  sense  of  the  moral  dilemmas  that 

accompany  the  ongoing  modernization  of  their  island. 

While  the  rest  of  the  world  might  not  see  the  traces  left 

in  the  sky  by  a  flying  bird,  the  Balinese  painters,  puppet 

masters,  and  priests,  know  it  is  there.  Their  culture  values 

the  artistic  and  spiritual  expression  of  what  is  invisible  to 

the  eye.  This  book  is  a  tribute  to  that  skill  and  the  wisdom 

behind  it. 


'titik'  yang  dalam  bahasa  Balinya  berarti  merupakan  bagian  dari  kemaluan 
wanita,  menyudahi  ceramah  leluconnya  dengan  pernyataan  bahwa  oleh 
karenanya  'semuanya  di  dunia  lahir  dari  titik." 

Multi  bahasa  sebagai  permainan  kata  ki  dalang  adalah  satu  dari  teknik  yang 
canggih  digunakan  oleh  Nardayana  untuk  mengkomunikasikan  kompleksitas 
konsepsi  spiritual  untuk  penonton  umum  ke  dalam  cara  menghibur  Keahlian 
hebat  dalam  teknik  yang  dimiliki  Gunarsa  sejajar  membuat  terperangah 
dalam  cara  lukisannya  menggambarkan  ikonografi  yang  kompleks  dari 
kepercayaan  agamanya  dalam  hanya  beberapa  bentuk  licin  garis-garis. 
Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  seorang  seniman  dalam  caranya  sendiri,  tiada 
bandingannya  pada  kemampuannya  untuk  membuat  misterius  filsafat 
dari  Hinduisme  Bali  dengan  segera  dapat  diterima  oleh  setiap  orang  yang 
membaca  sajak-sajaknya  atau  mendengarkan  dia  berbicara. 

Buku  ini  mendokumentasikan  secara  kolektif  berkemampuan  dari  ketiga 
orang  yang  berbakat  di  dalam  usaha  mengisahkan  ceritera  pengadilan 
hak  cipta  jauh  lebih  penting  dengan  ruang  persidangan  sekuler  yang 
telah  berlangsung.  Dengan  diilhami  oleh  kemahiran 
dari  seorang  pelukis,  dalang,  dan  pendeta  ketiganya 
memperlihatkan  kemampuannya  yang  luar  biasa  sebagai 
orang  Bali  untuk  menggunakan  tradisi  budaya  mereka 
dalam  memberikan  pengertian  tentang  dilema  moral 
yang  menyertai  keberlanjutan  moderenisasi  dari  pulau 
tempat  tinggalnya.  Sementara  di  negara  lain  barangkali 
tidak  melihat  jejak  yang  ditinggalkan  oleh  seekor  burung 
yang  sedang  terbang  diudara,  pelukis  Bali,  dalang,  dan 
pendeta  tahu  bahwa  itu  ada  disana.  Nilai-nlai  budaya 
mereka  menjadi  artistik  dan  ekspresi  spiritual  tentang 
apa  yang  tidak  nampak  dihadapan  mata.  Buku  ini 
menghargai  keterampilan  tersebut  dan  kebijaksanaan 
yang  berada  dibaliknya. 


19 


V 


INTRODUCTION: 

The  Battle  of  Dharma 
and  Adharma 


P  endahuluan: 

Pertempuran  Dharma 
dan  Adharma 


21 


"To  find  justice  in  this  world  is  difficult,  because  there  are  so  many  kinds 
of  justice:  justice  according  to  God,  justice  according  to  the  judge,  justice 
according  to  the  accused,  justice  according  to  the  community.  Oh,  there 
are  many  kinds." 

-  Twalen,  the  clown  servant  and  sage,  in  "The  False  Anggada." 


"Untuk  mendapatkan  keadilan  di  dunia  ini  sangatlah  sulit,  oleh  karena 
terdapat  beragam  jenis  keadilan:  keadilan  menurut  Tuhan,  keadilan 
menurut  hakim,  keadilan  menurut  tertuduh,  keadilan  menurut 
masyarakat.  Oh,  ada  banyak  jenisnya." 

-  Tualen,  panakawan  dalam  pementasan  "Anggada  Palsu". 


On  June  26,  2008  in  the  austere  government  offices  of  Indonesia's  Ministry 
of  Law,  an  artist  was  pleading  his  case  in  a  private  audience  with  a  Deputy 
Minister  from  the  National  Task  Force  for  Intellectual  Property  Rights.  The 
artist  had  traveled  hundreds  of  kilometers  from  his  home  on  the  island 
of  Bali  in  hopes  of  meeting  with  the  country's  President,  Susilo  Bambang 
Yudhoyono,  and  the  Deputy  Minister  assured  him  that  his  appeal  would  be 
brought  before  the  President  after  he  dealt  with  the  student  riots  that  were 
then  plaguing  the  capitol  city  of  Jakarta. 


Pada  tanggal  26  Juni  2008  dalam  situasi  pemerintahan  Asisten  Menteri 
Koordinator  Tim  Nas  Haki  di  Indonesia  dalam  keadaan  tegang,  seorang  pelukis 
mengadakan  pembelaan  terhadap  kasusnya  dengan  mengadakan  pendekatan 
secara  perseorangan  kehadapan  Asisten  Menteri  Koordinator  Tim  Nas  yang 
bertugas  membidangi  pelanggaran  hak  cipta.  Seorang  pelukis  mengadakan 
perjalanan  ratusan  kilometer  dari  rumahnya  di  pulau  Bali  dengan  harapan 
dapat  bertemu  dengan  pimpinan  Negara,  Presiden  Susilo  Bambang 
Yudhoyono,  diterima  oleh  Asisten  Menteri  yang  dengan  meyakinkan  bahwa, 
pendekatannya  akan  dibawa  kehadapan  presiden,  setelah  dia  menyelesaikan 
persoalan  penting  berkenaan  dengan  gerakan  mahasiswa  yang  mengacau 
keamanan  ibukota  Jakarta. 


"Ihe  President  should  meet  with  people  who  are  trying  to  solve  problems 
peacefully,  not  only  with  those  who  threaten  violence,"  argued  I  Nyoman 
Gunarsa,  an  internationally  exhibited  artist,  whose  paintings  had  been 
forged  and  put  up  for  sale  by  individuals  he  believed  to  be  part  of  a  multi- 
national crime  syndicate.  Gunarsa  had  been  fighting  the  case  in  the  courts 
for  over  eight  years,  and  although  the  paintings  had  been  proven  false,  the 
judge  in  the  most  recent  trial  had  declined  to  hold  anyone  responsible, 
leaving  the  forgers,  distributors,  and  gallery  owners  unpunished  and  free 
to  continue  their  operation.  "This  case  is  not  just  about  my  paintings,"  said 
Gunarsa.  "It  is  about  upholding  copyright  laws,  so  that  the  rest  of  the  world 
will  stop  viewing  Indonesia  as  a  'nation  of  pirates'  {'Negeri  Pembajak'). 


The  artist's  colorful  language  was  met  with  formal  words  of  sympathy 
expressed  by  the  Deputy  Minister  in  phrases  that  were  as  stiff  as  the  collar  of 


"Presiden  seyogyanya  bertemu  dengan  orang  yang  ingin  menyelesaikan 
masalahnya  dengan  damai,  tidak  hanya  untuk  mereka  yang  mengancam 
dengan  kekerasan,"  argumentasi  I  Nyoman  Gunarsa  seorang  pelukis  berkaliber 
internasional,  yang  lukisannya  dipalsukan  dan  dijual  oleh  seseorang  yang 
dia  percaya  sebagai  bagian  dari  jaringan  sindikat  multi  nasional.  Gunarsa 
telah  memperjuangkan  kasusnya  di  pengadilan  lebih  dari  delapan  tahun,  dan 
kendati  lukisannya  sudah  terbukti  dipalsukan,  para  hakim  pada  pengadilan 
belakangan  ini  mengalami  kemunduran  dalam  menentukan  seseorang  yang 
bertanggungjawab,  dan  membiarkan  si  pemalsu,  distributor,  dan  pemilik 
galeri,  tanpa  diberi  hukuman  dan  bebas  untuk  melangsungkan  operasi 
mereka.  "Kasus  ini  bukan  hanya  menyangkut  lukisan  saya"  kata  Gunarsa. 
"Ini  adalah  penegakkan  hukum  hak  cipta,  dengan  demikian  dunia  luar  akan 
berhenti  menuding  Indonesia  sebagai  negara  pembajak" 

Bahasa  seorang  pelukis  yang  berwarna-warni  bertemu  dengan  bahasa  formal 
yang  dilontarkan  sebagai  sebuah  simpati  oleh  Asisten  Menteri,  dalam  frase 


22 


his  batik  print  shirt.  It  seemed  unUkely  that  the  case  would  get  any  farther 
than  that  sterile  office,  until  Gunarsa  pulled  out  a  large  notebook  with 
reproductions  of  his  paintings,  and  used  them  to  explain  the  case  in  more 
detail.  At  first  the  Deputy  Minister  just  looked  politely  at  the  photographs 
and  nodded.  Gunarsa  showed  him  the  paintings  that  were  used  as  evidence 
in  the  courtroom,  pointing  out  the  details  that  distinguished  the  original 
paintings  from  the  forgeries.  The  Deputy  Minister  mumbled  a  few  words 
of  encouragement  with  a  rigid  smile.  Then  Gunarsa  turned  the  pages  of 
his  notebook  to  another  set  of  paintings  that  were  not  used  in  the  trial,  but 
seemed  to  be  of  far  greater  interest  to  the  Deputy  Minister. 


They  were  paintings  of  a  wayang  kulit  shadow  puppet  play  that  used  an 

episode  from  the  Hindu  epic  Ramayana  as  an  allegory  to  illuminate  the 

deeper  meanings  of  the  copyright  trial. 

The    shadow    puppet    play    had    been 

performed  in  Denpasar's  Puputan  Square 

the  week  before  the  trial  began  (April, 

2007).    That  audience  in  Bali's  capital  a 

year  earlier  had  laughed  and  cheered  at  "^  '^^-,. 

the  puppet  masters  re-imagining  of  a 

modern  court  case  as  a  battle  between 

sacred    monkeys    and    giant    demons. 

Gunarsa  seemed  to  recapture  the  energy 

of  that  festive  outdoor  performance  as  he 

recounted  the  puppet  story  to  the  Deputy 

Minister.  The  plump,  cherubic  sixty-four 

year  old  artist  stood  up  and  acted  out 

scene  after  scene,  imitating  the  voices  of 

the  puppet  monkeys,  demons,  and  clowns 

with  a  vibrant  vocal  range  that  matched 

the  swirling  colors  of  his  paintings.   The 

Deputy  Minister  was  entranced,  leaning 


yang  tak  ubahnya  sekaku  kerah  baju  batik  cetaknya.  Nampaknya  sulit  untuk 
dipercaya  bahwa  penanganan  kasusnya  dapat  melaju  dari  sebuah  kantor 
steril  seperti  itu,  sampai  akhirnya  Gunarsa  mengeluarkan  buku  catatan 
besar  dengan  reproduksi  lukisan-lukisannya,  dan  menggunakannya  untuk 
menerangkan  kasusnya  lebih  detail.  Mengawali  Asisten  Menteri  melihat 
pada  foto-foto  dengan  sopan  seraya  mengangguk-angguk.  Gunarsa 
memperlihatkan  padanya  lukisan  yang  telah  dijadikan  barang  bukti 
di  pengadilan,  menunjuk  lebih  detail  perbedaan  lukisan-lukisan  yang 
asli  dengan  yang  dipalsukan.  Asisten  Menteri  berkomat-kamit  dengan 
beberapa  kata-kata  membesarkan  hati  dalam  senyumnya  yang  kaku. 
Kemudian  Gunarsa  membuka  halaman  buku  catatannya  ke  halaman  yang 
lain  dengan  sejumlah  lukisan-lukisan  yang  tidak  dipergunakan  dalam 
pengadilan,  yang  kelihatannya  jauh  lebih  menarik  bagi  Asisten  Menteri. 

Terdapat  pula  lukisan-lukisan  pertunjukan  Wayang  Kulit  yang  menggunakan 
episode  dipetik  ceritera  kepahlawanan  Hindu  yakni  Ramayana  sebagai 

sebuah  kiasan  menerangkan  arti  yang 
lebih  dalam  dari  peradilan  hak  cipta. 
Pertunjukan  wayang  kulit  dipentaskan 
di  lapangan  Puputan  Badung,  seminggu 
sebelum  peradilan  dilaksanakan 
(bulan  April  2007).  Para  penonton 
yang  kebanyakan  dari  penduduk  kota 
Denpasar  setahun  sebelumnya  tertawa 
terpingkal  dan  mengelukan  ki  dalang 
kondang  membayangkan  kembali  kasus 
pengadilan  moderen  ke  dalam  sebuah 
perang  seekor  kera  suci  dengan  raksasa 
besar.  Gunarsa  nampaknya  dapat 
menangkap  energi  dari  pertunjukan 
yang  diselenggarakan  di  alam  terbuka 
yang  bersifat  festa  seperti  halnya  dia 
meceriterakankembalikisahpertunjukan 
tersebut  kehadapan  Asisten  Menteri. 
Sintalnya,    seorang    malaikat,    pelukis 


24 


forward  on  the  edge  of  his  chair,  his  eyes  darting  back  and  forth  between  the 
illustrations  and  the  artist  who  was  bringing  them  to  life  in  his  office. 


At  the  heart  of  the  play  was  a  climactic  scene  in  which  the  false  was 
distinguished  from  the  true  in  a  highly  theatrical  encounter.  A  demon 
disguised  as  the  red  monkey  commander  Anggada  was  unmasked  as  an 
imposter  by  Anggada's  brother,  the  Hindu  monkey  hero  Hanuman.  The 
demon  planned  to  use  his  disguise  to  enter  the  palace  of  King  Rama  and 
murder  him,  but  Hanuman  was  suspicious  and  tested  his  authenticity 
by  speaking  to  him  in  monkey  language.  When  the  demon  failed  to 
understand  and  respond,  Hanuman  knew  he  was  a  fraud  and  chased 
him  from  the  palace  door,  saving  the  kingdom  from  destruction  by  his 
shrewd  discernment  of  the  difference  between  the  false  monkey  and  his 
true  brother. 


When  Gunarsa  reenacted  that  crucial  scene,  he  screeched  like  a  monkey 
to  demonstrate  the  efficacy  of  Hanumans  test.  The  simian  gibberish 
elicited  hearty  laughter  from  the  Deputy  Minister  who  then  began  to 
participate  in  the  performance  himself,  like  a  child  calling  out  to  the 
puppets  in  a  Punch  and  Judy  play.  "Yes,  now  Hanuman  is  the  judge,"  he 
cried.  From  that  moment,  he  was  swept  away  by  the  truth  of  the  allegory, 
and  responded  with  genuine  enthusiasm  to  Gunarsa's  arguments  about 
the  importance  of  the  case,  and  the  possibility  of  its  being  heard  on  appeal 
by  the  nations  Supreme  Court. 


After  he  had  finished  recounting  the  shadow  puppet  allegory,  Gunarsa 
returned  to  the  facts  of  the  copyright  trial.  This  time,  sensing  the  support 


berumur  enam  puluh  empat  tahun  berparas  kekanak-kanakan  berdiri 
tegak  memperagakan  adegan  demi  adegan,  menirukan  suara  wayang  kera, 
raksasa,  dan  panakawan  dengan  getaran  dan  perbedaan  tingkat  suara, 
menyatu  dengan  campuran  warna  lukisannya.  Asisten  Menteri  menjadi 
terpesona,  mendongak  ke  depan  dari  tepian  kursinya,  matanya  bergerak 
bolak-balik  diantara  ilustrasi  si  pelukis  yang  membawakan  semua  itu 
dengan  hidup  di  kantornya. 

Pada  inti  pertunjukan  tersebut  terdapat  adegan  puncak  dimana  yang  palsu 
dibedakan  dengan  yang  benar.  Seorang  Raksasa  yang  mentransformasi 
dirinya  menjadi  seorang  jenderal  kera  merah  Anggada  dibuka  kedoknya 
sebagai  penipu  lihai  oleh  kakaknya  Anggada,  seekor  kera  pahlawan  dalam 
epik  Hindu  bernama  Hanuman.  Raksasa  merencanakan  untuk  menggunakan 
penyamarannya  memasuki  istana  raja  Rama  dan  membunuhnya,  akan 
tetapi  Hanuman  menaruh  kecurigaan  dan  menguji  keasliannya  dengan 
berbicara  bahasa  kera  dengannya.  Ketika  si  Raksasa  gagal  mengertikan  dan 
menjawabnya,  Hanuman  mengetahui  bahwa  dia  itu  adalah  seorang  penipu 
seraya  mengejarnya  dari  gapura  kerajaan,  menyelamatkan  kerajaan  dari 
kehancuran  dengan  menggunakan  kepintarannya  membedakan  diantara 
'kera  palsu  dengan  saudaranya  yang  asli. 

Ketika  Gunarsa  meragakan  kembali  adegan  krusial  tersebut,  dia  mengeluarkan 
bunyi  berciut  seperti  suara  kera  sembari  mendemonstrasikan  kemanjuran 
pengujian  yang  dilakukan  oleh  Hanuman.  Bualan  monyet  menimbulkan 
ketawa  besar  dalam  hati  Asisten  Menteri  yang  kemudian  ikut  berpartisipasi 
dalam  mempertunjukan  dirinya,  tak  ubahnya  seorang  anak  kecil  memanggil- 
manggil  kehadapan  wayang  seperti  halnya  dalam  pertunjukan  Punch  dan 
Judy.  "Ya,  sekarang  Hanuman  adalah  hakimnya,"  teriaknya.  Dari  peristiwa 
tersebut,  dia  dibawa  hanyut  oleh  kebenaran  kiasan,  dan  memberi  respon 
dengan  penuh  antusias  terhadap  argumentasinya  Gunarsa  tentang  penting 
kasusnya,  dan  kemungkinannya  telah  didengar  kesungguhan  permohonannya 
oleh  Mahkamah  Agung. 

Setelah  dia  selesai  meragakan  kiasan  pertunjukan  wayang,  Gunarsa  kembali 
kepada  kenyataan  dari  perkara  hak  cipta.  Kali  ini  dia  merasakan  topangan 


25 


of  his  newly  converted  audience,  Gunarsa  did  more  than  simply  present 
the  legal  arguments. 

He  stood  up  and  re-enacted  the  courtroom  drama  as  if  it  too  were  a  shadow 
puppet  play  in  which  the  accurate  discernment  of  the  difference  between 
truth  and  falsehood  would  determine  the  fate  of  the  kingdom,  in  this  case 
Indonesia  itself  In  fact,  President  Yudhoyono  had  recently  empowered 
a  commission  to  recommend  ways  to  strengthen  Indonesia's  copyright 
laws.  The  issue  was  acknowledged  as  a  major  problem  for  the  nation's 
international  reputation  and  cultural  identity,  but  that  sense  of  urgency  had 
not  yet  filtered  down  to  local  courts,  and  Gunarsa's  case  was  the  first  in 
the  country's  history  to  attempt  to  apply  intellectual  property  rights  to  the 
works  of  visual  artists. 


Gunarsa's  spirited  performance  in  the  Deputy  Minister's  office  was  an 
attempt  to  transcend  years  of  indifference,  corruption,  and  organized  crime 
that  had  reduced  Indonesia's  copyright  laws  to  toothless  suggestions  that 
were  rarely  enforced.  By  the  end  of  his  presentation  the  artist  had  succeeded 
not  only  in  persuading  the  Deputy  of  the  timeliness  of  his  case,  he  had  even 
inspired  the  stodgy  bureaucrat  to  express  his  solidarity  in  a  dance.  After 
Gunarsa  had  demonstrated  that  the  forged  paintings  of  traditional  Balinese 
dancers  could  be  distinguished  from  the  originals  by  their  distorted  sense  of 
anatomy,  the  Deputy  Minister  extended  his  arm  in  an  imitation  of  the  forged 
painting,  tilted  sideways  in  his  chair,  and  agreed  with  the  artist's  assessment. 
"A  person  can't  dance  like  that,"  he  said  sympathetically,  joining  Gunarsa  in 
a  comically  awkward  pas  de  deux  that  relied  on  the  logic  of  the  human  body 
as  the  final  arbiter  of  truth. 


penonton  haru  yang  kiranya  bisa  memberi  jalan  keluar,  Gunarsa  melakukan 
lebih  dari  sekedar  menghadirkan  argumentasi  menurut  hukum. 

Dia  berdiri  dan  memperagakan  kembali  drama  dalam  ruang  pengadilan 
seperti  halnya  juga  sebuah  pertunjukan  wayang  kulit  dengan  penentuan 
yang  akurat  dari  perbedaan  antara  kebenaran  dan  kebohongan,  akan  dapat 
menentukan  nasib  dari  kerajaan,  dalam  hal  ini  adalah  Indonesia  sendiri. 
Pada  kenyataannya  Presiden  Yudhoyono  tak  begitu  lama  telah  menguasakan 
kepada  sebuah  komisi  pengawas  agar  merekomendasi  jalan  untuk 
memperkuat  hukum  hak  cipta  di  Indonesia.  Persoalannya  adalah  pengakuan 
sebagai  persoalan  besar  untuk  bangsa  dalam  reputasi  internasional  dan 
identitas  budaya,  akan  tetapi  rasa  mendesaknya  itu  belum  disaring  turun  ke 
dalam  peradilan  lokal,  dan  kasusnya  Gunarsa  adalah  yang  pertama  dalam 
sejarah  bangsa  untuk  berusaha  memberlakukan  hak  atas  kekayaan  intelektual 
ke  dalam  karya  visual  (lukis)  seniman. 

Spirit  pertunjukannya  Gunarsa  di  kantor  Asisten  Menteri  adalah  sebagai 
sebuah  usaha  untuk  melewati  bertahun-tahun  sikap  acuh  tak  acuh,  korupsi, 
kriminal  terorganisasi  yang  menekan  hukum  hak  cipta  di  Indonesia, 
termasuk  pada  usulan  ompong  yang  jarang  dikuatkan.  Sampai  pada  akhir 
presentasinya  si  pelukis  telah  berhasil  tidak  hanya  membujuk  Asisten  Menteri 
dari  ketepatan  waktu  untuk  kasusnya,  dia  bahkan  mengilhami  birokrasi  yang 
kurang  tertarik  untuk  menyatakan  kesetiakawanannya  ke  dalam  sebuah 
tarian.  Setelah  Gunarsa  mendemonstrasikan  semua  lukisan  palsu  tentang 
penari  tradisional  Bali  dapat  dibedakan  dari  yang  asli  melalui  perasaan 
dari  anatominya  yang  dirusakkan.  Asisten  Menteri  menjulurkan  tangannya 
ke  dalam  tiruan  dari  lukisan  yang  dipalsukan,  diangkat  menyamping  pada 
kursinya  dan  setuju  dengan  penilaian  si  seniman.  "Seseorang  tidak  akan  bisa 
menari  seperti  itu,"  kata  dia  penuh  simpatik,  menemani  Gunarsa  di  dalam 
kekakuan  lelucon  pas  de  deux  yang  secara  diam-diam  percaya  dengan  logika 
dari  tubuh  manusia  sebagai  penguasa  akhir  akan  kebenaran. 


27 


The  encounter  between  the  artist  and  the  Deputy  Minister 
was  extraordinary  in  many  ways.  Not  only  did  it  culminate 
in  an  unlikely  dance  duet,  but  it  also  marked  the  meeting  of 
two  distinctive  Indonesian  cultures,  the  Balinese  Hinduism 
of  Nyoman  Gunarsa,  and  the  Javanese  Muslim  faith  of  the 
Deputy  Minister.  Indonesia  has  the  world's  largest  Muslim 
population,  but  as  the  globes  fourth  most  populous  nation 
it  is  also  home  to  a  diverse  spectrum  of  people  who  speak 
hundreds  of  different  languages  and  live  on  thousands  of 
far  flung  islands. 


Gunarsa  and  the  Deputy  Minister  did  not  speak  to  each 
other  in  their  respective  native  tongues  (Balinese  and  Javanese),  but  used 
Indonesian  instead,  the  official  lingua  franca  of  the  Indonesian  archipelago. 
More  effective  than  a  common  language  in  bringing  them  together  was 
their  common  passion  for  wayang  kulit  shadow  puppet  plays.  Although  the 
Javanese  and  Balinese  shadow  puppets  are  performed  in  different  styles  they 
share  a  set  of  plots  and  characters  revolving  around  the  Hindu  epic  stories 
of  the  Ramayana  and  Mahabhrata.  Javanese  Muslims  do  not  regard  the 
stories  as  religious,  but  consider  them  to  be  part  of  their  cultural  heritage, 
and  in  fact,  before  the  thirteenth  century  most  Javanese  practiced  a  form  of 
Hindu-Buddhist-Animism  that  is  similar  to  the  religion  practiced  today  in 
Bali.  The  shadow  puppet  plays  are  one  of  the  last  vestiges  of  their  shared 
history,  but  because  few  Balinese  understand  the  Javanese  language  used  in 
Javanese  shadow  plays  and  most  Javanese  do  not  understand  the  Balinese 
language  used  in  Balinese  shadow  plays,  the  two  traditions  remain  distant 
to  their  respective  admirers. 


Pertemuan  diantara  seniman  dengan  Asisten  Menteri  dalam 
banyak  hal  adalah  sangat  luar  biasa.  Tidak  hanya  dilakukan 
dalam  puncak  tak  ubahnya  bagaikan  tarian  duet,  akan 
tetapi  juga  pertanda  pertemuan  dari  dua  budaya  Indonesia 
yang  berlainan  yakni  Nyoman  Gunarsa  sebagai  orang  Bali 
beragama  Hindu  dengan  Asisten  Menteri  sebagai  orang 
Jawa  penganut  kepercayaan  agama  Islam.  Indonesia  adalah 
Negara  terbesar  yang  berpopulasi  penganut  kepercayaan 
menurut  agama  Islam,  selain  itu  sebagai  Negara  keempat 
terbesar  populasinya  didunia  dan  juga  rumah  orang-orang 
yang  memiliki  spektrum  berbeda,  berbahasa  dengan  ratusan 
bahasa  yang  berbeda,  dan  tinggal  di  dalam  ribuan  pulau- 
pulau  bertebaran  berjauhan. 


Gunarsa  dengan  Asisten  Menteri  keduanya  tidak  berbicara 
satu  sama  lain  dengan  bahasa  daerahnya  (Bali  dan  Jawa),  akan  tetapi 
menggunakan  bahasa  Indonesia,  yakni  bahasa  nasional,  bahasa  penghubung 
untuk  Seantero  kepulauan  Indonesia.  Jauh  lebih  efektif  dibanding  dengan 
menggunakan  bahasa  umum  dalam  membawa  mereka  bersama  adalah 
kegemaran  untuk  menonton  pertunjukan  wayang  kulit.  Kendati  pertunjukan 
wayang  kulit  Jawa  dan  Bali  memiliki  gaya  yang  berbeda  keduanya 
menggunakan  perlengkapan  untuk  alur  ceriteranya  dan  karakter  dari 
masing-masing  tokoh  dari  seputar  epik  Hindu  yakni  ceritera  Ramayana  dan 
Mahabharata.  Orang  Islam  Jawa  menghormati  ceritera  tersebut  tidak  sebagai 
bagian  dari  agamanya,  akan  tetapi  lebih  mempertimbangkannya  sebagai 
bagian  dari  warisan  budaya  mereka,  yang  pada  kenyataannya  sebelum  abad 
ke  tiga  belas  kebanyakan  orang  Jawa  menganut  bentuk  kepercayaan  dari 
Hindu  -  Buddha  -  dan  kepercayaan  Animisme  yang  memiliki  kesamaan 
dengan  agama  yang  masih  dipraktekkan  sampai  sekarang  ini  di  Bali. 
Pertunjukan  wayang  kulit  adalah  salah  satu  kebudayaan  tradisi  yang  masih 
bertahan  dalam  membagi  sejarah  bersama,  akan  tetapi  oleh  karena  hanya 
sedikit  orang  Bali  mengerti  Bahasa  Jawa  yang  digunakan  dalam  pertunjukan 
wayang  Jawa  dan  kebanyakan  orang  Jawa  tidak  mengerti  bahasa  Bali  yang 
digunakan  dalam  pertunjukan  wayang  Bali,  kedua  dari  tradisi  ini  tetap 
memiliki  jarak  akan  kekaguman  dan  rasa  hormat  mereka. 


28 


29 


•,-'*«^ 


The  exchange  between  Gunarsa  and  the  Deputy  Minister  revealed  more 
than  a  simple  enthusiasm  for  wayang.  It  demonstrated  the  deep  connection 
they  both  feel  exists  between  the  ethical  values  expressed  in  wayang  and  the 
codes  of  conduct  all  people  are  expected  to  follow,  regardless  of  religion.  In 
this  case  a  complex  legal  issue  that  had  not  been  decided  with  clarity  in  the 
courts  was  communicated  effectively  through  the  allegorical  language  of 
wayang  shadow  puppets.  The  actions  of  Rama,  Hanuman,  his  monkey  army, 
and  their  demonic  adversaries  eliminated  the  need  for  legal  arguments.  The 
Balinese  artist  and  the  Javanese  bureaucrat  understood  each  other  perfectly, 
because  in  both  of  their  cultures  the  puppets  embody  the  struggles  between 
good  and  evil,  faith  and  betrayal,  or  falseness  and  truth,  that  are  at  the  core 
of  humanity's  efforts  to  live  together  in  a  just  society.  Some  might  say  that 
wayang  offers  a  shadow  legal  code  that  is  philosophically  more  compelling, 
persuasive,  and  accessible  than  the  formal  laws  of  government.  Many  of 
Indonesia's  presidents  have  professed  a  deep  love  of  wayang,  including 
the  founding  president  Sukarno,  who  was  named  after  a  wayang  character 
(Kama),  and  the  current  president,  Yudhoyono,  who 
according  to  the  minister  of  culture,  Jero  Wacik,  grew 
up  performing  wayang  stories  with  palm  leaves  as  his 
make-shift  puppets.  A  few  months  after  the  wayang 
play  about  Gunarsa's  trial  was  performed  in  Bali,  a 
former  Indonesian  president,  Abdurrahman  Wahid, 
also  known  by  his  nickname  "Gus  Dur,"  commissioned 
a  Javanese  wayang  play  to  allegorically  tell  the  story 
of  how  he  had  been  slandered  by  Jusuf  Kalla,  who 
was  then  vice-president.  Wahid  had  threatened  to 
take  the  case  to  court,  but  the  wayang  plot  about  the 
misfortunes  that  befell  a  kingdom  after  it's  hero  had 
been  insulted,  was  more  effective  than  an  extended 
legal  battle  in  expressing  his  side  of  the  story.  Furthermore  he,  and  the 
thousands  of  supporters  who  gathered  on  a  field  near  his  Jakarta  home  to 
watch  the  play,  experienced  the  vicarious  pleasure  of  watching  the  hero's 
adversary  apologize. 


Pertukaran  diantara  Gunarsa  dan  Asisten  Menteri  diungkapkan  lebih  dari 
sekedar  antusias  pada  wayang.  Itu  menunjukkan  hubungan  yang  sangat 
dalam  diantara  mereka  berdua,  merasakan  keberadaannya  akan  nilai-nilai 
etika  yang  diekspresikan  dalam  wayang  dan  aturan  tingkah  laku  untuk  semua 
orang  yang  diharapkan  untuk  diikuti,  dengan  mengabaikan  agamanya. 
Dalam  kasus  ini  permasalah  menurut  hukum  yang  kompleks  belum  pernah 
diputuskan  dengan  kejelasan  di  dalam  persidangan,  telah  dikomunikasikan 
dengan  efektif  melalui  bahasa  kiasan  dari  wayang  kulit.  Perlakuan  sang 
Rama,  Hanuman,  dengan  pasukan  keranya,  beserta  musuhnya  yang  bersifat 
keraksasaan,  mengabaikan  kebutuhan  akan  argumentasi  berdasarkan 
undang-undang.  Seniman  Bali  dan  birokrat  orang  Jawa  mengerti  satu  sama 
lain  dengan  sempurna,  oleh  karena  dikedua  dari  budaya  mereka  yakni 
pada  budaya  wayang,  menggambarkan  pergumulan  antara  baik  dengan 
jahat,  beriman  dengan  pengkhianat,  kepalsuan  dengan  kebenaran,  yang 
keberadaannya  adalah  pada  inti  usaha  manusia  untuk  hidup  bersama 
di  masyarakat.  Mungkin  beberapa  orang  mengatakan  bahwa  wayang 
menawarkan  bayangan  aturan  perundang-undangan 
yang  berupa  filsafat  lebih  mendorong,  membujuk, 
dan  dapat  diakses,  dibanding  dengan  hukum  formal 
pemerintahan.  Beberapa  dari  Presiden  Indonesia 
menyatakan  kecintaannya  yang  mendalam  terhadap 
wayang,  termasuk  presiden  pertamanya  yakni 
Sukarno  yang  namanya  diambil  dari  nama  karakter 
wayang  (Kama),  dan  presiden  sekarang  Yudhoyono 
yang  menurut  Menteri  Kebudayaan  dan  Pariwisata 
Jero  Wacik  beliau  tumbuh  sebagai  dalang  dengan 
mempertunjukkan  ceriteranya  dengan  wayang 
terbuat  dari  daun  palem.  Beberapa  bulan  setelah 
pertunjukan  wayang  tentang  pengadilannya  Gunarsa 
yang  dipentaskan  di  Bali,  mantan  Presiden  Indonesia  Abdulrrahman 
Wahid  yang  juga  dikenal  denga  nama  kecilnya  "Gus  Dur,"  menugaskan 
mempertunjukkan  wayang  Jawa  membawakan  ceritera  secara  simbolik 
bagaimana  dia  telah  difitnah  oleh  wakil  presiden  Jusuf  Kalla.  Wahid  telah 
diancam  untuk  membawa  masalahnya  ke  pengadilan,  akan  tetapi  alur 
pertunjukan  wayang  tentang  kemalangan  yang  menimpa  sebuah  kerajaan 


31 


setelah  pahlawannya  dicacimaki,  jauh  lebih  efektif  ketimbang  dengan 
rentangan  perseteruan  perang  resmi  dalam  mengekspresikan  sisi  beliau  di 
dalam  ceriteranya.  Lebih  jauh  lagi  beliau  dengan  ribuan  pendukungnya 
berkumpul  di  tanah  lapang  didekat  rumahnya  di  Jakarta  untuk  menyaksikan 
pertunjukan  tersebut,  menyaksikan  langsung  sepertinya  mengalami  sendiri 
kesenangan  menyaksikan  musuh  dari  sang  pahlawannya  meminta  maaf 


Both  the  Javanese  and  BaHnese  wayang  shadow  puppet  stages  are  structured 

in  a  way  that  emphasizes  the  dynamic  tension  between  contradictory 

elements  of  existence.  Good  and  Evil.  Darkness  and  Light. 

The  High  and  the  Low.  The  True  and  the  False.  In  the  world 

of  wayang,  as  in  the  philosophy  of  life  embodied  in  the 

Hindu  epics  that  comprise  its  repertoire,  these  oppositional 

forces  are  inextricably  entwined  with  one  another.     In 

the  old  Javanese  literary  language  known  as  Kawi,  the 

simultaneously  conflicting  and  interdependent  nature  of 

these  contradictory  forces  is  called  ruabineda.    Although 

the  old  Javanese  Kawi  language  is  no  longer  spoken,  most 

of  the  Hindu  literature  used  as  source  material  for  the 

shadow  plays  in  Java  and  Bali  is  written  in  Kawi,  so  shadow 

puppet  masters  on  both  islands  still  study  it,  and  often  sing 

quotations  from  old  poetry  in  the  original  Kawi  phrases. 


The  physical  manifestations  of  ruabineda  can  be  seen  in  the  way  a  wayang 
puppet  play  is  dramatized.  The  heroic  characters  representing  the  forces  of 
good,  faithfulness,  and  truth  are  hned  up  on  the  right  side  of  the  shadow 
puppet  screen.  The  villains  who  represent  the  forces  of  evil,  betrayal,  and 
falseness  are  lined  up  on  the  left  side  of  the  screen.  But  on  each  side  are 
characters  that  embody  the  opposite  of  what  they  appear  to  be.  The  Balinese 
clown  servant,  Sanggut,  for  instance  who  always  accompanies  the  villainous 
antagonists  from  the  left  side  of  the  screen,  often  argues  with  his  partner 


32 


Baik    wayang    Bali    maupun    wayang    Jawa    pementasannya    disusun 

berdasarkan  cara  yang  penekanan  dinamikanya,  ketegangannya, 
berunsurkan  dari  elemen  yang  bertentangan  akan 
keberadaan  Baik  dan  Jahat.  Kegelapan  dan  Terang.  Tinggi 
dan  Rendah.  Kebenaran  dan  Kepalsuan.  Di  dalam  dunia 
wayang  seperti  halnya  di  dalam  filsafat  hidup  perwujudan 
di  dalam  epik  Hindu  yang  meliputi  repertoarnya,  semua 
dari  kekuatan  yang  bertentangan  ini  adalah  tidak  mungkin 
untuk  dipisahkan  karena  satu  sama  lainnya  terjalin  erat. 
Di  dalam  literatur  bahasa  Jawa  Kuno  yang  dikenal  dengan 
bahasa  Kawi,  keduanya  berbarengan  secara  alami  unsur 
yang  berlawanan  dan  saling  ketergantungan  dari  kekuatan 
yang  bertentangan  ini  disebut  ruabineda.  Kendatipun 
Bahasa  Jawa  Kuno  tidak  lagi  menjadi  bahasa  pergaulan, 
kebanyakan  literatur  Hindu  menggunakannya  sebagai 
sumber  materi  untuk  pertunjukan  wayang  kulit  di  Jawa  dan 
Bali  ditulis  dalam  bahasa  Kawi,  dengan  demikian  dalang  di 

kedua  daerah  ini  masih  mempelajarinya,  dan  sering  menyanyikan  petikan 

dari  puisi  frase  kawinya  yang  asli. 

Manifestasi  pisik  dari  ruabineda  dapat  dilihat  di  dalam  dramatisasi 
kemasan  pertunjukan  wayang  kulit.  Karakter-karakter  pahlawan  ksatria 
yang  menggambarkan  sifat  baik,  kesetiaan,  dan  kebenaran  adalah  berjejer 
di  sisi  sebelah  kanan  kelir.  Penjahat  sebagai  perlambang  dari  kekuatan 
kejam,  penghianat,  dan  kepalsuan  adalah  berjejer  disebelah  kiri  kelir. 
Namun  masing-masing  sisi  adalah  karakter-karakter  sebagai  perwujudan 
pertentangan  dari  apa  yang  mereka  munculkan.  Panakawan  para  abdi 
dalam  wayang  Bali,  seperti  Sangut  contohnya  yang  selalu  mengikuti 


33 


FAKE  PAINTING 
LUKISAN  PALSU 


Nyoman  Sumerta,  of  the  "Sumerta  Gallery"  in  Teges,  Ubud,  asked  about 

the  authenticity  of  this  painting  after  receiving  it  from  Pak  Kristiyono. 

Lukisan  ini  didapat  dari  Pak  Kristiyono  yang  menanyakan  keaslian  lukisan  tersebut 

melalui  saudara  Nyoman  Sumerta  dari  "Sumerta  Gallery"  Teges  Ubud. 


34 


NYOMAN  GUNARSA'S  TRUE  PAINTING 
LUKISAN  ASLI  NYOMAN  GUNARSA 


This  authentic  painting  by  Nyoman  Gunarsa  is  from  the  collection  of  Made  Suwitha. 
Lukisan  asli  Nyoman  Gunarsa  yang  telah  dikoleksi  Made  Suwitha  (sebagai  terdakwa). 


Delem,  in  favor  of  the  positive  values  represented  by  the  protagonists  who 
originate  on  the  right  side  of  the  screen.  The  duo  of  Delem  and  Sanggut  is 
a  manifestation  of  Ruabineda  in  comic  form,  a  pair  of  opposites  who  are 
in  constant  conflict  with  one  another  while  at  the  same  time  inseparable. 
Their  low  social  status  is  also  in  clear  contrast  to  the  high  social  status  of 
their  masters,  but  again  the  opposition  conceals  another  paradox.  In  many 
situations  the  lowly  servants  are  revealed  through  their  joking  and  comic 
observations  to  be  wiser  than  their  aristocratic  masters,  who  need  and  rely 
on  them  in  spite  of  their  lowly  status. 


kebengisan  tokoh  antagonis  yang  kejam  dari  sisi  sebelah  kiri  kelir,  sering 
berargumentasi  dengan  pasangannya  Delem  dalam  kebajikan  sebagai  nilai- 
nilai  positif  yang  dihadirkan  oleh  tokoh  protagonis  yang  asalnya  dari  sisi 
sebelah  kanan  kelir.  Pasangan  Delem  dengan  Sangut  adalah  manifestasi 
dari  ruabineda  di  dalam  bentuk  sepasang  pelawak  yang  bertentangan, 
selalu  konflik  satu  sama  lain  dan  dalam  waktu  yang  bersamaan  mereka  tak 
terpisahkan.  Sosial  status  mereka  yang  rendah  juga  jelas  mencerminkan 
kontras  dengan  junjungannya  yang  memiliki  sosial  status  tinggi,  kembali 
disini  oposisi  merahasiakan  paradoksi  yang  lain.  Di  dalam  beberapa 
situasi  pelayan  yang  rendah  mengungkapkan  pesannya  melalui  humor  dan 
badutan  mereka  menjadi  lebih  bijaksana  dibanding  dengan  aristokrasi 
tuannya,  yang  memerlukan  dan  mengandalkan  mereka  walau  status 
mereka  terbilang  rendah. 


The  opposition  between  darkness  and  light  is  of  course  built  into  the  core 
technique  of  a  shadow  puppet  play,  where  the  images  on  the  screen  are 
composed  of  black  silhouettes  created  by  the  absence  of  the  light  source 
that  illuminates  the  rest  of  the  screen  and  makes  the  characters  visible.  The 
darkness  would  not  exist  without  the  light  and  vice  versa,  and  the  images 
on  the  screen  would  not  be  possible  without  the  positioning  of  light  and 
darkness  in  contrast  to  one  another.  These  paradoxes  are  sometimes  joked 
about  by  the  clowns,  often  in  situations  where  electricity  failures  temporarily 
halt  the  play.  Some  wayang  plays  are  still  performed  with  the  light  of  a  flame 
from  a  coconut  oil  lamp,  but  many  now  use  electric  light  to  enhance  the 
shadows  and  create  special  effects. 


Metaphorically  the  light  represents  the  truth  and  the  darkness  represents 
what  is  false.  Just  as  the  villains  on  the  left  side  of  the  screen  represent 
characters  who  have  chosen  false  paths  (for  the  most  part)  as  opposed  to 
the  true  paths  chosen  by  the  characters  on  the  right  side  (again,  for  the  most 
part,  but  never  entirely).  These  conflicting  forces  need  each  other  to  exist 
so  that  truth  emerges  in  contrast  to  the  falseness  that  opposes  it,  just  as  the 
light  is  visible  in  contrast  to  the  darkness  that  shadows  it. 


Pertentangan  diantara  kegelapan  dan  terang  adalah  rangkaian  teknik  inti 
yang  dibangun  pada  pertunjukan  wayang  kulit,  dimana  khayalan  yang 
muncul  di  layar,  dikomposisikan  dari  siluet  hitam  yang  dibentuk  oleh 
sumber  sinar  yang  tertutup  penyinarannya  di  layar,  sehingga  karakter  bisa 
muncul.  Kegelapan  tidak  akan  muncul  tanpa  sinar,  demikian  sebaliknya, 
dan  bayangan  di  layar  tidak  bakalan  muncul  tanpa  kegelapan  dan  terang, 
yang  dapat  memposisikan  kontras  satu  sama  lain.  Berlawanan  asas 
terkadang  dijadikan  lelucon  oleh  panakawan,  memanfaatkan  situasi  ketika 
listrik  mati  untuk  sementara  manakala  pertunjukan  berlangsung.  Beberapa 
pertunjukan  wayang  masih  tetap  dimainkan  dengan  lampu  belencong 
berminyak  kelapa,  dan  beberapa  diantaranya  menggunakan  lampu  listrik 
untuk  membentuk  bayangan  dan  menciptakan  efek-efek  tertentu. 

Secara  metapora  sinar  melambangkan  kebenaran  dan  kegelapan 
melambangkan  kesalahan.  Seperti  halnya  para  penjahat  dari  sisi  sebelah 
kiri  layar  mewakili  tokoh-tokoh  yang  memilih  jalan  salah  (pada  kebanyakan 
bagian)  sebagai  oposisinya  untuk  jalan  yang  benar  dipilih  oleh  tokoh-tokoh 
yang  berada  di  sisi  sebelah  kanan  (lagi,  pada  kebanyakan  bagian,  tidak 
pernah  untuk  seluruhannya).  Pertentangan  kekuatan  seperti  ini  memerlukan 
keberadaan  untuk  keduanya  dengan  demikian  kebenaran  muncul  sebagai 


35 


These  philosophical  roots  of  ruabineda  are  embedded 

in   the   literature   and   performance   of  wayang,   but 

for  the   audience,   what   is   important   is   how  these 

conflicting  elements   are  portrayed  in  the  dramatic 

action  of  the  plays.    As  was  evident  in  the  interaction 

between  Gunarsa  and  the  Deputy  Minister,  wayang 

enthusiasts  get  wrapped  up  in  the  ethical  dilemmas  of 

the  characters,  even  though  they  are  only  shadows  on 

the  screen.   As  shadows  they  can  make  visible  what  is 

usually  invisible.  Their  otherworldly  appearance  makes 

the  flickering  silhouettes  an  appropriate  medium  for 

conveying  messages  from  the  invisible  world  of  spirits, 

gods,  demons,  and  deceased  ancestors.     In  the  old 

Javanese  language  this  invisible  world  is  called  niskala 

and  it  exists  in  contrast  to  the  visible  world  of  everyday  life  that  is  called 

sekala.    The  puppets  in  a  wayang  play  give  form  to  the  struggles  of  the 

invisible  world,  enabling  the  audience  to  see  connections  between  their 

own  lives  and  the  examples  played  out  in  shadows  on  the  screen. 


This  story  of  Gunarsa's  copyright  trial  and  the  wayang  plays  it  inspired  is  a 
contemporary  example  of  how  the  invisible  world  of  the  shadow  puppets 
still  interacts  with  the  visible  world  of  artists,  lawyers,  judges,  politicians, 
and  criminals.  For  Gunarsa  the  search  for  justice  in  the  visible  world  of 
sekala  is  inextricably  linked  to  the  search  for  justice  in  the  invisible  world  of 
niskala.  As  his  wife,  Indrawati,  said  when  she  and  her  husband  were  leaving 
the  office  of  the  Deputy  Minister,  "We  are  sure  that  dharma  will  defeat 
adharmar  Indrawati  was  born  in  Java,  and  she  said  this  after  recounting 
yet  another  fable  of  the  invisible  world  to  the  Deputy  Minister,  this  time 


kontras  dari  kejahatan  yang  mengoposisikannya,  sama 
halnya  terang  itu  muncul  akibat  dari  kontras  kegelapan 
yang  membayanginya. 

Akar  filsafat  ruabineda  adalah  terpancang  di  dalam 
literature  dan  pertunjukan  wayang,  akan  tetapi  yang 
penting  bagi  penonton  adalah  bagaimana  ketegangan 
elemen-elemen  ini  digambarkan  dalam  dinamika  laku 
dalam  pertunjukan  tersebut.  Adalah  menjadi  bukti 
dalam  interaksinya  antara  Gunarsa  dengan  Asisten 
Menteri,  kegemaran  mereka  akan  wayang  dapat 
membungkus  etika  dilema  dari  berbagai  karakter, 
walaupun  itu  hanya  dalam  bayangan  di  kelir.  Melalui 
bayang-bayang  semua  dapat  dibuat  menjadi  nyata, 
apa-apa  yang  biasanya  tidak  nyata.  Kehadiran  dunia 
lain  dari  mereka  terbuat  dalam  getaran  bayangan  gelap 
sebagai  media  yang  sangat  cocok  untuk  menyampaikan 
pesan  dari  dunia  mayanya  berbagai  spirit,  dewa-dewa, 
raksasa,  dan  para  nenek  moyang  pendahulu.  Di  dalam  bahasa  Jawa  Kuno 
dunia  tak  nyata  ini  disebut  Niskala  dan  keberadaan  kontrasnya  adalah 
untuk  dunia  nyata  yakni  dunia  kehidupan  sehari-hari  disebut  Sekala. 
Dalam  pertunjukan  wayang  kulit,  wayang  memberi  bentuk  kepada 
pergumulan  dari  dunia  maya  sehingga  memungkinkan  penonton  dapat 
melihat  hubungan  diantara  kehidupan  mereka  dan  contoh-contoh  yang 
dimainkan  di  dalam  bayangan  di  layar. 

Ceritera  dari  kasus  pengadilan  hak  ciptanya  Gunarsa,  pertunjukan 
wayangk/i  yang  menghilhami  sebagai  sebuah  contoh  kekinian  bagaimana 
dunia  maya  dari  pertunjukan  wayang  tetap  berinteraksi  dengan  dunia 
nyatanya  para  seniman,  hakim,  politikus,  dan  criminal.  Bagi  Gunarsa 
pencarian  keadilan  di  dunia  nyata  (sekalaj  adalah  tidak  memungkinkan 
untuk  melepaskan  diri  dalam  hubungan  pencarian  keadilan  di  dunia 
maya  fniskalaj.  Seperti  halnya  dengan  istrinya,  Indrawati,  mengatakan 
manakala  dia  dengan  suaminya  meninggalkan  kantor  Asisten  Menteri, 
"Kami    berkeyakinan    bahwa    Dharma   akan    menaklukkan   Adharma." 


36 


a  Javanese  story  of  murder,  ghosts,  and  retribution.  Dharma  is  an  old 
Javanese  word  synonymous  with  virtue,  justice,  civic  duty,  and  truth,  while 
adharma  is  its  opposite.  Her  statement  to  the  minister  about  dharmas 
triumph  over  adharma  was  her  way  of  using  the  language  of  wayang  to 
support  her  husband's  faith  that  in  life,  as  in  wayang,  the  true  will  triumph 
over  the  false. 


Indrawati  lahir  di  Jawa  dan  katanya,  setelah  menceriterakan  ini,  masih  ada 
kisah  dari  dunia  tidak  nyata  dari  Asisten  Menteri,  kali  ini  adalah  ceritera 
Jawa  tentang  pembunuhan,  hantu,  dan  ganti  rugi.  Dharma  adalah  istilah 
dalam  bahasa  Jawa  kuno  memiliki  padanan  dengan  kata  kebaikan,  keadilan, 
tugas  kewarganegaraan,  dan  kebenaran,  sementara  Adharma  adalah 
kebalikannya.  Pernyataannya  kehadapan  menteri  tentang  kemenangan 
dharma  di  atas  adharma  adalah  caranya  menggunakan  bahasa  wayang 
untuk  menopang  perjuangan  suaminya  dalam  kehidupan  nyata,  seperti 
halnya  di  dalam  wayang,  bahwa  kebenaran  akan  memperoleh  kemenangan 
di  atas  kebohongan. 


37 


■^'oP/^  fCAAfirAi 


ART  ON  TRIAL: 

Sekala  and  Niskala 


Seni   di  Sidang: 

Sekala  dan  Niskala 


39 


FAKE  PAINTING 
LUKISAN  PALSU 


NYOMAN  GUNARSA'S  TRUE  PAINTING 
LUKISAN  ASLI  NYOMAN  GUNARSA 


This  falsified  painting,  brought  by  Bapak  Kristiyono  to  the  Sumerta  Gallery  and  then  shown 

to  Nyoman  Gunarsa  for  verification,  was  used  as  evidence  in  court. 
Lukisan  tiruan  (palsu)  ini  didapat  dari  Bapak  Kristiyono,  kemudian  dibawa  ke  Sumerta  Gallery 
untuk  kemudian  ditunjukkan  kepada  saya  (Nyoman  Gunarsa),  yang  kini  menjadi  barang  bukti. 


This  authentic  painting  by  Nyoman  Gunarsa  is  in  the  Collection  of  the  Museum  of 

Balinese  Classical  Art. 

Lukisan  asli  Nyoman  Gunarsa,  koleksi  Museum  Seni  Lukis  Klasik  Bali. 


40 


"I  believe  this  life  of  ours  is  like  a  wayang  play.   Wayang  is  a  light,  an 
illumination,  that  gives  us  a  model  of  how  to  look  for  the  truth." 
-  I  Nyoman  Gunarsa 


Once  a  week  for  several  months  in  the  spring  and 

summer  of  2007  the  State  Court  in  Bali's  capitol 

city  of  Denpasar  was  flooded  with  art.    Early  in 

the  morning,  while  the  main  hall  was  still  empty, 

workers  carried  in  more  than  a  dozen  framed 

canvases  and  lined  them  up  against  the  walls 

behind  the  judges'  bench  and  behind  the  tables 

for    the    prosecuting    and    defending    attorneys. 

Some  of  these  paintings  were  the  work  of  Nyoman 

Gunarsa.    Others  were  false  copies  that  bore  his 

name.    The  installation  of  these  artworks  echoed 

the  preparations  that  take  place  before  a  wayang 

kulit  shadow  play.  The  puppet  master's  assistants  line  up  the  characters  on 

two  opposing  sides  of  the  screen,  preparing  the  audience  for  the  inevitable 

clash  between  good  and  evil,  truth  and  falsehood,  that  comes  at  the  climax 

of  every  story.   In  this  case  the  paintings  were  the  main  characters  in  the 

conflict  that  was  about  to  unfold  in  court.  The  prosecuting  attorneys  would 

accuse  the  defendant,  Sinyo,  of  selling  falsified  paintings  in  his  gallery.  His 

defense  attorneys  would  argue  that  the  paintings  might  be  authentic,  or 

that  in  any  case  Sinyo  thought  they  were  when  he  offered  them  for  sale.  The 

genuine  paintings  in  the  courtroom  were  not  separated  from  the  forgeries  as 

they  might  have  been  if  they  actually  were  characters  in  a  wayang  play,  but 

the  battle  lines  between  the  opposing  sides  were  clearly  delineated,  and  the 

vivid  presence  of  the  painted  figures  surrounding  the  human  antagonists 

heightened  the  sense  of  drama  in  the  courtroom. 


Although  the  judge's  chairs  were  on  raised  platforms  some  of  the  six-foot 


"Saya  percaya  hidup  kita  ini  tak  ubahnya  ibarat  pertunjukan  Wayang. 
Wayang  adalah  sebuah  cahaya,  yang  menyinari,  yang  memberi  kita 
sebuah  model  bagaimana  melihat  pada  sebuah  kebenaran." 
- 1  Nyoman  Gunarsa 

Suatu  ketika  seminggu  untuk  beberapa  bulan 
pada  musim  panas  dan  penghujan  di  tahun  2007 
Pengadilan  Negeri  Bali  di  ibukota  Denpasar 
dibanjiri  oleh  benda  seni.  Paginya  ruangan 
utamanya  masih  dalam  keadaan  kosong,  pekerja 
membawa  lebih  dari  selusin  lukisan  dalam  kanvas 
berbingkai  dijejerkan  ditembok  dibelakang  para 
hakim,  dibelakang  meja  jaksa  penuntut  umum,  dan 
pengacara  pembelaan.  Beberapa  dari  lukisan-lukisan 
ini  adalah  karya  Nyoman  Gunarsa.  Selebihnya 
duplikat  palsu  dengan  tanda  tangannya.  Instalasi 
dari  karya  seni  ini  menggaungkan  persiapan  yang 
berlangsung  seperti  halnya  sebelum  pertunjukan  wayang  kulit.  Pembantu 
dalang  (katengkongj  menjejerkan  tokoh-tokoh  dalam  wayang  di  dua  sisi 
yang  berseberangan  di  layar,  mempersiapkan  penonton  untuk  perselisihan 
yang  tak  bisa  diacuhkan  diantara  baik  dan  buruk,  kebenaran  dan  kepalsuan 
yang  akan  muncul  pada  klimaks  setiap  ceritera.  Dalam  hal  ini  lukisan 
adalah  tokoh-tokoh  utamanya  dalam  konflik  yang  akan  dibentangkan  dalam 
pemeriksaan  pengadilan.  Jaksa  penuntut  umum  akan  menuduh  terdakwa, 
Sinyo,  menjual  lukisan  palsu  pada  galerinya.  Pengacara  pembelanya  akan 
berargumentasi  bahwa  lukisan  itu  adalah  asli,  atau  dalam  beberapa  kasus 
mengira  adalah  memang  demikian  adanya,  ketika  dia  menjajakan  itu  untuk 
dijual.  Lukisan-lukisan  asli  di  dalam  ruang  pengadilan  tidak  dipisahkan 
dengan  yang  dipalsukan  seperti  halnya  semuanya  adalah  tokoh-tokoh 
dalam  dunia  pewayangan,  akan  tetapi  garis  perseteruan  antara  sisi  yang 
berseberangan  sangat  jelas  digambarkan  dan  kehadirannya  yang  hidup  dari 
tokoh-tokoh  yang  digambarkan  diseputar  tokoh  antagonis  mempertinggi 
rasa  dari  dramanya  di  dalam  ruang  pengadilan. 

Walaupun  kursinya  hakim  dalam  posisi  ditinggikan  di  atas  panggung 


41 


high  paintings  loomed  over  their  heads  when  they  sat  down  to  convene 
the  trial.  Most  of  the  artwork  depicted  traditional  Balinese  dancers, 
captured  in  mid-step,  as  if  they  were  about  to  leap  oflFthe  canvas 
into  the  courtroom.  The  figures  wore  brightly  colored  sarongs  and 
flowered  headdresses  that  filled  the  otherwise  somber  courtroom 
with  rainbows  of  visual  energy.  There  had  always  been  small 
hints  of  Bali's  Hindu  traditions  in  the  courtroom:  the  tiny  shrine 
of  incense  and  offerings  nailed  onto  the  back  wall;  a  cluttered 
cabinet  filled  with  law  books  and  plastic  bottles  of  holy  water;  the  old 
Javanese  words  'dharma  yukti  (Virtue  and  truth')  engraved  in  the 
wooden  seal  under  the  judge's  chair;  and  the  tiny  yellowing  cloth  that 
hung  over  the  entrance  with  faded  hand-drawn  symbols  indicating 
that  the  room  had  been  ritually  protected  from  the  disruptive  forces 
of  the  invisible  world.  The  significance  of  these  small  magical  talismans 
was  magnified  many  times  over  by  the  invasion  of  the  life-sized  painted 
dancers,  who  represented  performers  at  sacred  ceremonies  that  are  at  the 
heart  of  Bali's  cultural  and  religious  identity.  These  sacred  traditions  would 
be  on  trial  along  with  the  art. 


rendah  beberapa  dari  lukisan-lukisan  yang  berketinggian  180  cm 
terbayang  di  atas  kepala  mereka  ketika  mereka  duduk  dalam 
berkumpul  untuk  pemeriksaan  pengadilan.  Kebanyakan  dari 
karya  seni  tersebut  menggambarkan  penari  Bali  tradisional, 
yang  dapat  ditangkap  seakan  ketengah  melangkah  sepertinya 
dia  hendak  menari  keluar  dari  kanvas  ke  dalam  ruang 
pengadilan.  Figur-figur  yang  mengenakan  kain  sarung  dengan 
warna  cerah  dan  mahkota  berhias  bunga  yang  memenuhi  bahkan  membuat 
suram  ruang  pengadilan  dengan  pelangi  dari  energi  visual.  Selalu  ada  isyarat 
kecil  dalam  tradisi  Bali  Hindu,  juga  terdapat  dalam  ruang  pengadilan  yakni 
tempat  pemujaan  kecil  fplangkiranj  tempat  upakara  dan  dupa  dibakar  yang 
dipakukan  ke  tembok;  sebuah  almari  yang  dipenuhi  dengan  buku-buku  hukum 
kacau  balau  posisinya  serta  botol-botol  plastik  dari  air  suci;  motto  dalam 
bahasa  Jawa  Kuno  'dharma  yukti'  (keadilan  dan  kebenaran)  diukirkan  pada 
kayu  penyegel  di  bawah  mejanya  hakim,  dan  kain  kuning  kecil  menggayut  di 
atas  pintu  masuk  sebagai  indikasi  bahwa  ruangan  tersebut  telah  diupacara 
untuk  perlindungan  dari  gangguan  kekuatan  dunia  yang  tidak  kelihatan.  Arti 
dari  magisnya  jimat  kecil  ini  dalam  pelanggaran  lukisan  penari  diperbesar 
berulang  kali  melebihi  dari  ukuran  tubuh  manusia,  yang  menggambarkan 
penari  di  dalam  upacara  sakral  yang  menjadi  jantung  dari  identitas  budaya 
dan  agama  orang  Bali. 


The  lawyers'  attempts  to  differentiate  truth  from  falsehood  were  played  out 

on  many  levels.   While  the  prosecutors  attempted 

to  prove  that  the  paintings  for  sale  in  Sinyo's 

galleries  were  false,  the  defense  lawyers  attacked 

the  credentials  of  many  witnesses,  claiming  that 

they  were  not  'true'  art  experts,  so  they  could  not 

be  trusted  to  judge  the  authenticity  of  the  paintings. 

Gunarsa's  wife  Indrawati  was  the  first  witness. 

Shortly  after  she  had  sworn  to  'tell  the  whole 

truth  and  nothing  but  the  truth,'  the  chief  lawyer 

for  Sinyo's  defense  asked  the  judge  to  ignore  her 

opinions  and  have  her  testimony  struck  from  the 

record  because  "she  is  not  an  expert."  He  used  the 


Pengacara  berusaha  untuk  membedakan  yang  asli  dengan  yang  palsu 
dimainkan  dalam  berbagai  tingkatan.  Sementara 
jaksa  penuntut  umum  berusaha  untuk 
membuktikan  bahwa  lukisan  untuk  dijual  di  dalam 
Galerinya  Sinyo  adalah  palsu,  pengacara  pembela 
menyerang  surat  kepercayaan  dari  banyak  saksi, 
menuntut  bahwa  'sungguh'  mereka  bukanlah  ahli 
seni,  dengan  demikian  mereka  tidak  bisa  dipercaya 
untuk  menghakimi  keaslian  dari  lukisan-lukisan 
tersebut.  Indrawati,  istrinya  Gunarsa  adalah  saksi 
yang  pertama.  Tak  lama  setelah  dia  bersumpah 
untuk  'mengatakan  semua  yang  dikatakannya 
benar   dan    tiada    lain   selain    kebenaran,'   wakil 


42 


43 


44 


phrase  disdainfully  several  times, 
and  maintained  a  condescending 
attitude  towards  her  throughout 
the  questioning.  With  his  black 
robe  and  dark  crooked  hairpiece 
he  swaggered  across  the  courtroom 
floor  like  a  comic  book  villain, 
smugly  satisfied  with  his  own 
cleverness. 


Indrawati,     however,     was     a 
formidable       sparring       partner. 

Having  had  decades  of  experience  as  an  art  dealer  and  the  curator  of  a 
museum  of  antiquities  owned  by  her  husband,  she  turned  the  defense 
lawyer's  own  words  against  him,  prefacing  many  of  her  detailed  responses 
about  art  technique  with  a  variation  of  the  phrase,  "You  are  not  an  expert 
in  the  field,  so  how  can  I  educate  you,  sir."  One  of  her  answers  in  response 
to  questions  about  Gunarsas  1998  stroke  included  information  on  which 
side  of  the  brain  processes  artistic  functioning.  The  defense  lawyer  implied 
that  the  alleged  forgeries  might  have  been  painted  by  Gunarsa  when  his 
motor  functions  were  impaired  by  the  stroke.  Shocked  at  the  accusation 
that  her  husband  could  have  forged  his  own  paintings,  Indrawati  responded 
with  polite  firmness  to  the  question,  "Did  his  work  change  because  he  had 
experienced  an  illness?" 


pengacara  pembelanya  Sinyo 
memohon  kehadapan  hakim 
untuk  mengabaikan  opininya 
dan  hapuskan  kesaksiannya  dari 
rekaman  mengingat  "dia  bukan 
ahlinya."  Dia  menggunakan 
frase  dengan  penuh  penghinaan 
berulang  kali  dan  bersikap  rendah 
diri  dalam  mengajukan  keseluruh 
pertanyaannya.  Dengan  jubah 
hitamnya  dimana  hitam  helai 
rambutnya  yang  tidak  seimbang, 
dia  berjalan  dengan  sombongnya 
melintas  dilantai  ruang  persidangan, 
tak  ubahnya  buku  komik  seorang 
penjahat,  dengan  penuh  kepuasan 
akan  kepintarannya  sendiri. 

Indrawati,  bagaimanapun  adalah 
mitra  tarung  yang  hebat.  Dengan 
memiliki  pengalaman  beberapa  puluh  tahun  sebagai  pedagang  barang  seni 
dan  curator  dari  museum  antik  yang  dimiliki  oleh  suaminya,  dia  memutar 
balikkan  kembali  kata-kata  pengacara  pembela  yang  ditujukan  pada  dirinya, 
memberi  pengantar  secara  detail  pada  responnya  tentang  teknik  seni  dengan 
frase  yang  bervariasi,  "Anda  bukan  orang  ahli  dalam  bidang  ini,  dengan 
demikian  bagaimana  cara  saya  mendidik  anda,  pak"  Dalam  memberi 
jawaban  untuk  sebuah  pertanyaan  tentang  sakit  stroke-nya  Gunarsa  pada 
tahun  1998,  adalah  satu  dari  jawabannya  termasuk  memberikan  informasi 
dalam  sisi  mana  dari  kerja  otak  berkenaan  dengan  fungsi  artistiknya.  Hakim 
pembela  menyatakan  bahwa  tuduhan  pemalsuan  barangkali  memang  dilukis 
oleh  Gunarsa  ketika  motor  penggeraknya  menjadi  lemah  akibat  stroke  yang 
dideritanya.  Mendengar  tuduhan  yang  mengejutkan  tersebut  bahwa  suaminya 
telah  memalsukan  lukisannya  sendiri,  Indrawati  memberi  tanggapan  dengan 
santun  dan  tegas  terhadap  pertanyaan  tersebut,  "Apakah  karyanya  berubah 
disebabkan  oleh  pengalaman  sakitnya?" 


45 


"No,  I  am  sure,"  Indrawati  replied.  "I  will  explain 
it  to  you  because  you  are  not  an  expert  in  art.  If 
someone  is  an  economist,  the  active  part  of  the  brain 
is  the  left  side,  but  if  he  is  an  artist,  the  active  side 
is  the  right  side.  My  husband's  stroke  was  on  the 
left  side,  so  his  artistic  skills  continued  to  function. 
There  was  no  change....  Because  you  are  not  an 
expert,  sir,  I  had  to  inform  you." 


^■: 


•*^. 


*WAKi 


1« 


",'/ ''i" 


HENVNTUT  PBMef^lNTP^H 


"Tidak,  saya  yakin  betul,  "  Indrawati  menjawab. 
"Saya  akan  terangkan  kepada  anda  karena  anda 
bukanlah  orang  ahli  dalam  bidang  seni.  Jika  seseorang 
adalah  seorang  ekonomi,  kerja  otaknya  adalah  pada 
bagian  sisi  kiri,  akan  tetapi  jika  dia  seorang  seniman 
sisi  kerja  aktifnya  ada  pada  sisi  kanan.  Stroke  suami 
saya  adalah  pada  bagian  kiri,  dengan  demikian 
keterampilan  artistiknya  berfungsi  normal.  Tidak 
ada  perubahan  ...  Oleh  karena  anda  bukanlah  orang 
ahli,  pak.  Saya  harus  beri  tahu  anda" 


■"■"'f  •> 


The  verbal  battle  between  Indrawati  and  the  lawyer 
continued  throughout  her  testimony.  At  one  point 
she  asked  and  received  permission  from  the  judge 
to  walk  over  to  the  paintings  lined  up  against  the 
wall  as  she  pointed  out  the  differences  between 
the  forgeries  and  the  originals.  Each  time  she 
approached  the  paintings  she  was  followed  by 
an  entourage  of  reporters,  photographers,  TV 
cameramen,  lawyers  from  both  sides,  and  all  three 
judges,  who  stepped  down  from  their  platforms 

to  accommodate  her.  During  those  moments  Indrawati  seemed  to  be 
controlling  the  courtroom  single-handedly,  like  a  charismatic  lecturer  in 
an  art  gallery,  or  a  choreographer  putting  a  chorus  of  extras  through  their 
paces.  The  defense  lawyers  huddled  together  at  the  back  of  the  crowd  that 
followed  Indrawati  from  one  painting  to  another,  while  Sinyo  himself  stayed 
in  his  chair  and  stared  down  at  the  ground.  During  the  course  of  the  eight- 
year  legal  battle  over  the  paintings  Sinyo  had  twice  tried  unsuccessfully  to 
sue  Indrawati  for  slander.  He  seemed  to  be  still  nursing  the  wounds  of  those 
lost  cases  by  pretending  that  Indrawati  was  not  there  at  all. 


-1 


'^  KAI,4  r^Je^ 


P- 


^,: 


Perdebatan  lisan  berlanjut  antara  Indrawati  dengan 
pengacara  selama  kesaksiannya.  Pada  suatu  ketika 
dia  memohon  dan  permohonannya  dikabulkan 
oleh  hakim  untuk  mendekati  lukisan-lukisan  yang 
berjejer  disepanjang  tembok  sembari  menunjuk 
perbedaan  diantara  yang  palsu  dengan  yang  asli. 
Setiap  dia  mendekati  lukisan-lukisan  tersebut  dia 
diikuti  oleh  rombongan  iring-iringan  fotografer, 
cameraman  TV,  pengacara  dari  kedua  kubu,  dan 
ketiga  dari  keseluruhan  hakim,  turun  dari  flatform 
tempat  duduk  mereka  masing-masing  untuk  mengakomudasi  dia.  Pada 
saat  itu  Indrawati  sepertinya  mengendalikan  ruang  persidangan  seorang 
diri,  tak  ubahnya  sebagai  seorang  pemberi  ceramah  yang  memiliki  karisma 
dalam  sebuah  galeri  seni,  atau  seorang  koreografer  memposisikan  tarian 
masai  melalui  langkah  mereka.  Pengacara  pembela  ikut  berjubel  pada 
bagian  belakang  dari  gerumulan  keramaian  mengikuti  Indrawati  dari  satu 
lukisan  ke  lukisan  yang  lain,  sementara  Sinyo  sendiri  tinggal  dikursinya  dan 
menatap  ke  lantai.  Selama  delapan  tahun  jalannya  perjuangan  lewat  hukum 
atas  lukisannya,  Sinyo  telah  dua  kali  mencoba  untuk  menggugat  Indrawati 
atas  tuduhan  fitnah.  Nampaknya  dia  masih  menyusui  pada  luka-luka  dari 
kalahnya  dalam  kasusnya  dengan  berpura-pura  bahwa  Indrawati  sama 
sekali  tidak  berada  di  sana. 


46 


The  climax  of  the  simmering  antagonism  between  Indrawati  and  the 


Puncak  dari  pertentangan  perlahan  mendidih  antara  Indrawati  dengan 


defense  lawyers  came  when  they  challenged  her 

past  failure  to  press  charges  against  an  artist 

who  had  copied  Gunarsa's  paintings.     Again, 

she  turned  the  tables  on  them,  suggesting  that 

although  she  was  not  an  expert  in  the  law,  she 

understood  legal  ethics  and  procedures  more 

fully  than  they  did  themselves.     "Excuse  me, 

sir.   I  am  not  a  lawyer,  but  I  obey  the  laws  and 

understand  the  impropriety  of  making  mutual 

accusations.  Because  the  police  did  not  consider 

him  a  suspect,  there  was  nothing  wrong  in  my 

saying,  'I  don't  know.  That  (pressing  charges)  is 

the  right  of  the  police,  the  responsibility  of  the  police,  yes  the  police.'  Is  that 

true  or  not?"  The  spectators  in  the  courtroom,  who  had  been  won  over  by 

Indrawati's  fiery  demeanor,  laughed  and  applauded  her  logic.    The  judge 

was  forced  to  intervene. 


pengacara  pembela  datang  ketika  mereka 
menantang  kegagalan  masa  lampaunya  untuk 
mendesak  menuntut  seniman  yang  telah  mencopy 
lukisan-lukisan  Gunarsa.  Lagi  dia  memutar  meja 
kehadapan  mereka,  mengusulkan  bahwa  walau 
dia  ahli  dalam  bidang  hukum,  dia  mengerti 
etika  menurut  hukum  dan  prosedurnya  lebih 
lengkap  dari  apa  yang  mereka  lakukan  untuk  diri 
mereka.  "Maafkan  saya  Pak.  Saya  bukan  seorang 
pengacara,  akan  tetapi  saya  menghormati  hukum 
dan  mengerti  ketidak  pantasan  bagaimana 
membuat  tuduhan  terbalik.  Oleh  karena  polisi 
tidak  mempertimbangkan  bahwa  dia  sebagai  seseorang  yang  dicurigai,  dan 
tidak  ada  sesuatu  yang  salah  dari  apa  yang  saya  katakan,  'Saya  tidak  tahu.  Itu 
adalah  haknya  polisi,  tanggung] awabny a  polisi,  ya  polisi.'  Apakah  itu  benar 
atau  salah?"  Pengunjung  di  dalam  ruangan  pengadilan  yang  telah  memberi 
kemenangan  akan  sikapnya  yang  berapi-api  tertawa  dan  memberi  tepukan 
tangan  akan  logika  pemikirannya.  Hakim  juga  didesak  untuk  campur  tangan. 


'T  want  to  remind  you  again,"  admonished  the  judge,  "that  if  you  are  not 
asked  a  question,  you  should  not  give  commentary,  so  in  that  way  only  what 
is  asked  will  be  answered." 


"Saya  ingin  mengingatkan  anda  lagi"  Hakim  mengingatkan,  "bahwa  jika 
anda  tidak  diminta  untuk  bertanya  anda  harus  tidak  memberi  komentar, 
demikianlah  semestinya  apa  yang  dipertanyakan  akan  dijawab" 


Indrawati's  response  to  the  judge  was  respectful,  but  it  also  expressed  her 
disapproval  of  the  way  in  which  the  lawyers  were  using  distractions  to  blur 
the  distinctions  between  what  was  true  and  what  was  false.  "If  things  are 
not  clear,"  she  said  pointedly,  "I  also  will  not  answer." 


Indrawati  memberi  respon  kehadapan  hakim  dengan  penuh  hormat,  akan 
tetapi  juga  mengekpresikan  penolakannya  dari  cara  yang  mana  pengacara 
menggunakan  cara  menyembunyikan  untuk  mengaburkan  perbedaan  antara 
apa  yang  benar  dan  apa  yang  salah.  "Bila  sesuatunya  tidak  jelas"  katanya 
dengan  tajam,  "Saya  juga  tidak  akan  menjawab" 


The  judge  was  forced  to  concede  her  point.    "In  that  case  the  court  will 
make  things  clear." 


Hakim  juga  ditekan  untuk  mengakui  poinnya.  "Pada  kasus  itu  pengadilan 
akan  membuat  segala  sesuatunya  jelas" 


"Ali  right,  sir,"  Indrawati  replied,  satisfied  for  the  moment.  "Thank  you." 


"Baiklah,  Pak"  Jawab  Indrawati,  mengenakkan  untuk  sementara.  "Terima 
kasih" 


47 


By  the  end  of  her  testimony  Indrawati  had  transformed  the  courtroom  into 
a  stage  where  the  battle  between  the  true  and  the  false  was  heightened  by  the 
personal  antagonism  between  the  participants,  and  the  theatrical  tension  of 
their  dialogue.  The  paintings  had  become  major  characters  in  the  conflict 
by  virtue  of  her  visiting  them  each  in  turn  to  point  out  their  virtues  and 
their  flaws.  Indrawati  had  also  enlivened  the  courtroom  with  laughter. 
Like  the  comic  servant  Twalen,  the  most  beloved  of  all  Wayang  characters, 
whose  humble  appearance  belies  his  divine  origins  and  uncommon  wisdom, 
Indrawati  outsmarted  the  arrogant  antagonists  who  tried  to  dismiss  her  as 
a  minor  player  in  the  drama.  When  given  an  opportunity  to  dispute  her 
testimony,  Sinyo  began  to  make  a  few  points,  but  gave  up.  "Actually,  I  cannot 
have  a  conversation  with  her,  because  she  talks  too  much,"  he  said  in  a  tone 
of  resignation. 


Pada  akhir  dari  kesaksiannya  Indrawati  telah  mentransformasikan  ruang 
pengadilan  menjadi  panggung  dimana  perseteruan  diantara  kebenaran 
dan  kepalsuan  telah  dipertinggi  oleh  personalnya  antagonis  dengan  para 
peserta,  dan  ketegangan  teatrikal  dari  dialog  mereka.  Lukisan-lukisan 
tersebut  menjadi  karakter  pokok  di  dalam  konflik  dengan  kebaikannya 
telah  mengunjunginya  semua  satu  persatu  bergiliran  untuk  menunjuk 
kebenarannya  dan  kecacatannya.  Indrawati  juga  meramaikan  ruang  sidang 
pengadilan  dengan  penuh  tawa.  Seperti  abdi  yang  lucu  Twalen,  yang  paling 
dicintai  dari  sekian  banyak  tokoh  dalam  wayang  yang  karena  kerendahan 
hati  penampilannya  terbentang  sifat  asli  ketuhanan  dan  kebijaksanaan  yang 
tidak  asing,  Indrawati  jauh  lebih  pintar  dibanding  antagonis  yang  arogan 
yang  mencoba  untuk  membebaskan  dia  sebagai  pemain  minor  di  dalam 
drama.  Ketika  dia  diberikan  kesempatan  atas  perselisihan  kesaksiannya, 
Sinyo  mulai  membuat  beberapa  poin,  akan  tetapi  menyerah.  "Sesungguhnya 
saya  tidak  bisa  bercakap-cakap  dengannya,  karena  dia  berbicara  terlalu 
banyak" katanya  dalam  suara  mengundurkan  diri. 


Indrawati  had  the  last  word,  responding  to  Sinyo's  accusation  that  she  had 
physically  attacked  the  false  paintings  in  his  gallery  by  reminding  the  court 
she  had  already  been  cleared  of  those  charges  in  a  prior  trial.  "I  would  add," 
she  concluded,  "that...  during  the  time  I  was  put  on  trial,  the  witnesses 
contradicted  him  (Sinyo)." 


Indrawati  mempunyai  kata  terakhirnya,  memberi  respon  pada  tuduhannya 
yang  secara  pisik  dia  telah  serang  pada  lukisan-lukisan  palsu  di  dalam 
galerinya  dengan  mengingatkan  pengadilan  dia  sudah  secara  gamblang 
terhadap  tuntutannya  pada  peradilan  terdahulu.  "Saya  mau  tambahkan,"  dia 
menambahkan,  "bahwa.,  selama  kurun  waktu  saya  perkarakan,  para  saksi 
mengkontradiksi  dia  (Sinyo)." 


Indrawati  had  set  the  tone  of  the  trial,  by  refusing  to  be  bound  by  the  traditional 
decorum  of  the  law,  turning  the  courtroom  into  both  an  art  gallery  and  a 
stage.  She  had  also  initiated  an  inquiry  into  the  deeper  meanings  of  truth  and 
falseness  that  went  beyond  simply  determining  whether  or  not  a  painting  was 
counterfeit.  In  recounting  her  first  meeting  with  an  employee  in  Sinyo's  gallery 
she  quoted  herself  as  saying  that  Gunarsa's  paintings  "embody  the  image  of 
Indonesia....  Why  are  you  falsifying  Bali  itself?"  Her  question  to  the  gallery 
employee  was  for  her  the  heart  of  the  trial's  meaning.  She  saw  in  Gunarsa's 
paintings  the  "image  of  Indonesia....  especially  Bali"  and  that  is  what  she  felt 
was  being  falsified  by  the  forged  paintings.  When  pressed  to  define  what  is 
was  that  differentiated  the  original  paintings  of  Gunarsa  from  the  copies. 


Indrawati  telah  menseting  sifat  peradilan,  dengan  menolak  untuk  diikat  oleh 
kesopanan  tradisional  dari  hukum,  memutar  ruang  pengadilan  menjadi  galeri 
seni  dan  tempat  pertunjukan.  Dia  juga  menginisiasikan  sebuah  penyelidikan 
ke  dalam  arti  yang  lebih  dalam  dari  kebenaran  dan  kepalsuan  yang 
melampaui  hanya  untuk  menentukan  apakah  ya  atau  tidak  lukisan  tersebut 
dipalsukan.  Dalam  menceriterakan  pertemuan  pertamanya  dengan  pekerja 
di  galerinya  Sinyo  dia  mengutip  pembicaraan  dirinya  bahwa  lukisannya 
Gunarsa  "perwujudan  kesan  Indonesia...  Kenapa  kamu  memalsukan  Bali 
sendiri?"  Pertanyaannya  kepada  pekerja  galeri  baginya  merupakan  hal  yang 
paling  esensial  dalam  pemeriksaan  pengadilan.  Dia  melihat  pada  lukisannya 
Gunarsa  "citra  Indonesia....  khususnya  Bali"  dan  itulah  yang  mebuat  dia 


48 


FAKE  PAINTING 
LUKISAN  PALSU 


NYOMAN  GUNARSAS  TRUE  PAINTING 
LUKISAN  ASLI  NYOMAN  GUNARSA 


On  this  sticker  is  written  "The  work  of  Nyoman  Gunarsa" 

Sticker  yang  tertuliskan  karya  Nyoman  Gunarsa 


Lukisan  tiruan  (palsu)  yang  diketemukan  di  CelHni  Gallery  milik  Hendra  Dinata 

alias  Sinyo,  Jl.  Gatot  Subroto  Denpasar. 

This  falsified  painting  was  found  in  the  Cellini  Gallery,  owned  by  Hendra  Dinata, 

alias  Sinyo,  Jalan  Gatot  Subroto,  Denpasar. 

Foto  ini  diambil  oleh  Indrawati  Gunarsa,  sewaktu  Polisi  dari  Polda  mengantar  ke  Gallery 

Cellini  Jl.  Gatot  Subroto  Denpasar  untuk  mencari  kebenaran  bahwa  Gallery  tersebut 

menjual  lukisan  tiruan  (palsu)  Nyoman  Gunarsa. 

This  photo  was  taken  by  Indrawati  Gunarsa,  at  the  time  that  officers  from  the  district  police 

accompanied  her  to  Gallery  Cellini  on  Jalan  Gatot  Subroto  to  confirm  that  the  gallery  was 

selling  paintings  falsely  attributed  to  Nyoman  Gunarsa. 


This  painting  was  used  for  comparative  purposes  in  the  investigation  by  Balinese  District  Police. 
Pembanding  baru  yang  dipergunakan  oleh  penyidik  Polda  Bali. 


49 


she    used    the    Javanese    phrase 

"mbalung   sumsum"    to    explain 

that  her  husband  had  assimilated 

the    music    and   movements    of 

Balinese  sacred  dances  "in  the 

marrow  of  his  bones,"  and  that 

it  was  this  cultural  essence  that 

he  communicated  through   the 

'soul'  of  his  artistry.    With  those 

remarks  Indrawati  made  it  clear 

that  in  the  case  of  Gunarsa's  artwork,  the  court  could  not  fairly  determine  the 

nature  of  truth  and  falsity  in  the  visible  world  of  commerce  and  copyright 

without  examining  the  nature  of  truth  and  falsehood  in  the  invisible  world  of 

spiritual  beliefs  that  are  at  the  core  of  Bali's  cultural  identity.  Her  husband's 

testimony  would  amplify  those  ideas,  and  other  'experts'  would  also  refer  to 

the  'soul'  of  his  paintings,  but  Indrawati  was  the  first  to  link  Gunarsa's  case 

to  the  invisible  world  of  niskala  and  the  falsification  of  cultural  identity. 


merasa  telah  dibohongi  oleh 
pemalsu  lukisan.  Ketika  ditekan 
untuk  mendefinisikan  apakah 
yang  membedakan  lukisan 
aslinya  Gunarsa  dari  copynya, 
dia  gunakan  frase  bahasa  Jawa 
"mbalung  sumsum"  untuk 
menerangkan  bahwa  suaminya 
telah  mengasimilasikan  musik 
dan  gerakan  tari  sakral  Bali  "di 
dalam  sumsum  tulangnya,"  dan  itulah  esensi  dari  kebudayaan  ini  dan  dia 
mengkomunikasikannya  melalui  jiwa  dari  keterampilan  kesenimanannya. 
Dengan  ucapannya  itu  Indrawati  membuatnya  jelas  bahwa  di  dalam  kasus 
karyanya  Gunarsa,  pengadilan  tidak  dapat  secara  adil  menentukan  secara 
alami  kebenaran  dan  kepalsuan  di  dunia  nyata  dari  perdagangan  dan  hak  cipta 
tanpa  mengeksaminasi  secara  alami  akan  kebenaran  dan  kepalsuan  di  dunia 
tidak  nyata  dunianya  kepercayan  spiritual  yang  menjadi  inti  dari  identitas 
budaya  orang  Bali.  Kesaksian  suaminya  akan  memperkuat  ide  tersebut  dan 
ahli  yang  lain  yang  juga  menunjuk  pada  jiwa  dari  lukisan-lukisannya, 
sesunguhnya  Indrawati  adalah  orang  yang  pertama  menghubungkan 
kasusnya  Gunarsa  ke  alam  tidak  nyata  yakni  dunia  'niskala.'  dan  pemalsuan 
dari  identitas  budaya. 


Over  the  next  few  months  more  than  a  dozen  witnesses  followed  Indrawati 
to  give  testimony.  The  most  frequently  asked  question  during  the  court's 
proceedings  was  "How  can  you  identify  the  difference  between  the  false 
paintings  and  the  originals?"  Almost  all  of  the  art  experts,  museum  curators, 
and  professors  gave  variations  of  the  same  answer.  "The  forgeries  do  not 
have  the  artist's  "soul."  They  used  the  word  "jiwa"  to  indicate  the  invisible 
essence  that  gave  Gunarsa's  work  its  artistic  distinctiveness  and  'soul.' 


Selama  beberapa  bulan  berikutnya  lebih  dari  selusin  saksi  mengikuti  Indrawati 
untuk  memberi  kesaksiannya.  Yang  paling  sering  melayangkan  pertanyaan 
selama  cara  kerjanya  pengadilan  adalah  "Bagaimana  saudara  dapat 
mengidentifikasi  perbedaan  antara  lukisan  palsu  dengan  yang  asli."  Hampir 
seluruh  dari  ahli  seni,  museum  curator,  dan  professor  memberi  variasi  dari 
jawaban  yang  sama.  "Yang  palsu  tidak  memiliki  jiwa'  senimannya"  Mereka 
gunakan  kata  "jiwa"  untuk  mengindikasikan  esensi  yang  tak  nampak  yang 
membuat  karyanya  Gunarsa  memiliki  perbedaan  artistik  dan  jiwa! 


It  was  up  to  Gunarsa  himself  to  define  exactly  what  it  was  that  constituted 
the  'soul'  of  his  paintings.  He  began  his  testimony  with  an  intellectual 
definition  of  his  style  that  referred  to  the  sense  of  proportion,  perspective 


50 


Sampai  pula  pada  Gunarsa  sendiri  untuk  memberi  definisi  persis  apa  yang 
mendasari  dari  jiwa'  lukisan-lukisannya.  Dia  memulai  kesaksiannya  dengan 
definisi  intektual  dari  gayanya  yang  menunjukkan  pada  rasa  secara  proporsi. 


and  anatomy  that  differentiated  his  work  from  the  forgeries,  but  eventually 
he  felt  compelled  to  abandon  this  rational  approach  and  provide  what  he 
felt  was  irrefutable  proof  of  his  argument.  He  danced.  Gunarsa  stood 
up  in  the  courtroom  and  used  his  own  body  to  prove  that  the  forgeries 
misrepresented  the  traditions  embedded  in  Balinese  choreography.  He 
took  the  position  of  one  of  the  dancers  in  the  false  paintings  and  explained, 
"You  can  see  how  a  person  whose  legs  were  in  a  position  like  that  would  fall 
down. . .  It  is  unbalanced." 


Gunarsa  then  demonstrated  the  correct  dance  stances.    The  spectators  in 

the  courtroom  applauded  his  testimony  as  if  it  were  a  performance.  He  was 

not  only  defending  the  integrity  of  his  identity  as  a  painter.    He  was  also 

defending  the  integrity  of  Balinese  traditions  as  they  are  embodied  in  the 

movements  of  its  dancers.   The  dances  depicted  in  the  paintings  take  place 

during  sacred  ceremonies.  The  choreography  is  an  offering  to  the  Gods.  The 

exquisite  balance  displayed  by  the  highly  trained  dancers  is  a  manifestation 

of  a  deeper  spiritual  balance  that  is  a  cornerstone  of  the  Balinese  Hindu 

religion.  According  to  Balinese  beliefs,  humans  are  engaged  in  an  ongoing 

struggle  to  maintain  their  equilibrium  in  spite  of  forces  from  the  invisible 

world  that  pull  them  up  towards  the  Gods 

in  heaven  and  down  towards  the  demons 

of  the  underworld.   The  body  of  a  Balinese 

dancer  is  a  microcosm  of  that  invisible  tug  of 

war,  a  physical  embodiment  oVruabineda  in 

action.   The  elbows,  rib  cage,  fingertips  and 

toes  are  always  straining  upwards  against 

gravity  while  the  torso  sinks  on  bended  knees 

towards  the  ground.  These  conflicting  forces 

pulling  in  opposite  directions  within  a  single 

dancer  s  body  give  Balinese  choreography  its 

dynamic  tension  and  spiritual  integrity.   To 

depict  these  sacred  dances  in  careless  copies 

that  are  "unbalanced"  is  an  artistic  travesty 

verging  on  sacrilege.  The  forgeries  not  only 


perspektif,  anatomi  yang  membedakan  karyanya  dengan  yang  palsu,  akan 
tetapi  pada  akhirnya  dia  merasa  terpaksa  untuk  mengabaikan  pendekatan 
rasional  ini  dan  menyediakan  apa  yang  dia  rasa  sebagai  bukti  yang  tidak 
dapat  dibantah  dari  argumentasinya.  Dia  menari.  Gunarsa  berdiri  di  ruang 
pengadilan  dan  menggunakan  badannya  sendiri  untuk  membuktikan  lukisan 
yang  palsu  itu  salah  penyajian  tradisi  yang  terpancang  dalam  koreografi  Bali. 
Dia  mengambil  satu  posisi  dari  satu  lukisan  palsu  dan  menerangkan,  "Anda 
akan  melihat  bagaimana  seseorang  dengan  kakinya  dalam  posisi  seperti  itu, 
dia  akan  jatuh...  Itu  tidak  seimbang" 

Gunarsa  kemudian  mendemonstrasikan  cara  berdirinya  seorang  penari 
yang  benar.  Pengunjung  di  dalam  ruang  pengadilan  bertepuk  tangan  atas 
kesaksiannya  sepertinya  itu  adalah  sebuah  pertunjukan.  Dia  tidak  hanya 
mempertahankan  integritas  dari  identitas  dirinya  sebagai  pelukis.  Dia 
juga  mempertahankan  integritas  dari  tradisi  Bali  seperti  semuanya  sebagai 
perwujudan  di  dalam  gerakan  tariannya.  Para  penari  yang  digambarkan 
dalam  lukisannya  mengambil  tempat  pada  upacara  sakral.  Koreografinya 
adalah  sesajen  persembahan  kehadapan  Tuhan.  Keseimbangan  yang  indah 
dipertontonkan  oleh  penari  yang  terlatih  adalah  sebagai  manifestasi  dari 
kedalaman  keseimbangan  spiritual  sebagai  dasar  bagi  orang  Bali  yang 

beragama  Hindu.  Menurut  kepercayaan  orang 
Bali  manusia  adalah  bersentuhan  dengan 
pergumulan  yang  tak  pernah  berkesudahan 
mempertahankan  keseimbangan  kendatipun 
ada  tekanan  dari  dunia  tidak  nyata  yang 
menarik  semuanya  ke  atas  menuju  Tuhan  di 
sorga  dan  turun  ke  arah  alam  raksasa  di  bawah 
bumi.  Badan  penari  Bali  adalah  mikrokosmos 
dari  kekuatan  yang  saling  tarik  menarik 
sebagai  perwujudan  ruabineda  dalam  gerak 
secara  pisik.  Siku,  tulang  belikat,  jari  tangan 
dan  jari  kaki  selalu  membuat  ketegangan  naik 
melawan  grafitasi  sementara  batang  tubuh 
tenggelam  dalam  bengkokan  lutut  menuju 
lantai.  Kekuatan  yang  bertentangan  ini  tarik 


51 


52 


diminish  the  reputation  of  the  painter,  they  diminish  the  reputation  of  the 
island  and  its  culture  as  well. 


Gunarsas  use  of  dance  as  courtroom  evidence  reveals  the  extent  to 
which  traditional  Balinese  performing  art  forms  have  shaped  his  identity 
as  a  painter.  When  challenged  to  define  the  'soul'  of  his  work,  Gunarsa 
instinctively  began  to  move,  accompanying  his  improvised  choreography 
with  gamelan  melodies  that  he  hummed  to  himself  as  he  shifted  his  limbs 
into  positions  that  matched  the  lines  he  had  drawn  into  his  paintings  of 
the  dancers.  In  a  2003  interview  Gunarsa  said  that  his  paintings  were 
inextricably  linked  to  the  traditional  Balinese  music  he  listened  to  when 
he  drew  them.  "I  am  drawing  the  lines  as  I  would  sing,"  he  said  at  the  time. 
"I  set  the  colors  as  I  would  dance...  My  lines  are  my  music.  My  colors  are 
my  dance."  (Wayan  Sukra,  Moksa,  Jakarta:  2003,  p.  37)  Now  Gunarsa  was 
demonstrating  that  claim  in  a  courtroom,  dancing  his  colors  and  singing  his 
lines  before  a  judge. 


When  he  argues  for  copyright  laws  as  a  means  of  maintaining  the  integrity 
of  Bali's  traditional  arts,  Gunarsa  is  not  talking  about  a  hollow  quest  for 
authenticity  that  would  lead  to  the  rigid  mummification  of  form  and  content. 
He  is  fighting  for  the  vibrant  Balinese  traditions  that  are  constantly  evolving 
and  responding  to  political,  social,  and  artistic  influences  from  Indonesia 
and  abroad.  Like  many  Balinese  performing  and  visual  artists  Gunarsa's 
work  has  been  influenced  by  foreign  sources,  but  it  remains  deeply  rooted  in 
the  traditions  that  give  Balinese  art  its  distinctive  spirit.  He  calls  this  blend 
a  'local-universal'  style. 


menarik  ke  arah  yang  bertentangan  dalam  badan  setiap  penari  memberi 
koreografi  ketegangan  dinamika  dan  spiritual  integritas.  Untuk  melukis 
tarian  sakral  seperti  ini  dalam  copian  yang  kurang  peduli  pada  membuatnya 
'tidak  seimbang  adalah  sebuah  artistik  parodi  diambang  pelanggaran  pada 
hal-hal  yang  dianggap  keramat.  Pemalsuan  tidak  saja  menurunkan  reputasi 
pelukisnya,  mereka  menurunkan  reputasi  daerahnya  dan  budayanya  juga. 

Gunarsa  menggunakan  tarian  sebagai  bukti  dalam  ruang  persidangan 
mengungkapkan  tingkatan  yang  mana  seni  pertunjukan  Bali  dibentuk 
oleh  identitasnya  seperti  halnya  pada  pelukis.  Ketika  menantang  untuk 
mendapatkan  jiwa  dari  karyanya,  Gunarsa  secara  naluriah  mulai  bergerak 
menyertai  improvisasi  koreografinya  dengan  melodi  gamelan  yang  dia 
senandungkan  sendiri  sewaktu  dia  membentuk  anggota  tubuhnya  ke  dalam 
posisi  yang  cocok  dengan  garis  yang  dia  goreskan  kedalam  lukisan  penari- 
penarinya.  Bertahun-tahun  sebelum  pemeriksaan  pengadilan  dia  pernah 
memberi  tahu  seorang  pewawancara  (Wayan  Sukra,  Moksa,  Jakarta:  2003.  p. 
37)  yang  lukisannya  tidak  mungkin  dapat  melepaskan  diri  dari  keterkaitannya 
dengan  musik  Bali  tradisional  yang  dia  dengarkan  sewaktu  dia  melukis. 
"Saya  menggoreskan  garis-garis  seperti  saya  sedang  bernyanyi"  katanya  pada 
waktu  itu.  "Saya  set  warnanya  seperti  halnya  saya  mau  menari...  Garis  saya 
adalah  musik  saya.  Warna  saya  adalah  tarian  saya" Sekarang  Gunarsa  telah 
mendemonstrasikan  tuntutan  tersebut  dihadapan  hakim  di  dalam  ruang 
persidangan,  menari  adalah  warnanya  dan  bernyanyi  adalah  garisnya. 

Manakala  dia  memperdebatkan  untuk  hukum  hak  cipta  sebagai  artian  untuk 
memelihara  integritas  seni  tradisional  Bali,  Gunarsa  tidaklah  membahas 
tentang  gaung  pencaharian  untuk  keaslian  yang  akan  mengantarkan  pada 
kekakuan  pengawetan  mayat  dari  bentuk  dan  isi.  Dia  memperjuangkan 
untuk  getaran  tradisi  Bali  yang  secara  terus  menerus  mengembangkan  dan 
menjawab  terhadap  politikal,  sosial,  dan  pengaruh-pengaruh  artistik  dari 
Indonesia  dan  dunia  luar.  Seperti  banyak  seniman  seni  pertunjukan  dan 
seniman  seni  rupa,  karyanya  Gunarsa  telah  dipengaruhi  oleh  sumber-sumber 
asing,  akan  tetapi  tetap  mengakar  pada  tradisi  yang  dapat  memberi  pada 
khasanah  kesenian  Bali  spirit  yang  berbeda.  Dia  sebut  ini  gaya  campuran 
'lokal-universaV 


53 


FAKE  PAINTING 
LUKISAN  PALSU 


NYOMAN  GUNARSA'S  TRUE  PAINTING 
LUKISAN  ASLI  NYOMAN  GUNARSA 


/  "^  *- 


'    T 


X- 


••a 


^f 


'i» 


.*» 


— ^ 


^i-'d^^ 


This  false  painting  was  found  in  "Gallery  Cellini,"  owned  by  Hendra  Dinata,  alias  Sinyo, 

on  Jalan  Gatot  Subroto,  Denpasar. 

Lukisan  tiruan  (palsu)  ini  diketemukan  di  Gallery  Cellini  milik  Hendra  Dinata 

alias  Sinyo,  Jl.  Gatot  Subroto  Denpasar. 


This  original  painting  by  Nyoman  Gunarsa  was  published  as  part  of  an  exhibition  shown 

at  the  Arcade  Gallery  in  Old  Oakland,  California,  USA. 

Lukisan  asli  Nyoman  Gunarsa  yang  telah  dibukukan  pada  pameran  tunggal 

di  Arcade  Gallery,  Old  Oakland,  California  USA. 


54 


At  the  core  of  Balinese  art  is  a  Hindu-animist  tradition  that  affirms  the 
interconnectedness  of  the  invisible  world  of  the  gods  and  the  visible  world 
of  man.  It  is  also  a  tradition  that  reveres  artistic  expression  as  a  means  for 
keeping  the  connection  between  those  worlds  alive.  The  arts  themselves  are 
also  connected  with  each  other  to  an  extent  that  is  rarely  found  in  Western 
artistic  traditions.  Balinese  performing  artists  are  trained  in  singing,  dance, 
literature,  and  the  playing  of  musical  instruments,  and  these  forms  are 
rarely  performed  in  isolation  from  one  another.  As  a  painter,  Gunarsa  has 
assimilated  these  interlocking  visions  of  artistry  and  spirituality. 


"I  listen  to  gamelan  music  when  I  paint  so  that  I  can  give  shape  to  the  colors 
and  movements  that  are  in  the  melodies,"  he  explains.  "I  do  not  always 
achieve  my  goal,  but  my  ideal  desire  is  to  paint  the  essence  of  the  music." 
Gunarsa's  understanding  of  the  link  between  traditional  music  and  painting 
is  rooted  in  Balinese  religious  beliefs.  Sacred  books  preserved  in  the  form  of 
palm  leaf  manuscripts  called  lontars  explain  the  connection  in  detail:  Each 
musical  note  in  the  pentatonic  scale  is  written  with  a  sacred  symbol  that 
corresponds  to  a  color,  a  god,  a  spatial  direction,  and  a  place  in  the  human 
body. 


One  of  the  watercolors  Gunarsa  painted  after  the  trial  expresses  these 
overlapping  relationships  with  a  diagrammatic  depiction  of  dancing  gods 
emanating  from  colors  that  originate  on  the  keys  of  a  traditional  metal 
xylophone  from  a  Balinese  gamelan  orchestra.  Other  watercolors  depict 
dancing  human  forms  that  grow  out  of  the  shapes  of  the  traditional  Balinese 
alphabet  used  in  the  writing  of  sacred  religious  literature  like  the  Ramayana 
and  the  Mahabhrata.  When  Gunarsa  paints,  he  is  creating  images  infused 
with  colors,  shapes,  and  lines  that  cannot  be  separated  from  the  music, 
religious  stories,  and  sacred  dances  that  have  influenced  him  since  childhood. 
Although  he  has  developed  his  own  distinctive  style  as  an  artist,  it  has  been 
formed  in  the  cauldron  of  Balinese  interlocking  traditional  arts.  When  he 
fights  for  the  intellectual  property  rights  of  Balinese  artists  (and  by  extension 


Pada  intinya  seni  tradisi  Hindu- animisme  Bali  yang  menegaskan  saling 
bertautannya  dunia  tidak  nyata  dunia  dewa-dewa  dengan  dunia  nyata 
dunianya  manusia.  Itu  adalah  juga  tradisi  yang  memuja-muja  ekspresi 
artistiknya  sebagai  arti  untuk  menjaga  koneksi  diantara  kedua  dunia  itu 
hidup.  Seni  itu  sendiri  adalah  juga  berhubungan  dengan  satu  sama  lain  untuk 
diperluas  yang  jarang  didapat  dalam  tradisi  artistik  didunia  Barat.  Seniman 
seni  pertunjukan  dilatih  dalam  bernyanyi,  menari,  literature,  dan  memainkan 
musikal  instrument,  dan  bentuk-bentuk  seperti  ini  jarang  dipentaskan  dalam 
keterpisahannya  dari  satu  elemen  dengan  yang  lainnya.  Sebagai  seorang 
pelukis,  Gunarsa  telah  mengasimilasikan  pandangan  terjalin  ini  kedalam 
keterampilan  kesenimanannya  dan  spiritualitasnya. 

"Saya  mendengarkan  gamelan  ketika  saya  melukis,  dengan  demikian  saya 
mencoba  untuk  memberi  bentuk  pada  pewarnaannya  dan  gerakan  pada 
melodinya,"  katanya  menerangkan.  "Saya  tidak  selalu  dapat  mencapai 
tujuan  saya,  akan  tetapi  keinginan  ideal  saya  adalah  melukis  pada  esensi 
dari  musik"  Pengertian  Gunarsa  akan  keterkaitan  antara  tradisional 
musik  dan  lukisan  mengakar  dalam  kepercayaan  agama  orang  Bali.  Buku 
suci  dipreservasi  di  dalam  bentuk  manuskrip  pada  daun  lontar  yang  dapat 
menerangkan  koneksinya  secara  detail:  Setiap  notasi  nada  musik  Bali  yang 
berlaras  pentatonik  ditulis  dengan  simbol  suci  yang  berhubungan  dengan 
warna,  dewa,  dan  spasial  arah,  dan  tempatnya  dalam  diri  manusia. 

Satu  dari  lukisan  cat  airnya  Gunarsa  yang  dilukis  setelah  pemeriksaan 
pengadilan,  mengekspresikan  tumpang  tindihnya  hubungan  ini  dalam 
penggambaran  diagram  dari  tarian  tubuh  para  dewa  berasal  dari  warna,  yang 
aslinya  berasal  dari  bilah  gender  orkestra  gamelan  Bali.  Ada  lukisan  cat  air 
lainnya  mengambarkan  manusia  dalam  tariannya  tumbuh  keluar  membuat 
bentuk  alphabet  tradisional  Bali  yang  digunakan  dalam  menulis  literatur 
sakral  keagamaan  seperti  Ramayana  dan  Mahabharata.  Ketika  Gunarsa 
melukis,  dia  menciptakan  kesan  memasukkan  warna,  bentuk,  dan  garis  yang 
tak  bisa  dipisahkan  dari  musik,  ceritera  keagamaan,  dan  tarian  suci  yang 
mempengaruhi  dia  sejak  masa  kanak-kanak.  Walau  dia  mengembangkan 
gayanya  sendiri  yang  khas  sebagai  seorang  pelukis,  itu  telah  dipalsukan  dalam 
kawah  dari  ketersambungan  Seni  Bali  tradisional.  Ketika  dia  berjuang  untuk 


55 


all  Indonesian  artists),  he  is  fighting  to  preserve  the  integrity  of  a  style  that  is 
enriched  by  its  local  heritage.  The  falsified  copies  and  illegal  reproductions 
of  that  work  degrade  the  integrity  of  that  vibrant  tradition,  diminishing  the 
original  work  in  hollow  imitations.  "The  false  paintings  have  my  name,  but 
not  my  soul,"  laments  Gunarsa  referring  not  only  to  his  individual  soul,  but 
also  to  the  soul  of  his  island. 


Another  part  of  Gunarsa's  testimony  that  was  as  significant  as  his  dance,  but 
not  as  dramatic,  was  his  response  to  the  defense  lawyer's  questions  about 
the  meaning  of  abstract  impressionism.  Gunarsa  admitted  that  although  his 
works  were  essentially  Balinese,  they  had  been  influenced  by  the  abstract- 
impressionist  movement.  The  lawyer  then  tried  to  suggest  that  this  genre  of 
art  was  so  vaguely  defined  that  it  could  not  be  forged.  Any  copy,  he  implied, 
could  be  seen  as  a  legitimate  attempt  to  express  an  abstract  impression  of  a 
subject.  While  debunking  the  absurdity  of  the  lawyer's  questions,  Gunarsa 
gave  his  own  personal  definition  of  abstract  expressionism  as  it  appears  in 
his  work.  "I  choose  abstraction  because  I  like  to  be  free,  especially  in  the 
background.  Freedom.  Abstraction.  Expressing  what  cannot  be  seen." 


In  these  simple  sentences  Gunarsa  expressed  an  essential  element  of  his 
unique  style:  the  ability  to  express  "what  cannot  be  seen."  The  invisible 
world  (niskala)  of  spirits,  ancestors,  gods,  and  demons,  that  the  Bahnese 
believe  to  be  co-existent  with  the  visible  world  (sekala)  of  their  material 
lives,  is  represented  as  an  "abstraction"  found  "in  the  background"  of  all  his 
paintings.  This  rich  background  of  swirling  abstract  shapes  gives  spiritual 
depth  and  balance  to  all  his  sketches  and  paintings.  No  matter  what  their 
ostensible  subject  matter,  they  are  all  situated  in  the  teeming  spirit  world  of 
niskala  that  is  at  the  core  of  the  Balinese  world-view. 


hak  atas  kekayaan  intelektual  dari  seniman  Bali  (dan  dengan  pengembangan 
untuk  seluruh  seniman  Indonesia),  dia  berjuang  untuk  preservasi  integritas 
gaya  yang  diperkaya  oleh  warisan  lokal.  Pemalsuan  peniruan  dan  reproduksi 
legal  dari  kerja  tersebut  menurunkan  integritas  dari  getaran  tradisi, 
mengurangi  karya  asli  karena  gaungnya  imitasi.  "Pada  lukisan  palsu  itu 
tertera  nama  saya,  akan  tetapi  tidak  jiwa  saya"  keluh  Gunarsa  menunjuk 
tidak  hanya  pada  jiwa  dirinya,  tetapi  juga  pada  jiwa  tanah  kelahirannya. 

Bagian  lain  dari  kesaksian  Gunarsa  adalah  sangat  penting  seperti  tariannya 
dan  bukan  sebagai  dramatik,  adalah  responnya  kepada  pertanyan  pengacara/ 
pembela  tentang  arti  dari  abstrak  impresionisme.  Gunarsa  mengakui 
kendati  karya-karyanya  pada  intinya  bercorak  Bali  semuanya  dipengaruhi 
oleh  gerakan  abstrak  impresionisme.  Pengacara  kemudian  mencoba  untuk 
mengusulkan  bahwa  jenis  seni  seperti  ini  samar-samar  digambarkan  yang 
tidak  dapat  untuk  dipalsukan.  Copy  apa  saja,  dia  menyiratkan  akan  dapat 
dilihat  sebagai  sebuah  usaha  yang  sah  untuk  mengekspresikan  subjek  abstrak 
impresionisme.  Sementara  membuktikan  ketidak  benaran  dari  kemustahilan 
pertanyaan-pertanyaan  pengacara,  Gunarsa  memberikan  definisinya  sendiri 
tentang  abstrak  ekspresionisme  seperti  yang  muncul  pada  lukisannya.  "Saya 
memilih  abstraksi  oleh  karena  saya  menyukai  kebebasan,  khususnya  pada 
latar  belakang.  Kebebasan.  Abstraksi.  Mengekspresikan  secara  kasat  mata 
apa-apa  yang  tidak  dapat  dilihat" 

Dalam  kalimat  yang  sederhana  ini  Gunarsa  mengekspresikan  elemen  yang 
mendasar  dari  keunikan  gayanya:  kemampuan  untuk  mengekspresikan 
"sesuatu  yang  tidak  nampak"  Dunia  yang  tidak  nyata  Cniskalaj  dunianya 
spirit,  para  leluhur,  para  dewa,  dan  raksasa  yang  dipercaya  oleh  orang  Bali 
menjadi  kelangsungkan  dari  dunia  nyata  (sekalap  dari  kehidupan  material 
mereka  adalah  dipersembahkan  sebagai  sebuah  bentuk  "abstraksi"  terdapat 
"dalam  latar  belakang"  dari  seluruh  lukisannya.  Latar  belakang  yang  kaya 
dengan  bentuk-bentuk  abstrak  melingkar  memberi  kedalaman  spiritual  dan 
keseimbangan  untuk  seluruh  sketsa  dan  lukisan-lukisannya.  Apapun  pura- 
puranya  pokok  persoalan,  semuanya  disituasikan  dalam  padatnya  spirit  dari 
dunia  niskala  jyan^  menjadi  inti  dari  pandangan  orang  Bali  terhadap  dunia. 


56 


>^ 


-.;"—  /  ' 


C    (■ 


/, 


«• 


<"    ^ 


^ 


^fNJs 


57 


According  to  Gunarsa,  many  of  these  indecipherable  shapes  in  the 
background  of  his  paintings  are  abstractions  of  Bahnese  symbols  called 
aksara.  On  one  level  the  aksara  are  letters  in  the  Balinese  alphabet,  but  they 
can  also  be  used  as  magically  charged  symbols  in  the  chanting  of  mantras 
intended  to  influence  the  forces  of  the  invisible  world.  The  aksara  are  also 
associated  with  notes  on  the  musical  scale,  colors,  parts  of  human  anatomy, 
the  positions  of  the  gods  in  the  heavens,  and  supernatural  weapons  associated 
with  each  of  the  gods.  Some  versions  of  Balinese  mythology  attribute  the 
origins  of  the  aksara  to  the  goddess  of  wisdom  and  literature,  Saraswati,  who 
is  associated  with  the  small  lizard  known  in  Balinese  as  cecek,  which  is  also 
the  word  for  a  dot  or  a  point.  On  the  day  designated  to  honor  Saraswati,  the 
goddess  is  given  offerings  in  the  shape  of  a  cecek  lizard,  but  they  are  also 
adorned  with  tiny  dots  to  acknowledge  the  double  meaning  of  the  word  and 
the  fact  that  all  written  words  begin  with  dots.  Dots  are  the  elements  that 
are  arranged  together  to  form  the  shapes  of  lines  and  curves  that  make  up 
the  aksara  letters  that  spell  the  words.  Dots  are  also  the  elements  that  make 
up  all  the  lines  and  curves  in  visual  art,  and  by  extension  Gunarsa  attributes 
the  origins  of  all  Balinese  art  forms  to  all  the  aksara  bestowed  on  the  world 
by  Saraswati.  Because  Saraswati  is  associated  with  wisdom,  truth,  and  the 
cecek  lizard,  it  is  believed  that  having  one's  words  punctuated  by  the  croaking 
of  the  lizard  is  a  sign  from  the  invisible  world  that  the  words  just  spoken 
were  true.  So  it  is  understandable  that  between  court  sessions  Gunarsa's 
thoughts  and  drawings  would  turn  to  the  subject  of  Saraswati,  bestower  of 
truth. 


Menurut  Gunarsa  banyaknya  bentuk-bentuk  yang  tidak  dapat  diketemukan 
ini  sebagai  latar  belakang  lukisannya  adalah  bentuk  abstrak  dari  simbol- 
simbol  Bali  yang  disebut  aksara.  Dalam  satu  tingkatan  aksara  adalah  huruf 
dalam  abjad  bahasa  Bali  dan  semuanya  juga  dapat  digunakan  sebagai 
simbol  kekuatan  di  dalam  melantunkan  mantera-mantera  diharapkan  dapat 
mempengaruhi  kekuatan  dari  dunia  tidak  nyata.  Aksara  jw^a  diasosiasikan 
dengan  notasi  dalam  laras  karawitan  Bali,  warna,  bagian  dari  anatomi  badan 
manusia,  posisinya  para  dewa  di  sorga,  dengan  senjata  supra  naturalnya  yang 
diasosiasikan  untuk  masing-masing  para  dewa.  Beberapa  versi  dari  atribut 
mitologi  Bali  sebagai  asal  muasal  dari  aksara  yaAin/  Dewi  Saraswati  lambang 
kebijaksanan  dan  literature,  juga  disosiasikan  dengan  binatang  cecak,  di 
Bali  dikenal  dengan  nama  'cecek.'  juga  sebuah  kata  untuk  penyebutan  titik. 
Pada  hari  yang  menunjuk  untuk  menghormati  Dewi  Saraswati,  sang  Dewi 
dihaturkan  sesajen  di  dalam  bentuk  binatang  cecak,  di  samping  juga  dihiasi 
dengan  titik-titik  kecil  untuk  mengakui  adanya  arti  ganda  dari  kata  tersebut 
dan  pada  kenyataannya  bahwa  semua  penulisan  kata  dimulai  dari  titik. 
Titik  merupakan  elemen-elemen  yang  dapat  diatur  ke  dalam  bentuk  garis, 
melengkung  yang  membentuk  aksara  huruf  yang  diucapkan  sebagai  kata- 
kata.  Titik  juga  sebagai  elemen  yang  dapat  membentuk  berbagai  jenis  garis 
lurus  dan  garis  lengkung  di  dalam  seni  lukis,  dan  sebagai  pembentangan 
atributnya  Gunarsa  sumber  asli  semua  jenis  bentuk  seni  dengan  seluruh 
aksara  memberi  anugrah  untuk  dunia  oleh  Dewi  Saraswati.  Oleh  karena 
Dewi  Saraswati  diasosiasikan  dengan  kebijaksanaan,  kebenaran,  dan 
binatang  cecdik  yang  dipercayai  memiliki  satu  kata  sebutan  titik  (cek)  dengan 
suaranya  cecak  sebagai  tanda  dari  dunia  tidak  nyata  dari  kebenaran  yang 
baru  saja  disuarakan.  Dengan  demikian  dapat  dimengerti  bahwa  diantara 
sesi  pengadilan,  pikiran  Gunarsa  dan  lukisan-lukisan  akan  berpaling  ke 
subjek  Saraswati  sebagai  penganugrahan  kebenaran. 


In  one  of  his  drawings  Gunarsa  depicts  the  goddess  floating  above  a  cecek 
lizard  surrounded  by  dots,  while  she  is  encircled  by  aksara  letters  of  the 
Balinese  alphabet.  Emanating  from  the  dots  around  the  lizard  are  lines  that 
point  towards  a  dancer,  a  musician,  a  painter,  a  sculptor  and  an  architect. 
This  vision  of  the  birth  of  the  arts  as  being  inseparable  from  the  creation  of 
aksara  is  consistent  with  Gunarsa's  belief  that  "all  Balinese  art  forms  begin 


Satu  diantara  lukisannya  Gunarsa  menggambarkan  sang  Dewi  mengambang 
di  atas  binatang  cecak  diitari  oleh  titik-titik,  sementara  sang  Dewi  diitari 
oleh  aksara,  huruf-huruf  dari  abjad  Bali.  Terpancar  dari  titik-titik  diseputar 
cecak  adalah  garis-garis  yang  menunjuk  ke  arah  penari,  pemusik,  pelukis, 
pematung,  dan  arsitektur.  Pemandangan  kelahiran  dari  berbagai  bentuk  seni 
kreasi  tidak  terpisahkan  dari  aksara  menjadi  tetap  dengan  kepercayaannya 


59 


with  the  aksara!'  The  background  of  the  drawing  is  filled  with  abstracted 
miniature  aksara.  This  sketch  of  Saraswati  as  the  mother  of  art  and  literature 
is  an  explicit  embodiment  of  the  interpenetration  of  visible  and  invisible 
worlds  that  is  implicit  in  all  his  work. 


One  of  the  most  sacred  aksara  is  called  the  ongkara.  It  is  a  visualization  of  the 
syllable  'om'  which  is  itself  a  conflation  of  three  other  syllables  representing 
the  Hindu  trinity  of  Brahma,  Siva,  and  Visnu.  After  one  of  the  trial  sessions, 
Gunarsa  retreated  to  the  comfort  of  the  studio  at  his  home  in  Klungkung, 
where  he  reflected  on  the  nature  of  the  aksara  as  he  drew.  "The  fundamental 
shape  of  the  aksara  is  a  triangle,"  Gunarsa  says  as  he  sketches  three  triangles 
radiating  outwards  from  the  'om'  aksara.  Below  each  triangle  he  draws  three 
letters  of  the  aksara  alphabet.  "Each  letter  has  the  elements  of  a  dance,"  he 
says  as  he  transforms  the  curves  of  the  three  letters  into  the  limbs  of  three 
dancers,  preserving  the  triangular  core  of  each  moving  figure.  Without 
reference  to  or  knowledge  of  the  French  writer  Antonin  Artaud,  Gunarsa  is 
proving  the  critic  s  observation  that  Balinese  dancers  actually  are  animated 
hieroglyphs.  Gunarsa  is  using  a  bamboo  pencil  on  paper  to  animate  the 
Balinese  alphabet  in  a  sketch  that  captures  the  essence  of  his  approach  to 
painting  Balinese  dance.  The  complex  conceptual  framework  of  this  drawing 
is  what  Gunarsa  attempted  to  communicate  through  his  demonstrative 
dance  in  the  courtroom.  The  sacred  dances,  mantras,  aksara,  music  and 
mudra  gestures  of  Balinese  priests  are  all  inextricably  linked  to  one  another, 
and  a  true  representation  of  the  dances  has  to  take  into  account  that  spiritual 
unity.  Gunarsa's  dance  in  the  courtroom  illustrated  the  soul  of  his  paintings 
in  action.  His  sketch  illustrated  it  on  paper.  His  drawing  depicted  the  bodies 
of  Balinese  dancers  as  animated  embodiments  of  a  sacred  alphabet. 


To  complete  the  concept  he  was  trying  to  illustrate  in  his  studio,  Gunarsa 
framed  the  bm'  aksara  and  the  three  dancing  letters  with  drawings  of  the 
two  most  sacred  figures  in  Balinese  dance.  Barong  and  Rangda.  Barong  is  a 


Gunarsa  bahwa,  "semua  bentuk  seni  Bali  dimulai  dari  aksara."  Latar  belakang 
dari  lukisannya  dipenuhi  dengan  mininatur  abstrak  dari  aksara.  Sketsa 
Saraswati  ini  sebagai  ibu  dari  seni  dan  literatur  adalah  perwujudan  langsung 
dari  interpenetrasi  dunia  nyata  dan  dunia  tidak  nyata  yang  terkandung  pada 
semua  karyanya. 

Satu  yang  paling  sakral  diantara  aksara  disebut  ongkara.  Itu  adalah 
visualisasi  dari  silabel  'Om'  yang  mana  di  dalamnya  merupakan  gabungan 
dari  tiga  silabel  perwujudan  dari  Sanghyang  Tri  Murti  yakni  Brahma,  Siwa 
dan  Wisnu.  Seusai  satu  sesi  pemeriksaan  pengadilan  Gunarsa  mundur 
untuk  menghibur  diri  di  studio  di  rumahnya  di  Klungkung,  dimana  dia 
refleksikan  sifat  alami  aksara  tersebut  ketika  dia  melukis.  "Bentuk  dasar 
dari  aksara  adalah  segi  tiga"  kata  Gunarsa  sembari  mensketsa  tiga  segitiga 
sebagai  pancaran  keluar  dari  aksara  'Om!  Di  bawah  masing-masing  segitiga 
dia  melukis  tiga  huruf  dari  abjad  aksara.  "Setiap  huruf  memiliki  elemen 
tarian"  katanya  ketika  dia  mentransformasikan  lekukan  dari  ketiga  huruf  ke 
dalam  wujud  tiga  penari,  memelihara  esensi  bentuk  segi  tiga  tersebut.  Tanpa 
referensi  terhadap  pengetahuan  dari  seorang  penulis  Francis  Antonin  Artaud, 
Gunarsa  telah  membuktikan  observasi  kritis  bahwa  penari  Bali  sesungguhnya 
adalah  animasi  hieroglyphs  (bahasa  yang  divisual  dengan  simbol-simbol). 
Gunarsa  menggunakan  pensil  bambu  pada  kertas  untuk  menghidupkan 
abjad  huruf  Bali  ke  dalam  sketsa  yang  dapat  ditangkap  esensi  pendekatannya 
ke  dalam  lukisan  tarian  Bali.  Konsepsi  yang  kompleks  sebagai  bingkai  kerja 
dari  lukisannya  apa  yang  Gunarsa  coba  komunikasikan  dengan  demontrasi 
tariannya  di  ruang  persidangan.  Tarian  suci,  mantra,  aksara,  musik  dan 
gerakan  mudra  tangan  pendeta  tidak  memungkinkan  keluar  melepaskan 
diri  hubungan  satu  sama  lain,  dan  presentasi  tari-tarian  sesungguhnya  telah 
memberitahukan  persatuan  spritual  tersebut.  Tariannya  Gunarsa  di  ruang 
pemeriksaan  pengadilan  mengilustrasikan  jiwa  dari  lukisannya  dalam  bentuk 
aksi.  Lukisannya  mengambarkan  wujud  dari  penari-penari  Bali  seperti  yang 
dihidupkan  ke  dalam  wujud  abjad  suci. 

Melengkapi  konsep  yang  dia  coba  ilustrasikan  di  studionya,  Gunarsa 
membingkai  aksara  om' dengan  tiga  tarian  huruf  dengan  lukisan  dari  dua  figur 
yang  paling  suci  yakni  Barong  dan  Rangda.  Barong  adalah  mahluk  menyerupai 


60 


61 


62 


.,^-itii'ltfc 


-^  •  ■  -:> 


Art    '^ 


dragon-like  creature  who  represents  positive  protective  forces,  and  Rangda 
is  a  fanged  demonic  female  who  represents  negative  destructive  forces. 
These  two  fantastical  embodiments  of  ruabineda  are  traditionally  pitted 
against  one  another  in  temple  dances,  and  Gunarsa  draws  them  on  opposite 
sides  of  his  dancing  alphabet,  singing  in  the  low  demonic  growl  associated 
with  Rangda  as  he  sketches  her  wildly  flailing  limbs.  The  painter  sings  the 
music  associated  with  Barong  as  he  draws  the  calmer  but  still  vibrant  form 
of  the  dragon.  Like  the  dancers  in  his  paintings,  these  figures  are  alive  with 
movement,  as  is  Gunarsa's  entire  body  when  he  draws  them.  Part  of  the  flow 
of  movement  from  arm  to  hand  to  bamboo  implement  to  paper  includes 
the  flicking  of  Gunarsa's  wrist  as  he  sketches  tiny  aksara  between  the  lines 
that  depict  the  dancing  emblems  of  good  and  evil.  In  the  end  his  sketch 
encompasses  a  microcosm  of  the  Balinese  world-view,  alive  with  swirling 
movements  of  sacred  dance  generated  by  an  intricate  alphabet  that  contains 
the  seeds  of  divine  choreography  in  the  curves  and  angles  of  each  letter.  It 
is  a  visualization  of  the  meaning  of  dance  in  Bali  that  Gunarsa  might  never 
have  put  to  paper  if  the  secular  courts  had  not  forced  him  to  define  how  his 
art  captures  the  essence  of  his  subjects.  Like  the  fragments  of  choreography 
Gunarsa  presented  as  evidence  in  the  courtroom,  his  diagrammatic  sketch 
is  an  attempt  to  capture  the  invisible  truths  that  are  encoded  in  the  textures 
of  all  Balinese  art  forms. 


These  traces  of  the  invisible  world  can  be  found  in 
the  best  examples  of  Balinese  music,  dance,  theater, 
and  visual  artworks.  To  use  his  wife's  phrase, 
Gunarsa  has  assimilated  these  elements  of  Balinese 
spiritual  beliefs  'in  the  marrow  of  his  bones.'  They 
form  the  core  of  the  artistic  "soul"  he  believed  was 


naga  melambangkan  kekuatan  positif  sebagai  pelindung,  dan  Rangda  adalah 
figure  raksasa  wanita  bertaring  melambangkan  kekuatan  negatif  atau 
peleburan.  Keduanya  merupakan  perwujudan  fantastis  dari  ruabineda  secara 
tradisi  beradu  satu  dengan  yang  lain  di  dalam  tari-tarian  pura,  dan  Gunarsa 
melukiskannya  kedalam  dua  sisi  yang  bertentangan  pada  tarian  hurufnya, 
bernyanyi  mengeram  dalam  suara  rendah  yang  diasosiasikan  dengan  Rangda 
sewaktu  dia  mensketsa  dengan  buasnya  mencambuk  anggota  badannya. 
Pelukis  menyanyikan  musik  yang  diasosiasikan  dengan  Barong  sewaktu 
dia  melukis  dengan  tenang  namun  tetap  penuh  getaran  muncul  dari  figure 
naga  tersebut.  Seperti  figur  penari  dalam  lukisannya,  figur-figur  ini  jelas 
nampaknya  hidup  dengan  gerakannya  sepertinya  menyatu  dengan  gerakan 
seluruh  badannya  Gunarsa  manakala  dia  melukis.  Bagian  dari  mengalirnya 
gerakan  dari  tangannya  ke  bambu  dalam  mengimplementasikan  ke  dalam 
kertas  termasuk  kibasan  dari  Gunarsa  yang  meliuk  sewaktu  dia  mensketsa 
aksara-aksara  kecil  diantara  garis-garis  yang  menggambarkan  emblem  dari 
sifat  baik  dan  buruk.  Diakhir  pensketsiannya  yang  meliputi  mikrokosmos 
dari  pandangan  dunia  orang  Bali,  hidup  dengan  gerakan-gerakan  melingkar 
dari  tarian  sakral  yang  terlahir  dari  penggambaran  hurup  yang  ruwet  yang 
berisi  koreografi  dari  biji-bijian  kedewataan  di  dalam  lingkungan  dan  sudut 
dari  setiap  huruf.  Itu  adalah  visualisasi  dari  arti  tarian  di  Bali  yang  mana 
Gunarsa  barangkali  belum  pernah  menaruhnya  di  kertas  jika  peradilan  sekuler 
yang  telah  mendorong  dia  untuk  mendapatkan  bagaimana  karya  seninya 
menangkap  esensi  dari  tarian  Bali.  Seperti  fragmen  dari  sebuah  koreografi 
Gunarsa  berikan  sebagai  bukti  di  dalam  ruang  pemeriksaan  persidangan, 
sketsa  diagramatikanya  adalah  berkehendak  untuk 
menangkap  kebenaran  yang  tidak  nampak  dia 
padukan  dalam  tekstur  pada  semua  bentuk  seni  di 
Bali. 

Penjelajahan  dunia  yang  tidak  nyata  ini  didapat  di 
dalam  contoh  yang  paling  baik  dalam  Bali  seperti: 
musik,  tarian,  teater,  dan  pekerjaan  seni  visual. 
Menggunakan  frase  istrinya  Gunarsa  yang  telah 
mengasimilasikan  elemen-elemen  dari  kepercayaan 
spiritual  orang  Bali  ke  dalam  "sumsum  tulangnya". 


63 


being  falsified  by  the  forged  paintings  in  the  trial,  setting  what  he  believed 
to  be  a  dangerous  precedent  for  the  falsification  of  Bali's  artistic  and  spiritual 
identity  on  a  larger  scale.  Although  it  was  ultimately  the  truths  of  the 
invisible  world  that  were  on  trial  in  Gunarsa's  case,  the  rhetoric  of  the  lawyers 
focused  on  the  more  tangible  and  visible  elements  of  truth  and  evidence 
that  are  appropriate  to  a  secular  court  of  law.  But  even  Sinyo,  a  Christian, 
understood  that  the  case  was  in  some  sense  about  the  underlying  truths  of 
cultural  identity,  and  not  just  about  paintings.  Responding  to  Indrawati's 
testimony,  the  defendant  complained  to  the  judge  that  she  had  once  called 
him  "a  person  without  culture"  who  could  not  represent  the  character  of  the 
nation  "because  I  was  just  a  businessman."  She  had  said  nothing  of  the  kind  in 
this  trial,  but  he  had  clearly  been  mulling  over  something  she  had  said  years 
ago,  hoping  to  win  his  case  by  declaring  himself  a  man  of  culture  as  well.  So, 
when  he  was  asked  by  the  judge  to  comment  on  Gunarsa's  testimony,  Sinyo 
staged  a  cultural  performance  of  his  own.  He  dramatically  called  for  an 
assistant  to  enter  the  courtroom.  The  man  complied,  carrying  what  looked 
like  it  might  be  another  painting,  wrapped  in  brown  paper.  Sinyo  ripped 
off  the  paper  to  reveal  a  hand  painted  placard  signed  by  Gunarsa  endorsing 
the  gallery  where  Sinyo  claimed  to  have  bought  the  paintings  that  were  now 
being  called  false. 


Semuanya  itu  membentuk  inti,  jiwa  artistiknya  yang  dia  percaya  telah 
dipalsukan  oleh  si  pemalsu  lukisan  di  dalam  pemeriksaan  pengadilan, 
menseting  apa  yang  dia  percaya  akan  menjadi  preseden  buruk  dan  berbahaya 
untuk  pemalsuan  karya  artistiknya  Bali  dan  identitas  spiritual  dalam  skala 
yang  lebih  luas.  Walaupun  pada  akhirnya  kebenaran  dari  dunia  yang  tidak 
nyata  terjadi  pada  pemeriksaan  pengadilan  dalam  kasusnya  Gunarsa, 
retorikanya  para  pengacara  lebih  terfokus  pada  kebenaran  dan  bukti-bukti 
yang  elemennya  kelihatan  secara  kasatmata  yang  lebih  cocok  untuk  peradilan 
hukum  sekuler.  Akan  tetapi  kendatipun  Sinyo  yang  menganut  agama  Kristen 
mengerti  bahwa  kasusnya  dalam  beberapa  pengertian  tentang  kebenaran 
yang  melandasinya  dari  identitas  budaya,  dan  tidak  semata  tentang  lukisan. 
Merespon  kesaksiannya  Indrawati  Sinyo  komplain  kehadapan  jaksa  karena 
Indrawati  pernah  mengatakan  dirinya  "seseorang  tanpa  budaya"  yang  tidak 
dapat  mewakili  karakter  bangsa  "oleh  karena  saya  (Sinyo)  adalah  hanya 
orang  bisnis."  Dia  tidak  bilang  apa-apa  pada  pemeriksan  pengadilan  seperti 
ini,  akan  tetapi  dia  secara  jelas  mempertimbangkan  atas  sesuatu  yang  dia 
katakan  setahun  sebelumnya,  dengan  harapan  untuk  memenangkan  kasus 
ini  Sinyo  mengumumkan  dirinya  sendiri  sebagai  seorang  budayawan  juga. 
Dengan  demikian  ketika  dia  ditanya  oleh  hakim  untuk  mengomentari 
kesaksiannya  Gunarsa,  Sinyo  mempertontonkan  pertunjukan  budayanya 
sendiri.  Dia  secara  dramatik  memanggil  untuk  seorang  pendamping  untuk 
memasuki  ruang  persidangan.  Orang  itu  menyetujui  dengan  membawa 
sesuatu  yang  kelihatannya  itu  adalah  kiranya  sebuah  lukisan  yang  lain,  yang 
dibungkus  dengan  kertas  coklat.  Sinyo  merobek  kertasnya  untuk  membuka 
plakat  yang  dilukis  tangan  ditunda  tangani  oleh  Gunarsa  menguasakan 
sebuah  galeri  dimana  Sinyo  mengklaim  didapat  dengan  cara  membeli  lukisan 
tersebut  yang  kini  disebut  sebagai  pemalsuan. 


"What  was  your  intention  in  making  this  sign  for  the  Switha  Gallery?"  he 
shouted  triumphantly  to  Gunarsa.  Then  turning  to  the  judge  he  declared, 
"I  found  this,  Your  Honor,  in  the  Switha  gallery...  I  got  all  the  paintings 
here  that  are  being  called  false  from  the  Switha  Gallery. . .  So  now  I  want  an 
answer,  yes  or  no?  About  this  matter  of  Mr.  Switha  I  invite  Mr.  Gunarsa  to 
swear  to  the  Gods  in  the  ritual  of  sumpah  cor,  here  and  now." 


"Apa  niat  saudara  membuat  tandatangan  seperti  ini  untuk  Switha  Gallery?" 
dia  berteriak  secara  berjaya  kehadapan  Gunarsa.  Kemudian  berpaling 
kepada  hakim  dia  mengumumkan  "Saya  dapatkan  ini.  Yang  Mulia,  di  Switha 
Gallery..  Saya  dapat  semua  lukisan-lukisan  disini  yang  dikatakan  palsu  dari 
Switha  Gallery...  Dengan  demikian  sekarang  saya  butuh  jawaban  ,  ya  atau 
tidak?  Berkenaan  dengan  masalah  ini  dari  Pak  Switha  saya  mengundang 


65 


Gunarsa  had  in  fact  made  the  sign  as  a  favor  to  the  gallery  owner,  but  it 
had  nothing  to  do  with  the  paintings  under  question  in  the  trial.  Gunarsa 
explained  the  meaning  of  the  placard  calmly,  but  he  was  incensed  by  Sinyo's 
introduction  of  a  sacred  ritual  challenge  into  the  court.  According  to 
Balinese  Hindu  laws  a  "sumpah  cor"  is  "an  oath  of  pouring"  that  involves 
going  to  a  high  priest  and  swearing  the  truth  of  a  statement  while  drinking 
holy  water.  The  implication  of  the  ritual  is  that  the  results  of  the  oath  will  be 
"poured"  like  water  upon  one's  descendents,  blessing  them  if  the  statement 
is  true  and  cursing  them  if  it  is  false.  Since  he  had  already  sworn  an  oath 
to  God  and  the  state  before  he  began  his  testimony,  Gunarsa  resented  the 
implication  by  Sinyo  that  he  was  lying,  but  he  was  even  more  upset  by  what 
he  felt  was  an  inappropriate  invocation  of  a  sacred  ceremony  that  could  only 
be  conducted  by  a  high  priest  in  a  sacred  setting.  No  priest  would  ever  agree 
to  perform  a  sacred  ritual  of  that  nature  in  a  secular  courtroom.  In  Gunarsa's 
mind,  Sinyo,  a  non-Hindu,  was  proposing  another  forgery,  a  false  ceremony 
that  would  be  totally  inappropriate  to  the  setting  at  hand.  Like  the  forged 
paintings,  the  very  idea  was  "out  of  balance,"  a  kind  of  spiritual  blasphemy 
that  would  cheapen  the  ritual  the  way  the  forged  paintings  cheapened  the 
sacred  dances  they  depicted.  It  was  in  Gunarsa's  mind  an  insult  to  the  spirits 
of  the  invisible  world. 


"Don't  make  things  up,"  he  shouted  to  Sinyo.  "Don't  try  to  divert  our 
attention  to  blur  the  issues.  Don't  play  around  with  swearing  to  the  gods." 
Gunarsa  raised  his  arms  in  a  dramatic  gesture  as  he  spoke  and  the  courtroom 
spectators  applauded.  They  too  sensed  that  the  invisible  world  of  their  gods 
and  ancestors  was  on  trial  along  with  the  paintings. 


Gunarsa  untuk  mengucapkan  sumpah  dihadapan  Tuhan  dengan  upacara 
"sumpah  cor,"  di  sini  dan  sekarang." 

Gunarsa  pada  kenyatannya  membuat  tanda  tangan  sebagai  tanda  kebaikan 
hati  untuk  pemilik  galeri,  akan  tetapi  tidak  ada  yang  dilakukan  dengan  lukisan- 
lukisan  dibawah  pertanyaan  di  dalam  pemeriksan  pengadilan.  Gunarsa 
menerangkan  arti  dari  plakat  secara  tenang,  akan  tetapi  dia  telah  dibuat  marah 
oleh  pendahuluannya  Sinyo  dari  upacara  suci  ditantang  di  dalam  pengadilan. 
Menurut  hukum  orang  bali  Hindu,  "sumpah  cor"  adalah  "sumpah  kucuran" 
yang  menyertakan  pendeta  dan  bersumpah  akan  kebenaran  dari  pernyataan 
sambil  menegak  air  suci.  Implikasi  dari  upacara  ini  adalah  hasil  dari  sumpahnya 
akan  dikucurkan  seperti  air  kepada  keturunan  seseorang,  memberkahi  dia 
bila  pernyataannya  benar  dan  mengutuk  dia  kalau  dia  itu  salah.  Sementara 
dia  telah  mengucapkan  sumpah  kehadapan  Tuhan  dan  Negara  sebelum  dia 
memulai  pemeriksaan  pengadilan  ini,  Gunarsa  marah  akan  usul  Sinyo  bahwa 
dia  adalah  bohong,  bahkan  dia  lebih  terganggu  dengan  apa  yang  dia  rasa 
tidak  pantas  berdoa  dengan  upacara  sakral  yang  hanya  boleh  dilakukan  oleh 
pendeta  dalam  tempat  yang  suci  pula.  Tak  seorang  pendetapun  akan  setuju 
untuk  menyelenggarakan  upacara  sakral  dengan  sifat  alamnya  dalam  tempat 
sekuler  seperti  ruangan  pengadilan  ini.  Dalam  benaknya  Gunarsa,  Sinyo  yang 
bukan  orang  Hindu,  telah  mengusulkan  pemalsuan  yang  lain,  upacara  palsu 
yang  akan  sepenuhnya  tidak  pantas  untuk  situasi  sekarang  di  pengadilan. 
Seperti  pada  lukisan  palsu,  dari  ide  juga  "diluar  keseimbangan"  sejenis 
spiritual  penghinaan  terhadap  Tuhan  yang  akan  membuat  upacara  menjadi 
murahan  sama  halnya  dengan  lukisan-lukisan  palsu  yang  membuat  murahan 
penari  sacral  yang  digambarkan.  Adalah  di  dalam  benaknya  Gunarsa  sebuah 
penghinaan  kehadapan  spirit  didunia  tidak  nyata. 

"Jangan  mengada-ada"  dia  berteriak  kehadapan  Sinyo.  "Jangan  mencoba 
mengalihkan  perhatian  kita  untuk  tujuan  mengaburkan  masalah.  Jangan 
berputar  dengan  bersumpah  kepada  Tuhan"  Gunarsa  mengangkat  tangannya 
dalam  gerakan  dramatic  ketika  dia  berbicara  dan  pengunjung  di  dalam 
ruang  persidangan  bertepuk  tangan.  Mereka  terlalu  perasaan  bahwa  dunia 
tidak  nyata  dari  Tuhan  mereka  dan  para  leluhurnya  berada  dalam  sidang 
pengadilan  bersama  lukisan-lukisannya. 


66 


Ajfter  months  of  testimony  from  expert  witnesses  on  both  sides,  the 
judges  handed  down  a  mixed  verdict  that  was  inconclusive  and  full  of 
contradictions,  a  muddled  model  of  ruabineda  run  amok.  Gunarsa's 
courtroom  dance  had  been  persuasive  in  helping  to  convince  the  judges 
that  the  paintings  were  in  fact  forgeries.  But  in  a  confusing,  almost  farcical 
decision,  they  declared  that  since  the  paintings  were  false,  and  had  been 
proven  not  to  be  the  work  of  Gunarsa,  they  could  not  be  protected  as  his 
work  under  copyright  law.  Sinyo  and  his  associates  were  cleared  of  all 
charges,  and  no  one  was  convicted  of  wrongdoing.  Gunarsa  was  crushed. 
He  vowed  to  appeal  to  the  high  court  in  Jakarta,  but  while  he  waited  for  a 
decision  about  whether  or  not  they  would  hear  his  case,  the  artist's  thoughts 
turned  back  to  the  still  higher  court  of  the  invisible  world.  While  he  was 
waiting  for  a  reprieve  from  the  injustice  he  had  received  at  the  hands  of  the 
judges  in  the  visible  world  of  sekala,  he  would  revisit  the  satisfaction  he 
had  enjoyed  while  watching  the  trial  imagined  by  the  wayang  puppets  in 
the  invisible  world  of  niskala.  Some  of  the  events  depicted  in  the  shadow 
puppet  play  had  been  prophetic.  Performed  a  week  before  the  trial  began, 
the  wayang  enacted  scenes  that  would  later  occur  in  court.  The  puppet  play 
had  foreseen  the  manipulation  of  the  law  at  the  same  time 
that  it  had  clarified  ethical  issues  that  had  been  blurred 
by  the  legal  rhetoric  of  the  trial  lawyers.  In  the  months 
that  followed  the  trial's  muddled  verdict,  Gunarsa  often 
returned  to  the  trial  as  it  had  been  depicted  on  the  wayang 
stage,  painting  its  characters  repeatedly,  mimicking  the 
voices  of  the  puppets,  reflecting  on  the  insights  of  the 
clowns,  and  even  envisioning  a  sequel. 


Setelah  sebulan  kesaksian  dari  saksi  ahli  dari  kedua  belah  pihak  diperiksa, 
para  hakim  meneruskan  dengan  keputusan  campuran  yang  mana  belum 
selesai  dan  penuh  dengan  kontradiksi  bercampur  aduk  seperti  rua  bineda' 
menjadi  rusuh.  Tariannya  Gunarsa  dalam  ruang  persidangan  telah 
membujuk  untuk  meyakinkan  para  hakim  bahwa  lukisan-lukisan  pada 
kenyataannya  adalah  dipalsukan.  Akan  tetapi  dalam  keputusan  yang  sangat 
membingungkan  dan  bahkan  cendrung  sebagai  sebuah  lelucon,  mereka 
mengumumkan  bahwa  sesungguhnya  lukisan-lukisan  tersebut  dinyatakan 
tiruan,  dan  telah  dibuktikan  bukan  hasil  karyanya  Gunarsa,  semuanya  itu 
tidak  bisa  dilindungi  sebagai  karyanya  dihawah  hukum  hak  cipta.  Sinyo  dan 
seluruh  asosiasinya  dibebaskan  dari  semua  tuntutan  dan  tak  seorangpun 
dihukum  karena  melakukan  pelanggaran.  Gunarsa  dihancurkan.  Dia 
berjanji  untuk  memohon/naik  banding  ke  Mahkamah  Agung  di  Jakarta, 
akan  tetapi  sementara  dia  menunggu  pada  keputusan  apakah  juga  mereka 
tidak  mendengarkan  kasusnya,  pikiran  seniman  beralih  lagi  ke  hal:  masih 
ada  pengadilan  lebih  tinggi  di  dunia  tidak  nyata.  Sementara  dia  menunggu 
penangguhan  hukuman  dari  ketidak  adilan  dia  menerima  keputusan  para 
hakim  dari  dunia  nyata  dunia  Sekala,  dia  akan  mengunjungi  kembali  untuk 
kepuasan  dengan  membuat  kesenangan  dirinya  sambil 
melihat  peradilan  yang  diimajinasikan  dalam  wayang  kulit 
di  dunia  maya,  dunia  Niskala.  Beberapa  peristiwa  yang 
dilukiskan  di  dalam  pertunjukan  wayang  telah  menjadi 
ramalan,  menetapkan  adegan  pembabakan  yang  nantinya 
terjadi  di  pengadilan.  Yang  lain  mengklarifikasi  isu  ketika 
yang  telah  dikaburkan  oleh  retorika  hukum  dari  peradilan 
para  pengacara.  Bulan-bulan  berikutnya  setelah  peradilan 
dengan  keputusannyayangbercampur  aduk,  Gunarsasering 
kembali  ke  pengadilan  seperti  itu  melukiskannya  ke  dalam 
pertunjukan  wayang,  melukis  tokoh-tokohnya  berulang 
kali,  menirukan  suara-suara  wayang  mencerminkan 
pengertian  yang  mendalam  dari  tokoh  panakawan  dan 
bahkan  memimpikan  kelanjutannya. 


67 


PUPPET  JUSTICE: 

The  Shadows  of 
Clowns  and  Kings 

Keadilan   dalam 
Wayang: 

Bayang-bayang  para  Panakawan 
dan  Raja 


69 


"The  path  of  life  is  full  of  choices  between  what  is  false  and  what  is  true, 
so  we  as  human  beings  have  to  decide:  Do  we  want  to  become  false  or 
do  we  want  to  become  our  true  selves?  Watching  the  shadow  puppet 
characters,  the  choice  is  clear." 

-  I  Wayan  Nardayana,  the  shadow  puppet  master  known  as 
'Dalang  CenkBlonk.' 


"Jalan  hidup  ini  penuh  dengan  pilihan  diantara  apa  itu  salah  dan  apa 
itu  benar,  dengan  demikian  kita  sebagai  manusia  harus  memutuskan: 
Apakah  kita  ingin  menjadi  pembohong  atau  apakah  kita  memilih 
kebenaran  kita  dalam  diri?  Dengan  melihat  pertunjukan  tokoh-tokoh 
dalam  wayang  kulit,  pilihan  menjadi  jelas." 

-  I  Wayan  Nardayana,  seorang  dalang  yang  dikenal  dengan 
sebutan  dalang  Cenk  Blonk. 


When  Gunarsa  visits  the  puppet  master  I  Wayan 

Nardayana  at  his  home  in  the  village  of  Belayu 

he    wears    the    traditional    sarong,    sash,    and 

headdress  the  Balinese  wear  when  going  to  sacred 

ceremonies.  Although  their  meetings  are  friendly 

and  informal,  a  conversation  between  two  artists 

who  have  reached  the  pinnacles  of  their  respective 

fields,  Gunarsa  wears  these  clothes  as  a  sign  of 

respect.  "Visiting  a  dalang  is  like  visiting  a  priest," 

he  says  with  a  laugh,  but  there  is  a  bit  of  truth  in 

Gunarsa's  joke.   The  word  dalang  is  an  honorific 

term  that  implies  much  more  than  its  awkward 

English   language   equivalent:    "shadow   puppet 

master."  The  dalang  has  mastered  the  art  form  of  'wayang  kulif  ('shadows 

of  skin  or  leather'),  a  genre  of  puppetry  with  deep  sacred  significance  to 

the  Balinese.  Mastering  the  form  involves  not  only  learning  the  technical 

skills  of  manipulating  the  puppets,  but  also  studying  the  Mahabhrata, 

Ramayana,  and  other  sacred  texts  that  are  enacted  in  improvised  episodes 

during  the  performances.    Many  shadow  puppet  plays  are  performed  as 

part  of  ceremonial  temple  festivals,  but  even  the  ones  performed  in  secular 

settings  are  preceded  by  ritual  offerings,  chants,  and  prayers. 


Ketika  Gunarsa  mengunjungi  dalang  Wayan 
Nardayana  di  desa  Belayu  dia  mengenakan 
busana  tradisi  memakai  sarung  dan  kain  sebagai 
ikat  pinggang,  dan  ikat  kepala,  tataan  busana  yang 
biasa  dikenakan  ketika  mengikuti  upacara  sakral. 
Kendati  perteman  mereka  adalah  bersahabat  dan 
bersahaja,  percakapan  diantara  kedua  seniman 
yang  telah  mencapai  puncak  dari  bidang  keahlian 
yang  dihormati,  Gunarsa  mengenakan  busana 
ini  sebagai  wujud  rasa  hormatnya.  "Mengunjungi 
dalang  sama  halnya  mengunjungi  pendeta" 
katanya  sambil  tertawa,  akan  tetapi  ada  unsur 
benarnya  dari  guraunya  Gunarsa.  Kata  dalang 
adalah  sebutan  kehormatan  yang  menyiratkan  lebih  jauh  dari  kekakuan 
Bahasa  Inggris  untuk  hal  yang  sejajar:  "shadow  puppet  master"  Seorang 
dalang  adalah  piawi  akan  bentuk  seni  pedalangan  dari  "wayang  kulit" 
(wayang  yang  dibuat  dari  kulit  sapi  ditatah),  sebuah  jenis  dari  pewayangan 
dengan  arti  sakral  yang  sangat  dalam  bagi  masyarakat  Bali.  Untuk  menjadi 
ahli  dalam  bentuk  ini  melibatkan  tidak  hanya  mempelajari  keterampilan 
teknik  memainkan  wayang,  akan  tetapi  juga  mempelajari  Mahabharata, 
Ramayana,  dan  beberapa  teks  sakral  yang  lain  yang  dapat  ditetapkan  dalam 
improvisasi  pada  episode  dalam  pementasan.  Banyak  pertunjukan  wayang 
kulit  dipentaskan  sebagai  bagian  dari  upacara-upacara  di  pura,  dan  bahkan 
yang  dipentaskan  dalam  pengaturan  untuk  kepentingan  sekulerpun  didahului 
dengan  ritual  menghaturkan  sesajen,  mantra,  dan  doa. 


70 


71 


A  special  form  of  shadow  puppetry  called  wayang 

lemah  ('day  shadows')  is  staged  without  a  screen 

or  light  source,  so  that  the  painted  leather  puppets 

can  be  seen  directly  as  they  enact  scenes  from  the 

Ramayana  or  Mahabhrata  above  a  string  stretched 

between  two  tree  branches  stuck  in  the  ground.  This 

form  of  shadow  play  where  the  sun  is  the  only  source 

of  light  is  a  ritual  requirement  for  many  ceremonies. 

Because  it  is  viewed  primarily  as  a  performance  for 

the  gods,  the  Balinese  rarely  pay  attention  to  it, 

but  if  it  were  not  staged,  the  ceremony  would  be 

viewed  as  incomplete  and  ritually  invalid.  One  day 

of  the  Balinese  religious  calendar  is  set  aside  for 

honoring  the  shadow  puppets.   It  is  called  Tumpek  Wayang  ('the  Saturday 

of  the  Puppets'),  and  on  that  day  offerings  of  flowers,  fruit,  and  rice  cakes 

are  presented  to  the  puppets,  which  are  housed  in  special  shrines.   People 

who  are  born  during  the  week  of  'Tumpek  Wayang  are  considered  to  be 

especially  vulnerable  to  the  demon  of  time  (Kala)  and  often  ask  dalangs  to 

come  to  their  homes  on  their  birthdays  to  stage  a  ritually  protective  'wayang 

lemah'  about  the  god  Siwa's  son  who  was  saved  from  Kala  by  a  dalang  who 

hid  the  child  behind  his  puppets. 


Whenever  a  wayang  play  is  staged  for  a  special 
occasion,  the  dalang  meets  with  the  host  to 
discuss  ways  in  which  the  original  stories  from  the 
Mahabhrata,  Ramayana,  or  other  sources  might 
be  adapted  or  updated  to  fit  the  situation  being 
observed:  wedding,  cremation,  temple  anniversary, 
etc.  A  few  weeks  before  the  2007  trial  in  Denpasar, 


Bentuk  special  dari  pertunjukan  wayang  yang 
disebut  'wayang  lemah'  (wayang  siang  hari)  yang 
dipentaskan  tanpa  layar  (kelir)  atau  lampu  sumber 
cahaya,  dengan  demikian  pewarnaan  kulit  wayang 
dapat  dilihat  langsung  sewaktu  mereka  memainkan 
adegan  dari  Ramayana  atau  Mahabharata  di  atas 
seutas  benang  yang  dibentangkan  diantara  dua 
cabang  pohon  yang  ditancapkan  di  pohon  pisang. 
Bentuk  pertunjukan  wayang  seperti  ini  dimana 
surya  adalah  sumber  cahaya  yang  menjadi  bagian 
dibutuhkan  untuk  beberapa  upacara.  Oleh  karena 
itu  kelihatannya  sebagai  sebuah  pementasan  untuk 
para  dewa,  orang  Bali  kurang  memberi  perhatian 
kepadanya,  akan  tetapi  bila  tidak  diadakan  upacaranya  dipandang  kurang 
lengkap  secara  ritual  keagamaan  kurang  sempurna.  Satu  hari  menurut 
kalender  keagamaan  orang  Bali  ditentukan  hari  untuk  menghormati  wayang 
kulit.  Hari  itu  disebut  "Tumpek  Wayang"  (Sabtu  Keliwon  wuku  Wayang), 
dan  pada  hari  itu  sesajen  yang  dibuat  dari  rangkaian  bunga,  buah,  dan 
jajan  dari  beras  dipersembahkan  kehadapan  wayang  yang  ditempatkan 
khusus  di  tempat  suci.  Orang-orang  yang  lahir  pada  hari-hari  minggunya 
wuku  wayang  dipertimbangkan  menjadi  sangat  berbahaya  dari  kejaran 
Hyang  Kala,  dan  dalang  sering  diminta  untuk  datang  kerumahnya  pada 
hari  kelahirannya  untuk  pementaskan  wayang 
sapuh  leger  untuk  tujuan  perlindungan  seperti 
putranya  Hyanga  Siwa  yang  selamat  dari  kejaran 
Bhatara  Kala  dan  diselamatkan  oleh  dalang  dengan 
bersembunyi  dibelakang  wayang. 

Bilamana  pertunjukan  wayang  dipentaskan  untuk 
peristiwa  tertentu,  ki  dalang  bertemu  dengan  si 
penanggap  untuk  membicarakan  jalan  yang  mana 
ceritera  aslinya  dari  Mahabharata,  Ramayana 
atau  sumber  ceritera  lainnya  kiranya  diadopsi  atau 
diperbaharui  untuk  penyesuaian  dengan  situasi 
yang  sedang  di  amati:  perkawinan,  kremasi,  upacara 


72 


1 


Gunarsa  asked  Nardayana  if  he  could  perform  a  shadow  play  that  might  have 
some  relevance  to  the  issue  of  copyright  protection.  The  dalang  agreed. 


"As  soon  as  Mr.  Gunarsa  told  me  his  situation  I  knew  immediately  that 
the  story  of  "Anggada  Palsu"  ("The  False  Anggada")  would  fit  perfectly," 
said  Nardayana,  whose  nickname  as  'Dalang  CenkBlonk'  comes  from  the 
names  of  two  ancient  wayang  clown  characters,  Cenk  and  Blonk,  whom  he 
resurrected  as  his  trademark  characters.  They  appear  at  the  end  of  all  his 
stories  as  representatives  of  ordinary  people  commenting  on  the  meaning 
of  the  play  and  its  relevance  to  the  current  concerns  of  the  audience.  This  is 
a  function  that  is  also  served  by  the  two  pair  of  clown  servants  that  appear 
in  every  Balinese  shadow  play  (Twalen  &  Merdah,  Delem  &  Sanggut), 
but  Cenk  and  Blonk  are  especially  ridiculous  free  spirits  whose  satirical 
commentary  gives  Nardayana's  performances  a  unique  twist.  Their 
distinctive  voices  have  helped  to  make  Dalang  CenkBlonk  the  most  sought- 
after  puppet-mater  on  the  island  of  Bali.    In  telling  the  story  of  "The  False 


odalan  di  pura  dan  yang  lainnya.  Beberapa  minggu  sebelum  peradilan  tahun 
2007  di  Denpasar,  Gunarsa  meminta  kepada  Nardayana  mempertunjukkan 
wayang  kulit  yang  kiranya  mempunyai  beberapa  relevansi  dengan  masalah 
perlindungan  hak  cipta.  Ki  dalang  setuju. 

"Demikian  Pak  Gunarsa  memberitahu  saya  situasinya  saya  tahu  tanpa 
harus  berfikir  panjang  bahwa  ceritera  "Anggada  Palsu"  akan  cocok  dengan 
sempurna"  kata  Nadayana,  yang  memiliki  nama  kondangnya  sebagai  dalang 
CenkBlonk  terlahir  dari  nama-nama  dua  tokoh  wayang  badutan  yakni, 
Cenk  (Nang  Klenceng)  dan  Blonk  (Nang  Eblong)  yang  mana  dia  hidupkan 
dan  selipkan  pada  bagian  akhir  dari  keseluruhan  ceritera  sebagai  perwakilan 
dari  orang  kebanyakan  berkomentar  terhadap  kepedulian  masalah  kekinian 
penonton.  Fungsi  seperti  ini  juga  dilakukan  oleh  dua  pasang  punakawan 
yang  selalu  hadir  pada  setiap  pementasan  wayang  kulit  Bali  yakni  (Twalen  & 
Mredah,  Delem  &  Sangut),  akan  tetapi  Cenk  dan  Blonk  adalah  terutamanya 
menggelikan  spirit  bebas  (membebaskan  minuman  keras)  yang  komentar- 
komentarnya  yang  menyindir  menjadikan  pertunjukan  wayangnya  Nardayana 
unik  membelit,  dan  telah  membuat  membantu  dia  menjadi  dalung  yang  paling 


73 


Anggada"  Nardayana  used  the  comic  dialogue  of  these  six 
clown  figures  to  inform  the  audience  about  the  relevance  of 
the  ancient  allegory  to  the  modern  copyright  trial  that  was 
about  to  take  place  in  Denpasar.  They  make  their  points 
through  jokes  and  puns  that  make  the  complex  ethical 
issues  accessible  and  palatable  to  the  diverse  audiences 
who  attend  shadow  plays  for  a  variety  of  reasons,  from  a 
desire  for  pure  entertainment  and  the  fulfillment  of  social 
obligations  to  a  hunger  for  philosophical  enlightenment  or 
simple  curiosity. 


The  night  that  Nardayana  performed  "The  False  Anggada"  in 
Denpasar's  Puputan  Square,  the  open  grassy  field  was  crowded  with  thousands 
of  spectators  who  had  read  about  the  free  event  in  the  newspapers.  Gunarsa 
sat  on  the  ground  in  front  of  the  screen  like  everyone  else,  wondering  what 
the  dalang  would  say.  Although  Gunarsa  had  suggested  the  play's  theme,  he 
had  no  idea  how  Nardayana  would  actually  make  the  connection  between 
the  characters  of  the  Ramayana  and  the  modern  problems  of  copyright 
enforcement.  The  dalang  had  performed  this  story  before,  but  never  with 
this  particular  theme.  "The  False  Anggada"  is  in  the  category  of  plays  called 
Kawi  Dalang  ("Inventions  of  the  Puppet  Masters").  Although  the  characters 
in  the  story  like  King  Rama,  the  monkey  general  Hanuman,  and  his  brother 
Anggada,  are  all  found  in  the  Hindu  epic  Ramayana,  the  specific  incidents 
in  the  story  were  invented  by  the  dalang. 


"In  Balinese  wayang,"  explains  Nardayana,  "many  of  the  stories  come  from 
India.  But  some  of  the  stories  were  created  in  Bali  to  relate  to  problems  that 
are  particular  to  Bali.  They  are  grafted  onto  the  original  and  give  rise  to  a 
new  branch  of  the  story.   The  dalang  is  free  to  create  a  new  branch  of  the 


digandrungi  di  Bali.  Di  dalam  membawakan  ceritera  dari 
"Anggada  Palsu"  Nardayana  menggunakan  komik  dialog 
dari  enam  tokoh  panakawan  untuk  menginformasikan 
kehadapan  penonton  tentang  relevansi  dari  kiasan  kuno  ke 
dalam  masalah  moderen  tentang  peradilan  hak  cipta  jelang 
mengambil  tempat  di  Denpasar  Mereka  membuat  poin- 
poin  melalui  lelucon  dan  silat  lidah  yang  membuat  isu-isu 
etika  dapat  diakses  dan  menjadi  enak  untuk  penonton  yang 
menyaksikan  pertunjukan  wayang,  mereka  terdiri  dari 
berbagai  lapisan  yang  hadir  dengan  alasan  yang  bervariasi, 
dari  keinginan  sekedar  menghibur  dan  pemenuhan 
kewajiban  sosial  sampai  pada  kehausan  akan  filsafat- 
filsafat  sebagai  pencerahan  atau  sekedar  ingin  tahu. 


Malam  hari  ketika  Nardayana  mempertunjukkan  ceritera 
"Anggada  Palsu"  di  tanah  lapang  berumput  Puputan  Badung  ribuan 
pengunjung  datang  memadati  dimana  mereka  mendapat  informasi  akan 
pertunjukan  gratis  tersebut  dari  surat  kabar.  Gunarsa  duduk  di  tanah  lapang 
didepan  layar  seperti  yang  lainnya,  meragukan  apa  yang  akan  dikatakan 
dalang.  Walaupun  Gunarsa  memiliki  rasa  yang  akan  dibuat  dalam 
pertunjukan,  tetapi  dia  tidak  tahu  bagaimana  kiranya  Nardayana  dapat 
membuat  hubungan  karakter-karakter  dari  pertunjukan  Ramayana  dengan 
persoalan  masa  kini  akan  penguatan  tentang  masalah  hak  cipta.  Dalang 
sudah  pernah  mempertunjukkan  ceritera  ini  sebelumnya  tetapi  bukan 
untuk  tema  khusus  seperti  ini.  "Anggada  Palsu"  termasuk  kategori  dari 
pengemasan  pertunjukan  yang  dikenal  dengan  "Kawi  Dalang"  (ciptaan  atas 
dasar  kepiawian  dalang).  Kendati  para  tokoh  di  dalam  ceritera  seperti  raja 
Rama,  petinggi  jenderal  pasukan  kera  Hanuman,  dan  saudaranya  Anggada, 
semuanya  terdapat  dalam  epik  Hindu  Ramayana,  namun  ceritera  seperti  ini 
secara  khusus  digagas  dan  dikemas  oleh  ki  dalang. 

"Di  dalam  wayang  Bali"  Nardayana  menerangkan,  banyak  ceritera  datangnya 
dari  India.  Beberapa  ceritera  ada  yang  diciptakan  di  BaU  yang  berhubungan 
masalahnya  dengan  persoalan  yang  ada  di  Bali.  Kemunculannya  didorong 
kedalam  ceritera  aslinya  dan  dibangun  sebagai  cabang  baru  dari  ceritera 


74 


plot,  but  there  still  have  to  be  the  same  two  sides,  Rawhana  on  the  evil  side, 
and  Rama  on  the  side  of  truth.  We  can  create  something  new  and  make  it 
different,  as  long  as  it  is  faithful  to  the  original.  It  is  interesting  to  expand 
the  story's  range." 


tersebut.  Dalang  mempunyai  kebebasan  menciptakan  cabang  baru  dengan 
alurnya,  namun  seyogyanya  tetap  pada  kaidah  dua  sisi  yakni  Rahwana  di 
sisi  yang  jahat  dan  Rama  di  sisi  kebenaran.  Kita  bisa  ciptakan  sesuatu  yang 
baru  dan  membuatnya  berbeda  sepanjang  tetap  setia  mengacu  pada  ceritera 
pokoknya.  Adalah  sangat  menggugah  kehendak  untuk  memperluas  cakupan 
ceritera" 


"The  False  Anggada"  stays  true  to  the  epic  formula  of  truth 

battling  falsehood,  with  the  red  monkey  general  Anggada 

and  his  brother  Hanuman  serving  the  interests  of  the 

god-king  Rama,  while  the  son  of  the  evil  Rahwana  plots 

to  assassinate  Rama  in  revenge  for  having  killed  his  father 

in  the  war  that  constituted  the  central  plot  of  the  original 

Ramayana  story.     This  variation  on  the  old  story  focuses 

on  Rahwana's  son,  named  Maya  Cakru.  Many  of  the  more 

literate  audience  members  understand  from  the  start  that 

the  character  is  linked  to  falseness  just  from  the  meaning 

of  his  name.  Maya  means  illusion,  and  the  word  Cakru  is 

derived  from  the  name  of  Vishnu's  sacred  discus,  a  magical 

weapon  called  a  cakra.  So  the  villain's  name  connotes  a  false 

or  illusory  weapon.  The  last  letter  of  the  name  is  changed 

from  'a'  to  'u'  to  reinforce  the  perception  of  falsehood. 

The  misspelling  leaves  no  doubt  that  the  'cakru'  in  the  demon's  name  is  an 

inauthentic  replica  of  the  god  Visnu's  sacred  cakra. 


"Anggada  Palsu" pembungkuskebenaran  dengan  epikformula 
dari  kebenaran  bertempur  dengan  kebohongan,  dengan 
jenderal  kera  merah  Anggada  dan  saudaranya  Hanoman 
mengabdi  pada  sang  Rama  raja  yang  disegani,  sementara 
anak  dari  raja  Rahwana  yang  jahat  merencanakan 
untuk  membunuh  Rama  sebagai  usaha  balas  dendam  atas 
kematian  ayahnya  di  dalam  perang  yang  berdasar  pada 
alur  utama  dari  ceritera  Ramayana.  Variasi  dari  ceritera 
lama  seperti  ini  difokuskan  pada  anaknya  Rahwana  yang 
bernama  Maya  Cakru.  Kebanyakan  dari  penonton  yang 
memahami  tentang  literatur  mengerti  sejak  awal  bahwa 
tokoh  ini  memiliki  kaitan  erat  dengan  kebohongan  berdasar 
dari  arti  namanya.  Maya  berarti  ilusi,  dan  kata  Cakru 
diambil  dari  nama  senjata  saktinya  dewa  Wisnu  yang 
bernama  Cakra.  Dengan  demikian  nama  dari  tokoh  jahat 
ini  dikonotasikan  pada  sebuah  kesalahan  atau  senjata  yang  menyesatkan. 
Nama  akhirnya  diganti  dari  'a'  menjadi  'u'  untuk  lebih  menekankan  persepsi 
dari  kepalsuannya.  Salah  pengucapan  tidak  diragukan  bahwa  kata  'cakru 
dalam  namanya  raksasa  adalah  tidak  asli  dari  replika  'cakra'  sucinya  dewa 
Wisnu. 


The  demon  whose  name  connotes  'false  imitation  schemes  to  enter  the 
palace  of  Rama  and  murder  him  by  turning  himself  into  a  false  imitation 
of  Rama's  trusted  general,  the  red  monkey  Anggada.  Maya  Cakru  takes 
advantage  of  the  fact  that  Anggada  is  away  from  the  palace.  The  red 
monkey  has  been  ordered  by  Rama  to  go  to  heaven  and  bring  back  holy 
water  that  is  necessary  to  complete  a  ceremony  for  the  purification  of  the 
world.  While  Anggada  is  gone,  Maya  Cakru  goes  to  the  cemetery  to  ask  the 


Raksasa  yang  namanya  dikonotasikan  dengan  'palsu  atau  imitasi' ...  untuk 
masuk  pada  istana  sang  Rama  dan  membunuh  dia  dengan  cara  membalikkan 
dirinya  ke  dalam  imitasi  kepalsuan  sang  jenderal  kepercayaan  Rama  yakni 
kera  merah  Anggada.  Maya  Cakru  mengambil  kesempatan  pada  kenyataan 
bahwa  Anggada  adalah  pergi  dari  istana.  Si  kera  merah  diperintahkan  oleh 
Rama  pergi  ke  sorga  dan  membawa  serta  air  suci  yang  sangat  dibutuhkan  untuk 
melengkapi  sebuah  upacara  untuk  penyucian  dunia.  Sementara  Anggada 


75 


death  goddess  Durga  for  the  power  to  transform  himself  into 
the  shape  of  the  red  monkey.  After  the  transformation  he  goes 
to  the  palace  with  a  container  of  counterfeit  holy  water  that 
is  actually  poison.  Anggada's  brother  Hanuman  is  suspicious 
and  stops  the  "false  Anggada"  at  the  palace  gates,  subjecting 
him  to  a  test  of  authenticity.  He  speaks  to  the  impersonator 
in  monkey  language,  and  when  he  does  not  respond  in  kind, 
Hanuman  knows  he  must  be  an  imposter.  Rama's  army  of 
monkeys  launches  a  war  against  Maya  Cakru's  demon  followers 
and  Rama's  kingdom  of  Ayodhya  is  saved. 


pergi,  Maya  Cakru  datang  ke  kuburan  memohon  kehadapan  dewi 
Durga  sebuah  kekuatan  untuk  dapat  menstranformasi  dirinya 
ke  dalam  bentuk  seekor  kera  merah.  Setelah  bertransformasi  dia 
pergi  ke  istana  dengan  sangku  berisi  air  suci  yang  sesungguhnya 
adalah  racun.  Saudaranya  Anggada  yang  bernama  Hanuman 
curiga  dan  menghentikan  langkahnya  Anggada  palsu,  di  depan 
gerbang  istana  dan  menanyakan  dirinya  melalui  sebuah  tes 
akan  keasliannya.  Dia  berbicara  dengan  penyamar  dalam 
bahasa  kera,  dan  ketika  dia  tidak  memberikan  respon  dengan 
baik,  Hanoman  mengetahui  dia  pasti  adalah  seorang  penyamar. 
Pasukan  Rama  melancarkan  serangan  kehadapan  raksasa  Maya 
Cakru  dan  pengikutnya  dengan  demikian  kerajaan  sang  Rama 
yakni  Ayodya  menjadi  selamat. 


The  shadow  play  offers  an  allegory  about  the  danger  of  accepting  false 
copies.  The  climactic  scene  in  which  Hanuman  tests  the  imposter  through 
the  use  of  monkey  language  is  the  dalangs  metaphor  for  a  courtroom 
trial.  Hanuman  is  the  judge  who  devises  a  foolproof  test  for  discerning 
the  difference  between  the  false  monkey  and  his  true  brother  Anggada. 
The  ability  to  differentiate  the  false  from  the  true  saves  the  world  not  only 
from  the  murderous  counterfeit  demon,  but  also  from  the  poisonous 
counterfeit  holy  water  he  was  planning  to  use  to  pollute  the  ceremony  that 
would  cleanse  the  world  of  evil.  The  kingdom  has  been  saved  through 
Hanuman's  wise  enforcement  of  simian  copyright  law.  More  effective 
than  a  didactic  lecture  on  the  subject,  the  shadow 
play  presents  the  theme  of  copyright  with  mesmerizing 
silhouettes  of  constantly  changing  shape  and  size  that 
conjure  up  spectacular  battle  scenes  and  hilarious  slapstick 
comedy.  The  monkey  language  test  is  particularly  funny, 
with  Hanuman's  screeches  of  gibberish  echoed  feebly  by 
Maya  Cakru's  whining  responses.  After  his  humiliation  the 
demon  meets  his  servant  Delem  who  laments,  "I  forgot  to 
give  you  a  course  in  monkey  talk." 


Pertunjukan  wayang  kulit  memberikan  kiasan  tentang  bahayanya  menerima 
duplikat  palsu.  Adegan  puncak  ketika  Hanuman  memberi  tes  kepada  yang 
palsu  melalui  menggunakan  bahasa  kera  adalah  metaporanya  dalang  untuk 
sidang  pengadilan.  Hanuman  adalah  hakim  memikirkan  tes  yang  sangat 
mudah  membedakan  perbedaan  antara  kera  yang  palsu  dengan  saudara 
aslinya  Anggada.  Kemampuan  untuk  membedakan  dari  yang  palsu  dengan 
yang  asli  dapat  menyelamatkan  dunia  tidak  saja  dari  rencana  pembunuhan 
raksasa  palsu,  tetapi  juga  dari  racun  palsu  yang  dikatakan  air  suci  yang 
dia  rencanakan  untuk  digunakan  meracuni  upacara  yang  bertujuan  untuk 
membersihkan  dunia  dari  kejahatan.  Kerajaan  dapat  diselamatkan  oleh 
Hanuman  dengan  kekuatan  kebijaksanaan  dari  peradilan 
hukum  hak  cipta  kera.  Jauh  lebih  efektif  ketimbang  dengan 
pendidikan  ceramah  pada  pokok  materi,  pertunjukan 
wayang  kulit  menyajikan  tema  tentang  hak  cipta  dengan 
bayangan  mengikat  secara  konstan  merubah  bentuk  dan 
ukuran  dengan  kenangan  adegan-adegan  perang  yang 
dahsyat  dan  lelucon  dan  badutan  yang  sangat  menggelikan. 
Tes  bahasa  yang  dilakukan  oleh  si  kera  adalah  sangat 
lucu,  dengan  siutan  Hanuman  yang  melengking  ditirukan 
dengan  lemah  oleh  Maya  Cakru  dengan  suara  melolong. 
Setelah  penghinaan  ini  si  raksasa  menemui  Delem  yang 


76 


mengeluhkan,  "Hamba  lupa  memberitaku  paduka  pelajaran  bahasa  kera." 


This  scene  and  its  central  metaphor  would  have  been  enough  to 

entertainingly  make  the  point  that  forgery  is  a  danger  to  both  the  visible 

world  of  the  body  and  the  invisible  world  of  the  spirit,  but  wayang  is  a 

sophisticated  art  form  and  Nardayana  is  one  of  its  most  accomplished 

experts.    This  'trial'  scene  is  only  the  climax  of  a  far  more  complex 

dramatic  mechanism  whose  structure  of  overlapping  sub-plots  rivals  the 

intricacy  and  depth  of  a  Shakespearean  drama.  All  the  minor  characters  are 

also  engaged  in  activities  that  echo  the  central  theme  of 

unmasking  fraud.  Like  a  Chinese  box  of  mirrors  within 

mirrors  Nardayana's  shadow  play  presents  scene  after 

scene  in  which  the  audience  is  invited  to  differentiate 

the  true  from  the  false.    The  ingeniously  interlocking 

plot-lines  are  all  the  more  remarkable  when  one  takes 

into  consideration  the  fact  that  the  play  was  improvised 

by  a  single  performer  playing  all  the  roles  himself  as 

he  changed  voices  and  manipulated  the  shadows  of 

his  puppets  while  sitting  in  a  fixed  position  behind  the 

screen. 


The  dalang  begins  the  performance  by  making  offerings 

to  the  spirits  of  the  invisible  world  and  chanting  mantras 

that  invoke  the  inspiration  of  the  gods.    He  does  this 

while  manipulating  a  mountainous  egg-shaped  puppet 

called  a  kayonan,  a  term  derived  from  a  word  that  could  mean  either  'wood' 

or  'idea'.  The  kayonan  is  the  sacred  puppet  that  begins  and  ends  all  wayang 

plays.  In  one  sense  it  is  the  tree  of  life  from  which  all  creatures  are  descended. 

At  the  same  time  it  is  a  sacred  mountain,  the  source  of  all  ideas  and  stories, 

one  of  which  is  selected  by  the  dalang  for  each  evening's  presentation. 


Adegan  ini  adalah  pusat  dari  metapora  dan  cukup  menghibur  dalam 
membuat  poin  bahwa  pemalsuan  adalah  bahaya  baik  untuk  dunia  nyata, 
dunia  material,  maupun  dunia  maya  yakni  dunianya  spirit,  dengan  wayang 
sebagai  bentuk  seni  yang  jelimet  dan  Nardayana  adalah  salah  seorang  ahli 
yang  paling  mampu  memenuhi  syarat  tersebut.  Adegan  pengadilan  ini 
adalah  hanya  sebuah  klimak  dari  jauh  lebih  kompleks  mekanisme  dramatic 
yang  strukturnya  saling  tumpang  tindih  dengan  sub-alur  dapat  menyaingi 
keruwetan  dan  kedalaman  drama  sejarah  Shakespeare. 
Semua  karakter  pendukung  juga  terlibat  dalam  aktivitas 
yang  menggema  pada  tema  inti  untuk  membuka  kedok 
penipuan.  Tak  ubahnya  seperi  kotak  cermin  China 
didalam  kotak  cermin,  pertunjukan  wayang  kulitnya 
Nardayana  mempersembahkan  adegan  demi  adegan 
yang  mana  penonton  diundang  untuk  membedakan  yang 
benar  dengan  yang  palsu.  Dengan  mahirnya  menjalin 
keseluruhan  garis  alur  dan  lebih  luar  biasa  ketika  dengan 
pertimbangan  yang  diambil  oleh  seseorang  yang  pada 
kenyataannya  pementasan  tersebut  adalah  improvisasi 
oleh  seorang  pelaku  memainkan  seluruh  peran  sendiri 
dengan  merubah-ubah  suaranya,  memainkan  bayangan 
dari  wayangnya  sambil  duduk  bersila  dibelakang  layar. 

Ki  dalang  memulai  pertunjukannya  dengan  menghaturkan 
upakara  kehadapan  spirit  didunia  tidak  nyata  dengan 
melantunkan  mantra  untuk  mengundang  inspirasi  dari 
Tuhan.  Dia  lakukan  ini  ketika  dia  memegang  wayang 
yang  berbentuk  lonjong  seperti  telor  bernama  kayonan  sebuah  nama  yang 
berarti  ganda  yakni  'kayu'  dan  'ide.'  Kayonan  adalah  wayang  sacral  dan 
selalu  digunakan  untuk  memulai  pertunjukan  wayang.  Dalam  satu  sisi 
adalah  sebagai  perwujudan  pohon  kehidupan  dimana  dari  sana  semua 
kehidupan  bermula.  Dalam  waktu  yang  bersamaan  adalah  menjadi  sumber 
dari  semua  ide,  ceritera,  satu  kiranya  yang  dipilih  oleh  dalang  untuk  setiap 
malam  disajikan. 


77 


After  the  kayonan  prologue,  Nardayana  begins  the  story  of  "The  False 
Anggada"  with  a  scene  depicting  the  true  Anggada  making  preparations  to 
go  to  heaven  and  find  holy  water  for  Rama's  ceremony.  Having  established 
the  main  plot  points  for  the  audience,  the  dalang  now  puts  the  spotlight 
on  the  clown  servants  of  the  protagonist,  Twalen  and  his  son  Merdah, 
sometimes  also  known  as  Malen  and  Werdah.  Up  until  this  point  the 
short,  stubby,  and  plump  servants  have  bowed  obsequiously  to  their 
master  Anggada  and  translated  his  eloquent  poetic  language  (spoken  and 
sung  by  the  dalang  in  Old  Javanese)  into  the  common  Balinese  vernacular 
most  easily  understood  by  the  audience.  Once  Anggada  leaves,  the  comic 
duo  begin  to  banter  with  puns  and  coarse  jokes 
whose  crisp  staccato  rhythms  would  be  familiar 
to  aficionados  of  American  Vaudeville  and 
the  English  Music  Hall.  Their  iconic  status  as 
instantly  recognizable  character  types  is  similar 
to  the  recognition  granted  in  Italy  to  commedia 
dell'arte  clown  servants  like  Harlequin  and 
Pulicinella,  the  primary  diff"erence  being  that 
commedia  figures  (with  some  exceptions)  are 
relics  of  a  half-remembered  past  while  Twalen 
and  Merdah  are  part  of  a  living  theatrical  tradition 
that  is  still  a  part  of  everyday  life  in  Bali. 


Setelah  prolog  kayonan,  Nardayana  memulai  cerita  "Anggada  Palsu" 
dengan  mengisahkan  Anggada  yang  asli  membuat  persiapan  untuk 
pergi  ke  sorga  guna  mendapatkan  air  suci  untuk  upacaranya  sang  Rama. 
Setelah  menyelesaikan  poin-poin  pada  alur  utama  untuk  penonton,  ki 
dalang  kemudian  memberikan  penonjolan  pada  panakawan  abdi  pada  sisi 
protagonist,  Twalen  dan  putranya  Merdah,  terkadang  juga  disebut  Malen 
dan  Wredah.  Sampai  pada  poin  ini  panakawan  yang  pendek,  gemuk,  dan 
gendut  dengan  posisi  agak  membungkuk  dihadapan  tuannya  sang  Anggada 
dan  menterjemahkan  ekspresi  bahasa  poitisnya  (sebagai  wawan  kata  dan 
nyanyian  oleh  ki  dalang  di  dalam  bahasa  Jawa  Kuno)  ke  dalam  bahasa 

umum  yang  jauh  lebih  mudah  dimengerti  oleh 
penontonnya.  Demikian  Anggada  meninggalkan 
tempat,  pasangan  badut  ini  memulai  berseloroh 
dengan  permainan  silat  lidah  dan  lelucon 
kasarnya  dengan  irama  stakato  mengkeriting 
yang  sangat  diakrabi  seperti  aficionados(fan) 
American  Vaudeille  dan  English  Music  Hall.  Status 
badutan  mereka  segera  dapat  dikenali  sebagai 
model  karakternya  tak  ubahnya  dalam  mengenali 
panakawan  warisan  commedia  delVarte  Italia 
seperti  tokoh  Harlequin  dan  Pulicinella  (dengan 
beberapa  pengecualian)  adalah  peningalan  yang 
sebagian  masih  diingat  sebagai  peninggalan  masa 
lampau,  sementara  Tualen  dan  Merdah  adalah 
bagian  yang  tak  terpisahkan  dari  kehidupan  masyarakat  Bali. 


Twalen  and  Merdah  follow  Anggada  to  the  invisible  world  of  heaven 
but  are  separated  from  their  master  and  decide  to  take  advantage  of 
the  opportunity  to  take  an  unplanned  holiday  to  the  invisible  world  of 
hell  where  Twalen  hopes  to  be  "refreshed."  He  uses  the  English  word,  an 
addition  to  his  richly  fragmented  vocabulary  that  also  includes  bits  of 
Latin,  High  Balinese,  and  Old  Javanese  to  supplement  the  Low  Balinese 
and  Indonesian  he  uses  most  of  the  time  -  all  of  these  languages  and  the 
cross-linguistic  puns  that  occasionally  link  them  are  generated  by  a  single 
performer,  the  dalang,  who  must  keep  track  of  the  different  language 


Twalen  dan  Merdah  mengikuti  Anggada  ke  dunia  maya  yakni  ke  sorga 
akan  tetapi  mereka  berpisah  dengan  tuannya  dan  memutuskan  mengambil 
kesempatan  untuk  mengambil  liburan  yang  tidak  direncanakan  ke  dalam 
dunia  neraka  dimana  Twalen  berharap  untuk  "refreshed"  (dia  menggunakan 
kata  Inggris  disamping  dengan  kayanya  fragmen  perbendaharaan  kata  yang 
juga  harus  digunakan  sedikit  bahasa  Latin,  Bahasa  Bali  Halus,  Bahasa  Jawa 
Kuno,  dilengkapi  dengan  Bahasa  Bali  Kasar  dan  Bahasa  Indonesia  yang 
dikebanyakan  dia  gunakan  pada  setiap  adegan  -  semua  bahasa-bahasa  ini 
dan  silang  permainan  kata  untuk  lelucon  adalah  di  hasilkan  oleh  seorang 


78 


preferences  displayed  by  each  of  the  play's  characters. 


On  their  way  to  hell,  Twalen  instructs  his  son  Merdah  on  the  proper  code 
of  conduct  that  should  be  followed  by  servants.  There  are  ten  rules  to  be 
followed,  each  constructed  around  a  linguistic  pun  on  its  number  ("One?" 
"We  should  serve  "won-one-derfully."....  "Four?"  "For-Four-go  all  else  to 
attend  to  the  needs  of  your  master."  etc.).  After  hearing  the  original  code  of 
behavior  from  his  father,  Merdah  proposes  an  alternative  code  of  his  own 
that  involves  lots  of  eating  and  goofing  off.  His  father  reprimands  him  for 
replacing  the  true  code  of  conduct  with  a  false  one.  "Your  basic  rules  of 
conduct  from  one  to  ten  are  all  about  food. . .,"  he  complains.  "After  the  rice 
is  eaten  what  does  it  become?  Nothing  more  than  skin,  body  parts,  blood, 
bones,  and  forgive  your  father  in  advance  for  saying  it,  but  it  all  turns  into 
shit." 


Unfazed  by  his  father's  scatological  reasoning,  Merdah  simply  asks,  "After 
that?"  This  causes  his  father  to  launch  into  tirade  about  the  dangers  of 
materialism.  "Our  life  is  not  just  about  food.  We  cannot  live  only  to  eat,  but 
we  have  to  eat  to  live."  Again,  Merdah  is  unmoved.  "Is  there  a  difference?,"  he 
asks.  Twalen  takes  the  question  as  a  cue  to  lecture  his  son  on  the  difference 
between  the  corporal  life  of  the  body  and  the  invisible  world  of  the  spirit, 
that  both  need  to  be  nourished.  He  goes  on  to  rail  against  the  hollowness  of 
television  consumerism,  which  presents  characters  with  fancy  clothes  and 
flawed  morals.  "But  behind  it  all  there  is  corruption,"  Twalen  concludes, 
raising  a  theme  that  will  continue  through  the  shadow  play,  and  later  be 
brought  up  again  in  the  courtroom,  where  Gunarsa  suggests  that  corruption 
might  have  played  a  role  in  the  twisted  logic  of  the  verdict,  "because  we  live 
in  a  country  where  the  law  can  be  bought." 


penyaji,  ki  dalang,  yang  harus  tetap  menjaga  perbedaan  suara  dipilih  untuk 
memberi  karakter  pada  masing-masing  tokoh  dari  pertunjukan  tersebut). 

Dalam  perjalanannya  ke  neraka,  Tewalen  menginstruksikan  anaknya  Merdah 
dengan  kepantasan  perlakuan  sesuai  tatacara  yang  harus  diikuti  sebagai 
abdi.  Ada  sepuluh  azas  yang  harus  diikuti,  masing-masing  dikonstruksikan 
diseputar  permainan  kata  dalam  penomoran  ("Satu?"  Kita  harus  melayani 
"  menang  -  satu  -  penuh  -  (bagus)derfully."  ....  "Empat?"  "Untuk-empat- 
pergi  untuk  memenuhi  hal  yang  diperlukan  dari  tuanmu."  Dst)  Setelah 
mendengarkan  kode  perilaku  yang  pantas  dari  ayahnya,  Merdah  mengusulkan 
alternative  kodenya  sendiri  yang  menyertakan  banyak  tentang  makanan  dan 
memakannya.  Dia  ditegur  oleh  ayahnya  dari  menggantikan  dari  kode  perilaku 
yang  benar  dengan  yang  salah.  "Landasan  dasarmu  dari  satu  sampai  sepuluh 
semuanya  menyangkut  makanan...,"  dia  marah.  "Setelah  nasi  itu  dimakan 
apa  jadinya?  Tidak  ada  lebih  jadi  kulit,  bagian  badan,  darah,  tulang,  dan 
maafkan  ayahmu  dulu  untuk  membilang  semua  itu,  akan  tetapi  semuanya 
itu  akan  kembali  ke  najis" 

Tidak  tak  diganggu  oleh  alasan  ayahnya  yang  (vulgar)  scatological,  Merdah 
bertanya  dengan  sederhana,  "Setelah  itu?"  Inilah  yang  menyebabkan  ayahnya 
meluncurkan  kedalam  lama  mengomel  tentang  bahayanya  dari  materialisme. 
"Hidup  kita  tidak  hanya  soal  makanan.  Hidup  kita  bukan  hanya  untuk 
makan,  tetapi  kita  makan  untuk  hidup"  Lagi-lagi  Merdah  tidak  bergerak. 
"Ada  perbedaannya  itu?  dia  bertanya.  Twalen  mengambil  pertanyaan  tersebut 
sebagai  sebuah  pertanda  untuk  memberikan  pelajaran  kepada  anaknya 
dalam  perbedaan  antara  kehidupan  jasmani  dari  badan  dan  dunia  tidak 
nyata  dari  dunianya  spirit,  keduanya  memerlukan  makanan.  Dia  lanjut 
memagari  melawan  lubang  menganga  dari  konsumerisme  televisi,  yang 
mempertontonkan  tokoh-tokoh  dengan  busana  yang  mewah  gemerlapan 
namun  cacat  moral.  "Akan  tetapi  dibalik  semua  itu  penuh  dengan  korupsi" 
Twalen  mengakhiri  pengangkatan  tema  yang  akan  dilanjutkan  melalui 
pertunjukan  wayang  dan  drama  yang  kemudian  membentang  di  ruang 
pengadilan,  dimana  Gunarsa  menyatakan  bahwa  korupsi  kiranya  telah 
memainkan  peran  dalam  logika  terbalik  dari  keputusan  akhir,  "mengingat 
kita  hidup  di  Negara  dimana  hukum  bisa  dibeli" 


79 


The  parallels  between  the  laws  encountered  by  the  clowns  in  heaven  and 
the  laws  that  will  be  tested  in  Gunarsa's  upcoming  court  case  are  always 
hovering  in  the  subtext  of  the  play,  but  occasionally  they  are  mentioned 
directly  in  the  comic  banter. 


Paralel  diantara  hukum  diketemukan  oleh  panakawan  di  sorga  dan  hukum 
yang  akan  diujikan  dalam  pemeriksaan  pengadilan  tentang  kasusnya 
Gunarsa  nantinya  selalu  menunggu  dalam  penantian  dekat  pada  sub  teks 
pertunjukan,  akan  tetapi  adakalanya  semua  itu  disebutkan  secara  langsung 
di  dalam  selorohan  lelucon. 


Twalen:  Let's  go  somewhere  refreshing. 
Merdah:  Where? 
Twalen:  To  hell. 
Merdah:  What  for? 

Twalen:  To  see  the  souls  being  judged. 
Merdah:  Being  judged? 
Twalen:  Tomorrow  will  be  the  judging. 
Merdah:  What  kind  of  judging? 
Twalen:  The  judging  about  the  copyright. 
Merdah:  Is  that  right? 
Twalen:  Yes.  That  is  the  situation  there. 
Merdah:  Why  should  we  go  there? 

Twalen:  Well,  to  see  how  the  people  who  hold  the  power  of  the  law  decide 
the  cases.  We  will  be  like  a  team  of  monitors. 

Merdah:  Is  that  how  it  will  be? 

Twalen:  Yes.  Which  side  is  right  and  which  is  not. 

Merdah:  Oh,  I  see. 

Twalen:  That  is  what  is  difficult  for  the  people  who  hold  the  power  of 

the  law.  They  make  the  laws,  but  then  they  don't  always  enforce 
them.  The  law  is  sacred  if  you  apply  it  fully.  Be  sure  to  uphold  it. 
Be  sure  to  enforce  it.  Because  today  many  clever  people 
manipulate  the  law.  Our  country  is  the  cleverest...  at  twisting 
the  law. 


These  observations  are  followed  by  a  reference  to  a  recent  twisting  of  the 
law  that  was  fresh  in  the  minds  of  the  audience.  Twalen  suggests  that  there 
might  be  a  place  in  hell  for  Amrozi,  one  of  the  three  terrorists  condemned 


Twalen:    Mari  pergi  kesuatu  tempat  untuk  penyegaran 

Merdah:  Kemana? 

Twalen:    Ke  neraka. 

Merdah:   Untuk  apa? 

Twalen:    Melihat  para  atma  sedang  diadili. 

Merdah:  Sedang  diadili? 

Twalen:    Besok  akan  diadili. 

Merdah:  Pengadilan  seperti  apa? 

Twalen:    Pengadilan  tentang  hak  cipta. 

Merdah:  Apa  itu  betul? 

Twalen:    Ya.  Seperti  itulah  situasinya  di  sana. 

Merdah:  Kenapa  kita  mesti  pergi  ke  sana? 

Twalen:    Yah,  untuk  melihat  orang-orang  yang  memegang  kekuasaan 
tentang  hukum  dalam  memutuskan  perkara.  Kita  sebagai 
tim  monitoring. 

Merdah:  Seperti  itukah  terjadi  nantinya? 

Twalen:    Ya.  Dari  sisi  mana  yang  benar  dan  yang  mana  bukan. 

Merdah:  Ooo  begitu 

Twalen:    Itulah  sulitkan  bagi  orang-orang  yang  semestinya  memegang 

kekuasaan  hukum.  Mereka  membuat  hukum,  akan  tetapi  tidak 
selalu  mereka  memperkuatnya.  Hukum  itu  sakral  jika  kamu 
aplikasikan  secara  penuh.  Pastikan  dalam  memegangnya. 
Pastikan  dalam  memperkuatnya.  Oleh  karena  sekarang  ini  banyak 
orang  pintar  memanipulasi  hukum.  Negeri  kita  adalah  terpintar 
dalam  memutar  balikkan  hukum 

Observasi  seperti  ini  diikuti  dengan  referensi  memutar  balikkan  fakta  hukum 
menjadi  segar  dalam  ingatan  penonton.  Twalen  mengusulkan  barangkali 
sudah  ada  tempatnya  Amrozi  di  kawah  neraka,  salah  satu  dari  tiga  teroris 


80 


to  a  death  sentence  for  the  Bah  Bombings  of  2002,  who  was  still  alive  on 
Death  Row  at  the  time  of  the  performance,  reportedly  enjoying  illegal 
access  to  cell  phones,  computers,  and  other  luxuries  as  a  result  of  bribes  to 
his  jailers.  "They  say  he  was  sentenced  to  die,"  says  Merdah.  "The  law  died, 
but  Amrozi  is  still  alive,"  answers  Twalen,  stating  succinctly  the  feelings  of 
many  Balinese  about  the  law's  unjust  treatment  of  the  Bali  Bombers. 


When  the  pair  arrives  at  the  gates  that  separate  heaven  from  hell,  Twalen 

and  Merdah  discover  first-hand  how  clever  people  try  to 

manipulate  the  law  by  watching  the  newly-  arrived  dead 

souls  trying  to  convince  the  gatekeeper  Suratma  that  they 

deserve  admission  to  heaven.  Ihe  first  soul  they  see  is  called 

Wayan  Polos,  a  name  that  means  Mr.  Virtuous.  He  mentions 

his  neighbor  Sudharma  (a  name  that  means  'follower  of  the 

noblest  laws')  who  steals  things  all  the  time.    Mr.  Virtuous 

claims  that  he  lives  up  to  his  name  by  praying  regularly, 

donating  more  money  to  the  temple  than  anyone  else  and 

making  the  biggest  offerings.    "I  burn  so  many  bundles  of 

incense  sticks,"  Mr.  Virtuous  boasts,  "that  I  make  the  priest 

sneeze  from  all  the  smoke." 


Suratma  is  not  impressed  with  the  soul's  history  of  fake  piety,  and  instructs 
him  at  length  on  the  difference  between  true  religious  feelings  and  the  false 
trappings  of  religion.  At  one  point  he  sums  up  the  problem  by  decrying  the 
soul's  lack  of  spiritual  balance.  "You  must  be  balanced,"  he  repeats,  using 
the  same  criterion  for  separating  truth  from  falsehood  that  Gunarsa  would 
later  use  in  the  trial  to  differentiate  his  paintings  from  the  forgeries.  "If  you 
are  not  balanced,  that  is  when  things  are  difficult." 


dijatuhi  hukuman  mati  karena  perlakuannya  peledakan  bom  di  Bali  tahun 
2002,  yang  ketika  dilangsungkannya  pertunjukan  tersebut  dia  masih  hidup, 
dikabarkan  menyenangi  akses  ilegal  menggunakan  telepon  genggam, 
computer,  dan  beberapa  barang  mewah  sebagai  hasil  dari  penyuapan  untuk 
masa  kurungannya.  "Katanya  dia  sudah  dijatuhi  hukuman  mati,"  kata 
Merdah.  "Hukumnya  yang  mati,  akan  tetapi  Amrozi  masih  hidup,"  jawab 
Twalen,  menyatakan  dengan  ringkas  tetapi  jelas  akan  perasaan  banyak  orang 
Bali  tentang  hukum  kurang  adil  dalam  masalah  pengeboman  Bali. 

Manakala  sepasang  punakawan  sampai  pada  pintu  pemisah  antara  sorga  dan 
neraka,  Twalen  dan  Merdah  menemui  dari  tangan  pertama 
bagaimana  pintarnya  orang-orang  mencoba  memanipulasi 
hukum  dengan  mengamati  kedatangan  seorang  atma  yang 
baru  saja  meninggal  mencoba  merayu  sang  Suratma  penjaga 
pintu  bahwa  mereka  pantas  dapat  masuk  ke  sorga.  Atma  yang 
pertama  mereka  lihat  adalah  bernama  Wayan  Polos,  sebuah 
nama  yang  berarti  Pak  Lugu.  Dia  menyebut  tetangganya 
bernama  Sudharma  (sebuah  nama  yang  berarti  'pengikut 
yang  paling  mulia  terhadap  hukum')  yang  mencuri  sesuatu 
terus  menerus,  mengklaim  dia  hidup  di  atas  namanya  dengan 
berdoa  secara  regular,  menyumbang  ke  pura  selalu  melebihi 
orang  lain  dan  membuat  sesajen  yang  paling  besar.  "Saya 
membakar  banyak  bungkus  dupa"  dia  membual,  "membuat 
pemangku  bersin  karena  diliputi  asap" 

Suratma  tidak  terkesan  dengan  kisahnya  kealiman  palsunya  si  atma, 
menginstruksikan  dia  cukup  lama  pada  perbedaan  antara  rasa  keagamaan 
yang  benar  dengan  kepalsuan  yang  dibalut  atas  nama  agama.  Pada  poin  dia 
meringkas  permasalahan  dengan  mengutuksi  atma  kekurangan  keseimbangan 
spiritual.  "Kamu  harus  seimbang"  dia  mengulangi,  menggunakan  ukuran 
dari  pemisahan  kebenaran  dari  kepalsuan  yang  Gunarsa  kemudian  gunakan 
di  dalam  pemeriksaan  pengadilan  untuk  membedakan  lukisannya  dari 
pemalsuan.  "Jika  kamu  tidak  seimbang,  itu  yang  membuat  segala  sesuatunya 
sulit" 


81 


After  an  extended  debate  the  unbalanced  soul  tries  to  gain  entrance  to 
heaven  by  bribing  Suratma,  who  of  course  refuses,  and  ends  up  being  called 
a  bohong  lu  ('big  liar')  by  the  desperate  soul.  In  the  end  "Mr.  Virtuous"  is 
condemned  to  fifty  years  in  the  burning  cauldrons  of  hell.  "My  god,  that's 
so  extreme,"  the  soul  complains.  "I've  only  been  alive  for  forty-five  years, 
and  I'll  be  frying  for  fifty." 


Suratma  then  encounters  the  soul  of  a  prostitute  who  is  also  rejected  from 
heaven.  Although  scenes  like  these  are  full  of  vulgar  comedy,  they  also 
present  serious  teachings  about  Hindu  philosophy  that  define  the  difference 
between  hollow  religious  practice  and  genuine  spirituality.  For  instance 
Suratma  explains  the  importance  of  the  Hindu  principles  of  Kayika  Wacika 
Manacika,  which  involves  striving  for  unity  of  thought,  speech,  and  action. 
Ultimately  all  of  the  scenes  at  heaven's  gate  present  Suratma  as  a  judge  who 
upholds  the  law  by  clearly  discerning  the  difference  between  the  true  and 
the  false  without  succumbing  to  corruption. 


Setelah  perdebatan  panjang  roh  yang  terganggu  jiwanya  mencoba  untuk 
dapat  masuk  sorga  dengan  jalan  menyuap  Suratma,  yang  sudah  barang  tentu 
menolaknya,  dan  pada  akhirnya  diledek  "bohong  lu"  oleh  atma  yang  putus 
asa.  Pada  akhirya  "Pak  Jujur"  dihukum  selama  lima  puluh  tahun  di  dalam 
kawah  dengan  jilatan  api  di  neraka.  "Ya  Tuhan  itu  sangat  ekstrim,"  si  atma 
komplain.  "Hamba  hidup  hanya  empat  puluh  lima  tahun,  dan  hamba  kan 
digoreng  selama  lima  puluh  tahun" 

Suratma  kemudian  menjawab  sang  atma  sebagai  seorang  prostitusi  yang 
ditolak  dari  sorga.  Kendati  adegan  seperti  ini  penuh  dengan  komedi  fulgar, 
semuanya  juga  menghadirkan  pengajaran  yang  serius  tentang  filsafat  Hindu 
yang  dapat  membedakan  perbedaan  antara  praktik  keagamaan  yang  gamang 
dengan  spiritual  yang  asli.  Sebagai  contoh  Suratma  memberitahukan  prinsip 
yang  penting  dari  ajaran  Hindu  adalah  Kaya,  Wak,  Manah,  yang  menyertakan 
kerja  keras  penyatuan  dari  fikiran,  perkataan  dan  perbuatan.  Pada  akhirnya 
semua  dari  adegan-adegan  pintu  masuk  sorga  ini  menghadirkan  Suratma 
sebagai  hakim  yang  memegang  teguh  hukum  dengan  jelasnya  memilah 
perbedaan  antara  kebenaran  dengan  kepalsuan  tanpa  harus  mengalah  untuk 
sebuah  korupsi. 


When  the  dalang  moves  to  depicting  scenes 
involving  the  servants  of  the  antagonist  Maya  Cakru, 
the  audience  sees  the  same  problems  of  separating 
falsehood  and  truth  from  a  new  perspective.  The 
clown  servant  Delem  proclaims  his  desire  to  be 
elected  village  chief,  then  Governor,  then  President. 
It  is  up  to  his  younger  brother  Sanggut  to  point 
out  that  his  vision  of  politics  is  false,  based  on  self- 
interest  rather  than  service  to  the  community. 


Delem  responds  to  the  dismissal  of  his  political 
ambitions  by  bragging  about  his  luxurious  lifestyle, 
recounting  a  typical  day  that  includes  smoking  clove 


Ketika  ki  dalang  memainkan  adegan  yang 
menggambarkan  panakawan  tokoh  antagonis  Maya 
Carkru,  penonton  melihat  persoalan  yang  sama 
yakni  pemisahan  kepalsuan  dengan  kebenaran 
dari  perspektif  baru.  Panakawan  abdi  raja  Delem 
mengutarakan  keinginannya  agar  dipilih  menjadi 
pimpinan  desa,  kemudian  Gubernur,  kemudian 
Presiden.  Tergantung  pada  saudranya  Sangut  yaitu 
adiknya  untuk  menunjuk  pandangan  politiknya 
seperti  itu  adalah  salah,  berdasar  dari  keinginan 
sendiri,  ketimbang  sebagai  pelayan  masyarakat. 

Delem  merespon  kepada  penolakan  ambisi  para 
politisinya  dengan  membual  diseputar  kemewahan 
gaya    hidup    menceriterakan    kekhususan    sehari- 


82 


cigarettes,  soaking  in  a  Jacuzzi  with  his  beautiful  wife,  and  being  driven  to 
the  spa  by  a  chauffeur  in  his  luxury  sedan.  Again  Sanggut  punctures  the 
false  pipe  dream  of  his  brother  by  recounting  the  true  nature  of  their  lives 
as  servants  to  Maya  Cakru  who  spend  their  days  performing  menial  jobs. 
Although  he  serves  the  side  of  evil  in  the  world  of  wayang,  Sanggut  is  a 
voice  of  truth,  whose  commentary  is  rendered  more  comical  and  poignant 
by  its  location  in  the  midst  of  characters  who  are  linked  to  falsehoods. 


At  the  moment  that  Maya  Cakru  is  preparing  to  transform  himself  into 
the  "False  Anggada"  Delem  says  that  even  if  he  and  his  master  are  taken 
to  court  for  this  crime,  there  will  be  no  punishment,  because  "you  can  buy 
your  way  out  of  the  law." 

Sanggut  chastises  his  brother  for  his  amoral  thoughts.  "Don't  think  you  can 
buy  your  way  out  of  the  law,"  he  says.  "False  words  will  get  you  punched 
in  the  mouth."  Then  Sanggut  takes  the  argument  about  falsehood  and 
corruption  to  a  higher  level,  invoking  the  invisible  world  by  talking  about 
the  goddess  of  truth  and  wisdom,  Saraswati. 


At  the  end  of  the  story,  when  Maya  Cakru  has  been  unmasked  as  a  fraud 
and  war  breaks  out  between  Rama's  monkey  army  and  the  demon  followers 
of  Maya  Cakru,  the  dalang  presents  an  image  that  epitomizes  the  battle 
between  good  and  evil,  truth  and  falseness,  more  powerfully  than  any  other 
in  the  realm  of  the  Balinese  cosmology:  the  battle  between  Rangda  and 
Barong.  Anggada  transforms  himself  into  the  figure  of  Barong,  a  lion-like 
dragon  who  represents  the  positive,  true,  and  protective  elements  of  the 
invisible  world,  while  Maya  Cakru  transforms  himself  into  Rangda,  who 
represents  the  negative,  false,  and  destructive  elements  of  the  invisible 
world.  The  shadow  play  battle  between  these  two  fantastical  creatures 
ends  in  the  same  way  as  all  re-enactments  of  their  clash.  They  fight  to  a 
draw.  One  cannot  defeat  the  other.  They  are  the  ritual  embodiments  of 
ruabineda  at  its  highest  levels.  Good  and  evil.  Light  and  dark.  Truth  and 


hari  termasuk  mengisap  rokok  cerutu,  berendam  di  dalam  Jacuzzi  bersama 
istri  cantik,  dan  mengendarai  sedan  mewah  untuk  pergi  ke  spa  didampingi 
sopir.  Lagi-lagi  Sangut  merusak  khayalan  palsu  saudaranya  dengan 
menceriterakan  keadaan  alami  sesungguhnya  menjadi  abdi  untuk  Maya 
Cakru.  Kendatipun  dia  mengabdi  pada  sisi  dari  penjahat  di  dalam 
dunia  wayang,  Sangut  adalah  suara  dari  kebenaran,  yang  komentarnya 
mensumbangkan  lebih  lucu  dan  lebih  tajam  dengan  penempatannya  di 
tengah  karakter  yang  berhubungan  dengan  kebohongan. 

Pada  saat  Maya  Cakru  mempersiapkan  dirinya  untuk  bertransformasi 
menjadi  "Anggada  Palsu"  Delem  mengatakan  bahkan  dia  dan  tuannya 
dibawa  ke  pengadilan  karena  kejahatannya,  bakalan  tidak  ada  hukuman, 
karena  "paduka  bisa  beli  untuk  bisa  bebas  dari  jeratan  hukuman." 

Sangut  menghukum  untuk  kebaikan  kepada  saudaranya  dari  perlakuannya 
yang  mempunyai  pikiran  tidak  bermoral.  "Jangan  kamu  kira  kamu  dapat 
membeli  caramu  keluar  dari  jeratan  hukum,"  katanya.  "Kata-katamu  salah 
kamu  akan  dapat  pukulan  di  mulutmu."  Kemudian  Sangut  mengambil 
argumentasi  tentang  kepalsuan  dan  korupsi  ke  level  yang  lebih  tinggi, 
dengan  permohonan  pada  dunia  tidak  nyata  melalui  dewi  kebenaran  dan 
kebijaksanaan,  yakni  Saraswati. 

Pada  akhir  ceritera  ketika  Maya  Cakru  telah  dibuka  kedoknya  sebagai  penipu 
dan  perangpun  meletus  antara  kera-kera  pasukan  sang  Rama  melawan 
raksasa  para  pengikutnya  Maya  Cakru,  disini  ki  dalang  menghadirkan 
imajinasi  bahwa  perang  tersebut  melambangkan  pergolakan  baik  melawan 
buruk,  kebenaran  dan  kepalsuan,  lebih  kuat  dibanding  dengan  sesuatu  yang 
ada  pada  kenyataan  kosmologi  Bali  yakni  pertempuran  antara  Rangda 
melawan  Barong.  Anggada  mentransformasikan  dirinya  menjadi  figur 
Barong  seekor  singa  yang  mendekati  bentuk  naga  mewakili  kekuatan  positif, 
kebenaran,  elemen  perlindungan  dari  dunia  yang  tidak  nyata,  sementara 
Maya  Cakru  mentransformasikan  dirinya  menjadi  figur  Rangda  yang 
mewakili  kekuatan  negatif,  kepalsuan,  dan  elemen  perusak  dari  dunia  tidak 
nyata.  Pertempuran  wayang  kulit  dari  dua  mahluk  yang  fantastis  ini  berakhir 
dengan  ke  dalam  jalan  yang  sama  keduanya  sebagai  pengulangan  kembali 


83 


lies.  None  of  these  categories  could  exist 
without  their  opposites,  their  doubles, 
their  shadows. 


The  dalangs  decision  to  end  with  this 

image     foreshadowed     the     stalemate 

that  later  marked  the  end  of  Gunarsas 

copyright  trial.  Months  later,  when  asked 

at  his  home  in  Belayu  how  he  had  come 

up  with  the  structure  of  this  particular 

shadow   play,    Nardayana   had    a    short  answer  and  a  long  answer.    The 

short  answer  was  one  word:  ''Ruabineda" 

The  long  answer  began  with  the  dalang  stating  his  belief  that  Gunarsas 
copyright  trial  was  essentially  a  story  about  ruabineda,  so  it  was  natural  for 
the  dalang  to  structure  the  play  around  situations  that  reflected  variations 
on  that  theme,  from  the  clown  dialogues  to  the  battle  between  Rangda  and 
Barong. 


"In  Hinduism  we  have  the  concept  of  ruabineda"  noted  Nardayana.  "There 
is  right  and  wrong.  There  is  day  and  night.  There  is  high  and  low.  And  so 
on.  Rama  (the  hero)  exists  because  there  is  Rawhana  (the  villain).  If  there 
is  no  Rawhana,  there  is  no  Rama.  The  wind  exists  because  there  is  air.  The 
difference  between  the  high  air  pressure  {tekanan  tinggi)  and  the  low  air 
pressure  {tekanan  rendah)  causes  the  movement  {perpindahan)  of  the  wind. 
It  is  like  this  in  our  lives  and  in  the  wayang.  In  life  there  is  good  and  evil.  In 
religion  we  call  it  the  character  of  the  gods  and  the  character  of  the  raksasa 


dari  perpecahan  mereka.  Pertempuran 
berkesudahan  dengan  seri.  Satu  tidak 
dapat  mengalahkan  yang  lain.  Mereka 
adalah  upacara  sebagai  perwujudan 
ruabineda  dalam  tingkatan  yang  lebih 
tinggi.  Baik  dengan  buruk.  Terang  dengan 
gelap.  Kebenaran  dengan  kebohongan.  Tak 
satupun  kategori  ini  ada  ada  bila  tidak 
ada  pertentangannya,  kembarannya, 
bayang-bayangnya. 

Keputusan  dalang  untuk  mengakhiri 
dengan  gambaran  bayangan  kemacetan 
yang  kemudian  menandai  akhir  dari 
pengadilan  hak  ciptanya  Gunarsa. 
Beberapa  bulan  kemudiannya  ketika  dia 
ditanya  dirumahnya  di  Belayu  bagaimana 
dia  datang  dengan  struktur  ide  khususnya  untuk  pertunjukan  wayangnya, 
Nardayana  memiliki  jawaban  singkat  dan  jawaban  panjang.  Jawaban 
pendeknya  adalah  tediri  dari  satu  kata:  "Ruabineda." 
Jawaban  panjangnya  dimulai  oleh  dalang  menyatakan  kepercayaannya 
pada  Persidangan  hak  ciptanya  Gunarsa  pada  intinya  adalah  kisah  tentang 
'ruabineda,'  adalah  menjadi  alami  bagi  ki  dalang  untk  menstruktur 
pertunjukannya  diseputar  situasi  yang  merefleksikan  variasi  dari  tema 
tersebut,  dari  percakapan  panakawan  sampai  ke  perang  antara  Rangda 
dengan  Barong. 

"Dalam  kepercayaan  Hindu  kita  memiliki  konsep  yang  disebut  dengan 
ruabineda,"  Nardayana  memberi  catatan.  "Ada  yang  benar  dan  yang  salah. 
Ada  siang  dan  malam.  Ada  tinggi  dan  rendah.  Dan  seterusnya.  Rama 
(sang  pahlawan)  ada  oleh  karena  ada  Rahwana  (penjahat).  Kalau  tidak 
ada  Rahwana,  tidak  bakalan  ada  Rama.  Adanya  angin  karena  adanya 
udara.  Perbedaan  diantara  tekanan  udara  tinggi  dan  tekanan  udara  rendah 
disebabkan  oleh  perpindahan  dari  angin.  Seperti  inilah  adanya  dalam 
kehidupan  kita  dan  dalam  kehidupan  dunia  wayang.  Dalam  kehidupan 


84 


(demons).  Now  it  depends  on  us.  Which  one  are  we  going  to  choose  in  our 
hfe?  Do  we  want  to  choose  the  true  or  false?  The  truth  has  its  final  harvests 
at  the  end.  Falseness  also  has  its  final  harvests  at  the  end.  In  the  afterlife 
they  are  called  heaven  and  hell.  Here  on  earth  we  also  have  heaven  and  hell. 
Prison  is  hell.  Heaven  is  the  acknowledgment  you  get  from  the  community 
for  your  good  actions.  If  we  commit  crimes,  we  go  to  jail.  If  we  do  good 
things,  our  actions  are  acknowledged  by  the  community.  In  wayang  it  is 
also  like  this.  We  have  the  right  side  and  the  left  side.  On  the  right  are 
the  elements  of  truth.  On  the  left  are  the  elements  of  falseness.  There  are 
also  characters  who  have  traits  of  pretending  {pura  pura).  The  meaning  of 
pretending  is  that  someone  gives  the  impression  of  being  a  good  person, 
but  he  is  really  evil.  With  the  insertion  of  a  character  like  that  the  story 
comes  alive.  Everything  is  turned  upside  down.  But  in  the  end  karmapala 
restores  the  balance.  It  is  the  same  with  a  baby  calf.  It  will  never  make  a 
mistake  while  looking  for  its  mother.  Even  though  there  are  many  mother 
cows  around,  the  calf  knows  which  one  is  its  mother.  Karma  is  like  that. 
It  will  follow  the  one  who  commits  the  action.  These  are  the  teachings  of 
Hinduism." 


terdapat  adanya  sifat  baik  dan  sifat  jahat.  Dalam  ajaran  agama  kita  sebut 
sebagai  karakter  dewa  dan  karakter  raksasa.  Sekarang  tergantung  pada 
kita.  Yang  mana  akan  kita  pilih  dalam  hidup  ini.  Apakah  kita  mau  memilih 
yang  benar  atau  yang  salah.  Pada  akhirnya  kebenaran  akan  memiliki 
panen  akhir.  Kebohongan  juga  akan  memiliki  panen  akhir  pada  akhirnya. 
Di  dunia  sana  keduanya  disebut  dengan  sorga  dan  neraka.  Disini  di  dunia 
nyata  kita  juga  memiliki  sorga  dan  neraka.  Penjara  adalah  neraka.  Sorga 
adalah  penghargaan  yang  kamu  terima  dari  masyarakat  karena  perbuatan 
baik  anda.  Jika  kita  melakukan  kejahatan  kita  akan  dibawa  ke  penjara.  Jika 
kita  melakukan  sesuatu  yang  bagus  kita  akan  diakui  oleh  masyarakat  karena 
perbuatan  baik  kita.  Di  dalam  wayang  juga  berlaku  seperti  ini.  Kita  memiliki 
sisi  kanan  dan  sisi  kiri.  Di  sisi  kanan  terdapat  elemen  kebenaran.  Di  sebelah 
kiri  adalah  elemen  kejahatan.  Ada  juga  karakter  yang  memiliki  perangai 
berpura-pura.  Arti  dari  pura-pura  adalah  dia  memberikan  impresi  sebagai 
orang  baik,  akan  tetapi  sesungguhnya  dia  adalah  jahat.  Dengan  penyisipan 
tokoh-tokoh  seperti  itu  membuat  ceritera  hidup.  Semuanya  diputar  balikkan. 
Akan  tetapi  pada  bagian  afc/z/r  karmapala  memulihkan  keseimbangan.  Sama 

halnya  dengan  seekor  anak  sapi.  Dia  tidak 
bakalan  pernah  salah  dalam  mencari 
ibunya  kendati  ada  banyak  induk  sapi 
disekelilingnya,  anak  sapi  mengetahui 
yang  mana  ibunya.  Hasil  akhir  dari  sebuah 
karma  adalah  seperti  itu.  Akan  mengikuti 
seseorang  yan  melakukan  aksinya.  Seperti 
itulah  ajaran  dari  kepercayaan  Hindu." 


85 


ASTRA  GENI: 

Art  as  a  Weapon 


Astra   G eni: 

Seni  sebagai  Senjata 


87 


"The  'astra  genV  is  a  sacred  weapon  that  knows  the 
difference  between  good  and  evil.    It  is  used  by  the 
hero  of  the  puppet  play  to  find  the  wrong-doer  and 
punish  him  no  matter  where  he  hides." 
-  Nyoman  Gunarsa 


Nyoman  Gunarsa  believes  that  art  is  the  ujung  tombak 
("point  of  the  spear"),  a  weapon  composed  of  words, 
images,  and  timeless  wisdom  that  can  be  more  effective 
in  battle  than  conventional  implements  of  war.  In  the 
months  that  followed  the  inconclusive  court  decision 
in  Denpasar,  Gunarsa  grew  impatient  waiting  for  the 
copyright  case  to  be  decided  by  Indonesia's  High  Court  in  Jakarta,  so  he 
returned  to  the  weapon  of  art.  He  made  dozens  of  paintings  of  the  wayangplscy 
that  had  been  inspired  by  his  case.  During  this  period  he  also  made  sketches 
of  the  courtroom  itself,  but  they  were  simpler  and  starker,  far  outnumbered 
by  his  vibrant  and  colorful  depictions  of  "The  False  Anggada"  with  its  cast  of 
evil  demons,  heroic  monkeys,  and  gods.  Some  of  the  watercolors  included 
phrases  that  ballooned  out  of  the  characters'  mouths  like  the  dialogue  in 
comic  books.  Through  his  dynamic  combination  of  words  and  images 
Gunarsa  brought  the  puppet  play  back  to  life  day  after  day,  as  if  the  images  of 
Anggada,  Hanuman,  and  Maya  Cakru  were  still  flickering  in  his  imagination 
like  shadows  on  a  screen. 


Eventually  the  shadow  story  playing  itself  out  in  Gunarsa's  mind  took  on  a 
life  of  its  own,  and  the  artist  began  creating  paintings  of  scenes  that  did  not 
take  place  in  the  original  performance.    "It  has  to  have  another  ending,"  he 


"Astra  geni  adalah  sebuah  senjata  suci  yang 
mengetahui  dengan  jelas  antara  kebajikan  dan 
kebatilan.  Senjata  ini  digunakan  oleh  para  ksatria 
dalam  pertunjukan  wayang  kulit  untuk  mengejar 
para  pelaku  yang  berbuat  salah  dan  menghukum  dia 
tanpa  kecuali  dimanapun  mereka  bersembunyi." 
-  Nyoman  Gunarsa. 

Nyoman  Gunarsa  percaya  bahwa  seni  adalah  "ujung 
tombak"  ("the  point  of  the  spear"j,  sebuah  senjata 
yang  dikomposisikan  dari  formulasi  kata,  kesan, 
kebijaksanaan  tanpa  batas  waktu,  dapat  lebih  efektif  di 
dalam  perang  dibanding  dengan  implementasi  perang 
konvensional.  Berbulan-bulan  peradilan  berlangsung  di 
Denpasar  yang  kemudian  diikuti  dengan  keputusan  pengadilan  yang  kurang 
meyakinkan,  menumbuhkan  ketidaksabaran  Gunarsa  dalam  menunggu 
persoalan  hak  ciptanya  untuk  diputuskan  oleh  Mahkamah  Agung  di  Jakarta, 
dimana  dia  kembali  menggunakan  senjata  seni.  Dia  membuat  lusinan 
lukisan  pertunjukan  wayang  yang  terlahir  dari  inspirasi  dari  persoalannya 
sendiri.  Selama  kurun  waktu  dalam  persidangan  dia  juga  membuat  sketsa 
tentang  suasana  ruang  persidangan,  kesemuanya  itu  dibuat  lebih  sederhana 
dan  mendekati  kenyataan,  jumlahnya  jauh  melebihi  dengan  penggambaran 
warna-warni  yang  menggetarkan  dan  lukisan  dari  "Anggada  Palsu"  dengan 
penokohan  Raksasa  jahat,  pahlawan  kera,  dan  para  Dewa.  Beberapa  dari 
lukisan  cat  airnya  termasuk  di  dalamnya  bagian-bagian  yang  penggambaran 
mulutnya  mengembung  keluar  dari  karakter  seperti  layaknya  berdialog 
dalam  buku  komik.  Melalui  dinamika  kombinasi  kata-kata  dan  imajinasinya, 
Gunarsa  membawa  pertunjukan  wayang  itu  hidup  kembali  dari  hari  ke 
hari,  seakan  bayangan  dari  tokoh  Anggada,  Hanuman,  dan  Maya  Cakru 
sepertinya  masih  berkerdip  dalam  khayalan  tak  ubahnya  ibarat  bayangan 
wayang  dalam  layarnya. 

Akhirnya  kisah  dari  cerita  wayang  bermain  dengan  sendirinya  keluar 
dari  pikiran  Gunarsa  seraya  mengambil  kehidupannya  sendiri,  dan  naluri 
kesenimannnya  mulai  menciptakan  lukisan-lukisannya  yang  tidak  pernah 


said,  describing  the  new  series  of  paintings.  "The  story  has  to  come  to  a  final 
conclusion." 


The  first  wayang  performance  had  ended  with  the  figures  of  Rangda  and 
Barong  battling  each  other  to  a  draw  in  the  perpetual  struggle  between 
positive  and  negative  forces  that  is  fundamental  to  the  Balinese  Hindu 
philosophy.  As  if  its  conclusion  had  been  foretold  by  the  puppet  play,  the 
trial  in  Denpasar  had  also  ended  in  an  inconclusive  manner.  Now  Gunarsa 
felt  compelled  to  apply  another  Hindu  concept  to  the  story's  resolution: 
karmapala.  Karmapala  is  a  form  of  divine  justice  that  metes  out  punishment 
for  acts  of  evil  and  rewards  for  acts  of  goodness.  "If  you  plant  corn,  you  will 
harvest  corn,"  he  explained.  "If  you  plant  sweet  potatoes,  you  will  harvest 
sweet  potatoes." 


Gunarsas  reflections  on  karmapala 
gave  birth  to  a  new  image  that  began 
to  appear  in  his  watercolors  about 
the  story.  It  was  a  magical  weapon 
known  in  Hindu  scriptures  as  "astra 
gem'  ("the  fiery  weapon  that  sees 
the  truth").  Gunarsa  depicted  it  as  a 
fiery  arrow  that  could  follow  its  target 
anywhere.  "No  one  can  hide  from  the 
astra  geni"  Gunarsa  said  pointing  at 
the  weapon  in  a  painting  of  a  demon 
trying  to  elude  its  attack.  "It  knows  the 
difference  between  right  and  wrong 
and  will  follow  an  enemy  no  matter 


muncul  dalam  pertunjukan  wayang  sesungguhnya.  "Semestinya  harus 
memiliki  kesimpulan  akhir  yang  lain,"  katanya,  ketika  mendiskripsikan  serial 
baru  buah  karya  dari  sejumlah  lukisannya.  "Ceritera  diselesaikan  seharusnya 
dengan  keputusan  akhir" 

Pertunjukan  wayang  yang  pertama  diselesaikan  dengan  menghadirkan 
pergumulan  dua  figur  Rangda  dan  Barong  berseteru,  berakhir  dengan  seri 
dalam  pertempuran  yang  tiada  henti  antara  kekuatan  positif  melawan 
kekuatan  negatif,  menjadi  landasan  dasar  dalam  filsafat  hidup  umat  Hindu 
Bali.  Seperti  halnya  kesimpulan  akhir  yang  dituturkan  lewat  pertunjukan 
wayang,  pengadilan  di  Denpasar  juga  berakhir  dalam  sikap  yang  tak 
meyakinkan.  Kini  Gunarsa  merasa  membutuhkan  untuk  menggunakan 
konsepsi  yang  lain  dari  ajaran  agama  Hindu  dalam  menentukan  resolusi 
ceritera  yakni:  karmapala.  Karmapala  adalah  wujud  dari  keadilan  para 
dewa  yang  membagikan  keputusan  akhir  berupa  hukuman  untuk  para 
penjahat  dan  penghargaan  dari  perbuatan  yang  baik.  "Jika  kamu  menanam 

jagung,  kamu  akan  memanen  jagung" 
dia  menceriterakan.  "Jikalau  kamu 
menanam  ketela,  ketelalah  yang  akan 
kamu  panen" 

Refleksinya  Gunarsa  dalam  konsep 
karmapala  memberi  kelahiran  kepada 
imajinasi  baru  yang  dia  tuangkan  ke 
dalam  kanvas  dengan  pewarnaan  cat 
air  bertautan  dengan  ceritera  tersebut. 
Adalah  senjata  "astra  geni"  sebuah 
senjata  yang  memiliki  kekuatan  magis 
yang  digambarkan  dalam  buku  suci 
agama  Hindu  (yakni  sebuah  senjata 
yang  dapat  melihat  kebenaran). 
Gunarsa  mengambarkannya  sebagai 
sebuah  senjata  jilatan  api  yang  dapat 
mengejar  sasarannya  kemana  saja  dia 
lari.  Tak  seorangpun  dapat  menghindar 


90 


how  many  times  he  changes  direction.  The  astra  geni  is  hke  the  "Exocet" 
missile  of  Hinduisms  sacred  books.  It  is  a  smart  bomb  against  which  there 
is  no  defense." 


Eventually  Gunarsa  went  again  to  visit  Nardayana  at  his  home  in  the 

village  of  Belayu,  hoping 

he    could    persuade    the 

dalang  to  perform  another 

shadow    play    in    which 

the    metaphorical    drama 

would  be  resolved  more 

definitively.      The  master 

painter  began  his  request 

to  the  master  puppeteer 

with  the  utmost  simplicity. 

"It  isn't  finished  yet,"  said 

Gunarsa.        The     dalang 

agreed  to  perform  a  sequel 

to  "The  False  Anggada." 


Nardayana  confessed  that  he  had  personal  reasons  for  inventing  a  new  ending 
to  the  allegorical  wayang.  A  few  years  earlier  one  of  his  performances  had 
been  video-taped  by  copyright  violators  who  sold  pirated  dvd's  of  his  puppet 
play.  This  experience  strengthened  his  belief  that  Indonesia's  copyright  laws 
shouldbe  upheld  in  the  courts  for  the  protection  of  all  artists.  To  accommodate 
Gunarsa's  image  of  the  astra  geni  the  dalang  proposed  another  story  about 
Anggada  in  which  Rawhana's  grandson,  a  demon  named  Mayasura,  slanders 
the  red  monkey's  reputation  by  attacking  Rama  in  the  dark  and  claiming  that 
it  was  Anggada  who  had  attacked  the  king.  Anggada  is  thrown  out  of  the 
palace  in  disgrace,  but  when  Mayasura  asks  Rama  for  a  weapon  to  use  against 


dari  kejaran  senjata  astra  geni,"  kata  Gunarsa  menunjuk  kepada  gambaran 
senjata  dalam  lukisannya  tentang  seorang  Raksasa  yang  mencoba  menghindar 
dari  serangannya.  "Senjata  itu  mengetahui  perbedaaan  antara  yang  benar 
dengan  yang  salah,  dan  akan  mengejar  musuhnya  tidak  peduli  berapa  kali 
dia  akan  berubah  arah.  Senjata  astra  geni  tak  ubahnya  seperti  "peluru 
kendaWnya  kepercayaan  Hindu  yang  terdapat  dalam  buku  suci.  Senjata  itu 
adalah  sebuah  bom  yang  pintar  yang  tak  mungkin  untuk  dielakkan." 

Akhirnya  Gunarsa  pergi  lagi  menemui  Nardayana  di  rumahnya  di  desa 

Belayu,  dengan  harapan 
dia  dapat  meyakinkan 
sang  dalang  untuk 
mempertunjukkan 
kembali  wayang  kulitnya, 
di  mana  sebuah  drama 
yang  berkenaan  dengan 
metafora  akan  dapat 
dipecahkan  secara  lebih 
pasti.  Sang  maestro 
seni  lukis  mengajukan 
permohonannya  kembali 
kehadapan      ki     dalang 

kondang  dengan  segala  kesederhanaannya.   "Ini  belum  berakhir,"  kata 

Gunarsa.  Sang  dalang  setuju. 

Nardayana  mengakui  bahwa  dia  memiliki  alasan  tersendiri  dalam 
mengkemas  pertunjukan  wayangnya  menciptakan  sambungan  sampai 
kepada  yang  bersifat  kiasan.  Beberapa  tahun  sebelumnya  satu  dari 
pertunjukannya  divideokan  oleh  seseorang  pelanggar  hak  cipta  yang  menjual 
rekaman  pertunjukan  wayangnya  tanpa  ijin  atau  sepengetahuannya. 
Pengalamannya  ini  memperkuat  kepercayaannya  bahwa  hukum  tentang 
hak  cipta  di  Indonesia  seyogyanya  ditangani  oleh  pengadilan  untuk  tujuan 
melindungi  semua  seniman.  Untuk  mencocokkan  imajinasinya  Gunarsa 
tentang  geni  astra,  ki  dalang  mengajukan  ceritera  yang  lain  tentang  Anggada 
yang  mana  di  dalamnya  seorang  Raksasa  Mayasura  cucu  dari  Raja  Rahwana 


91 


Anggada  he  is  given  the  astra  geni.  When  the  demon  launches  the  magical 
weapon  against  the  red  monkey  it  discerns  the  difference  between  good  and 
evil,  boomeranging  back  on  Mayasura  and  destroying  the  originator  of  the 
deception. 


Gunarsa  was  thrilled  with  the  dalangs  suggestion.  For  him  this 
sequel  and  its  new  ending  provided  the  dramatic  satisfaction 
of  karmapala  that  was  missing  from  the  first  Anggada  puppet 
play  and  the  copyright  trial  that  followed  it.  For  nearly  two 
hours  the  two  artists  discussed  the  philosophical  ramifications 
of  the  allegory  and  its  relevance  to  the  moral  issues  related  to  copyright 
laws.  Their  conversation  shifted  back  and  forth  fluidly  from  the  story  of  the 
forged  paintings  to  the  story  of  the  monkey  hero  who  had  been  betrayed  and 
thrown  out  of  the  palace.  Like  the  first  Anggada  story,  this  plot  also  included 
a  kind  of  divine  identity  theft.  The  demon  Mayasura,  who  had  been  adopted 
into  the  palace  as  a  baby  after  his  grandfather  Rahwana's  death,  imitated 
Anggada  falsely  during  his  attack  on  Rama,  and  when  Anggada  came  to  the 
king's  defense,  the  demon  claimed  that  it  was  Anggada  who  was  the  attacker. 
Anggada  leaves  the  palace  in  shame,  while  Mayasura  is  hailed  as  a  hero.  The 
moral  universe  of  the  play  is  temporarily  turned  upside  down.  A  villain  is 
praised  for  his  deception,  while  a  hero  is  condemned  for  his  virtue.  Order 
can  only  be  restored  by  the  'fiery  weapon  that  sees  the  truth'  ("astra  geni") 
and  the  victory  of  karmapala  that  results  from  its  use. 


memfitnah  reputasi  si  kera  merah,  Anggada,  dengan  cara  menyerang  Rama 
dalam  kegelapan  dan  memfitnah  bahwa  Anggadalah  yang  menyerang 
sang  raja.  Anggada  diusir  keluar  dari  istana  dengan  aib  memalukan,  dan 
ketika  Mayasura  memohon  sebuah  senjata  untuk  melawan 
Anggada  kehadapan  Sri  Rama,  dia  dianugrahkan  senjata  geni 
astra.  Manakala  raksasa  Mayasura  melepas  senjata  sakti  yang 
memiliki  kekuatan  dapat  memilah  perbedaan  antara  yang  baik 
dengan  yang  buruk,  yang  dia  bidikkan  pada  sasarannya  si  kera 
merah  Anggada,  menjadi  bumerang  memantul  kembali  ke 
Detya  Mayasura  dan  menghancurkan  dirinya  sebagai  sumber 
kecurangan. 

Hati  Gunarsa  tergetar  oleh  saran  yang  diajukan  sang  dalang. 
Baginya,  bagian  ini  sebagai  kesimpulan  akhir  yang  baru 
memberikan  kepuasan  dramatik  dari  karmapala  yang  absen 
pada  versi  pertunjukan  wayang  Anggada  yang  pertama,  seperti 
halnya  perkara  tentang  hak  cipta  yang  mengikutinya.  Hampir 
dua  jam  kedua  seniman  ini  mendiskusikan  percabangan  filsafat  dari  kiasan 
dan  relevansinya  berkaitan  dengan  isu  moral  yang  berhubungan  dengan 
undang-undang  hak  cipta.  Percakapan  mereka  mengalir  berpindah 
bolak-balik  dari  kisah  pemalsuan  lukisan  ke  kisah  pahlawan  kera  yang  telah 
dikhianati  dan  dibuang  keluar  dari  istana.  Seperti  halnya  dengan  kisah 
Anggada  yang  pertama,  alur  ini  juga  mengandung  pencurian  identitas. 
Raksasa  Mayasura  yang  telah  diangkat  menjadi  keluarga  istana  ketika  dia 
masih  bayi  setelah  kematian  Rahwana  kakeknya,  dengan  cara  memalsukan 
dirinya  menjadi  Anggada  sewaktu  dia  menyerang  Sri  Rama,  manakala 
Anggada  datang  untuk  membela  sang  raja.  Raksasa  memutarbalikkan 
fakta  dan  mengatakan  Anggadalah  sebagai  penyerangnya.  Anggada 
meninggalkan  istana  dengan  rasa  malu,  sementara  Mayasura  dielukan 
sebagai  pahlawan.  Moral  alam  duniawi  dari  pertunjukan  tersebut  untuk 
sementara  terbalik  seratus  delapan  puluh  derajat.  Seorang  penjahat  mendapat 
penghargaan  untuk  tipu  muslihatnya,  sementara  sang  pahlawan  dihukum 
karena  kebajikannya.  Perintah  hanyalah  dapat  dipulihkan  oleh  'sebuah 
senjata  yang  dapat  melihat  kebenaran  f"geni  astra'j  dan  kemenangan 
karmapala  berbuah  dari  penggunaannya. 


92 


"The  astra  geni  is  looking  for  the  difference  between  the 
person  who  is  innocent  and  the  person  who  commits  crimes," 
says  Gunarsa.  "This  is  the  way  the  law  should  work  in  our 
society.  In  religion  we  have  the  principles  of  ruabineda,  good 
and  evil,  truth  and  falseness,  but  they  should  be  built  into  the 
law  the  way  they  are  built  into  the  astra  geni\ 


The  dalang  agrees.     "We  all  have  standards,"  he  says,  "for 

copying,  and  for  cheating,  which  are  false  actions.    Religion 

also  states  these  things.    We  all  live  together,  but  our  minds 

are  different.  To  give  peace  to  our  lives,  we  need  standards 

to  follow,  common  standards.     These  standards  must  be 

respected.   In  the  banjar  (neighborhood  association)  we  call 

these  traditional  customs  (awig-awig)  and  nationally  we  call 

them  laws  (hukum).  For  those  who  violate  the  customs,  there  are  sanctions. 

For  those  who  violate  the  laws,  there  are  sanctions." 


"Like  astra  genii'  Gunarsa  interjects.  He  sees  the  sacred  object  as  a  weapon 

that  can  be  wielded  in  the  metaphorical  story  to  redress  the  injustices  of 

the  trial.  He  gives  the  dalang  more  details  about 

the  twists  of  the  trial.    "I  was  accusing  him," 

continued  Gunarsa,  "but  he  accused  someone 

else  of  dropping  off  the  paintings.  It  was  a  chain 

of  criminals.  One  was  the  distributor.  One  was 

the  retailer.    And  then  there  was  the  one  who 

signed  the  false  signature." 


Gunarsa  goes  on  to  explain  that  there  had 
been  a  previous  trial  in  which,  one  member 


"Senjata  geni  astra  mencari  perbedaan  diantara  seseorang  yang 
lugu  dengan  seseorang  yang  berbuat  kejahatan"  kata  Gunarsa. 
"Demikianlah  seyogyanya  hukum  itu  berlaku  dalam  masyarakat 
kita.  Di  dalam  agama  kita  memiliki  prinsip  ruabineda,  baik 
dan  buruk,  benar  dan  salah,  akan  tetapi  hal  itu  semestinya 
dibangun  berdasarkan  hukum  seperti  halnya  dia  dibangun  ke 
dalam  geni  astra". 

Sang  dalang  setuju.  "Kita  semua  memiliki  norma"  katanya, 

"untuk  menggandakan  dan  mengutip,  yang  mana  merupakan 

aksi  yang  salah.  Ajaran  agama  juga  menyatakan  untuk  sesuatu 

seperti  ini.  Kita  semua  hidup  bersama,  akan  tetapi  pikiran  kitalah 

yang  berbeda.  Untuk  memberikan  kedamaian  dalam  hidup  kita, 

kita  membutuhkan  norma  untuk  dijadikan  pegangan,  norma 

umum.  Norma  seperti  inilah  yang  mesti  dihormati  bersama. 

Di  banjar  kita  namakan  peraturan  adat  Cawig-awigJ  dan  regulasi  secara 

nasionalnya  kita  sebut  hukum.  Kepada  mereka  yang  melanggar  awig-awig, 

ada  sangsinya.  Bagi  mereka  yang  melanggar  hukum  ada  juga  sangsinya" 

"Seperti  halnya  dengan  geni  astra,"  Gunarsa  menyisipkan.  Dia  melihat 
obyek  sakral  sebagai  sebuah  senjata  yang  dapat  dipegang  dan  digunakan 

dalam  metafora  ceritera  untuk  menunjukkan 
ketidak  adilan  dari  perkara  pengadilan.  Dia 
memberikan  lebih  rinci  lagi  kepada  sang 
dalang  tentang  plintiran  dalam  persidangan. 
"Saya  menuduh  dia,"  lanjut  Gunarsa,  "akan 
tetapi  dia  menuduh  orang  lainlah  yang 
menjatuhkan  lukisan-lukisan  tersebut.  Itu 
adalah  rangkaian  kriminal.  Salah  seorangnya 
adalah  distributor.  Seorangnya  lagi  adalah 
pengecer.  Kemudian  ada  seseorang  yang 
membubuhkan  tandatangan  palsu." 

Gunarsa  lebih  lanjut  membeberkan  bahwa 
dalam    persidangan    sebelumnya    di    mana 


93 


94 


TV 


w 


N    \ 


'V- 


^^6^ 


A.'^AZ4^/  ^^Vy4/7V  /'A^"A/,^- 
Vav    /V'/    »Al^  Aif'*^^'^^'' 


of  the  criminal  syndicate  was  convicted  of  being  guilty: 
"The  middleman  was  also  singled  out,  put  on  trial  and 
sentenced.  Sinyo  should  have  been  punished  too,  but  he 
was  set  free,  because  he  has  money.  One  was  taken  and 
one  was  not."  This  imbalance  in  the  justice  system  is  one 
of  the  sources  of  Gunarsa's  frustration.  He  believes  that 
bribery  was  part  of  the  process  that  led  to  setting  Sinyo 
free. 

The  miscarriage  of  justice  through  corruption  was  one  of 

the  themes  that  Nardayana  had  raised  in  the  first  shadow 

puppet  play  when  Twalen  and  Merdah  witness  a  dead  soul 

trying  to  bribe  his  way  into  heaven.  Both  men  realize  the 

problem  reaches  far  beyond  the  case  of  copyright  law  to 

the  Indonesian  legal  system  at  large.  The  dalang  reminds 

Gunarsa  that  the  Indonesian  President  Yudhoyono  has 

launched  a  campaign  to  eliminate  corruption  from  the 

legal  system.    "They  cannot  dare  to  do  those  kinds  of  things  any  more, 

because  we  have  the  Corruption  Eradication  Commission  (known  in 

Indonesia  as  KPK)." 


Gunarsa  worries  that  the  federal  government's 
program  against  corruption  has  not  yet  solved  the 
problem.  He  reports  that  the  files  of  the  trial  that 
had  resulted  in  a  conviction  of  Sinyo  s  associate  had 
mysteriously  disappeared.  "In  Bali  some  judges 
are  still  manipulating  things,  playing  around  with 
justice.  My  fear  is  that  the  police  can  be  bought. 
The  prosecutors  can  be  bought.  Justice  can  be 
bought." 


salah  seorang  dari  anggota  mata  rantai  telah  dijatuhi 
hukuman  karena  bersalah.  "Orang  tengah  juga  dipilih, 
dimasukkan  dalam  perkara  dan  dihukum.  Sinyo 
semestinya  juga  dihukum,  akan  tetapi  dia  dibebaskan, 
karena  dia  memiliki  uang"  Ketidak  seimhangan  dalam 
sistem  peradilan  seperti  ini  menjadi  sumber  frustasinya 
Gunarsa.  Dia  percaya  bahwa  suapan  kiranya  menjadi 
bagian  dari  proses  yang  membuat  Sinyo  bebas. 

Kegagalan  dari  keadilan  melalui  korupsi  juga  menjadi 
tema  yang  diangkat  oleh  Nardayana  pada  pertunjukan 
wayangnya  yang  pertama  ketika  Tualen  dan  Merdah 
menyaksikan  roh  orang  meninggal  yang  mencoba 
menyuap  unuk  memuluskan  perjalanannya  menuju 
sorga.  Keduanya  menyadari  persoalan  mencapai  jauh 
diluar  dari  kasus  hukum  hak  cipta  sebagai  sistem  formal 
Indonesia  dalam  arti  luas.  Ki  Dalang  mengingatkan 
Gunarsa  bahwa  Presiden  Indonesia  Yudoyono  telah  mewacanakan  dalam 
kampanyenya  untuk  mengurangi  korupsi  dari  sistem  formal.  "Mereka 
tidak  berani  melakukan  hal  seperti  itu  lagi,  oleh  karena  kita  telah  memiliki 
badan  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  di  Indonesia  dikenal  dengan 
singkatan  KPK. 


Gunarsa  menghawatirkan  bahwa  program 
pemerintah  pusat  melawan  korupsi  belum  dapat 
memecahkan  masalah.  Dia  melaporkan  sejumlah 
dokumen  dari  persidangan  pengadilan  yang 
dihasilkan  tentang  penghukuman  rekan  sejawatnya 
Sinyo,  secara  misterius  menghilang.  "Di  Bali 
beberapa  hakim  masih  memanipulasi  sesuatu, 
mempermainkannya  diseputar  keadilan.  Ketakutan 
saya  bahwa  polisi  juga  dapat  dibeli.  Jaksa  penuntut 
dapat  dibeli.  Hukum  dapat  dibeli" 


95 


The  dalang  is  sympathetic  to  Gunarsas  concerns. 
He  reiterates  points  that  he  had  expressed  in 
the  first  puppet  play  through  the  voice  of  the 
clown  servant  Twalen.  "Sometimes  the  laws  are 
manipulated,"  he  tells  Gunarsa,  "to  the  point  that 
the  false  becomes  the  true,  and  the  true  becomes 
the  false,  because  of  money.  Because  it  is  people 
who  uphold  the  law,  and  they  are  fallible.  But 
according  to  our  beliefs  religious  laws  cannot 
be  manipulated.  The  truth  is  always  true  and 
falseness  is  always  false.  All  of  that  is  established 
from  the  Lord  above.  Karmapala  teaches  us  that 
in  the  end  everything  you  do  will  come  back  to 
you. 


Nardayana  is  describing  the  scene  of  inverted 

values  depicted  in  the  sequel  to  Anggada's  story 

where  Anggada  is  thrown  out  of  the  palace  and 

the  demon  who  falsely  slandered  him  is  praised 

('the  false  becomes  true  and  the  true  becomes 

false'),    but    when    Gunarsa    hears    the    word 

karmapala  his  thought  shift  back  again  from 

the  world  of  wayang  to  the  specifics  of  his  case. 

"Yes,"  he  interrupts.    "Karmapala  means  that  anyone  who  commits  evil, 

will  be  doomed  by  their  own  evil  deeds.  I  am  hoping  that  the  one  who  has 

committed  crimes  of  falseness  will  be  punished,  because  I  am  looking  for 

the  truth.  The  astra  geni  is  the  symbolic  weapon  of  karmapala" 


It  is  normal  in  Bali  for  the  host  of  a  wayang  play  to  discuss  the  issues  he 
hopes  will  be  discussed  in  the  course  of  the  story,  and  most  dalangs  choose 


Ki  dalang  menaruh  simpatik  terhadap 
kepeduliannya  Gunarsa.  Dia  mengulangi  poin 
pernyataannya  yang  dia  telah  ekpresikan  dalam 
pertunjukan  wayangnya  yang  pertama,  melalui 
suara panakawan  Tualen.  "Kadangkala  hukum  itu 
dimanipulasikan," dia  kasih  tahu  kepada  Gunarsa, 
"tegasnya  bahwa  yang  salah  bisa  menjadi  benar, 
dan  yang  benar  bisa  menjadi  salah,  karena  uang. 
Oleh  karena  mereka  orang-orang  bertugas  sebagai 
penegak  hukum,  dan  mereka  berbuat  keliru  atau 
salah.  Akan  tetapi  menurut  hukum  kepercayaan 
kita,  tidak  mungkin  untuk  dimanipulasi.  Yang 
benar  itu  selalu  benar  dan  yang  salah  adalah 
tetap  salah.  Semua  itu  ditetapkan  oleh  Yang  Maha 
Kuasa  di  atas.  Karmapala  memberi  pelajaran 
kepada  kita  bahwa  pada  akhirnya  semua  yang 
pernah  kamu  lakukan  akan  kembali  ke  kamu" 

Nardayana  menggambarkan  nilai-nilai  yang 
diputar  balikkan  dalam  untaian  adegan  kisahnya 
Anggada,  dimana  Anggada  diusir  keluar  dari 
istana  sedangkan  raksasa  yang  dengan  licik 
menebar  fitnah  justru  mendapat  penghargaan 
Cyang  salah  menjadi  benar  dan  yang  benar 
menjadi  salah'),  akan  tetapi  ketika  Gunarsa 
mendengar  kata  karmapala  pikirannya  berbalik 
kembali  dari  dunia  wayang  kepada  kasusnya  yang  lebih  mengkhusus.  "Ya" 
dia  menyela.  "Karmapala  berarti  bahwa  setiap  orang  yang  berbuat  kejahatan, 
akan  dihukum  oleh  kejahatan  yang  dia  perbuat  sendiri.  Saya  berharap  bahwa 
seseorang  yang  melakukan  kejahatan  dari  pemalsuan  akan  dihukum,  karena 
saya  mendambakan  kebenaran  sejati.  Astra  geni  adalah  senjata  simbolik 
dari  karmapala. 

Adalah  menjadi  kebiasaan  di  Bali  bagi  si  penanggap  pertunjukan  wayang 
melakukan  diskusi  tentang  hal-hal  yang  akan  didiskusikan  dalam  jalan 


96 


97 


their  stories  as  a  form  of  allegorical  commentary  on 

the  situation  being  experienced  by  their  audiences 

at  the  moment  of  the  performance.    The  importance 

of  matching  a  performance  to  the  concerns  of  the 

spectators  is  embodied  in  a  concept  known  as  desa, 

kala,  patra  ('place,  time  and  context').  The  interaction 

between  Gunarsa  and  Nardayana  is  an  example  of  how 

deeply  the  Balinese  believe  in  the  connection  between 

the  invisible  world  of  wayangs  religious  allegories  and 

the  visible  world  of  everyday  life.  For  some,  of  course, 

wayang  puppet  plays  are  merely  entertainments,  but 

for  deeply  religious  Balinese  Hindus,  there  are  powerful  links  between  the 

world  of  shadows  and  the  world  of  the  flesh. 


ceritera,  dan  kebanyakan  dalang  memilih  ceritera  sebagai 
komentar  yang  bersifat  perlambang  dalam  situasi  yang 
tengah  dialami  oleh  penontonnya  pada  saat  pementasan. 
Pentingnya  memadukan  dalam  sebuah  pementasan 
terhadap  kepedulian  dengan  situasi  penontonnya 
adalah  menjadi  bagian  dari  sebuah  konsep  yang  dikenal 
dengan  istilah  desa,  kala,  patra  (berarti:  tempat,  waktu 
dan  keadaan).  Interaksi  diantara  Gunarsa  dengan 
Nardayana  adalah  sebuah  contoh  betapa  dalamnya 
kepercayaan  orang  Bali  dalam  hubungannya  dengan 
alam  maya  dunia  wayang  sebagai  kiasan  religius  dan 
dunia  nyata  sebagai  kehidupan  setiap  hari.  Untuk  beberapa  orang  sudah 
barang  tentu  memandang  pertunjukan  wayang  adalah  melulu  sebagai 
hiburan,  akan  tetapi  lebih  dalam  bagi  orang  Hindu  Bali  terdapat  koneksi 
yang  sangat  kuat  diantara  dunia  wayang  dengan  dunia  wadak. 


In  the  sacred  Hindu  text  "Dharma   Pawayangan"   dalangs  are  given 

instructions  on  how  to  uphold  the  moral  integrity  of  their  art,  explaining 

which  offerings  and  mantras  are  to  be  used  in  different  situations.  The  holy 

book  outlines  the  connections  between  the  four  servant  clowns  and  the 

four  guardian  spirits  that  accompany  each  human  being  at  the  moment  of 

birth,  and  act  as  sacred  protectors  throughout  the 

lifespan.  These  four  sacred  guardians  are  known 

as  kanda  empat  ('the  four  siblings')  and  they  are 

associated  with  the  umbilical  cord,  the  amniotic 

sac,  the  amniotic  fluid,  and  the  afterbirth.  These 

physical  by-products  of  birth  are  buried  with 

offerings  by  the  family  of  the  newborn  child  as 

embodiments  of  the  kanda  empat,  which  are 

invoked  during  many  religious  ceremonies  as  the 

child  progresses  from  childhood  to  adulthood 

to  death  and  reincarnation.  Nardayana  quotes  a 

well-known  Balinese  proverb:  "If  we  remember 

the  kanda  empat,  they  will  remember  us,  but  if 

we  forget  them,  they  will  forget  us  too.  It  is  the 


Dalam  teks  lontar  suci  "Dharma  Pewayangan"  dalang  diberikan  instruksi 
bagaimana  memegang  integritas  moral  seni  mereka,  menerangkannya 
dengan  upakara  dan  mantra-mantra  yang  akan  digunakan  dalam  situasi 
yang  berbeda.  Garis  besar  buku  suci  memuat  hubungan  diantara  empat 
punakawan  dengan  empat  spiritual  saudara  pelindung  yang  menyertai  setiap 

manusia  sejak  dia  lahir,  dan  bertugas  sebagai 
proteksi  spiritual  sepanjang  hayat  di  kandung 
badan.  Kempat  malaikat  pelindung  ini  dikenal 
dengan  nama  kanda  empat  (empat  saudara) 
dan  mereka  semua  itu  berhubungan  dengan 
ari-ari,  air  ketuban,  lamas  dan  darah.  Keempat 
unsur  pisik  yang  menyertai  manusia  lahir 
ditanam  dengan  upakara  tertentu  oleh  keluarga 
pada  setiap  kelahiran  bayi  yang  baru  sebagai 
perwujudan  kanda  empat  untuk  dimohonkan 
perlindungannya  pada  kebanyakan  upacara 
keagamaan  ketika  pertumbuhan  anak  dari  masa 
kanak-kanak  sampai  menginjak  dewasa  kemudian 
kematian  bahkan  sampai  reinkarnasi  nantinya. 


98 


same  with  the  four  punakawan  (the  name  that  refers  collectively  to  the 
four  clown/servant  puppets).  They  are  also  guardians  who  give  advice  that 
people  remember." 


The  symbolic  relationship  between  the  world  of  wayang  and  the  material 
world  reflects  what  is  known  in  Bali  as  the  relationship  between  bhuana 
agung  and  bhuana  alit,  the  microcosm  and  the  macrocosm.  The  bhuana 
agung  (literally  'large  world')  refers  to  the  spiritual  construction  of  the 
universe,  while  the  bhuana  alit  (literally  'small  world')  refers  to  the  corporeal 
world  of  the  human  body.  "The  puppet  screen  is  a  manifestation  of  the  sky" 
explains  Nardayana.  "Under  the  screen  is  the  banana  log  (gedebong)  which 
supports  the  rods  inserted  in  each  puppet,  and  is  a  manifestation  of  the 
earth.  And  the  flame  of  the  coconut  oil  lamp  that  projects  the  shadows  is 
a  manifestation  of  the  sun.  But  at  the  same  time  all  these  elements  exist  in 
the  body  of  the  dalang.  The  banana  log  is  like  one  of  my  bones.  The  screen 
is  like  the  tissues  of  my  flesh.  The  strings  that  tie  the  screen  to  the  frame 
are  like  my  nerves.  And  the  little  nails  that  secure  the  banana  log  are  my 
teeth." 

The  four  sacred  clown  puppets  are  also  internalized  by  the  dalang.  "The 
punakawan  are  the  dalang,  and  the  dalang  is  them,"  states  Nardayana  with 
quiet  conviction.  These  four  characters  are  the  servants  who  translate  the 
words  of  the  gods  and  kings  into  a  vernacular  that  can  be  understood  by 
the  audience.  Ostensibly  these  are  the  characters  that  the  dalung  speaks 
through,  using  their  voices  to  make  the  ancient  stories  and  complex 
religious  concepts  accessible  to  the  spectators,  but  when  Nardayana  and 
other  dulungs  speak  reverently  of  these  characters  it  is  sometimes  unclear 
who  is  speaking  through  whom.  "In  the  mythology,  these  four  servants 
were  sent  to  the  world  to  serve  the  earthly  reincarnation  of  Visnu,"  says 
Nardayana,  recounting  the  relationship  of  the  wa/am^  servants  to  the  sacred 
directions,  colors,  and  body  parts  associated  with  each  of  the  Hindu  gods  in 
Bah.  "I  apologize  for  not  knowing  all  of  the  sacred  books  thoroughly,  but 


Nurduyanu  mengutip  pribuhusu  yung  suduh  di  kenul  di  Buli:  "Jiku  kitu  ingut 
dengun  suuduru  emput  kitu,  mereka  akun  mengingut  kitu,  ukun  tetupi  bilu 
kitu  melupukun  mereku,  merekupun  ukun  melupukun  kitu.  Ini  sumu  hulnyu 
dengun  keemput  panakwan  (sebutun  yung  merujuk  securu  kolektif  untuk 
keemput  pembadut/abdi  dulum  wuyung).  Mereku  jugu  muluikat  pelindung 
yang  memberikan  nusehut  yung  dikenung  oleh  orang" 

Hubungan  simbolik  dianturu  duniu  wayang  dengun  duniu  muteriul  terpuncur 
seperti  apu  di  Buli  dikenul  dengun  hubungun  bhuana  agung  dengan  bhuana 
alit,  jugut  ruyu  dengun  duniu  di  dulum  diri.  Bhuana  agung  (urtinyu  duniu 
besur)  merujuk  pudu  konstruksi  spirituul  duri  pembentukun  ulum  semestu, 
sementuru  bhuana  alit  (urtinyu  duniu  kecil)  berkuitun  dengun  duniu  budun 
munusiu.  "Luyurnyu  wuyung  fkelir'j  melumbungkun  lungit,"  Nurduyunu 
menerungkun.  "Di  buwuh  kelir  terduput  pohon  pisung  ("gedebong'j  untuk 
menopung  setiup  tungkui  wuyung  ketiku  dituncupkun  uduluh  munifestusi  duri 
bumi.  Koburun  lumpu  belencong  berminyuk  kelupu  yung  memproyeksikun 
buyungun  ke  kelir  uduluh  sebugui  munifestusi  mutuhuri.  Dulum  wuktu 
bersumuun,  semuu  elemen  ini  terduput  jugu  dulum  diri  si  dalang.  Pohon 
pisung  uduluh  seperti  tulung  suyu,  luyur  utuu  kelir  uduluh  lupisun  duri  duging. 
Tuli  pengikut  luyur  sumpui  dengun  ke  lumpu  tuk  ubuhnyu  uduluh  suruf-saraf 
tubuh.  Puku-puku  kecil  mengunci  pohon  pisung  uduluh  gigi  suyu" 

Keemput  punukuwun  suci  duri  wuyung  uduluh  jugu  diinternulisasikun  oleh 
dulung.  "Panakawan  itu  uduluh  dulung,  dun  ki  dalang  uduluh  mereku," 
Nurduyunu  menyutukun  dengun  tenung  penuh  keyukinun.  Keempat  duri 
tokoh  ini  uduluh  puru  ubdi  yung  menterjemuhkun  buhwu  puru  dewu  dan 
ruju-ruju  ke  dulum  buhusu  yung  dipuhumi  dun  dimengerti  penontonnyu. 
Seoluh-oluh  melului  kurukter  iniluh  ki  dalang  berbicuru  menggunukun 
ucupunnyu  untuk  membuut  kisuh  yung  suduh  kuno  tersebut  dengun  konsep 
keugumuun  yung  kompleks  duput  diterimu  oleh  musyurukut  penonton,  ukun 
tetupi  ketiku  Nurduyunu  demikian  jugu  hulnyu  dalang  yung  luin  berbicuru 
dengun  hormutnya pudu  semuu  kurukter  ini  sesungguhnyu  terkadang  takjelus 
siupu  yung  berbicuru  melului  siupu.  "Dulum  mitologi  keempat  punukuwun  ini 
uduluh  diutus  ke  duniu  nyutu  untuk  mengubdi  kepudu  reinkurnusi  Wisnu  yung 
berudu  di  bumi,"  kutu  Nurduyunu,  menceriterukun  hubungan  panakawan 


99 


these  four  servants  have  divine  origins.  Twalen 
is  related  to  Lord  Ismaya  and  therefore  to  Siwa. 
His  dwelHng  place  is  in  the  east,  where  the  color 
is  white,  so  even  though  the  skin  of  the  puppet  is 
painted  black,  Twalens  blood  is  white  and  pure." 
Nardayana's  description  of  Twalen  is  consistent 
with  the  reverence  paid  to  the  puppet  by  other 
dalangs.  There  is  at  least  one  Balinese  Brahmin 
high  priest  who  uses  the  puppet  of  Twalen  as 
a  vehicle  for  making  blessings  at  ceremonies, 
dipping  the  puppet  into  holy  water  and  sprinkling 
it  over  the  participants  in  the  ceremony. 


wayang  dengan  arah  suci,  warna,  dan  bagian  dari 
badan  dalam  hubungannya  dengan  setiap  para  dewa 
menurut  Hindu  di  Bali.  "Saya  mohon  maaf  karena 
tidak  menguasai  seluruh  isi  dari  buku  suci  tersebut, 
akan  tetapi  keempat  panakawan  ini  asli  memiliki 
sifat  ketuhanan.  Twalen  ada  hubungannya  dengan 
Dewa  Ismaya  yang  tiada  lain  adalah  Siwa.  Stana 
beliau  adalah  di  arah  timur,  warnanya  adalah 
putih,  kendati  kulitnya  wayang  dicat  berwarna 
hitam,  darahnya  Tuwalen  adalah  putih  bersih" 
Nardayana  mendeskripsikan  tentang  Twalen  yang 
memiliki  kesamaan  dengan  referensi  yang  diberikan 
oleh  para  dalang  yang  lainnya.  Paling  tidak  ada  seorang  pendeta  brahmana 
yang  mengunakan  wayang  Twalen  sebagai  wahana  dalam  memberi  berkah 
pada  upacara,  dengan  mencelupkan  tangkai  wayang  ke  dalam  air  suci  dan 
memercikkannya  kepada  seluruh  peserta  upacara. 


Twalen  is  a  symbolic  embodiment  of  ruabineda,  black  on  the  outside,  with 

white  blood  on  the  inside.   He  wears  the 

sacred  cloth  of  black  and  white  checked 

patterns  known  as  polenc  which  is  itself  a 

manifestation  of  ruabineda  that  mirrors 

Twalen's  character.     He  has  a  humble 

appearance,  but  a  divine  origin.  The  other 

servant  puppets  are  less  revered,  but  still 

connected  to  sacred  origins.  "Merdah  is 

yellow,"  Nardayana  continues,  referring 

to    Twalen's    son    and    comic    sidekick. 

"He  dwells  in  the  west  (the  direction 

associated    with    the    god    Mahadewa). 

Delem  is  a  proud  fiery  character,  because 

he  is  related  to  Brahma  whose  element  is 

fire.  Delem  dwells  in  the  south  where  the 

color  is  red,  and  so  his  blood  is  also  red." 


100 


Twalen  adalah  simbol  personifikasi  dari  ruabineda,  hitam  dibagian  luarnya, 

dengan  darah  putih  bagian  dalamnya. 
Dia  menggunakan  kain  suci  berpola  kotak 
catur  berwarna  hitam  dan  putih  yang 
disebut  kain  poleng  yang  sesungguhnya 
kain  itu  sendiri  melambangkan  ruabineda 
yang  mencerminkan  karakternya  Twalen. 
Dia  memiliki  perangai  yang  hormat 
rendah  hati,  namun  sesungguhnya  dia 
adalah  perwujudan  dewa.  Panakawan 
yang  lain  dalam  wayang  kurang  dipuja 
seperti  Twalen,  akan  tetapi  tetap  memiliki 
hubungan  dengan  kesucian  asli.  "Merdah 
adalah  kuning,"  Nardayana  meneruskan, 
menunjuk  kepada  anaknya  Tualen 
dan  pembadut  pendampingnya.  "Dia 
beristana  di  barat  (arah  mata  angin 
yang  diasosiasikan  dengan  posisi  Dewa 


Sanggut,  Delem's  fellow  servant  on  the  "left"  or  "evil"  side  of  the  wayang 

world,  is  the  opposite  of  his  partner.    "Sangut  is  associated  with  Visnu," 

continue  Nardayana.     He  dwells  in  the  north  where  he  is  soft  like  his 

element,  which  is  water.  He  puts  out  the  fires  that  Delem  starts."  Again  the 

dalangs  description  of  the  characters  confirms  their  contradictory  nature 

as  embodiments  of  the  principle  of  ruahineda. 

Sanggut  and  Delem  are  opposites.  Ordinarily  in  the 

course  of  a  wayang  play,  Delem  will  speak  falsely 

and  advocate  deception,  while  Sanggut,  although 

he  works  for  the  "left,"  opposes  his  partner  and 

advocates  positions  of  truthfulness  and  honesty. 

As  a  team  they  play  on  contradictions  within 

contradictions,  which  makes  them  both  comically 

entertaining    and    philosophically    enlightening, 

qualities  that  are  essential  to  a  good  wayang  play. 


The  wide-ranging  conversation  between  the  dalang  and  the  painter  takes 
place  on  the  platform  of  an  open-air  pavilion  with  a  tile  roof  supported 
by  four  pillars.  The  pavilion  is  located  next  to  Nardayana's  family  temple, 
whose  shrines  are  organized  according  to  the  same  principles  of  sacred 
color  and  directionality  that  the  dalang  explains  are  embodied  in  the 
wayang  servant  clown  puppets.  Nearby  is  a  closed  room  whose  doors  are 
sculpted  in  the  form  of  a  kayonan  wayang  pwppet.  At  the  base  of  this  figure, 
which  represents  both  the  tree  of  life  and  the  source  of  all  stories,  are  the 
four  clown  servants  from  the  world  of  wayang,  Delem,  Sanggut,  Twalen 
and  Merdah.  It  is  fitting  that  they  are  carved  into  the  base  of  the  kayonan 


Mahadewa).  Delem  seorang  tokoh  sombong  pedas  berapi-api  karena  dia 
diasosiasikan  dengan  dewa  Brahma  berelemen  api.  Delem  beristana  diselatan 
dengan  warna  merah  dan  juga  darahnyapun  merah" 

Sangut,  saudaranya  Delem  yang  berpihak  pada  kelompok  "kiri"  atau  "jahat" 
pada  dunia  wayang,  adalah  bertentangan  dengan  pasangannya.  "Sangut 
diasosiasikan  dengan  dewa  Wisnu," Nardayana  melanjutkan.  Dia  beristana 
di  utara  dimana  dia  memiliki  sifat  yang  lembut  seperti  elemennya  yakni 
air.  Dia  mampu  memadamkan  api  yang  dimulai  oleh  Delem."  Lagi-lagi 
ki  dalang  mendeskripsikan  mengkonfirmasikan 
karakter  mereka  yang  bertentangan  adalah 
perwujudan  dari  prinsip  ruabineda.  Sangut 
dengan  Delem  adalah  b er seberangan.  Biasanya 
di  dalam  jalannya  pertunjukan  wayang,  Delem 
berbicara  penuh  kebohongan  dan  mendukung 
penipuan,  sementara  Sangut  kendati  dia  mengabdi 
kepada  untuk  kelompok  "kiri,"  dia  berseberangan 
dengan  pasangannya  dan  dia  tetap  mendukung 
keberadaan  dari  kebenaran  dan  kejujuran.  Sebagai 
sebuah  tim  mereka  bermain  berseberangan  dalam 
pertentangan,  yang  membuat  badutan  mereka 
berdua  menghibur  dan  secara  filosofi  juga 
memberi  pencerahan,  menjadi  kualitas  mendasar 
pertunjukan  wayang  yang  bagus. 

Percakapan  dengan  dalang  dengan  pelukis  yang  demikian  luas  meliputi 
banyak  hal  mengambil  tempat  di  pelataran  balai  terbuka  dengan  atap 
alang-alang  disangga  oleh  empat  pilar.  Letak  balai  tersebut  disebelah 
pura  keluarga  ('sanggahj  yang  mana  tata  letak  bangunan  suci  disusun 
menurut  prinsip  yang  sama  dari  warna  suci  dan  prinsip  arah  seperti 
yang  di  tuturkan  oleh  dalang  adalah  perwujudan  wayang  punakawan. 
Disebelahnya  adalah  ruang  tertutup  yang  pintu  masuknya  diukir  dalam 
bentuk  kayonan  wayang.  Dibawah  dari  figur  yang  menggambarkan  pohon 
kehidupan  dan  sumber  dari  semua  ceritera  terdapat  empat  punakawan 
dari  dunia  pertunjukan  wayang  yakni  Delem,  Sangut,  Twalen  dan  Merdah. 


101 


because  they  and  their  words  are  at  the  foundation 
of  all  wayang  plays.  One  of  the  names  by  which  the 
quartet  is  collectively  known  is  the  penasar,  or  'those 
at  the  foundation.' 


Inside  the  room  protected  by  the  penasar  is 
Nardayana's  wooden  puppet  box,  containing  all  the 
characters  in  all  the  stories  of  the  wayang  universe. 
Each  time  he  performs  a  wayang  play  the  dalang 
chooses  some  of  those  puppet  characters  to  inhabit 
the  shadow  world  that  consists  of  a  banana  log  earth 
and  a  canvas  screen  sky  illuminated  by  a  coconut- 
oil  lamp.  "The  puppet  box,"  explains  Nardayana  first 
using  the  word  keropak  and  then  switching  to  the 
word  ^ec/on^  which  is  the  same  word  used  to  describe 
the  containers  of  the  sacred  objects  in  a  family  temple 
shrine,  "is  symbolic  of  nature,  and  its  contents.  The 
puppets  are  its  inhabitants:  people,  animals,  plants, 
gods,  and  all  the  rest.  The  dalang  at  the  moment  of 
the  performance,  becomes  like  a  god,  but  only  for  the 
moment  of  the  puppet  performance.  He  gives  life  to 
all  of  them." 


"Yes,"  agrees  Gunarsa  enthusiastically.  "The  dalang  is  a  creator.  He  can 
invent  a  story  like  the  gods.  He  can  punish  the  villain  with  the  astra  genu 
Gunarsa  has  turned  to  the  world  of  wayang  for  the  justice  that  he  feels  was 
denied  to  him  in  the  world  of  formal  laws  and  courtrooms.  The  courtroom 
he  trusts  most  is  the  courtroom  of  the  dalang,  where  the  audience  can  see 
the  effects  of  karmapala  without  waiting  a  lifetime.  The  dalang  shortens 
the  path  to  justice,  so  that  it  can  be  achieved  in  the  course  of  an  evening's 
story. 


Adalah  sangat  cocok  mereka  diukirkan  menjadi 
dasar  kayonan  karena  mereka  dan  dunia  mereka 
adalah  fondasi  dari  seluruh  pertunjukan  wayang. 
Pada  kenyataannya  satu  nama  untuk  keempatnya 
adalah  "penasar,"  atau  'semuanya  sebagai  dasar! 

Di  dalam  ruangan  yang  dijaga  oleh  penasar  adalah 
tempat  penyimpanan  kotak  kayu  untuk  wayangnya 
Nardayana  berisikan  penuh  dengan  wayang  berbagai 
karakter  untuk  seluruh  ceritera  dunia  pertunjukan 
wayang.  Setiap  kali  dia  mempertunjukkan  wayang 
ki  dalang  menggunakan  wayang  dengan  karakter 
yang  sama  untuk  menghidupkan  dunia  pewayangan 
berisikan  tanah  dari  batang  pohon  pisang,  layar 
kain  sebagai  langitnya  disinari  oleh  lampu  belencong. 
"Kotak  wayang"  Nardayana  menerangkan  pada 
awalnya  menggunakan  kata  keropak  kemudian 
diganti  dengan  sebutan  gedog  yang  berarti  sama 
dengan  kata  yang  digunakan  untuk  menyatakan  kotak 
dari  obyek  suci  dalam  pura  keluarga,  adalah  symbol 
alam  dengan  segala  isinya.  Wayangnya  adalah  mahluk 
hidupnya:  orang,  binatang,  tumbuh-tumbuhan, 
dewa-dewi,  dan  yang  lainnya.  Ketika  pementasan 
ki  dalang  tak  ubahnya  ibarat  tuhan,  walau  hanya 
untuk  sementara  selama  mempertunjukkan  wayang. 
Dia  memberi  kehidupan  kepada  semua  mahluk  itu. 

"Ya"  Gunarsa  setuju  dengan  penuh  antusias.  "Ki  dalang  adalah  seorang 
pencipta.  Dia  bisa  membuat  ceritera  tak  ubahnya  seperti  Tuhan.  Dia  bisa 
menghukum  si  penjahat  dengan  astra  geni."  Gunarsa  memalingkan  dunia 
wayang  untuk  keadilan  yang  telah  ditolak  untuknya  dalam  dunia  hukum 
formal  dari  ruang  pengadilan.  Ruang  pengadilan  yang  lebih  dia  percaya 
adalah  ruang  pengadilan  dari  dalang,  dimana  pemirsanya  akan  dapat 
melihat  efek  dari  karmapala  tanpa  harus  menunggu  dalam  bentangan 
waktu  kehidupan.  Dalang  memperpendek  jalan  menuju  keadilan,  sehingga 


102 


"The  laws  in  Indonesia  are  not  yet  firm," 
says  Gunarsa.  "They  are  still  in  a  state 
of  flux.  I  have  been  struggling  with  this 
case  for  eight  years,  but  there  is  still  no 
clear  decision  and  no  punishment  for 
those  who  break  the  law.  The  wayang 
introduces  the  theme  of  karmapala. 
The  people  who  commit  evil  deeds  are 
punished  and  those  who  commit  good 
deeds  are  rewarded.  It  raises  the  issues 
of  morality  that  were  ignored  when 
my  case  was  in  court.  If  we  have  a  law 
without  morals,  what  will  happen  to  our 
country?  The  reputation  of  the  country 
is  at  stake,  not  just  the  reputation  of  a 
single  artist.  Other  countries  will  not 
have  faith  in  us." 


In  fact,  Indonesia's  copyright  law,  like  other 
international  copyright  laws  that  follow  United 
Nations'  recommendations,  does  include  a 
clause  referring  to  the  'moral  rights'  of  the  artist. 
These  moral  rights  include  the  protection  of  an 
artist's  reputation  if  it  is  damaged  by  forgery  or 
falsification  of  the  artist's  work.  The  decision 
in  Gunarsa's  case  did  not  mention  or  take  into 
account  the  damage  to  his  reputation  which  is 
covered  by  the  protection  of  an  artist's  'moral 
rights.'  This  is  one  of  the  points  he  will  argue  if 


akan  dapat  dicapai  dalam  pergolakan 
ceritera  semalam. 

"Hukum  di  Indonesia  belum  kuat,"kata 
Gunarsa.  "Semuanya  masih  dalam 
keadaan  berubah-ubah.  Saya  sudah 
delapan  tahun  berkutat  dengan  kasus 
ini,  masih  saja  belum  adanya  keputusan 
yang  jelas  dan  tidak  ada  hukuman 
kepada  mereka  yang  melanggar 
hukum.  Wayang  memperkenalkan 
tema  karmapala.  Orang-orang  yang 
melakukan  kejahatan  adalah  dihukum, 
bagi  mereka  yang  melakukan  perbuatan 
baik  diberikan  penghargaan.  Semua  itu 
mengangkat  masalah-masalah  moral 
yang  mana  hal  itulah  diabaikan  ketika 
kasus  saya  masih  dalam  persidangan. 
Jika  kita  memiliki  hukum  tanpa 
moral,  apa  yang  akan  terjadi  pada  dunia  peradilan  kita?  Reputasi  dari 
sebuah  negara  menjadi  taruhannya,  bukan  saja  pada  reputasi  seniman 
secara  perorangan.  Negara-negara  lain  tidak  akan 
memiliki  kepercayaan  pada  kita" 

Pada  kenyataannya,  hukum  hak  cipta  di  Indonesia, 
seperti  halnya  dengan  hukum  hak  cipta  secara 
internasional  yang  diikuti  sesuai  rekomendasi 
Perserikatan  Bangsa-bangsa,  adalah  termasuk 
di  dalam  pasal  menunjuk  kepada  "hak  moral" 
pada  seniman.  Hak  moral  seperti  ini  termasuk 
melindungi  reputasi  seniman  jika  dia  itu  dirugikan 
oleh  pemalsuan  atau  cara  pemalsuan  hasil  karya 
seorang  seniman.  Keputusan  dalam  kasusnya 
Gunarsa  tidak  menyebutkan  atau  mengambil 
perhitungan  atas  kerugian  terhadap  reputasinya 


103 


104 


his  case  is  accepted  for  review  by  Indonesia's  High  Court. 


While    waiting    for    that    opportunity    Gunarsa 

chose  to  argue  his  case  in  the  court  of  wayang 

shadows,  where  heroes  and  demons  fight  over  the 

truth  in  cinematic  silhouettes  cast  by  the  flames 

of  a  coconut  oil  lamp.    On  the  night  of  June  12, 

2008  when  Nardayana  presented  the  sequel  to 

Anggada's  story  at  Puputan  Square  in  Denpasar, 

Gunarsa  was  seated  on  the  grass  in  front  of  the 

puppet  screen  with  thousands  of  other  spectators, 

watching  the  copyright  laws  refracted  through  the 

lens  of  a  dalang's  imagination.   The  location  was 

the  same  as  it  had  been  more  than  a  year  earlier 

before  the  inconclusive  trial  had  begun.  The  field's 

name  was  appropriate  to  Gunarsa's  seemingly 

Quixotic  attempts  to  establish  a  precedent  that  would  strengthen  the  laws 

of  the  fourth  most  populous  country  in  the  world.   "Puputan"  means  the 

end,  but  in  keeping  with  the  Balinese  philosophy  of  ruabineda,  it  is  also 

associated  with  a  beginning.    A  larger  than  life  monument  on  Puputan 

Square  memorializes  the  attempts  of  the  Balinese  King  of  Badung  to  defend 

Bali  against  the  invasion  of  the  Dutch  Colonial  army  in  1906.    The  King 

and  his  royal  court  marched  to  the  sea  in  their  ceremonial  temple  clothes. 

Armed  with  only  wavy  kris  daggers,  they  were  no  match  for  the  cannons 

and  muskets  of  the  Dutch  soldiers  who  massacred  the  Balinese  contingent, 

including  the  women  and  children  of  the  court.    While  it  marked  the 

temporary  end  of  Balinese  independence,  it  also  marked  the  beginning  of 

world  respect  for  the  power  of  Balinese  beliefs.  The  Balinese  King's  decision 

to  perform  a  symbolic  resistance  against  impossible  odds  reverberated 

around  the  world.  The  Dutch  were  shamed  by  their  barbaric  actions,  and 

consequently  allowed  the  Balinese  to  rule  themselves  and  continue  their 

traditional  religious  activities  throughout  the  centuries  of  their  occupation. 

And  now  that  the  Dutch  have  gone  and  Indonesia  is  independent,  Bali  still 


yang  mana  sesunguhnya  dilindungi  oleh  perlindungan  dari  hak  moral  untuk 
seniman.  Ini  adalah  satu  poin  yang  dia  akan  desak  perdebatkan  jika  kasusnya 
diterima  untuk  ditinjau  kembali  oleh  Mahkamah  Agung. 


menunggu      datangnya      kesempatan 
Gunarsa  memilih  untuk  mendebatkan 


Sembari 
tersebut, 

kasusnya  dalam  peradilan  pertunjukan  wayang, 
dimana  pahlawan  dan  raksasa  berperang  untuk 
sebuah  kebenaran  dengan  tampilan  tokoh  melalui 
bayangan  siluet  sinematik  dengan  sumber  cahaya 
dari  kobaran  lampu  belencong  berminyak  kelapa. 
Pada  malam  hari  tanggal  12  Juni  2008  manakala 
Nardayana  mempersembahkan  kisah  sambungan 
kisahnya  Anggada  di  Lapangan  Puputan  Badung 
di  Denpasar,  Gunarsa  duduk  di  rumput  didepan 
layar  wayang  bersama  ribuan  penonton  lainnya, 
menonton  hukum  hak  cipta  yang  dibelokkan 
melalui  lensa  dari  imajinasi  dalang.  Lokasinya 
sama  dengan  pementasan  setahun  yang  lampau  sebelum  terselesaikannya 
penyelesaian  sidang  pengadilan  tengah  berlangsung.  Nama  tempat  lapangan 
adalah  sangat  cocok  untuk  Gunarsa  melamun  idealis,  berusaha  untuk 
menetapkan  sesuatu  yang  dapat  dijadikan  teladan  yang  dapat  memperkuat 
hukum  pada  negara  yang  populasi  penduduknya  keempat  terbesar  di 
dunia.  "Puputan  berarti  selesai,  akan  tetapi  untuk  mengkaitkannya  dengan 
ruabineda  sebagai  filosofi  konsepsi  hidup  orang  Bali  adalah  juga  diasosiasikan 
dengan  awal.  Lebih  besar  dari  kehidupan  sesungguhnya  monumen  di 
lapangan  Puputan  mengingatkan  usaha  pencapaian  dari  seorang  Raja 
Denpasar  penguasa  Badung  untuk  mempertahankan  Bali  dari  invansi  tentara 
Kolonial  Belanda  pada  tahun  1906.  Raja  dengan  kerabat  kerajaan  berbaris 
ke  laut  dengan  berbusana  upacara  yang  biasa  dikenakan  untuk  ke  pura. 
Hanya  bersenjatakan  tombak,  keris,  golok  tidaklah  seimbang  berhadapan 
dengan  meriam  dan  senapan  api  dari  tentara  Belanda  yang  membantai 
secara  masai  pasukan  Bali,  termasuk  wanita  dan  anak-anak  kerabat  istana. 
Sementara  itu  sebagai  tanda  waktu  berakhirnya  kebebasan  orang  Bali,  dan 
juga  sebagai  tanda  awal  dunia  menghormati  kekuatan  kepercayaan  orang 


105 


maintains  a  great  deal  of  autonomy  within  the  Repubhc  of  Indonesia,  partly 
out  of  respect  for  the  traditions  embodied  by  the  Puputan  and  the  cultural 
values  it  represents. 


Bali.  Keputusan  raja  di  Bali  adalah  simbolik  untuk  menunjukkan  penolakan 
melawan  kemustahilan  rintangan  yang  menggema  diseluruh  dunia.  Belanda 
merasa  malu  dengan  aksi  liarnya,  sebagai  konsekuensinya  memberikan  orang 
Bali  untuk  mengatur  dirinya  dan  melanjutkan  tradisi  aktivitas  agama  mereka 
selama  pendudukan.  Sekarang  belanda  sudah  pergi  dan  Indonesia  merdeka, 
Bali  masih  memelihara  perjanjian  besar  tentang  otonomi  daerahnya  didalam 
Negara  Republik  Indonesia,  sebagiannya  masih  dihormati  untuk  tradisi 
dilandasi  oleh  jiwa  "Puputan"  c^an  nilai-nilai  budaya  yang  mewakili. 


The  Puputan  Badung  was  one  of  Balinese  history's  most  potent  examples  of 
the  use  of  culture  as  the  tip  of  the  spear  {ujung  tombak).  The  ceremonial 
procession  was  a  performance  of  courage  that  symbolized  Bali's  indomitable 
spirit.  Every  year  the  Balinese  perform  theatrical  versions  of  the  puputan 
massacre,  a  reminder,  like  the  statue  in  Puputan  Square,  that  art  can  be  a 
powerful  weapon,  even  in  the  face  of  seemingly  insurmountable  odds. 


"Puputan  Badung"  salah  satu  contoh  yang  paling  kuat  dari  penggunaan 
ujung  tombak  kebudayaan.  Prosesi  upacara  adalah  simbolik  pertunjukan 
keberanian  sebagai  lambangnya  spirit  orang  Bali  yang  gigih.  Setiap  tahun 
orang  Bali  mempertunjukkan  versi  pertunjukan  teatrikal  tentang  puputan' 
dan  pembantaian,  dan  patung  pada  lapangan  puputan  adalah  salah  satu 
pengingat  bahwa  seni  adalah  sebagai  senjata  yang  sangat  kuat,  kendati 
dihadapan  dari  rintangan  yang  sulit  untuk  ditanggulangi. 


106 


In  his  ongoing  battle  to  strengthen  Indonesia's 
copyright  laws  Gunarsa  has  found  another  way 
to  use  art  as  a  weapon.  "I  have  chosen  wayang 
as  part  of  this  struggle,"  he  says,  "because  it  is  the 
media  closest  to  the  people  and  the  strongest  way 
to  communicate  a  moral  message  to  the  public, 
and  the  easiest  for  people  to  absorb  and  appreciate. 
It  reaches  a  wide  audience.  The  punishment  of 
karmapala  is  the  result  of  ruabineda,  the  actions 
of  good  and  evil.  Sometimes  those  principles  are 
clearer  in  wayang  than  they  are  in  the  law." 


In  the  version  of  Anggadas  story  that  Nardayana 

performed  that  night  the  demon  Mayasura  was 

destroyed  by  the  astrageni,  a  fiery  arrow  he  had 

tried  to  launch  against  the  slandered  hero  without 

knowing  it  would  turn  back  on  him  and  reveal 

the  falseness  of  his  actions  and  words.    Gunarsa 

cheered  the  victory  of  karmapala  with  the  rest 

of  the  audience.    "The  one  who  is  wrong  will  be 

destroyed  by  karmapala.   That  is  the  meaning  of 

that  weapon.   That  is  the  connection  to  my  case. 

The  point  is  that  no  matter  what  or  where,  I  have 

to  search  for  the  truth.    My  task  here  is  not  for 

myself,  but  for  my  descendants,  my  grandchildren.  The  copyright  laws  have 

to  be  upheld." 


At  the  end  of  the  play,  two  comic  characters,  Cenk  and  Blonk,  who  are 
inserted  into  all  of  Nardayana's  stories  as  representative  voices  of  ordinary 


Dalam  perjuangan  yang  tidak  berkesudahan  untuk 
menguatkan  hukum  hak  cipta  di  Indonesia  Gunarsa 
mendapatkan  jalan  lain  yakni  menggunakan  seni 
sebagai  senjata.  "Saya  menggunakan  wayang  sebagai 
bagian  dari  pergumulan  ini,  oleh  karena  dia  sebagai 
media  yang  paling  dekat  kepada  masyarakat  dan 
sebagai  jalan  yang  paling  kuat  mengkomunikasikan 
pesan-pesan  moral  kehadapan  publik,  dan  sesuatu 
yang  paling  mudah  bagi  masyarakat  dalam 
menyerap  dan  mengapresiasi.  Bisa  menjangkau 
penonton  secara  luas.  Hukuman  dari  karmapala 
adalah  hasil  dari  ruabineda,  akibat  dari  hasil  kerja 
baik  ataupun  buruk.  Terkadang  prinsip  tersebut 
adalah  menjadi  jelas  dalam  pertunjukan  wayang 
dibandingkan  dengan  didalam  hukum." 


Di  dalam  versi  kisahnya  Anggada  yang 
dipertunjukkan  oleh  Nardayana  pada  malam  hari 
itu,  raksasa  Mayasura  dihancurkan  oleh  senjata 
astrageni,  sebuah  senjata  berapi-api  yang  dia 
coba  lepaskan  untuk  membunuh  musuhnya  sang 
pahlawan  tanpa  mengetahui  semuanya  itu  akan 
berbalik  arah  pada  dirinya  sendiri  serta  mencerca 
kesalahnnya  dari  perbuatan  dan  kata-katanya. 
Gunarsa  mengelukan  kemenangan  dari  karmapala 
bersama  dengan  penonton  lainnya.  "Seseorang yang 
bersalah  akan  dihancurkan  oleh  karmapala.  Itulah 
artinya  dari  senjata  tersebut.  Ini  berhubungan 
dengan  kasus  saya.  Pada  prinsipnya  tidaklah  peduli  tentang  apa  dan  dimana, 
saya  harus  mencari  kebenaran.  Tujuan  saya  disini  tidak  semata  untuk  diri 
sendiri,  akan  tetapi  juga  untuk  generasi  penerus  saya,  anak  cucu  saya.  Hukum 
hak  cipta  mesti  harus  ditegakkan!' 

Pada  akhir  pementasan  dua  tokoh  badut  Cenk  dan  Blonk  yang  disisipkan 
kedalam  seluruh  ceritera  pertunjukan  wayang  Nardayana  sebagai  representasi 


107 


.;A4Ar*t^;;; 


people,  find  the  demon's  body  after  he  has  been  struck  down  by  the 
weapon  called  astra  geni.  They  decide  that  Mayasura's  demise  is  the  result 
of  karmapala  and  exchange  opinions  about  the  meaning  of  copyright  law. 
Their  commentary  connects  the  fate  of  the  ancient  characters  who  appear 
in  the  story  with  the  contemporary  concerns  of  the  audience.  The  kayonan 
puppet  appears  on  the  screen,  representing  the  tree  of  life  that  contains 
all  stories.  Offerings  are  made  and  the  audience  goes  home.  The  dalang 
makes  offerings  to  the  gods  and  relinquishes  his  exalted  status  to  become  an 
ordinary  man  again.  His  wayang  performance  has  played  a  role  in  inspiring 
a  fight  against  the  unfair  enforcement  of  copyright  laws.  Gunarsa  believes 
that  the  just  enforcement  of  these  laws  will  benefit  the  reputations  of  all 
Indonesian  artists,  and  of  the  country  itself.  Nardayana's  shadow  puppets 
and  Gunarsa's  paintings  will  not  change  the  copyright  laws  on  their  own, 
but  their  symbolic  force  is  rooted  deeply  in  Bali's  sacred  traditions.  Part 
of  the  arsenal  of  cultural  weapons  that  have 
been  wielded  successfully  by  the  Balinese  for 
generations,  the  puppets  and  the  paintings 
are  imbued  with  the  persuasive  power  that 
resides  at  the  'tip  of  the  spear." 


omongan  orang  kebanyakan,  menemukan  jasadnya  raksasa  setelah 
tersungkur  dihantam  oleh  astrageni.  Mereka  berkesimpulan  bahwa  kematian 
Mayasura  adalah  sebagai  akibat  dari  karmapala  dan  kemudian  mengalihkan 
pikiran  mereka  tentang  arti  dari  hukum  hak  cipta.  Komentar  mereka 
berhubungan  dengan  takdir  dari  tokoh-tokoh  kuno  yang  dimunculkan  melalui 
ceritera  dengan  kepedulian  terhadap  masalahnya  penonton  berlangsung  p  ada 
masa  kini.  Wayang  kayonan  muncul  di  layar  sebagai  penggambaran  pohon 
kehidupan  yangberisikan  semua  ceritera.  Upakara  dihaturkan  ketika  penonton 
pada  bergegas  pulang.  Ki  dalang  menghaturkan  sesajen  kehadapan  Tuhan 
melepaskan  status  suci  dirinya  kembali  menjadi  orang  biasa.  Pertunjukan 
wayangn)/a  telah  memainkan  peran  dalam  menginspirasikan  pertempuran 
melawan  ketidak  adilan  memperkuat  hukum  hak  cipta.  Gunarsa  percaya 
bahwa  hanya  dengan  memperkuat  dari  hukum-hukum  ini  akan  bermanfaat 
pada  reputasi  untuk  seluruh  seniman  dan   negara  sendiri.  Pertunjukan 

wayangnya  Nardayana  dan  lukisan-lukisan 
Gunarsa  tidak  bakalan  merubah  hukum 
hak  cipta  dengan  sendirinya,  akan  tetapi 
tekanan  simboliknya  adalah  mengakar  amat 
dalam  didalam  tradisi  sakral  di  Bali.  Bagian 
dari  gudang  senjata  kebudayaan  yang  telah 
memiliki  kesuksesan  untuk  orang  Bali  dari 
generasi  ke  generasi,  pertunjukan  wayang 
dan  lukisan  adalah  menghilhami  dalam 
membujuk  kekuatan  yang  berada  pada 
'ujung  tombak" 


Pf  RC/.  M  l'  F)  ^^Zi  Pff.vrif 


109 


no 


A  PRIEST'S 
PERSPECTIVE: 

The  Light  and  the  Dark 


Perspektif  Pendeta: 

Terang  dan  Gelap 


111 


"Om  Aditya  Sya  Param  Jyoti  Rakta  Teja  Namastute  Sweta  Pangkaja 
Madhyasthah  Bhaskara  Ye  Namastute." 


"Om,  Lord  of  the  Sun  whose  glory  illuminates  the  world  with  fiery  light 
that  shimmers  and  glistens  in  the  heart  of  the  lotus  flower,  I  worship  You." 


"Om  Sanghyang  Widhi  Wasa,  Sinar  Surya  Yang  Maha  Hebat,  Engkau 
Bersinar  Merah,  Hormat  Pada-Mu,  Engkau  Yang  Berada  Ditengah- 
tengah  Teratai  Putih,  Hormat  Pada-Mu  Pembuat  Sinar." 

"Om  Sanghyang  Surya  yang  maha  hebat  menyinari  dunia  dengan 
sinar  merekah  berkerdip  gemerlapan  di  dalam  bunga  teratai,  hamba 
memunjaMu." 


The  Balinese  prayer  quoted  above  was  chanted 
by  the  dalang  Nardayana  before  he  began  the 
wayang  shadow  puppet  performance  that 
alluded  to  Gunarsa's  copyright  trial.  It  is  a 
sacred  invocation  that  calls  on  the  sun  to 
witness  the  play  and  inspire  it  with  the  truth 
that  is  inherent  in  its  illuminating  rays  of  light. 
The  same  mantra  is  chanted  by  Balinese  high 
Brahmin  priests  every  morning  when  they 
pray  to  the  sun,  which  is  a  manifestation  of  the 
highest  god  in  the  Balinese-Hindu  Pantheon, 
Sang  Hyang  Widi  Wasa. 


The  high  priest  of  Gria  Taman  in  Sanur,  Ida 
Pedanda  Ketut  Sidemen  interprets  the  prayer's 
first  line  as  "asking  for  the  blessing  of  sun's  rays 
to  enlighten  the  world,  because  without  that 
illumination,  there  would  be  no  truth  in  the 
world.  There  would  be  no  words.  The  light  of 
the  truth  gives  birth  to  words." 


Mantram  pemujaan  orang  Bali  yang  dipetik 
di  atas  dilantunkan  oleh  dalang  Nardayana 
jelang  dia  memulai  pertunjukan  wayang 
kulitnya  yang  dikaitkan  dengan  peradilan  hak 
ciptanya  Gunarsa.  Adalah  sebuah  lantunan 
matram  yang  sakral  dengan  memanggil  Dewa 
Surya  untuk  menyaksikan  pertunjukannya 
yang  diinspirasikan  oleh  kebenaran  yang 
tidak  bisa  dipisahkan  dari  penerangan 
sinar  cahayaNya.  Mantra  yang  sama  juga 
dilantunkan  oleh  para  pendeta  pada  pagi 
setiap  harinya  memuja  Dewa  Surya,  sebagai 
manifestasi  personifikasi  Tuhan  Yang  Maha 
Esa  dalam  Pemujaan  Kahyangan  Jagat,  Sang 
Hyang  Widi  Wasa. 

Seorang  pendeta  dari  Geria  Taman 
di  Sanur,  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 
menginterpretasikan  bait  pemujaan  tersebut 
pada  baris  pertamanya  ''memohonkan 
perlindungan  dari  sinar  sucinya  surya  yang 
menyinari  dunia,  tanpa  sinar  beliau,  tidak 
bakalan  ada  kebenaran  didunia.  Tidak  akan 
ada  kata-kata.  Sinar  kebenaran  memberikan 
kelahiran  kata-kata." 


112 


Hie  dalang  and  the  priest  are  both  concerned  about  the  relationship  between 
Hght  and  truth.  When  the  dalang  invokes  the  sun,  it  is  night,  and  he  hopes 
that  the  flame  of  his  coconut-oil  lamp  will  be  blessed  to  symbolically  take 
the  place  of  the  sun  in  the  microcosm  of  the  wayang  universe.  The  lotus 
flower  is  also  invoked  in  the  prayer  as  an  earthly  manifestation  of  the  sun's 
illuminating  powers.  The  kawi  word  used  for  lotus  flower  is  pangkaja  which 
literally  means  'the  eastern  light  in  the  mud."  The  lotus  flower  closes  in  the 
night  and  opens  in  response  to  the  sunlight.  It  operates  on  the  principles  of 
ruabineda  that  are  embedded  in  its  name.  It  reaches  for  the  light  of  the  sun 
at  the  same  time  that  it  is  rooted  in  the  darkness  of  the  mud. 


When  he  learned  of  Nardayana's  shadow  play  allegory  about  the  copyright 
trial,  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  responded  with  a  flood  of  stories  on 
similar  themes  that  could  also  illuminate  the  issues  behind  Gunarsas  case. 
The  similarities  between  the  responses  of  the  priest  and  the  responses  of 
the  dalang  reveal  how  deeply  the  issues  in  Gunarsas  trial  are  linked  to  the 
spiritual,  religious,  and  cultural  concerns  at  the  core  of  Bali's  traditions.  The 
watercolors  of  Gunarsa  capture  these  themes  in  painted  lines.  The  wayang 
shadow  puppet  plays  of  Nardayana  capture  the  same  themes  in  narrative 
performance.  And  the  reflections  of  the  priest  confirm  the  spiritual  roots 
of  these  issues  in  Balinese  Hindu  phflosophy.  All  three  of  these  individuals 
see  the  concept  of  copyright  as  something  that  goes  beyond  the  legal  issues 
in  a  secular  courtroom  to  touch  upon  sacred  concepts  linked  to  ruabineda, 
the  true  and  the  false,  visible  and  invisible  worlds,  darkness  and  light, 
dharma  and  adharma. 


Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen's  observations  on  these  issues  are  particularly 
flluminating,  because  he  is  a  poet  as  well  as  a  priest.  He  approaches  the 
issues  with  an  artistic  mastery  of  language  and  literature  that  matches  the 
virtuosity  of  Gunarsa  and  Nardayana  in  their  respective  fields.  The  painter. 


Ki  dalang  dan  pendeta  keduanya  berurusan  dengan  hubungan  diantara 
sinar  dan  kebenaran.  Ketika  dalang  memohon  kehadapan  dewa  surya, 
pada  saat  itu  adalah  malam  hari,  dan  berharap  kobaran  api  dari  lampu 
minyak  kelapanya  (T)elencongj  akan  memberi  restu  secara  simbolik 
mengambil  tempat  surya  di  alam  jagad  kecil  yakni  dunianya  wayang. 
Bunga  teratai  juga  diberi  mentera  sebagai  manifestasi  surya  di  bumi  yang 
menyinari  penuh  kekuatan.  Kata  dari  bahasa  kawi  digunakan  untuk 
teratai  adalah  pangkaja'  yang  secara  harafiah  berarti  'sinar  didalam 
lumpur."  Bunga  teratai  kuncup  diwaktu  malam  hari  dan  kembang  sewaktu 
memberi  respon  kehadapan  sinar  matahari.  Hal  itu  berjalan  pada  prinsip 
ruabineda  seraya  tertanam  dalam  namanya.  Bunga  tersebut  disatu  sisi 
menggapai  sinar  sang  surya  pada  waktu  bersamaan  mengakar  dalam 
kegelapan  lumpur. 

Ketika  beliau  belajar  pada  kiasan  pertunjukan  wayangnya  Nardayana 
tentang  peradilan  hak  cipta,  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  memberi 
respon  membanjiri  dengan  ceritera  dalam  tema  yang  hampir  sama  yang 
kiranya  dapat  menerangi  isu-isu  dibalik  kasusnya  Gunarsa.  Persamaan 
diantara  responnya  pendeta  dan  responnya  dalang  menyatakan  betapa 
dalamnya  persoalan  dalam  peradilan  Gunarsa  adalah  berkaitan  dengan 
kepedulian  spiritual,  religius,  dan  kebudayaan  dalam  intinya  tradisi  Bali. 
Dalam  lukisan  cat  airnya  Gunarsa  menangkap  tema-tema  ini  dilukiskan 
berurutan.  Pertunjukan  wayang  kulitnya  Nardayana  menangkap  tema- 
tema  yang  sama  dalam  naratif  pertunjukannya.  Demikian  juga  halnya 
refleksi  dari  seorang  pendeta  mempertegas  akar  spiritual  dari  persoalan 
ini  melalui  filsafat  Hindu  Bali.  Ketiga  individu  ini  melihat  konsep  hak 
cipta  sebagai  sesuatu  yang  membentang  melewati  persoalan  hukum  formal 
dalam  ruang  pengadilan  yang  sekuler  lebih  jauh  lagi  menyentuh  konsepsi 
sakral  yang  berhubungan  dengan  ruabineda,  benar  dan  salah,  dunia  nyata 
dan  dunia  maya,  kegelapan  dan  penerangan,  dharma  dan  adharma. 

Observasi  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  terutamanya  pada  persoalan  ini 
dapat  memperjelas,  oleh  karena  beliau  selain  seorang  sastrawan  beliau  juga 
seorang  pendeta.  Beliau  mendekati  persoalan  dengan  kepiawian  dalam 
memformulasi  bahasa  dan  literatur  memiliki  kecocokan  dengan  keahlian 


113 


^'W 


.#i   ^"'■ 


:<j 


the  puppet  master,  and  the  poet/priest  each  provide  their  own  unique  artistic 
and  spiritual  perspectives  on  the  meaning  of  copyright. 


"The  dalanghsLS  to  think  about  which  of  these  many  stories  matches  the  case 
most  closely,"  the  priest  said.  "It's  like  when  I  chant  a  prayer.  I  choose  the 
one  that  fits  the  occasion.  There  are  lots  of  stories  that  teach  the  philosophy 
of  ruabineda.  In  the  Ramayana  and  the  Mahabhrata  many  episodes  are 
based  on  the  philosophy  of  ruabineda  and  the  importance  of  knowing  the 
difference  between  the  false  and  the  true.  The  same  ideas  can  be  found  in 
the  Tantri  stories." 


One  of  the  stories  the  priest  recalls  is  about  a  heron  (cangak)  that  dresses 
up  as  a  priest  in  order  to  earn  the  trust  of  some  fish  and  make  it  easier  for 
him  to  eat  them.  "The  fish  mistake  him  for  someone  who  follows  the  laws 
ofdharma  (religious  integrity  and  truth),  because  he  has  the  right  costume," 


dalam  teknik  dari  Gunarsa  dan  Nardayana  dalam  bidang  keahliannya 
masing-masing.  Pelukis,  dalang,  dan  pendeta  sastrawan  masing-masing 
memberikan  keunikan  artistik  dan  perspektif  spiritual  berkenaan  dengan 
arti  dari  hak  cipta. 

"Ki  dalang  harus  memikirkan  yang  mana  diantara  sekian  banyaknya  ceritera 
kiranya  paling  cocok  atau  mendekati  persoalan"  kata  pendeta.  "Itu  sama 
halnya  bilamana  saya  melantunkan  mantra.  Saya  memilih  satu  diantaranya 
yang  paling  cocok  dengan  peristiwa  atau  upacara.  Ada  banyak  ceritera  yang 
mengajarkan  filsafat  fenfan^  ruabineda.  Dalam  Ramayana  dan  Mahabharata 
banyak  episode  berdasar  pada  filsafat  ruabineda  dan  pentingnya  dalam 
mengetahui  perbedaan  diantara  yang  salah  dengan  yang  benar.  Ide  yang 
sama  bisa  didapat  di  dalam  ceritera  Tantri" 

Satu  ceritera  yang  disebut  oleh  pendeta  adalah  kisah  tentang  burung  bangau 
yang  berbusana  sebagai  seorang  pendeta  agar  mendapat  kepercayaan  dari 
sejumlah  ikan  untuk  memudahkan  dia  memakan  mereka.  "Kesalahan  ikan 
kehadapannya  yakni  seseorang  yang  mengikuti  hukum  dharma  (kejujuran 


114 


recounts  the  priest.    He  has  the  headdress  and  everything.    But  he  is  a 
counterfeit  priest.  A  false  priest." 


"The  fish  are  crying,  because  the  lake  they  live  in  is  drying  up,"  continues 
the  priest.  "So  they  turn  to  the  bird  dressed  as  a  priest,  because  they  think 
he  is  a  holy  man."  Although  the  priest  is  speaking  in  Indonesian  he  uses  the 
low  Balinese  word  "sadu"  for  holy  man  to  emphasis  the  low  status  of  the 
deceitful  impersonator.  "He  promises  to  take  the  fish  to  a  place  with  lots  of 
water,  but  instead  he  takes  them  to  a  dry  rock,  where  he  eats  them.  Then 
along  comes  a  crab  (yuyu),  whose  name  is  associated  with  the  truth  (yukti)" 
Again  the  priest  plays  with  language  to  emphasize  the  story's  elements  of 
ruabineda:  the  falseness  of  the  fake  priest  and  the  truth  inherent  in  his 
antagonist.  The  word  for  crab  in  Balinese  is  yuyu,  which  the  priest  conflates 
with  the  word  for  truth  which  is  yukti.  "The  crab  knows  the  heron  is  a  liar, 
so  he  bites  him  in  the  neck  and  kills  him.  In  this  story  the  crab  becomes  the 
judge  who  knows  the  difference  between  the  true  and  the  false,  because  his 
name  means  truth.  That  is  the  victory  ofkarmapala" 


religius  dan  kebenaran),  oleh  karena  dia  mengenakan  busana  yang  benar" 
ceritanya  pendeta.  Dia  memakai  mahkota  dan  reagalia  yang  lain.  Akan  tetapi 
dia  adalah  pendeta  gadungan.  Pendeta  bohongan." 

"Ikan  pada  menangis,  oleh  karena  danau  dimana  mereka  tinggal  akan 
mengering,"  pendeta  melanjutkan.  "Demikian  mereka  berpaling  pada  si 
burung  yang  bermahkota  pendeta,  oleh  karena  mereka  kira  dia  adalah 
orang  sadu,"  Kendati  pendeta  berbicara  dalam  bahasa  Indonesia  beliau 
menggunakan  kosa  kata  bahasa  bali  rendah  "sadu"  untuk  kata  orang  suci 
untuk  memberi  penekanan  pada  status  rendah  penyamar  yang  curang.  "Dia 
berjanji  untuk  memindahkan  semua  ikan  ke  tempat  yang  airnya  melimpah, 
akan  tetapi  sebaliknya  mereka  dibawa  ke  tempat  batu  karang  yang  kering, 
dimana  mereka  dimangsa  semuanya.  Kemudian  datang  si  kepiting  yang 
namanya  diasosiasikan  dengan  kebenaran"  Kembali  pendeta  bermain 
dengan  bahasa  dari  ceritera  untuk  menegaskan  elemen  dari  ruabineda: 
kepalsuan  dari  pendeta  gadungan  dan  kebenaran  yang  melekat  pada  diri 
lawannya.  Kata  untuk  kepiting  dalam  bahasa  Bali  adalah  'yuyu' yang  mana 
pendeta  menyamakan  dengan  kata  untuk  kebenaran  yakni  'yukti!  "Kepiting 


115 


The  priest  tells  the  story  to  a  foreign  visitor  in  the  his  home  in  Sanur,  but 
by  the  time  he  finishes  a  crowd  of  Balinese  guests  and  relatives  has  gathered 
around  the  pavilion  where  the  priest  is  sitting,  laughing  and  commenting 
on  the  story  amongst  themselves.  Sensing  the  enthusiasm  of  his  impromptu 
audience  the  priest  continues  telling  entertaining  allegories  that  provide 
insight  into  the  theme  of  truth  and  falseness.  Songbirds  perched  in  flowered 
cages  throughout  the  open-air  courtyard  provide  a  musical  accompaniment 
to  his  improvised  performance.  Eventually  he  pulls  out  a  manuscript  written 
in  the  fluid  curves  of  the  Balinese  alphabet  and  begins  to  sing  verses  from  a 
poem  he  has  written  himself  on  the  theme.  It  is  a  sequel  to  the  Tantri  story 
of  the  heron  and  the  crab. 


The  priest  prefaces  his  singing  with  a  casual  explanation  of  the  plot  and 
the  themes  of  the  poem.  "I  could  add  another  story,  which  is  also  about 
a  heron,  who  wants  to  catch  fish  but  can't  fly,"  says  the  priest.  "He  sees 
another  big  bird  diving  for  fish  from  the  air  and  tries  to  do  the  same  thing, 
but  when  he  dives  into  the  water,  he  is  so  big  that  he  can't  get  out.  So  he 
is  washed  up  on  the  shore  and  meets  a  crab.  The  crab  asks  him  why  he 
was  in  the  water  and  the  bird  says  he  was  trying  to  help  the  fish  because 
he  feels  sorry  for  them.  The  crab  knows  that  he  is  the  descendent  of  the 
other  heron  who  deceived  the  fish  and  killed  them,  so  he  says,  'I  know  your 
ancestor  also  felt  sympathy  for  the  fish  and  helped  them  to  move.  What 
can  I  do  to  repay  the  debt  that  the  fish  owe  your  ancestor.'  The  bird  asked 
to  be  taken  to  a  peaceful  place,  because  he  could  no  longer  walk  on  his 
own.  The  crab  carried  him  to  a  hot  dry  rock,  like  the  one  his  ancestor  had 
flown  to  with  the  fish.  When  the  stork  was  weak  from  the  heat  of  the  sun, 
the  crab  pinched  the  bird's  long  beak  with  his  claws  and  told  him  he  was 
evil.  You  have  been  lying  to  cover  up  your  evil  deeds  like  your  ancestors. 


mengetahui  si  burung  bangau  adalah  pendusta,  dan  dia  menjepit  lehernya 
si  bangau  sampai  dia  mati.  Dalam  kisah  ini  si  kepiting  menjadi  hakim  yang 
mengetahui  perbedaan  yang  benar  dengan  yang  palsu,  oleh  karena  namanya 
sendiri  berarti  kebenaran.  Itu  adalah  kemenangan  dari  karmapala." 

Pendeta  menceriterakan  kisah  ini  dihadapan  orang  asing  di  tempat  tinggal 
beliau  di  Sanur,  ketika  menyelesaikan  kisahnya  kerumunan  orang  Bali  dan 
kerabat  yang  berkumpul  diseputar  balai  dimana  pendeta  duduk,  tertawa  dan 
mengomentari  diantara  mereka  tentang ceritera  tersebut.  Mengetahui  antusias 
dari  pendengarnya  yang  tidak  memiliki  persiapan  sebelumnya,  pendeta 
melanjutkan  memberikan  kiasan  yang  menghibur  menyediakan  pengertian 
yang  mendalam  pada  tema  kebenaran  dan  kepalsuan.  Kicau  burung  yang 
bergantung  pada  sangkarnya  yang  berornamentasi  bunga-bungaan  di  alam 
tempat  tingal  beliau  yang  terbuka  seakan  menyediakan  musik  pengiring  pada 
pertunjukan  improvisasinya.  Pada  akhirnya  beliau  mengeluarkan  lontar  yang 
ditulis  mengalir  dengan  ukiran  abjad  huruf  Bali,  dan  memulai  menyanyikan 
sajak  dari  puisi  yang  beliau  karang  sendiri  dalam  tema  ini.  Itu  adalah  bagian 
dari  ceritera  Tantri  tentang  burung  bangau  dan  kepiting. 

Pendeta  memberi  prawacana  pada  nyanyiannya  sebagai  penerangan 
bersahaja  tentang  alur  dan  tema  dari  puisinya.  "Saya  bisa  tambahkan 
dengan  ceritera  yang  lain,  yakni  tentang  kisah  si  burung  bangau  juga, 
yang  ingin  menangkap  ikan  namun  tidak  bisa  terbang,"  kata  pendeta.  "Dia 
melihat  burung  besar  lainnya  menyelam  untuk  mendapatkan  ikan  dari 
udara  dan  dia  mencoba  melakukan  hal  yang  sama,  akan  tetapi  ketika  dia 
menyelam  di  air,  dia  terlalu  besar  dan  tidak  bisa  keluar.  Dengan  demikian 
dia  mandi  ditepian  dan  bertemu  dengan  kepiting.  Si  kepiting  bertanya 
padanya,  kenapa  dia  ada  di  dalam  air  dan  si  burung  menjawab  karena 
dia  merasa  kasihan  dengan  warga  ikan  dan  dia  ingin  membantu  mereka. 
Si  kepiting  mengetahui  dia  itu  adalah  keturunan  dari  burung  bangau  yang 
menipu  ikan-ikan  dan  membunuh  mereka,  demikian  katanya,  'Aku  tahu 
leluhurmu  juga  merasa  kasihan  kepada  kelompok  ikan  dan  membantu 
mereka  untuk  memindahkannya.  Apa  yang  dapat  aku  lakukan  untuk 
membayar  hutang  budi  yang  membebani  para  ikan  terhadap  leluhurmu.'  Si 
burung  memohon  untuk  dibawa  ketempat  yang  aman,  mengingat  dia  tidak 


116 


That  is  why  I  cut  off  your  beak  so  you  can't  speak  Ues 
anymore." 


The  priests  sequel  to  the  Tantri  story  ends  with  the 
bird's  disfigurement  rather  than  death,  but  its  theme 
is  similar  to  the  original.  "This  story  is  another 
example  of  how  karmapala  works,"  he  says.  "I  wrote 
about  the  descendants  of  the  birds  from  the  Tantri 
story  to  show  that  old  stories  still  have  truths  that 
can  be  useful  to  us  today." 


Having  introduced  the  tale  in  prose,  the  priest  begins 

to  sing  in  a  deep  and  gruffly  melodious  voice.   The 

poetry  is  written  in  sophisticated  rhythmic  structures 

in  language  so  lyrical  that  even  some  Balinese  do 

not  understand  all  the  nuances  of  the  words.    He 

stops  every  few  lines  to  translate  the  story  into  the 

common  vernacular,  breaking  the  hypnotic  spell  of  the  song  to  comment 

on  the  action  as  if  describing  for  the  audience  a  scene  from  an  invisible 

world  that  only  he  could  see.    "The  heron  is  expressing  his  sympathy  for 

the  fish  that  are  stranded  on  the  beach  and  drying  out  in  the  sun."   Then 

he  sings  again,  the  inflections  of  his  voice  changing  slightly  as  the  point 

of  view  shifts  from  the  bird  to  the  crab.  "The  crab  knows  the  heron  is  not 

telling  the  truth  and  that  his  words  do  not  match  his  intentions,  but  he 

does  not  want  to  say  directly  that  the  bird  is  lying,  so  he  just  listens."  The 


kuat  lagi  berjalan  sendiri.  Si  kepiting  membawa 
dia  ke  tempat  karang  yang  kering,  seperti  halnya 
leluhurnya  menerbangkan  ikan-ikan  kesana.  Ketika 
si  burung  bangau  semakin  melemah  dari  sengatan 
sinar  matahari,  si  kepiting  menjepit  leher  panjang 
si  burung  dengan  cangkangnya  dan  memberi 
tahu  padanya  bahwa  dia  adalah  seorang  yang 
kejam.  Kamu  sesungguhnya  berbohong  menutupi 
perbuatan  kejimu  seperti  halnya  leluhurmu.  Oleh 
karenanya  aku  potong  paruhmu  sehingga  kamu 
tidak  berbohong  lagi" 

Cuplikan  kisah  tantrinya  sang  pendeta  berakhir 
dengan  perusakan  wajah  ketimbang  dibunuh,  akan 
tetapi  tema  intinya  sama  dengan  yang  asli"  Kisah  ini 
adalah  contoh  yang  lain  dari  bagaimana  karmapala 
berproses,"  katanya.  "Saya  tulis  tentang  keturunan  si 
burung  dari  ceritera  Tantri  untuk  memperlihatkan 
kisah  dari  masa  lampau  masih  memiliki  kebenaran 
yang  masih  berguna  untuk  masa  kini" 

Dalam  memperkenalkan  kisah  ini  didalam  bentuk 
prosa,  pendeta  bernyanyi  keras  dengan  suara  merdu. 
Syairnya  ditulis  dalam  ritme  yang  sangat  kompleks 
dalam  lirik  bahasa  yang  terkadang  sukar  dapat 
dimengerti  nuansa  bahasanya  kendati  oleh  orang 
Bali  sekalipun.  Beliau  berhenti  pada  setiap  beberapa 
baris  untuk  menterjemahkan  ceriteranya  ke  dalam  bahasa  daerah  yang 
umum,  memenggal  ejaan  hipnotis  nyanyian  tersebut  untuk  dikomentari 
dari  bahasa  kuno  dengan  menceriterakannya  kembali  kepada  pemirsanya 
dari  dunia  maya  yang  hanya  beliau  sendiri  yang  dapat  melihatnya.  "Burung 
bangau  menunjukkan  rasa  simpatinya  kepada  ikan-ikan  yang  terdampar  di 
tepian  danau  sekarat  karena  terik  matahari"  Kemudian  beliau  bernyanyi 
lagi  dengan  liukan  dan  getar  suaranya  sedikit  berubah  ketika  beberapa 
pergantian  pertemuan   antara  si   burung  dengan  si  kepiting.    "Kepiting 


117 


priest  goes  back  to  singing,  drawing  his  listeners  into  another  world,  before 
he  stops  to  translate  again.  "He  is  the  descendant  of  the  heron  who  wore 
white  clothes  and  pretended  to  be  a  priest,  so  that  he  could  eat  the  fish."  As 
the  story  progresses  the  priest  sings  longer  and  longer  before  stopping  to 
translate,  as  if  the  poem  won't  let  him  stop  singing.  "The  crab  knows  that 
the  heron  is  only  pretending,  but  he  says  nothing  and  just  amuses  himself 
by  listening  to  the  heron's  lies."  Soon  the  priest  is  so  wrapped  up  in  the 
singing  that  he  stops  only  long  enough  to  tell  his  listeners  that  he  doesn't 
want  to  stop.  "Now  the  crab  is  telling  the  story  of  their  ancestors.  I  will 
translate  later."  From  this  point  the  priest  sings  without  interruption.  His 
informal  audience  is  entranced,  regardless  of 
how  much  of  the  text  they  actually  understand. 


When  he  finishes  singing  the  last  stanza,  the  priest,  shifts  into  a  more 
casual  mode  of  speech,  addressing  the  intimate  gathering  in  the  courtyard 
like  a  grandfather  talking  to  his  family.  He  takes  off  the  thick-lensed  black 
glasses  he  wore  to  read  the  poem  and  looks  directly  into  the  faces  of  his 
listeners.  "The  crab  is  the  voice  of  truth,"  the  priest  explains,  "This  is 
what  he  says  to  the  heron:  'Your  deceitful  ancestor  dressed  up  in  white 
with  a  priest's  headdress,  imitating  a  holy  man  for  evil  ends.  Now  you 
want  to  do  the  same  thing.  But  it  is  wrong."  The  priest's  is  soft  spoken, 
but  his  manner  gives  the  impression  that  he  is  speaking  to  each  person 
present  as  if  he  or  she  were  the  heron  in  the  story.  "Don't  make  the  same 
mistakes  as  your  ancestors.   It  is  sinful.   You  are  living  by  exploiting  the 


118 


mengetahui  si  burung  bangau  tidak  mengatakan  yang  benar  dan  kata- 
katanya  tidak  nyambung  dari  apa  yang  dia  utarakan,  akan  tetapi  dia  tidak 
mau  mengatakan  secara  langsung  bahwa  si  burung  adalah  berbohong,  dengan 
demikian  dia  hanya  diam  mendengarkannya."  Pendeta  kembali  bernyanyi 
menarik  perhatian  pemirsanya  ke  dalam  dunia  lain,  sesaat  dia  berhenti 
untuk  menterjemahkannya  lagi.  "Dia  adalah  keturunan  dari  burung  bangau 
yang  mengenakan  busana  putih  dan  berpura-pura  sebagai  pendeta,  dengan 
cara  itu  dia  bisa  memangsa  ikan."  Demikian  ketika  ceritera  bergerak  maju 
pendeta  bernyayi  semakin  lebih  panjang  dan  tidak  lagi  menterjemahkannya, 
seakan  puisinya  tidak  memberi  kesempatan  kepada  beliau  untuk  berhenti 

bernyanyi.  "Kepiting  mengetahui  bahwa  si 
burung  bangau  adalah  hanya  berpura-pura, 
bahkan  dia  tidak  bilang  apa-apa  dan  hanya 
diam  sembari  mendengarkan  si  burung  bangau 
berbohong"  Hampir  si  pendeta  diliputi  dengan 
nyanyiannya  dia  hanya  berhenti  sejenak  untuk 
memberitahu  pemirsanya  bahwa  dia  tidak  ingin 
berhenti.  "Sekarang  si  kepiting  menceriterakan 
kisah  leluhurnya.  Saya  akan  terjemahkan 
nanti"  Dari  titik  ini  pendeta  bernyanyi  tanpa 
ada  yang  menyelanya.  Pendengar  informalnya 
terpesona  mengabaikan  berapa  banyak  mereka 
sesungguhnya  dapat  mengerti  teks  lagunya. 

Ketika  beliau  selesai  menyanyikan  bait  yang  terakhir,  sang  pendeta,  beralih 
suasana  pembicaraannya  menjadi  lebih  biasa,  menunjuk  keakraban 
kebersamaan  di  halaman  seperti  halnya  seorang  kakek  berbicara  kepada 
keluarganya.  Beliau  melepas  kacamatanya  yang  hitam  tebal  yang  beliau 
kenakan  untuk  membaca  dan  memandang  langsung  pada  wajah- 
wajah  pemirsanya  "Kepiting  tersebut  adalah  suara  dari  kebenaran," 
pendeta  menerangkan.  "Beginilah  katanya  kehadapan  si  burung  bangau: 
"Leluhurmu  yang  curang  berbusana  putih  dengan  mahkota  pendeta, 
menirukan  orang  suci  yang  pada  akhirnya  berbuat  kejahatan.  Sekarang 
kamu  mau  melakukan  hal  yang  sama.  Akan  tetapi  itu  adalah  salah"  Sang 
pendeta  berucap  lirih,  akan  tetapi  caranya  memberikan  kesan  bahwa  beliau 


suffering  of  others,  by  taking  things  that  are  not  yours,  by  choosing  a  path 
that  is  not  truthful.  You  have  a  long  mouth  that  you  use  to  lie,  so  in  order 
to  stop  you  from  saying  anything  else  that  isn't  true,  I  am  going  to  cut  your 
beak." 


The  small  audience  laughs  at  the  victory  of  karmapala,  perhaps  out  of  relief 
that  their  own  beaks  are  still  intact.  "That  story  is  not  in  the  book  of  Tantri," 
the  priest  announces,  laughing  along  with  them.  "I  wrote  it  myself  It  is 
about  ruahineda.  It  is  about  the  true  and  the  false.  The  crab  is  the  truth  and 
the  heron  is  falsehood.  Because  the  crab  knows  the  stories  of  his  ancestors, 
he  is  not  deceived  by  the  descendant  of  the  heron.  The  crab  knows  the 
truth.  He  sees  the  truth.  He  speaks  the  truth." 


"Ruahineda  deals  with  the  true  and  the  false.  The  crab  is  the  truth  and  the 
heron  is  the  false.  They  are  the  descendants  of  the  characters  in  the  tantri 
story  who  also  represented  truth  and  falseness.  Because  the  crab  knows 
the  stories  of  his  ancestors,  he  is  not  deceived  by  the  descendant  of  the 
heron.  He  knows  about  the  past  deception  and  falseness,  but  he  does  not 
say  anything." 

The  priest's  variation  of  the  story  gives  the  plot  new  resonance  for 
a  contemporary  audience.  They  listen  to  the  new  encounter  between 
the  heron  and  the  crab  with  a  double  awareness.  Knowing  about  the 
meeting  of  the  characters'  ancestors  adds  a  layer  of  irony  to  the  narrative 
for  the  audience,  enabling  them  to  appreciate  the  crab's  manipulation 
of  the  heron.  They  can  laugh  with  the  crab  as  he  lures  the  heron  into 
unknowingly  asking  for  his  own  punishment  by  agreeing  that  the  sacred 
books  demand  past  debts  be  repaid.  They  can  also  contemplate  a  new 
dimension  of  ruahineda  when  they  learn  that  the  crab,  a  representative  of 


herhicara  kepada  setiap  orang  yang  hadir  seperti  halnya  mereka  adalah 
hurung  hangau  dalam  ceritera.  "Jangan  herhuat  kesalahan  yang  sama 
seperti  yang  dilakukan  oleh  leluhurmu.  Itu  penuh  dosa.  Kamu  hidup  dengan 
mengeksploitasi  kesengsaraan  orang  lain,  dengan  mengamhil  sesuatu  yang 
hukan  milikmu,  dengan  memilih  jalan  yang  hukan  jalan  kebenaran.  Kamu 
memiliki  mulut  panjang  untuk  herbohong,  dengan  demikian  agar  dapat 
mengehentikan  kamu  dari  mengatakan  hal-hal  lain  yang  tidak  benar,  saya 
akan  memotong  paruhmu." 

Pemirsa  yang  jumlahnya  tidak  begitu  banyak  tertawa  pada  kemenangan 
dari  karmapala,  barangkali  dapat  pembebasan  bahwa  paruh  mereka  masih 
utuh.  "Kisah  itu  tidak  ada  di  buku  Tantri,"  pendeta  memberitahukan, 
sambari  tertawa  bersama  mereka.  "Saya  sendiri  yang  menulisnya.  Ini 
semua  berkenaan  dengan  ruabineda.  Adalah  berkenaan  dengan  kebenaran 
dan  kebohongan.  Si  kepiting  adalah  kebenaran  dan  burung  bangau  adalah 
kebohongan.  Oleh  karena  si  kepiting  mengetahui  kisah  leluhurnya,  dia 
tidak  ditipu  oleh  keturunan  si  burung  bangau.  Si  kepiting  mengetahui  yang 
benar.  Dia  melihat  yang  mana  benar.  Dia  berbicara  benar" 

"Ruabineda  adalah  tentang  benar  dan  salah.  Si  kepiting  adalah  benar  dan 
si  burung  bangau  adalah  salah.  Mereka  adalah  keturunan  dari  kisah  dalam 
ceritera  Tantri  yang  juga  menggambarkan  kebenaran  dan  kebohongan.  Oleh 
karena  si  kepiting  mengetahui  tentang  kisah  leluhurnya,  dia  tidak  ditipu 
oleh  keturunan  burung  bangau.  Dia  mengetahui  tentang  kebohongan  dan 
kebenaran  pada  masa  lampau,  namun  dia  tidak  bilang  apa-apa," 

Variasi  yang  diberikan  oleh  pendeta  pada  ceritera  tersebut  memberikan 
alur  baru  untuk  pendengar  masa  kini.  Mereka  mendengarkan  pertemuan 
baru  diatara  burung  bangau  dengan  si  kepiting  dengan  kesadaran  ganda. 
Mengetahui  tentang  pertemuan  tokoh-tokoh  leluhurnya  menambah  satu 
lapisan  ironi  pada  naratif  untuk  pemirsanya,  memungkinkan  mereka  lebih 
mengapresiasi  si  kepiting  akan  perbuatan  curang  si  burung  bangau.  Mereka 
boleh  tertawa  dengan  si  kepiting  yang  memancing  si  burung  bangau  tanpa 
mengetahuinya  menanyakan  untuk  hukumannya  dengan  menyetujui  bahwa 
tuntutan  buku  suci  terhadap  hutang  pada  masa  lampau  harus  dibayar. 


119 


the  truth,  has  to  resort  to  deception  to  bring  the  heron  to  justice. 


The  priest's  subtle  reframing  of  the  tale  also  highlights  an  important  theme 
that  is  not  explicit  in  the  original.  The  crab  acquires  truth  through  his 
familiarity  with  the  stories  of  the  ancestors.  If  he  had  not  studied  that 
history,  he  might  not  have  known  the  true  intentions  of  the  heron.  This 
new  twist  enables  the  priest  to  emphasize  the  importance  of  reading  history 
and  literature.  He  is  suggesting  that  the  wisdom  found  in  these  old  texts 
remains  useful  from  generation  to  generation  and  can  still  be  a  useful  tool 
for  survival  in  the  modern  world. 


To  explore  this  idea  further  the  priest  explains  the  meaning  of  the  name  of 
the  Hindu  goddess  Saraswati,  who  is  believed  to  be  the  source  of  all  written 
words  and  wisdom.  "In  the  old  Javanese  language  of  kawi,"  says  the  priest, 
"sara  means  weapon,  swa  means  line,  and  ti  means  behavior,  or  the  way  we 
conduct  ourselves.  Saraswati  is  the  one  who  gives  us  a  line,  a  guide  that 
we  can  use  for  modeling  our  behavior.  These  guidelines  or  regulations  are 
weapons.  The  wisdom  to  know  which  actions  we  can  imitate  and  which 
we  cannot  makes  us  strong.  Knowledge  is  the  weapon  we  receive  from 
Saraswati." 


Like  many  of  the  themes  discussed  by  the  priest,  the  concept  of  Saraswati  as 
a  source  of  wisdom,  literature,  and  knowledge  was  presented  in  Nardayana's 
shadow  puppet  play  about  the  copyright  trial.  The  story  of  the  case  evokes 
similar  responses  from  the  dalang  and  the  priest,  both  of  whom  have 
studied  sacred  Hindu  texts  extensively,  and  view  them  as  cultural  weapons 
associated  with  the  power  of  truth. 


Mereka  juga  dapat  merenungkan  dimensi  baru  tentang  ruabineda  ketika 
mereka  belajar  bahwa  si  kepiting  itu  adalah  representasi  dari  kebenaran, 
harus  menempatkan  segala  bentuk  penipuan  dari  si  burung  bangau  untuk 
dibawa  ke  pengadilan. 

Pembingkaian  kembali  yang  sulit  dipisahkan  kepunyaannya  pendeta  terhadap 
kisah  tersebut  yang  juga  menyoroti  tema  penting  yang  tidak  termasuk  di 
dalamnya  pada  kisah  aslinya.  Si  kepiting  memperoleh  kebenaran  melalui 
keakrabannya  dengan  kisah  dari  leluhurnya.  Jika  dia  tidak  pernah  belajar 
sejarah  tersebut,  mungkin  saja  dia  tidak  mengetahui  niat  sesungguhnya 
dari  si  burung  bangau.  Pembelotan  yang  baru  seperti  ini  memungkinkan 
pendeta  untuk  menekankan  pentingnya  membaca  sejarah  dan  literature. 
Beliau  mengusulkan  bahwa  kebijaksanaan  yang  terdapat  di  dalam  teks- 
teks  kuno  tetap  dapat  berguna  dari  generasi  ke  generasi  sebagai  alat  untuk 
kelangsungannya  di  dalam  dunia  moderen. 

Dalam  mengeksplorasi  ide  ini  lebih  jauh  pendeta  menjelaskan  arti  dari 
Dewi  Saraswati  dalam  ajaran  Hindu,  yang  dipercaya  sebagai  sumber  untuk 
semua  dunia  tulis  menulis  dan  kebijaksanaan.  "Dalam  Bahasa  Jawa  Kuno 
yakni  bahasa  kawi"  kata  pendeta,  "sara  berarti  senjata,  swa  berarti  garis, 
dan  ti  berarti  perangai,  atau  tata  cara  kita  memperlakukan  diri  kita  sendiri. 
Saraswati  adalah  satu-satunya  yang  memberi  kita  garis,  sebuah  tuntunan 
yang  dapat  digunakan  untuk  memperagakan  prilaku  kita  sendiri.  Petunjuk 
atau  peraturan  seperti  ini  adalah  senjata.  Kebijaksanaan  untuk  mengetahui 
yang  mana  aksi  yang  dapat  kita  tiru  dan  yang  mana  tidak  dapat  membuat 
kita  kuat.  Pengetahuan  adalah  senjata  yang  kita  terima  dari  Saraswati" 

Seperti  halnya  banyak  tema  yang  didiskusikan  oleh  pendeta,  konsepsi 
Saraswati  sebagai  sumber  kebijaksanaan,  literatur,  dan  pengetahuan  juga 
dipersembahkan  dalam  pertunjukan  wayangnya  Narday  ana  tentangperadilan 
hak  cipta.  Ceritera  dari  persoalan  menimbulkan  persamaan  respon  baik  oleh 
dalang  maupun  oleh  pendeta,  keduanya  telah  mempelajari  teks  dari  buku 
suci  Hindu  secara  ekstensif,  dan  memandangnya  sebagai  senjata  kebudayaan 
diasosiasikan  dengan  kekuatan  kebenaran. 


120 


"The  strongest  weapons  come  out  of  ideas,  not  guns,"  says  Ida  Pedanda 
Singarsa.  "One  of  my  ancestors,  Sang  Hyang  Dwi  Jendra,  wrote  a  poem 
called  "Niti  Sara."  Niti  means  idea  or  thought,  and  sara  means  weapon, 
so  the  name  of  the  poem  means  'Thought- Weapons.'  It  is  a  collection  of 
short  powerful  ideas  expressed  in  poetry.  The  meaning  of  the  title  is  that 
power  can  be  found  in  ideas.  And  the  powerful  can  be  defeated  by  using 
ideas.  That  is  why  in  some  of  the  old  Tantri  stories  the  monkey  can  defeat 
the  tiger.  The  tiger  is  more  powerful,  but  the  monkey  has  the  weapon  of  his 
thoughts.  Thoughts  can  also  be  tricks.  Tricks  are  thoughts  that  have  been 
well  cooked  or  ripened." 


One  of  the  poems  in  "Niti  Sara"  is  also  about  the 
difficulty  of  finding  truth.  "My  ancestor  wrote 
that  there  is  no  truth  in  the  world,  and  there  will 
never  be  any  truth  until  lotus  flowers  grow  out  of 
stones." 

The  poetic  fragment  that  the  priest  recalls  invites 

deeper  reflection.  Its  contradictions  are  rooted  in 

the  same  philosophy  of  ruabineda  that  informs 

most  Balinese  Hindu  beliefs.  The  lotus,  whose  Kawi 

nsime,  p angkaj a,  is  itself  a  contradiction,  suggests  a 

source  of  light  that  grows  out  of  darkness.  The  lotus 

blossom  is  a  central  image  in  Balinese  Hinduism. 

The  circular  arrangement  of  its  petals  is  viewed  as  a 

microcosm  of  the  cosmos  in  which  each  major  diety 

inhabits  a  cardinal  direction  and  Siwa,  lives  in  the 

center.  This  arrangement  is  known  as  Nawasanga 

or  'nine  nines."  As  the  dwelling  place  of  the  sacred 

sources  of  enlightenment,  the  lotus  flower  can  be 

seen  as  a  metaphor  for  the  truth,  as  can  Dwi  Jendra's  poetic  paradox  about 

the  lotus  growing  out  of  the  stone.  If,  as  the  priest's  ancestor  suggests,  real 

truth  cannot  be  found  in  the  material  world  until  a  lotus  flower  grows  out 

of  a  stone,  humans  might  have  to  wait  until  they  die  to  experience  truth  in 


"Senjata  yang  paling  kuat  keluar  dari  ide,  bukan  sejata  api"  kata  Ida  Pedanda 
Singarsa.  "Satu  dari  leluhur  saya  yakni  Sanghyang  Dwi  Jendra,  menulis  puisi 
disebut  "Niti  Sara."  Niti  berarti  ide  atau  pikiran,  dan  sara  berarti  senjata, 
dengan  demikian  nama  dari  puisi  berarti  'Senjata-Pikiran.'  Adalah  kumpulan 
dari  ide  pendek  yang  berkekuatan  tinggi  dinyatakan  di  dalam  puisi  tersebut. 
Arti  dari  judul  tersebut  adalah  kekuatan  bisa  didapat  di  dalam  ide.  Dan 
kekuatan  dapat  dikalahkan  dengan  menggunakan  ide.  Oleh  karenanya 
kenapa  di  beberapa  ceritera  kuno  Tantri  si  kera  dapat  mengalahkan  si 
harimau.  Si  harimau  jauh  lebih  kuat,  akan  tetapi  si  kera  memiliki  senjata 
pikirannya.  Pikiran  bisa  juga  muslihat.  Muslihat  adalah  pikiran  yang  telah 
dimasak  dengan  sempurna  atau  sudah  matang. 

Salah  satu  puisi  di  dalam  "Niti  Sara"  adalah  juga 
tentang  kesulitan  mencari  kebenaran.  "Leluhur 
saya  menulis  bahwa  tidak  ada  kebenaran  didunia, 
tidak  bakalan  ada  kebenaran  sampai  bunga  teratai 
tumbuh  dari  batu!' 

Bagian-bagian  puisi  yang  diingatkan  oleh  pendeta 
mengundang  refleksi  yang  lebih  mendalam. 
Pertentangannya  berakar  pada  filosofi  yang  sama 
yakni  ruabineda  ya«^  membentuk  hampir  sebagian 
besar  kepercayaan  orang  Bali  Hindu.  Teratai  yang 
dalam  bahasa  kawi  disebut  pangkaja  adalah  pada 
bunga  itu  sendiri  terjadi  kontradiksi,  mengusulkan 
sumber  dari  cahaya  tumbuh  dari  kegelapan. 
Kembang  teratai  menjadi  imajinasi  sentral  dalam 
kepercayan  menurut  orang  Bali  Hindu.  Tata 
letak  daun  bunga  teratai  yang  melingkar  adalah 
dipandang  sebagai  mikrokosmos  dari  alam  semesta 
yang  mana  setiap  dewa  utama  berstana  di  setiap 
arah  dan  Siwa  berstana  di  tengah.  Sebagai  stana  dari  sumber  suci  pencerahan, 
bunga  teratai  dapat  dilihat  sebagai  perlambang  dari  kebenaran,  seperti  halnya 
paradoksi  puisinya  Sanghyang  Dwi  Jendra  tentang  teratai  yang  tumbuh  dari 
batu.  Jika  seperti  yang  disarankan  oleh  leluhurnya  pendeta  bahwa  kebenaran 


121 


another  world.  Perhaps  the  moment  of  the  soul's  release  from  the  body's 
cold  bones  is  the  equivalent  of  a  lotus  growing  out  of  a  stone.  Maybe  the 
moment  truth  is  born  does  not  come  until  the  cremation  flames  rise  up  out 
of  the  sarcophagus. 


Whatever   the   meaning   of  his   ancestor's   poem, 

Ida   Pendanda   Singarsa   is   reluctant   to   end   the 

conversation  on  such  a  somber  note.  Not  wanting  to 

lose  the  opportunity  to  bring  a  little  more  laughter 

to  his  audience,  the  priest  recalls  one  more  comic 

fable  on  the  theme  of  justice  in  the  courts.    "Here  is 

another  story  on  the  subject,"  he  says.  "It  is  about  an 

argument  between  a  big  black  monkey  and  a  young 

ape.    The  black  monkey  finds  a  vegetable  that  he 

calls  a  banah  (yam).    The  young  ape  comes  along 

and  tells  him  that  it  is  not  a  banah,  but  a  gadung 

(yam).  Actually  banah  and  gadung  are  two  words  for 

the  same  thing,  but  since  they  cannot  stop  arguing        ^ 

they  go  to  court  to  resolve  their  dispute.  When  the 

judge  sees  that  the  black  monkey  is  much  bigger 

than  the  young  ape,  he  decides  the  case  in  favor  of 

the  black  monkey  and  declares  the  vegetable  to  be  a 

banah.  That  is  not  justice,  but  that  kind  of  thing  still 

happens  today.  Sometimes  the  one  who  wins  is  not 

necessarily  the  one  who  is  right.   It  is  too  bad  that 

judges  don't  study  the  Ramayana,  because  it  is  the  book  that  teaches  that 

falseness  must  be  banished  from  the  world.  That  is  Rama's  mission." 


Though  they  have  never  met  him  Gunarsa  and  Nardayana  are  in  agreement 


hakiki  tidak  didapatkan  di  dalam  dunia  material  ini  sampai  nantinya  bunga 
teratai  tumbuh  dari  batu,  manusia  mesti  menunggu  sampai  mereka  mati 
untuk  mengalami  kebenaran  dialam  sana.  Barangkali  ketika  jiwa  manusia 
lepas  dari  jasadnya  tulangnya  yang  dingin  sama  halnya  ibarat  teratai  yang 
tumbuh  dari  batu.  Barangkali  saat  kelahiran  kebenaran  tidak  bakalan  datang 
sampai  api  pembakaran  jenasah  mengangkatnya  dari  peti  mati. 

Apapun  arti  dari  puisi  leluhur  pendeta,  Ida 
Pedanda  Singarsa  menjadi  segan  untuk  mengakhiri 
perbincangan  dalam  catatan  suram  seperti  itu.  Tidak 
menginginkan  untuk  kehilangan  kesempatan  untuk 
memberi  sedikit  tertawa  pada  pemirsanya,  pendeta 
mengingat  satu  lagi  kisah  fable  yang  lucu  dalam 
tema  keadilan  di  pengadilan.  "Ini  ada  satu  ceritera 
lagi  sesuai  subjek,"  katanya.  "Itu  adalah  mengenai 
perdebatan  diantara  kera  hitam  besar  dengan  monyet 
kecil.  Kera  hitam  mendapatkan  sayur  yang  dia  sebut 
*  i  banah  (ubi  rambat).  Monyet  kecil  datang  langsung 
mengatakan  bahwa  itu  bukanlah  banah  akan  tetapi 
gadung  (ubi  rambat).  Sesungguhnya  banah  dan 
gadung  adalah  dua  kata  untuk  menyatakan  hal 
yang  sama,  akan  tetapi  ketika  mereka  tidak  bisa 
menghentikan  perdebatannya,  mereka  pergi  ke 
pengadilan  untuk  memecahkan  perselisihan  mereka. 
Ketika  hakim  melihat  si  kera  hitam  jauh  lebih  besar 
dibanding  dengan  si  monyet  kecil,  dia  memutuskan 
permasalahan  dengan  berbaik  hati  untuk  si  kera 
besar  dan  mengumumkan  sayur  itu  adalah  banah.  Itu  bukanlah  kebenaran, 
namun  hal  seperti  itu  masih  saja  terjadi  sampai  sekarang.  Terkadang 
seseorang  yang  dikatakan  menang  tidaklah  mesti  seseorang  yang  benar. 
Sangatlah  disayangkan  seorang  hakim  tidak  belajar  Ramayana,  sebab  itu 
adalah  buku  yang  mengajarkan  pembohong  harus  dibuang  dari  dunia.  Itu 
adalah  misinya  Rama" 

Kiranya   mereka   tidak  pernah   bertemu   dengan   beliau,    Gunarsa   dan 


122 


with  the  priest  on  that  point,  and  many  others.  They  have  studied  the 
Ramayana,  performed  it,  painted  it,  and  even  invented  sequels  that  follow 
the  adventures  of  the  main  character's  descendants.  In  concluding  their 
versions  of  Anggada's  story  with  the  image  of  the  sacred  weapon  called 
astra  geni  the  painter  and  the  dalang  are  instinctively  following  another 
of  the  priest's  suggestions,  "Remember  the  meaning  of  Saraswati's  name, 
and  respect  her  weapons  of  wisdom  that  guides  our  actions  towards  the 
truth." 


Nardayana  adalah  dalam  kecocokan  dengan  pendeta  pada  poin  dan 
dalam  banyak  hal  yang  lain.  Mereka  telah  mempelajari  Ramayana  dan 
mempertunjukkannya,  melukisnya,  dan  bahkan  menciptakan  bagian- 
bagian  mengikuti  keturunan  dari  tokoh-tokoh  utama.  Dalam  kesimpulan 
akhir  dari  versi  ceritera  Anggada  dengan  imajinasi  senjata  sakral  yang 
disebut  dengan  astra  geni  pelukis  dan  dalang  secara  instinktif  mengikuti 
hal  lain  yang  diusulkan  pendeta.  "Ingat  arti  dari  nama  Saraswati  dan 
menghormati  senjatanya  tentang  kebijaksanaan  yang  dapat  menuntun 
perbuatan  kita  menuju  kebenaran." 


123 


AX 


w  m. 


KARMAPALA: 

The  Justice  of  Heaven 


Karmap  ala: 

Keadilan  Sorgawi 


125 


Ida  Pendanda's  story  about  the  heron  who  impersonates  a  priest  is  based  on 
a  well  known  Balinese  fable  that  is  depicted  in  a  set  of  paintings  found  in 
one  of  the  island's  most  famous  landmarks,  Kertha  Gosa,  or  "Hall  of  Justice." 
Kertha  Gosa  is  an  open-air  pavilion  located  in  Klungkung  on  the  grounds 
of  what  used  to  be  the  palace  of  the  royal  family.  The  heron's  deception  is 
one  of  many  cautionary  tales  that  adorn  the  ceiling  of  Kertha  Gosa,  where 
legal  disputes  were  decided  by  the  King  of  Klungkung. 


As  a  child  in  the  1950's  Nyoman  Gunarsa  went  to  a  school  built  by  the 
Dutch  on  those  same  palace  grounds.  He  often  stared  out  the  window  of  his 
classroom  at  the  Kertha  Gosa  pavilion  dreaming  that  he  would  be  a  painter 
one  day.  The  paintings  on  the  ceiling  of  the  "Hall  of  Justice"  were  among 
his  first  artistic  inspirations.  "Whenever  I  could,  I  would  spend  time  in  the 
pavilion  making  sketches  of  all  the  scenes  on  the  ceiling,"  he  recalls.  Those 
paintings  were  part  of  my  education  as  an  artist  and  as  a  human  being. 
They  visualized  the  difference  between  right  and  wrong,  taking  justice  out 
of  the  realm  of  abstraction  and  turning  it  into  something  concrete  and 
unforgettable." 


After  the  disappointment  of  learning  that  that  the  Supreme  Court  in  Jakarta 
had  refused  to  hear  an  appeal  of  his  copyright  case,  Gunarsa  went  to  Kertha 
Gosa  and  revisited  the  paintings  he  had  grown  up  studying.  He  pointed  to 
the  faded  figure  of  the  heron  in  a  priest's  headdress,  "The  story  of  that  false 
priest  is  not  so  different  from  the  story  I've  just  lived  through,  but  in  my  case 
it  was  a  false  judge.  He  was  dressed  up  in  the  robes  of  the  court  but  he  didn't 
uphold  the  laws  of  justice  any  more  than  the  heron  upheld  the  laws  of  the 
gods.  The  connection  between  this  story  and  our  case  is  clear.  The  judge 
and  lawyers,  like  the  heron,  manipulate  the  truth  for  their  own  gains.  The 
law  is  good,  but  the  way  it  is  applied  is  corrupt.  The  judge  has  the  power  to 
turn  black  into  white,  to  turn  lies  into  truth.  The  law  in  Indonesia  is  played 


Ceriteranya  Ida  Pedanda  tentang  seekor  burung  bangau  yang  menyamar 
sebagai  pendeta  bersumber  dari  ceritera  binatang  sebuah  kisah  yang  amat 
populer  di  Bali  digambarkan  ke  dalam  satu  set  lukisan-lukisan  terdapat  di 
balai  Kerta  Gosa  yang  juga  berarti  "Tempat  Keadilan"  sebuah  objek  menonjol 
yang  amat  terkenal.  Kerta  Gosa  adalah  bangunan  balai  panjang  terbuka, 
berlokasi  di  Kabupaten  Klungkung,  dipelataran  yang  dulunya  bagian  dari 
istana  dari  keluarga  raja.  Kisah  penipuan  sang  bangau  adalah  salah  satu  dari 
sekian  banyak  ceritera  yang  mengandung  nasehat  menghiasi  langit-langit  dari 
balai  Kerta  Gosa  tersebut,  dimana  perselisihan  hukum  diputuskan  oleh  Raja 
Klungkung  di  tahun  1908. 

Sebagai  anak  kecil  di  tahun  1950an  Nyoman  Gunarsa  belajar  pada  sekolah 
yang  dibangun  oleh  Belanda  di  kawasan  istana.  Dia  sering  menoleh  ke  luar 
melalui  jendela  dari  dalam  ruang  kelasnya  ke  balai  Kerta  Gosa  memimpikan 
ingin  jadi  seorang  pelukis  suatu  hari  nanti.  Lukisan-lukisan  yang  terpajang 
pada  langit-langit  dari  "Balai  Peradilan"  adalah  menjadi  inspirasi  artistiknya 
yang  pertama.  "Kapan  saja  ada  waktu  senggang,  saya  akan  meluangkan 
waktu  di  balai  tersebut  membuat  sketsa  dari  semua  adegan  di  langit-langit." 
dia  mengingat.  Semua  lukisan  itu  merupakan  bagian  dari  pendidikan  saya 
sebagai  pelukis  dan  sebagai  manusia.  Semua  itu  menggambarkan  perbedaan 
antara  yang  benar  dan  yang  salah,  mengambil  keadilan  diluar  kenyataan 
duniawi  secara  abstrak  dan  membalikkannya  kembali  menjadi  sesuatu  yang 
nyata  dan  tak  terlupakan. 

Setelah  kekecewaan  dari  mempelajari  bahwa  Mahkamah  Agung  di  Jakarta 
telah  menolak  untuk  mendengarkan  permohonan  tentang  kasus  hak  ciptanya, 
Gunarsa  pergi  ke  Balai  Kerta  Gosa  dan  mengunjungi  kembali  lukisan-lukisan 
yang  telah  menjadikan  dia  tumbuh  dan  berkembang  dengan  mempelajarinya. 
Dia  menunjuk  pada  figur  burung  bangau  yang  sudah  mulai  memudar  dengan 
busana  berhiasan  mahkota  seorang  pendeta,  "Kisah  dari  pendeta  palsu  tersebut 
tidak  jauh  berbeda  dengan  apa  yang  saya  alami  dalam  menjalani  hidup  ini, 
hanya  dalam  kasus  saya  hakimnyalah  yang  palsu.  Dia  berbusana  pakai  jubah 
pengadilan  akan  tetapi  dia  tidak  lagi  menegakkan  hukum  dibanding  dengan 
si  burung  bangau  yang  menegakkan  hukum  Tuhan.  Hubungan  diantara 
kisah  ini  dengan  kasus  kami  adalah  sangat  jelas.  Para  hakim  dan  pengacara. 


126 


^^y- 


'C  ''tif  '^' 


_Cv 


; 


^ 


y 


-7 


-ft 


/ 


'.••/ 


cs 


/ 


-A 


"^■Sl»' 


t 


rv^ 


/i^,  I.  l',  tx 


/^  .(      <-•»  1 


/•t*C^r.  ■. ''!:.vv.y'•*^• 


r^ 


rv 


U 


N 


'/.  » 


m 


^v^ 


^i 


5^.:^ 


S 


<ti  VVi 


^ 


(>^  i/«e>' 


>V     <*«*A/.r»«^ 


''•I     '.w. 


W5V; 


yM 


^i^'t 


V.  -J' 


■y... 


^ 


^ 


.^ 


1  \V 


J^ 


5r.**^ 


\ 


»/N 


\ 


Ctr^^i^      <M^,^uy.^;^ 


/ 


Va^  ^..w^   -4w^-^  .«V/^<^'  ,  '«'^  '*^;^  ^ 


Lv^ 


/ 


■■•( 


/ 


^^^3^ii^ 


7  ■ 


y 


/Z 


^1<>^r 


128 


! 


\>M 


like  a  game,  and  I  am  a  victim  of  their  manipulation.  Like  the  fish  who  were 
victimized  by  a  false  priest,  I  was  victimized  by  a  false  judge  whose  decision 
violated  the  law.  I  am  not  afraid  to  call  the  judge  a  false  judge,  because  that 
is  the  truth  based  on  the  facts  of  the  case.  In  this  version  of  the  story  I  am 
the  fish,  but  I  am  a  fish  with  a  paintbrush  and  artist  s  palette." 


For  Gunarsa  the  laws  that  were  betrayed  in  the  courtroom  still  live  in  the 
realm  of  art.  When  his  sees  the  next  panel  in  the  painting  of  the  story, 
Gunarsa  imagines  a  new  role  for  himself  in  his  battle  for  justice.  The  heron 
is  decapitated  by  the  crab,  a  creature  who  symbolizes  the  truth.  "Maybe  I 
should  be  the  crab  with  a  paintbrush  instead,"  he  laughs. 


sama  dengan  si  burung  bangau,  memanipulasi  kebenaran  untuk  keuntungan 
diri  mereka.  Hukumnya  sudah  bagus,  akan  tetapi  bagaimana  semestinya 
diaplikasikan  adalah  diperkosa.  Hakim  memiliki  kekuasaan  untuk  memutar 
balikkan  yang  hitam  menjadi  putih,  membalikkan  yang  bohong  menjadi  benar. 
Hukum  di  Indonesia  dimainkan  sebagai  pertandingan  dan  saya  adalah  korban 
dari  manipulasi  mereka.  Seperti  si  ikan  yang  dijadikan  korban  oleh  si  pendeta 
palsu,  saya  dikorbankan  oleh  si  hakim  bohong,  yang  mana  keputusannya 
melanggar  hukum.  Saya  tidak  takut  untuk  menyebut  hakimnya  adalah  hakim 
palsu,  oleh  karena  demikianlah  sebenarnya  berdasarkan  kenyataan  pada 
kasusnya.  Dalam  versi  kisah  seperti  ini  saya  adalah  ikannya,  akan  tetapi  saya 
adalah  ikan  dengan  kuas  dan  palet" 

Bagi  seorang  Gunarsa  hukum  yang  telah  dikhianati  dalam  ruang  peradilan 
masih  hidup  di  alam  seni.  Manakala  dia  mengalihkan  pandangannya  pada 
kisah  dalam  lukisan  di  panel  berikutnya,  Gunarsa  membayangkan  peran 
baru  untuk  dirinya  dalam  memperjuangkan  untuk  sebuah  keadilan.  Si 
burung  bangau  di  penggal  lehernya  oleh  si  kepiting,  seekor  binatang  lambang 
kebenaran.  "Barangkali  saya  lebih  baik  harus  jadi  kepiting  dengan  kuasnya" 
dia  tertawa. 


Gunarsa  is  not  alone  in  his  belief  that  the  judge  in  his  case  disregarded  the 
law.  Shortly  after  his  trial  ended  a  team  of  lawyers  engaged  by  the  Indonesian 
Anti- Corruption  Movement  and  Bali  Corruption  Watch  examined  the 
courtroom  proceedings  and  published  a  devastating  analysis  suggesting 
that  the  judge's  "flawed"  and  "inaccurate"  reasoning  could  only  be  explained 
as  an  example  of  "mafia  justice"  in  which  the  law  had  been  manipulated  by 
individuals  acting  in  their  own  self-interest.  Criticizing  both  the  judges  in 
Denpasar  and  the  justices  on  the  Supreme  Court  who  upheld  their  decision, 
the  report  of  the  anti-corruption  agency  states:  "In  the  decision  that  freed 
the  suspect  Sinyo,  although  there  are  strong  signs  the  decision  should  be 
reversed  -  the  possibility  that  the  judge  had  been  "bought"  can  not  be 
definitively  proven."  It  goes  on  to  argue  that  cases  like  this  in  which  legal 
logic  is  so  blatantly  twisted  are  the  "tip  of  the  iceberg"  offering  "proof  that 
there  really  is  a  mafia"  undermining  the  work  of  the  Indonesian  courts.' 

'    Putu  Wirata  Dwikora,  director  of  Bali  Corruption  Watch,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir 
Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  P.2 


Gunarsa  percaya  bahwa  dia  tidaklah  sendirian  dalam  melihat  hakim  yang 
menangani  kasusnya  tak  mengindahkan  hukum.  Tak  lama  setelah  pemeriksaan 
pengadilan  selesai  tim  pengacara  digandeng  oleh  Indonesian  Anti-Coruption 
Movement  dan  Bali  Corruption  Watch  memeriksa  hasil  kerja  peradilan  dan 
mempublikasikan  sebuah  analisa  sangat  keras  memberikan  kesan  bahwa  hakim 
"bercacat"  dan  "tidak  teliti"  memberikan  alasan  yang  diekplanasi  hanyalah 
sebagai  contoh  dari  "mafia  peradilan"  dimana  hukum  telah  dimanipulasi 
oleh  aksi  perseorangan  di  atas  kepentingan  pribadi  mereka.  Laporan  dari 
Agen  Anti  Korupsi  tersebut  menyatakan:  "Dalam  keputusan  membebaskan 
tersangka  Sinyo,  walau  terdapat  signal  yang  amat  kuat  bahwa  keputusan 
semestinya  dibalik  -  sebuah  kemungkinan  bahwa  hakim  telah  "dibeli"  kendati 
tidak  dapat  secara  pasti  untuk  dibuktikan"  Itu  semua  berlangsung  dalam 
perseteruan  bahwa  kasus  seperti  ini  yang  mana  logika  formal  adalah  sangat 
menyolok  diputar  balikkan  adalah  "ujung  dari  gumpalan  gunung  es  yang 
terapung"  memberikan  "bukti  bahwa  memang  sesungguhnya  adalah  mafia" 


129 


Wahyu    Sosongko,    Professor   of  Law   at    Indonesia's 

Lampung    University    writes,    "The    arguments    used 

by  the  judge  in  his  decision  are  confused.    The  judge 

acknowledges  that  the  paintings  in  question  are  in  fact 

false,  but  even  though  Nyoman  Gunarsa  suffers  a  loss 

because  his  name  and  signature  are  used  illicitly,  the  judge 

explains  that  the  painter  has  no  legal  connection  to  the 

paintings  and  therefore  has  no  right  to  stop  the  suspect 

or  sue  him.  The  judge's  use  of  logic  is  misleading  because 

it  allows  anyone  who  is  proven  in  court  to  have  intentionally  reproduced, 

distributed,  exhibited,  and  sold  creative  works  to  violate  the  copyright  of 

those  works,  in  this  case  the  false  paintings  that  were  reproduced  without 

permission  from  the  painter.   In  spite  of  the  fact  that  Nyoman  Gunarsa  is 

the  original  artist  and  that  his  name  and  signature  were  falsified,  the  judge 

argues  that  he  has  no  right  to  prevent  the  falsification  of  his  work.  This  is  a 

tragedy  of  the  law."" 


yang  meruntuhkan  kerja  pengadilan  di  Indonesia.' 

Wahyu  Sasongko,  seorang  Profesor  ahli  Hukum  pada 
Universitas  Lampung  Indonesia  menulis,  "Argumentasi 
yang  digunakan  oleh  hakim  dalam  mengambil  keputusan 
mereka  adalah  membingungkan.  Hakim  mengakui  adanya 
lukisan-lukisan  yang  dipertanyakan  pada  kenyataannya 
adalah  palsu,  bahkan  kendati  Nyoman  Gunarsa  menderita 
kerugian  karena  nama  dan  tanda  tangannya  digunakan 
secara  terlarang,  hakim  menerangkan  bahwa  tidak  ada 
hubungan  formal  menurut  hukum  dengan  lukisan-lukisan 
tersebut  dan  oleh  karenanya  tidak  ada  hak  untuk  menghentikan  tersangka  atau 
menggugat  dia.  Penggunaan  logikanya  hakim  adalah  menyesatkan  karena 
akan  memberi  peluang  kepada  orang-orang  yang  terbukti  di  dalam  pengadilan 
yang  dengan  sengaja  mereproduksi,  mendistribusikan,  memamerkan,  dan 
menjual  hasil  kerja  kreatif  dengan  melanggar  hak  cipta  dari  seluruh  karya 
seperti  itu,  dalam  hal  ini  lukisan-lukisan  dipalsukan  di  reproduksi  tanpa  ijin 
dari  pelukisnya.  Kendati  pada  kenyataannya  bahwa  Nyoman  Gunarsa  adalah 
pelukis  aslinya  dan  nama  serta  tanda  tangannya  telah  dipalsukan,  hakim 
berargumentasi  dia  tidak  mempunyai  hak  untuk  mencegah  pemalsuan  hasil 
kerjanya.  Ini  adalah  sebuah  tragedi  hukum" " 


130 


According  to  Tuafik  Basari,  a  senior  attorney  for  Indonesia's  Public  Legal 
Assistance  Society,  "The  reasoning  that  the  judge  used  in  the  decision  to 
free  the  suspect  in  this  case  is  not  logical."  Noting  that  important  evidence 
mysteriously  disappeared  from  the  court's  files  of  a  related  case,  Basari 
goes  on  to  lament  that  the  case  is  "a  very  significant  black  stain  on  our 
legal  system  of  justice...  There  should  be  a  comprehensive  investigation  to 
determine  the  source  of  the  vanished  dossier,  and  criminal  action  should  be 
taken  against  those  whose  carelessness  implicated  them  in  this  event."'" 


Wahyu  Sasongko,  Professor  of  Law  at  the  University  of  Lampang,  in  "Nyoman  Gunarsa;  Jalan  Panjang  Martir 
Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  Pp.  88-89 

Taufik  Basari,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas 
Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  Pp.  133-134 


Menurut  Tuafik  Basari,  seorang  pengacara  senior  untuk  Lembaga  Bantuan 
Hukum  Masyarakat,  "Pemikiran  yang  digunakan  dalam  mengambil 
keputusan  membebaskan  orang  yang  dicurigai  dalam  hal  ini  tidaklah  logis" 
Catatan-catatan  sebagai  bukti  penting  secara  misterius  menghilang  dari  file- 
file  pengadilan  yang  berkaitan  dengan  kasus  tersebut,  Basari  berteriak  tak 
berkesudahan  mengeluhkan  bahwa  kasus  tersebut  adalah  "sangat  penting 
sebagai  sebuah  noda  hitam  pada  sistem  perundang-undangan  peradilan  kita... 
Seyogyanya  dilakukan  penyelidikan  secara  menyeluruh  untuk  menentukan 
sumber  hilangnya  kumpulan  dokumen  penting,  dan  tindakan  jahat  harus 

'    Putu  Wirata  Dwikora,  director  of  Bali  Corruption  Watch,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta 
dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  P.2 

"    Wahyu  Sasongko,  Professor  of  Law  at  the  University  of  Lampang,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak 
Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  Pp.  88-89 


131 


Arip  Yogiawan,  a  lawyer  for  the  Legal  Aid  Society  in 
Bandung,  Indonesia,  focuses  on  the  numerous  facts 
that  the  judge  ignored  in  making  his  decision,  including 
forensic  tests  on  the  false  paintings  that  proved  they  were 
not  the  work  of  Gunarsa.  "It  is  clear  that  the  paintings 
displayed  in  the  gallery  were  not  the  work  of  Nyoman 
Gunarsa,  and  therefore  the  copyright  protection  of  the 
original  works  should  not  be  ignored."'" 


^^■j 

jfc^tT;^ 

^^ 

^H 

H.  V '  w  .^^^^^^H 

Wjm 

■^ 

V 

m^i^ 

^ 

m 

d^l 

P 

Ji 

W^  1^ 

^■^f^ 

^^E 

^M 

mil 

diambil  untuk  melawan  mereka  yang  ceroboh  melibatkan 
mereka  dalam  peristiwa  ini" '" 

Arip  Yogiawan,  seorang  pengacara  untuk  Legal  Aid  Society 
di  Bandung,  Indonesia,  memfokuskan  pada  sejumlah 
kenyataan  bahwa  hakim  mengabaikan  dalam  membuat 
keputusannya,  termasuk  pada  test  forensik  pada  lukisan- 
lukisan  palsu  yang  membuktikan  bahwa  semuanya  itu 
bukanlah  karyanya  Gunarsa.  "Itu  sangat  jelas  lukisan- 
lukisan  yang  dipajangkan  di  galeri  bukanlah  karyanya 

Nyoman  Gunarsa,  dan  oleh  karenanya  perlindungan  hak  cipta  atas  keaslian 

hasil  kerjanya  seharusnya  tidak  diabaikan" " 


Gunarsa  reflects  on  the  corruption  of  justice  that  undermined  the  verdict 
in  his  trial  as  he  looks  up  at  the  paintings  of  the  Kertha  Gosa  ceiling.  One 
sequence  shows  the  agony  of  sinners  in  hell,  whose  grotesque  punishments 
are  imagined  to  fit  their  crimes.  "That  is  the  fate  of  liars,"  he  says,  pointing 
to  a  painting  of  a  man  whose  mouth  is  being  scorched  by  a  flaming  torch. 
In  another  corner  of  the  ceiling  he  finds  the  mythical  figures  of  Rangda 
and  Barong  enacting  the  eternal  battle  between  good  and  evil,  a  scene  that 
helps  him  see  his  trial  in  a  larger  context  of  spiritual  conflicts  based  on  the 
oppositional  elements  of  Ruabineda:  truth  and  lies,  justice  and  injustice, 
honesty  and  betrayal. 


Still  another  panel  depicts  a  shower  of  fiery  weapons 
sailing  over  a  pyramid  of  flames,  recalling  the  image  of 


Arip  Yogiawan,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan 
Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  P.  175. 


Gunarsa  membayangkan  akan  pemerkosaan  keadilan  serta  perusakan 
keputusan  dalam  peradilannya  seperti  halnya  ketika  dia  melihat  ke  atas 
pada  lukisan-lukisan  di  langit-langit  balai  Kerta  Gosa.  Sebuah  rangkaian 
menunjukkan  kenyerian  dari  pendusta  di  neraka,  yang  kena  hukuman 
fantastis  amatlah  cocok  dengan  kejahatan  yang  dilakukannya.  "Itulah  nasib 
para  pendusta"  katanya,  menunjuk  pada  sebuah  lukisan  seorang  lelaki 
yang  mulutnya  sedang  dibakar  dengan  kobaran  api  obor.  Di  sudut  lain 
dari  langit-langit  dia  mendapatkan  dongengan  figur  Rangda  dan  Barong 
menggambarkan  peperangan  antara  baik  dan  buruk  dalam  diri,  membantu 
menempatkan  pemeriksaan  pengadilannya  dalam  konteks  yang  lebih  besar 
dari  konflik  spiritual  berdasar  pada  pertentangan  dari  elemen  Ruabineda; 
kebenaran  dengan  kebohongan,  keadilan  dengan  ketidak 
adilan,  kejujuran  dengan  pengkhianatan. 

Dalam  panel  yang  lain  ada  lukisan  pancaran  senjata 
api  melintas  di  atas  kobaran  api  berwujud  piramida. 


Taufik  Basari,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan  Eksaminasi 
atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  Pp.  133-134 

Arip  Yogiawan,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan 
Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas  Terdakwa  Ir  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  R  175. 


132 


the  astra  geni  from  Nardayana's 
shadow  play.  In  fact  all  the  figures 
on  the  ceiling  are  reminiscent  of 
shadow  puppets.  The  Klungkung 
style  of  painting  is  based  on 
a  two  dimensional  form  of 
representation  that  owes  much 
to  the  design  of  wayang  kulit 
puppets.  Gunarsa's     artistic 

sensibilities  were  nurtured  by  this 
unique  form  of  abstraction  and 
its  influence  can  be  seen  in  the 
personal  style  he  has  developed 
for  his  own  paintings. 


A  few  hundred  yards  from  Kertha 

Gosa  is  the  school  building  where 

Gunarsa  studied  as  a  child.     It 

is  now  a  museum,  and  on  the 

wall  of  his  former  classroom  are 

two   large    canvases   painted   by 

Gunarsa.     His  style  bridges  the 

gulf  that  separates  the  traditional 

designs  of   Kertha  Gosa's  ceiling 

and   the    evolving    aesthetics    of 

contemporary    Bali.       Like    the 

Kertha  Gosa  ceiling  Gunarsa's  canvases  depict  the  human  figure  in  a  style 

that  echoes  the  form  of  shadow  puppets.  One  of  the  paintings  portrays  two 

warriors  in  traditional  garb  as  if  they  were  figures  from  a  puppet  play.  The 

other  portrays  two  women  temple  dancers  in  ceremonial  costumes.  They 

are  also  depicted  in  a  style  linked  to  the  figures  found  on  the  Kertha  Gosa 

ceiling,  but  like  the  warriors,  the  dancers  defy  the  constraints  of  tradition. 


mengingatkan  sebagai  kesan  dari 
astra  geni  pertunjukan  wayang 
kulitnya  Nardayana.  Pada 
kenyataannya  semua  fugur-figur 
yang  terdapat  di  langit-langit 
mengingatkan  kepada  pertunjukan 
wayang.  Gaya  lukisan  Klungkung 
berdasar  pada  bentuk  dua  dimensi 
yang  kebanyakan  meminjam  dari 
wayang  kulit  tradisi.  Sensibilitas 
atau  rasa  artistiknya  Gunarsa 
dipelihara  oleh  bentuk  yang  unik 
ini  dengan  mengabstraksikannya 
dan  pengaruhnya  dapat  dilihat 
pada  gaya  pribadinya  yang  dia 
kembangkan  sebagai  ciri  pribadi 
lukisannya. 

Beberapa  ratus  meter  dari  balai 
Kerta  Gosa  adalah  bangunan 
sekolah  dimana  Gunarsa  belajar 
ketika  dia  masih  kecil.  Sekarang 
sudah  berubah  menjadi  museum, 
dan  di  dinding  bekas  ruangan 
kelasnya  terdapat  dua  lukisan 
berukuran  raksasa  yang  dilukis  oleh 
Gunarsa  sendiri.  Gaya  lukisannya 
menjembatani  jurang  pemisah 
desain  tradisional  di  langit-langit 
balai  Kerta  Gosa  dengan  estetika  Bali  kontemporer.  Seperti  halnya  dengan 
langit-langitnya  Kerta  Gosa,  Gunarsa  melukiskan  mengambil  figure  manusia 
dalam  gaya  yang  kebanyakan  dimiliki  oleh  pertunjukan  wayang.  Satu  dari 
lukisan  tersebut  menggambarkan  ksatria  berbusana  tradisional  seperti 
nampaknya  mereka  adalah  figur  dari  pertunjukan  wayang.  Lukisan  yang  lain 
menggambarkan  sepasang  wanita  penari  pura  mengenakan  kostum  upacara. 


133 


134 


They  break  out  of  the  static  patterns  of  the  old  Klungkung  style  and  seem  to 
vibrate  with  a  hyper-kinetic  energy  that  is  unmistakably  modern. 


Among  the  most  striking  elements  of  these  works  are  the  swirling  shapes 

in  the  background  areas  between   the 

human  figures.    Gunarsa  fills  the  space 

with  abstract  lines,  curves,  and  angles 

that  might  be  viewed  as  coded  musical 

notes    propelling    the    figures    through 

space.  Although  they  give  Gunarsa's  work 

a  decidedly  modern  flair,  this  element  of 

his  painting  also  has  its  roots  in  classical 

Klungkung  paintings.     The  background 

spaces    in    that    traditional    style    are 

ornamented  with  countless  tiny  floating 

ovals,  as  if  the  air  itself  had  eyes  and  the 

gods  were  watching  over  every  scene.  This 

motif  can  be  seen  in  a  painting  hanging 

in  the  former  schoolroom  near  Gunarsa's 

canvas.     It  is  a  variation  of  the  Nawa 

Sanga,  a  holy  pattern  depicting  the  nine 

sacred  directions  of  Balinese  cosmology. 

The  spaces  between  the  gods  and  demons 

are  filled  with  the  familiar  eye-shaped  ovals  whose  power  is  intensified  by 

the  floating  shapes  of  mystical  weapons  like  the  disc-shaped  cakra,  flaming 

arrows,  and  dragon-headed  whips.    Gunarsa's  kinetic  background  shapes 

suggest  abstractions  of  these  weapons  or  of  the  letters  of  the  Balinese 

alphabet  called  aksara,  some  of  which  are  also  considered  to  be  weapons  of 

protection  when  used  with  the  proper  magical  incantations. 


Mereka  juga  dihidupkan  dalam  gaya  yang  menyatu  dengan  figur  yang  terdapat 
di  langit-langit  balai  Kerta  Gosa,  akan  tetapi  seperti  halnya  lukisan  pahlawan, 
lukisan  penari  juga  menantang  batasan  dari  tradisi.  Mereka  mendobrak  pola- 
pola  gaya  Klungkung  yang  statis  dan  kelihatannya  digetarkan  oleh  energi 
kinetis  berlebihan  itu  jelasnya  adalah  moderen. 

Diantara  elemen-elemen  yang  paling  menyolok  dari  karya  ini  adalah  bentuk- 
bentuk  yang  berpusar  di  bagian  areal  latar 
belakang  diantara  figur-figur  manusia. 
Gunarsa  mengisi  kekosongan  dengan 
garis-garis  abstrak,  lekukan-lekukan  dan 
sudut-sudut  yang  kelihatannya  sebagai 
note  musik  yang  kecil  sehingga  mendorong 
figura  lebih  keluar  dalam  ruang.  Kendati 
mereka  menyebut  karya  Gunarsa  dengan 
jelas  sebagai  bakat  moderen,  elemen- 
elemen  dari  lukisannya  juga  mengakar 
dengan  gaya  tua  dari  lukisan-lukisan 
Klungkung.  Ruang  latar  belakang  dalam 
gaya  tradisi  seperti  itu  diornamentasikan 
dengan  oval  kecil  mengambang  tak 
terhitung  jumlahnya,  layaknya  bahwa 
udara  itu  memiliki  mata  para  dewa  dalam 
melihat  pada  setiap  adegan.  Motifnya 
dapat  dilihat  di  dalam  lukisan  yang 
menggantung  pada  bekas  ruang  kelasnya 
dekat  kanvasnya  Gunarsa.  Adalah  variasi  dari  nawasanga,  pola-pola  suci 
menggambarkan  sembilan  arah  suci  dari  kosmologi  Bali.  Ruang  diantara  alam 
Tuhan  dan  Raksasa  diisi  dengan  bentuk  mata  oval  sudah  dikenal  kekuatannya 
diintensifikan  dengan  bentuk  senjata  mistis  mengambang  seperti  cakranya 
Siwa,  panah  menyala  dan  cambuk  berkepala  naga.  Bentuk-bentuk  latar 
belakang  kinetiknya  Gunarsa  mengedepankan  bentuk  abstrak  dari  senjata  ini 
atau  bentuk  gaya  baroque  dari  abjad  Bali  yang  dikenal  dengan  nama  aksara 
beberapa  diantaranya  dipertimbangkan  sebagai  senjata  untuk  perlindungan 
jika  digunakan  sesuai  mantra  magis. 


135 


Although  it  is  impossible  to  label  these  shapes  with  a  precise  meaning, 
Gunarsa's  dancing  hieroglyphs  give  his  paintings  their  distinctive  style,  and 
locate  his  roots  in  the  mystical  cosmology  of  his  ancestors.  "In  the  old 
paintings,"  Gunarsa  says,  "the  shapes  in  the  spaces  between  the  figures  were 
like  the  eyes  of  the  gods  watching  everything,  symbols  of  karmapala  and 
the  justice  of  heaven."  For  Gunarsa  the  spiritual  dimensions  of  traditional 
Balinese  art  are  reminders  that  spiritual  justice  transcends  the  law  of  men. 


Walaupun  tidak  memungkinkan  untuk  menamakan  bentuk-bentuk  tersebut 
dengan  arti  sesungguhnya,  tarian  hieroglyphs  (bentuk  symbol  tulisan  romawi) 
Gunarsa  memberikan  gaya  lukisannya  yang  unik,  dan  menempatkan  akarnya 
di  dalam  cosmologi  mistis  dari  leluhurnya.  "Bentuk-bentuk  pengisi  ruang 
diantara  figur-figur  dalam  lukisan  tua  layaknya  seperti  spirit.  Semuanya 
seperti  mata-mata  para  dewa  yang  mengamati  segala  sesuatunya,  simbol  dari 
karmapala  dan  pengadilan  sorga."  Bagi  Gunarsa  dimensi  spiritual  dari  seni 
Bali  tradisional  adalah  pengingat  bahwa  peradilan  secara  spiritual  melebihi 
hukum  manusia. 


The  schoolhouse  turned  museum  is  filled  with  talismans  of  that  Balinese 
faith  in  the  ultimate  triumph  of  good  over  evil.  Across  from  Gunarsa's 
paintings  are  the  masked  figures  of  Barong  and  Rangda  whose  ongoing 
battle  represents  the  eternal  struggle  between  the  positive  and  negative 
forces  of  the  universe.  Not  far  from  them  is  a  painting  that  depicts  the  1908 
massacre  of  the  Balinese  by  Dutch  colonial  soldiers.  The  battle  occurred 
in  the  palace  courtyard  of  the  Kertha  Gosa  pavilion.  The  Balinese  King  of 
Klungkung  refused  to  surrender  to  the  Dutch,  whose  laws  of  empire  had 
decreed  that  Bali  belonged  to  them.  Instead  he  relied  on  the  sacred  laws 
of  his  island  and  the  spiritual  weapons  that  had  served  his  ancestors.  In 
the  short-term  all  the  members  of  his  court  were  slaughtered,  but  a  century 
later  evidence  of  the  king's  ultimate  victory  can  be  found  in  the  fact  that 
the  Dutch  are  gone  and  the  Balinese  "hall  of  justice"  still  stands  on  the  site 
of  the  Dutch  army's  hollow  triumph.  A  stone  statue  of  a  hunched-over 
Dutch  soldier  sits  sulking  in  a  shadowy  corner  beneath  the  painting  of  the 
'nawasanga!  The  resonance  of  all  this  history  infuses  the  objects  in  the 
musty  former  schoolroom  with  a  tranquil  aura  of  karmapala,  the  ancient 
Hindu  belief  that  justice  prevails  in  the  end. 


It  is  his  understanding  of  karmapala  that  comforts  Gunarsa  in  the  aftermath 
of  his  trial.  All  the  sacred  emblems  of  spiritual  justice  found  in  the  kertha 


Gedung  sekolah  yang  sudah  beralih  fungsi  menjadi  musium  tersebut 
dipenuhi  dengan  jimat  yang  menurut  kepercayaan  orang  Bali  pada  akhirnya 
kebenaran  pasti  menang  diatas  kejahatan.  Di  seberang  lukisan-lukisan 
Gunarsa  terdapat  figur  bertopeng  Barong  dan  Rangda  yang  berseteru 
secara  terus  menerus  melambangkan  pergolakan  internal  dalam  diri  antara 
kekuatan  positif  dengan  negatif  dari  alam  semesta.  Tidak  jauh  dari  semua 
itu  terdapat  lukisan  yang  menggambarkan  pembantaian  terhadap  orang  Bali 
oleh  tentara  kolonial  Belanda  di  tahun  1908.  Pertumpahan  darah  terjadi 
dihalaman  diantara  gedung  sekolah  dan  balai  Kerta  Gosa.  Raja  Klungkung 
menolak  untuk  menyerah  kehadapan  Belanda  yang  menurut  hukum  kerajaan 
telah  memutuskan  bahwa  Bali  termasuk  dalam  wilayahnya.  Selain  itu  beliau 
lebih  percaya  dengan  hukum  sakral  dari  pulaunya  dan  senjata  spiritual  yang 
telah  melayani  nenek  moyangnya.  Dalam  waktu  singkat  semua  keluarga 
dan  kerabat  kerajaan  dibantai,  akan  tetapi  seabad  kemudian  terbukti  raja 
akhirnya  mendapatkan  kejayaan  yang  pada  kenyataan  Belanda  telah  pergi 
dan  "balai peradilan"  orang  Bali  masih  berdiri  kokoh  dalam  area  bekas  tentara 
Belanda  memperoleh  kemenangan  palsu.  Patung  batu  tentara  Belanda  duduk 
membungkuk  di  sudut  yang  remang-remang  dibawah  lukisan  nawasanga.' 
Resonansi  dari  semua  sejarah  ini  dituangkan  ke  dalam  objek  pada  ruangan 
pengap  bekas  ruang  sekolah  dengan  aura  ^enan^  dar/ karmapala,  kepercayaan 
kuno  masyarakat  Hindu  bahwa  pada  akhirnya  keadilan  akan  menunjukkan 
dirinya. 

Adalah  pemahamannya  tentang  karmapala  yang  melegakan  Gunarsa  pada 
buntut  peradilannya.  Semua  lencana  sakral  dari  peradilan  spiritual  yang 


136 


137 


138 


gosa  and  its  adjacent  museum  can  also  be  found  in  the  art 
museum  that  Gunarsa  has  estabhshed  a  few  kilometers 
away  on  a  plot  of  land  next  to  his  home.  The  Nyoman 
Gunarsa  Museum  of  Classical  Balinese  Art  boasts  a  rare 
colleciion  of  paintings,  sculpture,  textiles,  and  shadow 
puppets  that  enable  visitors  to  view  centuries  of  Balinese 
tradition  in  the  span  of  a  few  hundred  square  meters. 
There  are  painted  cloths  that  tell  the  stories  of  gods  and 
heroes  struggling  for  justice  in  the  face  of  evil.  There  are 
figures  of  Rangda  and  Barong.  There  are  also  depictions 
of  the  mystical  weapons  of  the  nawasanga,  some  of  them 
carved  in  stone  on  the  exterior  walls  of  the  museum,  'for 
protection,'  says  Gunarsa. 


«^ 


An  important  part  of  the  museum's  collection  includes  cowhide  leather 
shadow  puppets  depicting  hundreds  of  figures  from  Hindu  mythology 
including  the  characters  from  the  Ramayana  who  were  animated  by  the 
dalang  Nardayana  in  his  performance  about  the  copyright  trial. 

Gunarsa  takes  a  few  of  them  in  his  hands  one  at  a  time,  giving  them  voices 
that  echo  the  dialogue  in  Naradayana's  puppet  play.  "The  false  Anggada 
will  never  escape,"  he  grunts  in  the  unmistakable  voice  of  Twalen,  the  comic 
narrator  of  the  wayang  plays.  "The  astra  geni  is  a  weapon  that  pursues  evil 
wherever  it  hides."  Gunarsa  laughs  with  the  deep  bellowing  tones  of  the 
puppet  clown  and  picks  up  a  shadow  puppet  incarnation  of  a  fiery  arrow 
that  might  represent  the  astra  geni.  He  waves  it  over  another  shadow 
puppet  that  embodies  a  pyramid  of  blood  red  flames.  In  the  world  of 
wayang  justice  is  inevitable.  In  the  world  of  Indonesia's  legal  system  justice 
has  eluded  Nyoman  Gunarsa.  Legal  representatives  of  the  country's  anti- 
corruption  organizations  have  analyzed  his  case  and  found  that  corruption 
of  the  judges  by  organized  crime  figures  linked  to  Sinyo  is  the  most  likely 
explanation  for  the  convoluted  decision  that  ignored  the  the  violation  of 


didapat  di  dalam  balai  kerta  gosa  dan  juga  di  dalam 
museum  yang  berdekatan  juga  didapatkan  di  dalam 
museum  seninya  Gunarsa  yang  dirikan  hanya  beberapa 
kilometer  jauhnya  dalam  pengaturan  areal  di  samping 
rumahnya.  Musium  Gunarsa  untuk  Seni  Bali  Klasik 
dengan  koleksinya  aneh  membanggakan  terdiri  dari 
lukisan-lukisan,  patung,  tekstil,  dan  wayang  kulit  yang 
memungkinkan  pengunjung  untuk  melihat  tradisi  Bali  dari 
berabad  silam  di  dalam  bentangan  ruang  beberapa  ratus 
meter  persegi.  Terdapat  lukisan  kain  yang  menceriterakan 
kisah  dari  dewa-dewa  dan  pahlawan  bergumul  untuk 
mendapatkan  keadilan  dari  hadapan  pendurhaka.  Ada 
figur  Rangda  dan  Barong.  Terdapat  juga  penggambaran 
senjata  mistis  dari  dewatandiwasangsi,  beberapa  diantaranya 
dipahatkan  di  batu  di  tembok  bagian  luar  museum,  sebagai 
perlindungan,'  katanya  Gunarsa. 


Menjadi  bagian  penting  dari  koleksinya  museum  termasuk  wayang  kulit 
dari  kulit  sapi  menggambarkan  ratusan  figur  dari  mitologi  Hindu  termasuk 
karakter  dari  Ramayana  seperti  yang  telah  dihidupkan  oleh  dalang  Nardayana 
dalam  pementasannya  tentang  pengadilan  hak  cipta. 

Gunarsa  mengambil  beberapa  diantaranya  dan  memegangnya  satu  persatu, 
memberikan  suara  padanya  menggema  dari  dialog  pertunjukannya 
Nardayana.  "Anggada  palsu  tidak  bakalan  pernah  bisa  menghindar"  dia 
mengorok  dalam  suaranya  Twalen  yang  tidak  diragukan  lagi,  tokoh  narator 
badut  yang  terdapat  dalam  pertunjukan  wayang.  "Astra  geni  adalah  senjata 
yang  mengejar  pen  j  ahatkemanapun  dia  menghindar"  Gunarsa  tertawa  dengan 
suara  rendah  untuk  wayang  penakawan  dan  mengambil  wayang  inkarnasi 
panah  berapi-api  sebagai  perwujudan  astra  geni.  Dia  mengayunkan  keatas 
wayang  lain  yang  mengambarkan  jilatan  api  seperti  darah  merah  berbentuk 
piramida.  Di  dalam  dunia  wayang  keadilan  tidaklah  bisa  diacuhkan.  Di 
dunia  dari  sistem  peradilan  resmi  di  Indonesia  Nyoman  Gunarsa  telah 
dielakkan.  Badan  perwakilan  resmi  negara  yakni  organisasi  anti  korupsi 
telah  menganalisis  keputusan  yang  diambil  di  pengadilan  Denpasar  dan 


139 


the  copyright  statutes  that  are  written  into  Indonesian  law. 


diketemukan  korupsinya  hakim  dengan  figur-figur  organisasi  kriminal  yang 
berhubungan  dengan  Sinyo  bisa  dipastikan  penjelasan  untuk  keputusan  yang 
dibengkokkan  dengan  mengabaikan  fakta  dari  kasus  dan  pelanggaran  tentang 
hak  cipta  dalam  perundang-undangan  dasar  negara  telah  termuat  dalam 
hukum  Indonesia. 


Gunarsa  is  outraged  by  this  miscarriage  of  justice,  and  wonders  how  it 
will  affect  the  rights  of  other  artists  whose  protection  under  the  law  is  so 
vulnerable.  His  legal  avenues  of  appeal  are  exhausted,  but  the  exposure  of 
the  corruption  that  led  to  the  exoneration  of  the  copyright  violators  is  still 
possible.  Gunarsa  continues  to  work  with  the  Indonesian  Anti-Corruption 
Movement  and  Bali  Corruption  Watch  whose  lawyers  have  declared  that  his 
case  "a  tragedy  of  the  law. . .  that  can  serve  as  a  valuable  lesson,  of  something 
that  should  never  be  repeated.  The  way  in  which  the  case  was  handled  was 
irregular.  The  officials  assigned  to  uphold  the  law  were  not  professional  in 
their  actions."" 


The  corruption  of  public  officials  is  so  rampant  in  Indonesian  society  that  it 
is  one  of  the  first  associations  that  the  high  priest  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 
makes  when  he  sees  a  photo  of  the  Kertha  Gosa  painting  illustrating  the 
story  of  the  heron  and  the  crab.  "He  is  dressed  like  a  priest,  but  he  is  not  a 
priest,  says  Ida  Pedanda.  He  will  be  trusted,  because  no  one  would  expect 
anything  untrustworthy  from  a  priest.  But  the  heron  betrays  that  trust. 
It  is  the  same  kind  of  corruption  that  often  happens  now  in  Indonesia. 
Common  people  believe  the  things  that  are  said  by  people  wearing  ties  and 
government  uniforms,  but  they  are  often  the  most  corrupt.  It  is  an  example 
of  ruabineda.  The  one  who  appears  to  be  representing  truth  is  telling  the 
lies,  like  someone  dressed  as  a  judge  pretending  to  be  upholding  justice,  but 
corrupting  it  instead.  This  would  be  a  false  judge,  and  it  is  not  just  the  judge 
who  is  at  fault.   The  people  who  believe  him  are  also  wrong.   Why  should 

"   Wahyu  Sasongko,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas 
Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata,  (Malang,  2009).  Page  89-90 


140 


Gunarsa  sakit  hati  oleh  kekeliruan  hukum  ini,  dan  mengkhawatirkan 
bagaimana  akan  berpengaruh  pada  hak  para  seniman  lain  yang  bernaung 
dibawah  perlindungan  hukum  yang  sangat  mudah  untuk  diserang.  Jalan  proses 
hukum  yang  demikian  lebar  untuk  menempuh  banding  sangatlah  melelahkan, 
akan  tetapi  kemungkinan  membongkar  korupsinya  yang  mengantarkan 
pada  pembebasan  dari  tuduhan  pelanggaran  hak  cipta  bagi  pelanggar  masih 
menggiurkan.  Gunarsa  berlanjut  untuk  bekerjasama  dengan  Indonesian  Anti 
Coruruption  Movement  dan  Bali  Corruption  Watch  yang  mana  pengacara- 
pengacaranya  telah  mengumumkan  bahwa  kasusnya  merupakan  "sebuah 
tragedi  dalam  hukum...  yang  dapat  menjadi  pelajaran  berharga,  dari  sesuatu 
yang  semestinya  tidak  terulang  lagi.  Cara  penanganan  kasus  ini  tidak  seperti 
biasanya.  Para  pejabat  yang  ditugasi  untuk  menegakkan  hukum  bukanlah 
orang-orang  profesional  di  dalam  tingkah  laku  mereka!'^ 

Korupsi  oleh  para  pejabat  publik  sangatlah  merajalela  di  dalam  masyarakat 
Indonesia  salah  satu  dan  yang  pertama  diasosiasikan  oleh  pendeta  Ida  Pedanda 
Ketut  Sidemen  ketika  beliau  melihat  foto  lukisan-lukisan  dari  balai  Kerta  Gosa 
dengan  ilustrasi  ceritera  burung  bangau  dan  kepiting.  "Dia  berbusana  seperti 
pendeta,  akan  tetapi  dia  bukanlah  seorang  pendeta"  kata  Ida  Pedanda.  Agar 
dia  dapat  dipercaya,  karena  tak  seorangpun  berharap  sesuatu  yang  tak  dapat 
dipercaya  dari  seorang  pendeta.  Akan  tetapi  si  burung  bangau  mengkhianati 
kepercayaan  tersebut.  Sama  halnya  dengan  model  korupsi  yang  sering  terjadi 
di  Indonesia  sekarang  ini.  Orang  kebanyakan  percaya  kepada  sesuatu  yang 
dikatakan  oleh  orang  yang  memakai  dasi  dan  berseragam  pemerintahan,  akan 
tetapi  merekalah  sesungguhnya  orang  yang  paling  sering  melakukan  korupsi. 
Itu  adalah  contoh  dari  ruabineda.  Seseorang  yang  tampil  sebagai  perwujudan 
kebenaranlah  yang  justru  berkata  bohong,  seperti  halnya  seseorang  yang 

"    Wahyu  Sasongko,  in  "Nyoman  Gunarsa:  Jalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta  dan  Eksaminasi  atas  Putusan  Bebas 
Terdakwa  Ir.  Hendra  Dinata.  (Malang,  2009).  Page  89-90 


#«^^«4^'  y*sr  ^^^'^^^  ^  *y**^^'^\  /^tjix 


h'  ■4^~ 


141 


142 


we  believe  anything  that  is  said  before  we  know  for  sure  that  it  is  true.  We 
have  to  think  first  about  what  is  true  and  what  is  false.  That  is  what  the 
story  sings." 


The  priest's  choice  of  verbs  is  revealing.  When  he  looks  at  the  story  of  the 
heron  as  it  is  painted  on  the  ceiling  of  Kertha  Gosa,  he  does  not  just  see  a 
visual  metaphor  for  justice  denied,  he  hears  the  story  as  if  someone  were 
singing  it  to  him  from  one  of  his  fading  lontar  manuscripts.  For  him  the 
painting  pulsates  with  teachings  of  sacred  books  and  the  voices  of  those 
who  sing  from  them.  The  tension  between  falsehood  and  truth  is  both  the 
source  and  subject  of  the  heavenly  music  that  enlightens  those  who  listen. 


The  artist  Gunarsa,  like  the  priest,  is  also  sensitive  to  the  music  in  the 
paintings  of  Kertha  Gosa.  For  him  it  is  a  music  connected  to  history  and 
nature,  as  well  as  religion.  The  ceiling  is  alive  with  images  that  remind  him 
of  his  childhood  when  he  was  first  inspired  to  become  an  artist,  and  in  those 
images  he  hears  the  sound  of  the  pindekan,  the  spinning  noisemaker  that 
farmers  set  up  in  the  rice  fields  to  scare  birds  away  from  their  crop.  "The 
pindekan  is  shaped  like  a  wheel,"  Gunarsa  explains,  drawing  a  quick  sketch 
of  a  windmill  above  a  hut  in  a  ricefield.  "It  is  propelled  by  the  wind  and  it 
moves  through  all  the  sacred  directions.  The  sound  it  makes  is  the  sound 
of  ruabineda,  the  sound  of  opposition.  The  wind  blows  through  it  from  the 
east  to  the  west,  or  the  west  to  the  east,  and  the  propeller  spins  through  all 
the  directions  of  the  nawa  sanga.  Like  electricity,  its  energy  is  created  by 
the  movement  from  one  extreme  to  the  other,  from  positive  to  negative.  It 
is  the  shape  of  the  tampak  dara,  and  as  it  spins  it  makes  a  sound  that  comes 
from  that  spinning  between  opposites,  as  if  it  is  singing  a  song  of  the  wind 
telling  us  that  change  is  eternal." 


berbusana  sebagai  hakim  berpura-pura  sebagai  pemegang  penegakan 
keadilan,  justru  sebaliknya  melakukan  korupsi.  Orang  seperti  ini  adalah  hakim 
palsu,  dan  itu  adalah  tidak  saja  hakim  yang  salah.  Orang  yang  percaya  dengan 
dia  juga  salah.  Kenapa  kita  harus  percaya  pada  sesuatu  yang  dikatakan  sebelum 
kita  mengatahui  dengan  yakin.  Kita  harus  berfikir  dahulu  apa  itu  yang  benar 
dan  apa  itu  yang  salah.  Seperti  itulah  dinyanyikan  dalam  ceritera." 

Pilihan  kata  kerja  Ida  Pedanda  adalah  membuka  jalan  pikiran.  Ketika  beliau 
melihat  pada  kisahnya  burung  bangau  seperti  yang  dilukiskan  pada  langit- 
langit  balai  Kerta  Gosa,  beliau  tidak  hanya  melihat  kiasan  nyata  untuk  keadilan 
diingkari,  beliau  juga  mendengar  ceritera  manakala  seseorang  menyanyikan 
untuk  beliau  dari  manuskrip  lontar  kusam  miliknya.  Bagi  beliau  getaran 
lukisan  dengan  ajaran  dari  buku  suci  dan  suara-suara  semuanyalah  yang 
bernyanyi  darinya.  Ketegangan  diantara  kesalahan  dan  kebenaran  keduanya 
adalah  sumber  dan  subjek  dari  musik  sorga  yang  dapat  memberi  pencerahan 
bagi  mereka  yang  mendengarkannya. 

Pelukis  Gunarsa,  seperti  halnya  pendeta,  adalah  juga  sensitif  kepada  rasa 
musikal  di  dalam  lukisan  Kerta  Gosa.  Baginya  itu  adalah  sebuah  musik 
berhubungan  dengan  sejarah  dan  alam  termasuk  juga  agama.  Langit-langit 
tersebut  hidup  dengan  kesan  yang  dapat  mengingatkannya  pada  masa 
kanak-kanaknya  ketika  dia  untuk  pertama  kalinya  diinspirasikan  untuk 
menjadi  seorang  pelukis,  dan  dalam  kesan  tersebut  dia  mendengar  suara  dari 
pindekan,  suara  yang  dilahirkan  oleh  putaran  baling-baling  yang  dipasang 
oleh  petani  di  sawahnya  untuk  menakut-nakuti  burung  agar  menjauh  dari 
hasil  panennya.  "Bentuk  dari  pindekan  tak  ubahnya  seperti  roda"  Gunarsa 
menerangkan,  dengan  cepat  dia  membuat  sketsa  kasar  baling-baling  di  atas 
gubuk  di  tengah  sawah.  "Ini  didorong  oleh  angin  dan  bergerak  dengan 
sendirinya  ke  semua  arah  yang  suci.  Suara  yang  dikeluarkan  adalah  suara 
dari  ruabineda,  suara  dari  pertentangan.  Angin  menghembus  dari  timur  ke 
barat,  atau  dari  barat  ke  timur,  dan  baling-baling  berputar  ke  semua  arah 
dari  nawasanga.  Seperti  halnya  listrik,  energinya  diciptakan  oleh  gerakan 
dari  positif  ke  negatif.  Itu  adalah  bentuk  dari  tampak  dara  dan  demikian 
dia  berputar  itu  membuat  suara  yang  datang  dari  perputaran  antara 
perseberangan,  seperti  halnya  menyanyikan  lagu  dari  angin  yang  memberitahu 


143 


kita  bahwa  perubahan  itulah  yang  abadi." 


;Gunarsas  drawing  of  the  pindekan  crackles  with  a  sense  of  movement 
that  makes  the  wind  visible,  and  he  voices  the  sound  of  the  pindekan  as  he 
sketches  its  spinning  form.  He  cannot  separate  the  music  of  the  natural 
world  from  its  visual  representation  and  its  spiritual  connection  to  Balinese 
beliefs.  "When  I  was  a  child  I  worked  with  my  father  in  the  rice  fields  and 
was  inspired  by  the  movement  of  nature.  The  clouds  were  always  moving, 
changing  shapes.  And  the  movement  of  the  clouds  was  always  accompanied 
by  the  singing  of  the  wind,  and  sometimes  by  the 
pindekan,  which  also  kept  spinning  and  changing, 
but  its  essential  shape  was  the  shape  of  the  tampak 
dara  that  could  be  found  also  in  the  leaves  of 
the  palm  trees.  The  tampak  dara  signifies  the 
virtue  that  exists  between  the  extremes  of  high 
and  low,  left  and  right.  This  is  ruabineda.  The 
wheel  of  life  is  always  spinning  us  back  and  forth 
between  good  and  evil,  between  black  and  white, 
according  to  the  fruits  of  our  actions." 


The  shape  of  the  sacred  tampak  dara  is  made  by  two  lines  of  equal  length 
that  intersect  each  other  at  their  midpoint  creating  four  right  angles.  The 
vertical  line  represents  the  axis  from  heaven  to  earth  and  the  horizontal  line 
represents  the  link  between  humanity  and  the  natural  environment  that 
sustains  it.  When  shorter  lines  are  added  to  each  of  its  ends,  at  a  ninety- 
degree  angle,  the  shape  becomes  the  Hindu  Swastika,  a  symbol  of  eternal 
movement  and  stability  that  long  predates  its  appropriation  by  the  Nazis. 
Some  Balinese  believe  that  the  tilting  of  the  symbol  off  its  north-south 
axis  was  a  destabilizing  act  of  sacrilege  that  made  the  demise  of  the  Nazis 
inevitable. 


Lukisan  Gunarsa  tentang  pindekan  pecahan  dengan  rasa  bergerak  yang 
membuat  angin  itu  nyata,  dan  dia  bunyikan  suara  dari  pindekan  sambil  dia 
mensketsa  bentuknya  yang  berputar.  Dia  tidak  dapat  memisahkan  musik 
dari  alam  dari  persembahan  visualnya  dan  hubungan  spiritualnya  dengan 
agama  orang  Bali.  "Ketika  saya  masih  kecil  saya  bekerja  dengan  ayah  saya  di 
sawah  dan  diilhami  oleh  gerakan  alam.  Awan  selalu  bergerak,  berubah-ubah 
bentuk,  merubah  dirinya  kedalam  bentuk  para  ksaria  dari  Mahabharata 

dan  Ramayana  atau  binatang  naga.  Perubahan 
dari  bentuk-bentuk  awan  tersebut  selalu  disertai 
oleh  nyanyian  angin,  dan  terkadang  oleh  suara 
pindekan,  yang  selalu  berputar  dan  berubah, 
akan  tetapi  bentuk  pokoknya  adalah  berbentuk 
tampak  dara  yang  juga  bisa  didapat  di  dalam 
daun  tanaman  jenis  pohon  palem.  Tampak  dara 
menandakan  kebaikan  yang  berada  diantara 
pertentangan  diantara  tinggi  dengan  rendah,  kiri 
dengan  kanan.  Inilah  ruabineda.  Roda  kehidupan 
kita  selalu  berputar  bolak  balik  diantara  baik 
dengan  jahat,  diantara  hitam  dengan  putih,  sesuai 
dengan  buah  dari  tindakan  kita" 

Bentuk  dari  tampak  dara  yang  sakral  tersebut  dibentuk  oleh  dua  garis  sama 
panjang  menyilang  satu  sama  lain,  pada  titik  pertengahan  membuat  empat 
sudut  yang  sama.  Garis  vertikalnya  mengkiaskan  keberadaan  dari  sorga  ke 
bumi,  dan  garis  horisontalnya  melambangkan  hubungan  sesama  manusia 
dan  alam  lingkungannya  yang  menopangnya.  Bila  garis  lebih  pendek  bersudut 
sembilan  puluh  derajat  ditambahkan  kekanan  pada  setiap  ujung  dari  masing- 
masing  garis,  bentuk  ini  akan  menjadi  swastika  Hindu,  sebuah  simbol  dari 
gerakan  abadi  dan  keseimbangan  yang  jauh  lebih  tua  dari  hal  yang  sama 
diberikan  untuk  Nazis.  Beberapa  orang  Bali  percaya  bahwa  kemiringan  dari 
simbol  keluar  dari  keberadaan  utara  selatan  adalah  yang  membuat  tindakan 
ketidakstabilan  melanggar  terhadap  hal-hal  yang  diangap  keramat  yang 
membuat  kehancuran  dari  Nazis  tak  dapat  dielakkan. 


144 


The  pentatonic  sounds  of  the  Bahnese  musical  scale  are  arranged  in  a  pattern 
that  fits  that  image  of  the  tampak  dara,  with  each  note  corresponding  to 
points  found  at  the  north,  south,  east,  west,  and  center  of  the  symbol. 
Adding  the  points  of  northeast,  southwest,  northwest,  and  southeast  creates 
the  nine-directional  symbol  of  the  nawa  sanga  whose  points  correspond  to 
the  dwelling  places  of  nine  gods,  along  with  the  sacred  weapons  (senjata) 
and  monosyllabic  mantras  (aksara)  that  are  associated  with  each  of  them. 
The  clockwise  movement  around  each  of  these  points  is  a  circular  rotation 
known  as  pengider  bhuana  and  it  is  associated  with  the  circle  of  life  as  the 
universe  turns  in  eternal  motion. 


This  sacred  geometry  is  the  foundation  for  the  composition  of  many 
traditional  Balinese  paintings,  including  the  ceiling  of  Kertha  Gosa.  Though 
less  evident,  the  same  sacred  geometry  is  submerged  in  the  structure  of 
all  Gunarsa's  artwork,  and  it  is  particularly  forceful  in  the  way  it  animates 
the  abstract  shapes  in  the  spaces  between  and  around  his  central  subjects. 
A  modern  counterpart  to  the  mystical  shapes  that  filled  the  spaces  in 
traditional  paintings  like  the  ones  at  Kertha  Gosa,  Gunarsa's  abstractions 
surround  his  figures  with  a  dynamic  sense  of  kinetic  energy  that  is  almost 
audible.  TTiey  imbue  his  work  with  a  sense  of  spiritual  mystery  that  is  rooted 
in  the  symbols  of  the  tampak  dara,  nawa  sanga,  senjata,  and  aksara,  even 
though  these  symbols  are  never  overtly  present.  Balinese  cosmology  has 
been  assimilated  into  the  movement  of  Gunarsa's  muscles  when  he  puts  a 
pen  to  paper  or  a  brush  to  canvas,  and  that  movement  seems  always  to  be 
propelled  by  the  sounds  that  are  integral  to  Balinese  life:  gamelan  orchestras, 
chants  of  prayer,  and  the  wind  blowing  through  a  pindekan  in  a  rice  field. 


When  Gunarsa  sees  his  paintings,  he  hears  the  sounds  that  inspired  them. 
Like  the  priest  who  hears  the  singing  of  sacred  stories  in  the  illustrations 
that  adorn  Kertha  Gosa's  ceiling,  Gunarsa  cannot  help  but  hear  the  music 
that  is  embedded  in  the  visual  composition  of  his  canvases.  Pointing  to  a 
painting  of  the  Calonarang  dance  drama,  Gunarsa  sings  the  incantations  of 


Pengaturan  pola  sistem  nada  pentatonik  (lima  nada)  untuk  laras  karawitan 
Bali  sesuai  dengan  kesan  dari  tampak  dara,  yang  mana  setiap  nada  bersenyawa 
dengan  menunjuk  terdapat  di  utara,  selatan,  timur,  barat  dan  ditengah  dari 
simbol.  Dengan  menambahkan  pada  titik-titik  di  timur  laut,  barat  daya,  barat 
laut  dan  tenggara  akan  membuat  sembilan  arah  mata  angin  sebagai  simbol 
nawa  sungSLyang  titik-titiknya  berhubungan  dengan  stana  dari  sembilan  para 
dewa  dengan  senjata  sucinya  dan  aksara  bersuku  kata  satu  yang  memiliki 
keterkaitan  satu  sama  lainnya.  Gerakannya  yang  searah  dengan  putaran 
jarum  jam  seputar  masing-masing  dari  titik  ini  berputar  melingkar  dikenal 
dengan  sebutan  pengider  bhuana  diasosiasikan  dengan  siklus  kehidupan 
seperti  halnya  alam  semesta  bergerak  berputar  abadi. 

Geometri  sakral  seperti  ini  menjadi  dasar  untuk  komposisi  kebanyakan 
lukisan  Bali  radisional,  termasuk  lukisan  di  langit-langit  balai  Kerta  Gosa. 
Meskipun  sedikit  kurang  jelas,  geometri  sakral  keberadaannya  menyelam  di 
dalam  struktur  karya  seninya  Gunarsa,  dan  terutama  sekali  itu  sangat  kuat 
dalam  menghidupkan  bentuk-bentuk  abstrak  di  dalam  ruang  diantara  dan 
diseputar  subjek-subjek  utamanya.  Pendamping  moderen  kepada  bentuk- 
bentuk  mistis  seperti  yang  terdapat  di  Kerta  Gosa,  pengabtraksian  Gunarsa 
diseputar  figur-figurnya  dengan  rasa  tenaga  gerak  yang  hampir  dapat 
didengar.  Semuanya  itu  mengilhami  kerjanya  dengan  rasa  misteri  spiritual 
yang  mengakar  pada  simbol-simbol  dari  tampak  dara,  nawa  sanga,  sejata 
dan  aksara,  kendatipun  simbul-simbul  ini  tak  pernah  secara  terbuka  hadir 
kepermukaan.  Kehadiran  dari  kosmologi  Bali  telah  diasimilasikan  ke  dalam 
gerak  ototnya  Gunarsa  manakala  dia  menggoreskan  penanya  di  kertas 
atau  pada  sapuan  kuasnya  di  kanvas,dan  gerakan  tersebut  nampaknya 
selalu  didorong  oleh  suara  yang  menyatu  ke  dalam  pemandangan  jagad 
Bali,  gamelan,  mantram  lantunan  doa-doa,  dan  angin  yang  menghembus 
pindekan  di  tengah  sawah. 

Ketika  Gunarsa  melihat  lukisannya,  dia  mendengar  suara-suara  yang 
mengilhaminya.  Seperti  halnya  pendeta  yang  mendengar  nyanyian  dari 
ceritera  sakral  di  dalam  ilustrasi  yang  menghiasi  langit-langit  Kerta  Gosa, 
Gunarsa  tidak  dapat  membantu  akan  tetapi  mendengar  bahwa  musik  tersebut 
terpendam  dalam  komposisi  visual  dari  kanvas-kanvasnya.  Menunjuk  pada 


145 


146 


the  sisya,  apprentice  sorcerers  whose  magic  spreads  plague  in  each  direction 
of  the  nawa  sanga.  Later  he  stops  in  front  of  a  painting  of  a  priest  blessing 
an  offering  with  the  sprinkling  of  holy  water  and  the  whisper  of  a  sacred 
mantra.  Gunarsa  imitates  the  delicate  tinkling  of  the  priest's  bell,  noting 
that  its  sound  is  generated  by  the  clapper's  movement  from  east  to  west 
or  north  to  south  as  it  hits  against  the  dome  of  the  bell  at  each  of  those 
points. 


In  Gunarsa's  paintings  the  sacred  sounds,  holy  dances,  and  mystical  beliefs 
of  Bali's  heritage  crash  and  clang  together  against  the  dynamic  energy  of 
Bali's  struggle  to  maintain  its  cultural  identity  in  the  modern  world.  This 
dynamic  merging  of  the  senses  is  at  the  heart  of  Gunarsa's  style,  and  it  could 
not  be  duplicated  by  the  listless  forgeries  that  were  on  display  at  the  copyright 
trial  in  Denpasar.  Expert  witnesses  maintained  that  the  copies  lacked  the 
soul  of  Gunarsa's  signature  style,  and  the  judges  agreed  with  them.  Even  in 
their  decision  to  deny  Gunarsa  his  rights  under  Indonesian  copyright  law, 
the  judges  admitted  that  the  copies  did  not  meet  his  standards  of  artistic 
creation.  What  the  judges  failed  to  do  was  to  listen  to  the  music  of  the 
paintings  on  display  in  their  courtroom.  They  could  not  hear  the  sound  of 
Balinese  history,  religion,  and  culture  singing  in  Gunarsa's  canvases,  and 
they  were  tone  deaf  to  the  destruction  their  decision  would  initiate. 


The  artistic  heritage  of  Bali,  Indonesia  or  any  other  culture 
cannot  endure  if  its  ransacking  is  legitimized  by  the 
authorities  designed  to  protect  it.  If  left  unchallenged  the 
decision  of  the  judges  would  undermine  all  copyright  laws 
in  Indonesia,  essentially  permitting  anyone  to  make  bad 
copies  of  any  work  of  art  (visual,  literary,  or  musical)  and 
profit  from  their  sale  by  arguing  that  the  copy  is  not  really 
the  same  as  the  original,  so  the  original  artists  have  no  legal 
right  to  stop  them.    This  violates  not  only  the  economic 


lukisan  dramatari  Calonarang,  Gunarsa  menyanyikan  mantra-mantra  dari 
sisya,  murid  dari  seorang  tukang  sihir  yang  kekuatan  magiknya  menebar 
wabah  ke  seluruh  penjuru  dari  nawasanga.  Kemudian  dia  berhenti  dihadapan 
lukisan  seorang  pendeta  mendoakan  sesajen  dengan  memerciki  air  suci  dan 
membisikkan  mantra  sakral.  Gunarsa  menirukan  enaknya  denting  suara 
genta  pendeta  memberikan  catatan  suara  tersebut  dihasilkan  oleh  ayunan 
anak  genta  dengan  gerakan  dari  timur  ke  barat  dan  dari  utara  ke  selatan 
memukuli  setiap  titik  pada  lengkungan  tepian  dari  genta  tersebut. 

Di  dalam  lukisan  Gunarsa  suara  suci,  tarian  suci,  dan  kepercayaan  mistis 
warisan  orang  Bali  berbenturan  dan  berdentingan  bersama  melawan  energi 
dinamika  kontemporer  bergumul  untuk  tetap  hidup.  Dinamika  seperti  ini 
bersatu  dalam  rasa  menjadi  pusat  denyut  gayanya  Gunarsa,  dan  semestinya 
tidak  digandakan  ke  dalam  pemalsuan  yang  tak  bergairah  seperti  telah 
dipamerkan  pada  peradilan  hak  cipta  di  Denpasar.  Para  ahli  menjadi  saksi 
menegakkan  bahwa  duplikat  kekurangan  dari  jiwa  gaya  tanda  tangannya 
Gunarsa,  dan  hakim  setuju  dengan  mereka.  Bahkan  dalam  keputusan  mereka 
menyangkal  haknya  Gunarsa  dibawah  perlindungan  hukum  hak  cipta 
Indonesia,  para  hakim  mengakui  bahwa  duplikatnya  tidaklah  memenuhi 
ukuran  untuk  standar  artistik  kreasinya.  Apa  yang  menjadi  kesalahan  para 
hakim  yang  tidak  dilakukan  adalah  mendengarkan  rasa  musical  dari  lukisan- 
lukisannya  yang  dipajang  di  dalam  ruangan  pengadilan  mereka.  Mereka  tidak 
dapat  mendengar  suara  dari  sejarahnya  orang  Bali,  agama,  dan  budayanya 
yang  bernyanyi  dalam  kanvas-kanvasnya  Gunarsa,  dan  mereka  telah  tuli 
nada  dalam  menghancurkan  keputusan  awal  mereka. 

Bagaimana  dengan  warisan  artistiknya  Bali,  Indonesia  atau 
sejumlah  budaya  yang  lain  dalam  mempertahankannya  jika 
perampoknya  disyahkan  oleh  pemegang  kekuasaan  yang 
dibentuk  sesungguhnya  untuk  melindungi.  Keputusan  para 
hakim  akan  merusak  semua  hukum  hak  cipta  di  Indonesia, 
pada  intinya  memberi  ijin  kepada  setiap  orang  untuk 
membuat  duplikat  jelek  dari  berbagai  hasil  karya  seni  (visual, 
leteratur,  musikal)  dan  mendapat  keuntungan  dari  hasil 
penjualan  mereka  dengan  argumentasi  bahwa  duplikatnya 


147 


rights,  but  also  the  moral  rights  of  every  artist  under  international  copyright 
law,  because  the  original  artists  get  no  share  of  the  sale  of  the  copies  and 
no  compensation  for  the  fact  that  their  reputation  and  future  earnings  are 
diminished  by  the  dissemination  of  inferior  work  under  their  names.  By 
this  twisted  logic  anyone  could  go  into  a  bank,  sign  someone  else's  name 
to  a  check,  take  money  out  of  that  person's  account,  and  avoid  punishment 
because  the  forged  check  was  not  authentic  and  so  did  not  belong  to  the 
owner  of  the  account. 


tidaklah  sama  dengan  aslinya  jadi  dengan  demikian  itu  adalah  menjadi 
miliknya  dan  seniman  aslinya  tidak  mempunyai  hak  untuk  menghentikan 
mereka.  Pelanggaran  seperti  ini  tidak  saja  pada  hak  ekonomi,  akan  tetapi  juga 
menyangkut  hak  moral  setiap  seniman  dibawah  perlindungan  hukum  hak 
cipta  internasional,  oleh  karena  seniman  aslinya  tidak  memperoleh  bagian 
dari  hasil  penjualan  duplikasinya  dan  tidak  ada  konpensasi  untuk  kenyataan 
bahwa  reputasi  mereka  dan  pendapatan  dimasa  datang  menjadi  berkurang 
dengan  penyebarluasan  hasil  karya  yang  murahan  mutunya  mengatas 
namakan  dirinya.  Dengan  pembengkokan  logika  seperti  ini  setiap  orang  bisa 
pergi  ke  bank  menanda  tangani  pada  nama  orang  lain  ke  pada  sebuah  cek 
yang  sesungguhnya  bohong  dan  tidak  kepunyaan  dari  pemilik  tabungan. 


If  the  judge's  reasoning  is  allowed  to  stand  as  precedent  for 
future  judgments,  no  international  company  would  agree  to 
do  business  in  Indonesia.  The  ruling  would  allow  anyone  to 
sell  counterfeit  products  (Coca  Cola,  Gucci,  or  Sonny,  for 
example)  as  long  as  they  could  prove  that  the  items  with  the 
famous  labels  were  not  authentic,  and  consequently  were 
not  the  property  of  the  brand  name  owners.  The  decision 
of  the  judges  makes  a  mockery  of  international  copyright 
law  and  announces  to  the  world  that  Indonesia  is  officially 
declaring  itself  to  be  a  nation  where  piracy  is  legal. 


If  the  judges  in  Denpasar  and  Jakarta,  however,  had  listened  more  deeply 
to  the  music  that  is  embedded  in  Gunarsa's  artwork,  they  would  have  heard 
the  sound  of  karmapala,  the  principle  of  spiritual  justice  that  is  at  the  core 
of  Balinese  culture,  and  illustrated  so  vividly  on  the  ceiling  of  Kertha  Gosa. 
If  they  had  been  more  attentive  to  the  rhythms  of  Balinese  history  and 
culture,  they  would  have  been  reminded  of  the  fate  in  the  after-life  that 
awaits  those  who  distort  the  truth. 


Jika  pertimbangan  para  hakim  mengijinkan  berpegang 
sebagai  sesuatu  yang  dapat  dijadikan  teladan  untuk 
pengadilan  di  masa  datang,  tidak  ada  perusahan 
internasional  setuju  melakukan  bisnis  di  Indonesia. 
Penguasa  akan  mengijinkan  kepada  setiap  orang  untuk 
menjual  produksi  palsu  (seperti  Coca  Cola,  Gucci,  atau 
Sony)  sepanjang  mereka  bisa  membuktikan  bahwa  item 
berlebel  terkenal  adalah  tidak  asli,  konsekwensinya  bukanlah 
merupakan  kepunyaan  si  pemilik  nama  cap  si  produser. 
Keputusan  para  hakim  membuat  olok-olokan  pada  hukum 
hak  cipta  internasional  dan  memberitahukan  dunia  bahwa  Indonesia  adalah 
secara  resmi  mengumumkan  dirinya  sebagai  bangsa  dimana  perampasan 
adalah  sah  menurut  undang-undang. 

Kalau  saja  para  hakim  di  Denpasar  dan  Jakarta,  barangkali,  mau 
mendengarkan  lebih  dalam  kepada  rasa  musikal  yang  tertanam  pada  karya 
seninya  Gunarsa,  mereka  akan  mendengar  suara  dari  karmapala,  prinsip 
dari  pengadilan  spiritual  yang  menjadi  inti  dari  kebudayaan  orang  Bali, 
diilustrasikan  dengan  gamblang  di  langit-langit  Kerta  Gosa.  Jika  saja  mereka 
lebih  menaruh  perhatian  kepada  ritme  dari  sejarah  dan  budaya  orang  Bali, 
mereka  semestinya  sudah  diingatkan  akan  nasib  di  dunia  sana  yang  tengah 
menunggu  mereka  yang  merusak  kebenaran. 


148 


Nyoman  Gunarsa  is  not  content  to  wait  for  the  afterlife  to  find  justice.  He 
wants  to  see  the  judges  answer  to  the  laws  ofkarmapala  as  soon  as  possible, 
and  he  responds  to  the  injustice  of  their  decision  with  the  strongest  weapon 
at  his  disposal,  art.  The  wayang  play  of  Nardayana  laid  out  the  facts  of  the 
case  ir  a  clear  manner  and  was  prophetic  in  its  observations  about  the 
corrupt  manipulation  of  the  law  in  Indonesia.  Many  of  the  paintings  done 
by  Gunarsa  during  and  after  the  trial  also  reflect  his  longing  for  justice. 
The  sketches  he  scribbles  casually  over  lunch  in  his  studio  are  often  visual 
metaphors  of  justice  deferred.  One  of  them  re-imagines  the  story  on  the 
ceiling  of  the  Kertha  Gosa  by  caricaturing  the  judge  as  a  heron  in  a  judicial 
hat  and  robe  being  pinched  by  a  crab  with  a  paintbrush.  He  laughs  as  he 
draws,  echoing  the  musical  guffaws  of  the  shadow  puppet  clown  Twalen. 
This,  in  turn  inspires  him  to  enact  a  miniature  wayang  play  with  scraps 
of  fruit  as  his  puppets.  "This  is  the  heron  who  impersonated  a  priest,  he 
chortles  holding  up  a  box  of  dates.  Then  he  picks  up  a  discarded  banana 
peel  and  dangles  it  over  the  dates,  "And  this  is  the  crab  that  won't  rest  until 
he  finds  the  truth." 


Nyoman  Gunarsa  tidaklah  mengisi  untuk  menunggu  mendapatkan 
keadilan  setelah  kehidupan  ini  berakhir.  Dia  menginginkan  untuk  melihat 
hakim  menjawab  terhadap  hukum  karmapala  sesegera  mungkin,  dan  dia 
merespon  ketidak  adilan  dari  hasil  keputusan  mereka  dengan  senjata 
yang  paling  kuat  pada  penyelesaian,  yakni  seni.  Pertunjukan  wayangnya 
Nardayana  membentang  luas  kenyataan  dari  persoalan  dengan  sikap  yang 
jelas  dan  sebagai  hal  besifat  ramalan  dalam  observasinya  tentang  korupsi 
manipulasi  terhadap  hukum  di  Indonesia.  Banyak  lukisan  karyanya 
Gunarsa  selama  dan  setelah  persidangan  pengadilan  juga  merefleksikan 
dambaannya  akan  keadilan.  Sketsa-sketsa  yang  dia  ceriterakan  dengan 
bersahaja  setelah  makan  siang  di  studionya  adalah  sering  sebagai 
visualisasi  metapora  dari  sebuah  keadilan  yang  tertunda.  Salah  satu 
diantaranya  mengingatkan  akan  cerita  di  langit-langit  Kerta  Gosa  dengan 
penggambaran  hakim  dalam  karikatur  sebagai  seekor  burung  bangau  dengan 
topi  yang  biasa  dikenakan  pada  proses  peradilan  dan  toga  yang  tengah 
dijepit  oleh  si  kepiting  dengan  kuas  lukisannya.  Dia  tertawa  manakala  dia 
mengambarkannya,  dengan  menggemakan  musikal  terbahak-bahaknya  tokoh 
Twalen  panakawan  wayang  kulit.  Ini  berbalik  memberi  inspirasi  pada  dirinya 
untuk  menetapkan  sebuah  miniature  pertunjukan  wayang  dengan  sisa  buah 
sebagai  wayangnya.  "Ini  adalah  burung  bangau  yang  merubah  dirinya 
menjadi  seorang  pendeta,  dia  tertawa  terbahak-bahak  dengan  mengangkat 
sebuah  kotak  biji.  Kemudian  dia  mengangkat  kelupasan  kulit  pisang  dan 
mengayunkannya  di  atas  kotak  biji,  "Dan  inilah  si  kepiting  yang  tak  mau 
beristirahat  sebelum  dia  mendapatkan  keadilan" 


Eventually  Gunarsa  creates  his  own  new  variation  of  the  story  about  the 
heron  and  the  crab.  It  unfolds  in  a  visual  narrative  of  five  watercolors.  The 
thoughts  and  words  of  the  heron,  crab,  and  fish  are  handwritten  above  them 
as  they  would  be  in  a  cartoon,  but  the  structure  of  his  five-part  creation 
also  mirrors  the  format  of  a  lontar  manuscript  in  which  words  and  images 
are  combined  to  tell  a  story  with  a  moral  message.  The  action  of  Gunarsas 
re-imagining  of  the  story  moves  inevitably  to  the  climax  of  karmapala  in 
which  the  heron's  neck  is  sliced  apart  by  the  crab's  claws. 


Pada  akhirnya  Gunarsa  menciptakan  kreasi  barunya  sendiri  merupakan 
variasi  dari  ceritera  burung  bangau  dan  kepiting.  Itu  membentang  kedalam 
sebuah  visual  naratif  dari  lima  lukisan  cat  air.  Pikiran  dan  perkataan  dari 
burung  bangau,  kepiting,  dan  ikan  diterakan  dalam  tulisan  tangan  di  atas 
mereka  sepertinya  mereka  seakan  dalam  kartun,  akan  tetapi  struktur  dari 
kelima  bagian  kreasinya  juga  mencerminkan  format  dari  lontar  manuskrip 
yang  mana  kata-katanya  dan  kesan  khayalan  merupakan  penggabungan 
untuk  memaparkan  sebuah  ceritera  dengan  pesan-pesan  moral.  Aksinya 
Gunarsa  dalam  mengimajinasikan  kembali  ceritera  tersebut  tak  bisa  diacuhkan 
bergerak  menuju  klimak  karmapala  yang  mana  leher  si  burung  bangau 


149 


dipotong  dengan  cangkang  kakinya  si  kepiting. 


The  first  image  presents  the  beauty  of  the  natural  world  in  pastel  shades  of 
yellow  and  blue.  The  four  elements  of  creation  are  palpable:  earth,  air,  water, 
and  fire.  The  surface  of  the  lake  is  rippling  and  drops  of  water  splash  around 
the  fish  as  they  leap  up  to  ask  the  priestly- clad  heron  to  help  save  them 
from  the  drought  that  is  drying  out  their  home.  The  heron  is  perched  above 
them  on  the  shore,  with  shoots  of  grass  growing  from  the  mound  of  earth 
he  stands  on.  Clouds  drift  overhead  propelled  by  a  gentle  wind  suggested 
by  the  swirling  curves  of  the  brush-strokes  that  depict  a  pale-blue  sky  in 
the  background.  The  sun  radiates  fiery  rays  of  heat  that  reach  the  fish  and 
heron  in  faint  dabs  of  yellow  paint.  The  sun  is  in  the  northeast  quadrant 
of  the  paper,  consistent  with  the  vision  of  Balinese  cosmology  found  in  the 
nawasanga,  and  it  is  personified  with  a  smiling  face  that  suggests  the  eyes  of 
heaven  are  watching  everything  that  will  ensue.  Ironically  the  sun's  features 
bear  a  slight  resemblance  to  Gunarsa's  own  visage. 


Kesan  pertama  hadir  adalah  keindahan  dunia  alami  di  dalam  bayangan 
dari  pastel  kuning  dan  biru.  Empat  elemen  kreasi  dengan  gamblang  muncul 
adalah:  tanah,  angin,  air,  dan  api.  Permukaan  dari  danau  berdesir  dan  tetesan 
air  nyemplung  diseputar  ikan  manakala  dia  melompat  ke  atas  memohon 
kehadapan  burung  bangau  yang  berlagak  seperti  pendeta  untuk  dimohonkan 
bantuannya  menyelamat  mereka  dari  kekeringan  yang  membuat  kematian 
dirumah  mereka.  Burung  bangau  bertengger  di  tepian  di  atas  mereka,  dengan 
tunas-tunas  rumput  tumbuh  dari  gundukan  tanah  di  tempat  dia  berdiri. 
Awan  mengapung  di  atas  kepala  didorong  oleh  angin  lembut  dilukiskan 
dengan  pusaran  lingkaran  dari  kibasan  kuas  yang  mengambarkan  langit 
biru  muda  sebagai  latar  belakang.  Radiasi  surya  dalam  pancaran  panasnya 
sinar  yang  menyentuh  ikan  dan  burung  bangau  dalam  olesan  redup  dari 
cat  kuning.  Matahari  berada  di  timur  laut  kwadrant  dari  kertas,  konsisten 
dengan  pandangan  kosmologi  orang  Bali  yang  terdapat  dalam  nawasanga, 
dan  itu  dipersonifikasikan  dengan  muka  tersenyum  yang  mengusulkan  mata- 
mata  dari  sorga  sedang  mengamati  segala  sesuatunya  yang  akan  terjadi. 
Ironisnya  airmukanya  matahari  membawa  sedikit  kemiripan  seperti  roman 
mukanya  sendiri. 


Although  the  natural  setting  is  idyllic,  it  is  clear,  even  without  reading  the 
dialogue,  that  something  is  amiss  in  the  natural  order  of  things.  The  fish  are 
out  of  water,  balanced  precariously  on  their  fins  at  the  lake's  surface  as  if  it  is 
already  too  shallow  to  sustain  them,  and  their  features  give  the  impression 
of  frightened  children.  Their  state  of  desperation  is  heightened  by  the  drops 
of  water  splashing  off  their  scales  that  could  be  seen  anthropomorphically 
as  beads  of  sweat  expressing  their  fear  of  death.  The  heron  rings  the  bell  of  a 
priest  (genta)  with  one  talon  which  puts  him  out  of  balance,  standing  on  one 
leg  as  he  lies  to  the  fish  about  how  he  will  save  them.  The  heron's  inner  state 
of  corruption  is  expressed  throughout  Gunarsa's  sequence  of  watercolors 
by  his  external  state  of  physical  imbalance.  On  land  the  heron  stands  only 
on  one  leg.  When  he  is  in  the  air,  the  bird  twists  his  neck  so  that  he  looks 
backwards  while  flying  forwards.  And  when  the  heron  lies  to  the  crab  in  the 
fourth  painting  of  the  series,  the  bird  defecates  while  speaking,  as  if  the  fish 


Walaupun  seting  alamnya  idilis  sangatlah  jelas  kendati  tanpa  harus  membaca 
dialognya,  ada  yang  salah  dari  susunan  dari  sesuatunya  secara  alami  disitu. 
Ikannya  keluar  dari  air  seimbang  tidak  nyaman  pada  sirip  mereka  pada 
permukaan  danau  sepertinya  itu  dangkal  untuk  mendukung  mereka  dan 
kehadiran  mereka  memberikan  kesan  seperti  ketakutan  anak  kecil.  Pernyataan 
keputusasaan  mereka  dipertinggi  oleh  tetesan  air  mencemplung  di  luar 
sekala  mereka  yang  dapat  dilihat  sebagai  anthropormophis  dari  kebasahan 
embuh  manik-manik  mengekspresikan  ketakutan  mereka  akan  kematian.  Si 
burung  bangau  membunyikan  genta  seorang  pendeta  dengan  satu  kuku  yang 
membuat  dia  tidak  seimbang,  berdiri  di  satu  kaki  demikian  dan  berbohong 
kehadapan  ikan-ikan  tentang  bagaimana  dia  akan  menyelamatkan  mereka. 
Pernyataan  dalam  si  burung  bangau  tentang  korupsi  diekspresikan  melalui 
sikwen-sikwen  lukisan  cat  airnya  Gunarsa  dengan  pernyataan  luarnya  secara 
pisik  tidak  seimbang.  Di  tanah  si  burung  bangau  berdiri  hanya  dengan  satu 


150 


he  has  killed  and  eaten  are  expelling  themselves  from  his  digestive  system  to 
reveal  his  gluttonous  sins  to  the  world.  Gunarsa  heightens  the  sensory  impact 
of  the  scene  with  sound  effects  of  the  turds  hitting  the  ground  ("Prot!!  Prot!! 
Prot!!)  and  by  giving  their  trajectory  a  visual  pattern  that  mirrors  the  shapes 
of  the  beads  that  dangle  from  the  bird's  earings.  The  earrings  and  head-dress 
that  the  heron  wears  resemble  those  of  a  priest,  but  the  excrement  falling 
from  the  other  end  of  his  body  reveal  the  falsehood  of  his  disguise.  With  the 
top  of  his  body  garbed  in  holy  accessories  and  his  bottom  parts  stained  with 
filth  Gunarsa's  heron  is  an  animated  emblem  of  ruabineda.  Two  extremes 
co-exist  in  one  creature  in  a  way  that  is  unbalanced  and  blasphemous.  It  is 
Gunarsa's  scathing  caricature  of  the  judges  who  turned  the  law  upside  down 
in  his  case  and  the  viewer  can  almost  smell  the  stench  of  corruption. 


kaki.  Manakala  dia  ada  di  udara  si  burung  membengkokan  lehernya  dengan 
menoleh  ke  belakang  sementara  dia  terbang  ke  depan.  Ketika  si  burung 
bangau  berbohong  dihadapan  kepiting  pada  lukisan  yang  keempat  dari  serial 
lukisannya,  si  burung  membuang  air  besar  ketika  sedang  berbicara,  sepertinya 
ikan-ikan  yang  telah  dibunuhnya  dan  dimakannya,  mengeluarkan  mereka 
dari  sistem  percernaannya  untuk  mengungkapkan  kelahapan  dosanya  kepada 
dunia.  Gunarsa  mempertinggi  dampak  yang  berhubungan  dengan  perasaan 
dari  pemandangan  dengan  efek  suara  dari  kotoran  yang  jatuh  ke  tanah  ("Prot!! 
Prot!!  Prot!!)  dan  dengan  memberikan  lintasan  mereka  ke  dalam  pola  visual 
yang  mencerminkan  bentuk  dari  manik-manikan  membayang-bayangkan  dari 
anting-antingnya  si  burung.  Anting-anting  dan  hiasan  kepala  yang  dikenakan 
oleh  si  burung  bangau  semua  itu  menyerupai  seorang  pendeta,  aka  tetapi 
najis  yang  jatuh  dari  pantatnya  mengakhiri  dirinya  mengungkap  kepalsuan 
dari  penyamarannya.  Pada  bagian  atas  badannya  berbusana  dengan  asesoris 
suci  dan  bagian  bawahnya  dinodai  dengan  kotoran  burung  bangau  lukisan 
Gunarsa  dihidupkan  oleh  lambang  ruabineda.  Dua  perbedaan  besar  yang 
berdampingan  pada  satu  mahluk  dalam  arti  itu  adalah  tidak  seimbang  dan 
menghina  Tuhan.  Adalah  karikaturnya  Gunarsa  yang  pedas  untuk  para 
hakim  yang  memutar  hukum  menjadi  terbalik  dalam  kasusnya  dan  pengamat 
hampir  dapat  mencium  bau  busuk  dari  korupsi. 


The  crab  on  the  other  hand  appears  in  the  fourth  painting  as  a  vision  of 
truth  that  will  penetrate  the  heron's  lies.  While  the  priest  used  a  verbal 
pun  to  conflate  the  name  of  the  crab  {yuyu)  with  the  word  for  truth  (yukti), 
Gunarsa  relies  on  a  visual  analogy  to  convey  the  virtue  of  the  crustacean 
hero.  The  body  of  the  crab  in  Gunarsa's  watercolors  has  a  circular  structure 
that  recalls  the  shape  of  the  nawasanga  and  its  depiction  of  the  nine  sacred 
directions.  Although  it  is  presented  from  three  different  angles,  as  if  it  were 
spinning  like  the  pindekan  wheel  whose  wind-propelled  movement  echoes 
the  turning  of  the  world,  the  crab  has  eight  appendages  radiating  out  from 
his  central  shell,  a  design  that  corresponds  to  the  eight  cardinal  directions 
and  the  ninth  point  which  is  the  dwelling  place  of  Shiva  in  the  center  of  the 
diagram.  The  crab's  virtue  is  also  depicted  visually  by  his  yellowish  red  color 
that  matches  the  coloring  of  the  sun  who  is  personified  by  the  Balinese  as 
the  deity  who  is  a  source  of  light  and  truth  Sangh  Hyang  Surya. 


Si  kepiting  di  sisi  yang  lain  muncul  di  dalam  lukisan  keempat  sebagai  sebuah 
pandangan  dari  kebenaran  akan  menembus  kebohongan  si  burung  bangau. 
Sementara  pendeta  menggunakan  permainan  kata  verbal  untuk  coflate 
namanya  si  kepiting  fyuyuj  dengan  kata  untuk  kebenaran  (yuktij,  Gunarsa 
bersandar  pada  visual  analogi  untuk  menyampaikan  kebaikan  dari  pahlawan 
binatang  berkulit  keras.  Badannya  si  kepiting  adalah  dalam  lukisan  cat  airnya 
Gunarsa  memiliki  struktur  melingkar  yang  memanggil  bentuk  dari  nawasanga 
itu  tergambarkan  dari  kesembilan  arah  sakral.  Walaupun  itu  dipresentasikan 
dari  tiga  sudut  yang  berbeda,  berputar  seperti  roda  pindekan  dimana 
angin  menghembus  lembut  menggemakan  perputaran  dunia,  si  kepiting 
memiliki  delapan  kaki  yang  radiasinya  keluar  dari  pusat  perisainya,  sebuah 
desain  yang  berhubungan  dengan  delapan  arah  mata  angin  dan  poin  yang 
ke  sembilan  adalah  stana  dari  Siwa  dipusat  diagram.  Kebenaran  si  kepitng 
juga  digambarkan  secara  visual  dengan  warna  kuning  kemerahan  yang  cocok 


151 


Although  the  crab  does  not  appear  in  the  story  until  the  fourth  watercolor, 
his  arrival  has  been  visually  foreshadowed  by  the  shape  and  color  of  the 
yellowish-red  necklace  the  heron  wears  around  his  neck  as  part  of  his  disguise. 
The  priestly  accessory  is  counterfeit,  and  in  keeping  with  the  principles  of 
ruabineda  it  is  replaced  by  a  creature  who  symbolizes  authenticity.  The  crab 
wraps  himself  around  the  heron's  neck,  pretending  to  believe  the  heron's  lies 
about  transporting  him  to  a  lake  that  will  never  dry  up,  but  when  he  sees  the 
bones  of  the  fish  the  heron  has  eaten  on  a  barren  hot  stone,  the  crab  slices 
through  the  heron's  neck  with  his  pincers,  beheading  the  bird  and  ending 
his  lies. 


Associating  the  false  priest  in  the  fable  with  the  false  judge  in  his  court  case, 
Gunarsa  rejects  the  gentler  ending  of  the  priest's  retelling  of  the  tale  in  which 
the  crab  merely  cuts  off  the  heron's  beak  to  silence  and  humiliate  him  as  a 
punishment  for  his  lies.  "Karmapala  must  be  complete,"  the  artist  insists. 
In  his  five-painting  narrative  the  artist  has  created  a  water-color  wayang 
play  that  metaphorically  metes  out  justice  in  a  style  that  owes  much  to  the 
ceiling-paintings  of  kertha  gosa  that  he  studied  as  a  child.  Identifying  with 
the  crab  as  what  he  called  "the  personification  of  the  artist"  Gunarsa  wields 
his  paintbrush  like  a  saber.  His  art  is  his  weapon  {senjata  kesenian),  and  he 
wields  it  with  fierce  grace  in  his  ongoing  struggle  to  transform  the  ugliness 
of  corruption  into  the  beauty  of  justice  fulfilled. 


dengan  warna  sinar  matahari  yang  dipersonifikasikan  oleh  orang  Bali 
sebagai  dewa  sebagai  sumber  sinar  dan  kebenaran  Sanghyang  Surya. 

Walaupun  si  kepiting  tidak  muncul  di  dalam  ceritera  sampai  dengan 
lukisan  cat  air  yang  keempat,  kehadirannya  telah  secara  visual  membayangi 
dari  bentuk  dan  warna  dari  kuning  kemerahan  kalung  yang  dipakai  si 
burung  bangau  dilehernya  sebagai  bagian  dari  penyamarannya.  Asesori 
kependetaan  adalah  palsu  dan  dalam  menjaga  dengan  prinsip  dari 
ruabineda  itu  diganti  dengan  mahluk  sebagai  simbol  keasliannya.  Kepiting 
membungkus  dirinya  diseputar  lehernya  si  burung  bangau  berpura-pura 
percaya  akan  kebohongan  si  burung  bangau  tentang  pemindahan  dirinya 
ke  sebuah  danau  yang  tak  pernah  kering,  akan  tetapi  ketika  dia  melihat 
tulang  belulangnya  ikan  yang  dimangsa  oleh  bangau  di  atas  tandusnya 
batu  panas,  si  kepiting  memotong  kerongkongan  lehernya  bangau  dengan 
cangkangnya,  menyudahi  kebohongannya. 

Menghubungkan  pendeta  palsu  dalam  kisah  ceritera  binatang  dengan 
hakim  palsu  dalam  kasus  pengadilannya,  Gunarsa  menolak  akhir  yang 
lebih  lemah  dari  apa  yang  diceriterakan  oleh  pendeta  ceritera  yang 
mana  si  kepiting  hanya  memotong  paruhnya  si  burung  bangau  untuk 
membuat  dia  diam  dan  menghina  dia  sebagai  sebuah  hukuman  atas 
kebohongannya.  "Karmapala  harus  lengkap,"  seniman  mendesak.  Dalam 
lima  naratif  lukisannya  seniman  telah  menciptakan  pertunjukan  wayang 
yang  secara  metaporikal  mengukur  diluar  keadilan  dalam  sebuah  gaya 
yang  berhutang  banyak  untuk  lukisan-lukisan  langit-langit  dari  kertha 
gosa  yang  dia  belajari  ketika  masih  kecil.  Mengidentifikasikan  dengan  si 
kepiting  dengan  apa  yang  dia  sebut  "personifikasi  dari  seorang  seniman" 
Gunarsa  menggunakan  kuas  catnya  bagaikan  pedang.  Karya  seninya 
adalah  senjatanya  fsenjata  kesenianj,  dan  dia  memegangnya  dengan  galak 
hormat  dalam  keberlanjutan  perjuangannya  untuk  merubah  kejelekan 
dari  korupsi  menjadi  keindahan  dari  keadilan  terpenuhi. 


152 


\j      Hitli   Kill^  e^-e^tC    /^<^^-^-< 


7     ^M^Cti/-  ^ 


V    '-    i^^-'^'V^^    AY'^.Crt<^^^-'^    ^'''^^  .^ 


«<--.»%- 


// 


<^' 


£-4 


>-  '        cV;  (?<m!  ^'-e  ^de 


-J 


•  • 


.  *♦ 


.'**^/M*, 


♦■■ 


'M. 


'y 


Vn 


^  e,.i:/ 


>- 


■-■fe 


<^ 


W^t/^gr^'Al^^  Ai-^t  dcr^J^^  -^^'^rt^  • 


'y. 


'V" 


.>v^,;, 


^. 


l' 


^    r7. 


<ry     r\ 


158 


"THE  FALSE 

ANGGADA"  - 

SHADOW  PLAY 

by 
I  Wayan  Nardayana 


Pertunjukan  Wayang  - 
''Angga  d  a  Palsu'' 

oleh 

I  Wayan  Nardayana 


159 


Wayang  Cenk  Blonk  Hak  Cipta 

Judul : 

Tgl  /  Blonkn  /  Thn  : 

Tempat  :  Lapangan  Puputan  Badung 

ENGLISH 


Wayang  Cenk  Blonk  Hak  Cipta 

Judul : 

Tgl  /  Blonkn  /  Thn  : 

Tempat  :  Lapangan  Puputan  Badung 

BAU/KAWI 

(Boldface  text  indicates  words  spoken  originally 

in  Kawi) 


Wayang  Cenk  Blonk  Hak  Cipta 

Judul : 

Tgl  /  Blonkn  /  Tlin  : 

Tempat  :  Lapangan  Puputan  Badung 

INDONESIAN 


Dalang:  (chanting  a  mantra)  Om  Om,  most  radiant 
sun,  source  of  the  most  glorious  light,  I  bow  down 
before  you,  and  pay  homage  to  your  fiery  red  rays 
that  glisten,  incarnated  in  the  center  of  the  lotus 
flower  that  is  born  out  of  the  darkness.  (The  word 
for  lotus,  'pangkaja,'  is  derived  from  the  words  for 
mud,'  pang,'  and  easterly,  'kaja,'  so  it  is  literally  the 
flower  that  is  born  in  the  mud  and  opens  to  the  sun 
rising  in  the  east).  I  worship  you  with  the  prayer  of 
OM  that  reverberates  to  the  highest  heaven  of  the 
most  glorious  lord  Siwa. 

All  that  dwells  in  the  natural  world  has  a  soul.  Safe 
and  pure  without  danger.  After  the  decision  of 
Batara  Atianta.  Start  by  praying,  start  by  praying 


Dalang:  (mantra)  "Om  Om  Om  Raditya  sya 
paranjyotir,  rakta  teja  namastute  sweta  pangkaja 
amadyaste,  baskara  ye  nama  namah.  Oooom  rang 
ring  syah  parama  siwa  ditya  ya  namah  swaha". 


Umerep  ri  sekala  sang  ning  aneng  apremanaaa. 
Swasta  ya  paripurna  natan  kacauhing  dening 
pangila-ila.  Wuus  wecananira  Batara     Atianta. 


Dalang:  (mantra)  Om  Sanghyang  Widhi  Wasa, 
Sinar  Surya  Yang  Maha  Hebat,  Engkau  Bersinar 
Merah,  Hormat  Pada-Mu,  Engkau  Yang  Berada 
Ditengah-tengah  Teratai  Putih,  Hormat  Pada-Mu 
Pembuat  Sinar. 


Terdiamlah  semua  yang  bernyawa  di  alam  nyata. 
Selamat  dan  sempurna  tidak  kena  mara  bahaya. 
Setelah  keputusan  Hyang  Batara,  Berkehendak. 


160 


at  the  feet  of  the  gods.    To  avoid  mistakes  in  the 
face  of  the  lord's  power. 


Hurry.  After  a  long  time.  It  appears.  The  story 
is  told  of  Lord  Suniantala  like  darkness  walking. 
He  quickly  walks  into  the  Rangdu  tree,  the  king  of 
trees.  It  can  make  the  whole  world  tremble.  Earth, 
Light,  Wind,  Sky,  Stars,  Meteors,  and  also  the  sun 
and  the  moon.  Hurry.  The  story  is  told  about  the 
appearance  of  the  puppets  that  will  dance. 


Because  it  has  been  ordered  by  Lord  Paramakawi, 
based  on  an  idea  by  the  Lord  Creator.  It  is  available, 
because  it  is  already  complete  in  all  seven  chapters. 
The  first  chapter  and  the  ones  that  follow  in  the 
story.  They  were  written  by  none  other  than  the 
sage  Valmiki  a  long  time  ago.  After  that,  it  is  told 
that  none  other  than  the  Lord  Creator  cut  the 
contents  of  the  story.  The  story  being  told  now  is 
about  nothing  less  than  heaven.  The  story  being 
told  is  the  story  of  the  red  monkey  Commander 
Anggada,  and  also  his  two  servants,  none  other 
than  Twalen  and  Werdah,  and  how  they  were 
ordered  by  Lord  Rama  to  go  to  Siwa's  Heaven. 
They  meet  none  other  than  Lord  Siwa,  because 
Lord  Rama  was  conducting  a  ceremony  to  cleanse 
the  world  of  demonic  forces,  and  to  pray  for  the 
entire  world.  That  is  the  reason  why  Anggada  was 
ordered  to  go  and  bring  down  the  cleansing  holy 
water.  So  that  is  the  content  of  the  story. 

The  story  that  will  be  told  is  none  other  than 
General  Anggada  in  Siwa's  Heaven. 

Kruweeee.  Kruwee.  (Anggada  dances  to  monkey  sounds) 


Manggalaning  sembah,  manggalaning  sembah 
ningulun  ri  padana  sira  Hyang.  Lamakana 
natan  keneng  sotsot  upadrawa  kuasanira  paduka 
Batara.  Agiaaaaa.  Dadia  Pira  pinten  gati  kunang 
lawas  ikang  kalaniraaa. 

Mijiiil.  Saksan  mijil  sang  Hyang  Suniantala 
kadi  gelapp  dumerasah  anusuping  rangduning 
praja  menala.  Yaya  gumeter  marikanang  kang 
Pertiwi  tala.  Apah  Teja  Bayu  Akasa  Lintang 
Trenggana  muang  Surya  Candra.  Agiaaaa. 
Saksana  mijil  Sang  Hyang  Ringgit  yata  amolah 
cara.  Sawetaning  dinuduh  de  nira  Sang  Hyang 
Paramakawi  nguniweh  winekanira  Sang 
Hyang  Guru  Reka.  Paraaan  ri  sapratingkah  ira. 
Sawetaning  sampun  jangkep  marikanang  kang 
Sapta  Kanda.  Utara  Kanda  tekeng  Kapi  Kanda 
carita.  Yata  pangiketang  niraaa  Bagawan  Walmiki 
kala  nguni  purwa.  Antian  irikaaaa.  Saksana  mijil 
Sang  Hyang  Kawi  Swara  Murti  tan  sah  amunggel 
punang  taTwalena  carita.  Yaya  kawinursita 
mangke  tansah  marewanten  ikanang  Suargaaa 
Loka.  Warnaneeen  wijilira  Boset  Bang  Wira 
Ngada.  Katekaning  caraka  nira  maka  rwa.  Tan 
sah  Twalen  muang  Werdah.  Apan  wit  kadunung 
nira  Sri  Batara  Rama.  Lumaku  aneng  kunang 
Siwa  Loka.  Tan  sah  nyatpada  Hyang  hyang  ning 
Nilakanta.  Mapan  Sri  Narendra  Batara  Rama 
angadak  kunang  yadnya  Bhuta  Yadnya.  Mapahayu 
kunang  jagat  kabeh.  Ya  nimitanian  kaduta  lumaku 
nedunang  Tirta  Sudamala.  Samangkana  kunang 
taTwalena  caritaaa. 


Kawinursita  sah  sira  Wira  Ngada  kunang  Swarga 
Loka.  Kruweeeek.  Kruweeeek.  (Igal  wayang 
Anggada) 


Mengawali  sembah,  mengawali  sembah  hamba  di 
hadapan  paduka  Hyang  Kuasa.  Agar  terhindar 
dari  mala  petaka  atas  kekuasaan  paduka  Bhatara. 


Segera,  setelah  sekian  lama  waktunya.  Muncul. 
Diceritakan  muncul  Sang  Hyang  diantara  Alam 
Nyata  dengan  Alam  Maya  bagaikan  gelap  berjalan 
cepat  memasuki  pohon  Rangdu,  raja  pohon. 
Menyebabkan  bergemetar  semua  Bumi.  Benda 
padat  Sinar  Angin  Angkasa  Bintang  Meteor 
dan  juga  Matahari  Bulan.  Segera.  Diceritakan 
muncullah  Sang  Hyang  Ringgit  (Wayang)  akan 


Karena  diutus  oleh  beliau  Sang  Hyang  Paramakawi 
atas  gagasan  Sang  Hyang  Pengarang.  Adalah 
keberadaan  beliau;  karena  sudah  lengkap  semua 
Tujuh  babak.  Utara  babak  juga  Utara  babak 
cerita.  Tiada  lain  karangannya  Bagawan  Walmiki 
pada  waktu  lampau.  Setelah  itu,  diceritakan  tiada 
lain  hadir  Sang  Hyang  Pengarang,  memotong 
jalan  cerita.  Diceritakan  sekarang  tiada  lain 
di  Sorga.  Dikisahkan  keberangkatan  Monyet 
Merah,  Perwira  Ngada,  dan  juga  abdinya  berdua. 
Tiada  lain  Twalen  dan  Werdah.  Karena  diutus 
oleh  Batara  Rama.  Menuju  ke  Siwa  Loka.  Tiada 
lain  menghadap  Hyang  Hyang  Siwa.  Karena 
beliau  Batara  Rama  mengadakan  upacara  Buta 
Yadnya.  Mendoakan  dunia  semua.  Itu  yang 
menyebabkan  Ngada  diutus  menuju  menurunkan 
Air  pembersihan.  Demikianlah  isi  cerita. 


Diceritakan  tiada  lain  Wira  Ngada  di  Siwa  Loka. 

Kruweeeee.  Kruweeeeek.  (Anggada  menari). 


161 


Chorus  sings:  The  son  ofSubali  appears. 

Anggada:  Kruweeek. 

Chorus  sings 

Anggada:  {dances)  Kruweeeek. 

Chorus  sings 

Dalang:  Radiaaaa. 

Anggada:  My  servant  Twalen.  Is  it  you? 

Twalen:  Yes,  I  am  here,  my  lord.     I  am  at  your 

service. 

Anggada:  So  get  ready.    Get  ready,  Twalen.    This 

is  the  moment  to  follow  your  lord  Commander 

Anggada. 

Twalen:  I  would  not  dare  refuse  to  follow  you  in 

your  journey.  I  bow  down  to  you.  Forgive  me.  Lord 

Anggada,  my  master. 

Anggada:  Your  master  has  been  ordered  by  Lord 

Rama,  ordered  to  go  to  Siwa's  Heaven,  for  no  other 

reason  than  to  meet  face  to  face  with  the  lord  of 

lords,  Siwa. 

Twalen:  Because  you  have  been  ordered  by  his 
Lordship,  I  bow  down  to  you.  I  bow  down  to  my 
lord.  I  am  my  master's  servant.  I  ask  forgiveness 
from  Lord  Rama,  the  King  of  your  nation,  over  there 
in  Ayodya  Pura.  You  will  present  yourself  in  the 
invisible  world  of  Siwa's  Heaven,  arriving  there  in  a 
silver  ship,  is  that  not  right? 

Anggada:  I  will  go  because  Lord  Rama  is 
conducting  a  ceremony  of  prayer  to  purify  the 
entire  world. 

Twalen:  Because  our  devoted  lord  never  stops 
preparing  ceremonies  to  make  the  world  safe, 
peaceful,  and  tranquil,  so  that  harmony  can  be 
achieved.  It  is  hoped  that  the  ceremony  of  prayers 
will  cleanse  the  world  of  all  dangers.  Because  my 
lord  always  thinks  about  the  welfare  of  the  people  in 
the  kingdom  of  Ayodya.  That  is  how  it  is. 
Anggada:  True. 
Twalen:  True. 


Sendon:  "Mijiiil  sira  Bali  Putra. 

Angada:  Kruweeek. 

Sendon... 

Angada:  (menari).  Kruweeeek. 

Sendon... 

Dalang:  Radiaaaa. 

Anggada:  Caraka  Twalen  paricarakanku  kalaganta. 

Twalen:  Inggih  titiang  Ratu.  Titiang  parekan  Iratu 

tua  titiang. 

Anggada:    Kewala    yatna-yatna.    Kewala    yatna- 

yatna  Twalen!  Risada  kala  lampah  tuanta  Sira 

Wira  Ngada. 

Twalen:    Ten    purun    piwal.    Titiang    ngiringan 

sapemargin  palungguh  Iratu,   sasuhunan  titiang. 

Sugra  Sang  Angada  kadi  linggih  Iratu. 

Anggada:  Mapan  tuanta  Wira  Ngada  wit  kaduta 

lawan  Sri  Narendra  Batara  Rama.  Kinon  lumaku 

aneng  kunang  Suarga  Loka.  Tan  sah  nyatpada 

Hyang-hyangning  Nilakanta. 

Twalen:   Duwaning  Iratu  kautus  ratu  antuk  Ida 

Batara  sasuhunan.  Sasuhunan  Iratu  Bataran  titiang. 

Sugra   Ida   Batara   Rama,   murdaning  jagat   ratu, 

irika  ring  Ayodya  Pura.  Mangda  sida  aratu  tangkil, 

merika  ke  niskala  Siwa  Loka,  Rauhing  Jung  Ing 

Selaka.  Boya  sapunika. 

Anggada:  Mapan  yadnya  tansah  ginelar  Sri 
Narendra  Batara  Rama.  Mopahayu  maparisudi 
kang  jagat  kabeh. 

Twalen:  Santukan  Ida  Batara  sasuhunan  tan 
maren  gumanti  nabdad  yadnya.  Ngardi  panegara 
moksartem  jagaditha  ya  ca  iti  darma.  Kerahayune 
kepanggih.Moga-mogayadnyamapahayumarisuda 
aratu  sahanaing  mala  petakan  ikanang  jagat. 
Mangda  panggih  ratu  punika  indik  kesejahteraan. 
Minakadi  panjak  irika  ring  Ayodya.  Sapunika. 
Angada:  Yogya. 
Twalen:  Patut. 


Sendon:  "Keluarlah  beliau  putranya  Bali.... 

Anggada:  Kruweeek. 

Sendon... 

Anggada:  (menari).  Kruweeeek. 

Sendon... 

Dalang:  Radiaaaa. 

Anggada:  Twalen  abdi  sayangku.... 

Twalen:  Ya,  hamba,  tuanku.  Hamba  abdi  tuanku,  si 

tua  hamba. 

Anggada:     Bersiap-siaplah.     Siap-siap     Twalen! 

Manakala  Tuanmu  Sang  Perwira  Ngada. 

Twalen:  Kapan  hamba  berani  menolak.  Hamba  akan 
mengikuti  paduka,  tuanku.  Mohon  ampun  paduka, 
Sang  Anggada. 

Anggada:  Oleh  karena  tuanmu,  Angada,  diperintah 
oleh  Sri  Narendra  Batara  Rama.  Disuruh  datang 
ke  Siwa  Loka,  Tiada  lain  menghadap  Hyang- 
hyangning  Nilakanta. 

Twalen:  Karena  tuanku  diutus  oleh  paduka  raja 
junjungan  kita.  Junjunganpadukadanjugajunjungan 
hamba,  mohon  maaf  hamba,  beliau  Betara  Rama, 
pucuk  pimpinan  negeri  Ayodyapura.  Agar  paduka 
datang  ke  dunia  maya  tiada  lain  ke  Siwaloka  menuju 
Jungning  Selaka.  Bukankah  demikian? 

Anggada:  Oleh  karena  Narendra  Rama 
menggelar  upacara,  mendoakan  keselamatan  dan 
kesejahteraan  keseluruhan  negari. 

Twalen:  Karena  beliau  Batara  junjungan  kita  tiada 
henti  untuk  menggelar  yadnya,  mewujudkan 
negara  moksartem  jagaddhita  ya  ca  iti  darma. 
Memperoleh  keselamatan.  Semoga  dengan  upacara 
dapat  membersihkan  segala  sumber  petaka  di 
dunia.  Agar  diperoleh  apa  yang  dimaksud  dengan 
kesejahteraannya  rakyat  di  Ayodyapura. 
Anggada:  Benar. 
Twalen:  Betul. 


163 


Anggada:  That  is  why  your  lord,  Commander 
Anggada,  was  ordered  to  meet  the  lord  of  lords, 
Siwa,  for  no  other  reason  than  to  search  for  holy 
purifying  water. 

Twalen:  Yes.  That  is  fundamental  to  the  ceremony. 
My  master  has  been  ordered  by  His  Highness, 
Lord  Rama,  the  King  of  the  World,  to  journey  to 
the  invisible  world  of  Siwa's  Heaven.  I  ask  for  your 
blessings  in  the  realm  of  Lord  Siwa,  where  you 
will  seek  the  Holy  Water  that  they  say  can  cleanse 
the  world  of  all  impurities.  It  can  wash  away  the 
suffering  of  all  the  people.  It  can  sanctify  everything 
so  that  nothing  is  unclean.  That  is  the  purpose  of  the 
ceremony. 

Anggada:  True. 

Twalen:  True. 

Anggada:  And  so  that  it  may  succeed,  we  must 

leave  quickly.     Stay  by  the  side  of  your  master, 

Commander  Anggada. 

Twalen:  I  will  follow  your  path.  Together  with  your 

servant  Merdah,  we  will  accompany  you  on  your 

journey. 

Anggada:  Prepare  yourself! 

Twalen:  Go  ahead. 

Anggada:  Kruweeek. 

(a  tumultuous  journey  ensues  with  sound  effects  and 

swirling  shadows). 

Twalen:  Merdah,  get  ready,  get  ready.    Come  here, 

Merdah.  Follow  Lord  Anggada!  Merdah! 

Merdah:  What's  happening.  Dad? 

Twalen:  Well,  that's  the  way  it  is  with  the  journeys  of 

Lord  Anggada.  It  is  so  fast.  Where  are  we?  Well,  it's 

like  this.... 

Merdah:  Where  are  we? 

Twalen:  This  is  called  "The  Invisible  World".    It  is 

named  "Heaven." 

Merdah:  Oh,  is  this  heaven? 


Angada:  Larapania  ta  tuanta  Wira  Ngada  wit 
kaduta,  nyatpada  lawan  Hyang-Hyang  ning  Nila 
Kanta,tan  sah  bipraya  ngulati  kunang  Tirta 
Sudamala. 

Twalen:  Inggih.  Raris  melarapan  yadnya  punika. 
Ratu  kautus  antuk  Ida  Sang  Rama  Dewa.  Murdaning 
jagat.  Mangda  sida  Iratu  tangkil  ke  niskala.  Ke  Siwa 
Loka.  Sugra  titiang,  nyatpada  ring  linggih  Ida  Batara 
Siwa.  Ngulati  ngelungsur  sane  baosange  Tirta 
Pangelukatan  Sudamala.  Anggen  ngelebur  malan 
jagat.  Anggen  ngelebur  malan  panjak  druwene 
sami.  Mangda  sida  suci  ning  tanpa  leteh.  Pidabdab 
yadnya  druwe. 


Anggada:  Yogya. 

Twalen:  Patut. 

Anggada:  Lamakana  sida  katiba,  lah  sigra  lumaku! 

Papah  Sira  tuanta  wira  Ngada. 

Twalen:   :   Kewanten  Aratu  memarga.  Banggiang 

titiang  sareng  parekane  Werdah,  tut  wuri  pemargin 

Iratu. 

Anggada:  Yatna! 

Twalen:  Ngeraris! 

Anggada:  Kruweeek. 


Twalen:  Merdah.  Dabdabang-dabdabang ,  mai  -mai 
Merdah.  Iring-iring  Dane  Sang  Ngada!  Merdah! 
Werdah:  Kenken,  nang? 

Twalen:  Peh  monto  pemargin  Dane  Sang  Ngada. 
Mecues  to.  Dija  ne?  Kaden  keto  nake. 

Werdah:  Dija  ne? 

Twalen:    Ne   raosange   Niskala.    Ne   suba   madan 

Suarga  Loka. 

Werdah:  One  Suarga  Loka? 


Anggada:  Yang  menjadi  kewajiban  diutusnya 
tuanmu  Wira  Ngada  mengahadap  Hyang- 
hyanging  Nilakanta  tiada  lain  akan  mencari  Tirta 
Sudamala. 

Twalen:  Ya.  Berdasarkan  upacara  tersebutlah 
kemudian  paduka  diutus  oleh  beliau  pimpinan 
pucuk  negeri,  Sang  Rama  Dewa.Tuanku  agar 
menghadap  ke  dunia  maya,  ke  Siwaloka,  maafkan 
hambamu,  memohon  kehadapan  beliau  Batara  Siwa. 
Memohon  untuk  mendapatkan  yang  disebut  air 
suci  pembersihan  Sudamala.  Digunakan  melebur 
kekotoran  dunia.  Digunakan  melebur  kesengsaraan 
masyarakatnya  semua.  Agar  mencapai  kesucian, 
bersih  tanpa  kekotoran,  menjadi  tujuan  dari  upacara 
beliau. 

Angada:  Benar. 
Twalen:  Betul. 

Anggada:  Agar  cepat  berhasil;  mari  segera 
berangkat!  Dampingi  tuanmu  perwira  Ngada. 

Twalen:    Berangkatlah    tuanku.    Biarkan    hamba 

dengan    abdimu    Werdah,    mengikuti    perjalanan 

tuanku. 

Anggada:  Siaga! 

Twalen:  Silahkan! 

Anggada:  Kruweeek. 


Twalen:  Persiapkan,  persiapkan.  Mari,  mari  Merdah. 
Ikuti,  ikuti  beliau  sang  Ngada!  Merdah! 
Werdah:  Bagaimana  'Yah? 

Twalen:  Wah  begitu  perjalanan  dane  Sang  Ngada. 
Melesat  itu.  Dimana  ini?  Bukankah  begitu. 

Werdah:  Dimana  ini? 

Twalen:  Ini  dinamakan  dunia  maya.  Ini  'dah  yang 

disebut  Sorga. 

Werdah:  Oh,  ini  alam  surga? 


164 


Twalen:  This  is  heaven.  You  are  your  father's  son  and 

are  very  lazy,  but  don't  bring  your  lazy  habits  from 

the  material  world  here  to  the  invisible  world. 

Merdah:  What  is  the  right  way  to  act? 

Twalen:  Well  if  your  father  is  a  servant,  your  first 

priority  should  be  to  follow  and  serve  the  words  of 

Lord  Rama.  Then  you  should  follow  Lord  Anggada. 

Fundamentally  the  right  thing  for  you  is  to  be  of 

service.  You  should  have  the  proper  principles. 

Merdah:  What  should  I  use  as  the  foundation?  What 

principles  should  I  use? 

Twalen:  "The  Basic  Rules  of  Conduct."  Basic  means 

at  the  foundation.   Conduct  means  behavior.   What 

are  the  rules  of  our  life?  It  is  said  that  we  should  be 

of  service  here  in  the  world. 

Merdah:  What  is  the  right  way? 

Twalen:  The  right  way  is  for  us  to  count  from  one  to 

ten,  and  use  that  as  a  foundation  for  serving. 

Merdah:  One? 

Twalen:  We  should  serve  Wonderfully. 

That's  how. 

Merdah:  One.  Serve  Won(one)derfully. 

Twalen:  Won(one)derfully. 


Twalen:    Ne    Suarga    Loka.    Cai    anggon    nanang 
panak  jeg  pragat  keliad-keliud.  De  agul-agule  di 
Mercapada  mai  aba  ke  Niskala. 
Werdah:  Kenken  patutne? 

Twalen:  Yen  nanang  memarekan,  nampa  nyuwun 
pawecanan  Ida  Batara  Rama.  Ngiringan  Dane  Sang 
Ngada.  Patut  benya  dadi  parekan  ngelah  dasar. 
Ngelah  patut  benya  gelar. 

Werdah:  Apa  anggon  dasar,  apa  anggon  gelar? 

Twalen:  Dasa  Sila.  Dasa  ngaraning  dasar.  Sila 
ngaraning  tingkah.  Kenken  sesanan  iragane  idup. 
Raosange  ngabdi  dini  di  gumine. 

Werdah:  Kenken  patut? 

Twalen:  Beneh  keteken  sa  kanti  adasa,  to  anggon 

dasar  iraga  memarekan. 

Werdah:  Saaaa? 

Twalen:  Sesanan  iraga  dadi  parekan.  Kenken? 

Werdah:  Sa,  sesana. 
Twalen:  Sesana. 


Twalen:  Ini  alam  surga.  Kamu  sebagai  anakku,  kok 

selalu  malas-malasan.  Jangan  kebiasaan  ugal-ugalan 

di  bumi  dibawa  ke  sini,  ke  alam  gaib. 

Werdah:  Bagaimana  seharusnya? 

Twalen:       Kalau       ayah       mengabdi,       memikul 

menyongsong   wacana   beliau   Ida    Batara   Rama. 

Mengikuti  beliau  Sang  Ngada.  Sepantasnya  kamu 

sebagai  abdi  mempunyai  dasar.  Kamu  sebagai  abdi 

punya  dasar.  Kamu  mesti  punya  modal. 

Werdah:  Apa  yang  dipakai  dasar?  Apa  yang  dipakai 

modal? 

Twalen:  Dasa  sila.  Sepuluh  berarti  dasar.  Sila  berarti 

perilaku.  Bagaimana  aturan  kita  hidup.  Dikatakan 

mengabdi  di  sini  di  bumi. 

Werdah:  Bagaimana  seharusnya? 

Twalen:    Benarnya    hitungan    dari    satu    sampai 

sepuluh,  itu  dipakai  dasar  kita  mengabdi. 

Werdah:  Satuuuu? 

Twalen:    Perilaku    kita    sebagai    abdi,    mestinya 

bagaimana? 

Werdah:  Satu,  perilaku. 

Twalen:  Perilaku. 


165 


Merdah:  Two? 

Twalen:  To(two)  be  bound  to  your  position  below 

your  master. 

Merdah:  Three? 

Merdah:    Be    diUgent   three   times    over   in   your 

service. 

Merdah:  Four? 

Twalen:  (Four)Forgo  all  else  to  attend  to  the  needs 

of  your  master. 

Merdah:  Five? 

Twalen:  You  should  be  like  the  five  fingers  and  five 

toes  of  your  master.  If  you  use  a  current  term  that 

would  be  an  assistant.  In  the  palace  or  in  the  priest's 

home  that  would  be  called  a  servant. 

Merdah:  Six? 

Twalen:  Attend  to  the  words  of  your  master  six  times 

over. 

Merdah:  Ven? 

Twalen:  Can't  you  squeeze  the  whole  word  "seven" 

out  of  your  butt-hole?  Make  sure  'seven'  times  over 

that  you  are  serving  well. 

Merdah:  Eight? 

Twalen:  Your  are  like  an  ambassador,  deleg(eight) 

ated  by  your  master. 

166 


Werdah:  Dua? 

Twalen:  Duwaning  cai  kewawa  ring  linggih  Ida 

Anake  Agung. 

Werdah:  Telu? 

Twalen:  Telebeng  awake  memarekan. 

Werdah:  Pat? 

Twalen:  Cai  pang  patuh  ring  pikayun  Ida  anake 

agung. 

Werdah:  Lima? 

Twalen:  Cai  pinaka  lima  batis  Ida.  Yen  cara  jani 

madan  pembantu.  Di  Puri,  di  Jero,  di  geria  madan 

pengerob. 

Werdah:  Nem? 

Twalen:  Nampa  nyuwun  cai  setata  pawecanan  Ida. 

Werdah:  Tuuu? 

Twalen:    Beh    meles    song    jit    ci    ngorang    pitu. 

Pituhuyang  awake  ngayah. 

Werdah:  Kutus? 

Twalen:  Cai  pinaka  duta,  pinaka  utusan  Ida. 


Werdah:  Dua? 

Twalen:   Duhai   kau   menghamba  kehadapan   Ida 

Anake  Agung. 

Werdah:  Tiga? 

Twalen:  Siaga  selalu  menjadi  abdi. 

Werdah:  Empat? 

Twalen:  Kamu  harus  tepat  patuh  dengan  kemauan 

beliau  orang  Agung. 

Werdah:  Lima? 

Twalen:  Kamu  ibaratnya  tangan  kaki  beliau.  Istilah 

sekarang  sekarang  disebut  pembantu.  Di  Puri,  di 

Jero,  di  Geria  bernama  pengerob. 

Werdah:  Enam? 

Twalen:  Pegang  junjung  perkataan  beliau. 

Werdah:  Juuuuh? 

Twalen:  Wah  meleleh  air  pantatmu  bilang  juuuuhh. 

Sungguhkan  hatimu  mengabdi. 

Werdah:  Delapan? 

Twalen:  Kamu  sebagai  duta,  sebagai  utusan  beliau. 


Merdah:  Nine? 

Twalen:  Always  ready  nine  times  over. 

Merdah:  Ten? 

Twalen:    Being    an    attendant    should    be    your 

foundation.  Don't  be  a  person  without  a  foundation. 

Don't  just  ask  for  a  salary.  Remember  the  tasks  that 

need  to  be  done. 

Merdah:  So  where  do  the  Basic  Rules  of  Conduct 

come  from?  Your  mouth  or  your  butt,  dad? 

Twalen:  What  are  you  talking  about? 

Werdah:  If  we  follow  dad's  basic  rules  of  conduct, 

from  one  until  ten,  there  is  no  time  for  a  servant  to 

eat.  As  soon  as  you  wake  up  all  your  time  is  taken 

with  the  job  of  being  a  servant.  Daaaaaaaad? 

Twalen:  What? 

Werdah:  The  servant  will  DSD. 

Twalen:  DSD? 

Werdah:  Die  a  slow  Death.  Because  father  has  the 

meaning  of  the  Basic  Rules  of  Conduct  all  wrong. 

Twalen:  Oh,  do  you  know  the  meaning  of  the  Basic 

Rules  of  Conduct? 

Werdah:  If  I  can't  use  the  Basic  Rules  of  Conduct  as  a 

foundation,  I  will  swear  never  to  be  a  servent. 

Twalen:  All  right.  You  are  going  to  swear  to  their 

contents.  What  is  the  right  meaning  of  number  one? 

Werdah:  Once  it  is  morning,  just  wake  up. 

Twalen:    It's  easier  than  going  to  the  toilet.  One. 

Once  it  is  morning,  just  wake  up. 

Twalen:  Two? 

Werdah:  To  please  your  father,  go  be  a  servant  at  the 

palace. 

Twalen:  Three? 

Werdah:  Start  the  day  with  three  items,  dad. 

Twalen:  What? 

Werdah:  Granules,  sugar,  and  boiling  water. 

Twalen:  That  is  coffee. 

Werdah:  Have  your  coffee  first.  Wake  up  with  sleepers 


Werdah:  Siya? 

Twalen:  Siaga  setata. 

Werdah:  Dasa? 

Twalen:    Dasarin    awake   memarekan.    De   benya 

sing   medasar.   De   gajih   doen   tuntute.   Ingetang 

kewajibane  laksanang. 

Werdah:  Dong  apa  ngardiang  Dasa  Sila  to?  Bibihe 

apa  jite,  nang? 

Twalen:  Kal  ke  keto? 

Werdah:  Yen  wake  ngenehang  Dasa  Silan,  nange. 

Uli  sa,  nganti  ke  dasa  to  cepok  sing  ada  ketekan 

parekan  makan  to.  Yen  uli  mara  bangun  jeg  nyemak 

gae  tunden  parekne.  Nanaaaaang. 

Twalen:  Kenken? 

Werdah:  MPP  parekne. 

Twalen:  MPP? 

Werdah:  Mati  pelan-pelan.  Ulian  pelih  baan  nanang 

ngartiang  Dasa  Sila  to. 

Twalen:  Ooo...,  Ci  ngelah  arti  Dasa  Sila? 

Werdah:  Yen  sing  medasar  baan  Dasa  Sila,  wake 

gering  sing  memarekan  . 

Twalen:  Imih.  Misi  gering  pra.  Beneh  saaaa? 

Werdah:  Semengan  mara  bangun. 

Twalen:  Apa  aluhang  ken  meju,  sa.  Semengan  mara 

bangun. 

Twalen:  Dua? 

Werdah:  Duaning  ugi  nanang  kel  ngayah  ke  Puri. 

Twalen:  Telu? 

Werdah:  Dasarin  baan  telu,  nang. 

Twalen:  Apa? 

Werdah:  Serbuk,  gula,  yeh  anget. 

Twalen:  Kopi  to. 

Werdah:  Ngopi  malu.  Mara  bangun,  pecehe  aman 


Werdah:  Sembilan? 

Twalen:  Selalu  siap 

Werdah:  Sepuluh? 

Twalen:  Luluhkankesungguhanhatimumenghamba. 

Jangan  setengah  hati.  Ingat  laksanakan  kewajiban. 


Werdah:  Wah,  apa  yang  membuat  Dasa  Sila  itu? 

Mulut  apa  pantat,  'Yah? 

Twalen:  Emangnya  gimana? 

Werdah:  Ketika  saya  renungkan  Dasa  Silamu,  dari 

satu   sampai  ke   sepuluh,   sama   sekali  tidak  ada 

perhitungan  makan  untuk  abdi.  Dari  baru  bangun 

kok  dijejali  pekerjaan  terus,  Yaaaaah?. 

Twalen:  Bagaimana? 

Werdah:  MPP  para  abdi  jadinya. 

Twalen:  MPP? 

Werdah:  Mati  Pelan  Pelan.  Karena  kesalahan  Ayah 

memberi  arti  pada  Dasa  Sila  itu. 

Twalen:  Ooo...,  Kamu  punya  arti  Dasa  Sila? 

Werdah:  Tanpa  didasari  Dasa  Sila,  sumpah  aku  'tak 

'kan  mengabdi. 

Twalen:    Wah.    Berisi    sumpah    segala.    Baiklah. 

Saaaatuuu? 

Werdah:  Setiap  pagi  baru  bangun. 

Twalen:  Apa  sih  sukarnya;  Saatuuu  setiap  pagi  baru 

bangun. 

Twalen:  Dua? 

Werdah:  Karena  kemauan  ayah  akan  mengabdi  ke 

Puri. 

Twalen:  Tiga? 

Werdah:  Didasari  oleh  tiga  hal,  'yah. 

Twalen:  Apa? 

Werdah:  Kopi  bubuk,  gula,  dan  air  hangat. 

Twalen:  Kopi  itu. 

Werdah:    Ngopi    dulu.    Emangnya    begitu    bangun. 


167 


in  your  eyes  as  big  as  sour  mangosteens,  and  run 

straight  to  the  palace. 

Twalen:  Powder,  sugar,  boiUng  water.  So,  four? 

Werdah:  Four  is  for  equaUty  with  your  master.  For 

what  kind  of  equahty? 

Twalen:  For  what  kind  of  equality? 

Werdah:  If  our  master  goes  to  the  restaurant,  father 

must  go  with  him  to  the  restaurant.  If  our  master 

buys  Cap  Cay,  father  cannot  settle  for  fried  rice. 

Twalen:  For  equality  in  eating  together? 

Werdah:  For  equality  in  eating  together. 

Twalen:  Five? 

Werdah:  Add  milk  and  five  makes  it  perfect. 

Twalen:  The  servant  also  drinks  milk? 

Werdah:  They  say  that  four-course  meals  are  healthy, 

but  five-course  meals  are  perfect.  It  is  not  important 

that  we  eat  a  lot.  But  if  we  eat  a  little  it  should  be  food 

with  a  lot  of  energy. 

Twalen:  Oh,  add  milk  and  five  makes  it  perfect.  Then 

six  ? 

Werdah:  If  there's  not  enough,  add  a  sixth  dish. 

Twalen:  Ooo,  everything  is  about  food.  So  then, 

seven? 

Werdah:  If  your  stomach  is  full  with  seven  courses 

of  food,  dad,  then  you  can  be  serious  about  serving. 

It's  like  a  motor.  Even  though  a  car's  engine  might  be 

good,  it  can't  move  if  there  is  no  fuel. 

Twalen:  The  seven  courses  of  food  make  you  serious 

about  serving. 

Werdah:  The  seven  courses  of  food  make  you  serious 

about  serving. 

Twalen:  Eight? 

Werdah:  Our  master,  daaaad,  cannot  be  stingy  or 

greedy.    Everything  he  has,  he  must  donate(eight) 

to  us. 

Twalen:  Oh,  that  is  a  very  easy  one.   Turning  eight 

into  donate.  Ooo. 


sentule  ba  melaib  ke  Puri. 

Twalen:  Serbuk,  gula,  yeh  anget.  Pat  lantas? 

Werdah:  Iraga  pang  patuh  ken  Ida  anake  agung. 

Patuhe  to  kenken? 

Twalen:  Patuhe  to  kenken? 

Werdah:  Yen  Anake  Agung  ke  Restorant,  nanang 

pang  bareng  ke  restorant.  Yen  Anake  Agung  meli 

Capcay,  nanang  paling  sing  nasi  goreng. 

Twalen:  Patuh  makan? 

Werdah:  Patuh  makan. 

Twalen:  Lima? 

Werdah:  Tambah  susune  lima  sempurna. 

Twalen:  Mesusu  mase  parekane? 

Werdah:   Empat   sehat  lima  sempurna   raosange. 

Iraga  sing  penting  makan  banyak.  Walaupun  makan 

sedikit  tetapi  makan  itu  cukup  gisi. 

Twalen:  Ooo,  tambah  susu  lima  sempurna.  Enam 

lantas. 

Werdah:  Asal  kuang  makan  nambah. 

Twalen:  Ooo,  bagian  maman  gen  onya  ne.  Pitu 

lantas? 

Werdah:  Yen  suba  betek  basang  wake  nanang.  Ditu 

mara  pituhuyang  awake  ngayah.  Yen  cara  motor, 

menapa  bagus  mesin  motore  itu  kalau  mobil  tidak 

berisi  bensin,  motor  itu  tak  bisa  jalan. 

Twalen:  Ditu  mara  pituhuyang? 

Werdah:  Ditu  mara  pituyang. 

Twalen:  Kutuuus? 

Werdah:  Anake  Agung,  naaaang.  Sing  dadi  bruwit 

sing  dadi  demit.  Apa  Ida  madruwe  pang  ketes  sik 

ukud  iragae. 

Twalen:  Ooo  gampang-gampang  keto  luwung  to. 

Kutus,  ketes.  Ooo. 


kotoran  mata  masih  sebesar  buah  sentul,  sudah  lari 

ke  Puri? 

Twalen:    Bubuk    kopi,    gula,    air    hangat.    Kalau 

empatnya? 

Werdah:  Kita  harus  patuh  terhadap  beliau  orang 

agung.  Patuh  itu  bagaimana? 

Twalen:  Patuh  dalam  bidang  apa? 

Werdah:  Bila  sang  raja  ke  restoran,  ayah  mesti  ikut 

ke  restoran  juga.  Kalau  orang  sang  Raja  beli  Capcay, 

ayah  setidaknya  nasi  goreng. 

Twalen:  Sama-sama  makan? 

Werdah:  Sama-sama  makan. 

Twalen:  Lima? 

Werdah:  Ditambah  susu,  lima  sempurna. 

Twalen:  Seorang  abdi,  minum  susu  juga? 

Werdah:  Empat  sehat  lima  sempurna,  namanya.  Kita 

tidak  penting  makan  banyak.  Walau  makan  sedikit, 

tetapi  makan  itu  cukup  gisi. 

Twalen:  Ooo,  ditambah  susu,  jadi  lima  sempurna. 

Enam  lantas. 

Werdah:  Kalau  makannya  kurang;  nambah. 

Twalen:  Ooo,  bagian  makanan  saja  semuanya.  Tujuh 

lantas? 

Werdah:  Kalau  perut  saya  sudah  penuh,  ayah,  di  sana 

baru  abdikan  diri  dengan  serius.  Kalau  diibaratkan 

seperti  motor;  betapapun  bagusnya  mesin  motor  itu 

kalau  tidak  berisi  bensin,  motor  itu  tak  bisa  jalan. 

Twalen:  Di  sana  baru  diseriuskan  menghamba? 

Werdah:  Di  sana  baru  serius. 

Twalen:  Delapan? 

Werdah:  Sang  Raja  'Yaaaaahhh.  Tidak  boleh  pelit, 

tidak  boleh  pelit.  Apapun  beliau  punya,  agar  sampai 

pada  kita. 

Twalen:  Ooo  gampangan  begitu?  Bagus  itu.  Delapan, 

dapat  juga  bagian.  Ooo 


<n"      ^  .    V^V 


KT^ 


Twalen:  So  then,  nine? 

Werdah:  When  the  sun  sets  in  the  west,  be  prepared 

nine  times  over. 

Twalen:  Prepared  for  what? 

Werdah:  Prepared  to  look  for  number  ten. 

Twalen:  So  then,  ten? 

Werdah:  When  the  attendant  takes  his  leave,  he 

should  get  a  rice  dinner  to  go,  so  his  wife  and  child 

at  home  can  eat  also.  That's  how  it  should  be. 

Twalen:  Your  basic  rules  of  conduct  from  one  to  ten 

are  all  about  food.  Only  counting  to  seven  reminds 

you  to  do  your  job.  Other  than  that,  all  your  father 

can  see  is  food.   But  your  father  can't  stop  thinking 

like  a  father. 

Werdah:  What  can't  you  stop  thinking? 

Twalen:  After  the  rice  is  eaten  what  does  it  become? 

Nothing  more  than  skin,  body  parts,  blood,  bones, 

and  forgive  your  father  in  advance  for  saying  it,  but 

it  all  turns  into  shit. 

Werdah:  After  that? 

Twalen:  Our  life  is  not  just  about  food.  No.  We  cannot 

live  only  to  eat,  but  we  have  to  eat  to  live. 

Werdah:  Is  there  a  difference? 

Twalen:  There  is  a  diff'erence.  If  we  only  eat,  that 

just  fulfills  the  needs  of  our  bodies,  but  our  lives  are 

based  on  two  foundations. 

Werdah:  What  are  they? 

Twalen:  Body  and  Soul.  Mental  and  Spiritual. 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  That's  how  it  is.  But  your  father  is  not  sure 

about  it.   Your  father  sees  many  good  looking  people 

on  televsion. 

Werdah:  Good  looking  people  on  TV? 

Twalen:  They  wear  ties  and  have  shiny  shoes.   They 

appear  confident. 

Werdah:  How? 

Twalen:  But  behind  it  all,  there  is  corruption. 


Twalen:  Siya  lantas? 

Werdah:  Be  mekere  engseb  surya  kauh.  Siap-siap. 

Twalen:  Siap-siap  ngudiang? 

Werdah:  Ngalih  dasa. 

Twalen:  Dasa  lantas? 

Werdah:    Dasarin    di   mepamit    raga,    maan   nasi 

bungkus.  Panak  somah  jumah  pang  ngamah  mase. 

To  keto. 

Twalen:  Dong  ketekan  Dasa  Silan  ci,  uli  di  sa  nganti 

ke  dasa  bagian  makanan  doen  onya  to.  Sapapitu  gen 

inget  nyemak  gae  to.  Lenan  to  makanan  doen  tolih 

nanang.  Kewala  nanang  anggon  ci  rerama,  sing  abis 

pikir  nanang. 

Werdah:  Sing  habis  pikire  to? 

Twalen:  Dadi  apa  gen  nasi  ne  pakan?  Sing  ada  dadi 

kulit,  dadi  isi,  dadi  getih,  dadi  tulang.  Sugra  nanang 

di  ajeng;  makejang  dadi  tai  dadi  bacin. 

Werdah:  Suba  keto? 

Twalen:  Idup  iragae  makan  dogen?  Sing  baang. 

Hidup  ini  bukan  untuk  makan.  Tapi  kita  perlu 

makan  untuk  hidup. 

Werdah:  Melenang  to? 

Twalen:    Melenang.    Yen    makan    doen,    to    mara 

kebutuhan  jasmani  adane  to.  Iraga  idup  madasar 

baan  dadua. 

Werdah:  Apa  to? 

Twalen:  Rohani  jasmani.  Mental  sepiritual. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Keto.  Nanang  sing  yakin.  Liu  tepuk  nanang 

nak  ganteng  di  TV  e. 

Werdah:  Ganteng  di  TV  e? 

Twalen:  Medasi  mesepatu  nyelig.  Uli  penampilan 

meyakinkan. 

Werdah:  Engken? 

Twalen:  Di  balik  to  korupsi  ya. 


Twalen:  Sembilan  lantas? 

Werdah:  Jelang  matahari  tenggelam  di  ufuk  barat, 

siap-siap. 

Twalen:  Siap-siap  untuk  apa? 

Werdah:  Mencari  sepuluh. 

Twalen:  Sepuluh  lantas? 

Werdah:  Dengan  alasan  ketika  permisi  pulang,  dapat 

nasi  bungkus.  Anak  istri  di  rumah  agar  makan  juga. 

Demikian  tuh. 

Twalen:  Lho  hitungan  dasa  Silamu,  dari  satu  sampai 

sepuluh  itu  hanya  tentang  makanan.  Hitungan  ke 

tujuh  saja  ingat  mengambil  pekerjaan.  Selebihnya 

hanya  untuk  makanan,  yang  aku  lihat.  Sebagai  orang 

tua  ayah  tak  habis  pikir. 

Werdah:  Tak  habis  pikir  yang  dimaksud? 

Twalen:  Jadi  apa  saja  nasi  yang  dimakan?  Tidak  ada 

jadi  kulit,  jadi  daging,  jadi  darah,  jadi  tulang.  Maaf 

ayah  selagi  dihadapan  banyak  orang;  apa  semua  itu 

hanya  jadi  kotoran? 

Werdah:  Setelah  itu? 

Twalen:  Emangnya  hidup  kita  hanya  untuk  makan? 

Tidaklah.  Hidup  ini  bukan  untuk  makan,  tapi  kita 

perlu  makan  untuk  hidup. 

Werdah:  Emangnya  itu  beda? 

Twalen:  Beda.  Kalau  makan  saja,  itu  baru  pemenuhan 

kebutuhan  jasmani  namanya.  Kita  hidup  dilandasi 

dua  hal. 

Werdah:  Apa  itu? 

Twalen:  Rohani,  jasmani.  Mental,  spiritual. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:  Ya  gitu.  Ayah  enggak  yakin.  Banyak  orang 

ganteng  ayah  lihat  di  TV. 


Werdah:  Orang  ganteng  di  TV? 

Twalen:      Berdasi     bersepatu      mengkilat. 

penampilannya,  meyakinkan. 

Werdah:  Bagaimana? 

Twalen:  Di  balik  itu,  dia  korupsi. 


Dari 


170 


Werdah:  How  is  that? 

Twalen:  Their  morals  are  not  good. 

Werdah:  Their  morals? 

Twalen:  Morals.  That  is  the  most  important  part  of 

being  completely  human.   It  makes  you  a  person  of 

quality. 

Werdah:  What  kind  of  quality? 

Twalen:  A  healthy  body  with  a  soul  that  is  also 

healthy. 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  That's  how  it  is.  That's  why  your  father  is 

telling  you.  You  cannot  just  pay  attention  i;o  your 

body.  You  have  to  use  your  mind  properly.  Don't  just 

proclaim  your  religion  with  your  mouth.  Religion  is 

not  just  something  you  put  on  your  identification 

card.  If  your  actions  are  not  correct,  that  is  a  reflection 

of  the  way  you  live  your  religion. 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  Yeeeess!  That's  why  your  father  is  telling 

you  this.  So  now  you  can  reflect  on  what  is  correct. 

Prepare  yourself.  Because  it  is  easy  to  find  clever 

people  in  the  world. 

Werdah:  Easy? 

Twalen:  Easy.  But  finding  honest  people  is  difficult. 


Werdah:  Men  apa? 

Twalen:  Moral  sing  bagus. 

Werdah:  Moral? 

Twalen:  Moral.  Sangkal  iraga  penting  membentuk 

manusia  seutuhnya.  SDM  pang  berkwalitas. 

Werdah:  Ne  madan  berkwalitas? 
Twalen:  Jasmani  sehat,  rohanipun  sehat. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Keto.  Sangkal  nanang  ngorin  cai  to.  Sing 

dadi  awak  doen  perhatiang.  Mentale  patut.  Agama 

pelajahin  benya.  De  bibih  doen  ngeraosang  agama. 

Pang  de  agama  to  hanya  sekedar  KTP.   Kewala 

laksanane   sing   sajan   ada   mencerminkan   orang 

beragama. 

Werdah:  Ooo  ketooo. 

Twalen:  Aaaaae.  Kelan  nanang  ngorin  cai.  Patut  cai 
jani  patut  metaki-taki.  Mepidabdab.  Wireh  ngalih 
nak  duweg  aluh. 

Werdah:  Aluh? 

Twalen:    Aluh.    Ngalih    nak   jujur   keweh.    Maka 


Werdah:  Lalu  bagaimana? 

Twalen:  Moral  tidak  bagus. 

Werdah:  Moral? 

Twalen:  Moral.  Karenanya  penting  kita  membentuk 

manusia  seutuhnya.  SDM  agar  berkualitas. 

Werdah:  Yang  dimaksud  berkualitas? 
Twalen:  Jasmani  sehat,  rohanipun  sehat. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:  Ya  gitu.  Itu  sebabnya  ayah  mengingatkan 
kamu.  Tidak  boleh  hanya  badan  saja  yang 
diperhatikan.  Semestinya  juga  mental.  Jangan  mulut 
saja  berkata  agama.  Janganlah  agama  itu  hanya 
sekedar  ditera  di  KTP.  Tetapi  perbuatanya  tidak 
mencerminkan  orang  yang  sungguh  beragama. 

Werdah:  Ooo  begitu. 

Twalen:    Yaaa.    Itu    sebabnya    ayah    memberitahu 

kamu.     Sepatutnya,     sekarang     kamu     bergegas. 

Mempersiapkan  diri.  Karena  mencari  orang  pintar 

gampang. 

Werdah:  Gampang? 

Twalen:  Gampang.  Mencari  orang  jujur  sulit.  Maka 


171 


So  be  happy  to  become  an  honest  person.  Because 
in  the  world  it  is  rare  and  difficult  to  find  an  honest 
person.  That  means  that  becoming  an  honest  person 
is  the  rarest  thing  in  the  world. 
Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 
Twalen:  Yes  yes.  Oh,  do  you  see  that? 
Werdah:  Who? 

Twalen:  It  is  lord  Anggada.  He's  leaping  up  to  Siwa's 
heaven.  That  makes  your  father  happy. 
Werdah:  How? 

Twalen:  Who  knows?  There  could  be  a  stray  angel. 
I  might  bring  one  home  to  be  my  wife.  Then  you'd 
have  a  mother.  Like  you  always  wanted. 
Werdah:  Well,  well,  well,  so  you're  looking  for  a 
woman,  dad? 

Twalen:  If  there  is  one  who  would  believe  in  me. 
Why  not? 

Werdah:  Well  there  is  a  bat  looking  for  something 
down  there.  Looking  for  a  pumpkin  in  Jegu.  (these 
are  nonsense  rhymes  in  Balinese). 
Twalen:  A  bat  is  looking  down  below.    Looking  for 
pumpkins  in  Jegu.  What  are  you  talking  about? 
Werdah:    About  you  yourself.    You  don't  have  any 
teeth,  but  you  are  thinking  about  marriage.    Why 
would  any  woman  would  want  you? 
172 


bahagialah  menjadi  orang  jujur.  Sebab  di  Gumine 
langah,  keweh  ngalih  nak  jujur.  Maka  dadi  nak 
jujur  paling  langka  di  Gumine. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Aaa  ae.  Ooo  o  puk  ci  to? 

Werdah:  Nyen? 

Twalen:  Dane  Sang  Ngada.  Mecues  ke  Siwa  Loka. 

Nanang  demen  atie. 

Werdah:  Kenken? 

Twalen:  Nyen  nawang  ada  dedari  kesasar.  Juk  ukud 

aba  mulih  anggon  nanang  somah.  Anggon  ci  eme. 

Keto  nyet  e  to. 

Werdah:  Dong  dong  dong,  mekita  ngalih  nak  eluh 

mase,  nang? 

Twalen:  Dong  yen  ada  nak  ngugu.  Kenken  neh. 

Werdah:  Dong  lelawah  alih  di  beten.  Buah  waluh 
alih  di  Jegu. 

Twalen:  Lelawah  alih  di  beten.  Buah  waluh  alih  di 
Jegu.  Engken  j  a? 

Werdah:  Dong  awak  pawah  nu  mase  ngitungan 
nganten.  Nyen  nak  luh  bakal  ngugu. 


berbahagialah  menjadi  orang  jujur.  Sebab  di  dunia 
jarang,  sulit  mencari  orang  jujur.  Maka  menjadi 
orang  jujur  paling  langka  di  dunia. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:  Ya  ya.  Ooo  kamu  lihat  tuh? 

Werdah:  Siapa? 

Twalen:  Beliau  Sang  Ngada.  Melesat  ke  Siwa  Loka. 

Hati  ayah  jadi  senang. 

Werdah:  Bagaimana? 

Twalen:  Siapa  tahu  ada  bidadari  kesasar.  Ayah  'kan 

tangkap  satu,  bawa  pulang  jadikan  istri.  Sebagai 

ibumu.  Demikian  niatku. 

Werdah:     'Ntar,     'ntar,     'ntar,     ada     niat     untuk 

mempersunting  wanita  lagi,  ayah? 

Twalen:    Bila    ada    orang    yang    menaruh    hati. 

Bagaimana  tidak? 

Werdah:  Kelelawar  cari  di  bawah,  buah  labu  cari 

di  Jegu.  (padanan  ide:  Kulit  kepongpong  dipelintir 

angin,  mata  merah  terkena  debu). 

Twalen:  Kulit  kepongpong  dipelintir  angin,  mata 

merah  terkena  debu.  Apa  maksudnya? 

Werdah:   Wah,   gigi   sudah   ompong   memikirkan 

kawin  lagi,  wanita  mana  yang  akan  mau. 


Twalen:  Because  I'm  toothless? 

Werdah:  Because  you  are  toothless. 

Twalen:  A  (toothless)  bat  meets  another  bat.  He  gets 

some  medicine  for  his  blotchy  body. 

Werdah:  What's  that  about? 

Twalen:  Being  toothless  is  not  a  problem.  The  thing 

that  matters  is  still  strong.  What  are  you  thinking? 

Having  no  teeth  doesn't  matter.  Are  my  teeth  getting 

married?      Even   though   I'm   toothless,   the   man 

downstairs  still  has  what  it  takes.    Although,  your 

father  is  old,  don't  call  me  an  old  man. 

Werdah:  Then  what? 

Twalen:  Your  father  is  like  an  old  car  engine. 

Werdah:  Like  an  old  car  engine? 

Twalen:  Your  father  is  like  an  old  car. 

Werdah:  How  like  an  old  car? 

Twalen:  Getting  it  started  is  difficult. 

Werdah:  Getting  it  started  is  difficult? 

Twalen:  Yes.    But  once  it  gets  going,  it's  difficult  to 

stop. 

Werdah:  An  old  car? 

Twalen:  An  old  car.  If  you  get  a  new  car  nowadays 

it  has  a  shiny  body  and  is  easy  to  start.    Just  click 

the  ignition  and  vroooom.   But  after  five  years  your 

engine  breaks  down.  The  staying  power  isn't  strong. 

So  there! 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  That's  how  it  is.    Your  father  has  already 

passed  the  test  run.     A  rare  specimen,  don't  you 

think?  Lots  ofpeople  are  looking  for  antiques.  What 

do  you  say  to  that? 

Werdah:  So  that's  why  they  are  looking? 

Twalen:  And  what's  more,  then  they  renovate  the 

antiques.    Many  jalopies  have  old  parts,  hub  caps, 

tires,  so  they  replace  them. 

Werdah:  Oh,  antique  antiquities? 

Twalen:  Yes,  what  do  you  know  about  it.     Those 

things  are  very  expensive  nowadays. 


Twalen:  Baan  pawahe? 

Werdah:  Baan  pawahe. 

Twalen:  Lelawah  ketemu  Lelawah.  Tubuh  panu  di 

beri  obat. 

Werdah:  Apa  to? 

Twalen:  Biar  pawah  sing  ada  masalah.  Asal  itu  anu 

masih  kuat.  Kenken  ci.  Apin  nanang  pawah.  Gigi 

maan   nganten?   Apin   pawah   be   siteng   panggal 

pengijeng  to  sangetang.  De  nak  tuae  ubat-abite  to. 

Apin  nanang  tua. 

Werdah:  Men? 

Twalen:  Tuan  nanange  nak  tuaning  cara  motor. 

Werdah:  Tuan  cara  motore? 

Twalen:  Nanang  sing  motor  kuno  nanang. 

Werdah:  yen  motor  kunoe? 

Twalen:  Ngidupang  sukeh. 

Werdah:  Ngidupang  sukeh? 

Twalen:   Aa.   Kewala   di   suba   idupe   ngamatiang 

keweh. 

Werdah:  Motor  kunoe? 

Twalen:  Motor  kunoe.  Yen  cai  motor  cara  janie. 

Nyelig  di  body  ngidupang  aluh.  Ngajak  setater  pecik 

gen  sereeeet.  Kewala  limang  tiban  turun  mesin  ci. 

Daya  tahan  sing  kuat.  Kenken. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Keto  kenkene.  Yen  nanang  kan  suba  lulus 
uji  coba.  Barang  langka  kenken  ci.  Nak  jani  liu  nak 
ngalih  barang-barang  antik  jani,  kenkene. 

Werdah:  Awinang  aliha? 

Twalen:  Apa  buin  lantas  barang  antike  di  modifikasi 

lantas.  Liu  ceketere  misi  anu,  pelek  anu,  meban, 

mepelekan  jani. 

Werdah:  Ooo  antik-antik? 

Twalen:  Aa  kenken  ci.  Mael  barange  to.  Jani  kene. 


Twalen:  Karena  ompong? 

Werdah:  Karena  ompongnya. 

Twalen:  Kepompong  ketemu  kelelawar.  Tubuh  panu 

diberi  obat. 

Werdah:  Apa  itu? 

Twalen:    Biar   ompong   tidak   ada   masalah.    Asal 

anunya  itu  masih  kuat.  Bagaimana  kamu.  Biar  ayah 

'udah  ompong.  Emang  giginya  yang  menikah?  Biar 

ompong,  asal  pangkal  gigi  masih  kuat;  masa  bodoh. 

Jangan  ketuanku  dipermasalahkan.  Biar  ayah  udah 

tua... 

Werdah:  Lalu? 

Twalen:  Tuanya  ayah  tak  ubahnya  seperti  mobil. 

Werdah:  Ketuaan  seperti  motor? 

Twalen:  Ayah  kan  motor  kuno,  ayah. 

Werdah:  Kalau  motor  kunonya? 

Twalen:  Menghidupkannya  sulit. 

Werdah:  Menghidupkannya  sulit? 

Twalen:  Ya.  Tetapi  ketika  sudah  hidup,  mematikan 

sulit. 

Werdah:  Motornya  kuno? 

Twalen:  Motor  kuno.  Kalau  kamu,  motor  jaman 

sekarang.   Mengkilat  di  body.   Menghidupkannya 

gampang.   Dilengkapi  starter,  hanya  pencet  saja, 

sereeeet.  Tetapi  lima  tahun  udah  turun  mesin,  kamu. 

Daya  tahannya  tidak  kuat.  Gimana  kamu. 

Werdah:  Oh  begitu? 

Twalen:  Ya  gitu  tuh,  gimana  kamu.  Kalau  ayah  kan 

udah  lulus  uji  coba.  Barang  langka,  gimana  kamu. 

Banyak  orang  sekarang  memburu  barang  antik. 

Gimana  kamu. 

Werdah:  Kenapa  diburu? 

Twalen:    Apalagi    barang    antiknya    dimodifikasi. 

Banyak  motor  bekas  berisi  apa  namanya  tuh..., 

pelek,  rodanya  berpelek  sekarang. 

Werdah:  Ooo  antik-antik? 

Twalen:  Ya  bagaimana  kamu.  Itu  barang  mahal. 

Sekarang  begini. 


173 


Werdah:  Oh,  is  that  so? 

Twalen:  Now  if  we  go  along  to  Siwa's  Heaven,  the 

people  there  will  be  talking  about  important  things. 

Our  master  Anggada  will  be  meeting  with  Lord 

Surya  and  Lord  Siwa. 

Werdah:  And  so? 

Twalen:  So,  don't  you  disturb  them! 

Werdah:  What  do  you  mean? 

Twalen:  Let's  go  somewhere  refreshing. 

Werdah:  Where? 

Twalen:  To  hell. 

Werdah:  What  for? 

Twalen:  To  see  the  souls  being  judged. 

Twalen:  Being  judged? 

Twalen:  Tomorrow  will  be  the  judging. 

Werdah:  What  kind  of  judging? 

Twalen:  The  judging  about  copyright. 

Werdah:  Is  that  right? 

Twalen:  Yes.  That  is  the  situation  there. 

Werdah:  Why  should  we  go  there? 

Twalen:  Well,  to  see  how  the  people  who  hold  the 

power  of  the  law  decide  the  cases.  Oh,  we  will  be  like 

a  team  of  monitors. 

Werdah:  Is  that  how  it  will  be? 

Twalen:  Yes.  Which  side  is  right  and  which  is  not. 

Werdah:  Oh,  I  see. 

Twalen:  That  is  what  is  difficult  for  the  people  who 

hold  the  power  of  the  law.  They  make  the  laws,  but 

then  they  don't  always  enforce  them.    The  law  is 

sacred  if  you  apply  it  fully.  Be  sure  to  uphold  it.  Be 

sure  to  enforce  it.  Because  today  many  clever  people 

manipulate  the  law.  Our  country  is  the  cleverest. 

Werdah:  Why  is  that? 

Twalen:  An  example. 

Werdah:  What? 

Twalen:  A  government  employeee  is  not  allowed  to 


Werdah:  Kenken? 

Twalen:  Yen  benya  bareng  kema  ke  Siwa  Loka.  Nak 
bebaosang  sarat  Dane  Sang  Ngada,  ngiring  Ida 
Batara  Surya.  A  Ida  Batara  Siwa. 


Werdah: 

:  Kenken? 

Twalen: 

Ci  de  ngulgul! 

Werdah: 

:  Kenken? 

Twalen: 

Jak  represing. 

Werdah: 

:  Kija? 

Twalen: 

Ke  Yama  Loka. 

Werdah: 

:  Ngudiang? 

Twalen: 

Nelokan  atma-atma  sidang. 

Werdah: 

:  Sidang? 

Twalen: 

Biin  mani  kel  sidang  nyen. 

Werdah 

:  Sidang  apa? 

Twalen: 

Hak  Cipta  keto. 

Werdah 

:  Keto? 

Twalen: 

Aa.  Kenken  ya  keadaan  ditu? 

Werdah:  Ngudiang  kema? 

Twalen:   Ye   nelokan   kenken   nak  ne   ngisi-ngisi 

hukum.   Memutuskan   sebuah   kasus.   Ooo,   iraga 

dadi  tim  pemantau. 

Werdah:  Keto? 

Twalen:  Aa.  Apa  beneh  apa  sing. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  To  keto.  Nak  keweh  ngisi  hukum.  Gae  gen 

awige,  awag-awagen  lantas.  Hukume  to  nak  tenget 

yen   hukume   to   saja  tepaten.   Saja  jejegen,   saja 

jalanan.  Wireh  liu  jani  nak  duweg  mempermainkan 

hukum.  Gumin  ragae  paling  duwege. 


Werdah:  To  nguda  keto? 

Twalen:  Contoh. 

Werdah:  Kenken? 

Twalen:  Pegawai  negeri  sing  dadi  ngelah  kurenan 


Werdah:  Bagaimana? 

Twalen:  Kalau  kita  ikut  ke  Siwa  Loka  sana. 
Pembicaraan  penting  paduka  Ngada,  dengan  beliau 
Dewa  Surya  dengan  beliau  Batara  Siwa. 

Werdah:  Bagaimana? 

Twalen:  Kamu  jangan  mengganggu! 

Werdah:  Bagaimana? 

Twalen:  Mari  beranjangsana. 

Werdah:  Kemana? 

Twalen:  Ke  Yama  Loka 

Werdah:  Untuk  apa? 

Twalen:  Melihat  para  atma  disidang. 

Werdah:  Sidang? 

Twalen:  Besok  akan  sidang  lagi. 

Werdah:  Sidang  apa? 

Twalen:  Hak  cipta,  gitu  lho. 

Werdah:  Begitu? 

Twalen:    Ya.    Bagaimana    barangkali    keadaan    di 

sana? 

Werdah:  Ngapain  ke  sana? 

Twalen:  La  ya,  melihat-lihat  bagaimana  orang  yang 

megang-megang     hukum.     Memutuskan     sebuah 

kasus.  Ooo,  kita  menjadi  tim  pemantau. 

Werdah:  Begitu? 

Twalen:  Ya.  Apa  benar,  apa  tidak. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:     Ya    seperti    itu.     Orang,    emang    sulit 

menegalckan  hukum.  Buat  peraturan  adat;  kemudian 

tidak  dihiraukan.  Hukum  itu  sakral,  kalau  hukum 

itu  benar-benar  ditepati,  benar-benar  dikukuhkan, 

benar-benar  dijalankan.  Sekarang  ini,  banyak  orang 

pintar  mempermainkan  hukum.  Orang-orang  kita 

paling  pintar. 

Werdah:  Kenapa  demikian? 

Twalen:  Contoh. 

Werdah:  Bagaimana? 

Twalen:  Pegawai  negeri  tidak  boleh  mempunyai  dua 


175 


have  two  wives.  That's  what  the  law  says.  Now  here's 

the  trick. 

Werdah:  What? 

Twalen:  Just  a  contract  marriage.  That's  how  they  do 

it.  There  is  no  evidence.  No  one  can  prosecute  you. 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  Yes.  We  are  the  cleverest  at  twisting  the  law. 

Werdah:  Oh,  it's  like  that? 

Twalen:  Yes.  Because  nothing  is  perfect  in  the  world. 

There  is  no  law  that  is  perfect.  Now  if  we  stay  aware, 

we  will  hold  the  law  in  high  esteem.    The  law  will 

be  strong.    To  find  justice  in  this  world  is  difficult, 

because  there  are  so  many  kinds  of  justice,  many 

kinds. 

Werdah:  For  example? 

Twalen:  Justice  according  to  God.  Justice  according 

to  the  judge.     Justice  according  to  the  accused. 

Justice  according  to  the  community.    Oh,  there  are 

many  kinds. 

Werdah:  So,  then? 

Twalen:  ...  hmmm  (thinks) 

Werdah:  For  example? 

Twalen:  You  burn  your  friend's  house,  like  the  case 

of  the  citizens  of  Klungkung. 

Werdah:  What  happens  if   you  burn  your  friend's 

house? 

Twalen:  Well. 

Twalen:  As  for  God's  justice,  we  do  not  understand 

it.    As  for  the  justice  of  the  judge,  they  will  get  a 

five  year  jail  sentence,  for  example.    As  for  justice 

according  to  the  owner  of  the  house,  five  years  is  not 

appropriate.  He  wants  the  death  penalty.  According 

to  the  community,  it  should  be  something  different. 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  Yes.  So  then  there  will  be  some  playing 

around  (with  justice). 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 


dua.  Munyin  hukume  keto.  Jani  siasatne  jani. 

Werdah:  Kenken? 

Twalen:  Jeg  kawin  sirih  suba  lantas.  To  sing  ba 

ngidang.  Nak  tara  ada  bukti,  kenken  anu  nuntut. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Aa.  Paling  duweg  mensiasati  hukum. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Aa.  Wireh  di  Gumie  sing  ada  ne  sempurna. 

Hukum  apa  sing  ada  sempurna.  Jani  yen  iraga  sadar 

lantas  menjungjung  tinggi  hukume  to.   Hukume 

to  bakal  kuat.  Ngae  adil  di  Gumie  keweh.  Wireh 

macem-macem  adile,  liu  macemne. 

Werdah:  Conto  ne? 

Twalen:  Adil  menurut  Tuhan.  Adil  menurut  hakim. 
Adil  ne  menurut  ne  tersangka.  Adil  menurut 
masyarakat.  Ooo  liu  to. 

Werdah:  Meeen? 

Twalen:  ...hem....? 

Werdah:  Contohne? 

Twalen:  Cai  nunjel  umah  timpal.  Kasus  wangsa  di 

Kelungkungne. 

Werdah:  Maan  nunjel  umah  timpal? 

Twalen:  Aa. 

Twalen:  Yen  menurut  keadilan  Sang  Hyang  Widhi, 

iraga  sinah  ba  sing  nawang.  Yen  menurut  pengadilan 

hakime  ne.  Baang  ba  ya  hukume  limang  tahun,  keto 

umpama.  Menurut  keadilan  ne  ngelah  umahe  sing 

cocok  limang  tahun.  Pang  hukum  mati  ya.  Ooo. 

Yen  menurut  masyarakat  biin  len. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Aa.  Kelan  ne  ada  permainan  lantas  keto. 

Werdah:  Ooo  keto? 


istri.  Seperti  itu  tertera  dalam    hukum.  Kemudian 

disiasati  lalu. 

Werdah:  Caranya? 

Twalen:  Dengan  jalan  kawin  sirih,  lantas.  Itu  kan 

sudah  biasa.  Orang  tidak  ada  bukti,  bagaimana  cara 

menuntutnya. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:  Ya.  Paling  pintar  mensiasati  hukum. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:  Ya.  Karena  di  dunia  tidak  ada  yang  sempurna. 

Hukum  apapun  tidak  ada  yang  sempurna.  Kalau 

saja  kita  semua  sadar  menjungjung  tinggi  hukum 

itu;  hukum  itu  akan  kuat.  Membuat  keadilan  di 

dunia  sulit.  Karena  keadilan  itu  bermacam-macam. 

Banyak  macamnya. 

Werdah:  Contohnya? 

Twalen:  Adil  menurut  Tuhan.  Adil  menurut  hakim. 

Adil    menurut    yang    tersangka.    Adil    menurut 

masyarakat.  Ooo  banyak  itu. 

Werdah:  Lalu? 

Twalen:  Hem ? 

Werdah:  Contohnya? 

Twalen:  Kamu  membakar  rumah  teman.  Seperti 

kasus  warga  yang  di  Klungkung. 

Werdah:  Membakar  rumah  teman? 

Twalen:  Ya. 

Twalen:  Kalau  menurut  keadilan  Tuhan,  sudah  pasti 

kita  tidak  tahu.  Kalau  menurut  keadilan  hakim, 

udah  beri  aja  dia  hukuman  lima  tahun;  umpamanya. 

Menurut  keadilan  yang  punya  rumah  tidak  cocok 

lima  tahun.  Hukum  mati  aja  dia.  Ooo  Kalau  menurut 

masyarakat  lagi  lain. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:  Ya.  Makanya  ini  ada  permainan  seperti  itu. 

Werdah:  Ooo  begitu? 


176 


Twalen:  Yes.  So  there  will  be  some  tampering  to 

make  the  game  look  good.    This  kind  of  game  goes 

on  everywhere. 

Werdah:  Oh,  so  that's  how  it  is? 

Twalen:  Yes.  If  we  are  with  our  wives  and  there  is  no 

game-playing,  then  something  beautiful  is  missing. 

Werdah:  Oh,  you're  bringing  it  down  to  that. 

Twalen:  Yes,  just  joking.    If  you  are  too  serious,  it's 

only  words. 

Twalen:  Let's  go  to  Yama's  Hell.  We  can  watch  the 

souls  being  judged.   Maybe  there  will  be  a  place  for 

Amrozi  there.     (Amrozi  was  a  convicted  terrorist 

awaiting  the  death  penalty  at  the  time  of  the  play). 

Werdah:  Hasn't  he  been  executed  yet? 

Twalen:  Not  yet. 

Werdah:  Not  yet? 

Twalen:  Not  yet. 

Werdah:  They  say  he  was  sentenced  to  die. 

Twalen:  The  law  died,  but  Amrozi  is  still  alive.  That's 

what  happened. 

Werdah:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Twalen:  Yes.  We  never  know  for  sure.  Let's  go  to  have 


Twalen:   Aa.   Pang   nyak  kutak-katik.   Pang  nyak 

cantik  permainane.  Dija  misi  permainan  kenken 

ne. 

Werdah:  Ooo  keto? 

Twalen:  Aa.  Yen  ajak  somahe  yen  sing  jin  permainan 

nyak  sing  luwung. 

Werdah:  Kema  abae. 

Twalen:  Nah  ketoang  nen  malu.  Bes  serius  gen 

omongne. 

Twalen:  Lan  ke  Yama  Loka.  Ngelokin  atma-atmae 

sidang  ditu.  Lan.  Ada  ya  tongos  Amrozi  ditu. 


Werdah:  Konden  hukum  mati  to? 

Twalen:  Konden. 

Werdah:  Tonden? 

Twalen:  Tonden. 

Werdah:  Kone  hukum  mati  ya  to? 

Twalen:  Hukume  mati.  Amrozi  nu  hidup.  Kenken 

ci. 

Werdah:  Ooo  misi  keto? 

Twalen:  Aa.  Nak  kena  sing  baan.  Lan-lan  lokan. 


Twalen:  Ya.  Agar  mau  di  kutak-katik.  Agar  mau 

cantik  permainannya.  Dimana  saja  ada  permainan; 

bagaimana  kamu. 

Werdah:  Ooo  begitu? 

Twalen:    Ya.     Kalau    bersama    istri    tanpa    diisi 

permainan,  tidak  indah. 

Werdah:  Kok  kesana  dibawa. 

Twalen:   Ya  guyon   dikit.   Biar   tak  terlalu   serius 

pembicaraanya. 

Twalen:  Mari  ke  Yama  Loka.  Melihat-lihat  para 

roh  disidang  di  sana.  Ayo.  Apakah  si  Amrozi  dapat 

tempat  disana? 

Werdah:  Belum  dieksekusi  mati  tuh? 

Twalen:  Belum. 

Werdah:  Belum? 

Twalen:  Belum. 

Werdah:    Katanya   dia   difonis   dengan   hukuman 

mati? 

Twalen:  Hukumnya  yang  mati.  Amrozi  masih  hidup. 

Gimana  kamu. 

Werdah:  Ooo  nyindir  ya? 

Twalen:  Ya,  kita  tidak  pernah  tahu.  Mari,  mari. 


177 


a  look. 

Werdah:  Let's  go. 
Singers:  ...  (chant) 

Lord  Suratma:  Ha  ha  ha  haaa.  My  name  is  Lord 
Suratma.  Lord  Suratma  is  the  secretary  in  Heaven. 
Sang  Hyang  Suratma  is  Heaven's  expert  for  writing 
and  punctuation.  All  the  deeds  commited  by 
humans  that  make  up  their  karma  will  be  entered 
into  the  computer  of  Lord  Suratma.  Hey,  all  you 
Cikrabala  (demons  of  hell),  please  grab  these 
souls.  Lord  Suratma  will  keep  writing.  Over  here. 
Over  here! 
Singers:  ...  (chant) 
Sang  Suratma : 


Soul:  My  name  is  Wayan  Polos,  sir.  {Polos  means 

'virtuous') 

Sang  Suratma:  Who? 

Soul:  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  Oh,  good,  good,  good.  Your  name 

interests  me  already.  If  your  name  is  Virtuous',  then 

your  character  must  be  virtuous.   Take  care  to  give 

names  whose  nature  is  positive.  A  good  name  reflects 


Werdah:  Lan-lan.  Jalan. 
Sendon:   ... 

Sang  Suratma:  Ha  ha  ha  haaaa.  Yayateki  ngaran 
Sang  Hyang  Suratma.  Sang  Hyang  Suratma 
sekretaris  Suarga  Loka.  Sang  Hyang  Suratma 
juru  tulis  penyarikan  Suarga,  sahananing  karman 
manusa,  masuk  dalam  komputer  Sang  Hyang 
Suratma.  Ih  wateking  Cikrabala  sedaya  yata 
amet  ikanang  atma.  Merangke!  Apan  Sang  Hyang 
Suratma  bipraya  nyurat.  Merangke-merangke! 

Sendon:  ... 

Sang  Suratma:  Ih  kita  atma  prapta.  Sang  Hyang 

Suratma  tetanya  lawan  kalaganta.  Sang  apa  dwi 

dasa    nama.    Muang    apa    prayojananta    aneng 

kunang  Mayapada? 

Atma:  Titiang  madan  Wayan  Polos  Atu. 

Sang  Suratma:  Nyen? 

Atma:  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  Goo  bagus,  bagus,  bagus.  Uli  adan  ba 

menarik.  Adan  Polos  sifat  pasti  polos.  Apiken  ngae 

adan  sifate  pang  nyak  bagus.  Uli  adan  ngeranang 

sifate  luwung. 


lihat. 

Werdah:  Mari,  mari  jalan. 

Senden:  ... 

Sang  Suratma:  Ha  ha  ha  haaaa.  Namaku  ini  Sang 

Hyang  Suratma.  Sang  Hyang  Suratma  sekretaris 

Surga.  Sang  Hyang  Suratma  juru  tulis,  sekretaris 

surga    berkenaan    semua    perbuatan    manusia, 

masuk  dalam  komputer  Sang  Hyang  Suratma. 

Wahai  para  Cikrabala  semua,  ambil  para  atma. 

Kesini!     Karena    Sang    Hyang    Suratma    akan 

mendata.  Kesini!  Kesini! 

Sinden:  ... 

Sang  Suratma:  Wahai  kamu  roh  yang  datang.  Sang 
Surama  bertanya  padamu.  Siapa  namamu.  Juga 
apa  maumu  datang  ke  dunia  maya? 

Roh:  Hamba  bernama  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  Siapa? 

Roh:  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  Ooo  bagus,  bagus,  bagus.  Dari  nama 

saja  sudah  menarik.  Namanya  Polos  sifatnyapun 

pasti  polos.  Buat  nama  yang  bagus,  agar  sifatnya 

jadi  bagus.  Dari  nama  membuat  sifat  jadi  bagus. 


178 


a  good  character. 

Soul:   Oh.   My  neighbor  to   the   south   is   named 

Sudharma  {one following  the  noblest  laws'),  but  he  is 

always  stealing  things. 

Sang  Suratma  :  Sudarma?  Stealing  things?  What's 

your  name? 

Soul:  I  am  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  What  did  you  do  in  the  world? 

Soul:  I  like  to  practice  religion. 

Sang  Suratma:  For  example? 

Soul:  I  always  practice  Tri  Sandya  (  ).   I  do  it  three 

times.   Three  times  every  day.   Morning,  afternoon, 

and  evening.  I  never  forget,  sir. 

Sang  Suratma:  Oh,  good  good  good.  That  is  the  right 

way  to  be.  What  is  your  name? 

Soul:  I  am  Wayan  Polos,  sir. 

Sang  Suratma:  Aaah,  do  you  make  donations? 

Soul:  I  am  the  father  of  donations.  Wherever  there  is 

a  temple  renovation,  I  am  the  first  one  to  donate.  If 

someone  donates  two  hundred,  I  give  four  hundred. 

If  someone   donates   four   hundred   I    give   eight 

hundred.  If  someone  donates  five  hundred,  I  give  a 

million.  So  that  I  can  outdo  all  the  others  and  keep 

up  my  prestige,  sir. 

Sang  Suratma  :  Oh,  good,  good,  good.  Your  name? 

Soul:  I  am  Wayan  Polos,  sir. 
Suratma  :  How  about  your  praying? 
Soul:  I  like  praying  very  much.    Whenever  there  is 
a  temple  ceremony,  I  am  always  the  first  to  pray.    I 
burn  so  many  bundles  of  incense  sticks  that  I  make 
the  priest  sneeze  from  all  the  smoke. 
Sang  Suratma:  Oh,  good,  good,  good.  That  is  the 
right  way  to  be.  Your  name? 
Soul:  Wayan  Polos,  sir. 
Sang  Suratma:  Why  have  you  come  here? 
Soul:  I  am  looking  for  heaven. 


Atma:   Bih   delod   umah  tiange   Sudarma   adane, 
ngemaling  sai  to. 

Sang  Suratma:  Sudarma  apa  ngemaling?  Adan  cie? 

Atma:  Tiang  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  Wisayan  ta  ring  Mercapada? 

Atma:  Tiang  demen  me  agama. 

Sang  Suratma:  Contohne? 

Atma:  Rutin  tiang  Tri  Sandya.  Tiga  hari  tiang,  aa, 

tiga  kali  tiap  hari.  Semengan  tengai  sanja.  Pagi 

siang  dan  sore.  Tak  pernah  lupa  tiang  atu. 

Sang  Suratma:  Ooo  bagus,  bagus,  bagus.  Pang  keto. 

Adan  cie? 

Atma:  Wayan  Polos  tiang  Atu. 

Sang  Suratma:  Aaa  yan  mepunia? 

Atma:     Tiang     bapak     donature.     Dija    ja     ada 

wewangunan  di  Pura  tiang  simalu  meaturan.  Nak 

ngaturan  satak,  tiang  samas.  Nak  ngaturang  samas 

tiang  lapan  ratus.  Nak  ngaturang  mang  atus  tiang 

satu  juta.  Pang  gedenan  gen  ken  timpale.  Gengsi 

tiang  Atu. 


Sang  Suratma:  Ooo  bagus,  bagus,  bagus.  Adane? 

Atma:  Wayan  Polos  tiang  Atu. 

Sang  Suratma:  Yan  mebakti? 

Atma:  Tiang  paling  demen  mebakti.  Dija  ja  ada 

odalan  di  Pura  tiang  simalu  mebakti.  Apesel-pesel 

ngenyit  dupa.  Jero  Mangku  kanti  simpatan  uyak 

andus  dupan  tiange. 

Sang  Suratma:  Ooo  luwung  luwung  luwung.  Pang 

keto,  pang  keto  pang  keto  ba.  Adane? 

Atma:  Wayan  Polos  Atu. 

Sang  Suratma:  Aaa  tekan  ci  mai? 

Atma:  Tiang  ngalih  Suarga. 


Roh:  Wah  tetangga  saya  di  sebelah  selatan  rumah 
namanya  Sudarma,  tapi  dia  sering  mencuri. 

Sang  Suratma:  Sudarma,  apa  mencuri?  Namamu? 

Roh:  Hamba  Wayan  Polos. 

Sang  Suratma:  Pekerjaanmu  di  dunia? 

Roh:  Hamba  senang  beragama. 

Sang  Suratma:  Contohnya? 

Roh:  Rutin  hamba  Tri  Sandya.  Tiga  hari  hamba,  aaa 

maaf,  tiga  kali  setiap  hari.  Pagi,  siang,  sore;  pagi, 

siang,  dan  sore.  Tidak  pernah  lupa  hamba  paduka. 

Sang  Suratma:  Ooo  bagus,  bagus,  baguslah.  Begitulah 

semestinya.  Namamu? 

Roh:  Wayan  Polos,  hamba  paduka. 

Sang  Suratma:  Aaa  kalau  bersedekah? 

Roh:  Hambalah  bapak  donatur.  Dimanapun  ada 

pembangunan    perbaikan    Pura,    hambalah    yang 

terdepan  menyumbang.  Orang  menyumbang  dua 

ratus,  hamba  empat  ratus.  Orang  menghaturkan 

donasi  empat  ratus  hamba  delapan  ratus.  Orang 

menghaturkan  donasi  lima  ratus,  hamba  satu  juta. 

Pokoknya    selalu    lebih    besar    dibanding    teman. 

Gengsi  hamba  paduka. 

Sang     Suratma:     Ooo     bagus,    bagus,    baguslah. 

Namamu? 

Roh:  Wayan  Polos  hamba  paduka. 

Sang  Suratma:  Kalau  sembahyang? 

Roh:  Hamba  paling  senang  sembahyang.  Dimana  ada 

odalan  di  Pura  hamba  terdepan  duduk  sembahyang. 

Berbungkus-bungkus  membakar  dupa.  Jero  Mangku 

sampai  bersin-bersin  menghirup  asap  dupa  hamba. 

Sang  Suratma:  Ooo  bagus,  bagus,  bagus.  Ya  begitulah, 

agar  begitulah,  seperti  itulah.  Namanya? 

Roh:  Wayan  Polos  paduka. 

Sang  Suratma:  Aaa  kedatangan  kamu  ke  sini? 

Roh:  Hamba  mau  ke  Surga. 


179 


:''^<t*j 


^\.- 


'* 


A- 


X 


y 


^^, 


r^/ 


^^ 


^y 


m-:^ 


•     ^* 


} 


,<: 


.^ 


V 


-\ 


o 


/if*' 


.-=?v" 


r  . 


r.^»- 


•  *- 


^ 


«^ 


%  / '^V      v^' 


/ 


^    w 


yr 


^-       V 


rf''i^<iiaiiii 


Sang  Suratma:  Why  are  you  looking  for  heaven? 

Soul:  Because  I  like  to  pray. 

Sang  Suratma:  Do  you  think  you  can  find  a  place  in 

heaven  just  because  you  like  to  pray?  Do  you  think 

the  Hindu  religion  asks  you  to  do  nothing  more 

than  pray.  The  Hindu  religion  has  four  paths.  They 

are  called  "Catur  Marga"  ("The  Four  Paths"):  Bakti 

Marga  (the  path  of  prayer),  Karma  Marga  (the  path 

of  good  deeds),  Raja  Marga  (the  path  of  law),  Jnana 

Marga  (the  path  of  knowledge).  Putting  a  flower 

above  your  head  (in  prayer)  is  just  a  small  part  of 

what  the  Hindu  religion  teaches  you.  That  is  called 

"Apara  Bakti." 

Soul:  What  do  you  mean?  Not  only  here  (have  I  been 

praying),  but  I've  been  to  Java  four  times.  I've  gone 

back  and  forth  to  India  three  times  to  pray.  Is  that  a 

bad  thing  to  do? 

Sang  Suratma:  It's  good. 

Soul:  Oh,  it's  good  . 

Sang  Suratma:  Your  temple  shrines  at  home  are 

falling  apart,  but  you  pay  no  attention,  because  you 

are  traveling  all  over  looking  for  God  in  Java  and 

India.  Take  care  of  your  home  first,  mister!  You  are 

peeling  off  the  bark  of  your  Pole  tree  to  give  to  your 

neighbor.    You  are  not  paying  attention  to  yourself 

The  Hindu  religion  has  three  levels.  The  high,  the 

middle,  and  the  low.    In  your  home  there  are  also 

three  levels. 

Soul:  The  highest? 

Sang  Suratma:  Your  family  temple  shrine! 

Soul:  The  middle? 

Sang  Suratma:  The  house. 

Soul:  The  lowest? 

Sang  Suratma:  The  outhouse.     The  toilet!     In  the 

village  there  are  also  three  levels. 

Soul:  The  first? 

Sang  Suratma:  The  Temple. 

Soul:  The  middle? 


Sang  Suratma:  Awinan  ci  ngalih  Suarga? 
Atma:  Wireh  tiang  demen  mebakti. 
Sang  Suratma:  Kaden  ci  dadi  Suarga  alih 
ulian  demen  mebakti.  Agama  Hindu  kaden  ci 
sembahyang  gen  orine.  Agama  Hindu  to  ngelah 
jalan  patpat.  Raosange  Catur  Marga.  Bakti  Marga, 
Karma  Marga,  Raja  Marga.  Jnana  Marga.  Ci  mara 
bisa  menekang  bunga  duwur  ubun-ubun.  To  mara 
seper  kecil  ajaran  Agama  Hindu.  Mara  Apara  Bakti 
adane  to. 


Atma:  Napi  nika,  de  ja  driki,  ke  Jawa  gen  pang 
pat.  Ke  India  bulak-balik  pang  telu  mebakti.  Jelek 
nika? 

Sang  Suratma:  Luwung. 
Atma:  Ooo  luwung. 

Sang  Suratma:  Sanggah  Kemulan  ci  nyerendeng, 
sing  rungu-rungu  ci.  Tungkul  ci  paling  ngalih 
Dewa  widhi  ke  Jawa  ke  India  nabdab  Dewa.  Dewa 
di  jumah  sing  apikan  ci.  Ne  jumah  malu  apikan 
Gus!  Ci  cara  babakan  Pole  nyeksek  ke  pisaga,  awak 
ci  pedidi  sing  runguang  ci.  Agama  Hindu  ngelah 
paletan  telu.  Utama,  Madya,  Nista.  Jumah  ci  atelu. 


Atma:  Utamane? 

Sang  Suratma:  Sanggah! 

Atma:  Madya? 

Sang  Suratma:  Umah! 

Atma:  Nista? 

Sang  Suratma:  Teba,  WC!  Di  Desa  ada  telu! 

Atma:  Utamane? 
Sang  Suratma:  Pura! 
Atma:  Madyane? 


Sang  Suratma:  Alasan  kamu  hendak  ke  Surga? 
Roh:  Karena  hamba  senang  sembahyang. 
Sang  Suratma:  Kamu  kira  Sorga  mudah  didapat 
hanya  dengan  rajin  sembahyang?  Melaksanakan 
agama  Hindu,  kamu  kira  hanya  dengan  sembahyang 
saja?  Ada  empat  jalan  ajaran  menrut  Agama  Hindu, 
disebut  dengan  Catur  Marga:  Bakti  Marga,  Karma 
Marga,  Raja  Marga.  Jnana  Marga.  Kamu  baru  bisa 
menaikan  bunga  di  atas  ubun-ubun.  Itu  hanya 
sebagian  kecil  ajaran  Agama  Hindu  namanya. 


Roh:  Apa  itu,  jangankan  di  sini,  ke  Jawa  empat  kali. 
Ke  India  bulak  -balik  tiga  kali  untuk  sembahyang. 
Jelekkah  itu? 

Sang  Suratma:  Bagus. 

Roh:  Ooo  Bagus. 

Sang  Suratma:  Tempat  suci  dirumahmu  mau  ambruk, 

tidak  kamu  perhatikan.  Karena  kamu  sibuk  kesana- 

kemari  mencari  Dewa.  Ke  Jawa  ke  India  mencari 

Dewa.  Dewa  dirumahmu  sendiri  kamu  tidak  hirau. 

Yang   dirumah   mesti   diperhatikan   dahulu.   Gus! 

Kamu  ini  ibarat  irisan  pohon  Pole,  sibuk  dengan 

tetangga,  dirimu  sendiri  tidak  kamu  urus.  Cara 

beragama   Hindu  memilikian,   tiga  tingkatannya. 

Utama,  Sedang,  Nista.  Tiga  juga  dirumahmu. 

Roh:  Utamanya? 

Sang  Suratma:  Tempat  suci! 

Roh:  Sedang? 

Sang  Suratma:  Rumah! 

Roh:  Nista? 

Sang  Suratma:  Bagian  belakang  rumah,  WC!  Di 

desa  ada  tiga! 

Roh:  Utamanya? 

Sang  Suratma:  Pura! 

Roh: Sedangnya? 


181 


Sang  Suratma:  The  village. 
Soul:  The  lowest? 

Sang  Suratma:  The  graveyard.  The  graveyard.  But  in 
your  house  you're  using  marble  for  the  toilet.  You're 
using  marble  for  your  house.  You  line  the  ceilings 
with  gold  leaf  trimmings  in  the  Balinese  style.  You 
even  have  a  small  frangipani  tree.  But  your  temple 
shrines  are  tiUed  out  of  line.  Your  ancestors  are 
crying  to  be  cared  for.  It  is  the  same  when  you  go  to 
the  temple.  You  wear  a  Safari  jacket,  perfectly  ironed 
with  gold  buttons.  You  add  an  ornamental  cloth 
trimming.  An  ornamental  cloth  trimming.  Fancy 
sandals.  But  your  head  cloth  is  mismatched  batik 
and  dirty.  Your  hair  is  not  shampooed  and  oiled. 
Your  fancy  shirt  is  crying.  You  must  be  balanced. 
You  must  be  balanced.  If  you  are  not  balanced,  that 
is  when  things  are  difficult. 

Soul:  Why  is  it  so  difficult  to  get  into  this  place  I 
don't  think  there  is  a  test  you  can  study  for  to  get  in. 
If  I  knew  what  was  in  the  test,  I  would  have  studied 
the  book  before  I  died.  There  are  no  dead  people 
around  to  tell  you  these  things.  So  this  is  how  it  is. 
Lets  not  make  things  so  difficult.  It's  actually  very 
simple.  Why  make  it  so  complicated?  Don't  get 
yourself  so  stressed  out.  Now,  let's  look  at  it  this  way. 
In  the  preparations  for  my  death,  my  descendants 
supplied  me  with  lots  of  money.  Why  don't  you  take 
all  of  it,  to  smooth  things  over,  so  that  I  can  just  get 
in  to  heaven. 

Sang  Suratma:  Whoa!  You  think  the  gods  take 
money  on  the  side?  Even  if  you  gave  your  money 
to  Lord  Suratma,  do  you  think  there  are  popsicle 
venders  in  heaven?  Do  you  think  the  gods  go  to  the 
corner  store  to  buy  popsicles?  The  gods  have  their 
own  way  of  doing  things.  It  is  not  important  for  the 
gods  in  heaven  to  eat  and  drink,  because  they  all  have 
what  is  called  "Genta  Amerta,"  the  sacred  nectar  of 
immortality.   The  holy  water  of  life.   That's  why  the 

182 


Sang  Surtama:  Desa! 
Atma:  Nistane? 

Sang  Surtama:  Setra,  Sema!  Yen  jumha  WC  ci 
memarmeran.  Umah  ci  memarmeran.  Meprada 
meberber  mestail  Bali.  Misi  Jepun  Jepang.  Kewala 
Sanggah  Kemulan  ci  nyerendeng.  Tugtuge  ngeling 
Sang  Pitaran  cie.  Patuh  ci  cara  ke  Pura.  Mebaju 
Safari  meterik  mekancing  mas.  Tambah  saput 
Songket.  Kamen  Songket.  Sandal  Emiped.  Kewala 
udeng  ci  len  Batik  len  dekil.  Sing  mambuh  biin 
sada.  Ngeling  baju  saparin  cie.  Pang  setabil,  pang 
setabil,  pang  setabil!  Idup  ci  pang  setabil.  Asal  sing 
setabil,  to  ba  ne  keweh. 


Atma:  Adi  keweh  nganteg  dini  nah.  Kaden  sing 
misi  tes  kene  dini.  Ajan  tawang  misi  tes  kene, 
mekere  mati  sing  nyemak  buku  malu.  Nak  mati 
sing  ada  nyambat  e  to.  Puniki  nak  antuk,  ampunan 
nika  bes  ruet-ruetange.  Pang  gampangen  gen  nake. 
Ngudiang  ruet-ruet  kenten.  Setres  Betara  nyen.  Ne 
mangkin  sapuniki.  Dugas  tiange  mati,  liu  sajan 
tiang  bekelange  pipis  ken  sentanan  tiange.  }eg  ambil 
sami  nika  anggen  penglicin.  Pang  maan  gen  tiang 
Suarga. 


Sang  Surtama:  Pah,  kayang  Dewa  tombok  ci.  Api 
ci  ngemang  Sang  Hyang  Suratma  pipis,  kaden 
ci  di  Suargan  ada  dagang  es.  Kaden  ci  ada  Dewa 
di  warung  singgah  meli  es.  Dewa  Aji  mara  ada. 
Dewa  Di  Suargan  sing  penting  makan  sing  penting 
minum.  Wireh  Dewa  di  Suargan  makejang  suba 
ane  madan  Genta  Amerta.  Tirta  Kehidupan.  Kelan 
Dewa  sing  bisa  mati.  Kayang  satak  tali  keti  tiban 
Dewa  nu  idup. 


Sang  Suratma:  Desa. 
Roh:  Nistanya? 

Sang  Suratma:  Kuburan,  tempat  pemakaman!  Kalau 
di  rumah  WC  mu  pakai  marmer.  Rumah  kamu 
pakai  marmer.  Berjejer  berstyle  Bali  bercat  prada. 
Dihiasi  jepun  Jepang.  Tetapi  tempat  sucimu  miring. 
Nangis  sedih  leluhurmu.  Sama  halnya  bila  kamu  ke 
Pura.  Berbaju  safari  bersetrika  berkancing  emas. 
Ditambah  saput  songket.  Kain  songket.  Sandal 
Emiped.  Tetapi  ikat  kepalamu  beda  yakni  batik  dan 
kotor.  Rambut  tak  dikeramas.  Nangis  baju  safarimu. 
Semestinya  harus  seimbang.  Seimbang,  seimbang! 
Hidup  kamu  harus  seimbang.  Kalau  tidak  seimbang, 
itulah  yang  membuat  sulit. 


Roh:  Kenapa  jadi  sulit  sesampainya  di  sini,  ya?  Tak 
menyana  dikasi  tes  begini  disini.  Kalau  tahu  berisi 
tes  begini,  sebelum  mati  ya  ambil  buku  dululah. 
Kematian  tidak  pernah  dikasih  tahu.  Begini  aja  deh, 
jangan  itu  dipersulit.  Buatlah  lebih  gampang  saja. 
Kenapa  mesti  ruet  begitu.  Nanti  Bhatara  bisa  stres. 
Sekarang  begini.  Ketika  hamba  mati,  banyak  sekali 
hamba  dibekali  uang  oleh  sanak  keluarga  hamba.  Ya 
ambil  sajalah  semua  itu  sebagai  pelicin.  Agar  hamba 
dapat  Surga. 


Sang  Suratma:  Wah,  ini  Dewa  juga  di  sogok. 
Kalaupun  kamu  beri  Sang  Hyang  Suratma  uang, 
kamu  kira  di  Surga  ada  dagang  es?  Kamu  kira  ada 
Dewa  mampir  ke  warung  beli  es?  Kalau  dewa  Aji 
baru  ada.  Dewa  di  Surga  tidak  penting  makan  tidak 
penting  minum.  Karena  Dewa  di  Surga  semua  sudah 
yang  namanya  Genta  Amerta.  Tirta  kehidupan.  Itu 
makanya  para  Dewa  tidak  bisa  mati.  Sampai  dua 
ratus  ribu  tahun  Dewa  masih  hidup. 


gods  cannot  die.   Even  after  two  hundred  thousand 

years,  the  gods  will  still  be  alive. 

Soul:  The  gods  in  heaven  never  have  to  eat  or  drink? 

Sang  Suratma:  No. 

Soul :  I  made  a  ceremonial  offering  of  a  roasted  pig, 
and  you're  not  going  to  tell  me  that  the  gods  didn't 
eat  what  I  offered.  Aaaaah.  You're  a  big  liar. 

Sang  Suratma:  A  big  liar? 

Soul:  Don't  the  gods  take  what  is  offered  to  them? 
Sang  Suratma:   Well,  at  the  moment  that  you  made 
the  offering  of  the  Roasted  Pig,  did  you  ever  say, 
'Lord  Suratma,  I  am  now  offering  you  this  Roasted 
Pig.'  Did  you  ever  say  that? 

Soul:  No,  never. 

Sang  Suratma:  If  you  never  said  that,  then  I  never  ate 

it.  It  is  clear  that  if  you  make  an  offering,  it  also  has 

to  include  a  prayer.  If  you  don't  know  the  right  one, 

you  can  ask  a  priest.    If  you  can't  find  a  priest,  you 

can  look  for  a  temple  guardian. 

It  is  the  same  if  you  have  wealthy  guests  at  your 

home.    You  put  a  meal  in  front  of  your  guests,  but 


Atma:  Dewa  di  Suargan  sing  pati  makan  sing  pati 

minum? 

Sang  Surtama:  Sing. 

Atma:      Tiang      ngaturang      Pregembal      Guling 

Bebangkit,  ten  soroh  Tu  makan    aturang  tiage  to? 

Aaaa  bohong  lu. 

Sang  Suratma:  Bohong  lu? 

Atma:  Ada  Dewa  mirat  dana. 

Sang  Surtama:  Dong  dugas  ci  ngaturang  Pregembal 

Guling  Bebangkit,  taen  ci  matur.  Ratu  Sang  Hyang 

Surtama,  tiang  ngaturang  Ratu  Pregembal  Guling 

Bebangkit.  Taen  matur  keto? 

Atma:  Ten  ja  wenten  pa. 

Sang  Surtama:  Yen  ba  keto  sing  ja  bapa  ya  makan. 
Terang  ba  cai  yen  ngeturang  banten,  pang  misi  saa 
pang  misi  sapa.  Yen  ci  sing  bisa  Peranda  tuwur. 
Yen  sing  ada  Peranda  Pemangku  pendak.  Patuh  ci 
cara  ngae...  ngundang  tamu  sugih.  Ngae  masakan 
enak.  Jang  ci  masakane  di  malun  tamue.  Sing  ci 
persilahkan  makan  tamue.  Nyak  sing  tamue  makan. 


Roh:  Dewa  di  Surga  tidak  pernah  makan?  Tidak 

pernah  minum? 

Sang  Suratma:  Tidak. 

Roh:    Hamba   menghaturkan   upakara   pregembal 

guling  bebangkit,  bukannya  kelompok  paduka  yang 

memakan  persembahan  hamba  itu?  Aaaa  bohong 

Ihu. 

Sang  Suratma:  Bohong  Ihu? 

Roh:  Ada  tidak  Dewa  mengambil?  Mengaku! 

Sang     Suratma:      'Bentar     dulu,     ketika     kamu 

menghaturkan  upakaraPregembalGulingBebangkit, 

pernahkah  kamu  bilang.  "Ratu  Sang  Hyang  Suratma, 

hamba    menghaturkan    tuan    Pregembal    Guling 

bebangkit."  Pernah  bilang  begitu? 

Roh:  Tidak  ada  ya. 

Sang  Suratma:  Ya  kalau  begitu,  bukan  Aku  yang 

makan.  Jelaslah  sudah.  Kalau  kamu  menghaturkan 

upakara,  agar  berisi  doa-doa.  Kalau  kamu  tidak  bisa 

carilah  Pendeta.  Kalau  tidak  ada  Pendeta  Pemangku 

juga    boleh.    Sama    halnya    kalau    kamu    bikin... 

mengundang  tamu  kaya.  Membuat  masakan  enak. 

Kamu  taruh  masakannya  di  hadapan  tamumu.  Tidak 


183 


you  don't  ask  them  to  eat.   You  don't  want  them  to 

eat.   However  dehcious  your  meal  is,  the  important 

thing  is  the  principle  of  'Kaya  Wak  Manah.'  'The 

integration  of  Thoughts,  Words,  and  Actions.' 

So  now  it  is  like  this,  like  this,  like  this.    You  like 

to  practice  religion,  but  it  is  religion  without  a 

foundation,  without  laws.   At  the  base  of  our  life  in 

the  Hindu  religion  are  the  principles  of  Tatwa,  Susila, 

and  Upacara.  (Religious  Philosophy,  Spiritual  Laws 

of  Conduct,  and  Ritual).   You  conduct  Ceremonies 

without  a  foundation  of  spiritual  philosophy  or 

religious  laws.  So  now  this  is  how  it  will  be:  you  will 

be  thrown  into  the  burning  cauldron  of  hell  for  fifty 

years. 

Soul:  My  god.  That's  so  extreme!  I've  only  been  alive 

for  forty  five  years,  and  I'll  be  frying  for  fity.   I'll  be 

fried  longer  than  I  lived. 

Sang  Suratma:  Lord  Suratma  is  not  the  one  punishing 

you. 

Soul:  Who  is? 

Sang    Suratma:    You    sentenced    yourself   to    the 

punishment.  When  you  did  all  those  bad  deeds,  you 

pulled  yourself  down  into  what  is  called  hell.  If  you 

had  done  lots  of  good  deeds,  you  would  have  pulled 

yourself  up  into  what  is  called  heaven.    No  matter 


Menapa  ja  enak  masakan  cie.  Penting  to  Kaya  Wak 
Manah.  Keneh  munyi  Ian  laksana.  Jani  kene  kene 
kene.  Wireh  cai  demen  meagama.  Kewala  meagama 
tanpa  dasar,  tanpa  suduk.  Wireh  asal  iraga  idup 
meagama  Hindu  ada  Tatwa,  Susila,  Upacara.  Ci 
ngelaksanang  yadnya  tanpa  Susila,  tanpa  Tatwa. 
Jani  kene.  Cai  kelebok  aneng  Kawah  Jambangan 
seket  tiban. 


Atma:   tmiiih.   Exstrim   Dewae.   Tiang  idup   gen 

45    tahun,    megoreng    seket.    Lebihan    megoreng 

ketimbang  idupe. 

Sang  Suratma:   Sing  ja  Sang  Hyang  Suratma  ne 

ngukum  cai. 

Atma:  Sira? 

Sang  Surtama:  Perbuatan  ci  pedidi  ne  ngukum  cai. 

Yen  cai  liu  melaksana  corah,  kedenge  ci  madan  ke 

Neraka.  Yen  cai  liu  melaksana  ne  patut  kedenge  ci 

madan  ke  Suarga.  Agama  apapun  yang  dianut,  pasti 

ujung-ujung  ne  misi  Suarga  lan  Neraka.  Kenee, 


kamu  persilahkan  tamunya  makan.  Tidak  bakalan 
tamunya  makan.  Betapapun  enak  masakanmu. 
Penting  itu.  Kaya,  Wak,  Manah.  Pikiran,  perkataan, 
dan  perbuatan.  Sekarang  begini,  begini,  begini.  Oleh 
karena  kamu  senang  beragama,  tetapi  beragama 
tanpa  dasar,  tanpa  aturan.  Oleh  karena,  manusia 
hidup  beragama  Hindu  ada  disebut  dengan  Tatwa, 
Susila,  Upacara.  Kamu  melaksanakan  upacara  tanpa 
susila,  tanpa  tatwa.  Sekarang  begini.  Kamu  dibuang 
ke  kawah  Jambangan  lima  puluh  tahun. 


Roh:  Waaaah.  Extrimis    Dewa  ini.  Hamba  hidup 

hanya  45  tahun,  kok  digoreng  lima  puluh.  Kelebihan 

digoreng  ketimbang  hidup. 

Sang  Suratma:  Bukannya  Sang  Hyang  Suratma  yang 

menghukum  kamu. 

Roh:  Siapa? 

Sang    Suratma:    Perbuatan    kamu    sendiri    yang 

menghukummu.  Kalau  kamu  banyak  berbuat  jahat, 

ditariklah  kamu  ke  Neraka.  Kalau  kamu  banyak 

berbuat  baik  ditariklah  kamu  ke   Surga.   Agama 

apapun  yang  dianut,  pasti  ujung-ujungnya  berisi 


184 


what  kind  of  religion  you  follow,  you  surely  end  up 

in  heaven  or  hell.  So  this  is  how  it's  going  to  beeeeee! 

You  will  be  thrown  into  the  burning  cauldrons  of 

hell  for  fifty  years.  Cikrabala,  take  this  soul.  Throw 

him  in.  Throw  him  in.  Throw  him  in! 

Soul:  Oh  no.  Help.  Aaiaiiiiiii.  Oh  no! 

Chorus:  ...  (singing)  the  conduct  of  the  soul... 

Sang  Suratma  (greeting  a  female  soul):  Well,  you  are 

a  voluptuous  soul.  Lord  Suratma  has  a  question 

for  you.  What  is  your  name?  What  is  your  reason 

for  coming  here  to  the  invisible  world? 

Soul:  My  name  is  Luh  Koncreng,  sir.  (Miss  Flirt=  the 

one  trying  too  hard  to  get  attention) 

Sang  Suratma:  Luh  Koncreng? 

Soul:  Yes. 

Sang  Suratma:  Why  is  your  name  Koncreng? 

Soul:  Because  in  the  material  world  I  was  always 

playing  around  with  brother  Hard-On. 

Sang  Suratma:  Oh,  so  you're  a  CG?  A  call  girl? 

Soul:  Yes.  I'm  called  a  playgirl,  sir. 

Sang    Suratma:    Oooo.    Where    is    your    base    of 

operations? 

Soul:  I  don't  have  a  fixed  locale,  sir.  Sometimes  I'm 

in  Sema  Baung,  then  I  move  to  Padang  Galak.  Then 

to  Blanjong.    Then  I  can  be  called  new  merchandise 

instead  of  old  stock,  sir. 

Sang  Suratma:  Oh,  how  much  do  you  charge? 

Soul:  In  the  past,  sir,  when  times  were  good,  I  charged 

a  million  rupiah  for  each  visit. 

Sang  Suratma:  And  then? 

Soul:  Since  the  bomb  struck  in  Kuta,  I  only  charge  a 

thousand  five  hundred.  Just  enough  to  buy  soap. 

Sang  Suratma:  Oh,  your  business  is  deteriorating. 
What  is  your  name? 
Soul:  I  am  Koncreng. 


cai  kalebok  di  Kawah  Jambangan  seket  tiban. 
Cikrabalaaa  amet  ikanang  atma!  Merangke, 
merangke  merangke. 


Atma:  Aduh  tulung.  Aaaahhh.  Aduuuuh. 

Sendon:  Polahaning  atma. 

Sang  Suratma:  Ih  kita  atma  behenol.  Sang  Hyang 

Suratma  atetanya  lawan  kalaganta.  Sang  apa  dwi 

dasa  nama.  Muang  apa  prayojanan  marikanang 

Mayapada? 

Atma:  Tiang  nika  madan  Luh  Koncreng  Atuuuu. 

Sang  Surtama:  Luh  Koncreng? 

Atma:  Inggih. 

Sang  Suratma:  Ngudiang  nyi  madan  koncreng? 

Atma:  Santukan   rika  ring  Mayapada  titiang  setata 

bergulat  sama  beli  Gede  Tomblos. 

Sang    Suratma:    Ooooo    nyai    CO    nyi?    Cewek 

Orderan? 

Atma:  Ngih.  Tiang  baosange  Play  Girl  Atu. 

Sang  Suratma:  Ooooo.  Dija  nyi  kereng  mangkal? 

Atma:  Aratu  nika  ten  tentu  Atu.  Malih  Sema  Baung, 

Malih  tiang  pindahange  ke  Padang  Galak.  Malih 

Blanjong.  Tiang  baosange  barang  baru  setok  lama 

Atu. 

Sang  Suratma:  Oooo.  Kuda  kereng  tarif  nyie? 

Atma:  Ratu  daweg  degdeg  Gumi  dumun,  satu  juta 

sekali  traktir  memargi  Atu. 

Sang  Suratma:  Men? 

Atma:  Sekat  ulung  boome  di  kuta,  siyu  mang  atus 

jalanin  tiang.  Pang  wenten  belin  sabun. 

Sang  Suratma:  Ooo  jebol  proyek  nyie.  Nyen  adan 

nyie? 

Atma:  Tiang  Koncreng! 


Surga  -  Neraka.  Beginiiii,  kamu  dibuang  di  kawah 
jambangan  lima  puluh  tahun.  Cikrabala  ambillah 
roh  ini!  Kesini  kesini  kesini. 


Roh:  Aduh  tulung.  Aaaahhh.  Aduuuuh. 
Sinden:  Tingkah  para  roh. 

Sang  Suratma:  Wahai  kamu  roh  bahenol.  Sang 
Suratma  bertanya  kepada  kamu.  Siapa  namamu. 
Juga  apa  maksud  kedatanganmu  ke  dunia  maya? 

Roh:  Hamba  bernama  Luh  Koncreng  Padukaaaa. 

Sang  Suratma:  Luh  Koncreng? 

Roh:  Ya. 

Sang  Suratma:  Kenapa  kamu  bernama  Koncreng? 

Roh:  Karena  di  Bumi  hamba  selalu  bergumul  dengan 

abang  Gede  Tomblos. 

Sang   Suratma:    Oooo   kamu   CO   kamu?   Cewek 

Orderan? 

Roh:    Ya.    Hamba    dipanggil    sebagai    Play    Girl, 

paduka. 

Sang     Suratma:     Oooo     dimana     kamu     sering 

mangkal? 

Roh:  Paduka,  tidak  tentu,  paduka.  Terkadang  di 

Sema  Baung.  Kemudian  hamba  dipindah  ke  Padang 

Galak.  Lagi  di  Blanjong.  Hamba  disebut  sebagai 

barang  baru  setok  lama,  paduka. 

Sang  Suratma:  Oooo.  Berapa  biasanya  tarifmu? 

Roh:  Paduka,  ketika  situasinya  baik,  satu  juta  sekali 

traktir,  biasa  paduka. 

Sang  Suratma:  Lalu? 

Roh:  Semenjak  boomnya  meledak  di  Kuta,  seribu 

lima  ratuspun  hamba  kanggokan.  Untuk  pembeli 

sabun  saja. 

Sang     Suratma:     Ooo     jebol     proyekmu.     Siapa 

namamu? 

Roh:  Hamba  Koncreng! 


186 


Sang  Suratma:  All  right.    Let  me  look  here  at  the 

computer  files.  Koncreng.  It's  in  the  K's.  Kooncrent. 

Oh,  yes,  here  it  is.  Koncreng.  That's  you,  Koncreng. 

You're  right  here  in  the  book.     You  have  already 

known  the  taste  of  many  men.  It  says  here  the  total 

is  three  thousand,  five  hundred  and  fifi:y  one  and  a 

half  times. 

Soul:  Why  is  there  a  half? 

Sang  Suratma:  Well,  it's  like  this.    You  were  setting 

up  shop  in  Blonkanjong.     It  was  a  Friday.     The 

government  employees  propositioned  you.    You're 

were  just  getting  warmed  up  and  you  got  grabbed 

right  away.  Tibum.    That's  considered  a  half.    It's  a 

half  if  you're  just  getting  warmed  up.  Is  that  the  way 

it  was? 

Soul:  Yes,  it  was  sir. 

Sang  Suratma:  Oh,  at  least  you  are  honest.   Honest. 

You  were  given  a  good  opportunity  by  the  Lord 

when  you  were  born  as  a  human,  but  you  didn't  take 

advantage  of  it.   You  chose  the  wrong  goals  for  the 

pleasure  of  filling  up  your  cooking  pot.   "Becoming 

a  human  is  the  highest  level  of  being.    Because  of 

that  you  can  help  to  free  yourself  from  suffering, 


Sang  Suratma:  Ne  bapa  nolih  di  bagian  komputere, 
Koncreng.  Bagian  K.  Koncreng,  Koooncreng.  Na 
Koncreng  naaaa.  Nyai  Koncreng.  Nyi  mungguh  di 
Kitab  Sarae.  Nyi  suba  nawang  asan  nak  muani  ne. 
Ngenah  dini.  Pang  3551  Vi. 


Atma:  Dados  medaging  ^2? 

Sang  Suratma:  Kenee.  Dugas  nyi  mangkal  di 
Blanjong.  Hari  Jumat.  Ada  unduk  pegawai  negeri 
nraktir  nyi.  Begitu  nyi  baru  pemanasan  nyi  langsung 
tangkep  Tibum.  Asukan  bapa  setengah.  Setengah 
ne  mara  pemanasan  setengah.  Ada  keto? 


Atma:  Inggih  wenten  Atuu. 

Sang  Suratma:  Ooo  jujur,  jujur.  Ne  ba  madan  nyai 
baaange  kesempatan  melah  ken  Widhi  lekad  dadi 
manusia.  Tidak  dipergunakan  dengan  bagus.  Justru 
nyi  salah  sasaran,  barang  ne  demenan  nyie  anggo 
nyi  payuk  jakan.  Apanikang  dadi  wang  utama 
juga  ya.  Nimitanian  hana  tumulung  awaknia 
sakeng  sengsara.  Masedana  suhakarma.  Sesuatu 


Sang  Suratma:  Coba  kulihat  di  bagian  komputerku. 
Koncreng.  Bagian  K.  Koncreng,  Koooncreng.  Ya 
Koncreng  Yaaaa.  Kamu  Koncreng.  Kamu  tercatat  di 
buku  ini.  Kamu  sudah  tahu  nikmat  bersama  lelaki. 
Kelihatan  disini.  Sebanyak  3551  Vi. 


Roh:  Kenapa  berisi  V2. 

Sang    Suratma:    Begini.    Saat    kamu    mangkal    di 

Blanjong.  Hari  Jumat.  Ada  pegawai  negeri  mentraktir 

kamu.  Begitu  kamu  mulai  pemanasan  kamu  langsung 

ditangkap  Tibum.   Dianggap  setengah.   Setengah, 

karena  baru  pemanasan.  Ya  baru  setengah.  Betul 

begitu? 

Roh:  Ya  betul  paduka. 

Sang  Suratma:  Ooo  jujur,  jujur.  Sebenarnya  kamu 
ini  diberi  kesempatan  baik  oleh  Tuhan,  lahir 
sebagai  manusia.  Tidak  dipergunakan  dengan 
bagus.  Justru  kamu  salah  sasaran,  barang  yang 
kamu  senangi  kamu  gunakan  sebagai  sumber 
penghasilan.  Sesungguhnya  utamalah  kelahiran 
seseorang  menjadi  manusia.  Oleh  karena  dia  dapat 


187 


succeed  in  doing  good  deeds".  It  is  an  extraordinary 

happiness  to  be  born  as  a  human  in  this  world.  Why? 

In  becoming  human,  we  can  help  ourselves  to  avoid 

evil  actions  and  to  do  good  deeds.  To  do  good  deeds. 

But  you  chose  the  wrong  goals.   So  now  this  is  how 

it  will  be:  Because  in  the  material  world  you  always 

played  around  with  the  private  parts  of  men,  now 

you  will  be  given  those  parts.  You  will  carry  on  your 

shoulders  the  antique  parts  of  men,  three  thousand 

five  hundred  and  fifty  five  and  a  half  of  them.   The 

left-over  half  will  be  eaten  by  a  cat.  Cikrabala  take 

this  soul.  Throw  her  in.  Throw  her  in.  Throw  her 

in! 

Soul:  Oh,  Lord,  help  me. 

Singers:  ...  (chant) 

Narrator:  Uduuuuuh. 

Sang  Suratma:  Ah,  the  souls  that  show  up  here  keep 

getting  worse  and  worse.  Hey,  you  with  the  plump 

body.   Lord  Suratma  has  some  questions  for  you. 

What  is  your  name,  and  what  did  you  do  in  the 

material  world? 

Twalen:  My  name  is  Malen  {his  nickname). 

Sang  Suratma:  Who? 

Twalen:  Malen. 

Sang  Suratma:  Malen? 


kebahagian  luar  biasa  ci  terlahir  sebagai  manusia 
ke  dunia  ini.  Mengapa?  Dengan  menjadi  manusia, 
kita  bisa  menolong  diri  kita,  dari  perbuatan  yang 
jahat,  dengan,  apa,  perbuatan  yang  halal.  Yang 
Subha  Karma.  Justru  nyi  salah  sasaran.  Jani  kene. 
Wireh  nyai  di  Mercapada  setata  bergulat  sama 
rudal-rudal  nak  muani.  Jani  bakal  ada  sarana.  Nyi 
bakal  nyuwun  barang  antik  nak  muani,  3551  Vi 
juga.  Biin  setengah  amah  meng  to.  Cikrabala  amet 
ikanang  atma.  Merangke,  merangke! 


Atma:  Dewa  ratu  tulung  tiang. 

Sendon:  ... 

Dalang:  Uduuuuh. 

Sang  Suratma:  Nyelek-nyelekan  atmae  teka  ah.  liiih 

kita  atma  badan  padet.  Sang  Suratma  atetanya 

lawan  kalaganta.  Sang  apa  dwi  dasa  nama?  Muang 

apa  prayojanan  aneng  kunang  Mercapada? 

Twalen:  Tiang  madan  I  Malen. 
Sang  Suratma:  Nyen? 
Twalen:  Malen! 
Sang  Suratma:  Malen? 


menolong  dirinya  dari  sengsara.  Berdasarkan 
dengan  perbuatan  baik.  Sesuatu  kebahagiaan  luar 
biasa  kamu  terlahir  sebagai  manusia  ke  dunia  ini. 
Mengapa?  Dengan  menjadi  manusia,  kita  bisa 
menolong  diri  kita,  dari  perbuatan  yang  jahat 
dengan,  apa,  perbuatan  yang  halal.  Yang  berbuat 
baik.  Justru  kamu  yang  salah  sasaran.  Sekarang 
begini.  Karena  kamu  di  Bumi  selalu  bergulat  dengan 
rudal-rudalnya  lelaki.  Sekarang  akan  ada  sarana. 
Kamu  akan  menjunjung  barang  antik  lelaki  sebanyak 
3551  Vi  juga.  Setengahnya  lagi,  dimakan  kucing  itu. 
Cikrabala  ambilah  ini,  roh.  Kesini,  kesini! 

Roh:  Oh  Tuhan  tolong  hamba. 

Sinden:  ... 

Dalang:  Uduuuuuh. 

Sang  Suratma:  Semakin  jelek  aja  roh  yang  datang, 

ah.  Wahai  kamu  roh  badan  padet.  Sang  Suratma 

bertanya  kepada  kamu.  Siapa  namamu.  Juga  apa 

pekerjaanmu  di  Bumi? 

Twalen:  Hamba  bernama  I  Malen. 

Sang  Suratma:  Siapa? 

Twalen:  Malen. 

Sang  Suratma:  Malen? 


188 


Twalen:  Yes. 

Sang  Suratma:  Malen.  Malen.  Malen.  Ma.  Malen.  Ma 

ma  ma  ma  mi.  Ma  maaa  mi  e  mami.  That's  the  end 

oftheUst.  Your  name? 

Twalen:  Maleeeen! 

Sang  Suratma:  Ma  ma  ma  ma  mi,  Your  name? 

Twalen:  Lord  of  the  Deaf.  Ma  ma  ma  ma,  I  already 

said  it  is  Malen. 

Sang  Suratma:  Mister... 

Twalen:  Yes....  First. 

Sang  Suratma:  Ma  mama  ma. 

Twalen:  Not  the  'ma  ma  ma'  again. 

Sang  Suratma:  Ma  mama  mi.  Wait  a  minute.  Are  you 

dead  yet? 

Twalen:  No. 

Sang   Suratma:   Whoa.   The   only  humans   in   my 

computer  are  the  ones  who  are  already  dead.  Then 

they  appear  here.    You  are  still  a  flesh  and  blood 

human.  Why  did  you  come  here? 

Twalen:  For  refreshment. 

Sang  Suratma:  You  came  here  for  refreshment? 

Twalen:  In  the  material  world  there's  no  place  to 

enjoy  yourself  anymore. 


Twalen:  Ngih. 

Sang  Suratma:  Malen.  Malen.  Malen.  Ma  Malen. 

Ma  ma  ma  ma  mi.  Ma  maaa  mi  e  mami  kelah  ba. 

Adane? 

Twalen:  Maleeen! 

Sang  Suratma:  Ma  ma  ma  ma  mi.  Adane? 

Twalen:  Bongol  Dewae.  Ma  ma  ma  ma..  Orang  ba 

Malen. 

Sang  Suratma:  Bapa  ... 

Twalen:  Ngih  ...dumun. 

Sang  Suratma:  Ma  mama  ma. 

Twalen:  Bin  ma  ma  ma  gen  terus. 

Sang  Suratma:  Ma  mama  mi.  Nen  malu  ci  taen  mati 

pidan? 

Twalen:  Ten. 

Sang  Suratma:  lyiiiih.  Ane  masuk  dalam  komputer 

Sang  Hyang  Suratma,  manusane  subamati,  mungguh 

dini.  Ci  jelema  matah  Blegeran,  ci  ngudiang  mai? 

Twalen:  Refreshing. 

Sang  Suratma:  Refreshing  mai? 

Twalen:   Napi  di  Mercapada  ten  wenten  tongos 

melali  mangkin. 


Twalen:  Ya. 

Sang  Suratma:  Malen.  Malen.  Malen.  Ma  Malen.  Ma 

ma  ma  ma  mi.  Ma  maaa  mi  e  mami  habis  sudah. 

Namanya? 

Twalen:  Maleeen! 

Sang  Suratma:  Ma  ma  ma  ma  mi.  Namanya? 

Twalen:  Dewa  tuli  ini.  Ma  ma  ma  ma..  Sudah  bilang 

Malen. 

Sang  Suratma:  Bapak. . 

Twalen:  Ya....  dulu. 

Sang  Suratma:  Ma  mama  ma. 

Twalen:  Lagi-lagi  ma  ma  ma  saja  terus. 

Sang  Suratma:  Ma  mama  mi.  Sebentar  dulu.  Kamu 

sudah  pernah  mati? 

Twalen:  Belum. 

Sang  Suratma:  Lhooo.  Yang  masuk  dalam  komputer 

Sang  Hyang  Suratma,  manusia  yang  sudah  mati, 

semua  kelihatan  di  sini.  Kamu  manusia  biasa,  kamu 

ngapain  kesini? 

Twalen:  Refreshing. 

Sang  Suratma:  Ke  sini  refreshing? 

Twalen:  Di  Bumi  sekarang  ini  tidak  ada  tempat 

untuk  jalan-jalan. 


189 


Sang  Suratma:  Why  is  that? 

Twalen:  When  you  go  to  the  beach  there's  a  tsunami. 

When  you  go  to  the  mountains,  there's  a  volcanic 

eruption.  When  you  go  to  Java,  there's  a  big  mud  pit. 

So  I  came  here  to  the  afterhfe. 

Sang  Suratma:  Here? 

Twalen:  Yes,  sir. 

Sang  Suratma:  Who  came  with  you? 

Twalen:  I  accompanied  Lord  Anggada. 

Sang  Suratma:  What  for? 

Twalen:  To  get  to  heaven. 

Sang  Suratma:  Now  that  you're  in  the  afterlife,  what 

do  you  want? 

Twalen:  I  want  refreshment. 

Sang  Suratma:  If  you  are  looking  for  Siwa's  heaven, 

you  can  find  it  to  the  northeast. 

Twalen:  Northeast? 

Sang  Suratma:  That  is  the  road  to  follow. 

Twalen:  If  that's  how  it  is,  may  I  have  permission  to 

leave? 

Sang  Suratma:  Yesss.   Lord  Suratma  is  getting  a 

headache.      His  pants  stink.      Forgive  me  Lord 

Siwa.  We  must  be  prepared  to  meet  you.  Let's  get 

ready! 

Dalang:  We  will  leave  aside  the  story  of  the  journey 


Sang  Suratma:  Adi  keto? 

Twalen:  Melaib  ke  pasih  bisa  Tsunami.  Melaib  ke 
gunung,  gunung  meletus.  Ke  Jawa  nyayad  pang  liu. 
Mai  tiang  ke  Suarga. 

Sang  Suratma:  Mai? 

Twalen:  Inggih  Tu. 

Sang  Suratma:  Nyen  ajak  cie? 

Twalen:  Tiang  ngiring  dane  Sang  Ngada. 

Sang  Suratma:  Ngudiang? 

Twalen:  Ke  Suarga  Loka. 

Sang  Suratma:  Suba  ke  Suarga  Loka.  To  ngudiang 

mai? 

Twalen:  Tiang  refreshing. 

Sang  Suratma:  Yen  cai  bakal  ngalih  Siwa  Loka.  To 

Ersania  ulati! 

Twalen:  Kaja  kangine? 

Sang  Suratma:  To  mamban  ne  patut  ulati. 

Twalen:  Ba  keto  tiang  ngelungsur  pamit  Ratu. 

Sang  Suratma:  Naaaah.  Uyeng-uyengan  Sang  Hyang 
Suratma.  Pahit  mekilit  bon  kelanane.  Pasang  Tabe 
Dewa      Betara   Siwa.   Kewala  pada  yatna  apan 
bipraya  hana  nyatpada.  Yatna  Dewaaaa! 
Dalang:   Tan   kewarnan   nirang  lampah   sira   si 


Sang  Suratma:  Kenapa  begitu? 
Twalen:  Pergi  ke  pantai  bisa  Tsunami.  Berlari  ke 
gunung,  gunung  meletus.  Ke  Jawa,  Lumpur  meluap. 
Makanya  hamba  datang  ke  sini  ke  Surga. 

Sang  Suratma:  Ke  mari? 

Twalen:  Ya  paduka. 

Sang  Suratma:  Bersama  siapa  kamu? 

Twalen:  Hamba  mengikuti  jejak  Sang  Ngada. 

Sang  Suratma:  Untuk  apa? 

Twalen:  Ke  Surga  Loka. 

Sang  Suratma:  Ya  sudah  ke  Surga  Loka.  Untuk  apa 

ke  sini? 

Twalen:  Hamba  refreshing. 

Sang  Suratma:  Kalau  kamu  mau  mencari  Siwa  Loka. 

Ke  timur  laut  mesti  dituju. 

Twalen:  Timur  laut? 

Sang  Suratma:  Itu  arah  jalan  yang  benar. 

Twalen:    Kalau   demikian,   hamba   mohon   pamit 

paduka. 

Sang  Suratma:  Yaaa.  Dibuat  pusing  Sang  Hyang 

Suratma,  amis  amat  bau  celananya.  Ampun  Dewa 

Betara  Siwa.  Hati-hatilah,  oleh  karena  ada  orang 

hendak  menghadap.  Siaga  Dewaaaa! 

Dalang:  Demikian  dikisahkan  perjalanannya  si 


191 


to  Siwa's  heaven  of  General  Anggada  and  his  two 
servants,  Twalen  and  Merdah.  There  is  nothing 
more  to  say  other  than  that  they  meet  the  Lord  of 
Lords  Siwa,  and  that  they  find  the  holy  purifying 
water.  That  is  the  first  part  of  the  story.  Now  the 
story  will  be  told  of  what  happens  in  Laut  Lungsur. 
There  is  a  powerful  demon  there  named  Detya  Kala 
Maya  Cakru.  He  is  none  other  than  the  descendant 
of  Rahwana.  He  is  preparing  a  troop  of  demons. 
He  has  already  completed  his  studies  in  the  temple 
of  the  dead  with  the  goddess  Durga.  Now  he  is 
looking  for  Rama.  That  is  the  point  of  the  story.  In 
Laut  Lungsur  there  appears  the  demon  Detya  Kala 
Maya  Cakru.  Weeeeee.  liiiiiih.  Aaaaah.  Aaaaah. 
He  has  the  appearance  of  power. 
Detya  Kala  Maya  Cakru:  My  servants,  Delem  and 
Sangut.  Comehere,  bothof  you.  Heeeeee  huuuuu 
emmmm.  All  the  demon  soldiers  are  ready  to  go. 
Follow  your  master  on  his  journey.  We  are  going 
to  the  temple  in  Ayodya  with  no  other  purpose 
than  to  meet  Lord  Rama,  because  he  has  caused 
destruction.  He  killed  my  father  (Rahwana).  That 
is  why  Lord  Rama  is  our  enemy.  Let's  goooooo! 
Weeeeee.  Aiiiiiiih. 
Go!  Weeee .  Aiiiih 


Wira  Ngada,  katekaning  carakanira  maka  rwa, 
Twalen  muang  Werdah,  juga  aneng  Siwa  Loka. 
Tan  sah  nyatpada  ri  Hyang  Hyang  ning  Batara 
Siwa.  Tan  sah  ngulati  kunang  tirta  Sudamala. 
Mangkana  rumuhun  kunang  tatwa  lenan  carita. 
Kawinursita  magke  tan  sah  aneng  Segara 
Lungsur.  Hana  Raksasa  sakti  ngaran  Detya  Kala 
Maya  Cakru.  Tan  sah  sutanirang  Dasa  Nana.  Ri 
sedeng  anamtam  ikanang  wadwa  raksasa.  Mapan 
ya  wus  nangun  ajah  aneng  Dalem,  lawan  Hyang- 
Hyang  ning  Batari  Durga.  Ya  mangkin  mulat  kara 
sirang  Regawa.  Mangkana  punggeling  kunang 
taTwalena  carita.  Aneng  Segara  Lungsur  antian 
mijil  Detya  Kala  Maya  Cakru.  Weeeeee.  liiiih  Ah 
ah.  Weee.  Karura  karaaaa. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Caraka  Deleeeeem! 
Muang  Uludawa.  Muang  Uludawa.  Carakaning 
Ngong  makarwa  pwa  kalaganta.  Heeeee  hog  em 
em  em.  Merangkeeee.  Tamtam  sahananing  wadwa 
raksasa  kabeh.  Tut  lampah  sira  tuanta.  Lumaku 
aneng  Ayodya  Pura.  Tan  sah  meperih  lawan  Si 
Rama  Dewa.  Mapan  ya  ngawe  kasmala.  Amejah 
ikanang  bapa.  Kadiang  punapa  si  Rama  Dewa 
pinaka  musuh.  Mangkaaaat!  Weeeeee.  Aiiiih. 


192 


perwira  Ngada,  dan  juga  abdinya  berdua  Twalen 
dan  Werdah  berada  di  Siwa  Loka.  Tiada  lain 
mengadap  kehadapan  Hyang  Hyang  Batara  Siwa. 
Tiada  lain  mencari  air  suci  Sudamala.  Demikian 
adanya  dan  kini  berganti  cerita.  Dikisahkan 
sekarang  tiada  lain  di  Laut  Lungsur.  Ada  raksasa 
sakti  bernama  Detya  Kala  Maya  Cakru,  Tiada 
lain  anaknya  Rahwana.  Sedang  mempersiapkan 
pasukan  raksasa.  Karena  sudah  selesai  belajar  di 
Dalem,  dihadapan  Hyang  Hyang  Batari  Durga. 
Dia  sekarang  hendak  mencelakai  Rama.  Demikian 
penggalan  cerita  selanjutnya.  Di  Laut  Lungsur 
muncullah  Detya  Kala  Maya  Cakru.  Weeeee.  liiih. 
Ah  ah.  Weee.  Menakjubkan. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Abdiku  Deleeem  dan  juga 
si  rambut  panjang,  Sangut.  Abdiku  berdua  kamu. 
Heeee.  hog  em  em  em  .  Kesiniiiiiiii.  Persiapkan 
bala  wadwa  raksasa  semua.  Ikuti  perjalanan 
tuanmu. 

Pergi  menuju  ke  kerajaan  Ayodya.  Tiada  lain 
bertemu  dengan  Si  Rama  Dewa.  Karena  ia 
membuat  bencana.  Membunuh  orang  tuaku. 
Bagaimanapun  si  Rama  Dewa  adalah  musuh. 
Berangkaaaat!  Weeeee  Aiiiiiih. 


Delem:  ...  (sings  song  in  gibberish  with  a  few 
recognizable  words,  Uke  'carik',  meaning  ricefield  or 
punctuation  mark) 


Sangut:  What  is  that  song  about?  {he  sings) 


Delem:  What  does  that  mean? 

Sangut :  I  don't  know.  It's  too  complicated.  I  can  only 

sing  it. 

Delem:  ...  (sings gibberish)  Get  ready! 


(Delem  and  sangut  dance) 

Delem:  Quiet.  Quiet.  Quiet.    Stop  dancing  around 

like  that.    I'm  too  tired  to  keep  up.  It  is  strange, 

Sangut.  My  singing  is  faster  than  yours. 

Sangut:  Faster?  How. 

Delem:  Please  bang  on  the  kulkul  (wooden  gong)  in 

the  banjar.  Call  everyone  in  the  community  together. 


Delem:        (gending):        "Leng-leng       lung-lung 

lumanggaaaaang" .    liiii.    (gending)"Aaaamulung 

alelayang  ring  sang  kirangan.  Congkak  congcang 

cingania   kecek.   Acala   calang  carik  cang  cucu 

cucut.  Tongkak  ti  ninoyong  doh  mawiatah  wedi 

wediii.  Dayus  minggus  kasingkul  bit  mijah  atag 

kapit  tukad  akung. 

Sangut:  Apa  kaden  orange  neh.  (gending)  Montang 

mongsos  siya  namor.  cemara  maring  lo  sikang  kil 

centik.  Sat  sat  sosian  pasusuian,  sasusupan  samia 

rusasasa. 

Delem:  Apa  artine? 

Sangut:  Nawang  sing.  Pang  milu  gen  je  megending 

ruet  mase. 

Delem:  (gending):  Kat  kat  luklak  saluklik  salika 

lika  lawaning  lawit.  Puk  upuk  peksa  peksa  pijer 

tengkuak  kupu-kupu".  Dabdabang! 

(Delem  dan  Sangut  menari). 

Delem:  Ngoyong,  ngoyong,  ngoyong!  De  ci  ngekeh 

Ngut!  Bes  tuyuh  ngekeh.  Len  Ngut.  Munyin  kaka 

enggal  ken  ci. 

Sangut:  Enggel.  kenkene. 

Delem:  Gedig  kulkul  banjar  'ci  jep  diolas.  Dauhang 

para  masyarakat  ci  makejang. 


Delem:         (gending):         "Leng-leng        lung-lung 

lumanggaaaaang".    liiii.    (gending)"Aaaamulung 

alelayang  ring  sang  kirangan.  Congkak  congcang 

cingania  kecek.  Acala  calang  carik  cang  cucu  cucut. 

Tongkak  ti  ninoyong  doh  mawiatah  wedi  wediii. 

Dayus  minggus  kasingkul  bit  mijah  atag  kapit 

tukad  akung. 

Sangut:      Apa   dibilang   itu.    (gending)   Montang 

mongsos  siya  namor.  cemara  maring  lo  sikang  kil 

cemik.  Sat  sat  sosian  pasusuian,  sasusupan  samia 

rusasasa. 

Delem:  Apa  artinya? 

Sangut:    Tidak  tahu.  Ikut-ikutan  'ajalah  bernyanyi 

ruwet. 

Delem:  (gending):  Kat  kat  luklak  saluklik  salika 

lika  lawaning  lawit.  Puk  upuk  peksa  peksa  pijer 

tengkuak  kupu-kupu"  Bergeaslah! 

(Delem  dan  Sangut  menari). 

Delem:  Diam,  diam,  diam!  Jangan  kamu  berulah 

Ngut!   Terlalu  payah   dikau  berulah.   Beda  Ngut. 

Suaraku  lebih  cepat  darimu. 

Sangut:  Cepat  bagaimana. 

Delem:  Bunyikan  kentongan  banjar  ku  mohon  dengan 

hormat.  Umumkan  kepada  masyarakatmu  semua. 


194 


Sangut:    Why    is    that?    Why    wasn't    there    any 

announcement  of  meeting? 

Delem:  No,  there  is  no  meeting,  no. 

Sangut:  So  what's  happening? 

Delem:  Call  all  the  people    to  the  temple  to  pray.  I 

will  accompany  them  all  them  to  the  temple. 

Sangut:  Oh,  to  pray,  because  the  world  is  plagued 

with  problems? 

Delem:  Yes,  that's  the  reason. 

Sangut:  So  what? 

Delem:  That's  very  important.     You  are  N.C.  Not 

Connected.  A.T.T.  Afraid  to  Telecommunicate. 

Sangut:  What  do  you  mean? 

Delem:  You  haven't  heard  that  I've  been  chosen  as  a 

candidate  for  Governor  of  Lungsur  village. 

Sangut:  What  does  that  have  to  do  with  bringing  the 

people  to  pray  in  the  temple? 

Delem:  When  I  bring  them  together  to  pray  there 

I  can  spread  the  word  to  them  about  my  programs. 

If  it  works  out,  I  will  become  the  Governor  here  in 

Lungsur.  I  will  tear  down  the  temple. 

Sangut:  Why  is  that?    Why  will  you  tear  down  my 

temple? 

Delem:  So  I  can  renovate  it,  of  course. 

I'll  tell  you  how  you  can  organize  it.  You,  as  a  leader, 

can  just  find  a  way  to  get  all  the  people  to  vote  for  me 

on  election  day.  So  please  calm  down. 

Sangut:  So,  if  you  win  the  election  as  Governor  of 
Lungsur,  you'll  renovate  the  temple? 
Delem:  Yes,  I  will  revovate. 

Sangut:  If  you  lose  the  election  and  the  temple  is 
already  torn  down,  who  will  renovate  it.  Delem, 
Delem,  let  me  say  something  from  my  heart,  with  all 
good  intentions.  I  have  nothing  to  gain.  Religion  can 
guide  us  about  how  to  manage  politics,  but  politics 


Sangut:    Engken    ne?    Kal    sing   ada   arah-arahan 

ongkon  nak  sangkep? 

Delem:  Aing  sangkep  sing. 

Sangut:  Kenken  ne? 

Delem:   Ajak  masyarakate  makejang  mebakti  ke 

Pura.  Kaka  kel  ngajak  to  ke  Pura  makejang. 

Sangut:  Ooo  nunas  icang  Gumi  gerubug  kene? 

Delem:  Nah  to  ja  mase. 

Sangut:  Men  kenken? 

Delem:  Ne  penting,     ci  adah  ci  Kuper.  Kurang 

pergaulan.  Telkom,  Telat  Komunikasi  ci. 

Sangut:  Kenken  ne? 

Delem:  Wireh  jani  kaka  suba  kel  anggone  calon 

Gubernur  di  desa  Lungsur. 

Sangut:  Apa  hubungane  ajak  masyarakat  ke  Pura? 

Delem:  Ajak  sembahyang  bersama.  Ooo  ditu  kaka 

mensosialisasikan    program-program    kaka.    Yen 

nyak  kaka  menek  dadi  Gubernur  dini  di  tanah 

Lungsur.  Ah  j  eg  Pura  kel  uwug  kaka. 

Sangut:  lyeh  kenken  ne?  Ujang  uwug  Puran  cange 

to? 

Delem:   Kel  benin  kenken  ci.  Ooo  orin  kenken 

caran  ci  ngurusan.  Ci  dadi  keliane.  Engken  caran  ci 

ngituangan  to  pang  nyak  gebyar  milih  kaka.  To  ooo 

orin  kaka  tenang. 

Sangut:  Yen  melem  tulus  nyen  di  Segara  Lungsur 
menek  dadi  Gubernur.  Pura  kel  benin? 
Delem:  Benin. 

Sangut:  Yen  buwung  tes  menek?  Ba  kadung  uwug 
nyen  menin?  Lem  Lem,  cang  ngorin  Melem  ulian 
keneh  cange  rahayu  ne.  Bedik  sing  ada  kakene, 
gama  mengajarkan  iraga  untuk  berpolitik.  Tapi 
agama  jangan  disusupi  politik  to.  Pengidih  cange 


Sangut:      Bagaimana   ini?    Tanpa   pemberitahuan 

orang-orang  disuruh  rapat. 

Delem:  Bukan.  Bukan  rapat. 

Sangut:  Bagaimana  ini? 

Delem:  AjakseluruhmasyarakatkePurasembahyang. 

Aku  'kan  mengajak  semuanya  ke  Pura. 

Sangut:    Ooo  mendoakan  akan  wabah  yang  telah 

melanda  dunia? 

Delem:  Ya  juga  untuk  itu. 

Sangut:  Lalu  bagaimana? 

Delem:    Yang    penting,    waduh    kamu    orangnya 

kuper;  kurang  pergaulan.  Telkom,  telat  mikir.  Telat 

komunikasi  kamu. 

Sangut:  Bagaimana  ini? 

Delem:  Karena  sekarang  ini  aku  sudah  dicalonkan 

sebagai  Gubernur  di  desa  Lungsur. 

Sangut:     Apa     hubungannya     dengan     mengajak 

masyarakat  ke  Pura? 

Delem:  Diajak  sembahyang  bersama.  Ooo  disana 

aku    'kan    mensosialisasikan    progam-programku. 

Kalau  aku  berhasil  naik  menjadi  Gubernur  di  sini  di 

tanah  Lungsur,  Ah  semua  Pura  akan  ku  bongkar. 

Sangut:     Lho  bagaimana  ini?  Kenapa  Pura  saya 

dibongkar? 

Delem:    Untuk   diperbaiki,   giamana   kamu.    Ooo 

beritahukan,   giamana   caranya   kamu   mengurus. 

Kamu      jadi      ketuanya.       Gimanalah      caramu 

mengusahakan  agar  gebyarnya  memilih  aku.  'Tuuuu. 

Kubilangin,  tenang. 

Sangut:   Jika  Melem  mulus  jadi  gubernur  di  Segara 

Lungsur,  Pura  akan  direnopasi? 

Delem:  Renopasi. 

Sangut:      Kalau   batal   naik?    Sudah   terlanjur   di 

bongkar,  siapa  memperbaiki?  Lem,  Lem,  saya  kasih 

tahu  Melem  dengan  maksud  hati  baik.  Sedikitpun 

tak  ada  cara  begini,  yaitu  agama  mengajarkan  kita 

untuk  berpolitik.   Janganlah   agama   itu   disusupi 


195 


should  not  be  inserted  into  religion.    My  request  is 

this.    In  the  future  when  the  people  finish  setting 

up  the  banners  for  their  religious  ceremonies,  don't 

replace  them  with  campaign  banners  in  the  temple. 

Don't  be  a  leader  who  works  that  way. 

Delem:  Works  what  way? 

Sangut:  If  you  have  already  conducted  yourself  well 

in  the  village,  you  don't  have  to  bring  my  people  to 

pray  together  to  get  them  to  vote  for  you. 

If  you  have  already  done  good  deeds,  your  actions 

will  be  appreciated  by  the  people.  You  won't  have  to 

make  promises  to  get  elected.  Even  though  I  have  a 

beautiful  temple,  I  feel  conflicted. 

Delem:  Why  are  you  conflicted? 

Sangut:  My  devotion  to  the  temple  is  complicated, 

because    in    my    religion    we    have    three    basic 

elements. 

Delem:  What  are  they? 

Sangut:  The  Emotions,  the  Intellect,  and  the  Body. 

The  most  important  thing  is  the  feeling  we  have 

about  our  religion.    It  doesn't  matter  if  the  temple 

is  luxurious.   Even  if  the  temple  is  luxurious,  if  you 

don't  have  a  strong  feeling  about  your  religion,  it  is 

not  good.    It  is  hollow.    The  intellect.    Even  if  you 

know  a  lot  about  religious  teachings,  but  you  don't 

put  them  into  practice,  it  is  hollow.   The  feeling  for 


to.  Mani  nyanan  suwud  nake  kel  nanceban  umbul- 
umbul  yadnya.  Umbul-umbul  partai  lantas  di 
Pura.  Kel  kudiang  cang?  De  de  Leeeem!  Yen  dadi 
pemimpin  to  nak  proses. 

Delem:  Proses  apa? 

Sangut:  Yen  suba  luwung  pekertin  Meleme  di  Desa 

di  Banjar.  De  ajake  sembahyang  bersama  masyarakat 

cange,   jeg   pilihe   Melem.   Yen   ba   luwung.   Apa 

buin  apa  yang  Melem  lakukan  to  sudah  diniMaya 

Cakruati  oleh  masyarakat  bersama.  De  de  baange 

janji  jeg  pilihe.  Apin  cang  ngelah  Pura  luwung 

keweh  cang. 

Delem:  Ngudiang  keweh? 

Sangut:  Miara  keweh.  Sebab  cang  meagama  ada 

dasar  cang  telu. 

Delem:  Apa? 

Sangut:  Rasa,  rasio.  Raga.  Ne  penting  rasa  agama. 
Apin  Pura  mewah.  Apin  Pura  mewah.  Men  dereng 
rasa  agama  sing  bagus,  pocooool.  Rasio.  Apin  liu 
nawang  tutur  agama,  men  sing  terapang  pocool. 
Rasa  agamane  penting.  Kelan  nak  ne  kuno-kuno 
ngae  Pura  nak  aluh-aluh  ngae  Pura. 


politik.  Permintaan  saya,  sungguh.  Besok-besok 
orang  tidak  lagi  memancangkan  umbul-umbul 
upacara;  umbul-umbul  partai  lantas  di  Pura, 
bagaimana  'kan  jadinya?  Jangan!  Jangan!  Leeeeem! 
Kalau  menjadi  pemimpin  itu  adalah  sebuah  proses. 
Delem:  Proses  apa? 

Sangut:  Kalau  sudah  baik  perbuatan  Melem  di  desa, 
dibanjar,takperlu  untuk  diajaksembahyangbersama 
masyarakatnya,  pasti  Melem  dipilih.  Kalau  sudah 
baik.  Apalagi  apa  yang  Melem  lakukan  manfaatnya 
sudah  diniMaya  Cakruati  oleh  masyarakat  semua. 
Tak  usah  dihumbar  janji  pasti  dipilih.  Bahkan  bila 
saya  punya  Pura  bagus  justru  saya  sulit. 
Delem:  Mengapa  sulit? 

Sangut:  Memeliharanya  sulit.  Ada  tiga  hal  yang  saya 
jadikan  dasar  beragama. 

Delem:  Apa? 

Sangut:  Rasa,  Rasio,  Raga.  Yang  penting  rasa  agama. 
Kendati  Puranya  bagus.  Walaupun  Puranya  mewah. 
Namun  rasa  agamanya  belum  bagus,  percumaaaa. 
Rasio.  Walau  banyak  tahu  filsafat  agama,  kalau  tidak 
diterapkan  percumaaa.  Rasa  agamanya  penting.  Itu 
sebabnya  orang  dahulu  membuat  pura  gampang- 
gampang  saja. 


197 


your  religion  is  important.  That's  why  it  was  so  easy 
for  people  in  the  past  to  build  temples. 

Delem:  Why  was  it  easy? 

Sangut:  Take  a  long  stone,  lay  a  flat  stone  on  top  of 

it,  and  there  you  have  it.    It's  called  a  Lingga  Yoni 

shrine.  It  is  an  inexpensive  temple. 

Delem:  Why  is  that? 

Sangut:    You  don't  have  to  spend  any  money.    You 

just  run  down  to  the  river  to  get  the  stones.    Now 

the  world  has  progressed  and  people  say  they  hold 

their  temples  in  high  esteem.  The  temples  get  tafler 

and  taller,  so  that  our  esteem  can  grow  higher  and 

higher.  The  world  has  progressed  a  lot  in  making  the 

temples  higher,  but  they  are  no  longer  held  in  high 

esteem. 

Delem:  Then  how? 

Sangut:  Now  the  temple  is  esteemed  only  as  high  as 

our  heads.    So  Melem  comes  and  brings  money  to 

our  temple  in  order  to  renovate  it.  But  then  it  is  no 

longer  esteemed  as  high  as  our  heads. 

Delem:  Then  how? 

Sangut:  It  is  lowered  again  to  something  that  we 

just  carry  on  our  shoulders,  an  obligation  that  our 

generation  passes  down  to  our  descendants.    And 


Delem:  Ngudiang  aluh-aluh? 

Sangut:  Make  batu  lonjong  sik,  jiine  batu  lempeng. 

Tumpukne  ba  ditu.  To  raosange  Lingga  Yoni.  Mudah 

ajin  Pura  e. 

Delem:  Dadi  keto? 

Sangut:  Tara  ngelahang  prebia.  Ke  tukade  melaib 

nyemak  batu.  Jani  maju  Gumie...,  kelan  aluh  nak 

ngae  Pura.  Kelan  raosange  Pura  to  sesungsungan. 

Di  duwur  ngoyong  joh  Purae.  Sungsunge  diduwur. 

lani    maju-maju    Gumine    biin    apikane    Purae. 

Ngeluwung-ngeluwungan     Purae;     suwud     dadi 

sesungsungan. 

Delem:  Dadi  apa? 

Sangut:    Sesuwunan.    Di   nase   ba   ngoyong.    Jani 

teka  Melem  gebyar  gebyur  ngaba  pipis  ke  Puran 

cange.  Apikan  Melem  Puran  cange.  Suwuuud  dadi 

sesuwunan. 

Delem:  Dadi  apa? 

Sangut:  Tetegenan.  Baat  mekerug  sentanan  cange 

tamiang.  Apa  buin  idup  keweh  jani  Leeeem.  Anggon 

amah  basange  gen  keweh.  Salihke  menin  Pura. 


Delem:  Kenapa  gampang? 

Sangut:  Diambilkan  satu  batu  lonjong  ditumpuk  di 

atas  batu  bidang;  itu  yang  dinamakan  Lingga-Yoni. 

Murah  harga  pembuatan  Puranya. 

Delem:  Kenapa  begitu? 

Sangut:  Tidak  menghabiskan  biaya.  Pergi  kesungai 

mengambil  batu.  Sekarang  dunia  semakin  maju..., 

itu  sebabnya  orang  gampang  buat  Pura.  Makanya 

Pura  itu  disebut  sesembahan.  Jauh,  di  atas  tempatnya 

Pura.    Disembah   jauh    di    atas.    Sekarang   dunia 

semakin  maju,  lagi-lagi  Puranya  direnovasi  lebih 

apik.   Semakin  baik  Puranya,  tidak  lagi  menjadi 

sesembahan. 

Delem:  Jadi  apa? 

Sangut:     Jadi  junjungan.  Di  atas  kepala  letaknya. 

Sekarang  Melem  datang  dengan  gembyar-gembyor 

membawa  uang  ke  Pura  saya.  Melem  perbaiki  Pura 

saya.  Tidak  lagi  menjadi  junjungan. 

Delem:  Jadi  apa? 

Sangut:    Jadi  pikulan.  Berat  sekali  keturunan  saya 

mewariskan.  Apalagi  hidup  sulit  sekarang  Leeeeem. 

Untuk  makan,  isi  perut  saja  sudah  sulit.  Apalagi 


198 


besides  that,  life  today  is  difficult  and  different.  It  is 
even  hard  to  fill  our  stomachs,  let  alone  renovate  the 
temple. 

Delem:  Ah.  Ah.  Ah.  I'm  trying  to  give  you  a  donation, 
but  you  don't  want  it.   If  I  become  governor  school 
tuitions  will  be  free.  There  will  be  no  more  taxes. 
Sangut:  Ah,  that  is  the  voice  of  a  drunken  man. 
Delem:  Do  I  sound  drunk? 

Sangut:  It's  an  old  story.  I  hear  it  every  day.  Nobody 
believes  it.  It's  just  a  drunk  man  talking.  It's  going  to 
be  like  this  or  like  that.  The  public  is  more  intelligent 
than  that.  They've  got  their  eyes  open.  They've  gone 
to  college.  People  are  not  so  gullible  anymore.  They 
don't  believe  in  promises.  They  want  the  proof  of 
action.  A  promise  is  just  a  promise.  It  is  the  action 
that  matters. 

Delem:  What's  wrong?  Don't  you  agree  with  me? 
Sangut:  I  did  not  say  I  don't  agree.  If  Delem  wants 
to  be  a  leader,  I  am  in  favor  of  it,  but  you  haven't 
yet  been  a  leader  of  our  neighborhood  group  in  the 
hamlet,  and  you're  already  dreaming  of  becoming 
Governor.  Ah,  ah,  ah,  ah.  I  will  tell  you  something, 
Delem.  If  you  want  to  be  a  leader,  first  you  have  to 
lead  yourself  well,  then  lead  your  family  well,  your 
wife.    Be  a  leader  to  your  neighbors.    If  you  lead 


Delem:  lah  ah  ah  ah.  Ci  ajak  baang  sumbangan  sing 
nyak.  Yen  kaka  menek  dadi  Gubernur  SPP  gratis. 
Pajak  hapus. 

Sangut:  Ah  munyi  mabuk  to. 
Delem:  Mabuk  munyin  cange? 
Sangut:  Uling  pidan  ba  keto-keto.  Ba  ngelemah 
dingeh  cange.  Ada  sing  nak  percaya.  Munyin  nak 
mabuk  to.  Kene  sing  keto,  'nak  masyarakat  jani 
ba  intelek  ba  melek.  Ba  pendidikan  ba  tinggi. 
Nak  sing  nak  gugue.  Nak  nu  sing  nak  ngugu  janji, 
jani.  Laksana  anggone  bukti.  Nak  janji  obral  janji. 
Tinggal  janji  gen  ia.  Nak  laksana  ne  pentingange. 


Delem:  Ci  kenken  ne?  Ci  sing  cocok? 
Sangut:  Gang  ada  ngorang  sing  cocok.  Yen  ba  nyak 
Melem  jadi,  cang  sing  cocok  ba.  Di  Banjar,  dadi 
sekhe  semal  sing  taena.  Mimpi  dadi  Gubernuuuuur. 
Ah  ah  ah  ah.  Gang  ngorin  Lem.  Yen  benya  dadi 
pemimpin,  memimpin  diri  sendiri  malu!  Ba  bisa 
memimpin  diri  sendiri,  mimpin  keluarga.  Kurene 
pimpin  rumah  tangga  pimpin.  Bagus  memimpin 
keluarga.  Dadi  pemimpin  di  Banjar.  Kelian  adat  yen 


memperbaiki  Pura. 


Delem:  lah  ah  ah  ah.  kamu  diberi  sumbangan  tidak 
mau.  Kalau  aku  naik  menjadi  Gubernur,  SPP  gratis, 
pajak  dihapus. 

Sangut:  Ah,  itu  ocehan  orang  mabuk. 
Delem:  Perkataan  saya  mabuk? 
Sangut:  Emang  sejak  dulunya  udah  begitu.  Hampir 
setiap  hari  saya  dengar  itu.  Tidak  ada  orang  percaya. 
Ocehan  orang  mabuk  itu.  Omong-omong,  orang 
masyarakat  sekarang  sudah  intelek  sudah  melek. 
Sudah  berpendidikan  tinggi.  Orang  tidak  percaya. 
Sekarang  ini,  orang-orang  tidak  percaya  dengan 
janji-janji.  Perbuatan  yang  menjadi  bukti.  Orang 
janji,  ngobral  janji.  Janji  tinggal  janji.  Orang  lebih 
mementingkan  perbuatan  dari  pada  janji. 
Delem:  Gimana  kamu  ini?  Kamu  tidak  cocok? 
Sangut:   Adakah  saya  bilang  tidak  cocok?  Kalau 
Melem  bisa  jadi,  saya  bakalan  menolak.  Di  Banjar, 
menjadi  anggota  grup  menghalau  tupai  saja  tidak 
pernah.  Mimpi  jadi  Gubernuuuuurrr.  Ah  ah  ah 
ah.   Saya  kasih  tahu      kamu.   Lem.   Kalau  kamu 
menjadi    pemimpin,    harus    mampu    memimpin 
diri   sendiri  dahulu!   Sudah  bisa  memimpin   diri 
sendiri,  memimpin  keluarga.  Istri  dipimpin,  rumah 


199 


your  family  well,  you  can  become  a  leader  in  your 
community,  a  councilor  or  something  like  that.  If 
you  do  that  well  you  can  become  the  leader  of  your 
village.  You  can  become  an  alderman  and  then  get 
promoted  to  district  chief.  After  that  you  can  become 
mayor.  And  after  you  have  had  success  as  a  mayor, 
then  you  will  become  Governor. 
Delem:  After  Governor,  I  can  be  elected  President. 

Sangut:  Ah,  in  Java  it  is  unlikely  you  would  get  the 
votes  to  be  President.  That  position  is  impossible. 
We  {in  Bali)  are  happy  if  we  can  get  three  ministerial 
positions  {in  the  Federal  Government).  How  can  you 
expect  to  become  President?  You  should  settle  for 
what  you  can  get.  I  am  being  honest,  because  it  is 
just  you  and  I  here  talking  between  ourselves. 
Delem:  What's  wrong  with  you?  Your  brain  is  N.C., 
Not  Connected.  Your  thinking  is  behind  the  times. 
Oh,  what  are  you  talking  about?  You're  saying  that 
people  can't  make  progress,  that  they  can't  flourish. 
Just  look  at  you.  Compare  yourself  to  me.  We  are 
faaar  faaaar  apart. 
Sangut:  We  are  close,  but  you  say  we  are  far. 

Delem:  Faaaar.  Far  apart  if  you  compare  the  way  we 
live.  What  time  do  I  wake  up,  Sangut? 

Sangut:  What  time  do  you  wake  up? 
Delem:  Never  later  than  four  in  the  morning.  I  wake 
up  before  the  roosters  crow.  Did  you  know  I'm  the 
one  who  tells  the  roosters  what  time  it  is? 
Sangut:  Waaaah!  You  are  a  little  arrogant. 
Delem:  As  soon  as  I  wake  up  there  is  a  glass  of  clear 
water  on  the  table.    Your  sister  Nyoman,  my  wife, 
Ibu  Erik,  has  it  ready  for  me.  Ha.  Ha.  Drinking  clear 
water  when  you  get  up  in  the  morning  improves  the 
circulation  of  your  blood  vessels.    Ooooh,  not  like 
you  who  gets  up  at  ten.   You  have  grains  of  sand  in 


apa.  Luwung  memimpin  kelian  adat  dadi  Bendesa. 
Ooo.  Suwud  dadi  Bendesa.  Luwung  benya  dadi 
Bendesa  angkate  dadi  Camat.  Suwud  dadi  Camat 
Bupati.  Ba  luwung  sukses  di  Kabupaten,  dadi  lantas 
Gubernur. 


Delem:  Suwud  Gubernur  pilihe  dadi  Presiden. 

Sangut:  Ah  di  Jawa  kuangan  Jelema  anggo  Presiden. 
Sing  mungkin  ngateg  mai  meeduman.  Maan  dadi 
Mentri  neng  Telu  gen  ba  demen  atie.  Kel  nagih  dadi 
Presiden  ba  benya.  Nak  biasa-biasa  gen  omongan 
nake.  Ne  ada-ada  dini  gen  nake. 


Delem:  Ci  kenken  ci  ne?  Otak  ci  Kuper  nyen.  Ci 
aduh  ci  telat  mikir  ne.  Aduuuh  nak.  Orang  nak 
tuna  maju  tuna  berkembang  ci  kene.  Yen  kaka  tolih 
ci  aduuuh.  Yen  kaka  teh  saihan  kaka.  Kaka  ajak  ci 
joooooh.  Jooh,  joooh. 

Sangut:  Awak  paek  benya  ngorang  jooh. 

Delem:  Jooooh.  Di  bidang  kehidupan  joh  saing.  Joh 
joh  joh.  Ooo  kaka  bangun  jam  kuda  Ngut? 

Sangut:  Jam  kuda  bangun? 

Delem:    Paling    sing    jam    empat    pagi.    Konden 

mekruyuk  siap  kaka  bangun.  Nak  kaka  nundun 

siap  pang  ci  nawang. 

Sangut:  Beeeeh  sombong  ne. 

Delem:    Mara    bangun,       diatas    meja    air    putih 

segelas.  Embok  Nyoman  ci  kurenan  kaka  Buk  Erik 

menyediakan.  Ha  ha  ha.  Mara  bangun  minum  air 

putih  pang  nyak  lancar  urat-urat  darah  to.  Ooo  sing 

keto  cara  ci  bangun  jam  dasa.  Mara  bangun  pecehe 

aman  sentule  melaib  ke  paon  ngidu.  Mara  bangun 


tangga  dipimpin.  Sukses  memimpin  keluarga,  jadi 
pemimpin  di  banjar.  Ketua  adat.  Sukses  memimpin 
ketua  adat,  menjadi  pemimpin  desa  adat.  Berhasil 
anda  menjadi  pemimpin  desa  adat,  diangkat 
menjadi  Camat.  Setelah  menjadi  Camat,  Bupati. 
Setelah  sukses  di  Kabupaten,  lantas  jadi  Gubernur. 

Delem:    Sehabis  jadi   Gubernur,   dipilih   menjadi 

Presiden. 

Sangut:     Ah,  di  Jawa  mana  kurang  orang  untuk 

dijadikan  Presiden.  Tidak  mungkin  kebagian  sampai 

ke  sini.  Dapat  posisi  tiga  Menteri  saja  sudah  senang. 

Mau  minta  jadi  presiden  lagi?  Yang  biasa-biasa  saja 

diomongkan.  Yang  ada  diseputar  ini  sajalah. 


Delem:  Bagaimana  kamu  ini?  Otak  kamu  Kuper 

ini.  Kamu...  waduh  kamu  ini  telat  mikir.  Aduuuuh 

orang.   Orang  tidak  bisa  maju  kamu  tidak  bisa 

berkembang.  Kalau  aku  lihat  kamu  aduuuh.  Kalau 

aku   bandingkan    aku   dengan   kau   terlalu  jauh. 

Jauuuuhhh,  jauuuuhhhh,  jauuhhhh. 

Sangut:     Orang  kita  dekat,  kok  kamu  bilangnya 

jauh. 

Delem:       Jauuuuh.    Di    bidang    kehidupan;    jauh 

tanding.  Jauh,  jauh,  jauh.  Ooo  aku  bangunnya  jam 

berapa,  Ngut? 

Sangut:  Jam  berapa  bangun? 

Delem:  Setidaknya  jam  empat  pagi.  Ayam  belum 

berkokok,     aku     sudah     bangun.     Akulah     yang 

membangunkan  ayam.  Agar  kamu  tahu  saja. 

Sangut:  Waaaah  sombongnya. 

Delem:   Begitu  bangun,  di  atas  meja,   air  putih 

segelas.  Embak  Nyomanmu,  Bu  Erik  istriku  yang 

menyediakannya.  Ha  ha  ha.  Baru  bangun  minum 

air  putih,   agar  urat-urat  darah   itu  lancar.   Ooo 

tidak  seperti  kamu;  bangunnya  jam  sepuluh.  Baru 

bangun  kotoran  matamu  masih  sebesar  buah  sentul; 


200 


your  eyes  as  big  as  melons  and  you  run  to  the  kitchen 

to  warm  yourself  by  the  fire.  For  me  it's  clear  water 

as  soon  as  I  get  up.  After  I  drink  the  clear  water,  your 

sister  Nyoman  gives  me  a  back  massage.  "Let's  go  to 

aerobics,  dear  husband."     We  go  the  aerobic  center 

right  here  in  the  neighborhood.    And  on  the  way 

while  we  are  holding  hands  she  sings  a  little  song. 

Sol  sol  dooo.  Do  la  so.  Sol  Doo.  Do  la  sol. 

La  di  dah.  La  di  dah. 

Sangut:  What  is  that  ? 

Delem:  That's  the  sound  of  your  sister  Nyoman's  shoes 

on  the  road.  Sol  sol  paaa.  Pa  mi  re.  Mi  sol  sol  dooo. 

Do  la  sol.  Byug  go  byug.     My  slippers  flop  on  the 

asphalt.  My  Gobyug-gobyug.  Degleg-degleg.  Aaaah, 

it's  like  a  musical  melody.    All  along  Fm  wearing  a 

little  towel  around  my  neck. 

Sangut:  It's  good  you  wear  a  little  towel  around  your 

neck  so  people  can't  see  your  goiter. 

Delem:  Oooo.  We  come  home  from  aerobics. 

Sangut:  You  come  home  from  aerobics. 

Delem:  The  servants  have  already  set  the  table.  Hot 

coffee  with  milk.  Spice  cigarettes,  the  Gudang  Garam 

Merah  brand.  There's  a  newspaper  too. 

Sangut:  Wow. 

Delem:    I  drink  coff'e.    Light  up  a  cigarette.    Read 

the  newspaper.   Look  at  the  view.   Listen.   Find  out 


air  putih.  Suwud  minum  air  putih  sigite  bangkiang 
kaka  ken  Embok  Nyoman  cie.  "Kang  mas  robik  yuk". 
Erobik.  Di  alun-alune  robik.  Melinder  dini.  Sambil 
kaka  medandan  tangan,  megending-gending  kecil. 
Sol  sol  doooo.  Do  la  sol.  Sol  sol  dooo.  Do  la  sol. 
Gedegleg-gedegleg. 


Sangut:  Apa  to? 

Delem:  Sepatu  tinjik  Embok  Nyoman  ci  mekaplug 

di  aspale.  Sol  sol  paaa.  Pa  mi  re.  Mi  sol  sol  dooo. 

Do  la  sol.  Byug  go  byug.  Pantopel  kaka  mekaplug 

di  aspale.  Gobyug-gobyug.  Degleg-degleg.  Aaaah 

cara  melodi  lagu.  Sambilang  kaka  mekalung  cerik 

anduk. 

Sangut:  Beneh  kalungan  cerike.    Ada  nak  nepukin 

pang  saru  gondongane. 

Delem:  Ooooo.  Teka  li  erobik. 

Sangut:  Teka  uli  erobik? 

Delem:  Nganteg  jumah  di  atas  meja  pembantu  ba 

nyiapin  to.  Kopi  susu,  roko  kretek  Gudang  Garam 

Merah.  Di  tambah  koran. 

Sangut:  Pih. 

Delem:  Nyiup  kopi  ngisep  roko,  memaca  koran. 

Mendengar    melihat    pemandangan.     Bagaimana 


berlari  ke  dapur  menghangatkan  diri.  Baru  bangun 
air  putih.  Selesai  minum  air  putih,  pinggangku 
dicubit  oleh  embak  Nyomanmu.  "Kang  mas  erobik 
yuk".  Erobik.  Di  alun-alun  erobik.  Berputar  di  sini. 
Sembari  aku  bergandengan  tangan,  bernyanyi- 
nyanyi  kecil.  Sol  sol  doooo.  Do  la  sol.  Sol  sol  dooo. 
Do  la  sol.  Gedegleg-gedegleg. 


Sangut:  Apa  itu? 

Delem:  Sepatu  tinjik  Embak  Nyomanmu 
berbenturan  di  aspal.  Sol  sol  paaa.  Pa  mi  re.  Mi  sol 
sol  dooo.  Do  la  sol.  Byug  ge  byug.  Pantopel  kakak 
berbenturan  di  aspal.  Gobyug-gobyug.  Degleg- 
degleg.  Aaaah  seperti  melodi  lagu.  Sembari  aku 
berkalung  handuk. 

Sangut:    Pantas    dikalungkan    handuknya.    Ketika 
dilihat  orang,  agar  gondoknya  tidak  kelihatan. 
Delem:  Ooooo.  Sekembalinya  dari  erobik. 
Sangut:  Sekembali  dari  erobik? 
Delem:  Sesampai  di  rumah  di  atas  meja  pembantu 
sudah  menyiapkan  kopi,  susu,  rokok  kretek  Gudang 
Garam  Merah.  Di  tambah  Koran. 
Sangut:  Wah. 

Delem:  Minum  kopi,  menghisap  rokok,  membaca 
koran,       mendengar,       melihat       pemandangan. 

203 


about  the  political  situation  in  the  country.   What's 

the  condition  of  the  economy?  What's  happening  in 

Iran?    Not  like  you:  a  frog  in  a  coconut  shell  who 

doesn't  know  what's  happening  in  the  world. 

Sangut:  Wow. 

Delem:  Right,  Sangut? 

Sangut:  Right.  After  your  hot  cofi^ee,  Gudang  Garam 

Merah  spice  cigarettes,  and  newspaper,  what  then? 

Delem:   I  take  a  shower.   I  come  into  the  bathroom 

and  everything's  ready:  the  hot  water,  the  cold  water, 

the  medium  warm  water.  All  I  have  to  do  is  push  the 

button. 

Sangut:  Oh,  in  your  bathroom. . .  you  just  push. 

Delem:  Yes,  it's  electric. 

Sangut:  Oh,  it's  electric. 

Delem:  In  the  bathroom,  your  sister  Nyoman  and  I 

get  in  the  Jacuzzi. 

Sangut:  What  do  you  mean,  Jacuzzi? 

Delem:  There  is  a  half  bucket  of  water  for  both  of  us. 

We  splash  it  around.    Guzzy,  cuzzy,  cuzzy  (splashing 

sounds).  It's  a  Jacuzzi. 

Sangut:  After  the  Jacuzzi? 

Delem:  Lunch.   The  servants  already  have  it  on  the 

table.  Four  courses  for  health.  Five  for  perfection 


situasi  politik  dalam  negeri,  bagaimana.  Keadaan 
ekonomi  engken?  Pang  de  ci  katak  dalam 
tempurung,  sing  nawang  perkembangan  jaman. 

Sangut:  Pih. 

Delem:  Pas  Ngut? 

Sangut:  Pas.  Suwud  kopi  susu,  roko  kretek  Gudang 

Garam  Merah  ditambah  Koran...? 

Delem:  Mandi.  Kaka  mecelep  ke  kamar  mandi  suba 

tersedia  air  hangat,  air  dingin  setengah  mateng. 

Tinggal  nyelek. 

Sangut:  Ooo  di  kamar  mandi... celek. 

Delem:  Saklare! 

Sangut:  Ooo  saklare. 

Delem:  Di  kamar  mandi  kaka  ajak  Mok  Nyoman  ci 

mandi  uap. 

Sangut:  Imih  ane  kenken  madan  mandi  uap? 

Delem:  Ada  iyeh  tengan  ember  pang  nyandang  ajak 
dadua.  Golek  uap  uap  uap  uap.  Mandi  uaaaap. 

Sangut:  Habis  mandi  uap? 

Delem:  Makan  siang.  Di  atas  meja  pembantu  sudah 

menyiapkan  4  sehat  5  sempurna. 


Bagaimana  situasi  politik  dalam  negeri?  Bagaimana? 

Bagaimana    keadaan    ekonominya?    Agar    kamu 

tidak  seperti  katak  dalam  tempurung.  Tidak  tahu 

perkembangan  jaman. 

Sangut:  Wah. 

Delem:  pas  Ngut? 

Sangut:  Pas.  Sehabis  kopi  susu,  rokok  kretek  Gudang 

Garam  Merah  ditambah  Koran...? 

Delem:  Mandi.  Aku  masuk  ke  kamar  mandi,  sudah 

tersedia  air  hangat,  air  dingin,  air  setengah  matang. 

Tinggal  pencet. 

Sangut:  Ooo  di  kamar  mandi... mencetnya. 

Delem:  Saklarnya! 

Sangut:  Ooo  saklarnya. 

Delem:    Di    kamar    mandi    aku    dengan    embak 

Nyomanmu  mandi  uap. 

Sangut:    Wah,   yang   bagaimana   namanya   mandi 

uap? 

Delem:  Ada  air  setengah  ember  agar  cukup  berdua. 

Golek  uap  uap  uap.  Mandi  uaaaap.   (Uap  dalam 

bahasa  Bali  berarti  usap). 

Sangut:  Habis  mandi  uap? 

Delem:  Makan  siang.  Di  atas  meja,  pembantu  sudah 

menyiapkan  4  sehat  5  sempurna. 


204 


Sangut:  And  after  lunch? 

Delem:  Sleeeping. 

Sangut:    That's  what  a  pig  does.    A  pig  sleeps  right 

after  it  eats. 

Delem:  It's  good  for  your  digestion.    Not  like  you, 

running  around  after  you  eat.  ft  makes  you  too  thin. 

You  need  a  lot  of  flesh  to  hold  your  bones  together. 

Otherwise  your  body  will  fall  apart. 

Sangut:  Wow.  After  sleeping? 

Delem:   At   four   in   the   afternoon   I    run   to   the 

community  hall  to  do  the  Poco-Poco  dance  exercises 

with  your  sister  Nyoman.  One  two  three  four.  Stretch, 

shake  your  butt  and  squeeze.    One  two  three  four. 

Shake  your  butt  and  squeeze.  ''Mens  Sana  in  Corpore 

Sana"  (quoting  the  Latin  phrase).  "A  Healthy  Soul  in 

a  Healthy  Body." 

Sangut:  That's  right. 

Delem:  Isn't  that  right,  Ngut? 

Sangut:  Right.  And  after  the  Coconut  exercises? 

Delem:  Poco-Poco!  Not  coconut. 

Sangut:  After  the  Poco-Poco  exercises? 

Delem:  A  shower. 

Sangut:  You  go  to  the  bathroom  again  and  push  the 

buttons  for  hot  water,  cold  water,  medium  warm 

water  and  a  Jacuzzi.  Then  after  the  shower? 


Sangut:  Habis  makan  siang? 

Delem:  Bubuk. 

Sangut:  Eee  angkal  cara  celeng?  Yen  celeng  suwud 

makan  pules. 

Delem:  Pang  nyak  medegdegan  nasie.  Sing  keto  cara 

cie,  suwud  makan  ngelincaaang.  Kal  awak  ci  berig 

bregidig.  Ne  aget  kulit  ngaput  tulang.  Yen  sing  keto 

ngerosok  bangken  cie. 

Sangut:  Bih.  Habis  bubuk? 

Delem:  Jam  4  sore  melaib  ke  wantilan  senam  poco- 

poco  ajak  Mok  Nyoman  cie.  Tu  Wa  Ga  Pat.  Tarik 

goyang  ajit  jepit.  Tu  Wa  Ga  Pat  tarik  goyang  ajit 

jepit.  Aaaah.  Men  sana  in  corpore  sana.     Dalam 

badan  sehat  ada  jiwa  yang  sehat. 


Sangut:  Pas. 

Delem:  Pas  Ngut? 

Sangut:  Pas.  Habis  senam  ngoco? 

Delem:  Poco-Poco!  Ngoco-ngoco. 

Sangut:  Habis  senam  poco-poco? 

Delem:  Mandi. 

Sangut:   Biin   mecelep   kamar   mandi  biin   celek. 

Beneh,  air  hangat,  air  dingin,  setengah  mateng, 

mandi  uap.  Habis  mandi? 


Sangut:  Habis  makan  siang? 
Delem:  Tidur. 

Sangut:  Lho...  kok  seperti  babi?  Kalau  babi  setelah 
makan,  tidur. 

Delem:   Agar  nasinya  mengendap.   Tidak  seperti 
kamu,  sehabis  makan  tidak  bisa  diam.  Itu  sebabnya 
kau  kurus  kering.  Syukur  saja  ada  kulit  membungkus 
tulangmu.  Kalau  tidak,  berserakanlah  bangkaemu. 
Sangut:  Wah.  Habis  bobok? 

Delem:  Jam  4  sore,  berlari  ke  wantilan  senam  poco- 
poco  bersama  embak  Nyomanmu.  Tu,  ua,  ga,  pat, 
tarik  goyang  pantat  jepit.  Tu,  ua,  ga,  pat,  tarik  goyang 
pantat  jepit.  Aaaah.  Mensana  incoporosana.  Di 
dalam  badan  yang  sehat  terdapat  jiwa  yang  sehat. 


Sangut:  Pas. 

Delem:  Pas  Ngut? 

Sangut:  Pas.  Habis  senam  ngoco...? 

Delem:  Poco-poco!  Ngoco-ngoco. 

Sangut:  Habis  senam  poco-poco? 

Delem:  Mandi. 

Sangut:   Lagi  masuk  ke  kamar  mandi,  lagi  mencet. 

Benar,  air  hangat,  air  dingin  setengah  matang,  mandi 

uap.  Habis  mandi? 


205 


i 

1  V'  'V  _  r 

8 

iri 

•i 

''H 

Delem:  Shopping 

Sangut:  Where? 

Delem:  At  the  shopping  center. 

Sangut:  Where  ? 

Delem:  In  Nusa  Dua.  {sings  a  radio  commercial)  "Let's 

go  have  fun,  let's  go  have  fun  at  the  Nusa  Dua  hotel." 

Haaa.  You  should  know  what  my   wife  is  like.    Ibu 

Erik  is  always  making  moves  in  front  of  the  mirror. 

My  wife  never  forgets  to  wear  mini  skirts,  blue  jeans, 

and  a  see-through  t-shirt  without  a  bra. 

Sangut:  Aduuuh,  I  feel  cold  all  over. 

Delem:  And  her  hair? 

Sangut:  Her  hair? 

Delem:  She  lets  her  hair  hang  down.  She  irons  it  to 

make  it  straight.  She  wears  black  sun  glasses.  Your 

sister  Nyoman  dresses  like  a  tourist.    Sandals  and 

everything. 

Sangut:  What? 

Delem:  Karviill  brand.  She  carries  a  mini-tote  bag. 

Sangut:  What's  in  the  bag? 

Delem:  Cosmetics. 

Every  time  you  turn  around  she's  looking  in  the 

mirror.  Every  time  you  turn  around  she's  looking  in 

the  mirror,  chckety,  clickety  in  her  high  heeled  shoes. 

That's  your  sister  Nyoman.  And  your  sister  Nyoman 

206 


Delem:  Berkemas. 

Sangut:  Kija  ne? 

Delem:  Shopiiing. 

Sangut:  Kija? 

Delem:  Nusa  Dua.   (gending)"/a/an  melali,  jalan 

melali  ke  hotel  Nusa  Dua.  Haaaa.  Kurenan  kaka  pang 

ci  nawang.  Buk  Erik  di  malun  lemari  tunggang- 

tungging.  Kurenan  kaka  tak  lupa,  nganggon  rok 

mini,  jin  ketat,  kaos  oblong  tanpa  BH. 

Sangut:  Aduuuuh  dingin-dingin  awake. 

Delem:  Rambut? 

Sangut:  Rambut? 

Delem:  Dibiarkan  mayang  terurai.  Direbonding. 

Pakai  kaca  mata  hitam.  Cara  toris  Mok  Nyoman 

cie.  Sandalnya? 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Karviiiil!  Bawa  tas  mini. 

Sangut:  Dalam  tas? 

Delem:    Kosmetik.    Sebilang    pengkol    masuluh. 

Sebilang   pengkol   masuluh.    Teklik.    Teklik   Mok 

Nyoman  cie.  Dan  Mok  Nyoman  ci  tak  lupa  pakai 

farfum  seprai  Casablancaaa.  Selat  satus  meter  jeg 

ngabyur  kuren  kaka.  Yen  ci  maan    nepuk  kuren 


Delem:  Berkemas. 

Sangut:  Kemana  ini? 

Delem:  Shopiiing. 

Sangut:  Kemana? 

Delem:  Nusa  Dua.  (geniding)"Ha>'o/a/j  berlancong, 

mari  berlancong,  ke  hotel  Nusa  Dua.  Haaa.  Istriku, 

agar  kau  tahu  aja;  Bu  Erik,  di  depan  cermin  almari 

bersolek.  Istriku  tak  pernah  lupa  memakai  rok  mini, 

jin  ketat,  kaos  oblong  tanpa  BH. 

Sangut:  Aduuuuh  menggigil  tubuhku. 

Delem:  Rambut? 

Sangut:  Rambut? 

Delem:   Dibiarkan  mayang  terurai.   Direbonding. 

Pakai  kaca  mata  hitam.  Seperti  turis  saja  embak 

Nyomanmu.  Sandalnya? 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Karviiiil!  Bawa  tas  mini. 

Sangut:  Dalam  tas? 

Delem:    Kosmetik.    Setiap    tikungan    bercermin. 

Setiap  tikungan  bercermin.   Teklik  teklik  embak 

Nyomanmu.    Dan    embak    Nyomanmu    tak   lupa 

pakai  parfum  sepray  Casablancaaa.  Jarak  seratus 

meter  menyebar  bau  istriku.  Kalau  kamu  sempat 


S' 


<.  *  •.  "»v 


^t.  .#^ 


•^*: 


;•»' 


*■••«-  .-.'i-' 


I 


■"^ 


.•••^- 


f/  .vl 


never  forgets  to  use  Casablanca  perfume  spray.  You 
can  smell  my  wife  from  a  hundred  meters  away. 
You  could  faint  from  seeing  my  wife.    Her  chest  is 
full.  Her  waist  is  small.  Her  thighs  are  plump.  She's 
shaped  like  an  Australian  horse. 
Sangut:  Ahhh,  I'm  feeling  cold  all  over.    And  after 
shopping? 
Delem:  Tim-Tim. 
Sangut:  What? 

Delem:  My  private  chauffeur  is  already  outside.  He 
waves.  Your  Timor-Timor  Luxury  Sedan  is  parked 
outside.  Timor-Timor.  "Hurry,  Boss."  That's  what 
my  chauffeur  calls  me.  He  pushes  the  remote  control 
ignition  button  to  start  up  the  Luxury  car  from  a 
meter  away.  "Tililut.  Tillilut."  That's  what  a  luxury 
car  sounds  like  when  you  start  it  up.  Not  like  when 
you  start  up  your  car.  "Ke  ke  ke  keg.  Ke  ke  keg."  You 
have  to  push  it.  Ahhhh.  I  sit  in  the  back. 
Sangut:  Why  does  the  boss  sit  in  the  back? 
Delem:  If  there's  an  accident  the  chaffeur  dies.  You 
have  no  idea.  Politicians  have  to  be  careful,  you  know. 
Ahhh.  I  close  the  door  of  the  sedan.  "Jeeeeg." 

Sangut:  What  is  that? 

Delem:  That  is  the  sound  of  my  car  door  closing. 
Not  like  your  car.  "Blongkaaag."  And  when  I'm 
inside  the  car  I  never  forget  to  play  Rock  and  Roll 
with  big  "Bazooka"  brand  speakers:  'jus,  jus,  jus."  If 
I  pass  by,  the  people  hear  the  noise  and  say,  "That 
must  be  somebody  famous.  Ooooooh.  He's  playing 
'jus,  jus,  jus.'"  I  eat  melon.  You  chew  on  crabapples. 
I  take  a  shower  in  the  bathroom.  You  bathe  in  the 
river.  As  soon  as  you  start  to  wash  your  face,  a  big 
turd  floats  downstream  from  the  north.  Aaaaa.  You 
are  stupefied.  Yes,  yes,  you  are  dazed.  Now  you 
feel  ashamed.  That  describes  you  exactly.  You  feel 
ashamed.  You  are  in  a  daze.  Yes,  yes,  yes.  Ooohh, 
my  mouth  is  sore. 


kaka  aduh  jeg  bisa  pingsan  niwang  ci.  Tangkah 
endig.  Bangkiang  cenik.  Nyengkled.  Jit  tegik.  Arah 
cara  kuda  Australi  jenengne. 


Sangut:      Aruh      dingin-dingin      awake.      Habis 

berkemas? 

Delem:  Tim-Tim 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Sopir  pribadi  ba  diwang  ba  ngewangsiten. 

Sedan  Tumor  parkir.  Timor-Timor.  Timor-Timor. 

"Cepet  bos!".  Keto  sopir  kaka.  Ngidupang  mobil 

mewah  selat  satu  meter  mecik  rimut.  Tililut,  tililut. 

Rimut  mobil  mewahe.  Sing  keto  ci  ngidupan  motor 

cie.  Ke  ke  ke  ke  keg.  Ke  ke  keg.  Nyogok  misi  man. 

Aaaah  kaka  negak  di  belakang. 


Sangut:  Nguda  bos  di  belakang  negak? 
Delem:  Di  tabrak  montore  pang  sopire  bangka.  Ci 
sing  ngelah  daya.  Orang  politik  kenken  ci.  Aaaa 
nutup  pintu  sedan,  jeeeeg. 

Sangut:  Apa  to? 

Delem:  Munyin  pintue  tooo.  Sing  keto  montor  cie, 
Blaaaaag.  Aaaa  dalam  Sedan  tak  lupa  muter  lagu 
Rock  and  Roli  salonnya  Bazooka.  Jus  jus  jus.  Asal 
kaka  maan  liwat  diwangan  pasti  ba  uyut.  Pasti  Pak 
Ngurah  ne,  ooooo.  Orang  jos  ai  jos  ae.  Kaka  makan 
Melon  ci  Lempeni  gutgut  ci.  Pang  milu  ci  ngamah 
buah.  Kaka  mandi  di  kamar  mandi.  Ci  pragat 
manjus  di  telabah.  Mara  masugi  tai  gede  anyud 
uling  kaja.  Aaaaah.  Ne  ne  bengong  ci  bengong  ci. 
Ne  ne  lek  atin  ci  .  Lek  atin  ci.  Otopresis  ci  ne.  Lek 
atine.  Bengong  ci  ye  ye  ye.  Duh  sakit  bungut  wih. 


melihat  istriku,  waduh  bisa  pingsan  kamu.  Dadanya 
busung.  Pinggang  kecil,  langsing.  Pantat  menukik. 
Walahwalah  kayak  kuda  Australi  aja  tampangnya. 


Sangut:      Aduuuh      menggigil      tubuhku.      Habis 

berkemas? 

Delem:  Tim-Tim. 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Sopir  pribadi  di  luar  udah  memberi  tanda. 

Sedan  Timor  parkir.  Timor-Timor,  Timor- Timor". 

Cepat  Bos".   Kata  supirku.  Menghidupkan  mobil 

mewah  dari  jarak  satu  meter  dengan  mencet  rimut. 

Tililut,  tililut.  Rimut  mobil  mewahnya.  Tidak  seperti 

menghidupkan  motormu.  Ke  ke  ke  keg.  Ke  ke  keg. 

Mesti  didorong  lagi.  Aaaah;  Aku  duduk  di  belakang. 

Sangut:  Kenapa  bos  duduk  di  belakang? 
Delem:     Kalau-kalau    motornya    tabrakan,    agar 
supirnya  yang  mati.  Kok  enggak  punya  akal  kamu. 
Pikiran  politik!   Gimana  kamu  ini.  Yaaa...   pintu 
sedan  ditutup,  jeeeeg. 
Sangut:  Apa  itu? 

Delem:  Bunyi  pintunya,  seperti  itu.  Tidak  kayak 
motormu,  Blonkaaag.  Yaaa  di  dalam  sedan  tak  lupa 
memutar  lagu  Rock  and  Roli,  salonnya  Bazooka.  Jus 
jus  jus.  Setiap  aku  berkesempatan  lewat  dijalanan 
pasti  gaduh.  Pasti  Pak  Ngurah  ini,  oooo.  Bilang  jos 
ai  jos  ae.  Kalau  aku  makan  melon,  kamu  makan 
lempeni.  Agar  kamu  ikut-ikutan  makan  buah.  Aku 
mandi,  di  kamar  mandi;  kamu  selalu  mandi  di 
sungai.  Begitu  basuh  muka,  kotoran  besar  datang 
dari  utara.  Aaaah.  Ye  ye  bengong  kamu,  bengong 
kamu.  Ye  ye  malu  kan  kamu,  malu.  Kamu  ini 
Otopresis.  Kamu  ini  dederu  malu.  Bengong  kamu 
ye  ye  ye  .  Aduh  sakit  mulutku. 


208 


Sangut:  Aruh. 

Delem:  Why  do  you  say,  'aruh  aruh.'  Ooo  you  are  far 

far  far  away. 

Sangut:  I  am  thinking  deeply. 

Delem:  What  are  you  thinking  about? 

Sangut:  I'm  thinking  about  what  I  know.  You,  Delem, 

work  with  me  as  a  servant  in  the  Palace  of  Segara 

Lungsur.       At  four  in  the  morning  when  it  is  still 

dark  I  wake  you  up.   'Delem,  let's  go  to  work  at  the 

Palace,  Delem.  When  we  get  to  the  palace  we  clean 

up  the  grass,  cook,  and  sweep.    We  wash  clothes. 

We  iron  them.  We  work  until  ten  in  the  evening 

and  then  go  home.  The  next  day  it's  the  same  thing, 

early  in  the  morning.  'Delem,  let's  go  to  work  in  the 

Palace,  Delem.    We  get  to  the  Palace.    We  cut  the 

grass,  sweep,  cook,  clean  up.  Every  day  it's  like  that. 

So  I  am  thinking  what's  all  this  about  high-heeled 

shoes  and  push  button  bathrooms  and  Timur  luxury 

cars  and  Casablanca  perfume?  When  did  it  happen 

Deleeeeeeem? 

Delem:  You  ask  me  when.  Those  are  just  my  dreams. 

That's  how  we'll  live  when  we  are  rich.  What  do  you 

think  about  that? 

Sangut:  Uhe  he  he  he  he.  What  a  dope  I  was,  ha  ha.  I 

was  taking  you  so  seriously.  But  it  was  just  a  dream. 

The  Luxury  Timor  Sedan.    It  was  all  in  your  head. 


Sangut:  Aruh. 

Delem:  Nguda  aruh  aruh  ci?   Oooo  jauh,  jauh, 

jauh. 

Sangut:  Orin  cang  nak  berpikir  keras  ne. 

Delem:  Apa  pikir? 

Sangut:  Ne  tawang  cang  kan,     Melam  ajak  cang 

memarekan  dini.  Di  Puri  Segara  Lungsur.  Semengan 

nu  peteng  ba  dundun  cang  Melam.  Jam  4.  Lem  mai 

ngayah  ke  Puri  Lem.  Nganteg  di  Puri,  ngudud, 

masak  ,  nyampat.  Mencuci  ,  nyetrika.  Nganti  jam 

dasa  petengne  mara  mepamit.  Mulih  to.  Bin  mani 

semengan  biin.  Leeem  ngayah  ke  Puri  Lem.  Ked  di 

Puri  ngudud,  nyampat,  masak,  nyuci.  Ngelemah 

keto  to.  Ne  pikir  cang  .  Gobyog-gobyog.  Teklik- 

tekilik.  Timor.  Kasablanca  pidan  to  Leeeem  ? 


Delem:  Pidan  takonang  cie.  To  nak  mara  cita-cita. 
Kayange  sugih,  keto  nyan  bena  idup.  Kenken  baan 
ci  ngenehang  to. 

Sangut:  Uhe  hehehe  he  he.  Dong  he  hehe.  Malah 
mesedenan  cang  ningehang.  Mara  cita-cita.  Misi 
sedan  Timor.  Awak  pengesan  keles  sing  ngelah. 


Sangut:  Aduh. 

Delem:  Kenapa  kamu  aduh  aduh?  Ooo  jauh,  jauh, 

jauh. 

Sangut:  Saya  ini  selagi  berpikir  keras. 

Delem:  Mikirin  apa? 

Sangut:  Sejauh  yang  saya  tahu,  Melem  dengan  saya 

'kan  mengabdi  di  sini,  di  Puri  Segara  Lungsur.  Di  pagi 

buta  saya  mesti  membangunkan  Melem.  Jam  4.  Lem 

mari  kita  menghamba  ke  Puri,  Lem.  Sesampainya  di 

Puri,  membersihkan  rumput,  memasak,  menyapu, 

mencuci,  menyetrika.  Setelah  jam  sepuluh  malam 

baru  pulang.  Ya  pulang.  Keesokan  paginya  lagi; 

Leeem  menghamba  ke  Puri  Lem.  Sesampainya  di 

Puri  memotong  rumput,  menyapu,  memasak,  nyuci. 

Berhari-hari  begitu  terus.  Yang  saya  tak  habis  pikir: 

gobyog-gobyog.   teklik-teklik.   Timor.   Kasablanca. 

Kapan  itu  Leeeem? 


Delem:  Kapan?  Tanyamu.  Itu  kan  baru  cita-citaku. 
Bila  aku  'udah  kaya,  begitulah  kita  hidup.  Bagaimana 
caramu  memikirkan  itu. 

Sangut:  Uhe  hehehe  he  he.  Dong  he  hehe.  Waduh 
serius  nian  saya  mendengarkannya.  Ini  hanya  baru 
cita-cita?    Mengendarai    sedan    Timor?    Pemarut 


209 


You  don  t  have  any  of  it. 

Delem:  You  talk  too  much. 

Sangut:  If  my  sister  really  wore  clickety  click  high 

heels  to  the  gym  she  would  break  her  foot.  One  Two 

Three  Four.  Stretch,  shake  your  butt,  squeeze. 

Delem:  You  talk  too  much. 

Sangut:    Aruhh.    So  she  uses  Casablanca  perfume 

spray,  does  she?    Whenever  I  meet  your  wife  she 

smells  like  a  goat.    One  Two  Three  Four.    Stretch, 

shake. 

Delem:  You  talk  too  much. 

Dalang:  Deleeeem. 

Delem  :  Yes,  here  I  am.   {Delem  jumps  off  the  screen 

in  response  to  the  call  of  the  dalang  puppeteer). 

Sangut:  If  he  wasn't  like  that,  he  wouldn't  be  Delem. 

That's  just  the  way  he  is.    That's  Mr.  Delem.    Mr. 

Optimist.  His  eyes  are  always  looking  up.  He  never 

ever  looks  down  at  the  ground.    He  doesn't  know 

the  ground  is  under  his  feet.   He  just  looks  up.   He 

can't  bend  his  neck  down  because  of  the  goiter  under 

his  chin.  That's  what  you  call  a  person  who  wants  a 

luxurious  life-style.   A  luxury  life-style.   Sometimes 

he  will  do  anything  he  can  to  reach  that  goal  of 

luxury.    Delem  is  a  good  painter,  but  his  paintings 

never  sell.    So  I  asked  him,  "Hey,  how  is  it  going?" 

"I  made  a  painting."  "What  kind  of  painting."  "You 


Delem:  Peta  gen  ci. 

Sangut:  Dong  misi  teklik-teklik  sepatu  tinjik.  Dong 

cang  nolih  batis  kurenan  Meleme  belah-belah  tepuk 

cang.  Tu  Wa  Ga  Pat.  Tarik  goyang  ajit  jepit. 

Delem:  Petaaaa. 

Sangut:    Aruuuh.    Dong   ngangon    parfun    seprai 

Casablanca.  To  cang  ngimpasan  kurenan  meleme 

cara  kambing  meuyeng  bone.  Tu  Wa  Ga  Pat.  Tarik 

goyang 

Delem:  Petaaaa. 

Dalang:  Deleeeeem. 

Delem  :  Tiaaang.(  Delem  makecos). 

Sangut:  Yen  sing  I  Melem  sing  keto.  Nak  mula 
biasa  to  Melem  .  To  Pak  Melem.  Pak  Beres  to. 
Matae  nyengenget  melat  menek  to.  Sing  taen,  sing 
taen  sing  nolih  tanah.  Tawang  sing  tanahe  beten. 
Nyengenget  gen  terus  ne.  Gangsele  ken  baongne 
beten.  Itu  namanya  manusia  yang  bergaya  hidup 
mewah.  Bergaya  hidup  mewah.  Kadang  kala 
untuk  mencapai  semua  tujuan  kemewahan  itu 
menghalalkan  segala  cara.  Melem  nak  duweg 
melukis  ya.  Kalo  sing  payu-payu  lukisan  ya  e,  keto. 
Raga  ba  tes  ajake.  "Yuk".  Keto.  Engkene?  "Ngae 
lukisan  puk".  Lukisan  apa  gae?  "Anun  Pak  anu. 


kelapa  rusakpun  kamu  tak  punya. 

Delem:  Comel  amat  kamu. 

Sangut:     Aduh  berisi  teklik  teklik  sepatu  tinjik. 

Waduh  ku  lihat  kaki  istrimu  pecah-pecah,  Melem. 

Satu,  dua,  tiga,  empat,  tarik  goyang  pantat  jepit. 

Delem:  Ngomeeeelll. 

Sangut:     Aduuuh.  Dong  memakai  parfum  sepray 

Casablanca.    Ketika    aku    berdampingan    dengan 

istrimu,  Melem,  baunya  ya  ampun,  amis,  kayak 

kambing  dikibas.  Tu  wa  ga  pat.  Tarik  goyang 

Delem:  Ngomeeeelll. 

Dalang:  Deleeeem. 

Delem  :  Hammmbaaa. (delem  meloncat  masuk  ). 

Sangut :  Kalau  tidak  begitu,  tidak  I  Melem,  namanya. 
Emang  tabiatnya  Melem  seperti  itu.  Itu  Pak  Melem, 
Pak  Beres  dia.  Mata  mendeleik  ke  atas.  Tidak  pernah, 
tak  pernah  menoleh  tanah.  Dia  acuh  dengan  tanah 
di  bawah.  Menolehnya  ke  atas  saja.  Lehernya  yang 
mengganjal.  Itu  namanya  manusia  yang  bergaya 
hidup  mewah.  Bergaya  hidup  mewah.  Kadang 
kala  untuk  mencapai  semua  tujuan  kemewahan  itu 
menghalalkan  segala  cara.  Melem,  orangnya  pintar 
melukis.  Tetapi  tidak  laku-laku  lukisannya.  Seperti 
itulah.  Saya  lantas  diajak.  "Yuk".  Begitu.  Bagaimana 
ini?   "  Buat  lukisanlah  "   Buat  lukisan  apa?   Itu, 


211 


know,  one  of  those  by  whatsisname.  A  Gunarsa 
copy."  It's  okay  to  make  a  copy.  Of  course  people 
can  make  copies.  We  can  paint  copies  of  things  by 
our  friends.  But  we  should  put  our  own  signature 
underneath,  so  it  is  understood  that  we  were  making 
a  copy.  Delem  did  it  differently.  He  made  a  copy  and 
signed  Mr.  Gunarsas  name  underneath.  Friends  like 
that  can  bankrupt  you.  That  cannot  be  allowed.  It  is 
a  violation  of  copyright,  of  what  is  called  intellectual 
property  rights.  That  wrongs  the  rights.  {The  original 
pun  plays  on  the  similarity  between  the  acronym  for 
"intellectual  property  rights  and  the  word  for  battery, 
'HAKI'  and  'aki\  by  joking  that  the  battery  is  dead). 
This  is  what  Mr.  Gunarsa  is  fighting  against.  Steadily, 
like  the  sun  coming  up  in  the  east,  he  has  been 
struggling  for  years  to  establish  intellectual  property 
rights  for  artists.  In  the  past,  no  one  thought  about 
it.  How  difficult  was  it  for  the  great  dancer  Mario 
to  invent  his  choreography.  Now  there  are  people 
who  have  recorded  it  on  DVD's.  But  Mr.  Mario 
never  saw  a  penny  from  them.  I  should  say  Mr. 
Mario's  heirs  never  saw  a  penny,  because  Mr.  Mario 
has  already  passed  away.  It  shows  that  we  have  to 
stay  aware,  so  that  the  creativity  of  artists  does  not 
become  bankrupt.  People  talk  about  it  all  the  time. 
Artists  are  tired  of  other  people  profiting  from  their 
work.  So  we  have  to  stay  vigilant.  In  the  past  tourists 
would  come  and  artists  would  be  happy  to  let  them 
take  photos.  But  now  the  world  has  changed.  There 
is  a  thing  called  copyright  and  people  should  know 
the  laws  to  protect  themselves.  That's  why  we  should 
stand  behind  Mr.  Gunarsa  in  his  struggle  to  establish 
copyright  laws  for  artists.  Tomorrw  they  say  Gunarsa 
will  go  to  court.  I  will  be  standing  in  the  back  with 
my  belt  (sabuk).  I  will  bring  my  thick  army  belt 
(sabuk  kopel),  so  if  there  is  a  riot  I  can  use  it  as  a 
weapon.  People  can  be  difficult  these  days.  That  is 
why  I  often  have  to  use  the  word  difficult.  Nowadays 

212 


Gunarsa  tempa".  Nempa  dadi.  Kan  niru  nak  mula 
dadi.  Iraga  ngambar  nempa  anun  timpal  dadi.  Jin  ja 
tekenan  ragae  betene.  Pang  tawange  ya  raga  niru  to. 
Melem  len.  Nempa  gambaran,  teken  Pak  Gunarsae 
jin  betenan.  Timpale  sing  bangka,  timpale.  To  ba 
menghalalkan  segala  cara.  To  menghina  adane  hak 
cipta.  Ne  raosange  HAKI.  Aki  suak  jani.  To  Pak 
Gunarsa  lawan.  To  nak  Matahari  dari  timur  to.  Inih 
uli  tiban-tiban  memperjuangkan  hak  cipta  to.  Hak 
Atas  Kekayaan  Intelektual.  HAKI  to.  Uling  pidan 
nak  ba  biasa  keto  to.  Maestro  Mario  to  kudang, 
kuda  ya  keweh  ne  ngae  tari  to.  Jani  duweg  ba  nak 
rekam  VCD  ada.  Pak  Mario  nepuken  sing  unduk. 
Ngorang  ia  ja  Pak  Mario  sing  ada.  "Dadi  rekam 
ne".  Ada  sing  ngorang  ia.  Pak  Mario.  Sentanane 
nak  sing  nepukin  unduk.  Makane  perlu  raga  sadar 
jani.  Pang  de  nganti  kreativitas  senimane  bangkrut 
ulian  ento.  Sesai  ba  ngeraosang.  Dong  senimane 
tuyuh  orang  lain  ne  anu.  Ne  motah  to.  Nah  ne  patut 
sadar  ajak  makejang.  Yen  cara  pidan  teka  Tourist 
nyak  foto  gen  ken  torise  ba  demen  atie.  Pang  maan 
me  foto.  Iraga  to,  Jani  nak  Gumi  suba  maju.  Serba 
makejang  pada  intelek-intelek.  Suba  nawang  aturan 
to.  Makane  jani  mari  iraga  selalu  bareng  di  belakang 
Pak  Gunarsa.  Memperjuangkan  Hak  Cipta  ne  ento 
bareng.  Biin  mani  kone  Pak  Gunarsa  kel  bareng 
mepengadilan  ento.  Raga  kel  ngalih  sabuk  uling  di 
belakang  ne.  Sabuk  Kopel  kel  aba.  Yen  ada  kerusuhan 
pang  aluhang  ben  ngelamet.  Apan  nak  keweh  jani. 
Mawinan  raga  sai  ngeraosang  keweh.  Ada  nak 
unjuk  rasa  keto.  Tembak  ken  Polisi.  Polisi  kena  ba 
anu.  Tembak  ken  Polisi.  Aaaa  yen  Polisi  kena  jagur 
sing  kena  to.  Ba  biasa  keto.  Makane  jani  iraga  sadar- 
sadar  ajak  makejang.  Orang  ngalih  nak  sadar  keweh. 
Raga  pang  sing  ulian  nak  keto.  Ngudiang  raga  dadi 
Manusa  memarekan  sik  Raksasa  ne  momo-momo 
keto.  Raga  Manusa  sik  Raksasa  memarekan,  perah 
kewehe  atie.  Ngajak  Raksasa  model-model  keto  jeg 


Pak  itu,  lukisan  Gunarsa  ditiru".  Meniru  boleh. 
Bukankah  meniru  dibolehkan.  Kita  menggambar 
meniru  milik  orang  boleh.  Beri  tanda  tangan  kita 
sendiri  dibawahnya.  Agar  diketahui  kita  meniru 
itu.  Melem,  lain  dia.  Meniru  gambaran,  tanda 
tangannya  Pak  Gunarsa  dibubuhi  dibawahnya.  Kan 
itu  dapat  membuat  teman  bangkrut.  Orang  seperti 
itu  namanya  menghalalkan  segala  cara.  Itu  artinya 
menghina  hak  cipta.  Yang  disebut  HaKI.  Akinya 
sekarang  suak.  Pak  Gunarsa  dilawan.  Dia  itu  ibarat 
matahari  dari  timur,  dia.  Ya,  dari  tahun-ketahun 
tetap  memperjuangkan  hak  cipta,  dia  itu.  Hak  Atas 
Kekayaan  Intelektual,  HaKI  itu.  Emangnya  sejak 
dahulu  sudah  terbiasa  seperti  itu.  Betapa  sulitnya 
Maestro  seperti  Mario,  buat  tarian.  Sekarang  banyak 
orang  pintar  ada  yang  merekam  ke  dalam  VCD.  Pak 
Mario  tidak  tahu  apa-apa  tentang  itu.  Bilangpun 
sama  Pak  Mario  tidak  pernah.  Keturunanyapun 
tidak  tahu  apa-apa  juga.  Makanya  kita  perlu  sadar 
sekarang  ini.  Agar  jangan  kreativitas  seniman  sampai 
bangkrut,  karena  itu.  Sudah  sering  dibicarakan. 
Yahhh..  senimanya  yang  payah,  orang  lainlah  yang 
menikmat,  ya  untungnya  itu.Nah  semua  kita  mesti 
sepatutnya  sadar.  Kalau  seperti  dulu  memang  kalau 
turis  datang  memfoto  saja  membuat  hati  sudah 
senang.  Agar  pernah  saja  berfoto,  diri  kita  tuh. 
Sekarang  ini  orang  dunia  sudah  maju.  Semua  pada 
intelek-intelek.  Sudah  mengetahui  aturan.  Makanya 
sekarang  mari  kita  selalu  dukung  Pak  Gunarsa  dari 
belakang.  Ikut  memperjuangkan  Hak  Ciptanya  itu. 
Besok  katanya  Pak  Gunarsa  ikut  sidang  pengadilan. 
Saya  akan  ikut  mencari  kekebalan  di  belakang  Sabuk 
Kopel  akan  dibawa.  Kalau  ada  kerusuhan  agar 
gampangan  untuk  mencambuknya.  Karena  sekarang 
ini,  orang  memang  sulit.  Sebabnya  saya  bilangnya 
sulit;  ada  orang  unjuk  rasa,  ya  seperti  itu,  ditembak 
oleh  Polisi.  Ya  kalau  Polisi  kena  pukul  tidak  kena 
itu.  Sudah  biasa  begitu.  Makanya  sekarang  ini  kita 


cf-.  •  f» 


V/J,1 


f  i- 


if  people  have  a  demonstration,  the  police  shoot 

them.  If  anyone  hits  a  policeman,  they  get  shot.  If  a 

policeman  punches  somebody,  no  one  says  anything. 

It's  just  the  way  things  are.    That's  why  we  all  have 

to  stay  vigilant.   It's  not  easy  to  find  people  who  are 

vigilant.  We  should  not  have  to  be  subjected  to  those 

kinds  of  things.    Why  should  we  as  human  beings 

have  to  submit  to  greedy  demons?  (Raksasa).  These 

kinds  of  demons  want  to  sweep  things  under  the  rug. 

They  think  that  anything  is  allowed  as  long  as  they 

get  what  they  want  for  themselves.   So  then,  Delem 

is  a  kind  of  provocateur.  That  fits.  Delem.  His  name 

means  'always  moving    {He  combines  the  first  two 

syllables  of  the  words  meaning  'always  moving'  and 

'unstable',  'dengang  and  'lembpuyengan   to  explain 

the  origin  of  the  name,  'Delem').  He's  a  person  who  is 

always  dizzy.  Always  on  the  run.  "DeLeeeeeem." 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeem. 

Delem:  Ak  ak  ak  ak.    Here  I  am,  at  your  service. 

Please  speak.  Ak  ak  ak. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeem. 

Delem:  Here  I  am. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em  em  em. 

Delem:  Ha  ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em  em. 

Delem:  Ha  ha  ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em. 

Delem:  Ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em. 

Delem:  Ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em. 

Delem:  Ha.  My  mouth  is  broken.  Please  tell  me  what 

tasks  you  want  me  to  perform. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeem. 

Delem:  Here  I  am. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Get  ready. 

Delem:  Yes. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Please  call  all  the  Raksasa 


bagian  sapu  bersih  gen.  Apa  ja  halalkan  segala  cara, 
untuk  kepentingan  diri  sendiri.  Aduh  Melem  lantas 
bagian  Propokatorne.  Cocok  sajan  ne.  Aruuuh. 
Pak  Delem.  Dengang  Lempuyengan.  Jelema  uyeng- 
uyenaen  ya.  Inih  pelaibne.  Leeeem. 


Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeem. 

Delem:  Ak  ak  ak  ak.  Titiang  parekan  duwe.  Raris 

mawecana!  Ak  ak  ak. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeeem. 

Delem:  Titiang. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em  em  em. 

Delem:  Ha  ha  ha  ha. 

Detya  Kala  Cakru:  Em  em  em  em. 

Delem:  Ha  ha  ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em. 

Delem:  Ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em. 

Delem:  Ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em. 

Delem:  Ha.  Uwug  bungute.  Napi  wenten  karya  raris 

mawecana! 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeem. 

Delem:  Titiang. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Yatna! 

Delem:  Inggih. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Atag  sahananing  wadwa 


mesti  sadar,  sadar,  semua.  Mencari  orang  sadar  sulit. 
Agar  kita  jangan  seperti  itu.  Kenapa  kita  sebagai 
manusia,  mengabdi  pada  Raksasa  yang  serakah- 
serakah  seperti  ini.  Sebagai  manusia  kok  mengabdi 
pada  raksasa.  Susah  amat  hatiku.  Mengajak  Raksasa 
model  seperti  itu,  wah,  segalanya  disapu  bersih.  Di 
bidang  apa  saja  selalu  menghalalkan  segala  cara, 
untuk  kepentingan  diri  sendiri.  Aduh,  Melemlah 
lantas  jadi  propokatornya.  Memang  cocok  ini. 
Aduuuh.  Pak  De-lem....  Dengang  Lempoyongan. 
Dia  itu  manusia  uring-uringan.  Waduh  larinya. 
Leeeem. 


Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeem. 

Delem:  Ak  ak  ak  ak.  Hamba,  abdimu  yang  mulia. 

Silahkan  berbicara!  Ak  ak  ak. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Delemeeeeem. 

Delem:  Hamba. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em  em  em. 

Delem:  Ha  ha  ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em  em  em. 

Delem:  Ha  ha  ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em  em. 

Delem:  Ha  ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em. 

Delem:  Ha. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Em. 

Delem:    Ha.rusak    mulutku.    Ada    apa    gerangan, 

paduka?  Silahkan  bersabda! 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeem. 

Delem:  Hamba. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Siaga! 

Delem:  Baiklah. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:   Perintahkan  pasukan 


215 


(demons). 

Delem:  Yes,  allow  me  to  gather  all  your  people  and 

get  them  ready  to  follow  your  path. 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Go  to  Ayodya. 

Delem:  We  will  go  to  the  country  of  Ayodya? 
Detya  Kala  Maya  Cakru:  That  is  right. 

Delem:  Correct.  Ha  ha  ha  ha. 

Sangut:  Deleeeem.     {he  has  changed  places  behind 

Delem  who  thinks  it  is  still  his  master  speaking) 

Delem:  Here  I  am.  Ha  ha  ha. 

Sangut:  Get  ready! 

Delem:  Yes.   Ha  ha  ha.   {he  gets  angry  when   he 

realizes  it  is  Sangut  calling  him  pretending  to  be  his 

master)  Sangut,  you  son  of  a  bitch.   You  sound  like 

a  rickety  old  70cc  motorcycle.   Nothing  but  squeak 

squeeaaak. 

Deyta  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeeeem. 

Delem:  Son  of  a  bitch. 

{Delem  is  hit  by  Kala  Maya  who  thinks  the  insult  was 

meant  for  him) 

Delem:  Damn  that  Sangut.   He's  nothing  but  an  old 

lady  with  a  protruding  forehead.    He  didn't  tell  me 

{that  the  master  had  returned).  My  head  is  spinning. 


Raksasa  kabeh! 

Delem:  Inggih  banggiang  titiang  nabdabang  panjak. 
Pacang  ngiring  pamargin  palungguh  Iratu. 
Detya  Kala  Maya  Cakru:  Lumaku  aneng  Ayodya. 

Delem:  Jagi  merika  ke  Ayodya  Pura? 
Detya  Kala  Maya  Cakru:  Yogya. 
Delem:  Patut.  Ha  ha  ha  ha  ha. 
Sangut:  Deleeeeem 

Delem:  Titiang.  Ha  ha  ha  ha. 
Sangut:  Yatna-  yatna! 

Delem:  Inggih.  Ha  ha  ha.  Cicing  Seven  Cebloke  to. 
la  jerit.  Bench  nguwik-nguwik. 


Deyta  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeeeem. 

Delem:  Seven  ceblok. 

(Delem  di  pukul  oleh  Kala  Maya). 

Delem:  Cicing-cicing  meng  jantuke  to.  Sing  nyambat 
jeg  uyeng-uyengen  nase. 


raksasa  semua! 

Delem:  Baiklah.  Biarlah  hamba  menyiapkan  wadwa 

semua.  Untuk  mengikuti  perjalanan  yang  mulia. 

Detya    Kala    Maya    Cakru:    Berangkat    menuju 

Ayodya. 

Delem:  Akan  kesana,  ke  Negara  Ayodya? 

Detya  Kala  Maya  Cakru:  Benar. 

Delem:  Benar.  Ha  ha  ha  ha. 

Sangut:  Deleeeeem. 

Delem:  Hamba.  Ha  ha  ha  ha. 
Sangut:  Siap-siaplah! 

Delem:  Baiklah.  Ha  ha  ha.  Ah  anjing  lu.  Manusia 
tujuh  sial  lu.  Dia  yang  menjerit.  Pantas  saja  nguwik- 
nguwik  nafasnya. 


Detya  Kala  Maya  Cakru:  Deleeeem. 

Delem:  Tujuh  sial. 

(Delem  di  pukul  oleh  Kala  Maya). 

Delem:  Anjing-anjing  kucing  jantuk  itu.  Tak  ngasih 
tahu  dia.  Waduh  kepala  pening  tujuh  keliling. 


216 


Sangut:    Deleeeem.    {pretending   again    to    be    the 

master) 

Delem:  Here  I  am.    {Sangut  runs  away).  Who  was 

that  who  just  went  by  so  quickly?  His  pants  stink  so 

bad,    he  smells  like  a  cat's  corpse.  Here's  the  Prime 

Minister.  He's  getting  the  demons  ready  so  that  they 

can  follow  the  path  of  Detya  Kala  Maya  Cakru.  They 

will  go  to  the  country  of  the  Ayodya  Palace.  Now  he 

will  take  his  revenge. 

Singers:  ...  (chant) 

Dalang:  Aaaaaaa.  We  weeeeeee.  (the  demons  enter). 

We  we  we.  Weeee  yog  yog  yog  yog  yog  . 

Raksasa  :  Ha  ha  ha. 

Raksasa:   Ha  ha.  Ho  ho.  Ha  ha.   Ho  ho  .  Ha  ha.  He 

he.  Ha  ha.  He  he. 

Delem:  Oh,  look  at  that.     Look  at  that.  Do  you 

see?  They  are  in  their  battle  formation.     Like  an 

impenetrable  fence  of  towering  tree  trunks.  None  of 

them  are  out  of  place.  Aaaah.  All  of  them  are  ready. 

Lord  Rama  will  be  blown  to  smithereens  and  end  up 

in  the  cemetery. 

Sangut:  Let's  eat  some  porridge. 

Delem:  Who  is  your  king?   Sang  Maya  Cakru.  Who 

who  who? 

Sangut:  Wau. 

Delem:  I  am  telling  you.     You  have  to  know  the 

history  of  all  this.  Back  to  the  beginning  in  the  time 

of  our  ancestors.  There  were  many  problems.  Long 

ago  there  was  a  holy  and  powerful  king  named  Lord 

King  Dasanana.    Dasamuka.    Lord  King  Rahwana. 

King  of  the  country  of  Alengka. 

Sangut:  And  then? 

Delem:  It  started  with  the  words  of  his  sister  Diah 

Surpanaka  Dewi. 

Sangut:  What  did  she  say? 

Delem:"  My  brother,  in  the  Dandaka  forest,  there  is 

a  very  beautiful  girl.  Her  name  is  Diah  Sita.  She  is 

Rama's  wife.  If  you  can  take  Diah  Sita  to  be  your  wife 


Sangut:  Deleeeeem. 

Delem:  Titiaaaaaang.  Ya  san  mekliem  to?  Bench 
ba  pahit  mekilit  bon  klanane.  Bangken  Emeng  gen 
bon  klanane.  Gusti  Patih.  Dabdabang  mangkin. 
Dabdabang  para  Raksasane,  jaga  ngiring  pemargin 
Detya  Kala  Maya  Cakru.  Bakal  ngungsi  Gumi 
Ayodya  Purane.  Aaa  jani  ba  bakala  ngeweragan. 

Sendon:  ... 

Dalang:    Aaaaaaa.    We    weeeeeee.    (Keluar    para 

Raksasa).  We  we  we.  Weeee  yog  yog  yog  yog  yog  . 

Raksasa:  Ha  haha  ha  ha. 

Raksasa:   Ha  ha.  Ho  ho.  Ha  ha.   Ho  ho  .  Ha  ha.  He 

he.  Ha  ha.  He  he. 

Delem:  Ooo  to  to  to  to.  Puk  ci  to.  Mererod.  Bah 

bedeg.  Seluh  pangi.  Kerik  tingkih.  Ketog  semprong. 

Aaaah  jeg  makejang  sayaga.  Jani  ba  aaaa.  I  Rama 

Dewa  hancur  lebur  terkubur. 


Sangut:  Makan  bubur. 

Delem:  Nyen  Betaran  ci.  Sang  Maya  Cakru.  Nyen 

nyen  nyen  nyen? 

Sangut:  Pih. 

Delem:   Ne   kaka   nuturan   cai.   Ci   pang   nawang 

sejarah-sejarah,    kawitan-kawitan,    unduk-unduk, 

ne  malu  ada  sang  Praratu  sakti  mapesengan  Sang 

Prabu  Dasanana.  Dasamuka.  Sang  Prabu  Rahwana. 

Ratuning  Lengka  Diraja. 

Sangut:  Terus? 

Delem:  Sangkaning  atur  arin  Ida.  Diah  Surpanaka 

Dewi. 

Sangut:  Engken?  " 

Delem:  "Beli  Agung,  di  alas  Dandaka  ada  nak  Luh 

Jegeg  mekece-kecegan,  madan  Diah  Sita,  somah  I 

Rama  Dewa.  Yen  Beli  Agung  sida  ngambil  Diah  Sita 


Sangut:  Deleeem 

Delem:    Hambaaaaaa.    Rasanya   seperti   dia   yang 

berkelebat  itu?  Pantasan  bau  celananya  amis  amat. 

Berbau    mayat    kucing    celananya.    Maha    Patih. 

Persiapkan  para  Raksasa  semuanya,  agar  menyertai 

perjalanan  Detya  Kala  Maya  Cakru.  Menuju  Negara 

Ayodya  Pura  tiada  lain.  Yaa  Sekaranglah  waktunya 

membalas  dendam. 

Sendon... 

Dalang:  Aaaa.  We  weeee.  (keluar  para  raksasa).  We 

we  we  .  Weee  yog  yog  yog  yog  yog  yog 

Raksasa:  Ha  hhahaha. 

Raksasa:   Ha  ha.  Ho  ho.  Ha  ha.   Ho  ho  .  Ha  ha.  He 

he.  Ha  ha.  He  he. 

Delem:  Ooo  to  to  to  to.  Kamu  lihat  itu.  Beriringan. 

Bah  bedeg.  Semuanya  tanpa  kecuali  dari  berbagai 

lapisan,    siaga.    Aaah    wah    semua    sudah    siaga. 

Sekaranglah  waktunya.  I  Rama  Dewa  hancur  lebur 

terkubur. 

Sangut:  Makan  bubur. 

Delem:    Siapa    beliau   junjunganmu;    Sang    Maya 
Cakru?  Siapa?  Siapa?  Siapa? 
Sangut:  Wah. 

Delem:  Baiklah  akan  kuberitahu  kamu.  Agar  kamu 
tahu  sejarah-sejarah,  leluhur-leluhur,  masalah- 
masalah  dari  masa  lampau  adanya  Maharaja  sakti 
mandraguna  seperti  sang  raja  bernama  Sang  Raja 
Dasanana.  Dasamuka.  Maharaja  Rahwana.  Raja  di 
Alengka  Negara. 
Sangut:  Terus? 

Delem:  Karena  adanya  pemberitahuan  adiknya  yang 
bernama  Diah  Surpanaka  Dewi. 
Sangut:  Bagaimana? 

Delem:  "Kakanda  prabu,  di  hutan  Dandaka  ada 
seorang  wanita  teramat  cantik,  bernama  Diah 
Sita,  istri  Rama  Dewa.  Kalau  Kakanda  prabu  bisa 

217 


you  will  become  very  famous,  the  most  famous  of  all, 
the  most  respectable  of  all  gentlemen.  You  will  take 
over  the  world  there,  in  the  country  of  Alengka. 


Sangut:  Oh,  is  that  what  Diah  Surpanaka  Dewi  said? 
Delem:  Yes.  So  King  Rahwana,  followed  by  his 
minister  Marica,  went  to  Dandaka  forest.  When  they 
arrived  in  the  middle  of  the  forest  they  saw  Rama 
and  Sita.  They  were  on  their  honeymoon  in  the 
forest.  Tlie  minister  Marica  changed  his  body  into 
the  form  of  a  golden  deer.  Sita  cried  her  eyes  out 
when  she  saw  that  deer.  And  because  Rama  loved 
his  wife,  he  chased  the  deer  to  bring  it  back  for  her, 
leaving  Sita  alone.  Then  Lord  Rahwana  changed  his 
form  into  the  body  of  a  Priest.  To  make  a  long  story 
short,  Sita  was  kidnapped.  She  was  flown  through 
the  sky.  Zooooooom.  Rahwana  carried  her  flying 
through  the  sky. 

Sangut:  He  carried  her  flying  through  the  sky, 
Delem. 

Delem:  Above  the  sea. 
Sangut:  Above  the  sea. 

Delem:  Then  a  powerful  gust  of  wind  came  along. 
It  blew  open  the  folds  of  Sitas  dress,  revealing  the 
flawless  thigh  of  Lady  Sita,  as  smooth  as  the  velvety 
skin  of  a  yellow  langsat  fruit,  with  tiny  thin  hairs. 

Sangut:  It  gives  me  goosebumps. 

Delem:  Not  only  you. 

It  was  the  same  for  Lord  King  Rahwana.  He  was  a 

Super  Playboy  {using  the  English  term).  When  he 

saw  that  view  he  trembled  and  could  not  control  his 

desire. 

Sangut:  He  could  not  control  his  desire. 

Delem:  His  sperm  came  out. 

Sangut:  It  came  out? 

Delem:  It  fell  down. 


anggen  beli  rabi,  ngancan  kesumbung,  kajanaloka, 
kajanapria  Beli  ngisi  gumi,  di  Gumi  Lengka 
Dipurane". 


Sangut:  Ooo  keto  atur  Diah  Surpanaka  Dewi. 
Delem:  Aa.  Lantas  Sang  Prabu  Rahwana,  kairing 
antuk  Kriana  Patih  Marica,  ngungsi  Alas  Dandaka. 
Nganteg  di  tegah  alase,  kacingak  I  Rama  ajak  Sita 
sedeng  mekasih-kasih,  memanying-manying, 
memesra-mesra  di  alase.  Kriana  Patih  Marica, 
anyukti  rupa  dadi  Kidang  emas.  Ngeling  nyakit 
I  Sita  nolih  kidange  to.  Ulian  tresna  I  Rama  ken 
somah,  kepunge  kidange  ken  Rama.  Sita  kutange 
didian  ditu.  To.  Lantas  Sang  Prabu  Rahwana  anyukti 
rupa  dadi  Bagawan.  Gelisang  satwa  enggal,  bakat 
pelaibange  I  Sita,  keberange  di  langite.  Ber  ber. 
Ritatkala  mekeber  di  langite  duwur.... 

Sangut:  Ritatkala  mekeber  di  langite.  Lem. 

Delem:  Duwur  pasihe. 

Sangut:  Duwur  pasihe. 

Delem:  Ada  angin  ngelinus  teka.  Kepirne  siyot  Diah 

Sitae.  Ngenah  pahan  Diah  Sita  putih  mulus,  kuning 

langsat,  misi  bulu  srining-srining. 


Sangut:  Aruh  dingin-dingin  awake. 
Delem:  De  ja  cai.  Kadi  linggih  Ida  Sang  Prabu 
Bajra  Rahwana.  Super  Playboy  to.  Ngetor  nepukin 
pemandange  to.  Ulian  sing  tahan.... 


Sangut:  Ulian  sing  tahan. 
Delem:  Metu  kaman  Ida. 
Sangut:  Metu? 
Delem:  Ulung. 


mempersunting  Diah  Sita,  dijadikan  istri,  akan 
semakin  tersohor,  terkenal  dimata  rakyat,  terkenal 
sebagai  lelaki  sejati,  manakala  paduka  memegang 
tampuk  pemerintahan,  di  Negeri  Lengka  Dipura 
ini. 

Sangut:  Ooo  begitulah  kata  Diah  Surpanaka  Dewi. 
Delem:  Yaaa.  Lantas  Sang  Prabu  Rahwana,  disertai 
oleh  patih  Marica  menuju  hutan  Dandaka. 
Sesampainya  di  tengah  hutan,  dilihatlah  I  Rama 
Dewa  bersama  Sita,  sedang  bercinta,  bercumbu, 
bermesra-mesraan  di  hutan.  Patih  Marica  berubah 
wujud  menjadi  Kijang  Emas.  Menangis  miris  Sita 
melihat  kijang  tersebut.  Karena  cintanya  I  Rama 
dengan  istri,  dikejarlah  kijang  itu  oleh  I  Rama. 
Sita  ditinggal  sendirian  disana.  Lantas  sang  prabu 
Rahwana  berubah  wujud  menjadi  Pendeta.  Singkat 
cerita,  I  Sita  dapat  dilarikan,  diterbangkan  di  langit. 
Bang..bang...  Saat  terbang  di  langit  di  angkasa.... 

Sangut:  Saat  terbang  di  langit,  Lem. 

Delem:  Di  atas  laut. 

Sangut:  Di  atas  laut. 

Delem:    Ada   angin    ribut   datang.    Tersingkaplah 

kainnya  Diah  Sita.  Kelihatan  paha  Diah  Sita  putih 

mulus,  kuning  langsat,  berisi  bulu  tipis-tipis. 


Sangut:  Aduuuuh  merinding  tubuhku. 
Delem:  Jangankan  kamu.  Seperti  beliau  Sang  Raja 
Rahwana.    Super    Playboy    itu.    Gemetar    melihat 
pemandangan  seperti  itu.  Karena  tidak  tahan.... 


Sangut:  Karena  tidak  tahan. 
Delem:  Keluar  spermanya. 
Sangut:  Keluar? 
Delem:  Jatuh. 


218 


Sangut:  It  spurted  out. 

Delem:  Well,  to  say  it  spurted  out  would  be  a  little 

crude.    Whenever  you  read  the  old  books  they  say 

these  things  in  a  way  that  is  fitting  with  the  place, 

the  time  and  the  context.    So  you  cant  just  say  all 

of  a  sudden,  'it  spurted  out."    You  have  to  say  it  in 

a  refined  way.    Indirectly,  but  still  clear.    You  can't 

say  'spurrrrrrrting  out.'   You  have  to  say  something 

different. 

Sangut:  What? 

Delem:  Spritzing  out. 

Sangut:  An  ape  goes  out.  A  monkey  comes  back.  {It's 

the  same  thing). 

Delem:  The  sperm  fell  into  the  sea. 

Sangut:  Fell. 

Delem:  It  fell.  And  because  it  was  the  sperm  of  the  His 

Royal  Highness,  the  sperm  glistened  like  firelight. 

Sangut:  It  glistened? 

Delem:  It  gUstened.    So  then  Lord  Brahma  caught 

some  of  that  sperm,  and  then  he  chanted  mantras 

over  it.   It  was  blessed.   And  then  out  of  the  sperm 

sprang  a  little  boy  who  was  given  the  name  Lord 

Maya  Cakru.  The  sea  in  that  place  was  transformed 

into  land,  and  the  land  was  called  Segara  Lungsur. 

(Gift  of  the  Sea).   And  then  the  creatures  of  the  sea 

were  transformed  into  an  army  of  demons  to  serve 

our  master. 


Sangut:  Mekecret. 

Delem:  Beh  mekecret.  Jorok.  Men  ngelemah 
mekawin  mesanti,  ngeraosang  Desa  Kala  Patra. 
Tekane  teka,  mekecret.  Yen  ngomong  pang  alus. 
Pang  saru.  Ya  pang  ngenah.  Mekecreeeet.  Lenan 
ken  mekecret  raosang! 


Sangut:  Apa? 

Delem:  Mekecrot! 

Sangut:  Mekaad  Bojog  teka  Lutung  ne. 

Delem:  Ulung  kama  di  pasihe. 

Sangut:  Ulung. 

Delem:  Uluuung.  Ulian  kaman  Sang  Para  Ratu  luih, 

ngendih  ngabar-ngabar  kamae. 

Sangut:  Ngendih? 

Delem:  Ngendih!  Lantas  ledang  Ida  Batara  Brahma 

kapining   kamane   to.   Lantas   kamane   to   kajapa 

mantraning.  Ka  Weda  Wedaning.  Lantas  kamane 

to  embas  dadi  anak  alit  lanang,  kapesengan  Sang 

Maya  Cakru.  Pasihe  ne  kasupat  dadi  Gumi.  Madan 

Segara  Lungsur.  Be  makejang  di  pasihe  kasupat 

dadi  Raksasa.  To  pinaka  wadwan  liiida. 


Sangut:  Muncrat. 

Delem:  Beh  muncrat.  Jorok.  Hampir  setiap  hari 
membaca  kekawin,  membicarakan  desa,  kala,  patra, 
tahu  tahu  muncrat.  Kalau  ngomong  agar  lebih  halus. 
Agak  samar  tapi  tetap  kelihatan.  Muncrrraaat.  Selain 
muncrat,  omongkan! 


Sangut:  Apa? 

Delem:  Muncrat! 

Sangut:  Monyet  pergi,  datangnya  kera  ini. 

Delem:  Jatuh  spermanya  di  laut 
Sangut:  Jatuh. 

Delem:  Jatuuuh.  karena  sperma  Sang  Raja  Utama, 
bercahaya  terang  spermanya. 
Sangut:  Bercahaya? 

Delem:  Bercahaya!  Selanjutnya  Ida  Batara  Brahma 
senang  dengan  sperma  itu.  Lantas  sperma  itu  diberi 
mantra.  Diberi  weda.  Dari  sperma  itu  lahirlah 
menjadi  anak  kecil  laki  diberi  nama  Sang  Maya 
Cakru.  Laut  ini  dikutuk  menjadi  bumi,  bernama 
Segara  Lungsur.  Semua  yang  ada  di  laut  dikutuk 
menjadi  Raksasa.  Itu  semua  menjadi  pasukan 
pengikut  beliau. 


219 


hI^^K^v  ' 

AMi^: 

WBL ' /y^jpy  "--■ 

H^^^  .^-^-  .if  «.^-■' * 

'.^^^^^^K- 

^nf^'  J^*^' ■ 

y^f^ 

^ 


^  \ 


Sangut:  Ooo 

Delem:  When  he  reached  the  age  of  twenty-five... 

Sangut:  25  years  old. 

Delem:  The  god  Brahma  said... 

Sangut:  What? 

Delem:  "My  son  Maya  Cakru.  Now  you  possess 

a  country,  but  if  the  country  is  not  founded  on 

the  teachings  of  sacred  books  it  will  not  be  able  to 

sustain  itself.  Please  go  to  the  Temple  of  Death  and 

ask  the  Goddess  Durga  for  her  teachings.  There  you 

can  ask  for  the  wisdom  that  will  enable  a  man  to  rule 

a  nation,  that  will  reveal  the  meaning  of  our  lives: 

the  four  guardian  spirits  {Kanda  Empat),  the  four 

essences,  the  four  divinities,  the  four  infants.  Study 

these  teachings. 

Sangut:  In  the  Temple  of  Death? 

Delem:  In  the  Temple  of  Death.  To  make  a  long  story 

short,  five  years  passed.  He  graduated. 

Sangut:  He  graduated? 

Delem:  He  graduated.  He  got  his  graduate  degree. 

Sangut:  What? 

Delem:  Doctor  Maya  Cakru,  M.A.,  Ph.D,  M.D. 

Sangut:  What  is  M.D.? 

Delem:  Master  of  Demonology.     I  have  the  rank  of 

Lieutenant  General.  You  have  the  rank  of  Lieutenant 

Colonel. 

Sangut:  The  rank  of  Lieutenant  Colonel  is  bad. 

Delem:  As  soon  as  he  graduated,  he  (Lord  Cakru)  was 

endowed  with  magical  powers,  wisdom,  knowledge, 

and  intelligence.  He  had  the  highest  degree  and  the 

Goddess  Durga  spoke  to  him. 

Sangut:  What  did  she  say? 

Delem:  "Maya  Cakru,  you  are  my  student.  Now  that 

you  have  grown  up,  it  is  proper  that  you  should  use 

the  knowledge  you  have  gained  in  my  service,  the 

wisdom  your  mother  has  given  you  here.  Put  your 


Sangut:  Oooo. 

Delem:  Di  subane  Ida  maumur  selae  tiban. 

Sangut:  25  tahun. 

Delem:  Mawecana  Ida  Batara  Brahma. 

Sangut:  Engken? 

Delem:  "Cening  Maya  Cakru.  Wireh  Idewa  ngisi 

Gumi.  Yen  Idewa  ngisi  Gumi  yen  sing  medasar  baan 

sastra,  pocol,  genjong  Gumine.  Kama  lautang  Idewa 

Ke  Dalem  nunas  ajah  ring  Ida  Batari  Durga.  Ditu 

tunasin  ragane  inga-ingu.  Kenken  pidabdab  nak 

ngisi  Gumi.  Kenken  sukseman  iraga    idup.  Kanda 

Pat  Buta.  Pat  Sari.  Pat  Dewa.  Pat  Rare,  pelajahin". 


Sangut:  Di  Dalem? 

Delem:   Di   Dalem.   Gelisang  satwa   enggal.   Ada 

limang  tiban.  Tamaaat. 

Sangut:  Tamat? 

Delem:  Tamat!  Maan  titel  gede. 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Drs.  Maya  Cakru.  Bsc.  SH.  IL. 

Sangut:  IL  e? 

Delem:   Inan   Liak.   Kaka   maan  pangkat   Letnan 

Jedral.  Ci  maan  pangkat  Letkol. 

Sangut:  Beh  jelek  Letkol  pangkate. 
Delem:   Di  suba  tamat.   Sakti,  pradnyan,  wikan, 
widagda,  duweg.  Maan  titel  gede.  Mawecana  Ida 
Batari  Durga. 

Sangut:  Engken? 

Delem:  "Ceniiiing  Maya  Cakru  sisyan  Meme  Idewa 
wreh  Idewa  suba  duwur,  jani  sandang  jani  Idewa, 
abdiang  kebisan  Idewane.  Peplajahan  Idewane 
baang  ban  Meme  dini.  Abdiang  kebisane  anggon 


Sangut:  Oooo. 

Delem:   Setelah  beliau  berumur  dua  puluh  lima 

tahun. 

Sangut:  25  tahun. 

Delem:  Bersabdalah  beliau  Ida  Batara  Brahma. 

Sangut:  Bagaimana? 

Delem:     "Cening     Maya     Cakru.     Oleh     karena 

nanda    memegang    tampuk   pemerintahan,    kalau 

tidak  berdasarkan     sastra,  percuma,  guncanglah 

pemerintahan  negara.  Silahkan  ananda  ke  Dalem 

mohon   ajaran   kehadapan   Hyang   Batari   Durga. 

Disana     mohonkan     diri    pelajaran.     Bagaimana 

tingkah-polah  orang  memegang  Negara.  Bagaimana 

arti  kehidupan.  Kanda  Pat  Buta.  Pat  Sari.  Pat  Dewa. 

Pat  Rare,  dipelajari. 

Sangut:  Di  Dalem? 

Delem:  Di  Dalem.  Singkat  cerita.  Setelah  lima  tahun. 

Tamaaaaat. 

Sangut:  Tamat? 

Delem:  Tamat!  Dapat  gelar  tinggi. 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Drs.  Maya  Cakru.  Bsc.  SH.  IL. 

Sangut:  IL  itu? 

Delem:    Inan    Liak.    Aku   dapat   pangkat   Letnan 

Jendral.  Kamu  dapat  pangkat  Letkol. 

Sangut:  Wah  jelek  amat  Letkol  pangkatku. 
Delem:  Setelahnya  tamat.  Sakti,  pintar,  lihai,  cerdik. 
Mendapatkan  gelar  tinggi.  Bersabdalah  Ida  Batari 
Durga. 

Sangut:  Bagaimana? 

Delem:  Nanda  Maya  Cakru  siswaku  ananda.  Karena 
ananda  sudah  dewasa,  sudah  saatnya  ananda  abdikan 
kepintaran  semua  pelajaran  yang  ku  berikan  disini. 
Abdikan  pengetahuanmu  untuk  mensejahterakan 


221 


intelligence  to  use  in  the  service  of  improving   the 
world.    Put  yourself  into  the  service  of  Lord  Rama. 
Put  your  intelligence  to  use  there  in  his  palace.  Be  of 
service  to  him.  He  is  the  avatar  of  Vishnu  on  earth. 
Sangut:  That  is  what  the  goddess  Durga  said? 
Delem:  Yes.  And  you  and  I  will  follow  him  to  the 
country  of  Ayodya.  But  in  the  middle  of  the  journey, 
he  stopped  all  of  a  sudden.  He  used  his  disc  brakes. 
{This  pun  refers  to  the  word  for  car  brakes,'ngerim 
cakram',  and  the  name  of  Vishnu's  magic  weapon, 
a  discus  called  'cakra',  which  is  the  source  of  Maya 
Cakru's  name) 
Sangut:  Why? 

Delem:  To  think  things  over.  To  come  up  with 
a  strategy,  a  plan  of  action.  It  was  as  if  he  had 
mortgaged  three  acres  of  land  to  go  to  school  and 
now  that  he  had  graduated,  why  should  he  use  his 
degree  to  work  as  a  janitor?  And  what's  more,  to  be 
in  the  service  of  his  enemy?  It  would  be  like  you 
becoming  an  assistant  driver  after  you  already  had 
all  the  licenses  from  A  to  Z.  Why  become  a  servant 
when  you  have  the  power  to  turn  the  world  upside 
down?  East  becomes  West.  North  becomes  South. 
Kill  Rama.  Kill  his  monkey  soldiers.  Kidnap  Sita. 
Cash  in  the  mortgage. 


melahang  jagat.  Kema  jani  Idewa  memarekan  ring 
Ida  Batara  Rama.  Abdiang  kebisane.  Menyeraka. 
Ida  awatara  Wisnu  di  Gumine". 

Sangut:  Keto  Ida  Batari  Durga? 

Delem:  Aa.  Kaka  cai  pada  ngiring  kel  ke  Gumin 

Ayodyane.   Di  tengah  jalan  ngerim  Ida.  Ngerim 

cakram. 


Sangut:  Engken? 

Delem:  Tik  kutak-katik.  Mencari  taktik,  kir  di 
pikir-pikir.  To  carik  telung  hektar  megade  anggon 
masekolah.  Disuba  tamate,  to  ngudiang  titele  anggo 
tukang  sapu.  Bin  sada  memarekan  ken  musuh. 
Angganin  benya  cara  sopir,  suba  ngelah  SIM  A. 
SIM  B.  SIM  Z.  Ngudiang  dadi  kernet?  Badingan 
jae  e.  Kangine  dadiang  kauh.  Kaja  e  dadiang  kelod. 
I  Rama  matiang.  Bojoge  matiang.  I  Sita  juang. 
Penyuwudne  raga  ngontrak. 


dunia.  Berangkatlah  ananda  mengabdi  kehadapan 
Ida  Batara  Rama.  Abdikan  kepintaramu.  Mengabdi. 
Beliau  titisan  Wisnu  di  Bumi". 

Sangut:  Begitulah  paduka  Ida  Batari  Durga? 
Delem:  Yaa.  Aku,  kamu  pada  akan  mengikuti  ke 
Negari  Ayodyanya.   Di  tengah  jalan  tancap  rem 
beliau.  Rem  cakram. 


Sangut:  Bagaimana? 

Delem:  Tik  kutak-katik.  Mencari  taktik,  kir  di  pikir- 
pikir.  Itu  sawah  tiga  hektar  dikontrakan  dipakai 
biaya  sekolah.  Setelah  tamat,  kenapa  mesti  gelarnya 
dipakai  tukang  sapu.  Apalagi  mengabdi  pada 
musuh.  Seperti  kamu  menjadi  sopir  sudah  punya 
SIM  A  SIM  B  SIM  Z.  Mengapa  jadi  kondektur?  Coba 
bandingkan.  Timur  dijadikan  barat.  Utara  jadikan 
selatan.  I  Rama  dibunuh.  Monyet  dibunuh.  I  Sita 
diambil.  Pada  akhirnya  kita  ngontrak. 


222 


Sangut:  Wow.  Is  it  possible? 

Delem:    Why  not?    Our  side  is  magically  powerful 

and  potent.     How  are  we  doing?   Now  is  the  time. 

How  is  Rama  doing  now?    He  had  a  dream  that  all 

his  monkeys  were  cut  down.  They  will  die  tomorrow. 

Ohhhhhh. 

We  can  kidnap  a  servant  girl.  On  my  wedding  day  I 

will  let  you  take  over  everything. 

Sangut:  You'll  elope  with  Nyoman. 

Delem:  I'll  elope  with  Nyoman. 

Sangut:  How  will  it  be? 

Delem:   I  will  put  you  in  charge  of  the  ceremony.   I 

will  just  worry  about  getting  married.    You  will  be 

in  charge,  as  the  Chief  Secretary,  the  head  man,  the 

accountant.  You  will  run  all  the  departments. 

Sangut:  Just  me  alone? 

Delem:  Yes.  I  have  faith  in  you.    I  will  only  think 

about  my  wedding.  In  the  end  I  will  be  married  to 

Nyoman. 

Sangut:  How  many  people  should  we  invite? 

Delem:  Invite  five  hundred. 

Sangut:  How  will  you  fit  five  hundred  people  in  your 

small  house. 

Delem:  We'll  use  the  community  hall. 

Sangut:  We'll  borrow  it? 

Delem:  We'll  rent  it.  Borrow. borrow.  Borrowing 

is  for  public  events.  We'll  rent  it. 

Sangut:      From  the   neighborhood   banjari      Five 

hundred  people.  Where  will  they  come  from? 

Delem:  Cousins,  friends,  neighbors.    Close  family. 

Prayer  groups.   Wherever  we  can  get  them.   In  our 

neighborhood  banjar  there  are  two  hundred  and 

fifty 

Sangut:  And  the  other  two  hundred  and  fifty? 

Delem:     The  team  that  worked  with  me  on  the 

construction  project  in  Bukit. 

Sangut:  How  many? 

Delem:  That  is  two  hundred  and  fifty.  Two  hundred 


Sangut:  Puaaaaah.  Ngidang? 

Delem:  Ngudiang  sing  ngidang.  Nak  sakti  sakti. 
Kenken  ci.  Jani  ba.  Eh  kudiange  I  Rama  jani.  Ba 
ngipi  manyi  telah  bojoge  makejang  to.  Kel  bangka 
biin  mani.  Ooo.  Penyerowane  raga  nyuang.  Di  kaka 
ngantene  ci  serahang  kaka. 


Sangut:  Nyuang  Nyoman. 

Delem:  Nyuang  Nyoman. 

Sangut:  Engken  to? 

Delem:  Ngurus  gaen  kakae.  Kaka  jeg  nganten  gen. 

Ci  ngitungan  to.  Sekretaris  ci.  Ketua  1  ci.  Bendahara 

ci.  Seksi-seksi  ci.  Ooo. 

Sangut:  Cang  didian? 

Delem:  Aa.  Kaka  percaya  ken  ci.  Kaka  jeg  ngitungan 

nganten  gen.  Pang  pragat  kaka  di  petegulen  ajak 

Nyoman. 

Sangut:  Kuda  ngundang? 

Delem:  Ngundang  mang  atus. 

Sangut:  Dija  tekan  jelema,  mang  atusan  ngundang. 

Umah  cenik. 

Delem:  Balai  Banjar  ada. 

Sangut:  Nyilih? 

Delem:  Nyewaaaa.  Nyilih,  lek  atie.  Nyilih,  ke  umum 

nyilih.  Nyewaaa. 

Sangut:  Di  Banjare  to.  Ngundang  mang  atus.  Dija 

tekan  tamue  mang  atus? 

Delem:    Misan,       mindon,       pisaga.    Apit    aneh, 

tunggalan  sumbah,  juang  ke  juang.  Ooo  di  Banjar 

dini  ada  satak  seket. 

Sangut:  A  biin  satak  seket? 

Delem:  Prekantin-prekantin  kaka  ane  ajak  bareng 

morong  di  Bukit. 

Sangut:  Kuda? 

Delem:  Satak  seket  to.  Tak  eket-tak  eket.  Mang 


Sangut:  Puaaaah.  Bisa? 

Delem:  Kenapa  tidak  bisa.  Begitu  saktinya.  Gimana 
kamu?  Ya  sekaranglah.  Eh  dibagaimanakan  I  Rama 
sekarang?  Para  monyet  semua  sudah  bermimpi 
mengetam  padi.  Akan  mati  besok.  Ooo  pembantunya 
aku  'kan  ambil.  Ketika  ku  menikah  nanti,  kamu  ku 
serahkan  mengurus. 

Sangut:  Kawin  dengan  Nyoman. 

Delem:  Kawin  dengan  Nyoman 

Sangut:  Bagaimana  itu? 

Delem:  Mengurus  upacaraku.  Aku  hanyalah  kawin 

saja.  Kamu  yang  mengurus  semua  itu.  Sekretarisnya 

kamu.  Ketua  satunya  kamu.  Bendaharanya  kamu. 

Seksi-seksi  juga  kamu  ooo. 

Sangut:  Saya  sendirian? 

Delem:  Ya.  Aku  percaya  dengan  kamu.  Aku  hanya 

memikirkan    menikahnya    saja.    Agar    sukseslah 

perkawinanku  dengan  Nyoman. 

Sangut:  Berapa  mengundang? 

Delem:  Mengundang  lima  ratus. 

Sangut:  Dimana  saja  datangnya  orang,  lima  ratusan 

mengundang?  Rumahnya  kecil. 

Delem:  Balai  Banjar,  ada. 

Sangut:  Meminjam? 

Delem:  Menyewaaa!  Meminjam?  Malu.  Ke  umum 

meminjam.  Sewaaa! 

Sangut:     Di  Banjar  itu.  Undangannya  lima  ratus. 

Dari  mana  datangnya  tamu  lima  ratus? 

Delem:  Sepupu,  saudara,  tetangga.  Saudara  dekat, 

satu  sumbah,  ambil  diambil  silang.  Ooo  di  Banjar 

disini  saja  ada  dua  ratus  lima  puluh  orang. 

Sangut:  A  lagi  dua  ratus  lima  puluh? 

Delem:     Teman-temanku   yang   diajak   ikut 

memborong  di  Bukit. 

Sangut:  Berapa? 

Delem:  Dua  ratus  lima  puluh  itu.  Dua  ratus  lima 


223 


and  fifty  plus  two  hundred  and  fifty  makes  five 

hundred. 

Sangut:  Wow.  Five  hundred  guests.  How  many  pigs 

will  you  have  to  slaughter? 

Delem:  We  won't  count  the  kilos. 

Sangut:  How  many  vans? 

Delem:  We  won  t  count  the  vans. 

Sangut:  What? 

Delem:  Whole  pigs. 

Sangut:  How  many  pigs  will  we  be  looking  ft)r? 

Delem:  We'll  find  a  thousand  pigs,  at  a  hundred  and 

fifty  kilos  each. 

Sangut:  Wow.  Where  will  you  find  all  those  pigs? 

Delem:  We'll  find  them  in  Java  from  Javanese  pig 

farmers. 

Sangut:  Wow.  A  hundred  and  fifty  kilos.  How  can  you 

cook  those  pigs?   A  thousand  of  them  at  a  hundred 

and  fifty  kilos  each.  On  Galungan  (a  holiday  in  which 

pigs  are  sacrificed)  cooking  just  one  is  exhausting. 

Delem:  You  are  so  stupid.    For  the  ceremony  there 

will  be  invitations,  and  at  the  bottom  will  be  the 

letters  NB. 

Sangut:  NB? 

Delem:  News  Bulletin.    The  guests  will  be  asked  to 

bring  a  knife,  a  chopping  block,  a  sieve,  matches,  and 

coconut  cooking  oil. 

Sangut:  Yes? 

Delem:  Yes.    And  when  they  get  to  my  house  each 

one  of  them  will  be  asked  to  catch  a  pig,  slaughter  it, 

gut  it,  clean  it,  prepare  it,  roast  it,  and  slice  it  up  into 

servings. 

Sangut:  Wow.  Each  guest  has  to  catch  a  pig,  slaughter 

it,  roast  it,  and  slice  it  up  into  servings.    Wow,  the 

guests  won't  have  any  time  to  rest. 


atus. 


Sangut:  Imiiih.  Mang  atus  ngundang  tamu,  kudang 

pikul  tampahang  celeng. 

Delem:  Sing  ngitungan  pikulan. 

Sangut:  Kudang  kol? 

Delem:  Sing  ngitungan  kolan. 

Sangut:  Apa? 

Delem:  Ukudan. 

Sangut:  Kudang  ukud  alihang  celeng? 

Delem:  Alihang  celeng,  a  siyu  ukud  mabaat  pikul 

tengah,  pikul  tengah. 

Sangut:  Imiiih.  Dija  alih  celeng? 

Delem:     Di    Jawa    alih.    Tukang    Jawa    ngubuh 

celeng... 

Sangut:    Imiiih.    Pikul    tengah.    Kudiang    ngolah 

celenge.  Siyu  tes  keto.  Pikul  tengah-pikul  tengah. 

Dugas  Galungan  celeng  aukud  ba  lengeh  cang. 


Delem:  Ci  lengeh.  Di  ngantene  di  ngaba  surat 
undangan,  betene  jin  NB. 

Sangut:  NB? 

Delem:    Numpang    Berita.    Tamu    ne   kundangan 

kayang  to,  orin  ngaba  tiyuk,  talenan,  tempeh,  korek, 

langsung  lengis  gas. 

Sangut:  Aa? 

Delem:  Aa.  Nganteg  jumah  kaka,  baang  wangsit 

ngejuk  celeng  padum  ukude.  Uli  ngorok,  mutbuten, 

masangan,  ngelebengan,  mayuh. 

Sangut:  Imiiih.  Tamu  ukud  ngejuk  celeng  ukud.  Uli 
ngorok  nganti  ngelebengan,  nganti  mayuh.  Mimih, 
se  sing  maan  mereren  undangane. 


Delem:  I  don't  want  to  give  them  time  to  rest.    If  Delem:   Jelap   de  baange   mereren.   Yen   mereren 


puluh  dan  dua  ratus  lima  puluh.  Lima  ratus. 

Sangut:    Waaaah.  Lima  ratus  mengundang  tamu, 
berapa  ton  babi  mesti  dibunuh. 
Delem:  Tidak  menghitung  tonan. 
Sangut:  Berapa  cool? 
Delem:  Tidak  menghitung  pakai  coolan. 
Sangut:  Apa? 
Delem:  Ekoran. 

Sangut:  Berapa  ekor  carikan  babi? 
Delem:  Carikan  babi,  seribu  ekor  berbobot  masing- 
masing  seratus  lima  puluh  kg,  seratus  lima  puluh 

kg- 

Sangut:  Waaah.  Dimana  cari  babi? 

Delem:  Di  jawa  cari.  Tukang  Jawa  memelihara  babi. 

Sangut:   Waaah.  Seratus  lima  puluh  kg.  Bagaimana 

caranya  mengolah  babi  seribu  tersebut.  Seratus  lima 

puluh  kg-seribu  lima  ratus  kg.  Pada  waktu  Galungan 

mengerjakan  hanya  satu  ekor  babi  saja  saya  sudah 

payah. 

Delem:  Kamu  goblok.  Pada  pernikahanku  manakala 

membawa  surat  undangan,  dibawahnya  kasi  NB. 

Sangut:  NB? 

Delem:  Numpang  Berita.  Tamu  yang  kundangan 

saat  itu,  suruh  bawa  pisau,  kayu  alas  memotong, 

tempayan,  korek,  termasuk  minyak  gas. 

Sangut:  Ya? 

Delem:     Yaa.     Setibanya     di     rumahku,    berikan 

perintah:     "tangkap     babi    masing-masing    satu. 

Dari  membunuh,   membersihkan,   membersihkan 

perutnya,  mematangkan,  menghidangkan." 

Sangut:     Waduuuh.   Satu  tamu  menangkap  satu 

ekor  babi.  Dari  membunuh  sampai  mematangkan, 

sampai    menghidangkan.    Wah,    kan    tidak   dapat 

istirahat  undangannya. 

Delem:     Sengaja    tidak    diberi    istirahat.     Kalau 


224 


they  are  resting  they  will  have  time  to  smoke  all  my 

cigarettes.    But  if  they  are  working,  how  can  they 

smoke?  How  can  they?  They've  already  been  given 

their  jobs. 

Sangut:  So  the  guests  will  will  prepare  five  hundred 

of  the  pigs.  What  about  the  other  five  hundred  pigs. 

Will  you  sell  them? 

Delem:  Why  should  I  sell  the  pigs? 

Sangut:  What  will  you  do  with  them? 

Delem:  When  the  guests  go  home,  I'll  tell  each  of 

them  to  take  a  pig. 

Sangut:  Why  is  that? 

Delem:    As  a  gift  from  the  host.    We  do  things  big 

here  in  Segara  Lungsur.  So  that  other  people  cannot 

copy  your  brother's  ceremony. 

Sangut:  Wow. 

Delem:  On  D-day,  the  day  of  the  ceremony,  you  will 

be  standing  outside  the  house. 

Sangut:  Why? 

Delem:  To  greet  the  guests  as  they  arrive. 

Sangut:  Why? 

Delem:    If  guests  are  arrive  on  foot,  tell  them  to  go 

home. 

Sangut:  Why? 

Delem:  Because  they  will  only  bring  one  coconut, 

one  egg,  and  one  kilo  of  rice.  We  don't  want  to  waste 


ngelemah  rokoe  lelese  liu.  Yen  ba  ngelemah  uyak 
gae,  kenkenan  ngeroko.  Sepanan  kanti  ya  ngeroko. 
Kenken  ci.  Ba  baang  gae  nas  ne. 

Sangut:  To  teka  tamu  mang  atus  celenge  siyu,  biin 
mang  atus  kija  aba?  Adep? 

Delem:  Ngudiang  ngadep  celeng. 

Sangut:  Kija  aba? 

Delem:  Di  mulih  tamue,  biin  orin  ngejuk  celeng 

padum  ukude. 

Sangut:  Kal  keto? 

Delem:  Anggon  peneteh  sok  kasi.  Pang  mewibawa 

dini  di  Segara  Lugsur.  Pang  sing  ada  nak  nempa 

gaen  kakae. 

Sangut:  Pih. 

Delem:  Di  hari  H,  ci  diwang  ngoyong  nyen. 

Sangut:  Ngudiang? 

Delem:  Menelik  tamue  teka. 

Sangut:  Adi  keto? 

Delem:  Yen  ada  tamue  jalan  kaki,  jeg  tundung  orin 

mulih. 

Sangut:  Adi  keto? 

Delem:  Paling  banter  ngaba  nyuh  bungkuk  Baas 

kilo.  Taluh  bungkuk  Ada  salin-salinan  gen  to.  Yen 


istirahatnya  sering,  rokoknya  banyak  diambil.  Kalau 

sudah  terus-terusan  bekerja,  bagaimana  dia  sempat 

merokok.  Gimana  kamu?  Sudah  diberi  pekerjaan, 

mereka. 

Sangut:  Tau  yang  datang  lima  ratus,  babinya  seribu, 

lima  ratus  lagi,  dikemanakan?  Dijual? 

Delem:  Kenapa  menjual  babi? 

Sangut:  Kemana  dibawa? 

Delem:    Ketika   tamu  pada  pulang,   lagi   disuruh 

menangkap  babi  satu-satu. 

Sangut:  Kenapa  begitu? 

Delem:  Sebagai    bungkusan  pemberat  bakul.  Agar 

berwibawalah  aku  di  sini,  di  Segara  Lungsur.  Agar 

tak  tertiru  upacaraku. 

Sangut:  Wah. 

Delem:  Pada  hari  H,  kamu  diluar  saja  menunggu. 

Sangut:  Ngapain? 

Delem:  Memperhatikan  tamu  yang  datang. 

Sangut:  Kenapa  begitu? 

Delem:  Kalau  ada  tamu  jalan  kaki,  usir  saja  suruh 

pulang. 

Sangut:  Kenapa  begitu? 

Delem:  Paling-paling  dia  bawa  satu  butir  kelapa. 

Beras  satu  kg.  Telor  satu  butir.  Merepotkan  untuk 


225 


time  with  them.  If  there  is  a  guest  who  comes  on 
a  two  wheeled  vehicle,  or  on  a  four-wheeler,  or  a 
sixteen-wheeler,  tell  them  to  come  in.  At  least  they 
will  bring  an  envelope.  Inside  the  envelope  will  be 
at  least  five  hundred  thousand  rupiah.  AfLer  the 
ceremony  we  can  buy  a  ricefield. 
Sangut:  Is  this  a  business  ceremony?  If  we  have 
a  thousand  pigs  weighing  one  hundred  and  fifty 
kilograms  each,  those  are  very  expensive  pigs.  Do 
you  have  the  money  for  it? 
Dalem:  The  bank  has  it. 

Sangut:  Yes,  the  bank  has  it,  but  do  you  have  collateral 
{for  a  loan)'?  The  ricefield  is  already  mortgaged. 
Delem:  I  can  borrow  it  from  the  Banjar.    I  have  a 
persuasive  tongue. 

Sangut:  If  you  borrow,  but  don't  give  it  back? 
Delem:   Give  it  back?   What  are  you  talking  about? 
After  the  wedding  I  would  tell  Nyoman  (his  bride- 
to-be)  to  stand  outside  the  house. 
Sangut:  Why? 

Delem:  To  look  out  for  people  asking  for  money  in 
case  they  arrive  with  the  promissory  note.  If  Ketut 
is  the  one  who  brings  the  promissory  note,  she  will 
say,  "Hello,  brother  Ketut.  I  know  that  you  are  here 
for  the  debt  repayment.  But  I  don't  know  anything 
about  the  problem  of  debt  or  repayment.    I  don't 


ada  tamu  ngaba  roda  dua,  roda  empat,  roda  enam 
belas,  mara  orin  mulih.  Paling  sing  amplop.  Di 
dalam  amplop  paling  sing  mang  atus  tali.  Suwud 
gae  pang  ngidang  meli  carik. 


Sangut:  Ooo  bisnis  gae  e  ne.  Yen  celeng  a  siyu.  Pikul 
tengah-pikul  tengah.  To  celeng  mael  jani.  Ba  ngelah 
pis? 

Delem:  Bank  ada. 

Sangut:  Ba  ja  Bank  to.  Ngelah  wanda?  To  carik  ba 

onya  megade. 

Delem:  Nyilih  di  Banjar  maan.  Bungut  memedang. 

Sangut:  Yen  nyilih  sing  uliang? 

Delem:  Uliang.  Kenken  ci.  Suwud  nganten  Nyoman 

orin  diwang  ngoyong  di  angkul-angkule. 

Sangut:  Ngudiang? 

Delem:  Nyaga  nak  ne  nagih  utang.  Yen  teka  ne 
ngelahang  utange.  Yen  Ketut  ne  ngelah  utange,  ye 
beli  Ketut,  sing  keto  Nyoman.  Tiang  nawang  beli 
mal  nagih  hutang.  Kewala  nyen  tiang  sing  nepukin 
masalah  utang  piutang.  Tiang  sing  nawang.  Beli 
Ngurah  Delem  ajak.  Ya  nak  nelokin  borongane  di 


diberi  balasan  bawaannya.  Kalau  ada  tamu  bawa 
roda  dua,  roda  empat,  roda  enam  belas,  baru  suruh 
pulang  .  Paling  tidak  amplop.  Di  dalam  amplop 
paling  tidak  lima  ratus  ribu.  Seusai  upacara  agar 
bisa  beli  sawah. 

Sangut:    Ooo  upacaranya  bisnis  ini.  Kalau  babinya 

seribu,  masing-masing  berberat  seratus  lima  puluh 

kilogram.   Sekarang  ini  babi  kan  mahal?   Sudah 

punya  uang? 

Delem:  ada  Bank. 

Sangut:   Memang  adanya  di  Bank.  Punya  jaminan? 

Sawah  semua  sudah  habis  jadi  jaminan. 

Delem:    Pinjam    di    Banjar,    pasti    dapat.    Mulut 

berkarisma. 

Sangut-  lika  pinjam,  tidak  akan  dikembalikan? 

Delem:    Kembalikan.    Gimana   kamu   ini.    Selesai 

upacara  menikah  Nyoman  suruh  di  luar  diam  di 

depan  rumah. 

Sangut:  Ngapain? 

Delem:     Menjaga     orang-orang     yang     menagih 

hutang.  Kalau  datang  yang  punya  hutang.  Kalau 

berhutangnya  kepada  si  Ketut:  "yee  kakang  Ketut...," 

kan  begitu  si  Nyoman.  "...saya  tahu  abang  ke  mari 

menagih  hutang.  Tetapi  saya  tidak  tahu-menahu 

masalah  utang  piutang.  Saya  tidak  tahu.  Abang 


227 


understand  it.  My  husband  Ngurah  Delem  will  talk 
to  you  about  it.  But  now  he  is  working  on  a  housing 
project  in  Bukit".  That's  what  she  will  say.  "My 
husband  will  be  there  for  five  days.  Yes,  my  husband 
is  there".  That's  what  I  will  tell  Nyoman  to  say. 
Sangut:  So,  Melem? 

Delem:  I'll  be  hiding  in  the  rice  warehouse. 
Sangut:  That  solves  the  problem.     What  happens 
when  he  comes  back  in  five  days? 
Delem:  Five  days  later. 
Sangut:  Five  days  later,  he  will  come  again. 
Delem:  "Hello,  Ketut."  That's  what  I'll  say.  "I  already 
know  that  you  are  here  to  ask  for  money.  There  is  a 
lot  of  money  in  the  bank,  Ketut." 
Sangut:  Oh,  you  will  say  there  is  a  lot  of  money  in 
the  bank? 

Delem:  Yes,  that's  right.  "Ketut,  you  know  that  getting 
the  money  out  is  not  easy.  You  have  to  sign  here  and 
sign  there.  Letters  here,  letters  there.  Now,  don't 
be  sad,  Ketut.  You  can't  get  the  money  now.  Try  to 
come  here  again  in  four  days,  Ketut.  The  money  will 
surely  be  here.  Calm  down,  take  it  easy  with  me, 
Ketut". 

Sangut:  Four  days? 
Delem:  Four  days. 
228 


^^^HS^^^^^Uh.   ^  1 

p^^ 

H  IKrV ,  J 

Bukit.  Keto  orang  nyen.  Beli,  biin  limang  dina  beli 
mai  nyen.  Beli  Ngurah  gen  ajak  nyen.  Ooo  keto 
orin  Nyoman. 


Sangut:  Men  Melem? 

Delem:  Mengkeb  di  Jineng. 

Sangut:   Pragat  kandane.   Biin  limang  dina   orin 

teka? 

Delem:  Biin  limang  dina. 

Sangut:  Biin  limang  dina  biin  teka  ya. 

Delem:   Yeeeee   Ketut,   sing  keto   kaka.   Kaka  ba 

nawang  Ketut  mai  kel  nagih  pis.  Nak  bek  di  Bank 

Tut. 

Sangut:  Ooo  nak  bek  di  Bank. 

Delem:  Bench.  Tut  ba  nawang.  Nak  ngalih  pis  sing 
ja  gampang.  Misi  teken  dini  teken  ditu.  Surat  dini 
surat  ditu.  Jani  de  Tut  sebet  nyen.  Tut  sing  maan  pis 
jani.  Yen  tegarang  biin  4  hari  Tut  mai.  Pis  pasti  ada. 
Tenang,  gampang  ajak  kaka  Tut. 


Sangut:  4  hari? 
Delem:  4  hariiiii. 


Ngurah  Delem  ajak  berurusan.  Kini  dia  sedang 

menengok    borongannya     di     Bukit."     Begitulah 

patutnya  dibilang.  "Lima  hari  lagi  datang  ke  sini 

lagi,  sama  abang  Ngurah  sajalah  berurusan."  Ooo 

begitulah  Nyoman  dikasih  tahu. 

Sangut:  Lalu  Melem? 

Delem:  Sembunyi  di  Lumbung. 

Sangut:     Selesai  urusannya?  Kalau  lima  harinya 

disuruh  datang? 

Delem:  Lima  hari  lagi. 

Sangut:  Lima  harinya  dia  datang  lagi. 

Delem:  "Yeee  Ketut. . . ,"  kan  begitu  aku.  "Abang  udah 

tahu  Ketut  ke  sini  untuk  menagih  uang.  Di  Bank 

orang-orang  terlalu  penuh,  Tut. 

Sangut:  Ooo  orang  penuh  di  Bank. 

Delem:  Sungguh.  Tut  kan  sudah  tahu.  Orang  emang 
tidak  gampang  mengambil  uang.  Perlu  tanda  tangan 
di  sini,  tanda  tangan  di  sana.  Surat  di  sini,  surat  di 
sana.  Sekarang  janganlah  Tut  sedih,  ya.  Tut  tidak 
dapat  uang  sekarang.  Coba  4  hari  lagi  Tut  ke  sini. 
Uang  pasti  ada.  Tenang,  gampang  dengan  abang 
Tut. 

Sangut:  4  hari? 
Delem:  4  hariiii. 


Sangut:  Four  days  later  he  arrives. 
Delem:  "Helloooooo,  Ketut".  That's  what  I'll  say. 
"Have  a  coffee  first,  Ketut."  I  have  a  coffee,  so  I  ask 
him  if  he  wants  one,  too.  I  am  sure  he  doesn't  want 
one.  I  just  ask  for  the  sake  of  asking.  "The  money  is 
in  the  cabinet,  Ketut,  it's  all  there.  If  I  borrow  money 
from  you,  you  don't  have  to  worry.  But  last  night 
I  was  browsing  through  the  calendar,  and  it  turns 
out  that  today  is  my  birthday.  People  say  that  you 
cannot  pay  back  a  debt  on  your  birthday.  Don't  be 
sad,  Ketut.  You  will  not  get  your  money.  Come  back 
here  in  five  days  and  you  will  get  the  money". 
Sangut:  Heeey.  Three  days,  four  days,  five  days. 
Three  days,  four  days,  five  days.  This  will  keep  going 
on  until  the  grass  on  the  path  to  your  door  is  worn 
down  without  you  cutting  it.  After  such  a  long  time 
I  think  the  people  who  are  owed  the  money  will  be 
angry,  Melem. 

Delem:  I  hope  they  are  angry.  If  so,  they  will  be  my 
enemies.  Once  they  are  my  enemies,  how  can  they 
ask  for  money?  I  hope  they  become  my  enemies. 

Sangut:  Delem,  if  I  may  say  so,  don't  put  yourself  up 
on  such  a  high  horse.  When  you  do  that,  there  is  a 
danger  you  will  fall.  You  will  break  your  bones.  It  is 
better  to  be  sitting  in  a  low  place  {where  you  cannot 
fall).  Nowadays  people  are  not  dazzled  by  wealth, 
Delem.  The  world  is  a  circle  now.  They  go  to  the 
store  with  fifty  million  rupiah,  and  come  home  with 
something  worth  four  hundred  million. 
Delem:  And  the  rest? 

Sangut:  On  creddddddit.  Even  though  it  is  impressive 
to  drive  an  expensive  car  for  one  month,  after  that 
the  dealer  will  take  it  back.  Who  will  you  show  off 
to  then,  Delem? 

Delem:  Look  at  you.    Always  talking  about    what 
then,  what  then,  what  theeeeeeen. 
{Demon  puppets  arrive) 


Sangut:  Biin  4  hari  biin  teka? 

Delem:  lyeeeee.  Tut.  Sing  keto  kaka.  Ngopi  alu  Tut. 
Ada  kopi  tanjen  mase.  Ba  kel  sing  nyak  tooo.  Pang 
kewala  tanjen  gen,  basa-basi.  Pis  ada  di  lemari  Tut, 
genep.  Lamun  kel  nyilih  ken  Ketut.  Tenang  gen  Tut. 
Kola  ibi  sanja  iseng  kaka  malin  kalender,  tegak  oton 
kaka  bisa  jani.  Nak  sing  kone  dadi  mebayahan  di 
tegak  oton.  De  Tut  sebet  nyen.  Tut  sing  maan  pis. 
Orang  biin  limang  dina  Tut  mai  pis  maaan. 


Sangut:  Heeeee.  Telun,  tang  dina,  limang  dina. 
Telun  tang  dina  limang  dina.  Kanti  lisig  padang 
Meleme  jumah  sing  ngudud-ngudud  kanti.  Yen 
mekelo-kelo  dong  bisa  pedih  ne  ngelahang  pipise 
ne  cang  Melem. 

Delem:  Madak  pang  pedih.  Yen  ngidang  pang  puik 
biineng.  Ba  puik  kudiange  nagih  pis.  Madak  pang 
puik. 

Sangut:  Leeem.  Yen  cang  ngorin  Melem,  de  bes 
tegeh  negakan  awak.  Di  ulunge  meglebug.  Elung 
benya.  Kanggoang  beten-beten.  lani  ada  sing  nak 
bengong  ken  kesugihan  Leeem.  Gumi  pada  bunter 
jani.  Ke  toko  ngaba  pis  seket  juta,  dimulihe  bisa 
barang  samas  juta  aba. 


Delem:  Sisane? 

Sangut:  Ngrediiiit.  Ooo.  Apin  gagah  ngaba  mobil 
mewah  abulan,  suwud  to  tarike  ken  delere.  Nyen 
edengan  jani  Leeem. 

Delem:  Tolih  cai.  Nah  Ooo  to  to  to  to.  lani  jani  jani 

janiiii. 

(keluar  para  Raksasa). 


Sangut:  Empat  harinya  lagi  dia  datang? 
Delem:  lyeeee.  Tut.  Kan  begitu  aku.  Minum  kopi 
dulu  Tut.  Ada  kopi  di  tawarkan  juga.  Sudah  tahu 
dia  tak  kan  mau.  Tawarkan  saja,  basa-basi.  Uang 
ada  di  lemari  Tut,  genap.  Masalah  meminjam  pada 
Ketut,  tenang  saja.  Tut.  Tetapi  semalam  iseng  abang 
membaca  kalender,  tepat  hari  ini  hari  lahirnya 
abang.  Katanya  tidak  boleh  membayar  hutang  tepat 
di  hari  lahir.  Jangan  Tut  sedih  ya.  Tut  tidak  dapat 
uang.  Lima  hari  lagi  Tut  ke  sini,  pasti  dapat  uang. 


Sangut:  Heeee.  Tiga  hari,  empat  hari,  lima  hari. 
Tiga  hari,  empat  hari  lima  hari.  Sampai  mati  rumput 
Melem  dirumah  tidak  perlu  ditebas.  Lama-lama 
orang  yang  cari  uang  bisa  marah,  Melem. 


Delem:  Aku  berharap  mereka  marah  besar.  Kalau 
bisa  agar  tak  bertegur  sapa  lagi.  Kalau  sudah  tak 
bertegur  sapa,  gimana  dia  minta  uang?  Semoga  saja 
dia  tak  bertegur  sapa. 

Sangut:  Leeem.  Saya  kasih  tahu  kamu  Melem. 
Jangan  terlalu  tinggi  memposisikan  diri.  Kalau 
jatuh  berbahaya.  Patah  kamu.  Kanggokan  di  bawah 
seadanya.  Sekarang  ini,  tidak  ada  orang  bengong 
dengan  kekayaan  Lem.  Bumi  sudah  bundar. 
Sekarang,  ke  toko  membawa  uang  lima  puluh  juta, 
ketika  pulang  bisa  barang  empat  ratus  juta  dibawa. 

Delem:  Sisanya? 

Sangut:  Ngeridiiiit.  Ooo.  Walaupun  gagah  membawa 
mobil  mewah,  setelah  satu  bulan  itu  di  tarik  oleh 
dealer.  Siapa  yang  di  perlihatkan  sekarang,  Leem. 

Delem:  Kamu  hhat.  Ya  Ooo  to  to  to.  Sekarang 
sekarang  sekaraaang. 
(keluar  para  Raksasa). 


229 


Maya  Cakru  (the  demon  king):  Delem. 

Delem:  That's  me. 

Maya  Cakru:  Get  ready. 

Delem:  Yes. 

Maya  Cakru:  We  are  already  at  the  border. 

Delem:  Already  in  the  country  of  Ayodya? 

Maya  Cakru:  Right. 

Delem:  Right. 

Maya  Cakru:  You  can  see  the  monkeys  there. 

Delem:     Wow.     The     monkeys     are     on     guard 

everywhere. 

Maya  Cakru:  Get  ready. 

Delem:  Yes. 

Maya  Cakru:  But  if  I  go  inside... 

Delem:  If  you  go  inside. 

Maya  Cakru:  They  will  know. 

Delem:  They  will  know. 

Maya  Cakru:  Right. 

Delem:  Right.  How  can  you  do  it? 

Maya  Cakru:  /  have  a  plan. 

Delem:  You  will  carry  out  your  plan.   The  plan  will 

prevail.   We  won't  have  to  fight,  but  the  enemy  will 

die.   It's  like  finding  fish  in  a  pool.   The  water  is  not 

dirty.  The  water  lilies  are  not  wilted.  The  fish  will  be 

caught.  How? 

Maya  Cakru:  Because  I  heard  that  Commander 

Anggada  (son  of  King  Subali,  who  was  killed  by 

Rama)  went  to  Siwa  Loka. 

Delem:  You  heard  the  news  that  the  red  monkey 

went  to  Siwa's  Heaven. 

Maya  Cakru:  Seeking  holy  water  for  purification. 

Delem:  He  will  get  holy  water  for  a  purification 

ceremony.  And  now? 

Maya  Cakru:  /  will  change  my  form  to  become  a  copy 

of  Anggada.  I  will  bring  holy  water,  and  distribute 

holy  water  to  everyone.  It  will  be  made  of  poison. 

Delem:  Aaaaa.    Ha,  ha,  ha.    Now,  my  master,  you 

will  change  your  form  so  that  you  will  be  seen  as 


Maya  Cakru:  Delem. 

Delem:  Tiang. 

Maya  Cakru:  Yatna! 

Delem:  Ngih. 

Maya  Cakru:  Sampun  prapta  aneng  ancaknia. 

Delem:  Nganteg  Cumin  Yodyane. 

Maya  Cakru:  Yogya. 

Delem:  Patut. 

Maya  Cakru:  Katon  ikanang  boset  irika. 

Delem:  Tuh  bojoge  mejaga  pesliwer  to. 

Maya  Cakru:  Yatna! 

Delem:  Inggih. 

Maya  Cakru:  Kewala  yan  ngong  masuk  umanjing. 

Delem:  Yan  Iratu  macelep. 

Maya  Cakru:  Ketara. 

Delem:  Tawange. 

Maya  Cakru:  Yogya. 

Delem:  Patut.  Punapi  carane? 

Maya  Cakru:  Winaya  gelaraken. 

Delem:  Naaaaa.  Daya  dabdabang.  Daya  ngeranang 

dayuh.  Kenken  carane  mesiat  pang  sing  (tawange), 

musuh  pang  bangka.  Ngalih  be  di  tlagane.  lyehe 

pang  sing  puek,  tunjunge  pang  sing  layu.  Be  pang 

bakat.  Punapi? 

Maya  Cakru:  Mapan  Ngong  ngarengga  sira  Wira 

Ngada  lumaku  aneng  kunang  Siwa  Loka. 

Delem:  Iratu  miragi  orti,  kocap  Bojog  barake  merika 

ka  Siwa  Loka. 

Maya  Cakru:  Ngulati  kunang  tirta  Sudamala. 

Delem:     Bakal     ngalih     tirta     Sudamala.     Sane 

mangkin? 

Maya  Cakru:  Ngong  anyukti  rupa  nadi  Ngada. 

Ngamong   tirta,   margiang   tirta,   gawe   kunang 

wisya. 

Delem:  Naaaaaa.  Ha  ha  ha.  Mangkin  ampun  Iratu 

kel  mesiluman  pang  tawange,  pang  kadena  Ngada. 


Maya  Cakru:  Delem. 

Delem:  Hamba. 

Maya  Cakru:  Siaga! 

Delem:  Ya. 

Maya  Cakru:  Sudah  sampai  di  perbatasannya. 

Delem:  Sampai  sudah  di  negari  Ayodya. 

Maya  Cakru:  Benar. 

Delem:  Benar. 

Maya  Cakru:  Terlihat  para  monyet  di  sana. 

Delem:  Wah  monyet-monyet  berjaga  berseliweran. 

Maya  Cakru:  Siaga! 

Delem:  Ya. 

Maya  Cakru:  Tetapi  kalau  Aku  masuk  ke  dalam. 

Delem:  Kalau  paduka  masuk. 

Maya  Cakru:  Kentara. 

Delem:  Diketahui. 

Maya  Cakru:  Benar. 

Delem:  Benar.  Bagaimana  caranya? 

Maya  Cakru:  Tipu  muslihat  dipakai. 

Delem:  Naaa  Akal  dijalankan.  Akal  membuat  adem. 

Bagaimana  caranya  berperang  agar  tidak  diketahui, 

musuh  agar  mati.  Ibarat  menangkap  ikan  di  kolam: 

airnya   tidak   keruh,    teratainya    agar   tidak   layu, 

ikannya  didapat.  Bagaimana? 

Maya  Cakru:  Aku  mendengar  si  Perwira  Ngada 

pergi  menuju  ke  Siwa  Loka. 

Delem:  Paduka  mendengar  kabar,  katanya  si  Monyet 

Merah  pergi  ke  Siwa  Loka. 

Maya  Cakru:  Mencari  air  suci  Sudamala. 

Delem:     Untuk     mencari     tirta     Sudamala.     Ya 

sekarang? 

Maya  Cakru:  Aku  akan  berubah  wujud  menjadi 

Ngada.  Membawa  tirta,  membagikan  tirta,  yang 

sesungguhnya  adalah  racun. 

Delem:  Naaaa.  Ha  ha  ha.  Sekarang  paduka  akan 

berubah  wujud  jadi  Ngada,    agar  tidak  diketahui, 


230 


/ 


<yit;w 


^      / 


^V 


5«?^ 


U>.c 


^\ 


44^ 


v*^ 


dUu^ 


^^: 


^•^3t 


'Vi'i 


/ 


*Ki. 


Jp 


• 


?>?: 


Jit. 


Z^-:. 


l:-** 


A 


»* 


.^ 


•*^ 


Vi  A 


r1 


»• 


.<•»:. 


f>j^:i 


S^^ 


[;:;?>< 


5^5p^^ 


^ 


^J^ 


|i» 


rr^vs 


f;!r<t 


\i'^:> 


"i^^ 
i.^^ 


Kh3 


^^s 


t 

'i 


y^ 


^fih 


Kjh-^ 


-■„/■ 

m. 

•j^^ 


if: 


:"^.^J*^. 


;v2s.    ^  --*^.;| 


f>v 


-r^A 


-«. 


LJ. 


^  .»  .      W  ^ 


."^J 


1  iiv-y.  't> 


'NM«»-t« 


■^15 


■'^:>5i?t 


fi> 


T^ 


%  ^v 


*'^^>-^ 


•"^^ 


v^^ 


-■*V  .A- 


.•%- 


^ 


VW*' 


J»  «  /  %. 


:?/" 


.>- 


Anggada.  That's  what  they  will  think.  You  will  bring 

holy  water  that  contains  poison.  You  will  distribute 

the  water  and  all  the  monkeys  will  be  defeated. 

Maya  Cakru:  Right. 

Delem:  Now  let's  get  ready. 

Chorus:  ...  (chants) 

Delem:    Now,  since  Anggada  is  not  at  home,  Maya 

Cakru  will  become  Anggada.    How  can  he  imitate 

him  exactly?  He  will  imitate  Anggada  by  pretending 

to  carry  the  holy  water  (to  Rama),  but  it  will  be  full 

of  poison.  They  will  drink  it. 

Sangut:  If  Anggada  finds  out  about  that,  Delem  will 

be  charged,  and  taken  to  court. 

Delem:  Why  is  that? 

Sangut:  For  imitating  a  friend.     For  stealing  his 

identity.     Now  it  is  important  to  have  our  own 

identity.    Whether  it  is  good  or  bad,  it  is  our  own 

self,  isn't  that  true?  Even  if  it  is  a  good  imitation  of  a 

friend,  what  is  that  for?   If  Anggada  finds  out,  what 

will  he  do?  Take  you  to  court.... 

Delem:  Shut  up.  Shut  up.  Shut  up.  You  can  buy  your 

way  out  of  the  law. 

Sangut:    Don't  think  you  can  buy  your  way  out  of 

the  law.    False  words  will  get  you  punched  in  the 

mouth.  Be  careful  what  you  say.  Be  careful  of  what 

comes  out  of  your  mouth.    Otherwise  your  mouth 


Ngaba  tirta.  Ditengah  tirta  jin  cetik.  Iratu  nyiratin 
jeg  peplekplek  Bojoge. 

Maya  Cakru:  Yogya. 

Delem:  Ngiring  dabdabang. 

Sendon:  ... 

Delem:  Jani  wireh  I  Ngada  sing  ada  jumah.  Jani 

dadi  I  Ngada.  Pang  kenken  ben  pang  persis  nempa. 

Nempa  Ngada  e.  Ngaba  tirta,  di  tengah  tirta  e  jin 

cetik.  Ia  ngajeng. 

Sangut:  Yen  tawange  ken  Sang  Ngada.  Kel  laporne 
ke  pengadilan  Melem  ne. 
Delem:  Dadi  keto? 

Sangut:  Nempa  timpal.  Sing  ngelah  jati  diri  adane. 
Iraga  kan  penting  jani  jati  diri.  Apin  luwung,  apin 
jelek  diri  sendiri,  keto  nake.  Apin  luwung  niru 
timpal,  kenken  ne.  Yen  tawange  lantas  ken  Sang 
Ngada,  kel  kudiang  awake.  Kena  pengadilan... 

Delem:  Nep  nep  nep  nep!  Hukum  dadi  bayah  aaaa. 

Sangut:  De  ngawag-ngawag,  hukum  dadi  bayah. 
Pelih  baan  ngomong  jagure  bungute  nyen.  Ngaba 
bungut  melahang  nake.  Hati-hati  ngaba  bungut. 
Kene  ba  bungut  me  bo  mangkug.  Ngawag-ngawag 


agar  dikira  Ngada.  Membawa  tirta.  Di  dalam  tirta 

diisi   racun.    Paduka  yang   membagikannya;   wah 

bergelimpangan  para  monyetnya. 

Maya  Cakru:  Benar. 

Delem:  Mari  persiapkan. 

Sendon.... 

Delem:    Sekarang   kebetulan   I   Ngada   tidak   ada 

dirumah.  Sekarang  berubah  wujud  menjadi  I  Ngada. 

Bagaimana  caranya  meniru,  agar  persis.  Meniru 

Ngada.  Membawa  tirta,  di  tengah  tirta  diisi  racun. 

Dia  yang  makan. 

Sangut:    Kalau  diketahui  oleh  Sang  Ngada,  Melem 

akan  dilaporkan  ke  pengadilan. 

Delem:  Kenapa  begitu? 

Sangut:      Meniru   teman.    Tidak  punya  jati   diri 

namanya.  Sekarang  ini  pentingnya  kan  jati  diri  kita. 

Apakah  baik,  apakah  jelek,  itulah  diri  sendiri.  Seperti 

itu  semestinya.  Walau  baik,  tetapi  meniru  teman; 

bagaimana  ini.  Kalau  diketahui  oleh  Sang  Ngada, 

akan  dibagaimanakan  dirimu.  Kena  pengadilan... 

Delem:  Diam!  Diam!  Diam!  Hukum  boleh  dibayar 

aaaa. 

Sangut:  Jangan  sembarangan,  hukum  boleh  dibayar. 

Salah  ngomong  mulut  kena  pukul.  Hati-hati  ya,  bawa 

mulut.  Hati-hati  bawa  mulut.  Apalagi  mulut  berbau 

busuk.  Sembarangan  berbicara.  Makanya  saya  beri 


233 


will  smell  bad,  if  you  just  say  anything  that  pops  into 

your  head.  That's  why  I  am  telling  you,  Melem,  that 

if  you  say  something,  it  should  be  of  value,  so  that 

you  can  imitate  the  voice  of  the  cecek  lizard. 

Delem:     What  does  the  voice  of  the  cecek  sound 

like? 

Sangut:  Even  though  the  cecek  is  a  small  creature,  a 

small  animal,  the  voice  of  the  cecek  is  valuable. 

Delem:  Why  is  it  valuable? 

Sangut:    Everytime  people  speak,  everytime  people 

speak  in  their  homes,  the  voice  of  the  cecek  will  be 

answered  by  human  voices. 

Delem:  How? 

Sangut:  "Come  down  Goddess  Saraswati.    Oh,  you 

valuable  little  creature"...     The  goddess  Saraswati 

is  the  symbol  of  knowledge.     The  source  of  that 

knowledge  is  the  dot  or  period,    {cecek  is  a  literary 

marking  indicating  the  schwa  sound,  and  cecek  is  also 

Balinese  for  lizard).  That's  why  the  Saraswati  offerings 

include  a  cake  shaped  like  a  cecek.   Saraswati  is  the 

symbol  of  knowledge.     The  source  of  knowledge 

comes  from  the  dot. 

Delem:  From  what? 

Sangut:    From  the  dot.    Letters  are  made  from  an 

arrangement  of  dots.    A  straight  succession  of  dots 

is  called  a  line. 

Delem:  A  line? 

Sangut:  A  line.  Do  you  know  what  the  word  for  dot 

is  in  Indonesian? 

Delem:  What? 

Sangut:  "T/fz7c."  Knowledge  is  based  on  dots.  Letters 

are  based  on  dots.   Everything  in  the  world  is  born 

out  of  a  dot.  {titik  means  dot  in  Indonesia  and  vagina 

in  Balinese).  You  and  I  were  born  from  a  dot. 

Delem:  Oh,  you're  bringing  it  down  to  that. 
Sangut:    Yes,  like  that  first.    That's  why  you  should 
not  imitate  the  voice  of  a  frog  under  the  stairway. 


memunyi.  Kelan  cang  ngorin  Meleeem.  Yan 
memunyi  pang  maji  munyie.  Pang  ngidang  nempa 
munyin  Cecek. 

Delem:  Munyin  cecak?  Engken  ceceke? 

Sangut:  Yapin  ya  cecek  to  barang  cenik,  buron 

cenik,  maaji  munyin  ceceke. 

Delem:  Ngudiang  maji? 

Sangut:  Ye  kasal  ada  nak  ngorta.  Kasal  ada  nak 

ngerembug  di  bale  e.  Memunyi  Ceceke  sautange 

ken  nake. 

Delem:  Engken? 

Sangut:  Turun  Sang  Hyang  Aji  Saraswati.  O,  maji 

barang  Cenik... Sang  Hyang  Saraswati  to  lambang 

ilmu  pengetahuan.  Ilmu  pengetahuan  to  sumber 

uli    Cecek.    Kelan    cara    banten    Saraswati    misi 

jaja  mepinda  Cecek.  Saraswati  to  lambang  ilmu 

pengetahuan.  Ilmu  pengetahuan  to  mesumber  uli 

Cecek. 


Delem:  Uli  apa? 

Sangut:  Uli  cecek.  cecek  ane  mererod  ngardi  hurup. 

Ceceke  mererod  leser  garis  adane. 

Delem:  Garis? 

Sangut:    Garis,    ceceke    tawang    Melem    bahasa 

Indonesiane? 

Delem:  Apaaa? 

Sangut:  Titik.  Ilmu  pengetahuan  to  mesumber  uli 

titik.  Hurup  itu  mesumber  uli  titik.  Di  Gumine 

makejang  mesumber  uli  titik.  Melem  cang  sing  uli 

titik  lekadne. 

Delem:  Oooooo.  Kema  aba  ci. 

Sangut:  Nah  sing  ketoang  nden  malu.  Makane  cang, 

kelan  de  nempa  munyin  idongkang  beten  undag. 


tau  Meleeem.  Kalau  berbicara,  agar  omongannya 
mempunyai  nilai.  Agar  mampu  meniru  suara  cicak. 


Delem:  Suara  cicak?  Bagaimana  cicak  nya? 

Sangut:  Walaupun  dia  cicak  itu  benda  kecil,  binatang 
kecil:  berharga  suaranya  cicak. 
Delem:  Kenapa  berharga? 

Sangut:     Ya  setiap  ada  orang  berbincang,  setiap 
orang-orang    berembug,     di    balai-balai    rumah. 
Cicaknya  berbunyi,  disahuti  oleh  orang-orang.... 
Delem:  Bagaimana? 

Sangut:  "...Turun  Sang  Hyang  Aji  Saraswati."  Ooo, 
berharga  barang  kecil... Sang  Hyang  Saraswati  itu, 
lambang  ilmu  pengetahuan.  Ilmu  pengetahuan  itu 
sumber  dari  cicak.  Makanya  pada  upakara  perayaan 
Saraswati  berisi  jajan  berupa  cicak.  Itu  Saraswati, 
lambang  ilmu  pengetahuan.  Ilmu  pengetahuan  itu 
bersumber  dari  titik. 


Delem:  Dari  apa? 

Sangut:    Dari  titik.  Titik  yang  berderet  membuat 

huruf.  Titik  yang  berderet  lurus  garis  namanya. 

Delem:  Garis? 

Sangut:      Garis.      Cicak     tahu      Melem     bahasa 

Indonesianya? 

Delem:  Apaaa? 

Sangut:  Titik  (dalam  bahasa  Bali  berarti  bagian  dari 

vagina).  Ilmu  pengetahuan  itu  bersumber  dari  titik. 

Huruf  itu  bersumber  dari  titik.  Di  dunia  semua 

bersumber  dari  titik.  Melem  saya  kan  bermuasal 

dari  titik. 

Delem:  Ooooo.  Kesana  kamu  alihkan. 

Sangut:  Ya  begitukanlah  dulu.  Makanya  saya  bilang, 

janganlah  menirukan  suara  kodok  dibawah  tangga. 


234 


^  i^ 

->^- 


/ 


\ 


%-«< 


'■  Mi, 


■.  1.^ 


P^  kr^  %x 


Delem:  Why? 

Sangut:      If  someone   is   speaking,   and  they  are 

answered  by  a  frog  under  the  stairway  who  says, 

''Prut,  prut,  prut?  ('Bullshit').   They  will  take  a  stick 

and  push  it  into  the  frog's  mouth.  The  frog  is  looking 

for  trouble.  It's  like  that. 

Delem:  Shut  up.   Shut  up.  Shut  up.   I  am  the  driver 

here.  You  are  the  assistant.  Don't  give  orders  to  the 

driver.    Your  job  is  just  to  assist.    Now  it's  already 

time. 

Sangut:  Oh,  it's  so  difficult,  so  difficult.     You  are 

confusing  me.  We  already  have  a  good  country  here 

in  Segara  Lungsur,  but  you  will  make  problems  again. 

What  should  I  do  now?    Ohhhhhh. 

Chorus:  ....  (chants) 

Maya  Cakru:   /  will  speak  some  mantras  and  hope 

they  are  successful.   I  will  try  to  unify  speech, 

thought,  and  action  so  that  I  can  change  my  form 

into  an  imitation  of  the  red  monkey.     (There  is 

a  transformation  and  the  puppet  of  Maya  Cakru 

becomes  the  false  Anggada)  Now  I  can  pay  my 

respects  to  the  king.    'Please  forgive  your  servant 

Anggada.    I  want  to  pay  my  respects  to  my  king." 

Oh,  Anggada  has  arrived. 

Dalang:    {singing)  "He  dares  to  conquer  the  world. 

Trying  to  unify  it  with  his  actions." 

Rama:   My  brother,  Laksmana.   How  is  it  possible 

that  Anggada  has  already  arrived? 

Laksmana:  That's  right,  my  brother.  Please. 

Dalang:  (sings) 

False  Anggada:  I  will  pay  my  respects  to  you  my 
king.  But  please  forgive  your  servant  for  only  now 
arriving,  because  there  were  a  lot  of  accidents  on  the 
way.  They  impeded  the  path  of  the  king's  servant. 
But  please  forgive  me.  Ha  ha  ha  ha. 


Delem:  Engkeeeen. 

Sangut:  Asal  ada  nak  ngorta  sautange  ken  dongkang 
beten  undag.  Prut  prut  prut.  Jemak  ne  legitik  uguge 
bungute.  Dongkang  ngalih  wisya  ne.  Keto  a. 


Delem:  'Ndep,  'ndep,  'ndep.  Kaka  sopir  ci  kernet.  De 
sopire  wawa.  Urusan  kernete  gen  to.  Jani  ba  jani. 


Sangut:  Aduh  keweh-keweh.  Aduh  raga  jeg  inguh 
baane.  Yen  monto  ba  melah  Gumine  madan  Segara 
Lungsur.  Biin  bakal  ngae  uru  ara.  Kudiang  awake 
jani.  Aduuuh. 
Sendon:  ... 

Maya  Cakru:  Angeregep  aken  kunang  japa  mantra 
wak  bajra.  Anunggal  kunang  Bayu  Sabda  Idep. 
Lamakana  matemahaken  ikanang  Boset  Bang. 
Enaaaak.  (berubah  menjadi  Anggada).  Aduh 
pasang  tabe  sri  narendra.  Kewala  kesamaakna 
pakuluuun  sirang  Ngada.  Tabe-tabe  Sri  Narendra. 
Aduh  Ngada  dateng. 


Dalang:    (gending)    Sura   dira  jayaning  raaaat. 

Lebur  dening  pangastuti. 

Rama:   Sumirta  putra  antenku  pwa  kalaganta. 

Kadiang  apaaa.  Yayateki  menawi  sira  Ngada  wus 

prapta. 

Laksamana:  Yogya  kaka.  Mabener.  Saderaaaaaa. 

Dalang:  (gending)  "Kasayan  ikang  papa.  Nahan 
prayojana.  Ikang  kaula. 

Anggada  Palsu:  Aduh  pasang  tabe  Sri  Nara  Raja. 
Kewala  ksamakna  kang  kaula.  Mapan  wawu 
nyatpada  mapan  akweh  bencana  madyaning 
awan,  mengadang  patik  Sri  Narendra.  Kewala 
ksamaknaaaaa  ksamaknaaa.  Ha  ha  em  ha  ha. 


Delem:  Bagaimana? 

Sangut:  Kalau  ada  orang  berbincang,  disahuti  oleh 
kodok  dibawah  tangga.  Prut  prut  prut.  Diambilkan 
kayu  di  tonjok-tonjok  mulutnya.  Kodok  mencari 
bahaya.  Begitu  dia. 

Delem:  Diam,  diam,  diam.  Gua  sopir  lu  kernet. 
Jangan  sopir  di  perintah.  Urusan  kernet  saja  urus. 
Sekaranglah,  ya  sekaranglah. 

Sangut:  Aduh  susah-susah.  Aduh,  saya  ini  dibuat 
bingung  olehnya.  Padahal  sudah  punya  Negara 
bernama  Segara  Lungsur.  Lagi  berulah  buat  masalah. 
Kuapakan  diriku  sekarang  ini.  Aduuuh. 

Maya  Cakru:  Memusatkan  mantra  dalam  hati  dari 
kekuatan  bunyi,  menyatukan  tenaga,  perkataan 
dan  pikiran.  Agar  dapat  berubah  wujud  menjadi 
Kera  Merah.  Semoga,  (berubah  menjadi  Anggada). 
"Aduh  hormat  hamba  kepada  sang  maharaja. 
Maafkanlah  hambamu  ini  Si  Ngada.  Ampunilah 
hamba  maharaja.  Aduh,  Ngada  datang." 


Dalang:  (gending)  Gagah  berani  berjaya  di  dunia. 

Menyatu  dari  permohonan. 

Rama:     Dinda     Laksmana     adiku.     Bagaimana 

gerangan?  Nampaknya     mungkin  ini  si  Ngada 

telah  datang. 

Laksamana:     Patut     paduka.     Memang     benar. 

Silahkan. 

Dalang:    {gendmg)"Menghilangkan    kemelaratan 

rakyat  diupayakan  .... 

Aanggada    Palsu:     Aduh,    hormat    hamba    pada 

Maharaja.   Maafkan   hamba   ini   abdimu.   Karena 

terlambat  datang,  karena  banyak  halangan  di  tengah 

perjalanan,  menghadang  hamba  abdimu  paduka 

maharaja.  Maafkanlah,  maafkanlah.  Ha  ha  em  ha  ha. 


237 


Rama:  My  son,  Comander  Anggada.  My  heart  has 
no  feeling  other  than  happiness  now,  because  you 
have  already  arrived  here  to  stand  before  me. 

False  Anggada:  That  is  right,  my  king.  Ha  Ha  ha. 

{Hanuman  arrives) 

Hanuman:  I  pay  my  respects  to  you,  my  king.   Oh, 

Hanuman  is  also  happy,  because  my  brother  has 

already  arrived,  bringing  holy  water.  But  now,  my 

king,  please  go  inside  first.    Hanuman  will  ask  his 

brother  about  something. 

Rama:  If  it  is  like  that,  be  careful,  Hanuman. 

Hanuman:  Please,  go  ahead. 

Chorus  sings 

Hanuman:  My  brother  Anggada. 

Anggada:  I  am  your  brother. 

Hanuman:   /  am  so  happy,  because  my  brother  has 

arrived  bringing  holy  water  that  can  be  used  to 

complete  the  ceremony  of  King  Rama. 

False  Anggada:  That's  right. 

Hanuman:    But  before  you  go  inside  the  palace  I 

have  a  question  for  you. 

Anggada:  /  am  ready. 

Hanuman:  Anggada. 

Anggada:  /  am  ready. 

Hanuman:  {speaks  in  monkey  gibberish).    Are  you 

deaf?  Are  you  deaf?  Anggada. 

False  Anggada:  (not  having  understood)    Please  go 

ahead. 

Hanuman:     (more  monkey  gibberish)     You  are  a 

counterfeit  monkey. 

Chorus  sings 

Delem:  What's  going  on? 


Rama:  Anaku  Wira  Ngada  pwa  kalaganta.  Tan 

sipi   gatinira   tuas   ulun  kaya   mangke.   Mapan 

kita  sampun  prapta  umedekaken  cumawis  kaya 

ingulun. 

Anggada  Palsu:  Aduh  mabener  Sri  Narendra.  Ha 

ha  ha. 

(Datang  Hanoman). 

Hanoman:  Kruweeeeek.  Tabe-tabe  Sri  Narendra. 

Aduh    Maruti    Hanoman    juga    garjita.    Mapan 

antenku  sampun  prapta.  Angawa  kunang  tirta. 

Kewala  mangkin  Sri  Narendra  manjing  rumuhun! 

Maruti  bipraya  mewarah-warah  lawan  antenku. 

Rama:    Yan    tuhu    mangkana    yatna    kalaganta 

Maruti! 

Hanoman:  Lumaris! 

Sendon:  ... 

Hanoman:  Ranten  ku  Ngada  pwa  kalaganta. 

Anggada  Palsu:  Sadera  kaka. 

Hanoman:   Aduh  aku  garjita  tan  sipi,     mapan 

antenku  sampun  prapta.  Angamong  kunang  tirta. 

Ya  matemahan  cumawis  sida  karya  yadnyan  Sri 

Regawa. 

Anggada  Palsu:  Yugya-yugya. 

Hanoman:    Kewala,    sadurung    kamu    manjing 

aneng  kunang  Puri  Kuta.  Aku  atetanya  lawan 

kalaganta. 

Anggada  Palsu:  Sadera. 

Hanoman:  Ngada. 

Anggada  Palsu:  Sadera. 

Hanoman:  Kuweeep  we  wep.  Wo  wop,  wo  wop,  we 

wep,  we  wep.  Kal  ci  bongol?  Bongol  ci?  Ngadaaa. 

Anggada  Palsu:  Sadera. 

Hanoman:  Kuwe  wep.  We  wep.  We  we  wep.  Wo 
wop.  Wo  wop.  Wenara  dusta  baaaah. 
Sendon:  ... 
Delem:  Sapunapi? 


Rama:  Anaku  Perwira  Ngada  kamu.  Tak  terkira 
senangnya  hatiku  sekarang.  Karena  kamu  sudah 
sampai  menghadap  dengan  ku. 

Anggada  Palsu:  Aduh  benar  paduka  Maharaja.  Ha 

ha  ha. 

(Datang  Hanoman) 

Hanoman:  Kruweeeek.  Hormat  hamba  pada  yang 

Mulia  Maharaja.  Aduh,  Maruti,  Hanoman  juga 

bahagia.  Karena  adikku  sudah  kembali.  Membawa 

air  suci.  Tetapi  sekarang  paduka  maharaja  masuk 

dahulu.  Hanoman  akan  berpesan  dengan  adikku. 

Rama:      Kalau     demikian     waspadalah     kamu 

Hanoman. 

Hanoman:  Silahkan! 

Sendon.... 

Hanoman:  Adindaku  Ngada  kamu. 

Anggada  Palsu:  Baiklah  kakanda. 

Hanoman:    Aduh    saya    senang    sekali,    karena 

adikku  sudah  kembali.  Membawa  air  suci.  Yang 

akan  membuat  suksesnya  upacara  digelar  oleh  Sri 

Rama. 

Anggada  Palsu:  Benar-benar. 

Hanoman:  Tetapi,  sebelum  kamu  masuk  ke  dalam 

Istana.  Aku  bertanya  dengan  kamu. 

Anggada  Palsu:  Silahkan! 

Hanoman:  Ngada. 

Anggada:  Silahkan. 

Ha:   Kuweeep  we  wep.  Wo  wop,  wo  wop,  we  wep, 

we  wep.  Kenapa  kamu  tuli?  Tuli  kamu?  Ngadaaa. 

Anggada:  Silahkan. 

Ha:   Kuwe  wep.  We  wep.  We  we  wep.  Wo  wop.  Wo 

wop.  Monyet  dusta  waaaah. 

Sendon... 

Delem:  Bagaimana? 


238 


'^ 


>  ^ 


e-,-' 


'4'* '  -^ 


^zp^S 


^.._..-   .'^_.  .        /fife,-  w^of  r.- I 


False  Monkey:     Run.     There  is  a  white  monkey 
blocking  the  path  of  Commanderl  Anggada. 

Delem:  There  is  a  white  monkey  blocking  my  master's 

path,  asking  questions  in  monkey  language. 

False  Anggada:  That's  right. 

Delem:    I  forgot  to  give  you  a  course  in  monkey 

language. 

False  Anggada:  What  should  I  do  now? 

Delem:    Don't  worry,  my  master.    Behind  us  there 

are  still  demons  who  will  defend  you.  Oh,  they  will 

attack  and  kill  the  monkeys. 

False  Anggada:  Aaaahhh  anger  aahhh. 

Delem:  Let's  go. 

Chorus  sings 

(The  demons  arrive) 

Sangut:  Heh  heh  he  he 

Delem:  You  are  laughing. 

Sangut:  This  is  a  different  kind  of  laughing.  Actually 

Hanuman  has  become  a  judge.    He  doesn't  want  to 

accept  a  bribe.    He  really  wants  to  uphold  justice. 

What  will  you  do  about  that?    If  Hanuman  wanted 

to  accept  a  bribe,  you  and  your  king  would  be  free.  If 

Judge  Hanuman  accepted  bribes,  he  would  surely  be 

a  bad  judge.  So  what  will  you  do  now?  That's  why  I 

told  you  before.  People  shouldn't  try  to  be  someone 

else.  They  should  just  be  themselves,  and  not  try  to 

steal  the  identities  of  others.    How  can  you  defend 

yourself  now? 

Delem:  Shut  up.  Shut  up.  Shut  up.  I  will  use  my  own 

power.  My  body  is  strong  and  I  have  a  lot  of  money. 

Now  is  the  time.  The  demons  are  powerful.  They  will 

eat  the  monkey  judge. 

Sangut:    We  are  already  resorting  to  violence.    The 

law  will  not  be  upheld.    Can  violence  be  used  this 

way?  Maybe  it  would  be  better  if  the  law  were  upheld. 

The  people  will  be  witnesses.  The  media  will  expose 

the  proceedings  of  the  trial.  I  think  Melem's  Master 


Anggada  Palsu:  Melayu.  Hana  Boset  petak  ngadang 
Wira  Ngada. 

Delem:  Wenten  Bojog  Putih  nyaga  Ratu  metakon 

aji  basa  bojog? 

Anggada  Palsu:  Yogya. 

Delem:  Tuh  engsap  ngemang  kursus  basa  bojog. 

Anggada  Palsu:  Kadiang  apa? 

Delem:  Aaaah  Iratu  sampunang  sumandang  saya. 

Ring  ungkur  kari  wenten  Raksasa  pacang  mebela 

pati  ring  anggan  Iratu.  Aaah,  papagin  Bojoge  jeg 

matiang  bojoge. 

Anggada  Palsu:  Aaah  kroda. 

Delem:  Ngiring. 

Sendon:  ... 

(Keluar  para  Raksasa). 

Sangut:  He  he  he  he. 

Delem:  Kedek? 

Sangut:  Aing  nak  kedek  len  ne.  Benengen  ne  dadi 

Hakim  Sang  Hanoman.  Tidak  mau  menerima  suap. 

Betul-betul  menegakkan  hukum  to.  Kudiang  awak 

to?  Yen  ada  lantas  Sang  Hanoman  ngidang  suap, 

mara  ngidang  loos  to.  Amun  Hakim  Sang  Hanoman 

dadi  hakim,  mau  dengan  suap.  Jeg  pasti  terjegal. 

Ooo  kudiang  awake  jani  to.  Makane  orin  cang.  De 

demen  menjadi  orang  lain.  Jadilah  diri  sendiri. 

Kudiang  awake  ba  pelih  o.   Ngudiang  melaning 

awak. 

Delem:  Nep  nep  nep!  Sakti  anggon.  Awak  siteng.  Pis 
liu  ngelah.  Jani  ja.  Raksasa  sakti-sakti.  Apa  Hakim 
Bojog  jeg  amah  nas  ne. 

Sangut:  Badah  ne  ba  main  keras  ba  lantas.  Hukume 
sing  mejalane.  Dadi  nak  main  keras  keto  na.  Kan 
hukume  jalanin.  Masyarakat  akan  jadi  saksi. 
Media-media  akan  mengekspos  jalanya  sidang. 
Ooo.  Ngencot  cang  sesuhunan  Melem  gelem  biin 


Anggada  Palsu:  Lari.  Ada  Monyet  Putih 
menghadang  perwira  Ngada. 

Delem:   Ada  Kera  Putih  menjaga  paduka  seraya 

bertanya  dengan  bahasa  monyet. 

Anggada  Palsu:  Benar. 

Delem:  Aduh,  kelupaan  memberi  kursus  bahasa 

monyet. 

Ap:  Bagaimana? 

Delem:  Aaaah  paduka  jangan  khawatir.  Di  belakang 

masih  banyak  raksasa  akan  membela  paduka.  Aaah, 

hadapi  monyetnya.  Bunuh  monyetnya. 

Anggada  Palsu:  Aaaa  geram. 
Delem:  Mari. 
Sendon.... 

(Keluar  para  Raksasa). 
Sangut:  He  he  he  he 
Delem:  Tertawa? 

Sangut:  Ndak.  Orang  saya  ketawa  lain,  nih. 
Kebetulan  yang  menjadi  hakim  Sang  Hanoman. 
Tidak  mau  merima  suap.  Betul-betul  menegakkan 
hukum,  beliau.  Dibagaimanakan  diri  ini?  Kalau  saja 
Sang  Hanoman  bisa  disuap,  baru  barangkali  bisa 
lolos.  Jika  yang  jadi  hakim  adalah  Sang  Hanoman, 
mau  disuap,  pasti  terjegal.  Ya,  mau  diapakan  diri  ini. 
Makanya  saya  bilang,  jangan  senang  menjadikan  diri 
orang  lain.  Jadilah  diri  sendiri.  Mau  diapakan  lagi, 
orang  diri  sudah  salah.  Gimana  caranya  membela 
diri,  sekarang? 

Delem:  Diam,  diam,  diam!  Kesaktian  dipakai.  Pisik 
kuat.  Uang  banyak.  Sekaranglah.  Raksasa  sakti- 
sakti.  Apa  itu  hakim  monyet,  lalap  saja  dia. 

Sangut:  Wah,  sudah  main  keras  jadinya.  Hukum 
tidak  ditegakkan.  Apakah  boleh  main  kekerasan 
seperti  itu?  Mestinya  kan  hukumnya  dijalankan. 
Masyarakat  akan  jadi  saksi.  Media-media  akan 
mengekspos    jalannya    sidang.    Ooo.    Keterlaluan 


241 


might  suddenly  get  sick  tomorrow.    {A  reference  to 

ex-President  Suharto  avoiding  corruption  trials  by 

feigning  illness). 

Delem:  Why  is  that? 

Sangut:    A  lot  of  people  do  that.    When  the  trial 

begins  they  get  sick.  They  make  the  job  difficult.  It's 

difficult  to  ask  questions  when  people  get  sick.  That 

is  a  powerful  way  to  fight  the  law. 

Delem:  How  is  that? 

Sangut:  By  pretending  to  be  sick.   A  little  scab,  and 

they  are  sick.  If  there  is  a  little  scab,  they  say  they  are 

sick.  A  little  headache.  They're  sick. 

Delem:  Isn't  there  a  doctor? 

Sangut:    Doctors.    There  are  many  honest  doctors. 

And  there  are  many  so-called  doctors  that  accept 

bribes. 

Delem:  They  want  a  confirmation  of  their  sickness. 

Sangut:  Not  all  doctors  are  like  that.  I  don't  want 
my  mouth  to  say  the  wrong  thing  again.  I  don't  dare. 
I'm  talking  about  the  'so-called'  doctors.  Isn't  it  like 
that?  What  can  you  do?  People  always  say,  'Satwam 
Eva  Jayate"  Meaning  'The  truth  will  come  out  in  the 
end."  Ohh.  Sooner  or  later.  It's  still  like  that.  That's 
why  Melem  wants  to  become  governor.  If  Melem 
really  became  governor  here  in  Segara  Lungsur, 
and  held  power,  no  law  could  touch  you.  When 
you  leave  office,  the  corruption  commission  will  be 
questioning  you.  In  that  way  they  will  find  Melem. 
When  you  leave  office  Melem  will  be  investigated 
by  the  corruption  commission  (LP3).  That's  why  all 
your  wealth  will  be  audited.  Where  does  this  come 
from?  Where  does  that  come  from?  When  you  are 
holding  office  in  power,  no  law  can  touch  you,  because 
you  yourself  made  the  laws.  When  you  leave  office, 
they  will  find  you.  . . .  That's  why  I  told  you,  you  have 
to  be  brave  enough  to  take  responsibility  for  your 
actions.  Don't  talk  a  lot.  That's  why  I  say,  "Satwam 


mam  nyen. 


Delem:  Kal  keto? 

Sangut:    Liu   keto.    Asal   sidang   geleeem.    Sidang 

gelem.  Bench  nak  sukeh,  sukeh  menginterograsi 

orang  gelem  soalne.  To  ba,  toba  kekuatan  paling 

ampuh  to  ngelawan  hukum. 

Delem:  Sangkal  keto? 

Sangut:  Sangkal  aliha  geleeeem.  Bolenan  geleeem. 

Bolenan  misi,  sakit  bolenan  orange.  Pengeng  gigis 

geleeem. 

Delem:  Kan  ada  dokter. 

Sangut:  Dokter.  Dong  liu  doktere  jujur.  Ada  dokter 

oknum  yang  begitu  kan  keto  dadi  tombok. 

Delem:  Nyak  ba  ya  neken  gelem.  Sing  keto  ya? 

Sangut:  Sing  ja  onya  doktere  keto.  Biin  pelih 
bungute  nyen.  Sing  bani  nyen.  Kan  oknum  raosange, 
oknum.  Kan  keto.  Kel  kudiang?  Cara  omongan 
sesai  to,  Satwam  Eva  Jayate.  Kebenaran  akan  pasti 
menampakan  diri.  Ooo.  Lama  atau  cepet.  Tetep 
to.  Kelan  Melem  nagih  dadi  Gubernur.  Saja  nyen 
Melem  dadi  Gubernur  dini  di  Segara  Lungsur. 
Benengan  Melem  ngisi  jabatan  sing  ada  hukum 
ane  paek.  Di  suba  suwude  tetele  Melem  ken  badan 
pemeriksa  korupsi  to.  Keto,  aliha  ba  Melem.  Di  ba 
suwud  aliha  ba  Melem  ooo.  LP3  to.  Awanin  jani 
telah  kekayaan  Meleme  di  audit.  Ne  dija  tekane- 
ne  dija  tekane?  Dija  kaden  tekane.  Kudiang  awake? 
Dibenengan  ngisi  jabatan,  saja  sing  paek  huMaya 
Cakrue  bani.  Pedidi  ngae  hukume  to.  Ba  suwud 
aliha  benya....  sangkal  cang  ngorang,  bani  berbuat 
bani  bertanggung  jawab.  Bedikan  omongan.  Kal 
cang  ngorang  SaTwam  Eva  Jayate.  Kebenaran  pasti 
akan  menampakan  diri. 


junjungan  Melem,  bisa  sakit  nanti. 


Delem:  Kok  begitu? 

Sangut:     Banyak  yang  begitu.  Asal  sidang,  sakit. 

Sidang,  sakit.  Masalahnya,  orang  emang  sulit,  sulit 

menginterograsi  orang  sakit.  Itu  'dah,  itulah,  jadi 

kekuatan  yang  paling  ampuh  melawan  hukum. 

Delem:  Kenapa  begitu? 

Sangut:     Setiap  dicari,  sakiiiiit.  Panu  sakit.  Kena 

panu,  sakit  panu  dibilang.  Pusing  sedikit,  sakiiit. 

Delem:  Kan  ada  dokter. 

Sangut:  Dokter,  Memangnya  banyak  dokter 
yang  jujur.  Ada  oknum  dokter  yang  begitu...,  bisa 
disuap. 

Delem:  Mau  'dah  menandatangani  surat  sakit. 
Bukankah  begitu? 

Sangut:  Tidaklah  semua  dokter  seperti  itu.  Nanti 
salah  lagi  mulutku.  Takut  aku.  Makanya  dibilang 
oknum.  Gitu  kan?  Mau  dibagaimanakan  lagi.  Bukan 
begitu.  Akan  dibagaimanakan  lagi?  Seperti  sering 
telah  dislogankan  Satwam  Eva  Jayate.  Kebenaran 
akan  pasti  menampakan  diri.  Ooo.  Lama  atau  cepat. 
Tetap  itu.  Makanya  Melem  minta  jadi  Gubernur, 
Melem  sungguh  bisa  jadi  Gubernur  di  sini  di  Segara 
Lungsur.  Selama  Melem  memegang  j  abatan  tidak  ada 
hukum  yang  berani  mendekat.  Ketika  sudah  selesai 
menjabat,  dituntutlah  Melem  oleh  badan  pemeriksa 
korupsi  itu.  Begitu.  Dicarilah  Melem.  Ketika  selesai, 
dicarilah  Melem  ooo.  oleh  LP3.  Makanya  sekarang 
seluruh  kekayaan  Melem  diaudit.  Yang  ini  darimana 
datangnya?  Ini  dari  mana  datangnya?  Tidak  tahu, 
darimana  sih  datangnya?  Mau  bilang  apa  lantas? 
Memang  ketika  masih  memegang  jabatan  tidak 
ada  hukum  yang  berani  mendekat.  Ketika  sudah 
selesai,  dicarilah  kita.  Makanya  saya  kasih  tahu: 
berani  berbuat  berani  bertanggungjawab.  Kurangi 


242 


K 


W  , 


TK: 


I 


•     •?„ 


\ 


\< 


^Mr 


^''>\ 


^-^'^ 


-'y'  '• 


.>*t-? 


^•1 


:'/ 


\ 


■J^-^i 


■^  L'  V 


V 


.TV^ 


•'-•■^ 


'^ 


to*  ^ 


I 


i 


■0 


:•.•" 


«•('a 


*?^^. 


Eva  Jayate'  which  means  "The  truth  always  comes 

out  in  the  end." 

(The  exact  translation  of  the  phrase  is  "Truth  will 

emerge  victorious,"    but  the  servant  gives  his  own 

spin  to  the  translation.) 

Delem:  Okay,  lets  get  moving.    Now  I  will  eat  that 

one.  (the  white  monkey) 

Chorus  sings 

Hanuman:  My  father,  Sugriwa,  king  of  the  monkeys. 

Prepare  to  give  orders  to  all  the  monkeys,  because  a 

horde  of  demons  are  trying  to  kidnap  Lord  Rama. 

Krueeeeek. 

{sound  of  monkeys  arriving) 

Monkey:  kruweeeek.  Ha  ha  aiii. 

Raksasa:  Haaa.  Out  of  my  way,  you  monkeys.  I  am 

looking  for  Rama.   To  kill  him.   To  kill  him.   To  kill 

him.  He  he  he.  Because  he  created  the  disaster  that 

killed  our  former  king.  He  unleashed  chaos. 

Hanuman:  Krueeek.  You  are  full  of  empty  boasting. 

What?  Kill  Rama?  I  will  prevent  his  death.  If  you  are 

truly  a  good  soldier,  fight  against  me,  Hanuman. 

Raksasa:  Damn  you. 
(Hanuman  and  the  demon  fight) 
Dalang:  aih  ahi  ahi. 

Dalang:  laaahh  aoiiik  aik  aik.  Aik  aik  aik.  laaah  ah. 
Weeee,  kruweeek. 

Dalang:  Kruweek  aii. 

{Hanuman  continues  to  fight  with  the  demon) 

Chorus  sings 

Sangut:   Wow.    The  monkeys   are  everywhere.    The 

demons  are  as  big  as  Rangdu  trees.   Yeee,  Nyoman. 

{speaking  to   another  puppet  that  has  arrived,   a 

common  man) 

Nyoman:  What's  going  on? 

Sangut:  Why  have  you  just  arrived? 


Delem:  Nah  dabdabang,  Jani  kaka  ngamah  tooo. 

Sendon:  ... 

Hanoman:  Bapa  kapi  Raja.  Sedeng  yatna  tamtam 
Wore- Wore  sedaya!  Apan  Raksasa  kweh  bipraya 
mengep  Sri  Rama  Badra.  Kruweeeek. 

(Keluar  para  Bojog). 

Bojog:  Kruweeeeek.  Ah  ah  aaah  Aiii. 

Raksasa:       Heeeee      Haaaa.      Minggir-minggir 

kalaganta  Beset!  Maperih   sirang  Regawa.  Pejah 

pwa  ya,  pejah  pwa  ya.  He  he  he.  Mapan  ya  ngawe 

kabancana  mejah  Bapa  rumuhun.  Angulatdara. 

Hanoman:      Kruweeeek.      Cangkah-cumangkah 

kalaganta    mojar.    Apaaa?    Maperih    sirang    Sri 

Regawa?  Aku  pinaka  penelang  patinira.  Yan  tuhu 

kau  prawira  pagpaga  yeki  Maruti. 

Raksasa:  Ah  bobab. 

(Hanoman  dan  Raksasa  bertempur). 

Dalang:  Aih  aih  aih. 

Sendon:  ... 

Dalang:    laaah  aoiik  aik  aik.  Aik  aik  aik  iaaah  ah. 

Weeee.  Kruweeek. 

Sendon:  ... 

Dalang:  Kruweeek  Aiii. 

(Hanoman  terus  berperang  dengan  Raksasa). 

Sendon:  ... 

Sangut:  Aruh  Bojog-bojoge.  Raksasa  aman  punyan 

Kepuhe.  Yeee  Nyoman. 


Nyoman:  Engkeeeen. 
Sangut:  Ngudiang  mara  pesu? 


membual.  Makanya  saya  bilang:  Satwam  Eva  Jayate. 

Kebenaran  pasti  akan  menampakkan  diri. 


Delem:  Ayo  bersiaplah.  Sekarang  aku  makan  ituuu. 

Sendon... 

Hanoman:      Ayahanda     Sugriwa.     Waspadalah. 

Persiapkan  kera-kera  semua!  Karena  tidak  sedikit 

Raksasa  berkemauan   mencelakai   Rama   Dewa. 

Kruweeek. 

(Keluar  para  Bojog) 

Kera:  Kruweeek.  Ah  ah  aaaah  aii. 

Raksasa:   Haaaa.  Minggir-minggir  kamu  kera!  Aku 

mencari  Rama.  Matilah  dia.  Matilah  dia,  mati  dia. 

He  he  he.  karena  dia  membuat  bencana  membunuh 

raja  dahulu.  Membuat  onar. 

Hanoman:  Kruweeeek.    Bicaramu  sembarangan. 

Apaaa?   Mau    membunuh    Rama?    Aku    sebagai 

penghalang  kematiannya.  Kalau  memang  kamu 

perwira  hadapi  ini  Hanoman. 

Raksasa:  Ah  bangsat. 

(Hanoman  dan  Raksasa  bertempur). 

Dalang:  Aih  aih  aih. 

Dalang:  laaaah  aoiiik  aik  aik.  Aik  aik  aik  iaaah  ah. 
Weeee,  Kruweeek. 

Dalang:  Kruweeek  aiii. 

(Hanoman  terus  berperang  dengan  Raksasa). 

Sendon 

Sangut:    Aduh  kera-kera.  Raksasa  sebesar  pohon 
Rangdu.  Yeee  Nyoman, 


Nyoman:  Bagaimana. 
Sangut:  Kenapa  baru  datang? 


245 


Nyoman:   Whether  I  arrive  first  or  last,  I  still  don't 
get  anything.  The  results  are  the  same. 

Sangut:  Where  are  you  going? 

Nyoman:      Nowhere  in  particular.      Just  walking 

around  here. 

Sangut:  You're  not  going  with  us? 

Nyoman:  Where? 

Sangut:  To  battle. 

Nyoman:  Against  who? 

Sangut:  The  monkeys. 

Nyoman:  What  did  the  monkeys  do  wrong? 

Sangut:    The  monkeys  are  the  enemies  of  Sang  Kal 

Maya  Cakru  {the  demon  who  tried  to  impersonate 

Angga  d  a) 

Nyoman:  Should  I  become  the  enemy  of  my  friend's 

enemy?  If  someone  dies,  would  you  order  me  to  die, 

too?  My  head  will  grow  bald  if  I  thought  like  that. 

Sangut:  What  are  you  talking  about? 

Nyoman:  Nothing. 

Sangut:  Those  are  our  orders,  Nyoman. 

Nyoman:  What  kind  of  order  is  that? 

Sangut:  Everyone  should  fight  now.  Small,  young,  old, 

pregnant,  one-eyed,  one-legged,  everyone  should  fight. 


Nyoman:  Maluan  pesu  mase  sing  maan  apa.  Siduri 
patuh. 

Sangut:  Kel  kija  ne? 

Nyoman:  Sing  kija,  Ineng-ineng  dini  gen  ja. 


Sangut:  Ci  sing  bareng? 

Nyoman:  Kija? 

Sangut:  Mesiat! 

Nyoman:  Nyen  lawan? 

Sangut:  Bojoge. 

Nyoman:  Apa  pelih  Bojoge? 

Sangut:   Bojoge   memusuh  ken   Sang   Kala   Maya 

Cakru. 

Nyoman:  Timpale  memusuh  wake  barengan  ci?  To 
nake  mati,  wake  bareng  orin  ci  mati?  Lengar  nase 
yen  berpikir  gen  terus. 

Sangut:  Engken  ne? 

Nyoman:  Engken  sing. 

Sangut:  Nak  perintah  ne  Man. 

Nyoman:  Perintah  engken? 

Sangut:  Kel  mekejang  jani  mesiat.  Cenik,  kelih,  tua, 

bajang,  peceng,  perot,  makejang  mesiat. 


Nyoman:  Walaupun  duluan  datangnya,  toh  juga 

tak  dapat  apa-apaan.  Sama  dengan  yang  datang 

belakangan. 

Sangut:  Mau  kemana  ini? 

Nyoman:  Tidak  kemana,  keluyuran  di  sini  saja. 

Sangut:  Kamu  tidak  ikut? 

Nyoman:  Kemana? 

Sangut:  Berperang! 

Nyoman:  Siapa  yang  dilawan? 

Sangut:  Kera. 

Nyoman:  Apa  salahnya  kera? 

Sangut:   Kera  bermusuhan  dengan  Sang  Kala  Maya 

Cakru. 

Nyoman:  Orang  lain  bermusuhan,  kok  saya  kamu 

ikut  dilibatkan?  Kalau  orang  mati,  kamu  juga  suruh 

saya  ikut  mati?  Botak  kepala  jadinya  kalau  berpikir 

saja  terus. 

Sangut:  Bagaimana  ini? 

Nyoman:  Enggak  apa-apa. 

Sangut:  Orang  ini  perintah,  Man. 

Nyoman:  Perintah  bagaimana? 

Sangut:     Sekarang  ini  semua  orang  ikut  berperang. 

Kecil-besar,  tua-muda,  buta-pincang,  semua  berperang. 


246 


Nyoman:     Small,  young,  old,  pregnant,  one-eyed, 

one-legged.  All  should  fight? 

Sangut:  Follow  them. 

Nyoman:    Should  my  grandfather,  who  is  dying  at 

home,  also  come  to  kill  the  enemy?  How  can  he  kill 

the  enemy  when  he  can  hardly  walk?   Is  your  voice 

coming  out  of  your  mouth,  or  someplace  else? 

Sangut:     I  am  clever,  but  he  is  even  more  clever. 

This  one  is  really  clever.   It's  like  this,  Nyoman.   It's 

like  this,  Nyoman.    I  will  say  a  little  something  to 

Nyoman. 

Nyoman:  You  can  say  a  lot.   It's  okay.   The  world  is 

now  free.  Please  say  as  much  as  you  want. 

Sangut:  Nyoman  doesn't  want  to  follow? 

Nyoman:  Why  should  we  fight  with  all  our  friends? 

Sangut:  Nyoman,  where  are  you  going? 

Nyoman:  I  will  buy  some  Kentucky  Fried  Chicken. 

Sangut:  To  give  to  whom? 

Nyoman:  To  give  to  my  wife.  In  my  opinion  my  wife 

is  number  one.    It  is  difficult  for  me.    I  am  already 

old.  My  wife  is  young. 

Sangut:  So,  your  wife  is  young? 

Nyoman:  She  is  young.  I  was  forty  years  old  when  we 

got  married.  My  wife  was  twenty  when  we  married. 

I  was  so  happy.   When  I  was  fifty,  my  wife  was  thirty. 

When  I  was  sixty,  she  was  forty.  My  wife  wants  sex, 

but  I  am  too  weak. 

Sangut:   Ha  ha  ha.   That's  why  I  told  you,  Nyoman. 

Don't  marry  a  wife  that  is  too  young. 

Nyoman:  She  is  faithful  to  me.  No  one  is  faithful  to 

you. 

Sangut:  So  what  happens  now? 

Nyoman:  Nothing. 

Sangut:    Now  you  just  think  about  satisfying  your 

neighbors.  The  neighbors  are  satisfied. 

Nyoman:  That's  okay.  I  sold  my  wife  on  purpose. 


Nyoman:  Cenik,  kelih,  tua,  bajang,  peceng,  perot. 

Bareng  mesiat? 

Sangut:  Bareng. 

Nyoman:  Kake  jumah  ne  mekere  bangka  to  bareng 

ngematiang  musuh.     Salihte  ngematiang  musuh 

mejalan  kake  to  sing  ngidang.  Ci  bungut  ci  memunyi 

apa  apan  ci  ne? 

Sangut:  Ooo  raga  ba  pahit  ne  biin  pahiten.  Pait  ne 

pait.  Kene  Man  kene  Man.  Gang  bedik  gen  ngomong 

ken  Man. 

Nyoman:   Pang  liu  dadi.   Nak  Gumi  bebas  jani 

ngomong  ba  ci.  Kal  ulung  munyi  nah. 

Sangut:  Man  sing  bareng? 

Nyoman:  Ngudiang  timpale  telah  lawan? 

Sangut:  Man  kija  ne? 

Nyoman:  Kel  meli  kentuky  kud. 

Sangut:  Bang  nyen? 

Nyoman:    Baang   kurenane.    Raga   kan   kurenane 

malu  ucukang.  Raga  keweh  kene  to.  Awak  ba  tua. 

Kurenen  cenik,  bajang  tesan. 

Sangut:  Men  kurenan  Mane  bajang? 

Nyoman:  Bajang  to.  Raga  pidan  meumur  tang  asa. 

Kurenane  meumur  duang  asa  ked  juang.  Lega  atie. 

Raga  meumur  seket,  kurenane  telung  dasa  umurne. 

Raga   nem   dasa  ya  tang   asa.    Kurenane   sedeng 

mekitae  raga  sedeng  woon  ne  to. 

Sangut:  Ha  ha  ha,  Kelan  cang  ngorin  Man.  De  ngalih 

kurenan  bes  cenik. 

Nyoman:  Wak  kegugu.  Gi  sing  kegugu. 

Sangut:  To  kudiang  jani  ne? 

Nyoman:  Kudiange  sing. 

Sangut:   Betek  ngurusin  pisaga  gen  ci.  Pisagane 

betek. 

Nyoman:  Pang  ba.  Jelap  biin  kel  adep  kurenane. 


Nyoman:      Kecil-besar,   tua-muda,   buta-pincang, 

semua  ikut  berperang? 

Sangut:  Ikut. 

Nyoman:  Kakek  yang  jelang  mati  di  rumah,  ikut  dia 

membunuh  musuh?  Jangankan  membunuh  musuh, 

berjalan  saja  kakek  itu  tidak  bisa.  Kamu  mulut  mu, 

bicara  apa  apaan  nih? 

Sangut:   Ooo  Kalau  awak  sudah  merasa  cerdik,  ini 

lebih  cerdik  lagi.  Gerdik  sunguh  cerdik.  Begini  Man, 

begini  Man.  Tak  banyak  saya  bicara  dengan  Man. 

Nyoman:  Banyakpun  boleh.  Sekarang  ini  era  bebas, 

bicara  'dah  semanmu.  Asal  keluar  bicaramu.... 

Sangut:  Man  tidak  ikut? 

Nyoman:  Kenapa  teman  semua  dilawan? 

Sangut:  Man  kemana  ini? 

Nyoman:  Akan  membeli  kentucky  satu. 

Sangut:  Mau  kasih  siapa? 

Nyoman:  Kasih  istriku.  Kalau  saya  kan  istri  yang 

didahulukan.  Saya  sulit  begini.  Saya  sudah  tua.  Istri 

masih  kecil,  muda  lagi. 

Sangut:    Istrimu  muda,  Man? 

Nyoman:   Muda  dia.   Ketika  dulu  saya  berumur 

empat  puluh,  istriku  berumur  dua  puluh,  ketika 

dinikahi.  Amat  senang  hatiku.  Saya  berumur  lima 

puluh,  istriku  berumur  tiga  puluh.  Saya  enam  puluh 

dia  empat  puluh.   Istri  sedang  bernafsunya  saya 

sedang  lesunya. 

Sangut:    Ha  ha  ha,  makanya  saya  beritahu  kamu, 

Man.  Jangan  mencari  istri  terlalu  muda. 

Nyoman:  Saya  dipercaya.  Sedangkan,  kamu  tidak 

dipercaya. 

Sangut:  Lalu  mau  diapaain  sekarang  ini? 

Nyoman:  Enggak  apa,  sih. 

Sangut:    Tak  henti  mengurus  tetangga  saja  kamu. 

Tetangganya  yang  kenyang. 

Nyoman:  Biarlah.  Sengaja  'kan  'ku  jual  istriku. 


247 


Sangut:  Why  is  that? 

Nyoman:     I  hope  my  wife  will  have  many  other 

lovers. 

Sangut:  Why  is  that? 

Nyoman:  If  she  has  ten  lovers,  every  night  she  earns 

a  hundred  thousand  from  each  one.    I  will  get  one 

million  in  cash.  All  I  have  to  do  is  sign. 

Sangut:  Nyoman,  Nyoman. 

Nyoman:  What? 

Sangut:  I  am  telling  you,  Nyoman. 

Nyoman:    Don't  give  me  any  philosophy.    I  already 

eat  philosophy  every  day.    Nobody  is  interested  in 

advice  these  days.    Most  people  are  deaf,  but  they 

can  hear. 

Sangut:  What  is  that  called? 

Nyoman:   If  I  give  them  money,  they  can  hear.   If  I 

give  them  work  to  do,  they  are  deaf.  Now  it  is  always 

like  that.    People  don't  want  to  listen.    I  am  feeling 

only  happiness  now.    You  are  young.    Your  wife  is 

old.    You  are  looking  for  a  grandmother.    So  don't 

try  to  teach  me  any  more.  I  don't  want  your  lessons. 

Tomorrow  your  wife   will  die.   You  hope  your  wife 

will  die  so  you  can  get  another  one.  You  are  looking 

for  the  old  ones.    You  have  shared   all  the  wives  of 

your  friends.    Tliey  can  only  sit  on  your  lap.    You 

should  look  for  one  that  can  do  more.  Now  that  my 

wife  is  young  and  I  am  old,  I  tell  her  to  just  give  me 

a  massage. 

Sangut:  Just  a  massage,  Nyoman? 

Nyoman:  Yes,  that's  it. 

Sangut:  So,  Nyoman  has  never  gone  to  war? 

Nyoman:  Why  fight?  I  love  peace. 

Sangut:  Those  are  our  orders. 

Nyoman:     Are  you  the  leader?     What  will  you 

become? 

Sangut:  The  servant. 


Sangut:  Adi  keto? 

Nyoman:  Wak  madak  pang  kurenan  wake  liu  ngelah 

mitra. 

Sangut:  Adi  keto? 

Nyoman:  Ngelah  mitra  neng  dasa  gen,  sebilang 

peteng  ngenyuhin  pis  padum  satus  tali,  satu  juta 

wak  ngelah  pis.  Wake  sing  neken-neken  gen. 

Sangut:  Man,  Man. 

Nyoman:  Engkeeen? 

Sangut:  Gang  ngorin  Man. 

Nyoman:  De  j  a  wake  baang  tutur.  Wake  ba  ngamah 

tutur  ngelemah.  Sing  ada  nak  dadi  tuturin  jani.  Nak 

ba  liunang  bongol  ningeh. 

Sangut:  Apa  madan  keto? 

Nyoman:  Baang  pis  ningeh.  Baang  gae  bongol.  Jani 
nyen  pang  keto.  Ada  sing  nak  ningeh.  Wak  demen- 
demen  ati  kene  pa.  Ci  wak  truna  kurenan  ci  tua. 
Dadong-dadong  alih  ci.  Sangkal  de  urukane  cang 
biin.  Misi  ngurukan  tara  ditu.  Mani  gen  bangka. 
Madak  mati  se  biin  maan  ngalih.  Ci  ngalih  ne  tua- 
tua  to.  Kelah  abilan  timpale  amah  ci.  Dadi  abin- 
abin  dogen?  Pang  dadi  adokan  nake.  Ooo  jani  api 
nyen  kurenan  ba  siteng.  Wake  ba  tua,  orin  mijit- 
mijit  dogen  to. 


Sangut:  Mijit-mijit  Man? 

Nyoman:  Aa  to. 

Sangut:  Dong  Man  sing  maan  mesiat  nen? 

Nyoman:  Ngudiang  mesiat?  Raga  'kan  cinta  damai. 
Sangut:  Nak  perintahe  keto. 
Nyoman:  Ci  dadi  kelian?  Ci  dadi  apa? 

Sangut:  Parekan! 


Sangut:  Kenapa  begitu? 

Nyoman:  Saya  berharap  istri  saya  banyak  punya 
selingkuhan. 
Sangut:  Kenapa  begitu? 

Nyoman:  Punya  selingkuhan  sepuluh  saja,  setiap 
malam  memberi  uang  seratus  ribu,  satu  juta  saya 
punya  uang.  Saya  'kan  tanda  tangan-tanda  tangan 
saja. 

Sangut:  Man,  Man. 
Nyoman:  Bagaimana? 
Sangut:  Saya  beri  tahu  Man. 

Nyoman:  Jangan  saya  diberi  nasehat.  Makanan 
sehari-hari  saya  nasehat.  Tidak  ada  orang  bisa 
dinasehati  sekarang.  Orang  kebanyakan  sudah  tuli 
mendengar  nasehat. 
Sangut:  Apa  namanya  begitu? 
Nyoman:  Dikasih  uang  dengar.  Dikasi  kerja  jadi 
orang  tuli.  Siapapun  sekarang  begitu.  Tidak  ada 
orang  mendengar.  Awak  hanya  nyenengi  hati 
dewe.  Kamu  muda,  istrimu  tua.  Nenek-nenek  yang 
kamu  cari.  Makanya  jangan  ngajarin  saya  lagi.  Beri 
nasehat  lagi.  Besok  saja  mati  dia.  Semoga  mati,  kan 
dapat  mencari  lagi.  Kamu  itu  mencarinya  yang  tua- 
tua  saja.  Makanya  ladang  orang  kamu  lalap.  Kamu 
kira  hanya  cukup  dipangku  saja?  Agar  bisa  dipakai 
semestinya.  Ooo  sekarang  walaupun  istri  muda, 
saya  sudah  tua,  suruh  memijat-mijat  saja  tuh. 


Sangut:  Memijat-mijat  Man? 

Nyoman:  Ya  itu. 

Sangut:     Lho     emangnya     Man     belum     dapat 

berperang? 

Nyoman:  Kenapa  berperang?  Saya  kan  cinta  damai. 

Sangut:  Orang  perintahnya  begitu. 

Nyoman:  Kamu  kan  jadi  ketua?  Kamu  jadi  apa? 


Sangut:  Abdi! 


248 


■aSteft^rV 


/ 


Y 


Y 


"'^fir'-^ 


(     ^ 


i 


W 


( 


>^"^Vv, 


M= 


/ 


5 


i 


\ 


_  t 


^V' 


Nyoman:  What  is  a  servant?  It  is  just  the  one  who 
eats  whatever  is  close.  He  is  the  one  who  gives  the 
king  clever  ideas  about  how  to  improve  the  world. 
Why  use  them  for  fighting?  Lord  Rama,  you  should 
know,  is  like  a  bumblebee,  Rama  the  Bee. 
Sangut:  How  is  he  like  a  bumblebee? 
Nyoman:  We  must  have  many  teachers  in  our  lives. 
Choosing  which  of  their  examples  to  follow  is  like 
picking  leaves  from  plants  or  fruit  from  trees,  like 
animals  do. 

Sangut:  So  why  do  you  say  that  Rama  is  like  a  bumble 
bee? 

Nyoman:  The  bee,  you  should  know,  lands  on  the 
leaf,  but  the  leaf  does  not  break.  He  lands  on  the 
twig.  The  twig  does  not  break.  He  lands  on  the 
branch.  The  branch  does  not  break.  He  lands  on  the 
flower.  The  flower  does  not  break.  But  he  fertilizes 
the  flower,  helping  the  flower,  renewing  the  life  of 
the  flower.  What  is  the  result? 
Sangut:  What? 

Nyoman:  Honey.  That  is  the  best  result.  That's  how 
the  bee  is  good.  But  you  have  to  be  careful  with 
bees.  Because  if  you  do  something  wrong,  and  play 
around  with  the  beautiful  bee,  you  will  surely  be 
stung  by  it.  Lord  Rama  is  trustworthy.  No  matter 
how  brave  you  are,  you  will  be  stung  by  lord  Rama. 
Lord  Rawana  had  a  lot  of  power.  He  was  killed  by 
Lord  Rama.  He  has  monkey  servants.  But,  you  only 
have  a  big  mouth.  The  snake  is  looking  for  the  stick 
(that  will  beat  him).  You  are  telling  me  to  die,  but 
I  already  understand.  You  will  take  my  wife.  Your 
idea  is  as  shallow  as  a  beetle  hole.  I  have  a  brain  with 
principles.  Like  the  proverb.  Making  a  bridge  over 
a  beetle  hole.  Blowing  to  cool  down  cold  rice.  You 
already  know  that  the  hole  of  the  beetle  is  small,  but 
you  still  build  a  bridge  over  it.  You  already  know 
that  rice  is  cold,  but  you  still  blow  on  it  to  cool  it 
down.  The  point  is  that  we  must  always  be  cautious. 


Nyoman:  Apa  parekne  apa  paek  pang  leklek.  Orin 
nake  Sang  Prabu  peduwegan  nake  ngemelahang 
Gumi.  Leklek  anggon  mesiat.  Sang  Rama  to  pang  ci 
nawang,  nak  cara  Nyawan  Sang  Rama. 

Sangut:  Nyawan  kenken? 

Nyoman:  Raga  kan  harus  hidup  banyak  berguru. 
Memetik  contoh  ken  entik-entikan.  Ken  tumbuh- 
tumbuhan,  ken  binatang. 

Sangut:  Mawinan  Man  ngeraosang  Sang  Rama  cara 
Nyawan? 

Nyoman:  Nyawan  to  pang  ci  nawang,  meencegen  di 
daune.  Daune  kel  sing  patah.  Meencegan  di  carang 
kayune,  carang  kayune  kel  sing  patah.  Meencegan 
di  rantinge,  rantingpun  tak  patah.  Meencegan  di 
bunga,  bunga  tak  rusak.  Bahkan  ngae  penyerbukan. 
Membantu  bunga.  Mengawinkan  bunga.  Nyawane 
apa  hasil  na? 
Sangut:  Apa? 

Nyoman:  Madu.  Kemelahang  hasilange.  Keto 
luwung  nyawane.  Tapi  ci  hati-hati  ken  nyawan.  Ulian 
pelih  baan  ci  ngaba  awak,  dipermainkan  nyawan  ne 
bagus  to.  Sing  buwung  ci  kel  gincere  ken  ya.  Sang 
Rama  mara  polos.  Sang  Rama  nyen  banin  ci,  ci  kel 
gincere  ci.  Sang  Rahwana  pidan  omeh  saktine.  Mati 
mase  ken  Sang  rama,  mepanjak  Bojog.  Salih  cai 
kene  bungut  dogen.  Lelipi  ngalih  legitik  ci  ne.  Ci 
ngorin  wake  mati,  ba  tawang  wake.  Ba  mati  wake. 
Kurenan  wake  ci  nyuwang.  Dakenang  ken  song 
beduda.  Wake  kan  ngelah  otak  neglah  prinsip.  Cara 
senggake,  song  beduda  biin  titinin.  Nasi  dingin  biin 
upinin,  ooo.  Ba  seken  song  beduda  cenik  biin  jin 
titi.  Ba  seken  nasi  dingin  biin  upinin.  Tetuekne  raga 
waspada  to.  Hati-hati  raga.  Kaden  nake,  air  tenang 
menghanyutkan.  Mara  air  tenang  kaden  sing  dalem 
to.  To  cemplungen  ci.  Nyilem  bol  cie. 


Nyoman:  Abdi  apa,  apa  yang  dekat  agar  dimakan. 
Beritahulah  Sang  Raja  agar  mampu  membuat 
Negara  membaik.  Kenapa  kok  dipakai  berperang. 
Agar  kamu  tahu  saja.  Sang  Rama  itu  ibaratnya 
Lebah,  Sang  Rama. 
Sangut:  Lebah  bagaimana? 

Nyoman:  Kita  hidup,  kan  harusnya  banyak  berguru. 
Memetik  contoh  pada  tumbuh-tumbuhan,  mana 
pohon-pohonan,  sama  binatang. 

Sangut:  Sebabnya  Man  bilang  Sang  Rama  seperti 
lebah? 

Nyoman:  Agar  kamu  tahu  saja,  ketika  bertengger  di 
daun,  daunnya  tidak  patah.  Bertengger  di  ranting, 
ranting  tidak  akan  patah.  Bertengger  di  bunga, 
bunga  tak  rusak,  bahkan  membuat  penyerbukan. 
Membantu  bunga.  Mengawinkan  bunga.  Lebah,  apa 
hasilnya? 

Sangut:  Apa? 

Nyoman:  Madu.  Kebaikan  hasilnya.  Itulah 
kebaikannya  lebah.  Tapi  kamu  mesti  hati-hati 
dengan  lebah.  Bila  salah  kamu  membawa  diri, 
dipermainkan  lebah  yang  tampan  itu.  Tidak  urung 
kamu  akan  disengat  olehnya.  Sang  Rama  baru  polos. 
Kalau  kamu  berani  dengan  sang  Rama,  kamu  akan 
disengat  kamu.  Sang  Rahwana  dulu  betapa  saktinya. 
Mati  juga  oleh  Sang  Rama  yang  berlaskarkan  kera. 
Apalagi  kamu  ini  mulut  saja.  Tak  ubahnya  seperti 
ular  mencari  tongkat,  kamu.  Kamu  nyuruh  saya  mati; 
saya  sudah  tahu.  Kalau  aku  sudah  mati,  istriku  kau 
ambil.  Lebih  dangkal  dari  lubang  beduda  akalmu. 
Saya  kan  punya  otak  punya  prinsip.  Seperti  pepatah, 
lubang  beduda  lagi  dijembati.  Nasi  dingin  ditiupin 
lagi,  ooo.  Sudah  pasti  lubang  beduda  itu  kecil,  lagi 
diisi  jembatan.  Sudah  pasti  nasinya  dingin,  lagi 
ditiupi.  Pada  intinya  kita  harus  waspada.  Hati-hati 
kita.  Bukankah  air  tenang  menghanyutkan.  Baru 


251 


We  must  be  careful.  As  people  say,  even  calm  water 

can  carry  you  away.   Don't  think  that  calm  water  is 

not  deep.  If  you  dive  into  it,  you  will  drown. 

Sangut:  Wow,  you  are  clever,  Nyoman. 

Nyoman:   Don't  say  that.   Yesterday,  where  did  you 

go  with  your  head  cloth  flapping? 

Sangut:  There  will  be  a  ceremony  in  the  temple. 

Nyoman:  Where? 

Sangut:  There  will  be  a  Ngenteg  Linggih  ceremony. 

Nyoman:  Where  did  you  go? 

Sangut:  We  needed  someone  from  the  (Hindu)  society 

to  give  a  lesson,  to  give  a  talk  about  enlightenment 

there  in  the  temple. 

Sangut:  I  will  ask  the  Hindu  society  to  come. 

Nyoman:  What  Hindu  society? 

Sangut:  From  the  province. 

Nyoman:  A  or  B? 

Sangut:  Is  there  A  and  B? 

Nyoman:  Now  people  are  talking  about  an  era  of 

democracy.     Not  only  do  we  have  many  political 

parties.  We  also  have  many  Hindu  societies. 

Sangut:  It  is  better  if  there  are  more  to  choose  from. 

They  will  serve  the  people.  Isn't  that  good. 


Nyoman:    Yes,  if  they  want  to  serve  the  people.    If 


Sangut:  Wak  ah,  bih  duweg  Man  ah. 

Nyoman:  Ah  de  ba  orange.  Ibi  ci  kija  meudeng 

kilibiran  to? 

Sangut:  Anu  kel  ada  yadnya  di  Pura. 

Nyoman:  Dija? 

Sangut:  Kel  ada  odalan  Ngenteg  Linggih. 

Nyoman:  Kel  kija  to? 

Sangut:     Anu     nuwur     lembagae     kel     ngemang 

pendidikan  tuwun.  Pang  ngemang  ceramah  ditu. 

Tuwun  to. 

Sangut:  Kel  nangkilang  parisada. 

Nyoman:  Parisada  apa? 

Sangut:  Propinsi. 

Nyoman:  A  apa  B? 

Sangut:  Misi  A  B. 

Nyoman:  Jani  nak  omong,  gumi  demokrasi.  Sing 

partai  gen  liu.  Kayang  parisada  mekacakan. 

Sangut:  Ye  kan  luwung.  Semakin  liu  semakin  banyak 
pilihan,  kel  melayani  umat,  kan  bagus  to. 

Nyoman:  Aa  yen  nyak  melayani  umat.  Ngurusan 


airnya  tenang  dikira  tidak  dalam  itu.  Disitu  kamu 
ceburkan  diri.  Tenggelamlah  kamu. 

Sangut:  Wak  ah,  wah  pintar  Man  ya. 

Nyoman:  Ah  jangan  dah  dibilang.  Kemarin  kamu 

kemana  pakai  udeng  kilibiran  itu? 

Sangut:  Anu  ada  upacara  yadnya  diPura. 

Nyoman:  Dimana? 

Sangut:  Akan  ada  odalan  Ngenteg  Linggih. 

Nyoman:  Akan  kemana  itu? 

Sangut:     Anu  menghaturkan  lembaga  agar  turun 

memberi  pencerahan.  Agar  memberi  ceramah  di 

sana.  Terjun  langsung  tuh. 

Sangut:  Akan  menghadap  parisada. 

Nyoman:  Parisada  apa? 

Sangut:  Propinsi. 

Nyoman:  A  apa  B? 

Sangut:  Berisi  A  B, 

Nyoman:  Orang  bilang  sekarang  ini  era  demokrasi. 

Bukannya    hanya    partai    yang    banyak.    Sampai 

parisadapun  berhamburan. 

Sangut:    Ye  kan  bagus.  Semakin  banyak,  semakin 

banyak  pilihan  untuk  melayani  umat,  kan  bagus 

itu. 

Nyoman:  Ya  kalau  mau  melayani  umat.  Mengurus 


252 


they  only  want  to  serve  themselves,  it's  not  good. 
They  should  first  think  of  taking  care  of  the  public's 
problems.  Now  that  is  the  way. 
Sangut:  How? 

Nyoman:  If  that's  the  way  it  is,  we  could  make  any 
kind  of  Hindu  Society,  a  King  Kong  Hindu  society. 
That's  why  I  told  you  that  the  authorities  must 
be  united  with  the  people  at  the  grassroots.  The 
authorities  should  not  be  separated  from  the  people 
at  the  grassroots.  Who  will  trust  their  voices?  That's 
why  now  they  need  to  prove  themselves  through 
action.  People  rarely  believe  words  alone. 
Sangut:  Why  is  that? 

Nyoman:  Because  their  faith  is  already  gone.  There  is 
a  crisis  of  faith.  There  is  already  too  much  mistrust, 
that's  why  we  find  it  difficult  to  speak.  If  there 
was  good  faith,  people  would  believe  what  is  said. 
Looking  for  faith  is  difficult. 
Sangut:  It  is  difficult  for  me  to  talk  about  it. 
Nyoman:  Why  is  it  difficult?  We  are  talking  about 
real  things.  If  things  are  not  real,  how  can  we  talk 
about  them?  If  we  speak  about  what  is  real,  people 
will  believe  us.  If  it  is  not  real,  then  it  is  just  imaginary. 
People  should  talk  about  what  is  real. 

Sangut:  Yes,  it's  like  this,  Nyoman.  I  will  go  to  pee 
first. 

Nyoman:  (ignoring  Sangut's  attempt  to  leave)  That's 
normal.  I  already  know  that.  And  why  do  I  already 
know  that?  Because  I  already  studied  all  that.  I  have 
studied  about  life  and  death.  There  is  a  proverb  that 
says,  'above  the  sky,  there  is  more  sky.'  No  matter 
how  powerful  you  are,  there  is  always  someone  more 
powerful.  No  matter  how  clever  you  are,  there  is 
always  someone  more  clever.  Things  are  difficult  for 
me  now.  I  am  following  the  model  of  a  goitered  neck 
(delem)  and  a  long  mouth  (sangut).  They  are  the  only 
types  in  my  group.  I  am  going  bald  from  stress.  It  is 


awakne  gen  sing  becus,  salihte  ngurusan  umat 
duwene.  Ah  jani  kene  nak  saliha. 

Sangut:  Engken? 

Nyoman:  Ya  dadi  keto  jak  ngae  lantas  Parisada  versi 
Kingkong  nyen.  Kan  wak  ngorin  cai  di  duwur  malu 
mebesikan  beten  pang  nyak  besik.  De  raga  duwur 
besik,  kauk-kauk  ngorin  timpal  beten  besik.  Dija 
gugu  munyie.  Kelan  jani  laksana  anggon  bukti.  Nak 
laksana  anggon  bukti.  Munyi  nak  langah  nak  ngugu 
munyi. 

Sangut:  Apa  mawinang? 

Nyoman:  Wireh  kepercayaan  ba  tuna.  Krisis 
kepercayaan.  Iraga  suba  sing  percayae  jeg  keweh 
benya  ngomong.  Yen  suba  percayae  apa  orang 
gugue.  Ngalih  percayae  to  ba  keweh. 

Sangut:  Wak  keweh  ngorin  Man. 
Nyoman:  Ngudiang  keweh-keweh.  Ne  ada-ada  gen 
omongan.  Ne  sing  ada  kenkenang  ngomongan? 
Ne  ada-ada  omongan,  gugu  ba.  Sing  ada-ada,  ajak 
menghayal  masyarakate,  nyen  ngugu.  Ne  ada-ada 
gen  omongan. 

Sangut:  Nah-nah,  kene  nen  Man.  Gang  ngenceh 
dik. 

Nyoman:  Biasa  to.  Raga,  raga  nak  ba  tawang  to. 
Mawinangbatawangto.  Babakatpelajahinmakejang 
to.  Mati  kelawan  idupe  ba  pelajahin  to.  Sesenggake, 
langit.,  di  atas  langit  ada  langit.  Menapa  benya  sakti 
nu  ada  nak  saktien.  Menapa  benya  duweg  nu  ada  nak 
duwegan  keto.  Raga  keweh  baane.  Ngajak  model- 
model  baong  gondong,  bungut  lantang.  Ne  keto- 
keto  gen  ajak  maseka.  Iraga  lengar  ne  ulian  setres 
ne.  Asin  setres.  Batak  setres  ngurusin  kurenan  keto. 
Ne  setres  ngitungan  keadaan  keto. 


dirinya  saja  tidak  becus,  apalagi  mengurus  umatnya. 
Ah  sekarang  begini  caranya. 

Sangut:  Bagaimana? 

Nyoman:  Kalau  bisa  begitu  mari  buat  Parisada  versi 

Kingkong  ya.  Makanya  saya  usul  ke  kamu  agar 

di  atas  mesti  bersatu  lebih  dahulu,  agar  dibawah 

juga  mau  bersatu.  Jangan  hanya  teriak  di  atas  satu, 

memberi  tahu  teman  dibawah  bersatu.  Mana  orang 

mau  percaya  pada  omonganmu.  Makanya  sekarang 

ini,  perbuatanlah  yang  dipakai  sebagai  bukti.  Kalau 

hanya  omongan,  jarang  orang  percaya. 

Sangut:  Apa  sebabnya? 

Nyoman:  Karena  kepercayaan  sudah  tipis.  Krisis 

kepercayaan.  Kita  sudah  tidak  sudah  tidak  dipercaya, 

sulit  kita  bicara.  Kalau  sudah  dipercaya,  bilang  apa 

saja  dipercayai.  Mencari  kepercayaan  itulah  yang 

sulit. 

Sangut:  Saya  sulit  memberitahu  Man. 

Nyoman:    Kenapa    sulit-sulit.    Yang    nyata       saja 

diomongkan.       Yang      tidak      ada      bagaimana 

membicarakannya?    Yang    riil    saja    dibicarakan, 

pasti  dipercayai.  Yang  tak  ada...,  diajak  menghayal 

masyarakatnya,   siapa  percaya?   Yang  nyata-nyata 

sajalah  dibicarakan. 

Sangut:    Baik,  baik,  begini  dululah,  Man.  Permisi, 

mau  kencing  dulu. 

Nyoman:  Biasa  itu.  Saya...,  orang  saya  sudah  tahu 

itu.  Sebabnya  saya  tahu?  Sudah  dipelajari  semua  itu. 

Mati  dan  hidup  semua  sudah  dipelajari.  Pepatahnya, 

langit...  di  atas  langit  masih  ada  langit.  Betapapun 

saktinya  awak,  masih  ada  lebih  sakti.  Betapapun  anda 

pintar  masih  ada  yang  lebih  pintar.  Saya  dibuat  sulit. 

Ngajak  model-model  leher  gondok,  mulut  panjang, 

orang-orang  seperti  itu  yang  diajak  bersekutu.  Saya 

ini  botak,  karena  setres.  Pantas  setres.  Kalau  hanya 

setres  mengurus  istri...  ini  setres  mengurus  keadaan 

seperti  itu. 

253 


fitting  that  I  am  stressed,  if  I  am  only  stressed  from 
taking  care  of  my  wife.  But  I  am  stressed  because  I 
am  thinking  about  the  situation  of  the  country. 

Sang  Maya  Cakru  (the  demon  who  imitated  Anggada) 
has  been  talking  about  eliminating  corruption  for  a 
long  time.  It  is  true  that  if  we  talk  about  god,  we  are 
a  religious  country  (we  believe  in  god).  If  we  talk 
about  humanity,  we  are  a  most  humane  country.  If 
we  talk  about  unity,  we  defend  our  unity.  People's 
democracy  is  very  much  alive.  There  is  social  justice 
for  all  the  people  in  Segara  Lungsur.  (home  of 
demons).  But  there  is  corruption  in  the  highest  places. 
What  is  the  root  of  the  problem?  Who  should  I  ask? 
People  can  keep  talking  about  corruption  until  they 
drown...  they  say  they  will  eliminate  corruption... 
eliminate  corruption.  And  then  all  of  a  sudden  the 
ones  talking  get  corrupt.  They  get  involved  in  the 
corruption  cases...  so  who  can  we  model  ourselves 
after?  We  have  already  studied  the  situation  abroad. 
Money  is  spent  but  nothing  changes. 

We  study  every  day,  everywhere. 

We  study  in  other  countries.  Only  when  we  have  to. 

Oh,  I  am  saying  too  many  unkind  things.  Someone 

will  punch  me  in  the  mouth. 

People  will  think  I  am  drunk.    If  people  don  t  get 

paid  off,  they  will  talk.  If  they  get  paid,  they  will  be 

quiet.  I  already  know  that.  I  already  read  about  that 

before.  That's  the  truth. 

There  is  a  lot  of  talk  but  no  action.  That's  the  way  it 

is.   It's  normal.   The  world  is  a  difficult  place.   They 

want  me  to  go  to  war,  but  I  am  having  a  difficult 

time  now.    It's  better  to  stand  in  the  back.    If  there 

is  victory,  I  will  follow.  If  we  lose,  I  will  run.  I  don't 

want  to  lose.  I  only  want  to  win.  Why  should  I  join 

the  losing  side.  I  have  to  win. 


Sang  Maya  Cakru  uli  pidan  ngeraosang  brantas 
korupsi,  brantas  korupsi  to.  Ba  seken  yen  raosang 
berkeTuhanan  iraga,  Gumi  berkeTuhanan. 
Yen  raosang  Kemanusiaan  iraga,  Gumi  paling 
berkemanusiaan.  Yen  raosang  persatuan  iraga,  Gumi 
mempertahankan  kesatuan.  Demokrasi  kerakyatan 
paling  idup.  Keadilan  sosial  bagi  seluruh  rakyat 
Segara  Lungsur.  Kenyataan  korupsi  paling  sangete 
keto.  Dijane  konslet?  Nyen  takoning?  Kanti  nyilem 
ngorang  brantas  korupsi,  brantas  korupsi.  Tau- 
tan ya  lantas  kena  korupsi  to.  Kena  terlibat  kasus 
korupsi...  kij  a  j  ani  matempa. 


Be  melajah  ke  luar  negeri  ba  sesai.  Pis  kelah 
perobahan  sing  ada  keto.  Melajah  ba  ngelemah. 
Mileh  melajah.  Mempelajari  negara  orang  lain. 
Di  perlu  gen.  Aduh  bes  liu  ngorang  jelek,  uguge 
bungute  nyen.  Aeng  jelema  mabuk  ne  malu  to,  keto 
ya.  Jelema  sing  maan  uyut.  Te  gaarang  ya  maan 
nengil.  Ba  tawang.  Daya  paca  uling  malu.  Ba  seken 
keto.  Baang  ya  ngomong,  Bungutne  ya  ngomong 
tengilang  ya  awakne.  Ba  seken  keto  to.  Ba  biasa. 
Keweh  ba  Gumie.  Iraga  tes  ajake  mesiat  jani  keweh 
to.  Aden  ba  duri-duri.  Yen  menang  barengan.  Yen 
kalah  kel  pelaibang  awake  keto.  Raga  tara  pa  nyak 
kalah.  Raga  nagih  menang  gen.  Ngudiang  ngitungan 
komplotan  baang  di  kalahe.  Harus  menang  keto. 


Sang  Maya  Cakru  sejak  dulu  bilang  memberantas 
korupsi,  berantas  korupsi.  Sudah  pastikah  kita 
seperti  yang  dikatakan  berketuhanan,  seperti  negara 
berketuhanan.  Kalau  dikatakan  kemanusiaan 
kita.  Negara  kita  paling  berkemanusiaan.  Kalau 
dikatakan  persatuan  kita.  Negara  mempertahankan 
kesatuan.  Demokrasi  kerakyatan  paling  hidup. 
Keadilan  sosial  bagi  seluruh  rakyat  Segara  Lungsur. 
Kenyataan  korupsi  paling  tinggi,  begitu.  Dimanakah 
konsletnya?  Siapa  ditanyakan?  Sampai-sampai 
tenggelam  bilangnya  berantas  korupsi,  berantas 
korupsi.  Tahu-tahu  dia  lantas  kena  korupsi  itu.  Kena 
terlibat  kasus  korupsi... siapa  yang  bisa  dijadikan 
panutan? 


Belajar  ke  luar  negeri  sudah  sering.  Uang  habis 
perubahan  tidak  begitu.  Belajar  sudah  setiap 
hari.  Kemana-mana  belajar.  Mempelajari  negara 
orang  lain.  Manakala  perlunya  saja...  aduh  terlalu 
banyak  bilang  jelek,  ditonjok  mulutku  nanti.  Wah 
manusia  mabuk  ini,  barangkali  begitu  katanya,  ya. 
Orang  kalau  tak  dapat,  ribut.  Coba  kalau  dia  dapat, 
diam.  Sudah  tahu  seperti  itu.  Akal  sudah  terbaca 
sebelumnya.  Sudah  pasti  begitu.  Berikan  dia  bicara. 
Mulutnya  dia  bicara.  Lebih  baik  diam  sajalah.  Sudah 
pasti  begitu.  Sudah  biasa.  Keadaan  Negara  emang 
sulit.  Saya  diajak  ikut  berperang  sekarang,  sulit  itu. 
Lebih  baik  dibelakang-dibelakang  sajalah.  Kalau 
menang  ikut.  Kalau  kalah  'kan  bisa  melarikan  diri, 
begitu.  Awak  'kan  tak  mau  kalah.  Awak  maunya 
menang  saja.  Kenapa  mesti  bersekongkol  dengan 


254 


yang  kalah.  Harus  menang,  tuh. 


Chorus  sings 

Hanuman:   Krweeee.  (he  hfts  Sangut  flying  into  the 

air) 

Sangut:  Ohhhhhhh. 

Sangut:  That  was  a  free  airplane  ride.  I  am  lucky  not 

to  have  been  thrown  down  on  the  beach.    He  flew 

me  up  into  the  air.  And  then  he  brought  me  down.  I 

didn't  have  to  pay  anything.  My  fate  is  good.  That's 

why  if  I  stay  in  the  right  place,  I  will  get  the  right 

things.  I  don't  have  to  buy  a  ticket.  No  passport.  He 

just  swept  me  away. 

Delem:  Who  is  that,  Sangut? 

Sangut:  The  white  monkey. 

Delem:  Who  is  that? 

Sangut:  Hanuman. 

Delem:  What  happened? 

Sangut:  He  took  me  flying. 

Delemn:  How  could  that  be? 

Sangut:  The  monkey  has  no  courage. 

Delem:  What  did  you  do  to  the  monkey? 

Sangut:  I  told  him  off,  just  a  little  and  he  was  afraid. 

I  know  how  to  kill  monkeys. 

Delem:    (to  Hanuman)    Come  down,  come  down. 

Fly  me  a  little  too. 

Sangut:  Look,  here  he  comes.  Flyyyyyying.  He's  going 


Sendon:  ... 

Hanoman:       Krweeeeek.       (membawa       Sangut 

terbang). 

Sangut:  Adaaah  aduuuh. 

Sangut:  Kal  ada  jet  gratis  ne.  Aget  sing  entungan 

di  pasihe.  Jemake  raga  kebere  menek  to.  Biin  aba 

tuwun.  Keteng  sing  mayahe.  Nak  nasib  mula  bagus. 

Angkal  raga  yen  raga  berpijak  pada  sesuatu  yang 

benar,  pasti  teka  kebenarane.  Meli  tiket  sing  to. 

Pasport  sing.  Pelaibange  raga. 

Delem:  Nyen  to  Ngut? 

Sangut:  Bojog  putih. 

Delem:  Nyen  to? 

Sangut:  Hanoman. 

Delem:  Engken? 

Sangut:  Keberange  san. 

Delem:  Ooo,  kal  ngidang? 

Sangut:  Ah,  Bojog  nyali  cenik. 

Delem:  Kudiang  ci  Bojoge? 

Sangut:  Dengkik  gigis  engkeb  ya.  Kan  ba  matin 

Bojog  ba  tawang  cang. 

Delem:  Ih  tuwun,  tuwun,  tuwun.  Keberang  jep!  .  .  . 

Sangut:   Ooo  teka,  jemake  beeeeer.   Biin  jemake 


Sendon.... 

Hanoman:  Krweeeeek.  (membawa  Sangut  terbang) 

Sangut:  Adaaah  aduuuh. 

Sangut:  Kok  ada  jet  gratis  ini.  Syukur  tidak  dibuang 
di  laut.  Awak  diambil,  diterbangkan  naik,  kemudian 
lagi  dibawa  turun.  Sepeserpun  tidak  bayar.  Orang 
nasib  memang  bagus.  Itu  sebabnyakalaukitaberpijak 
pada  kebenaran,  pasti  kebenaran  itu  datang.  Beli 
tiketpun  tidak.  Pasportpun  tidak.  Dilarikan  kita. 

Delem:  Siapa  itu  Ngut? 

Sangut:  Kera  putih. 

Delem:  Siapa  itu? 

Sangut:  Hanoman. 

Delem:  Bagaimana? 

Sangut:  Diterbangkan  tadi. 

Delem:  Ooo,  kok  bisa? 

Sangut:  Ah,  kera  bernyali  kecil. 

Delem:  Kau  apakan  keranya? 

Sangut:  Digertak  sedikit  saja,  diam  dia.  Bagaimana 

matinya  kera,  kan  saya  sudah  tahu. 

Delem:  Ih  turun  turun  turun.  Terbangkan  sebentar! 


Sangut:    Ooo  datang,  diambil  beeeer.  Lagi  diambil 


255 


to  take  you  flyyyyyying.  That's  what  will  happen. 
Delem:  Oh,  your  voice  is  too  soft.  My  voice  is  bigger. 
Hey,  monkey,  Hanoman,  Hanoman,  come  down, 
come  down,  come  down.   I'm  gonna  beat  you  up... 
come  down  here. 
{Hanuman  snatches  Delem  and  flies  away  with  him) 

Sangut:  Gliding  in  the  air.  Higher,  flying,  floating 
into  the  air. 

Hanoman:  Kruweeeek. 
Sangut:  Baaa  heee  hhe. 
Hanoman:  Kruweeeeek. 

Sangut:  What's  going  on?  Delem,  Delem,  what's  up 
with  this?  Where's  your  ticket?  Oh  man,  oh  man, 
oh  man.  Everything's  going  wrong.  Oh  my  god.  I 
feel  sorry  for  Melem.  If  the  monkey  comes,  he  will 
eat  him.  What  are  you  going  to  do  then?  I  feel  sorry 
for  my  brother.  If  he's  gone,  what  will  I  do  without 
him.  I'll  keep  watch  behind  the  rocks.  Where  the 
monkey  can't  see.  Oh,  my  god,  Delem,  the  monkey 
is  coming.  Lem! 

{Delem  is  surprised  and  jumps  up) 

Delem:  Ha,  Ha,  ha.  You  big-lipped  dog,  you  . . .  He's  a 

tricky  character.  Gusti  Patih,  go  fight! 

Chorus  sings 

[The  giant  demon  Raksasas  fight  with  the  monkeys) 

Delem:  Attaaack. 

{The puppets  Cenk  and  Blonk  enter) 

Cenk:  Why  are  your  lips  folded  over  like  that? 

Blonk:  You  are  so  mean.    You  only  want  to  settle 

scores  and  insult  me. 

Cenk:  You  don't  know  what  you're  saying.  Your  eyes 

are  closed  and  your  feet  are  monstrous.  And  besides 

that,  you're  as  dense  as  stone.    Because  you  have  a 

negative  attitude. 

Blonk:  Why  negative? 

Cenk:  I  had  a  bad  dream  last  night. 


beeeerrrrr.  A  keto. 

Delem:  Ah  munyin  ci  cenik.  Munyin  kaka  mara 

gede.  Hai  Bojog.  Hanoman,  Hanoman,  Hanoman, 

tuwun  tuwun  tuwun!  Kel  cak-cak  nas  ne  nyen... 

tuwuun! 

(Hanoman    menyambar    Delem    dan    membawa 

terbang). 

Sangut:    Melayang-layang    di    udara.    Tegehang, 

keberang.  leg  menambung. 

Hanoman:  kruweeeek. 

Sangut:  Baaaaa  he  he. 

Hanoman:  Kruweeeeek. 

Sangut:   Kenken.   Kenkene?   Lem   Lem,  kenkene? 

Tikete  ken?  Pih  nyem,  nyem,  nyem.  Onya  nyem 

nah...Onya  nyem  ne  to.  Imih  ratu.  Aruh  pedalem 

Melem.  Yen  teka  Bojoge  amahe.  Kel  kudiang  awake 

keto.  Aduh  ulian  pedalem  nyama.  Ngelah  nyema 

ya  gen  sik.  Uang  ne  nyen,  kudiang  awake  sing  ada 

Melem  nyen.  Jaga  mase  baan  batu.  Yen  teka  Bojoge, 

pang  sing  tepuke  to.  Aduh.  Lem  Bojoge  teka  Lem! 


(Delem  terkejut  dan  bangun). 

Delem:  Hah  hah  hah.  Cicing  Men  Jantuk  to. . . Dayan 

jelema  ne.  Gusti  Patih  werangan! 

Sendon:  .  . 

(Siat  para  Raksasa  dengan  para  kera). 

Delem:  Lawaaaan. 

(Keluar  wayang  Cenk-Blonk). 

Cenk:  Adi  mepeliten  bungute. 

Blonk:  Ci  meripit.  Ci  ngitungan  monto  wake  jekjek 

ci. 

Cenk:  Orang  sing  nepukan  unduk.  Mata  ngidem 

batis  mekale  to.  Ba  keto  to  to  to  to,  Ci  batu  ngenen. 

Uli  pirasat  ba  jelek  ne. 


Blonk:  Ngudiang  jelek? 
Cenk:  Ngipi  ibi  sanja  jelek  ne. 


beeer.  A  begitu. 

Delem:  Ah  gerta  Maya  Cakruu  kecil.  Gertakku  baru 

besar.   Hai  kera.   Hanoman  Hanoman  Hanoman, 

turun  turun  turun!  Akan  dicincang  kamu  nanti... 

turuuuun! 

(Hanoman    menyambar    Delem    dan    membawa 

terbang). 

Sangut:       Melayang-layang    di    udara.    Tinggikan 

terbangkan.  Sampai  melambung 

Hanoman:  kruweeeek. 

Sangut:  Baaa  he  he. 

Hanoman:  Kruweeeeek. 

Sangut:        Bagaimana.     Bagaimana?    Lem    Lem, 

bagaimana  nih?     Tiketnya  mana?     Wah  dingin, 

dingin,  dingin,  semua  dingin  ya... semua  dingin 

ini  ya.  Oh  Tuhan,  aduh  kasihan  Melem.  Kalau  ada 

kera  datang,  pasti  dimakan.  Mau  diapain    dirinya 

ini.  Aduh,  karena  kasihan  saja  ama  saudara.  Punya 

saudara  dia  saja  satu.  Kalau  ini  hilang,  bagaimanakan 

diriku  ini,  tanpa  Melem  nanti.  Jaga  jugalah  dengan 

batu.  Kalau-kalau  kera  datang,  agar  tidak  dilihat. 

Aduh.  Lem  keranya  datang.  Lem! 

(Delem  terkejut  dan  bangun). 

Delem:   Hah   hah   hah.   Anjing   ciancuk  kamu... 

Akalnya..  Gusti  Patih  balaskan! 

Sendon.... 

(Siat  para  Raksasa  dengan  para  kera). 

Delem:  Lawaaaan. 

(Keluar  wayang  Cenk-Blonk). 

Cenk:  Kenapa  berbalik  mulutnya. 

Blonk:  Kamu  pelit.  Kamu  tak  pakai  perhitungan. 

Gua  lu  injak-injak. 

Cenk:  Gua  bilang  tak  tahu  apa-apa?  Mata  terpejam 

kaki  sembrawut  itu.  Sudah  begitu  itu  itu  itu  itu,  kamu 

kena  batunya.  Dari  pirasat  saja  sudah  jelek  ini. 

Blonk:  Kenapa  jelek? 

Cenk:  Impian  kemarin  malam,  jelek  ini. 


257 


Blonk:  What  kind  of  dream? 

Cenk:  Last  night  I  dreamed  that  a  snake  bit  me. 

Blonk:  If  you  dreamed  you  were  bitten  by  a  snake, 

that  is  good. 

Cenk:  Why? 

Blonk:  Good  luck  will  come. 

Cenk:  That's  good  luck? 

Blonk:  Good  luck.   If  you're  bit  by  a  snake  it's  good 

luck.  What  kind  of  snake? 

Cenk:  A  little  garden  snake. 

Blonk:  Ah,  that  is  good  luck,  but  just  a  little,  you 

know. 

Cenk:  Why  just  a  little. 

Blonk:  It's  just  a  garden  snake. 

Cenk:  Well,  first  the  garden  snake.  It  bit  me  like  that. 

Tut.  Then  later,  a  snake  the  size  of  a  sago  palm  tree 

came.  Tuuuuut.  Like  that.  (It  bit  me). 

Blonk:  Ah,  a  big  one. 

Cenk:  Is  that  big? 

Blonk:  It's  big.  Where  did  it  bite  you? 

Cenk:  My  hand. 

Blonk:  Ah,  that's  little. 

Cenk:  Why  little? 

Blonk:  If  a  snake  bites  your  hand,  that  means  a  little 

luck.  If  it  bites  your  foot,  then  it's  a  lot. 


Blonk:  Ngipi  apa? 

Cenk:  Ngipi  tegut  lipi  ibi  sanja. 

Blonk:  Yen  ngipi  tegut  lipi  luwuuung. 

Cenk:  Adi  keto? 

Blonk:  Rejeki  kel  teka! 

Cenk:  Rejeki  to? 

Blonk:  Rejeki.  Yen  tegut  lipi  rejeki.  Lipi  apa? 

Cenk:  Lipi  jali. 

Blonk:  Ah  ada  rejeki  tapi  cenik.  Keto. 

Cenk:  Ngudiang  Cenik? 

Blonk:  Lipi  jali  to. 

Cenk:  Nah  malu  lipi  jali.  Tot  ketoange.  Benjepne 

teka  lipi  aman  punyan  jakae.  Toooot  ketoange. 

Blonk:  Ah  gedeee. 

Cenk:  Gede  to? 

Blonk:  Gedeee.  Apan  ci  cegute? 

Cenk:  Limae. 

Blonk:  Ah  Ceniiik. 

Cenk:  Ngudiang  Cenik? 

Blonk:  Yen  lima  tegut  lipi,  Cenik.  Yen  batis  tegut 

ken  lipi  mara  gede. 


Blonk:  Bermimpi  apa? 

Cenk:  Bermimpi  digigit  ular  kemarin  malam. 

Blonk:  Kalau  bermimpi  digigit  ular  bagus. 

Cenk:  Kok  begitu? 

Blonk:  Rejeki  akan  datang. 

Cenk:  Rejeki  apa? 

Blonk:  Rejeki.  Kalau  digigit  ular  rejeki.  Ular  apa? 

Cenk:  Ular  jail. 

Blonk:  Ah  ada  rejeki,  tapi  kecil.  Begitu. 

Cenk:  Kenapa  kecil? 

Blonk:  Ular  jail  itu. 

Cenk:  Ya  pertamanya  ular  jail.  Tot  dibegitukan. 

Sebentarnya   datang   ular   sebesar   pohon   henau. 

Toooot  digitukan. 

Blonk:  Ah  besaaaar. 

Cenk:  Besar  itu? 

Blonk:  Besar.  Apamu  yang  digigit? 

Cenk:  Tanganku. 

Blonk:  Ah  keciiiil. 

Cenk:  Kenapa  kecil? 

Blonk:  Kalau  tangan  digigit  ular,  kecil.  Kalau  kaki 

digigit  ular  baru  besar. 


258 


Cenk:  First  it  bit  my  hand.  Then  it  bit  my  foot. 

Blonk:  Biiiiig.  Very  big.  Just  calm  down.  Did  blood 
come  out? 

Cenk:  Yes,  a  few  drops. 
Blonk:  Ah,  just  a  little  then. 
Cenk:  Why  a  little? 
Blonk:  A  few  drops. 

Cenk:  First  it  was  a  few  drops.  Then  two  bucket- 
fulls. 

Blonk:  Biiiig. 

Cenk:  It's  big.  Then  it's  little.  Then  it's  big.  Tlien  it's 
little  again. 

Blonk:  Why  are  you  acting  like  that?  We  can  work  it 
out.  What  time  was  your  dream? 
Cenk:  Twelve  o'clock. 

Blonk:  How  do  you  know  what  time  it  was  when 
you're  dreaming?  Do  you  dream  with  your  eyes 
open? 

Cenk:  I  was  dreaming.  Then  I  woke  up  and  saw  the 
clock.  It  was  twelve. 

Blonk:  Oh,  I  see.  I  thought  you  were  dreaming  with 
your  eyes  open. 

Cenk:  You  don't  know  anything.    That's  bad  luck. 
Really  really  bad  luck. 
Blonk:  Why  bad  luck? 

Cenk:  Because  tomorrow  I  will  go  to  the  court. 
Blonk:  Why? 

Cenk:  Because  I'm  working  together  with  a  group 
and  we  split  it  six  ways. 
Blonk:  I  see.  Did  you  get  your  share? 
Cenk:  Oh,  a  lot.    They  say  tomorrow  Mr.  Sunshine 
will  go  into  battle. 
Blonk:  Who  said  that? 

Cenk:  Tomorrow  Pak  Gunarsa  will  press  charges 
against  me. 

Blonk:  Why  will  he  press  charges? 
Cenk:  Because  I  made  copies. 


Cenk:  Malu  lima,  lantas  keto  batise  tegute. 

Blonk:  Gedeee.  Gede  gede,  tenang  gen  ci.  Pesu 

getih? 

Cenk:  Pesu  mekecrit. 

Blonk:  Ah  Cenik. 

Cenk:  Ngudiang  Cenik? 

Blonk:  Mekecrit. 

Cenk:  Nak  malu  mekecrit.  Ba  keto  duang  ember 

ada. 

Blonk:  Gedeeee. 

Cenk:  Biin  gede  biin  Cenik,  biin  gede  biin  Cenik. 

Blonk:  Ci  keto  wak  dadi  atur.  Jam  kuda  ngipi? 

Cenk:  Jam  roras. 

Blonk:  Adi  ngipi  nawang  jam.  Sambilang  kedat 

ngipi? 

Cenk:  Cang  ngipi,  enten  tes  jame  jam  roras. 

Blonk:  Ooo  keto.  Kaden  wak  ci  sambilang  ngipi 

kedat  kaden... 

Cenk:  Apa  sing  tawang  ci  ne.  Nasib  jelek  ne.  Jelek 

sajan  nasib  ne. 

Blonk:  Ngudiang  jelek? 

Cenk:  Kena,  biin  mani  saya  kel  sidang  ne. 

Blonk:  Adi  keto? 

Cenk:  Ba  bakat  bareng  maseka,  dum  ajak  nem  to. 

Blonk:  Ooo  keto?  Maan  ci  duman? 

Cenk:  Ooo  liu.  Orin  biin  mani  Sang  Matahari  kel 

membrontak  mani  ne. 

Blonk:  Nyen  keto? 

Cenk:  Pak  Gunarsa  biin  mani  ne.  Kel  nuntut. 

Blonk:  Ngudiang  nuntut? 
Cenk:  Bakat  niru  to. 


Cenk:  Pertamanya  tangan,  kemudian  lantas  kaki 

digigit. 

Blonk:    Besaaar.    besar-besar,    tenang   saja   kamu. 

Keluar  darah? 

Cenk:  Keluar  sedikit. 

Blonk:  Ah  kecil. 

Cenk:  Kenapa  kecil? 

Blonk:  Sedikit. 

Cenk:  Ya  pertama  sedikit.  Setelah  itu  ada  barang 

dua  ember. 

Blonk:  Besaaaar. 

Cenk:  Lagi  besar,  lagi  kecil,  lagi  besar  lagi  kecil. 

Blonk:  Kamu  begitu  orang  bisa  diatur.  Jam  berapa 

bermimpi? 

Cenk:  Jam  dua  belas. 

Blonk:  Kenapa  bermimpi  tahu  jam?  Sambil  buka 

mata  bermimpi? 

Cenk:  Saya  bermimpi,  lantas  bangun.  Jamnya  jam 

dua  belas. 

Blonk:  Ooo  begitu.  Kukira  sambil  bermimpi  buka 

mata  kira... 

Cenk:  Apa  tidak  tahu  kamu  ini.  Nasib  jelek  ini.  Jelek 

sekali  nasib  ini. 

Blonk:  Kenapa  jelek? 

Cenk:  Kena,  besok  saya  akan  sidang  ini. 

Blonk:  Kenapa  begitu? 

Cenk:  Sudah  terlanjur  ikut  bersekongkol,  dibagi 

berenam  itu. 

Blonk:  Ooo  begitu?  Dapatkah  kamu  bagian? 

Cenk:  Ooo  banyak.  Ku  bilang  besok  sang  Matahari 

akan  memberontak  besok  ini. 

Blonk:  Siapa  bilang? 

Cenk:  Pak  Gunarsa  besok  ini.  Akan  menuntut. 

Blonk:  Kenapa  menuntut? 
Cenk:  Karena  meniru  itu. 


259 


Blonk:  That's  why  I  told  you  before,  if  you  can't  paint, 

why  do  you  paint. 

Cenk:  Oh,  I  already  bought  it. 

Blonk:  Bought  what? 

Cenk:  The  painting.  I  already  bought  it.  That  means 

I  have  the  copyright. 

Blonk:  Well,  no.    You  have  the  painting.    But  the 

copyright  still  belongs  to  the  painter.    If  you  sell  it 

again,  still  the  one  who  made  it  has  the  copyright. 


Cenk:  So  that's  how  it  is? 

Blonk:  Yeah. 

Cenk:  Now  you  have  a  big  profit.   Profit  is  the  most 

important  thing. 

Blonk:  Ah,  you  only  think  about  the  profit.    That 

means   you   earn   happiness   from    other   people's 

suffering,  is  that  it? 

Cenk:  Yes,  that's  right. 

Blonk:  That's  right. 

Cenk:  Right.  That's  why  you  clap  your  hands. 

Blonk:  Oh,  applause  is  not  so  important  for  me. 

Everyone  knows  that.    After  they  clap  their  hands, 

I  won't  be  shy  about  asking  for  money.  If  they  don't 

clap  for  me,  I  won't  dare  ask  for  money,  (from  the 

host) 

Cenk:  Is  it  good  to  clap  your  hands? 

Blonk:  It's  good.   But  if  you  clap  your  hands  in  an 

alley,  a  dog  will  chase  you.    Actually  it  depends  on 

the  context,  because  clapping  your  hands  is  based  on 

Desa  Kala  Patra  (Time,  Place,  and  Situation).    The 

people    here  are  all  intellectuals.    All  of  them  are 

educated.    There  is  no  use  bringing  salt  to  the  sea. 

Everybody  already  understands. 

Cenk:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Blonk:  Everybody  understands.  That's  because  our 

society's  education  has  been  improved.  Therefore, 

we  have  to  look  inside  ourselves.  Mulat  Sarira  (self 


Blonk:    Makane   wak   ngorin   cai   men   sing   bisa 

ngambar,  dadi  ngambar. 

Cenk:  Ooo  raga  kan  ba  meli. 

Blonk:  MeH  apa? 

Cenk:  Gambaran  ba,  ba  beli  raga  to.  Kan  raga  ne 

ngelah  hak  to. 

Blonk:   Ah   sing.   Gambarne   to   ci  ja  ba   ngelah. 

Hak  ciptane  tetep  yang  melukis  ngelah  to.  Ci  biin 

ngadep.  Ya  biin  ngadep.  Tetep  ya  ne  ngae  ngelah 

hak  cipta  to. 

Cenk:  Keto  to? 

Blonk:  Aa. 

Cenk:     Jani     liu     untungne.     Kan     keuntungan 

terutama. 

Blonk:  Ah  ci  matan  ci  untung  gen.  Ne  madan  ci 

bahagia  di  atas  penderitaan  orang  lain,  keto. 

Cenk:  Beneh  keto? 

Blonk:  Keto. 

Cenk:  Beneh  tepuk  tangan  ci. 

Blonk:  Ah  wake  kan  sing  penting  tepuk  tangan.  Nak 

pada  ngerti  onya.  Be'  nyak  tepuk  tangan,  enjepan 

juari  ngidih  pipis  apa.  Yen  sing  ada  tepuk  tangan 

berek  sing  juari  ngidih  pipis  wake.  Nganteg  jumah 

bengong. 

Cenk:  Luwung  tepuk  tangan  to? 

Blonk:  Luwung.  Kalo  ibi  tepuk  tangan  di  rurunge 

kepunge   ken   cicinge.   Nak   nganutin   Desa   Kala 

Patra  mase  tepuk  tangane.  Masayarakat  dini  kan 

nak  masyarakat  intelek-intelek  onya  to.  Makejang 

berpendidikan  to.  Wake  kan  tan  bina  ngaba  uyah 

ke  pasihe.  Ba  onyang  pada  ngerti  keto. 

Cenk:  Ooo  keto? 

Blonk:  Ngerti  makejang.  Makane  masyarakat  raga 
to  pendidikane  sudah  maju.  Makane  marilah  iraga 
pada  saling  introspeksi  diri.  Mulat  sarira.  Belajar 


Blonk:  Makanya  saya  menyuruh  kamu  kalau  tidak 

bisa  menggambar,  kenapa  menggambar. 

Cenk:  Ooo  saya  kan  sudah  beli. 

Blonk:  Beli  apa? 

Cenk:  Lukisannya,  sudah...,  sudah  kubeli,  itu.  Kan 

saya  yang  punya  hak  itu. 

Blonk:  Ah  tidak.  Lukisan  itu  kamu  sudah  punya.  Hak 

ciptanya  itu  tetap  punya  yang  melukis.  Kamu  lagi 

menjual.  Ya  lagi  menjual.  Tetaplah  yang  membuat 

punya  hak  ciptanya  itu. 

Cenk:  Begitu  itu? 

Blonk:  Ya. 

Cenk:      Sekarang     untungannya     banyak.      Kan 

keuntungan  terutama. 

Blonk:  Ah  kamu  matamu  untung  saja.  Ini  namanya 

kamu    bahagia    diatas    penderitaan    orang    lain, 

begitu. 

Cenk:  Benar  begitu? 

Blonk:  Begitu. 

Cenk:  Pantas  tepuk  tangan  kamu. 

Blonk:  Ah  saya  kan  tidak  penting  tepuk  tangan. 

Orang  pada  mengerti  semua.  Kalau  sudah  mau 

tepuk  tangan,   sebentar   nanti      kan   tidak  malu 

meminta  upah.  Kalau  tidak  ada  orang  yang  tepuk 

tangan,  sumpah  tidak  berani  minta  uang  saya. 

Cenk:  Bagus  tepuk  tangan  itu? 

Blonk:     Bagus,     kalau     kemarin     tepuk     tangan 

dijalan,  dikejar  anjing.  Mestinya  tepuk  tangan  itu 

menyesuaikan  dengan  Tempat  Waktu  dan  Situasi. 

Masyarakat  di  sini  kan  masyarakat  intelek-intelek 

semua.  Semua  mereka  berpendidikan.  Saya  kan  tak 

ubahnya  membawa  garam  ke  laut.  Semua  sudah 

pada  mengerti,  begitu. 

Cenk:  Ooo  begitu? 

Blonk:  Mengerti  semua.  Makanya  masyarakat  kita  itu 

pendidikannya  sudah  maju.  Makanya  marilah  kita 

pada  saling  interospeksi  diri.  Koreksi  diri.  Belajar 


260 


HT:^ 


\ 


^^:'f'>. 


s:<V 


^> 


Q^ 


!vr\jr.<^ 


?•j^:;>?'^-    ''".r^ 


I ,-  >-^v•;■-^■Y^■  -. '  ■■•  y  Z-  -'-  -  -v.- 


•si 


;   -.    -f-4^^ 


f. 


iX  £5: 


i!f. 


>t#^ 


,^'- 


■>.•'■  ■■  ■'■■  •    ■^^.  '■<   >  XX'-;  . ; .-  .« ^  •  *  •    . 


:^^ 


H 


*:  i 


.v     iV.'    ' 


A 


li. 


*>■ 


r:^"'. 
-^^ 


^:i^3^- 


««"A 


m 


■0 


X 


*  \ 


^i(^ 


*£<^ 


'':^  '- 


-<, 


^ 


:% 


introspection).  Learning  to  look  for  the  truth  is 
the  right  thing  to  do.  Don't  just  use  your  rehgion  as 
a  mask.  Really  act  on  it.  Religion  forbids  the  five 
M's.  Memadat  (Using  Drugs),  Memaling  (Stealing), 
Memitra  (Adultery)  and  others.  Avoid  them.  You 
as  a  community  concentrate  too  much  on  gambling 
games  (like  ce/c/ cards).  You  shouldn't  do  that.  If  we 
don't  respect  the  ceremonies  of  our  own  holy  days, 
who  will  respect  them? 
Cenk:  Oh,  is  that  right? 

Blonk:  Yes.  You  know,  our  government  stopped  the 
flights  of  airplanes  on  the  Nyepi  holy  day  of  silence. 
If  not  for  that,  we  might  not  know  how  to  celebrate 
our  own  holy  days  on  our  own.  So,  you  see,  the 
authorites  are  making  an  effort  to  shape  the  world  so 
that  we  can  devout  ourselves  to  our  holy  days. 
Cenk:  Oh,  is  that  right? 
Blonk:  Yes. 

Cenk:  Was  it  wrong  what  was  done  in  the  past? 
Blonk:  No  one  is  saying  it  was  wrong.  Let's  improve 
things  a  little.  Let's  improve  things.  Keep  learning, 
because  there  is  no  limit  to  learning.  That's  why 
knowledge  is  symbolized  by  a  chain.  We  are  always 
learning.  The  ocean  is  endless.  The  sea  goes  on 
forever.  Where  is  the  end  of  the  sea?  There  is  none. 
That  is  what  knowledge  is  like.  Where  is  the  footprint 
of  a  flying  bird?  You  cannot  see  it.  It  is  there  but  it  is 
not  there.  That's  why  we  have  to  stay  alert.  Adahh 
dah  dah  dah.  Toh  toh  toh.  Lord  Detya  Kala  Maya 
Cakru  (a  demon)  is  angry. 

Cenk:  {translating Maya  Cakra)  Hey  all  you  monkeys. 
Hey,  Rama  Dewa.  Who  am  I?  I  am  the  student  of 
Batari  Durga  (wife  of  Siwa).  Now  is  the  time.  Your 
death  cannot  be  cancelled.  Now  you  will  burn.  Now 
you  are  dead. 

Blonk:  Hey,  where  are  you  going?   To  the  cemetery. 
Come  and  see.  Come  and  see. 
Kala  Maya  Cakru:  Don't  think  you  are  so  important 


mencari  sebuah  kebenaran  yang  hakiki.  Agama  doen 
pang  da  anggon  tami.  Laksanakanlah!  Agamane 
ba  melarang  raga  Panca  Ma.  Memadat,  Memaling, 
Memitra  dan  lain  sebagainya.  Hindarilah.  Ci 
dadi  rakyat  tungkul  ci  maCeki.  Pang  da  keto.  Yen 
sing  iraga  menghargai  hari  raya  raga.  Nyen  orin 
menghargai. 


Cenk:  Ooo  keto? 

Blonk:  Aa.  Monto  aparete  kanti  nyetop  kapal  terbang 
kanti  hari  raya  Nyepi.  Pang  da  kanti  iraga  lantas 
sing  bisa  merayakan  hari  iraga  sendiri.  Amonto 
suba  kiBlonkah  Sang  Angawa  Rat  ngisi  jagat.  Untuk 
iraga  pang  nyak  kusuk  hari  rayane  ento. 

Cenk:  Ooo  keto? 
Blonk:  Aa. 

Cenk:  Pelih  ne  ba  liwat? 

Blonk:  Ada  sing  nak  ngorang  pelih?  Lan  benahi 
lagi,  keto.  Di  benahi.  Terus  melajah.  Wireh  melajah 
to  sing  ada  batasne.  Kelan  lambang  pengetahuan 
to  disimbulkan  dengan  rantai.  Raga  terus  belajar. 
Belajar  terus.  Samudra  tanpa  tepi.  Sing  ada  tanggun 
pasihe.  Dija  tanggun  pasihe?  Sing  ada.  Keto  ba 
satmaka  ilmu  pengetahuan.  Tulya  kadi  tapakin 
kuntul  anglayang.  Dija  enjekin  kedise  makeber. 
Sing  ada  to.  Sing  ada  tepuk.  Ya  ada  kalo  sing  ada. 
Makane  iraga  mari  sadar.  Adah  dah  dah  dahh.  To  to 
to  to.  Badah  duka  Sang  Detya  Kala  Maya  Cakru. 
Cenk:  Ih  ih  ih  cai  bojoge  makejang.  Rama  Dewa  ci. 
Wake  ne  nyen.  Sisyan  Batari  Durga  ne.  Jani  ba.  Sing 
buwungan  ci  mati  sengeh  jani  ne.  Bangka  nasne 
jani. 

Blonk:  Ooo  kija  to?  Kel  ke  Setra.  Mai  lok  mai  lok. 

Kala  Maya  Cakru:  Haywa  kalaganta  agung  ambek 


mencari  sebuah  kebenaran  yang  mutlak.  Jangan 
Agamanya  hanya  dijadikan  warisan.  Laksanakanlah! 
Ajaran  agama  sudah  melarang  kita  dengan  lima 
Ma.  Makan  obat  terlarang.  Mencuri,  Selingkuh  dan 
lain  sebagainya.  Hindarilah.  Kamu  menjadi  rakyat 
hanya  berjudi.  Agar  jangan  begitu.  Kalau  tidak  kita 
menghargai  hari  raya  kita.  Siapa  suruh  menghargai. 


Cenk:  Ooo  begitu? 

Blonk:  Ya  begitu  semestinya.  Aparat  sampai-sampai 
menghentikan  kapal  terbang  mendarat  pada  hari 
raya  Nyepi.  Agar  jangan  kitalah  yang  sampai  tidak 
bisa  merayakan  hari  raya  kita  sendiri.  Demikian 
usaha  sang  penguasa,  pemimpin  Negara  untuk  kita, 
agar  perayaan  hari  rayanya  kusuk. 
Cenk:  Ooo  begitu? 
Blonk:  Ya. 

Cenk:  Kesalahan  yang  sudah  lewat? 
Blonk:  Adakah  orang  yang  bilang  salah?  Mari  kita 
benahi  lagi,  begitu.  Dibenahi.  Terus  belajar.  Oleh 
karena  belajar  itu  tidak  ada  batasnya.  Itu  sebabnya 
lambang  ilmu  pengetahuan  itu  disimbulkan  dengan 
rantai.  Kita  terus  belajar.  Belajar  terus.  Samudra 
tanpa  tepi.  Dimana  batas  laut?  Tidak  ada.  Seperti 
itulah  ibaratnya  ilmu  pengetahuan  itu.  Tak  ubahnya 
seperti  jejak  kaki  burung  yang  sedang  terbang.  Tidak 
ada  itu.  Tidak  ada  kelihatan.  Ya  ada.  Tapi  tidak  ada. 
Makanya  kita  mari  sadar.  Aduh  duh  duh  duh.  Itu  itu 
itu.  wah  marah  Sang  Detya  Kala  Maya  Cakru. 
Cenk:  Ih  ih  ih  kamu  kera  semua.  Rama  Dewa  kamu. 
Saya  ini  siapa.  Murid  Betari  Durga  ini.  Sekarang 
sudah.  Tidak  lain  kamu  mati  terbakar  ini.  Mati 
kamu  sekarang. 

Blonk:  Ooo  kemana  itu?  Akan  ke  kuburan.  Mari 

lihat  mari  lihat. 

Kala  Maya  Cakru:  Jangan  kamu  besar  tingkah  bisa 


263 


because  you  can  kill  all  the  soldiers.  Who  am  I,  Kala 
Cakru.  I  am  a  certified  student  ofBatari  Durga.  I 
chant  mantras.  I  hope  to  unify  Action,  Word  and 
Thought.  There  is  nothing  else  for  me  to  do  but  to 
transform  myself  and  become  Durga....  Ahhhhhh! 
{Kala  Maya  Cakru  transforms  into  Rangda  and 
Anggada  transforms  into  Barong) 
Rangda:  Ha  ha  ha  ha.  Rem  reeeeeeem.  The  light  of 
the  Lord  Sun.  My  soul  is  possessed  by  Kala  Maya 
Cakru.  What  can  be  seen?  Ah  ahhhhhhh. 

Blonk:  Ok  ok  ok. 

Cenk:  What? 

Blonk:  (to  the  demon  Rangda).    Will  you  eat  my 

head?   The  tame  pig  becomes  a  wild  pig.   There  is  a 

cow.  A  tiger.  Smoke. 

Cenk:  What  is  it? 

Blonk:  Smoke. 

Cenk:  Oh,  look  at  that. 

Blonk:  Who  is  that? 

Cenk:  It's  Lord  Tunggal  (the  highest  god)  and  Lord 

Wenang  followed  by  Lord  Anggada. 

Blonk:  The  red  monkey? 

Cenk:  Yes.  He  is  bringing  the  Purifying  holy  water. 

Blonk:  Lord  Wenang.  Lord  Tunggal. 

Cenk:  Lord  Wenang.  Lord  Tunggal. 

Blonk:  Lord  Tunggal? 

Cenk:  He  is  the  one  who  makes  the  day,  the  night, 

and  the  dusk. 

Blonk:  Lord  Wenang? 

Cenk:  He  is  the  one  who  decides  who  has  the  right  to 

life  and  who  has  the  right  to  die.  Lord  Tunggal  gives 

his  approval.   He  gives  his  approval.  You  and  I,  no. 

(we  can't  decide). 

Blonk:  Oh,  is  that  right? 

Cenk:  Yes.     That  is  why  we  surrender  our  life  to 

him. 

Blonk:  To  whom? 


sida  mejah  ikanang  wadwa  prasama.  Sang  apa 

yayateki    Kala    cakru.    Sah    sisyanirang    Batari 

Durga.  Angeregepaken  kunang  japa  mantra.  Wak 

bajra,  anunggalaken  Bayu  Sabda  Idep.  Tan  sah 

matemahaken  ikanang  DurgaMurtiiii.  Aaaaaah. 

(Kala    Maya    Cakru    berubah    menjadi    Rangda. 

Nggada  berubah  menjadi  Barong). 

Rangda:  He  he  he  he.  Rem  reeeeem,  tejan  Sang 

Hyang  Baskara  Dipati.  Kasoooor  lawan  penadian 

yeki  Kala  Maya  Cakru.  Apa  katoooon.  Ah  ah 

aaaaah. 

Blonk:  Ok  ok  ok  ok  . 

Cenk:  Apa? 

Blonk:  Amah  ci  nas  wake.  Celeng  pemalu  dadi 

Celeng.  Ada  Sampi  Macan.  Mekudus. 

Cenk:  Apa  e? 

Blonk:  Anduse. 

Cenk:  Ooo  tolih  to. 

Blonk:  Nyen  to? 

Cenk:    Sang   Hyang   Tunggal   Ian    Sang   Wenang. 

Kairing  antuk  Dane  Sang  Ngada. 

Blonk:  Bojog  Barake? 

Cenk:  Aa.  Ngaba  tirta  Sudamala. 

Blonk:  Sang  Hyang  Wenang.  Sang  Hyang  Tunggal. 

Cenk:  Sang  Hyang  Wenang  Sang  Hyang  Tunggal. 

Blonk:  Sang  Hyang  Tunggal? 

Cenk:  Ngae  lemah  petenge  sandi  kala. 

Blonk:  Sang  Hyang  Wenang? 

Cenk:  Ane  ngewenangan  Cen  patut  mati  Cen  patut 
hidup.  Sang  Hyang  Tunggal  sane  ngewenangan.  To 
ngewenangan.  Ci  ajak  wake  sing. 

Blonk:  Ooo  keto? 

Cenk:  Aa.  Kelan  serahang  idpue! 

Blonk:  Ken  nyen? 


membunuh  prajurit  semua.  Siapa  kau  kira  ini 

kala  Cakru.  Tiada  lain  muridnya  Batari  Durga. 

Merapalkan  mantra.  Semoga  menyatukan  Tenaga 

Suara  Pikiran.  Tiada  lain  berubah  menjadi  Durga. 

Aaaaah. 

(Kala    Maya    Cakru    berubah    menjadi    Rangda. 

Nggada  berubah  menjadi  Barong). 

Rangda:   He  he  he.   Suraaaaamlah,   sinar   Sang 

Surya.  Kalah  dengan  penjelmaan  ini  Kala  Maya 

Cakru.  Apa  dilihaaaat.  Ah  ah  aaaah. 

Blonk:  Ok  ok  ok  ok  . 

Cenk:  Apa? 

Blonk:  Kamu  makan  kepala  saya.  Babi  ikut  menjadi 

babi.  Ada  kerbau  Harimau.  Berasap. 

Cenk:  Apanya? 

Blonk:  Asapnya. 

Cenk:  Ooo  lihat  itu. 

Blonk:  Siapa  itu? 

Cenk:  Sang  Hyang  Tunggal  dan  Sang  Hyang  Wenang. 

Diikuti  oleh  Sang  Ngada. 

Blonk:  Kera  Merahnya? 

Cenk:  Ya.  Membawa  Tirta  Sudamala. 

Blonk:  Sang  Hyang  Wenang.  Sang  Hyang  Tunggal. 

Cenk:  Sang  Hyang  Wenang  Sang  Hyang  Tunggal. 

Blonk:  Sang  Hyang  Tunggal? 

Cenk:  Membuat  siang  malam  pertengahan  siang 

dan  malam. 

Blonk:  Sang  Hyang  Wenang? 

Cenk:  Yang  menentukan  mana  pantas  mati  mana 

pantas  hidup.  Sang  Hyang  Tunggal  yang  menentukan. 

Beliau  yang  menentukan.  Kamu  dan  saya  tidak. 

Blonk:  Ooo  begitu? 

Cenk:  Ya.  Itu  sebabnya  serahkan  saja  hidupmu! 

Blonk:  Kepada  siapa? 


264 


Cenk:  Lord  Tunggal.    Lord  Wenang.    The  one  who 
watches  over  the  world,  the  one  who  rules  the  world. 
That  is  the  one  to  whom  we  surrender  our  lives.  He 
is  followed  by  Lord  Anggada,  who  is  bringing  the 
Purifying  holy  water.  It  will  purify  the  entire  world. 
Those  who  are  evil  will  be  revealed  as  evil.    Those 
who  are  good  will  be  revealed  as  good.     Cleanse 
the  world  now  and  transform  all  the  evil  so  that  it 
becomes  goodness.  Build  the  world. 
Blonk:  Oh,  is  that  how  it  is? 
Cenk:  Cleanse  everything. 
Blonk:  Oh,  is  that  how  it  is? 

Cenk:  You  and  I  will  now  excuse  ourselves  to  the 
entire  audience.  We  will  do  it  all  again  tomorrow. 
We  hope  that  you  were  not  bored,  not  bored.  Well, 
let's  excuse  ourselves.  We  are  the  servants  of  Lord 
Rama.  Let's  go. 


Cenk:  Sang  Hyang  Tunggal.  Sang  Hyang  Wenang. 
Ne  ngemban  Gumi  ngewenangan  jagat.  To  ne  bakal 
serahang  idupe  to.  Kairing  antuk  Sang  Ngada  ngaba 
Trita  Sudamala.  Luirto  kel  marisuda  sahahaning 
jagate.  Ane  corah  pang  ya  ngenah  corah.  Ane  beneh 
pang  ya  beneh.  Marisuda  jani  mesikan  sahananin  ne 
corah-corah  pang  ya  dadi  luwung.  Ngawe  jagate. 


Blonk:  Ooo  keto? 

Cenk:  Parisuda  makejang. 

Blonk:  Ooo  keto? 

Cenk:  Ci  ajak  wake  nganteg  dini  malu  mepamit 

ngajak  sameton  sareng  sami.  Kanggoang  benjang 

pungkur    biin    wawanin.    Moga-mogi    Ida    Dane 

ten  ngewanehin,  tan  ngewadihin.  Lan  mepamit. 

Memarekan  ring  Ida  Batara  Rama  lan. 


Cenk:  Sang  Hyang  Tunggal.  Sang  Hyang  Wenang. 
Yang  mengasuh  dunia,  yang  menentukan  dunia. 
Kepada  beliaulah  hidup  ini  diserahkan.  Diikuti 
oleh  Sang  Ngada  membawa  Tirta  Sudamala.  Itu 
akan  membersihkan  semua  dunia.  Yang  jahat 
agar  dia  kelihatan  jahat.  Yang  benar  agar  ia  benar. 
Membersihkan  sekarang  mengumpulkan  semua 
yang  jahat-jahat  agar  menjadi  baik.  Berbuat  di 
dunia. 

Blonk:  Ooo  begitu? 
Cenk:  Dibersihkan  semua. 
Blonk:  Ooo  begitu? 

Cenk:  Kamu  dan  saya  sampai  disini  dulu,  mohon  diri 
kehadapan  saudara  kita  semua.  Cukuplah  sampai 
disini,  besok  lusa  lagi  dilanjutkan.  Semoga  hadirin 
tidak  bosan-bosan.  Mari  permisi.  Mari  mengabdi 
kehadapan  Ida  Batara  Rama.  Mari. 


SELESAI 


265 


266 


COURTROOM 
TESTIMONIES 

of 

Nyoman  Gunarsa 

and  Indrawati  Gunarsa 


Kesaksian  Sidang 

Oleh 

Nyoman  Gunarsa 

dan  Indrawati  Gunarsa 


267 


Trial  Transcripts  -  May  1,  2007  -  Indrawati 

The  session  of  May  1,  2007.  Two  witnesses: 
Dr.  Nyoman  Gunarsa  and  Indrawati. 
Before  the  session  began,  His  honor  the  Judge  ordered 
the  Public  Prosecutor  to  present  the  accused,  Hendra 
Dinata,  alias  Sinyo.  After  the  accused  appeared, 
his  Honor  the  Judge  called  forward  two  witnesses: 
witness  Nyoman  Gunarsa  and  witness  Indrawati. 
Following  are  excerpts  from  the  dialogue  that  took 
place  during  their  testimony. 


Head  Judge:  The  court  calls  the  two  witnesses  to 

come  forward. 

(They  come) 

Head  Judge:  Before  we  continue  the  questioning  of  the  witnesses  for  their 

answers,  we  want  to  inform  the  public  prosecutor  that  if  there  are  any 

other  witnesses  for  this  trial  present  in  the  courtroom  we  ask  them  to  go 

outside. 

Are  there  any  future  witnesses  in  the  courtroom  at  this  time? 

Prosecutor:  Some  future  witnesses  are  sitting  outside  the  courtroom. 

Head  Judge:  Comrade  Indrawati,  where  were  you  born? 

Indrawati:  In  Temanggung. 

HJ:  Age? 

I:  57  years  old. 

HJ:  Religion? 

I:  Hindu. 

HJ:  Place  of  residence? 

I:  Jalan  Raya  Banda,  Number  1.  Klungkung. 

HJ:  Occupation? 

I:  Entrepreneur  and  Museum  Directress. 

HJ:  Entrepreneur?  Where  precisely? 


Persidangan  1  Mei  2007 

Sidang  pada  tanggal  1  Mei  2007  menghadirkan 
2  orang  saksi  yaitu:  Saksi  Drs.  Nyoman  Gunarsa 
dan  saksi  Indrawati.  Sebelum  sidang  dimulai 
Majelis  Hakim  memerintahkan  Jaksa  Penuntut 
Umum  untuk  menghadirkan  terdakwa  Ir. 
Hendra  Dinata.  Setelah  terdakwa  hadir.  Majelis 
Hakim  memanggil  2  orang  saksi  yaitu :  saksi  Drs. 
Nyoman  Gunarsa  dan  saksi  Indrawati,  berikut 
petikan  dialog  dalam  persidangan: 


Hakim  Ketua:  Hakim  memanggil  kedua  saksi  untuk  duduk  di  depan 

Hakim  Ketua:  Baik  sebelum  diperiksa  lebih  lanjut  saksi-saksi  yang  akan 
memberi  jawaban,  kami  sampaikan  kepada  Penuntut  Umum  maupun  dari 
saksi-saksi  terdakwa  apabila  ada  saksi-saksi  yang  akan  diperiksa  pada 
persidangan  berikut  yang  sekarang  ada  didalam  ruang  sidang  kami  mohon 
untuk  keluar. 
Hakim  Ketua:  Ada  yang  mau  menjadi  saksi  pada  sidang  yang  akan  datang? 

Jaksa:  Para  saksi  yang  akan  di  dengar  berikutnya  agar  duduk  di  luar  sidangi 

Hakim  Ketua:  Saudara  Indrawati  lahir  dimana? 

Jawab:  Di  Temanggung. 

Hakim  Ketua:  Umur? 

Jawab:  57  Tahun. 

Hakim  Ketua:  Agama? 

Jawab:  Hindu. 

Hakim  Ketua:  Tempat  tinggal  dimana? 

Jawab:  Jl.  Raya  Banda  No.  1  Klungkung. 

Hakim  Ketua:  Pekerjaan  Saudara? 

Jawab:  Wiraswasta  dan  Direktris  Museum 

Hakim  Ketua:  Wiraswasta  ?  Tepatnya? 


268 


I:  Directress  of  the  "Museum  Klasik  Bali" 

HJ:  Do  you  know  the  accused? 

I:  Initially  I  did  not  know  him. 

HJ:  Now  you  know  him? 

I:  Yes,  I  know  him. 

HJ:  Is  he  a  relative? 

I:  No. 

HJ:  Does  he  work  with  you? 

I:  No. 

HJ:  (To  Prosecutor)  Two  witnesses? 

Prosecutor:  Yes. 

HJ:  On  to  the  second.  Name? 

Gunarsa:  Nyoman  Gunarsa. 

HJ:  Dr.  Nyoman  Gunarsa? 

G:  Yes.  (nodding) 

HJ:  Where  were  you  born,  sir? 

G:  I  was  born  in  Banda,  Klungkung. 

HJ:  Current  age. 

G:  63  years  old. 

HJ:  Nationality? 

G:  Indonesia. 

HJ:  Religion 

G:  Hindu. 

HJ:  Residence? 

G:  Jalan  Raya  Banda,  Number  1.  Takmung,  Klungkung. 

HJ:  The  same  as  your  wife? 

G:  The  same,  (pointing  to  his  wife). 

HJ:  Occupation? 

G:  Artist.  Painter. 

HJ:  You  you  know  the  accused? 

G:  I  have  known  him  since  the  incidents  concerning  these  paintings. 

HJ:  Do  you  know  him  now? 

G:  I  know  him  as  a  result  of  this  case. 

HJ:  Is  he  a  relative? 


Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 
Jawab: 
Hakim 


Jawab:  Direktris  Museum  Klasik  Bali 

Hakim  Ketua:  Saudara  kenal  dengan  terdakwa? 

Jawab:  Asal  mulanya  tidak  kenal. 

Hakim  Ketua:  Sekarang  kenal? 

Jawab:  Ya,  kenal. 

Hakim  Ketua:  Ada  hubungan  keluarga? 

Jawab:  Tidak  ada. 

Hakim  Ketua:  Hubungan  pekerjaan? 

Jawab:  Tidak  ada. 

Hakim  bertanya  kepada  Jaksa. 

Hakim  Ketua:  2  orang  saksi  ya  pak? 

Jawab  Jaksa:  Ya. 

Hakim  Ketua:  Terus  yang  kedua,  nama? 

Jawab:  Nyoman  Gunarsa. 

Hakim  Ketua:  Tertera  di  BAP,  Drs.  I  Nyoman  Gunarsa. 

Jawab:  Ya  (sambil  mengangguk-. 

Hakim  Ketua:  Lahir  dimana  Pak? 

Jawab:  Lahir  di  Banda  Klungkung. 

Hakim  Ketua:  Umur  sekarang? 
63  Tahun. 

Ketua:  Kewarganegaraan? 
Indonesia. 
Ketua:  Agama? 
Hindu. 

Ketua:  Tempat  tinggal  di  mana? 
Jalan  Raya  Banda  No.  1  Takmung  Klungkung. 
Ketua:  Sama  dengan  Ibu? 
Sama  (sambil  menunjuk  IbuJ. 
Ketua:  Pekerjaan? 
Artist,  Pelukis. 

Ketua:  Saudara  kenal  dengan  terdakwa? 
Saya  kenal  sejak  peristiwa  lukisan  ini. 
Ketua:  Sekarang  kenal? 
Kenal  sejak  kasus  ini. 
Ketua:  Ada  hubungan  keluarga? 


269 


G:  No. 

HJ:  Do  you  work  with  him? 

G:  No. 

HJ:   All  right,  before  you  give  your  testimony,  in  accordance  with  the  law, 

you  will  both  take  an  oath  and  give  your  testimony  under  oath.    Please 

stand.  Repeat  after  me.  (The  two  witnesses  repeat  his  words)  "In  the  name 

of  the  Lord,  I  swear  that  as  a  witness  in  this  case  I  will  testify  the  truth  and 

nothing  but  the  truth.    Om  Santih,  Santih,  Santih,  Om. 

(Let  there  be  peace  on  heaven,  on  earth,  and  beyond)" 

Please  be  seated.    Now  according  to  the  rules  the  first 

witness  to  be  heard  will  be  witness  Indrawati,  which 

means  that  we  will  ask  you,  respected  sir,  to  wait  outside 

the  courtroom. 


The  first  witness  to  give  testimony  is  the  witness 
Indrawati 

Head  Judge:  Please  come  forward  Mrs.  Indrawati. 

(she  steps  forward) 

Your  have  already  taken  an  oath,  is  that 

correct? 
Indrawati:  Yes. 

H  J:  The  meaning  of  that  public  oath  is:  First,  that  you  are 
responsible  to  God.  Second,  that  you  are  responsible  to 
the  law,  because  according  to  article  82  of  the  public  penal  code,  whenever 
a  witness  gives  testimony,  and  that  testimony  is  not  truthful,  the  witness 
is  subject  to  a  punishment  of  seven  years  in  prison,  so  for  that  reason  the 
Court  hopes  that  the  testimony  that  you  give  to  us  will  be  truthful  to  your 
point  of  view  and  experience,  so  that  it  will  help  us  to  discover  the  truth 
of  this  case  in  a  timely  manner.  All  right,  honorable  witness,  what  do  you 
know  about  the  case  of  the  accused,  Hendra  Dinata? 


Jawab:  Tidak. 

Hakim  Ketua:  Hubungan  pekerjaan? 

Jawab:  Tidak. 

Hakim  Ketua:  Baik  ya,  sebelum  memberikan  keterangan,  sesuai  dengan 

Undang-undang,  Saudara  memberikan  keterangan  dibawah  sumpah  sesuai 

dengan  keterangan  Saudara,  silahkan  berdiri! 

Jawab  :  Ikuti  apa  yang  saya  ucapkan  fditiru  oleh  saksi  berduaj. 

Hakim  Ketua:  Om  Atah  Parama  Wisesa,  saya  bersumpah, 
bahwa  saya  sebagai  saksi  dalam  perkara  ini  akan 
menerangkan  yang  benar,  tidak  lain  dari  pada  yang 
sebenarnya.  Om  Santih,Santih,Santih  Om. 
Silahkan  duduk,  baik  ya  sesuai  aturan  ya,  KUHP  maka 
yang  pertama-tama  didengar  adalah  saksi  pelapor  yaitu 
saksi  Indrawati,  oleh  karena  itu  kami  mohon  dengan 
sangat  Bapak  menunggu  diluar  sidang. 

Saksi  pertama  yang  dimintai  keterangan  adalah  : 
SAKSI  INDRAWATI 

Hakim  Ketua:  Silahkan  Ibu  Indrawati  didepan. 

Saudara  saksi  tadi  sudah  disumpah  ya! 


Jawab:  Baik,  Pak. 

Hakim  Ketua:  Sumpah  itu  pada  umumnya  bermakna,  satu 
bertanggung  jawab  kepada  Tuhan,  kedua  bertanggung 
jawab  kepada  hukum,  karena  sesuai  dengan  pasal  82  KUHP,  apabila  saudara 
bersaksi  memberikan  keterangan,  apabila  keterangan  itu  tidak  benar,  itu 
bisa  dikenakan  pidana  ancaman  hukumannya  7  tahun,  maka  oleh  karena 
itu  Majelis  mengharapkan  saudara  memberikan  keterangan  yang  benar 
sesuai  dengan  penglihatan  saudara,  yang  saudara  alami,  itu  yang  dapat  kami 
sampaikan.  Kiranya  dapat  membantu  dalam  mencari  kebenaran  yang  up  to 
date  dalam  perkara  ini.  Baik,  saudara  saksi  ya,  saudara  tahu  apa  mengenai 
perkaranya  terdakwa  Hendra  Dinata? 


271 


I:  I  reported  that  the  accused  knowingly  sold  falsified  paintings  attributed 

to  Mr.  Nyoman  Gunarsa. 

HJ:  You  reported  that  the  accused  sold  falsified  paintings. 

I:    That   he   knowingly   sold   falsified   paintings    attributed   to   Nyoman 

Gunarsa. 

HJ:  How  did  you  discover  that? 

I:    From  the  beginning.    In  the  month  of  January,  about  two  thirty  in  the 

afternoon,  I  passed  by  Jalan  Gatot  Subroto,  and  from  the  street  I  saw  in 

passing  --  the  light  was  lit  and  the  weather  was  a  little  cloudy  --  so  I  could 

see  that  inside  a  painting  was  displayed  that  looked  like  the  work  of  my 

husband. 

HJ:  So  you  went  into  the  Gallery? 

I:  No,  I  went  by,  sir. 

HJ:  Oh,  you  went  by. 

I:     In  passing  by  it  seemed  like  the  painting  on  display  resembled  my 

husband's,  so  then  I  asked  my  driver  to  go  back  because  I  wanted  to  look  at 

it.  When  I  went  back  I  saw  the  staff^  turning  off  the  lights  and  locking  the 

doors,  so  I  tried  to  look  in  from  outside.   Because  of  the  glare  I  had  to  do 

this  (makes  gesture  as  if  saluting  to  cover  her  eyes).  Then  the  staff  came  over 

to  ask  me,  "Madam,  is  there  anything  we  can  do  for  you."   I  asked,  "May  I 

see  inside.    The  staff  let  me  in.  They  turned  on  the  lights,  opened  the  door 

and  let  me  in. 

HJ:  What  do  you  mean,  'you  wanted  to  see  inside'? 

I:  I  wanted  to  see  the  Interior  Design,  to  see  if  it  was  a  gallery  or  a  furniture 

store. 

HJ:  Who  was  the  owner  of  that  Interior  Design? 

I:  At  that  time  I  didn't  know. 

HJ:  In  brief,  after  you  entered  Cellini  Interior  Design,  what  did  you  see? 

I:  I  approached  the  paintings  on  display  that  resembled  my  husband's  work. 
I  arrived  and  went  in  with  my  secretary.  Pak  Wija  and  my  driver.  Putu.  I 
examined  the  paintings  carefully  and  saw  a  small  sticker  saying  they  were 
the  work  of  Nyoman  Gunarsa.  I  looked  at  it  closely  and  spoke  with  my 
secretary,  Mr.  Wija.  I  felt  sympathetic  because  maybe  it  was  a  new  owner 
who  knew  nothing  about  the  paintings  of  Mr.  Nyoman  Gunarsa  and  didn't 


Jawab:    Melaporkan  terdakwa  sengaja  menjual  lukisan  palsu  Pak  Nyoman 

Gunarsa. 

Hakim  Ketua:  Saudara  yang  melaporkan  terdakwa  menjual  lukisan  palsu. 

jawab:  Sengaja  menjual  lukisan  palsu  dari  Nyoman  Gunarsa. 

Hakim  Ketua:  Saudara  tahu  dari  mana? 

Jawab:  Pada  awalnya,  bulan  Januari  kira-kira  jam  14.30  sore  saya  lewat 
di  Jalan  Gatot  Subroto,  dari  jalan  saya  lihat  sepintas,  lampunya  menyala 
dan  waktu  itu  cuaca  agak  remang-remang  jadi  sekilas  didalam  itu  saya  lihat 
terpajang  lukisan  mirip  karya  suami  saya. 

Hakim  Ketua:  Saudara  ke  Gallery? 

Jawab:  Tidak,  saya  lewat  pak. 

Hakim  Ketua:  O,  lewat. 

Jawab:   Lewat  dijalan  sepintas  seperti  terpajang  lukisan  mirip  suami  saya, 

terus  saya  minta  sama  sopir,  coba  balik  saya  mau  melihat,  waktu  membalik 

itu  tunggu  waktu,  saya  berbalik  kembali,  disitu  karyawan  sedang  mematiin 

lampu,  menutup  pintu,  saya  menengok  dari  luar  begitu.  Karena  kan  silau 

ada  kacanya,  kan  saya  begini  fseperti  memberi  hormatj,  terus  karyawannya 

menawarkan  menanyakan,  ibu  ada  apa,  saya  bilang  boleh  saya  melihat 

didalam,  karyawan  mempersilahkan,  lalu  menghidupkan  lampu,  membuka 

pintu,  mempersilahkan  masuk. 

Hakim  Ketua:  Maksudnya  melihat  didalam  itu? 

Jawab:   Melihat-lihat  di  Interior  Design,  bisa  ada  gallery,  furniture. 

Hakim  Ketua:   Interior  Design  itu  milik  siapa? 

Jawab:  Waktu  itu  saya  tidak  tahu. 

Hakim  Ketua:  Singkat  cerita  sudah  masuk  kedalam  Cellini  Interior  Design, 

saudara  melihat  apa? 

Jawab:  Saya  langsung  menuju  lukisan  yang  terpajang  yang  mirip  lukisan 

karya  suami  saya,  saya  datang,  waktu  saya  masuk,  saya  dengan  sekretaris 

saya  dan  sopir  saya  Pak  Wija  dan  Putu,  saya  mengawasi  itu  lukisan  dan 

melihat  stiker  kecil  di  bilang  karya  Nyoman  Gunarsa,  saya  amati  terus  saya 

diskusi  pada  sekretaris  saya  Pak  Wija,  kasihan  ini  mungkin  pemiliknya  baru, 

awam  dengan  lukisan  Pak  Nyoman  sehingga  dia  tidak  mengerti,  apakah 


272 


^5^ 


/^ 

'£ 


understand.  Should  I  tell  her?  Mr.  Wija  said,  "Just  tell  her,  madam."  In  the 

end  I  asked,  'Whose  paintings  are  these?" 

HJ:  Whom  did  you  ask? 

I:  One  of  the  women  on  the  staff  who  was  escorting  me. 

HJ:  What  was  her  name? 

I:  I  didn't  ask. 

HJ:  You  didn't  know  her  name. 

I:  Yes. 

HJ:  So  what  did  the  woman  answer? 

I:  "These  are  the  paintings  of  Mr.  Nyoman  Gunarsa,  Madam.  The  price  is 

ninety  million  (rupiah)"   No  (/  said).   These  are  not  the  paintings  of  Mr. 

Nyoman.  Oh  no.  They  are  false. 

HJ:   So  what  kind  of  paintings  did  you  see  inside  Design  Interior?   What 

were  the  motifs.  Was  it  a  landscape,  a  house,  or  what? 

I:  Theywere  paintings  ofBalinese  dancers.  Legong  dancers.  They  resembled 

my  husband's  paintings,  but  they  were  not  the  work  of  my  husband. 

HJ:  Do  you  see  them  there  among  the  paintings  displayed  as  evidence?  Are 

they  there?  (refering  to  a  group  of  paintings  lined  up  against  the  wall  of  the 

courtroom.) 

I:  Yes,  they  are  there,  (pointing  to  the  paintings).    The  red  one,  the  green 

watercolor,  a  small  green  one,  and  some  others,  but  they  are  not  here. 

HJ:  How  many  of  them  exactly  did  you  see  at  that  time? 

I:    About  ten  were  on  the  first  floor,  sir.    I  did  not  go  up  to  the  second 

floor. 

HJ:  Yes,  yes,  there  were  about  ten  paintings  on  the  first  floor,  and  as  far  as 

you  understood  the  paintings  were  not  the  work  of  Nyoman  Gunarsa.  Like 

this  one  here? 

I:  None  of  them  were. 

HJ:  The  ones  that  are  here,  can  you  point  them  out,  to  be  clearer? 

(The  witness  Indrawati  stands  and  walks  towards  the  evidence) 

HJ:  Which  ones? 

(The  witness  Indrawati  points  one  by  one  to  the  pieces  of  evidence,  one  was 

yellow  measuring  145  x  145  centimeters  and  another  was  green  measuring 


perlu  diberi  tahu,  Pak  Wija  bilang,  kasih  tahu  saja  bu,  akhirnya  saya  kasih 

tahu,  ini  lukisan  siapa? 

Hakim  Ketua:  Saudara  bertanya  kepada  siapa? 

Jawab:  Salah  satu  pegawai  wanita  ada  yang  memandu. 

Hakim  Ketua:  Namanya  siapa? 

Jawab:   Saya  tidak  bertanya. 

Hakim  Ketua:   Tidak  tahu  namanya? 

Jawab:   Ya. 

Hakim  Ketua:  Lalu  dijawab  oleh  wanita  itu? 

Jawab:   Ini  lukisan  Pak  Nyoman  Gunarsa  Bu,  harganya  90  Juta,  O  memang 

mantap  tapi  ini  bukan  lukisan  Pak  Nyoman  lho,  ini  palsu. 

Hakim  Ketua:  Terus  lukisan  yang  saudara  lihat  di  Design  Interior  itu  lukisan 
macam  apa  atau  motif  apa,  apakah  tentang  pemandangan,  atau  berupa 
rumah  atau  apa? 

Jawab:  Lukisan  tari-tarian  Bali,  Tari  Legong  yang  menyerupai  lukisan  suami 
saya,  tapi  bukan  karya  suami  saya. 

Hakim  Ketua:  Apa  yang  saudara  lihat  pada  waktu  itu  ada  diantara  lukisan- 
lukisan  yang  sebagai  barang  bukti  ini,  ada? 

Jawab:  Yang  di  sana  (sambil  menunjuk  lukisan)  yang  warna  merah,  hijau, 

water  colour,  kecil  hijau,dan  ada  beberapa  lagi,  tapi  tidak  ada  disini. 

Hakim  Ketua:  Persisnya  jumlahnya  berapa  yang  saudara  lihat  pada  waktu 

itu? 

Jawab:    Kira-kira  10,  itu  ada  dilantai  satu  pak,  saya  tidak  naik  ke  lantai 

dua. 

Hakim  Ketua:     Ya  ya,  di  lantai  satu  ada  10  lukisan  yang  sepengetahuan 

saudara  bukan  lukisan  karya  Nyoman  Gunarsa,  salah  satu  atau  yang  ini? 

Jawab:   Ya,  semuanya  itu. 

Hakim  Ketua:   Yang  ini,  bisa  ditunjukkan  biar  lebih  jelas. 

Jawab:   Saksi  Indrawati  berdiri  lalu  mendekat  ke  barang  bukti. 

Hakim  Ketua:  Yang  mana? 

Jawab:  (Saksi  Indrawati  menunjuk  satu  persatu  barang  bukti,  yang  ukuran 

145  X  145  cm  warna  kuning  dan  ukuran  145  x  145  cm  warna  hijau). 


274 


145  X  145  centimeters) 

HJ:  And  the  one  over  there? 

I:  That  is  comparable. 

HJ:  At  the  time  you  were  looking  at  them,  was  a  female  employee  present? 

I:  Yes. 

HJ:  Did  you  have  the  chance  to  ask  the  female  employee  where  the  paintings 

came  from,  is  that  what  you  asked  her? 

I:  At  first  I  said  that  they  were  false,  and  the  employee  was  angry,  sir. 

HJ:  Angry? 

I:  Very  angry. 

H  J:  In  what  way? 

I:  She  reprimanded  me. 

HJ:  What  did  she  say? 

I:  "Madam,  how  dare  you  speak  like  that.  The  painter  himself  brought  them 

here.    He  was  sick  and  needed  money."     I  wanted  to  laugh,  sir,  but  I  feel 

sorry  for  people  who  don't  know  what  they  are  talking  about,  so  I  restrained 

myself,  and  ran  over  to  the  ladder  to  try  to  hold  it  in  like  this  (Indrawati 

bends  over  and  shakes  her  body  to  demonstrate).  By  this  time  there  were  five 

people  there,  and  two  more  had  come  in.   I  said,  'I  am  Nyoman  Gunarsa's 

wife.'    Suddenly  the  employee  stood  up  straight.    Her  lips  trembled.    I 

could  not  hide  my  feelings,  so  I  spoke.    "Mr. 

Nyoman  lives  forty  kilometers  from  here. 

Why   are   you   selling   forgeries.      You   are 

destroying  the  image  of  Bali.   'Many  tourists 

come  to  this  place,'  I  complained.  They  come 

from  far  away  looking  for  Nyoman  Gunarsa's 

valuable  paintings.  They  embody  the  image  of 

Indonesia,  the  identity  of  Nyoman  Gunarsa, 

especially  Bali.    Why  are  you  falsifying  Bali 

itself,  so  that  his  wife  has  to  stop  you  in  order 

to  uphold  the  ideals  of  her  husband.   That  is 

what  I  told  her,  sir.  I  gave  her  my  name  card 

and  warned  her  not  to  sell  forgeries. 

HJ:    After  you  examined  the  paintings,  did 

you  see  tags  and  signatures  on  the  paintings 


Hakim  Ketua:  Kalau  yang  dibarat  ini? 
Jawab:  Ini  pembanding  (  setelah  itu  duduk  kembali). 
Hakim  Ketua:  Pada  waktu  saudara  melihat  ada  karyawan  perempuan? 
Jawab:    Ya. 

Hakim  Ketua:  Apakah  saudara  sempat  menanyakan  pada  karyawan  wanita 
itu,  ini  lukisan  asalnya  dari  mana,  sempat  nggak  menanyakan  itu? 
Jawab:  Pada  awalnya  saya  bilang  ini  palsu,  karyawan  itu  marah  pak. 
Hakim  Ketua:  Marah? 
Jawab:  Marah-marah. 
Hakim  Ketua:  Bagaimana  dia? 
Jawab:  Langsung  marahin  saya. 
Hakim  Ketua:  Ada  mengucapkan  kata-kata? 

Jawab:  Ibu  ini  siapa  beraninya  ngomong-ngomong  begitu,  ada  pelukisnya 
sendiri  bawa  kesini,  sakit  butuh  duit,  saya  ketawa  pak,  saya  kan  tumbuh 
rasa  kasihan  orang  yang  tidak  mengerti  bicara  demikian  saya  mau  ketawa, 
saya  tahan,  saya  lari  kesini  dibawahnya  ada  tangga,  pada  waktu  muter, 
begini-begini  (sambil  menggoyang  badan),  dan  diiringi  5  orang,  ada  2  orang 
lagi,  setelah  itu  saya  bilang  saya  itu  istrinya  Nyaman  Gunarsa,  tiba-tiba 
karyawan  itu  berdiri,  bibirnya  bergetar,  saya  kan  tidak  sampai  hati,  terus 

saya  ngomong  begini.  Pak  Nyoman  tidak  ada 
40  km  dari  sini,  kenapa  jual  palsu,  ini  kan 
merusak  citra  Bali,  banyak  turis  yang  datang 
ketempat  saya  komplin,  datang  dari  jauh,  cari 
Nyoman  Gunarsa  mahal-mahal,  punya  citra 
Indonesia,  identitas  Nyoman  Gunarsa,  khas 
Bali,  kenapa  dipalsu  di  Bali  sendiri,  supaya 
ibu  mencegah  maka  dengan  itikad  mendukung 
idealis  suami  saya,  saya  beritahu  demikian 
Pak,  saya  kasih  kartu  nama,  tolong  diberitahu 
jangan  jual  palsu. 


Hakim  Ketua:  Nah  setelah  ibu  memperhatikan 
lukisan  ya,  apakah  ibu  melihat  ada  stiker  dan 


275 


FAKE  PAINTING 
LUKISAN  PALSU 


NYOMAN  GUNARSAS  TRUE  PAINTING 

LUKISAN  ASLI  NYOMAN  GUNARSA 


This  falsified  painting  was  found  in  Gallery  Cellini,  owned  by  Hendra  Dinata, 
alias  Sinyo,  on  Jalan  Gatot  Subroto,  Denpasar. 

Lukisan  tiruan  (palsu)  yang  diketemukan  di  Gallery  Cellini 
milik  Hendra  Dinata  alias  Sinyo,  Jl.  Gatot  Subroto  Denpasar 


A  new  point  of  comparison  used  in  the  investigation  by  Balinese  District  Police. 
Pembanding  baru  yang  dipergunakan  oleh  penyidik  Polda  Bali. 


276 


in  question? 

I:   The  signatures  were  similar  {to  Gunarsas),  but  I  am  not  sure,  but  there 
were  tags,  sir,  small  ones. 
HJ:  Where  were  they  placed  on  the  paintings? 
I:  On  the  lower  right. 
HJ:  Can  you  try  to  show  us  where? 

(Indrawati  walks  to  the  paintings  and  points  out  where  the  stickers  were  placed 
and  then  goes  hack  to  her  seat.  Each  time  she  walks  to  the  paintings  she  is 
followed  by  a  crowd  of  judges,  lawyers,  and  reporters  that  transforms  the  court 
into  a  miniature  art  gallery.) 

HJ:  So  after  you  saw  the  paintings  that  according  to  you  were  not  the 
paintings  of  Mr.  Nyoman  Gunarsa,  what  did  you  do,  what  actions  did  you 
take? 

I:  I  told  them  that  Mr.  Nyoman  was  less  than  forty  kilometers  away,  asked 
why  they  were  selling  forgeries.  I  gave  them  my  name  card  and  told  them 
that  if  they  wanted  to  sell  Nyoman  Gunarsas  paintings  that  instead  of  selling 
forgeries  they  should  contact  me  and  I  would  help  them,  because  I  was  his 
manager. 

HJ:  After  that,  in  the  following  days,  the  next  day  or  two  days  later,  the  next 
week  or  after  that  did  you  go  back  to  Interior  Design? 
I:  With  eastern  propriety  and  ethics  that  were  clearly  polite  and  well- 
intentioned,  I  sent  my  son  and  Mr.  Wija  to  the  gallery  to  ask  where  the 
paintings  had  come  from  and  to  photograph  them. 

HJ:  But  at  that  time  you  did  not  accompany  them? 

I:  I  stayed  at  home. 

HJ:  You  did  not  go  there? 

I:  That's  right,  because  I  wanted  to  handle  the  matter  ethically. 

HJ:  How  long  afterwards.? 

I:  The  next  day  at  nine  in  the  morning. 

HJ:    You  sent  your  son  to  verify  whether  or  not  they  were  the  genuine 

paintings  of  Mr.  Gunarsa,  and  so  you  sent  your  secretary  Mr.  Wija  with 

your  son. 

I:  But  they  were  not  allowed  to  take  photographs  because  Mr.  Sinyo  was 

there  waiting  for  them. 


tanda  tangan  di  lukisan  tersebut? 

Jawab:    Tanda  tangannya  menyerupai,  tapi  saya  yakin  bukan,  kalau  stiker 

ada  pak,  kecil. 

Hakim  Ketua:   Disebelah  mana  lukisan  itu? 

Jawab:  Sebelah  kanan  bawah. 

Hakim  Ketua:  Coba,  bisa  ditunjukkan! 

Jawab:    (Ibu  Indrawati  lalu  berdiri  dan  menunjukkan  dimana  stiker  itu 

berada,  setelah  itu  duduk  kembali). 


Hakim  Ketua:  Nah  selanjutnya  setelah  melihat  lukisan  yang  menurut  saudara 
bukan  lukisan  Pak  Nyoman  Gunarsa,  apa  yang  saudara  lakukan,  apa  yang 
saudara  perbuat? 

Jawab:  Saya  memberitahu  bahwa  Pak  Nyoman  tidak  ada  40  km  dari  sini, 
kenapa  jual  palsu,  ini  kartu  nama  kalau  berniat  jual,  jangan  jual  palsu,  saya 
Bantu,  saya  selaku  managernya  Pak  Nyoman  Gunarsa. 


Hakim  Ketua:    Setelah  itu  apakah  dikemudian  hari,    besoknya,  dua  hari, 

seminggu  dan  selanjutnya  pernah  lagi  ke  Interior  Design? 

Jawab:    Dengan  rasa  ketimuran,  dengan  etika,  yang  jelas  saya  menganut 

bagaimana  dengan  Prikemanusiaan  dengan  etika  budaya  dan  saya  menyuruh 

anak  saya  dan  Pak  Wija  datang  ke  gallery  itu  menanyakan  lukisan  dari  mana 

dan  memotret. 

Hakim  Ketua:  Tapi  pada  waktu  itu  ibu  tidak  ikut  kesana? 

Jawab:  Ada  dirumah. 

Hakim  Ketua:  Tidak  kesana? 

Jawab:  Ya,  karena  saya  menjaga  etika. 

Hakim  Ketua:  Selang  beberapa  hari? 

Jawab:  Besoknya,  jam  09.00 pagi. 

Hakim  Ketua:  Ibu  menyuruh  anak  untuk  memperjelas  apakah  itu  betul 

lukisan  pak  Gunarsa,  dan  sebagainya  ibu  menyuruh  anaknya  dan  pak  Wija, 

sekretaris. 

Jawab  :  Tapi  dihalangi  untuk  memotret,  karena  sudah  ditunggu  oleh  saudara 

Sinyo. 


277 


HJ:   What  is  your  source  for  that  information, 

madam? 

I:  My  source  for  the  information  is  my  son,  who 

said  that  he  was  met  with  anger. 

HJ:  So,  after  that  did  you  ever  directly  meet  the 

accused  in  connection  with  the  paintings  or  talk 

to  him  or  ask  him  anything? 

I:  No,  my  son  did. 

HJ:  Your  son?  Then  you  never  directly  met  the 

accused,  is  that  correct? 

I:  No,  only  my  son.  But  I  asked  him  to  ask  where 

the  paintings  were  from. 

H  J:  And  what  did  the  accused  answer.? 

I:  First  the  accused  said,  "Your  mother  came  here  very  angry  and  she 

created  havoc  with  my  staff.  My  son  said  that  if  I  was  angry  he  was  sorry, 

but  he  wanted  to  know  where  the  paintings  came  from.  Oh,  he  said,  these 

paintings  are  from  Bimantoro  {ex-police  chief  of  Klungkung),  Sitorus  {the 

township  police  chief),  and  the  {current)  Police  Chief  of  Klungkung. 

H  J:  That  is  what  he  said  to  your  son. 

I:  Yes,  to  my  son. 

HJ:  Not  to  you  directly? 

I:   I  spoke  separately  to  my  secretary  and  he  said  the  same  thing  that  my 

son  said. 

HJ:  Madam,  you  are  familiar  in  detail  with  Mr.  Gunarsa's  paintings. 

I:  I  know  them  very  well,  sir. 

HJ:  Mr.  Gunarsa  is  a  master  painter,  is  that  correct? 

I:  Yes,  sir. 

H  J:  Do  you  know  if  Mr.  Gunarsa  ever  registered  his  work  at  the  Copyright 

Office? 

I:  Yes,  my  husband  and  I  are  often  are  invited  to  various  places,  seminars 

on  the  subject  of  copyright,  violation  of  copyright  in  the  field  of  visual  arts, 

and  other  topics.  My  husband  is  in  demand  as  a  speaker  who  focuses  on 

these  topics. 

HJ:  My  question  is  do  you  know  if  Mr.  Gunarsa  ever  registered  his  work. 


Hakim  Ketua     :     Tapi     kan     berdasarkan 
keterangan  Ibu? 

Jawab:  Berdasarkan  keterangan  anak  saya,  bahwa 
anak  saya  disambut  dengan  marah-marah 
Hakim  Ketua:  Nah,  selanjutnya  apakah  Ibu 
pernah  bertemu  langsung  dengan  terdakwa, 
berkaitan  dengan  lukisan-lukisan  itu,  pernah 
berdialog  atau  bertanya  atau  apa? 
Jawab:  Tidak,  anak  saya. 

Hakim  Ketua:     Anak  saudara?  jadi  ibu  tidak 
pernah  bertemu  langsung  dengan  terdakwa  ya? 
Jawab:  Tidak,  tapi  anak  saya,  saya  minta  untuk 
bertanya,  ini  lukisan  dari  mana? 
Hakim  Ketua:  Lalu  dijawab  oleh  terdakwa? 

Jawab:  Dulunya  terdakwa  bilang,  ibumu  datang  kesini  marah-marah, 
tau  enggak  saya  ini  tukang  buat  huru-hara,  terus  anak  saya  lagi  bilang  o 
bagaimana  selanjutnya  kalau  memang  marah-marah,  maaf  tapi  dari  mana 
itu  lukisan,  ini  lukisan  dari  Bimantoro,  Sitorus,  Kapolres  Klungkung  begitu. 

Hakim  Ketua:  Itu  dibilang  sama  anak  ibu 

Jawab:  Anak  saya 

Hakim  Ketua:  Bukan  pada  saudara  ya? 

Jawab:   Secara  terpisah  saya  kompromikan  dengan  sekretaris  saya,  jawaban 

sekretaris  saya  sama  dengan  anak  saya 

Hakim  Ketua:  Ibu  kan  tahu  persis  ya  lukisan  pak  Gunarsa  ya 

Jawab:  Sangat  tahu  pak 

Hakim  Ketua:  Pak  Gunarsa  kan  sebagai  Maestro  pelukis  ya? 

Jawab:    Ya  pak 

Hakim  Ketua:  Apakah  saudara  tahu,  karena  Pak  Gunarsa  itu  seorang  pelukis 

pernah  mendaftarkan  karya-karyanya  di  Direktorat  Hak  Cipta,  anda  tahu? 

Jawab:    Mendaftarkan  iya  dan  juga  suami  saya,  kami  sering  diundang  ke 

mana-mana,  seminar  membahas  tentang  Hak  Cipta,  pelanggaran  Hak  Cipta 

dihidang  seni  lukis,  juga  yang  lain,  tetapi  yang  difokuskan  itu,  suami  saya 

sebagai  pembicara  seni  lukis. 

Hakim  Ketua:    Pertanyaan  saya  apakah  ibu  tahu  Pak  Gunarsa  itu  pernah 


278 


I:  He  did. 

HJ:  With  the  Director  General  of  Copyrights? 

I:  Yes,  he  did,  but  the  Director  General  of  Copyrights  only  began  its  activities 

around  '95,  '97,  '98,  sir. 

HJ:  When  did  your  husband  register  his  work?  Do  you  still  remember? 

I:    My  husband  registered  them  in  Jakarta,  during  his  exhibition  at  BMI, 

but  that  was  just  done  orally  and  not  yet  written  down.  Maybe  my  husband 

remembers  the  written  version. 

HJ:  So  you  forget,  madam? 

I:   I  did  not  specifically  ask  my  husband,  because  I  heard  it  directly  at  that 

time  from  the  attorney  general,  because  our  exhibition  at  BMI  was  opened 

by  Madam  Tien  {the  wife  of  then-president  Suharto).     All  the  national 

ministers  were  there. 

HJ:   So  the  one  who  would  know  the  details  about  the  registration  is  your 

husband? 

I:  Yes. 

HJ:   So  among  these  more  or  less  ten  paintings  that  you  saw  there,  which 

according  to  you  are  not  the  paintings  of  Mr.  Gunarsa,  were  any  of  them 

sold  to  other  people  or  buyers? 

I:  From  the  beginning,  the  story  is  like  this,  sir.  Afterwards  I  was  informed 

by  Bimantoro,  Sirotrus,  and  the  Chief  of  Police  of  Klungkung,  because  my 

museum  has  many  State  Guests,  and  there  are  often  official  activities.  The 

chief  of  police  of  Klungkung  and  his  staff  often  come  to  provide  security, 

so  it  automatic  that  I  have  a  close  relationship  with  every  police  chief 

in  Klungkung,  and  when  the  Museum  opened  my  husband  was  in  Jogja 

teaching  at  the  Institute  of  the  Arts... 

H  J:    My  question  was  about  these  paintings  that  you  saw.    Do  you  know 

whether  or  not  they  were  sold  to  anyone  else? 

I:  It's  like  this,  sir.  There  is  a  connection  because  I  was  told,  directly,  I  was 
told  that  the  painting  from  the  chief  of  police  in  Klungkung  was  installed 
at  the  time  of  the  building  of  the  new  police  station.  At  that  time  the  chief 
of  police  was  Mr.  Basuki,  and  he  asked  for  a  painting  by  Mr.  Nyoman  as  a 
remembrance  for  the  lobby.   It  measured  95  x  95  centimeters,  so  I  wanted 


mendaftarkan  karyanya? 
Jawab:   Pernah. 

Hakim  Ketua:  Ke  Dirjen  Haki  ? 

Jawab:  Pernah,  tapi  Dirjen  Haki  itu  kan  mulai  di  aktifkan  kira-kira  pada 
tahun  95,  97,  98  pak. 

Hakim  Ketua:  Kapan  suami  ibu  mendaftarkan?,  masih  ingat? 
Jawab:  Waktu  itu  mendaftarkan  di  Jakarta,  waktu  sedang  pameran  di  BMI, 
tetapi  baru  secara  Usan  saja  belum  tertulis,  tertulisnya  mungkin  yang  tahu 
suami  saya. 

Hakim  Ketua:  Ya,  ibu  lupa  ya? 

Jawab:  Saya  tidak  menanyakan  jelas  pada  suami  saya,  kelanjutannya 
bagaimana,  karena  saya  dengar  langsung,  waktu  itu  di  depan  Bapak  Jaksa 
tinggi,  karena  kita  kan  pameran  untuk  BMI  yang  buka  ibu  Tien,  Menteri- 
Menteri  Negara  datang. 

Hakim  Ketua:  Jadi  yang  lebih  tahu  secara  mendetail  mengenai  pendaftaran 
itu,  suami  ibu? 
Jawab:  Ya. 

Hakim  Ketua:  Nah  dari  sekian  lukisan  ya,  kurang  lebih  sepuluh  lukisan 
yang  saudara  lihat  disana,  sepengetahuan  ibu  bukan  lukisan  Pak  Gunarsa, 
sempat  ada  lukisan  yang  terjual  pada  orang  lain  atau  pada  pembeli? 
Jawab:  Pada  awalnya  setelah,  kan  ceritanya  begini  pak,  setelah  saya 
diberitahu,  dari  Bimantoro,  Sitorus  dan  Kapolres  Klungkung,  karena  di 
Museum  saya  sering  mendapat  tamu  Negara,  sering  banyak  aktivitas  ,  oleh 
pak  Kapolres  sering  didatangi  dan  dijaga  oleh  anak  buah  Kapolres  Klungkung, 
jadi  otomatis  dengan  tiap-tiap  Kapolres  di  Klungkung  saya  akrab  dan  waktu 
bangun  Museum  suami  saya  kan  di  Jogja  ngajar  di  ISI... 

Hakim  Ketua:  Pertanyaan  saya  yang  berkaitan  dengan  lukisan-lukisan  ini 
ya,  yang  saudara  lihat,  tahu  nggak  ada  nggak  lukisan  itu  telah  terjual  kepada 
orang  lain? 

Jawab:  Begini  pak,  ada  kaitannya  terus  saya  karena  diberitahu,  saya  akrab, 
saya  diberitahu  bahwa  lukisan  dari  Kapolres  Klungkung  memang  waktu 
mendirikan  gedung  Kapolres  yang  baru,  waktu  itu  Kapolresnya  Pak  Basuki, 
minta  supaya  ada  kenang-kenangan  dari  Pak  Nyoman  di  lobi  Kapolres,  merah, 
tapi  ukuran  95  X  95  saya  sudah  mencoba  ngecek,  apa  masih  ada  atau 


279 


to  check,  but  the  new  chief  of  pohce  Mr.  Hepi  had  aheady  moved.  I  had 
just  met  Mr.  Yono,  and  he  said  how  are  you,  madam.  You  are  Gunarsa's 
wife,  aren't  you.  Yes,  I  said.  How  are  you,  madam?  I'm  here  to  check  about 
someone  seUing  false  paintings.  I  am  a  hundred  percent  sure  they  are  false. 
That's  what  the  chief  of  police  said  in  Klungkung,  Mr.  Sitorus  from  the 
Township  Police  and  Bimantoro.  By  chance  the  police  chief  and  I  are  both 
from  central  Java,  so  naturally  we  have  the  same  ideas  about  culture  and  art, 
so  he  asked  me  to  sit  down,  and  then  he  said,  madam  that  is  not  possible. 
It  is  a  hundred  percent  impossible,  because  it  has  been  confirmed  by  the 
highest  authorities.  You  have  to  file  a  report  and  I  will  come  there.  It  is  a 
serious  responsibility,  madam,  you  must  fill  out  a  report.  So  in  the  end  on 
the  day  of  the  11th,  the  day  after  the  10th,  because  notice  was  served  in  the 
afternoon  of  the  12th,  I  reported  that  I  assumed  false  paintings  were  being 
sold. 

HJ:  You  assumed? 

I:  First  I  reported  that  I  assumed  the  paintings  being  sold  were  false,  then 
the  process  went  on,  and  in  the  end,  at  the  beginning  of  April,  the  report 
was  acted  on  by  the  District  Police,  and  the  Chief  of  the  District  Police,  in 
order  to  get  Mr.  Nyoman  himself  to  verify  this,  accompanied  us  with  a  police 
escort,  Mr.  Dewa  Penida  and  Mr.  Nyoman  Madra  and  someone  whose  name 
I  forget,  and  Mr.  Wija,  and  Mr.  Nyoman,  and  the  five  of  us  arrived  at  the 
gallery  and  were  received  by  an  employee.  And  then  Mr.  Nyoman  saw  them 
himself. 


tidak,  tapi  Kapolresnya  baru  yang  Pak  Hepi  sudah  pindah,  saya  baru  kenal 
Pak  Yono,  terus  ngapain  bu,  ibu,  ibu  Gunarsa  ya,  iya  (jawab  ibu)  ngapain 
bu?,  ini  ngecek  ada  orang  jual  lukisan  jelas-jelas  palsu,  saya  yakin  100  % 
palsu,  kok  bilang  dari  Kapolres  klungkung.  Pak  Sitorus  dari  Polda  Bali  dan 
Bimantoro,  Kebetulan  Pak  Kapolres  dengan  saya  kan  sama-sama  dari  Jawa 
Tengah,  otomatis  kita  punya  budaya,  punya  alam  pikiran  sama,  terus  saya 
dipersilahkan  duduk,  bu  tidak  mungkin!,  tidak  mungkin  100%  karena  beliau 
hanya  kenal  saja  mengaku-ngaku  dari  aparat  tinggi,  ibu  harus  membuat 
sebagai  laporan  dan  saya  baru  datang,  kita  baru  kenal ,  pertanggungan  jawab 
benar  itu  bu,  benar,  berupa  laporan,  ya.  Akhirnya  tanggal  11,  besoknya  dari 
tanggal  10,  karena  sudah  sore  tanggal  12  nya  diproses,  ya  saya  laporkan 
bahwa  saya  menduga  adanya  penjualan  lukisan  palsu. 


Hakim  Ketua:  Menduga? 

Jawab:  Dulunya,  terus  saya  laporan  diduga  ada  penjualan  lukisan  palsu,  terus 
waktu  didalam  proses,  akhirnya  pada  awal  April  berkas  itu  dikirim  ke  Polda, 
terus  di  Kapolda  untuk  membuktikan  Pak  Nyoman  sendiri  sebagai  pelukisnya, 

kami  diantar  oleh  dari  Polda,  Pak  Dewa  Penida  dan  Pak  Nyoman begitu 

saya  lupa  namanya  dan  Pak  Wija,  Pak  Nyoman  dan  saya,  berlima  datang 
ke  gallery  dan  diterima  satu  pegawai,  terus  baru  Pak  Nyoman  menyaksikan, 
terus  (  CD  terputus  /tidak  ada  gambar). 


HJ:  (The  judge  reads  from  a  statement  given  by  the  witness  Indrawati  in  a 
previous  police  report)  "The  testimony  that  I  gave  before  is  correct,  but  it  is 
necessary  that  I  add  that  I  met  the  maker  of  the  two  false  paintings  under 
discussion,  two  watercolors  on  canvas  that  were  presented  as  evidence.  It  was 
I  Gede  Padma  a  working  painter  from  the  village  of  Batubulan  Kecamatan 
Sukawati,  Kabupaten  Gianyar.  And  also  on  the  fifth  of  July  in  2005  I  was 
given  some  watercolors  on  paper,  that  very  much  resembled  the  style  of 
my  husband's.  Dr.  Nyoman  Gunarsa,  from  a  man  named  I  Gede  Danajyaya, 
owner  of  Siaja  Gallery  on  Jalan  Raya  Mas,  in  the  village  of  Mas  in  the  county 


Hakim  Ketua:     (Hakim  membacakan  keterangan  saksi  Indrawati  dalam 

BAP)  ;  karya  suami  saya  Drs.  I  Nyoman  Gunarsa    dari  seorang 

laki-laki  bernama  I  Gede  Dananjaya,  pemilik  Siaja  Gallery  Jalan  Raya  Mas 
Desa  Mas  Kecamatan  Ubud,  Kabupaten  Gianyar  dan  salah  satu  lukisan 
tersebut  diperoleh  dari  seorang  laki-laki,  nama  I  Wayan  Lanus  alamat 
Banjar  Manuaba  Desa  Kendran  Kecamatan  Tegalalang  Kabupaten  Gianyar, 
mantan  karyawan  Drs.  I  Nyoman  Gunarsa.  Betulkan  keterangan  saudara  itu 
dipenyidik? 


280 


of  Ubud,  in  the  precinct  of  Gianyar,  one  of  the 

paintings  in  question  was  obtained  by  a  man 

named  I  Wayan  Lanus  from  Banjar  Manuaba 

in  the  village  of  Kendran  in  the  district  of 

Tagalalang  in  the  precinct  of  Gianyar,  former 

employee  of  Dr.  Nyoman  Gunarsa."     Is  this 

report  from  the  investigating  officer  correct? 

I:  It  is  true,  sir.    First,  Your  Honor... 

HJ:  It's  true.  That's  enough. 

I:    But  first.  Your  Honor,  I  have  to  say  that  I 

didn't  understand  why  the  investigator  from  the 

Bah  District  Police  did  not  recommend  charges 

against  them,  so  that  is  why,  wanting  to  be 

ethical,  I  did  not  press  charges  against  them. 

HJ:   (to  the  Prosecuting  Attorneys  advisor)  You  already  knew,  sir.  You  had 

already  confirmed  it. 

HJ:  According  to  the  related  inquiries  made  by  the  investigator,  the  paintings 

had  signatures. 

I:  Yes,  there  were.  There  were  two  (she  holds  a  photograph  and  points  to 

the  paintings),  but  I  have  proof. 

Counsel  for  Defense  of  the  Accused  (Penasehat  Hukum  Terdakwa):  After 

you  found  out  who  had  made  the  paintings  that  you  say  are  false,  why  didn't 

you  press  charges? 

I:   I  already  told  the  Bali  District  Pohce  and  in  the  end  I...  (cut  off  by  the 

adviser) 

CDA:  My  question  is,  did  you  press  charges? 

I:  I  already  told  them.  I  had  already  been  questioned.  I  already  said  so. 

HJ:  That's  the  answer. 

I:  I  already  said  so,  but  I  didn't  press  charges. 

HJ:  You  already  knew,  but  you  didn't  press  charges. 

I:  In  this  case  it  would  have  been  redundant. 

HJ:  Madam  would  help  us  by  answering  succinctly,  so  that  we  don't  run  out 

of  energy. 

I:  The  questions  are  confusing. 

HJ:  All  right,  I  am  sorry.  The  next  questions  will  come  from  the  Associate 


Jawab:  Benar  Pak,  didepan  Bapak  Hakim 

Hakim  Ketua:  Benar,  itu  cukup. 
Jawab:   Tapi  didepan  Bapak  Hakim  saya  bilang 
tidak  tahu  karena    penyidik  dari  Polda  Bali 
tidak  merekomendasikan  mereka  itu  bersalah, 
jadi  saya  menurut  etika  tidak  menuduh. 


Hakim  Ketua:  Sudah  diketahui  ya  pak,  sudah  dibenarkan,  (hakim  bertanya 

pada  penasehat  Hukum). 

Hakim  Ketua:  Yang  menjadi  pertanyaan  berkaitan  dengan  pernyataan  pada 

penyidik,  adakah  lukisan  itu  yang  ditandatangani? 

Jawab:  ada,  ada  dua  (sambil  membawa  foto  dan  menunjuk  lukisan),  tapi 

saya  punya  bukti. 

P.  H:    Setelah  saudara  mengetahui  bahwa  pembuat  lukisan  tersebut  yang 

saudara  katakan  palsu,  apakah  saudara  sudah  melaporkannya? 

Jawab:   Saya  sudah  bicara  dengan  polda  Bali  dan  saya  selesai  ...(dipotong 

penasehat  Hukum). 

PH:  Pertanyaan  Saya,  apakah  sudara  sudah  melaporkannya? 

Jawab:  Sudah  kanl,  saya  kan  sudah  diperiksa,  saya  sudah  ngomong. 

Hakim  Ketua:  Sudah  jawabannya. 

Jawab:  Saya  sudah  ngomong,  tapi  tidak  melaporkan. 

Hakim  Ketua:  Sudah  memberitahu,  tapi  tidak  melaporkan. 

Jawab:  Masak  dalam  kasus  ini  dilaporkan  berulang-ulang. 

Hakim  Ketua:  Ibu  tolong  jawab  yang  singkat,  agar  tidak  habis  energinya. 

Jawab:  Habis  pertanyaan  memusingkan. 

Hakim  Ketua:     Baiklah,  mohon  maaf  ini,  pertanyaan  selanjutnya  akan 


281 


Judge. 

Associate  Judge:  The  answers  just  submitted  to 

the  Prosecuting  Advisor  about  the  witnesses 

opinions   should  be  erased  from   the   court 

records,   because   we   consider   them    to   be 

irrelevant.  She  is  not  an  expert.  The  witness  is 

not  an  expert.  During  the  time  that  she  told  her 

story  to  the  court,  about  how  she  could  see  the 

character  of  the  paintings,  it  is  not  acceptable. 

All  the  explanations  and  information  presented 

by  the  witness  should  therefore  be  struck  from 

the  record. 

CDA:  My  question  is  that  it  supports. . . 

AJ:  B  ut  she  is  not  an  expert. 

CDA:  Claiming  that  this  is  not  the  character  of  her  husband's  painting,  is 

her  opinion  as  an  individual... 

AJ:  But  that  is  not  acceptable.  It  is  not  an  opinion.  She  is  not  an  expert. 

CDA:  That  is  why  we  asked. . . 

AJ:  It's  not  acceptable. 

CDA:  But  that  has  already  been  answered. 

AJ:  Then  the  answers  have  to  be  struck  from  the  record. 

I:   Excuse  me  sir.   I  am  not  a  lawyer,  but  I  obey  the  laws  and  understand 

the  impropriety  of  making  mutual  accusations.  Because  the  police  did  not 

consider  him  a  suspect,  there  was  nothing  wrong  in  my  saying,  "I  don't 

know."  That  is  the  right  of  the  police,  the  responsibility  of  the  police."  Yes 

the  police.  Is  that  true  or  not?  (the  spectators  in  the  courtroom  laugh). 

HJ:   I  want  to  remind  you  again  that  if  you  are  not  asked  a  question  you 

should  not  give  commentary  so  in  that  way  only  what  is  asked  will  be 

answered.  Please  continue.  Prosecuting  Adviser. 

I:  If  things  are  not  clear,  I  also  will  not  answer. 

HJ:  In  that  case  the  court  will  make  things  clear. 

I:  All  right,  sir.  Thank  you. 

CDA:   Just  now,  madam  witness,  you  said  that  these  paintings  were  false, 

lacking  proportion,  without  the  soul  and  character  of  your  husband.  Where 

can  you  locate  the  specific  differences  that  you  are  talking  about  when  you 


disampaikan  Hakim  Anggota. 
Hakim  Angg:  Klasifikasi  pertanyaan  Penasehat 
Hukum  tadi,  mengenai  apakah  itu  pendapat 
saksi  harus  dihapus  dalam  catatan,  karena 
pertanyaan  itu  kami  anggap  menyimpang, 
yang  kita  tanyakan  itu,  dia  bukan  ahli,  saksi  ini 
bukan  ahli,  waktu  ibu  menceritakan  ke  Majelis 
tadi,  majelis  mengatakan  bagaimana  caranya 
dia  melihat  karakter  lukisan  itu,  begitu  toh  I 
jadi  yang  dialaminya,  yang  diketahuinya  kan 
itu  keterangan  saksi,  jadi  tolong  itu  supaya  di 
cukupkan. 

P.H .:  pertanyaan  saya.  Ini  penegasan 

Hakim  Angg.:  Tapi  dia  bukan  ahli. 

P.H.:     Bahwa  ini  tidak  ada  karakter  suaminya  dilukisan  ini,   itu  kan 

pendapatnya  dia  secara  pribadi. 

Hakim  Angg.:  tapi  ini  tidak  bisa,  itu  kan  pendapat,  dia  bukan  ahli. 

PH.:  Oleh  karena  itulah  kita  tanyakan. 

Hakim  Angg.:  Tidak  bisa  itu. 

PH.:  Tapi  itu  sudah  dijawab. 

Hakim  Angg.:  Mukanya  itu  harus  dianulir. 

Jawab  ibu:  Maaf  pak,  saya  orang  awam  Hukum,  tapi  saya  patuh  dan  saya 

punya  etiket  saling  tuduh,  karena  polisi  tidak  menetapkan  sebagai  tersangka, 

tidak  bersalah,  saya  bilang  tidak  tau,  itu  hak  polisi,  itu  kewajiban  polisi,  ya 

pak  polisi,  bener  enggak?  (disambut  dengan  tawa  hadirin) 

Hakim  Ketua:     Saya  peringatkan  sekali  lagi  ya,  kalau  tidak  ditanyakan, 

jangan  memberikan  komentar,  oleh  karena  itu  sesuai  dengan  itu,  apa  yang 

ditanyakan  itu  dijawab,  silahkan  penasehat  hukum. 

Jawab:  Kalau  tidak  dengan  jelas,  saya  juga  tidak  jawab. 

Hakim  Ketua:  Nanti  Majelis  akan  menjelaskan. 

Jawab:  Baik  Pak,  terima  kasih. 

PH.:    Tadi  saudara  saksi  mengatakan  bahwa  lukisan  ini  lukisan  palsu  ya, 

tidak  proporsional,  tidak  ada  jiwa  dan  karakter  suami  ibu,  dimana  letak 

perbedaan  spesifik  yang  dimaksud  oleh  saksi  mengenai  perbedaan  lukisan 


282 


refer  to  the  differences  between  the  paintings? 

I:   To  answer  your  question  clearly,  sir,  please  excuse  me  for  standing  up. 

(Indrawati  clarifies  the  differences  between  the  paintings  by  demonstrating 

the  body  positions  and  movements  of  the  dancers  depicted  in  the  both  the 

false  and  original  paintings.   Then  she  sits  down.) 

CDA:  Madam  witness,  you  just  said  that  Mr.  Nyoman  Gunarsa  paints  with 

an  inspiration  of  the  soul  in  a  way  that  gives  the  painting  a  sense  of,  what  is 

it  called,  perfection? 

I:  No.  The  main  point  is  that  anyone  taking  even  a  glance  at  Mr.  Nyoman's 

paintings  can  see  that  he  is  indeed  a  master  with  a  fundamental  sense  of 

artistic  ethics. 

CDA:  Just  now  madam  witness  referred  to  an  inspiration  of  the  soul.  Mr. 

Gunarsa's  paintings,  the  ones  in  question,  do  you  know  what  year  they  were 

painted  or  can't  you  differentiate? 

I:  It  is  not  only  about  inspiration  of  the  soul.  Mr.  Nyoman  is  a  master  artist 

of  our  times,  inspired  by  the  movements  of  Balinese  dance.  He  knows  those 

movements  intimately  or  as  the  Javanese  would  say  "mbalung  sumsum" 

("they  are  in  the  marrow  of  his  bones"),  so  he  doesn't  have  to  look  at  them, 

he  already  knows  them  instinctively. 

CDA:  Just  now  you  said  that  the  inspiration  of  the  soul  is  not  the  same  for 

everyone. 

I:  Yes,  that  will  not  always  be  the  same. 

CDA:  But  these  are  not  the  same.  Howcanyouprovideproof  that  they  are 

not  the  paintings  of  Mr.  Gunarsa. 

I:   It  is  clear  to  anyone  who  knows  anything  about  painting  that  it  has  no 

character.  You  are  not  an  expert  in  the  field  of  painting,  so  how  can  I  educate 

you,  sir.    Now,  sir,  if  I  ask  you  to  look  at  a  letter  to  you  written  by  your  wife 

or  ex-girlfriend,  it  will  surely  have  its  own  soul  or  character.  And  then  if 

you  look  at  a  letter  written  by  someone  else  you  could  see  clearly  that  it  was 

not  the  writing  of  your  wife,  isn't  that  true? 

CDA:  What  I'm  asking  about  is  paintings,  which  is  a  different  subject. 

I:    Yes,  but  although  paintings  are  not  the  same  subject,  the  difference 

between  paintings  with  the  soul  of  Mr.  Nyoman  and  those  without  that  soul 

is  similar  to  your  recognizing  the  difference  in  someone's  handwriting. 

HJ:  These  questions  are  too  abstract.  Making  them  more  concrete  will  help 


itu? 

Jawab:  Apa  yang  Bapak  maksud,  maaf  pak  saya  berdiri,  (Ibu  Indrawati  lalu 
menjelaskan  dan  memperagakan  letak  perbedaan  dan  posisi  kaki  penari 
antara  lukisan  yang  asli  dengan  yang  palsu,  lalu  duduk  kembali). 

P.H:  Saudara  saksi  ya,  tadi  saudara  mengatakan  bahwa  Pak  Nyoman 
Gunarsa  melukis  dengan  inspirasi  jiwa  sehingga  dengan  demikian  bahwa 
apa  lukisan  itu  bisa,  apa  namanya  sempurna? 

Jawab:  Tidak  pokokya  orang  sekilas  melihat  lukisan  Pak  Nyoman  itu  memang 
maestro,  ada  dasar-dasar  etika  seni. 

PH.:  Saudara  saksi,  tadi  inspirasi  jiwa.  Pak  Gunarsa  itu,  yang  saya  tanyakan 
lukisan-lukisan  ini  tahun  berapa  atau  bisa  ibu  bedakan? 

Jawab:  Tidak  hanya  inspirasi  jiwa.  Pak  Nyoman  sebagai  pelukis  sampai 
maestro  sekarang,  inspirasi  untuk  gerak  tari  Bali  itu,  gerak  tarinya  saja 
sudah  nelotok,  kalau  orang  Jawanya  bilang  sudah  mbalung  sumsum,  tidak 
usah  lihat  sudah  tahu  begini 

P  H.:  Tadi  kan  saksi  mengatakan  bahwa  inspirasi  jiwa  itu  tidak  selalu  sama 

semua. 

Jawab:  Ya,  itu  kan  tidak  sama  yang  itu. 

PH.:    Tapi  ini  tidak  sama,  bagaimana  bisa  membuktikan  bahwa  ini  tidak 

lukisannya  Pak  Gunarsa. 

Jawab:  Jelas  dong  tidak  ada  karakter,  kalau  yang  namanya  lukisan  pak  ya. 

Bapak  kan  awam  lukisan,  apa  perlu  saya  ajari  pak,  sekarang  Bapak  saya 

Tanya  Bapak  menulis  surat,  tulisan  tangan  dari  istri,  mantan  pacar  pasti 

menjiwai,  sekarang  dapat  surat  dari  orang  lain  tau  nggak  itu  tulisan  istri 

atau  bukan. 

PH.:  Yang  saya  tanya,  lukisan  itu  kan  berbeda-beda. 

Jawab:    Ya  tapi  biarpun  lukisannya  tidak  sama,  tapi  perbedaanya  adalah 

tidak  ada  jiwa  Pak  Nyoman  tidak  ada  roh,  seperti  Bapak  kalau  menulis  tidak 

selamanya  tulisannnya  sama  . 

Hakim  Ketua:    Begini  pertanyaannya  jangan  terlalu  abstrak,  kongkritnya 


283 


us  to  understand. 

CDA:  What  year  was  this  painting  made? 

I:  There  are  many  paintings  that  I  didn't  see,  but  I  would  say  1997. 

CDA:  And  that  one,  what  year? 

District  Attorney:    Please  Your  Honor,  we  ask  that  this  not  be  repeated 

again. 

HJ:  More  or  less  around  1998. 

CDA:   Madam  witness,  in  the  year  1998  was  your  husband,  Mr.  Gunarsa, 

ever  sick? 

I:     He  was.     Early  on  the  morning  of  December  2,  I  took  him  to  the 

hospital. 

CDA:  So  he  was. 

I:  He  was. 

CDA:  During  the  year  of  1998  did  he  engage  in  any  activities  or  paint? 

I:  Very  often  before  he  was  sick.  After  he  was  sick  he  did  things  for  collectors 

continuing  through  1999.    All  the  paintings  he  did  after  he  was  sick,  he 

painted  on  commission.    They  were  all  put  in  the  collection  of  Ibu  Sri  in 

Jakarta  the  owner  of  the  magazine  Matra.  The  painting  you  referred  to  just 

now  was  not  like  that,  because  when  he  was  sick  Mr.  Nyoman's  hands  were 

not  affected,  only  his  feet,  a  little  bit,  sir. 

CDA:  Did  he  ever  experience  a  stroke? 

I:  Yes,  but  not  a  total  stroke,  and  it  only  struck  the  left  side  of  his  brain. 

CDA:  But  you  just  said  that  these  things  depended  on  the  inspiration  of  Mr. 

Gunarsa's  soul.  During  the  time  just  after  his  sickness,  did  his  work  change 

because  he  had  experienced  an  illness? 

I:  No,  I  am  sure.  I  will  explain  it  to  you  because  you  are  not  an  expert  in 

art.  If  someone  is  an  economist,  the  active  part  of  the  brain  is  the  left  side, 

but  if  he  is  an  artist,  the  active  side  is  the  right  side.   My  husband's  stroke 

was  on  the  left  side,  so  his  artistic  skills  continued  to  function.   There  was 

no  change. 

HJ:  That  is  not  an  answer. 

I:  Because,  you  are  not  an  expert,  sir,  I  have  to  inform  you. 

CDA:   In  connection  with  your  recent  testimony,  are  you  acquainted  with 

Mr.  Gede  Padma? 

I:  I  have  known  Gede  Padma  since  I  was  put  on  trial  two  times  on  accusations 


saja  tolong  dipahami. 

P.H.:  Ini  lukisannya  tahun  berapa  itu? 

Jawab:  Bisa,  tapi  saya  banyak  lukisan  ndak  lihat  saya,  tahun  1997. 

P.H.:  Kalau  itu  tahun  berapa? 

Jaksa:  Begini  Pak  Hakim,  kami  mohon  tidak  diulang  lagi. 

Hakim  Ketua  :  Kurang  lebih  tahun  1998. 

PH.:     Saudara  saksi  tahun  1998  apakah  suami  Ibu  yang  namanya  Pak 

Gunarsa  itu  pernah  mengalami  sakit? 

Jawab:  Pernah,  2  Desember  pagi-pagi  buta  saya  yang  bawa  ke  rumah  sakit. 

PH:  Pernah? 

Jawab:  Pernah. 

PH.:  Apakah  selama  tahun  1998  itu  pernah  dia  melakukan  atau  melukis? 

Jawab:  Sebelum  sakit,  nggak.  Setelah  sakit  hanya  mencoba  di  muka  kolector 

tidak  seperti  itu,  terus  setelah  tahun  1999,  iya,  tapi  semua  lukisannya  begitu 

Pak  Nyoman  sakit,  dia  melukisnnya  selalu  disponsori,  dikoleksi  semuanya 

oleh  ibu  Sri  di  Jakarta  pemilik  majalah  Matra.  Melukis  tadi  tidak  seperti 

itu,  karena  Pak  Nyoman  biarpun  sedang  sakit  tangannya  tidak  berpengaruh 

hanya  sedikit  kaki  Pak. 

P.H.:  Apakah  dia  pernah  mengalami  stroke? 

Jawab:  Iya,  tetapi  tidak  stroke  total,  dan  yang  kena  otak  kiri. 

PH.:     Tapi  tadi  saksi  bilang,  ini  tergantung  daripada  inspirasi  jiwa  Pak 

Gunarsa,  pada  waktu  itu  dia  baru  sakit,  apakah  karyanya  berubah  karena 

mengalami  sakit? 

Jawab  :    Nggak,  tau  nggak  saya  memberitahu  karena  bapak  awam  seni, 

kalau  orang  itu  ekonom,  yang  aktif  itu  otak  kiri,  kalau  seniman  yang  aktif  itu 

semua  otak  kanan,  suami  saya  yang  kena  otak  kiri,  jadi  rasa  seni  rasa  gerak 

masih  tetap,  tidak  berubah. 

Hakim  Ketua:  Jawabannya  tidak! 

Jawab  :  Karena  bapak  awam  saya  kasi  tahu. 

PH.:  Sehubungan  dengan  pernyataan  saudara  tadi,  saksi  kenal  dengan  gede 

Padma. 

Jawab:    Saya  kenal  Gede  Padma  setelah  saya  diadili  dua  kali  berdasarkan 


284 


of  slandering  Sinyo. 

CDA:  What  led  to  your  going  there? 

I:  Because  from  the  time  that  I  opened 

the  Museum  around  1995  until  that 

year  I  always  passed  by  Silungan,  and 

on  the  left  side  of  the  road  there  were 

paintings  that  resembled  very  much 

(Gunarsa's),  but  I  knew  the  were  the 

work  of  Gede  Padma.  So  I  went  there, 

and  they  were  signed  by  Gede  Padma, 

so  I  kept  quiet.    After  I  was  put  on 

trial  twice  for  slander,  I  had  the  urge 

to  look  for  Mr.  Gede  Padma  with  this 

photo,  but  he  had  already  moved  from 

Silungan  to  Batubulan.    So  I  went  to 

Batubulan  to  look  for  him  carrying 

this  photo.      So  he   explained:   "My 

paintings  are  similar  to  Mr.  Gunarsa's. 

I  take  orders.  I  look  for  figures."  Then 

in  the  end  he  understood  that  I  was  the  wife  of  Mr.  Gunarsa.    "Oh,  yes, 

yes,  madam."  (replies  Gede  Padma).    I  asked  him  if  this  was  his  work  or 

not.  Then  he  remembered.  "Oh,  yes,  I  paint  many  of  them,  many  of  them, 

because  I  can  imitate  Mr.  Gunarsa.  Thanks  to  Mr.  Nyoman  Gunarsa  I  can 

support  my  family,  but  I  use  my  own  name.  I  can  buy  a  house  like  this.  I 

asked  him.    Sir,  if  this  is  your  painting,  please  sign  it.    He  signed  it.  (She 

shows  a  photograph  of  the  paitning  signed  by  Gede  Padma  to  the  Prosecuting 

Adviser  and  Sinyo). 

CDA:  During  the  time  that  you  visited  Mr.  Gede  Padma,  did  you  ever  show 

the  paintings  of  Gede  Padma  to  anyone  else  who  thought  they  were  the 

work  of  Gede  Padma? 

Answer:    Gede  Padma  had  many  of  them.  He  said,  "Yes,  of  course,  madam 

I  sign  them.  Thanks  to  Mr.  Nyoman  I  can  build  a  house  here,  but  I  buy  the 

land  and  this  house  all  in  my  name. 

CDA:    You  can  say  these  things.     Later  Gede  Padma  will  appear  as  a 

witness. 


tuntutan  yang  sama  atas  fitnah  Sinyo. 
P.H.:  Apa  tujuan  Ibu  datang  kesana? 
Jawab:  Karena  pada  waktu  saya  bangun 
Museum  kira-kira  tahun  1995  sampai 
tahun  itu  saya  selalu  lewat  Silungan, 
kiri  jalan  ada  lukisan  yang  mirip-mirip 
begitu  banyak,  saya  tahu  itu  lukisan 
Gede  Padma,  o  saya  datangi  masih  atas 
nama  Gede  Padma,  saya  diam.  Setelah 
saya  difitnah  dua  kali,  timbul  rasa  saya 
untuk  mencari  saudara  Gede  Padma 
dengan  membawa  foto  ini,  tapi  di 
Silungan  sudah  pindah  ke  Batubulan, 
terus  ke  Batubulan  saya  cari,  saya 
sambil  bawa  foto  ini,  kemudian  dia 
menjelaskan,  saya  memanglukisan  saya 
memang  sama  dengan  Pak  Gunarsa, 
saya  bisa  terima  pesanan,  sekarang 
saya  sudah  cari  figure  sendiri,  terus 
akhirnya  dia  tahu  saya  ini  istrinya  Pak  Gunarsa,  oh  ya  ya  bu,  (jawab  Gede 
Padma).  Saya  bertanya  Pak  ini  lukisan  Bapak  atau  bukan?  Terus  dia  ingat- 
ingat,  oh  ya  saya  melukis  banyak  sekali,  banyak,  karena  saya  meniru  Pak 
Gunarsa.  Karena  jasa  Pak  Nyoman  Gunarsa  saya  bisa  hidupi  keluarga  saya, 
tapi  saya  pakai  nama  saya  sendiri,  saya  bisa  beli  rumah  ini.  Saya  Tanya,  Pak 
kalau  ini  lukisan  Bapak  tolong  dong  ditandatangani.  Beliau  tanda  tangani 
(sambil  menunjukan  foto  lukisan  yang  ditandatangani  Gede  Padma  kepada 
penasehat  Hukum  Sinyo). 

P.H.:  Apakah  saksi  pada  waktu  menemui  Pak  Gede  Padma,  apakah  saksi 
pernah  menunjukkan  lukisan  orang  lain  sehingga  Gede  Padma  mengira 
lukisan  ini  karya  Gede  Padma? 

Jawab:    Gede  Padma  punya  banyak  sekali,  sepertinya  iya  kok  bu,  ya  saya 
tanda  tangani,  terima  kasih  karena  jasa  Pak  Nyoman  saya  bisa  bangun 
rumah  ini,  tapi  beli  tanah  dan  rumah  ini  tapi  semua  atas  nama  saya. 
P.H.:    Ibu  bisa  saja  bicara  demikian,  nanti  kan  saksi  Gede  Padma  kita 
hadirkan. 


285 


I:  As  you  please,  sir,  but  I  have  already  spoken  with  conviction. 

HJ:  That's  enough.  Does  the  accused  have  any  questions  to  ask  the 

witness? 

Sinyo:  No. 

HJ:  What  is  your  opinion  of  the  witness'  testimony? 

S:  Some  of  it  is  true  and  some  of  it  is  false. 

HJ:  Which  was  more:  the  true  or  the  false?  Was  it  mostly 

true? 

S:  She  said  that  my  employee  was  very  angry,  but  actually 

she  was  very  angry  with  my  employee.    Secondly,  she  hit 

the  paintings... 

HJ:  So  most  of  it  is  not  true,  yes? 

S:  Other  things,  I  don't  know  about.  Secondly,  it  was  said  that  I 

insulted  her  religion.  That  is  a  lie.  In  fact  she  is  the  one  who  said 

that  I  am  a  person  without  culture,  that  Gunarsa  was  an  artist,  which 

meant  that  only  Mr.  Gunarsa  could  represent  the  character  of  the  country, 

and  that  I  could  not  because  I  was  just  a  businessman.   Actually  I  cannot 

have  a  conversation  with  her,  because  she  talks  too  much. 

HJ:  Is  that  all? 

S:  Yes. 

HJ:    Madam,  do  you  stand  by  your  testimony?    Do  you  want  to  change 

anything? 

I:  No. 

HJ:  Thank  you.  Please  sit  down  in  the  back. 

I:  Thank  you,  sir.  I  would  add  that  at  the  time  it  was  said  I  hit  the  paintings 

I  did  not  respond  again.  No  one  asked  for  my  explanation,  and  during  the 

time  I  was  put  on  trial  the  witnesses  contradicted  him. 

HJ:  Thank  you  and  please  sit  down  in  the  back.  Next,  will  the  witness  Dr. 

Nyoman  Gunarsa  please  come  into  the  courtroom. 

(The  witness  Nyoman  Gunarsa  enters  the  courtroom) 


Jawab:  Silahkan  Pak,  tapi  saya  sudah  dengan  tekad  saya,  bisa. 
Hakim  Ketua:  Cukup  ya,  saudara  terdakwa  ada  pertanyaan  kepada 
saksi  ? 
Terdakwa:  Tidak  ada. 
Hakim    Ketua:       Bagaimana    tanggapan    saudara    terhadap 
keterangan  saksi  tadi? 
Terdakwa:  Ada  yang  benar,  ada  yang  salah. 
Hakim  Ketua:    Mana  lebih  banyak,  yang  benar  benar  atau 
yang  salah  ?  Yang  benar  saja! 

Terdakwa:    Dia  bilang  karyawan  saya  marah-marah,  tapi 
justru  dia  yang  marah-marahi  karyawan  saya,  yang  kedua 
dia  memukul  lukisan,  .... 
Hakim  Ketua:  Selebihnya  tidak  benar  ya? 
Terdakwa:    Yang  lain  saya  tidak  tahu,  yang  kedua,    saya  itu 
dibilang  menghina  ibu  agama,  itu  bohong,  justru  dialah,  yang 
bilang  saya  itu  orang  yang  tidak  berbudaya,   bahwa  seniman 
Gunarsa  itu,  maksudnya  ini  bahwa  hanya  Pak  Gunarsa  saja  yang  bisa 
nama  Negara  harum,    apakah  saya  sebagai  pengusaha,  tidak,  saya  bilang 
gitu.  Justru  saya  tidak  bisa  berbicara  sama  dia  karena  dia  ngomongnya 
terlalu  banyak. 
Hakim  Ketua:  Begitu  saja? 
Terdakwa:  Iya. 
Hakim  Ketua:  Ibu  tetap  pada  keterangannya,  tidak  berubah? 

Jawab:  Tidak. 

Hakim  Ketua:  Terima  kasih,  silahkan  duduk  dibelakang. 

Jawab:     Terima  kasih  Pak,  saya  tambahkan,  pada  waktu  saya  dihilang 

memukul  lukisan,  saya  tidak  direkonstruksi  ulang,  tidak  diminta  keterangan 

saya,  dan  waktu  saya  diadili,  saksinya  dia  bolak-balik. 

Hakim  Ketua:  Terimakasih  ya  silahkan  duduk  dibelakang.  Selanjutnya  saksi 

Drs.Nyoman  Gunarsa  silahkan  masuk  ke  ruang  persidangan. 

(saksi  Nyoman  Gunarsa  memasuki  ruang  persidangan) 


286 


Second  Witness  to  Give  Testimony  is  the  Witness  I  Nyoman  Gunarsa 


Saksi  Kedua  yang  dimintai  keterangan  adalah  SAKSI  Drs.  I  NYOMAN 
GUNARSA 


Before  the  judge  opens  the  session,  the  Head  judge  asks  the  PubUc  Prosecutor  to 
present  the  accused,  Hendra  Dinata,  aUas  Sinyo,  to  sit  before  the  court.  After 
this  His  Honor  begins  the  testimony  of  the  witness  Dr.  I  Nyoman  Gunarsa. 
What  follows  are  excerpts  from  the  dialogue  between  the  court  and  the  witness 
I  Nyoman  Gunarsa. 

Head  Judge:  Are  you  ready,  sir. 

Nyoman  Gunarsa:  Ready. 

HJ:  All  right  then.  Before  the  questioning  of  the  second  witness  proceeds, 

we  ask  the  Public  Prosecutor  and  the  Counsel  for  the  Defense  of  the  Accused 

{Penasehat  Hukum  Terdakwa)  to  question  the  witness  in  a  friendly  manner 

and  that  each  person  speaks  in  a  concise  way  that  conserves  time.   Can  we 

have  an  agreement  on  that?  May  we? 

All  right,  if  that  is  settled,  and  already  agreed,  we  hope  that  the  witness  in 

the  interests  of  speeding  things  up  will  answer  truthfully  according  to  the 

oath  that  includes  accepting  responsibility  first  of  all  to  God,  and  secondly 

to  the  law.   If  that  is  already  understood  we  can  continue  with  the  question 

of  the  witness. 

Associate  Justice:  How  long  ago  did  you  begin  painting,  sir? 

Gunarsa:  I  began  painting  in  1960. 

AJ:   It  is  said  that  your  paintings  are  seen  and  known  all  over  the  country, 

and  even  abroad.  Could  you  tell  us  your  feelings  about  which  of  your  works 

are  the  most  successful. 

G:  When  I  paint,  my  paintings  are  like  my  children.  I  conceive  my  children 
with  love,  so  all  my  works  are  created  that  way,  and  I  consider  them  all  good, 
because  they  are  created  from  deep  feelings  and  concepts. 

AJ:  Which  of  your  paintings  do  you  have  the  most  affection  for?  Do  you 
have  favorites  or  not?  I  also  want  to  ask  you  that. 

G:  Bexause  I  love  all  paintings,  almost  equally,  I  created  a  museum  so  that  I 
can  collect  the  best  works  there. 


Sebelum  Hakim  ketua  memulai  sidang,  terlebih  dahulu  Hakim  Ketua  mohon 

kepada  Jaksa  Penuntut  Umum  untuk  menghadirkan  saudara  terdakwa  yaitu 

Ir.  hendra  Dinata  alias  Sinyo  untuk  duduk  didepan  Majelis  Hakim.  Setelah 

itu  Mejelis  Hakim  mulai  meminta  keterangan  kepada  saksi  Drs.  I  Nyoman 

Gunarsa.  Berikut  petikan  dialog  antara  Majelis  Hakim  dengan  Saksi  Drs. 

I  Nyoman  Gunarsa: 

Hakim  Ketua:  Sudah  siap  pak  ya? 

Saksi:  Siap. 

Hakim  Ketua:    Baik  ya,  sebelum  pemeriksaan  terhadap  saksi  yang  kedua 

dilanjutkan,  kami  mohon  kepada  Penuntut  Umum  dan  Penasehat  Hukum 

terdakwa  bagaimana  kita  pilih  satu  orang  saja,  pertanyaan  ini  ini  ini 

ditulis  sama  temannya,  satu  orang  yang  berbicara  untuk  menghemat  waktu 

bagaimana  sepakat?  Boleh? 

Baik  kalau  begitu  ya,  telah  disepakati,  saudara  saksi  ya,  biar  lebih  cepat  lagi, 

diharapkan  menjawab  dengan  benar  ya,  karena  sumpah  mengandung  makna 

satu  bertanggung  jawab  kepada  Tuhan,  yang  kedua  pada  hukum,  sudah  bisa 

dimengerti  ya,  dan  selanjutnya  pemeriksaan  saudara  akan  dilanjutkan. 

Hakim  Angg:  Bapak  mulai  melukis  sejak  kapan? 

Saksi:  Saya  mulai  melukis  sejak  tahun  1960. 

Hakim  Anggota:  Jadi  sejak  melukis  katakanlah  karya  Bapak  sudah  tersebar 

ya,  baik  dalam  negeri,  maupun  luar  negeri  kan  begitu  ya,  kalau  bisa  tahu 

bapak  melukis  yang  paling  bapak  rasakan  hasil  karya  bapak  seperti  lukisan 

apa? 

Saksi:  Pada  waktu  melukis,  lukisan  itu  bagaikan  anak,  saya  membuat  anak 

dengan  penuh  rasa  cinta,  jadi  semua  karya  yang  saya  ciptakan  itu,  saya 

anggap  baik,  karena  mengikuti  perasaan  dan  konsep. 

Hakim  Anggota:  Yang  mana  kira-kira  bapak  punya  lukisan  kesayangan  gitu? 
Ada  nggak?  Ya  saya  ingin  menanyakan  itu  juga? 

Saksi:   Karena  lukisan-lukisan  saya  itu  kasayangan,  dan  semua  itu  hampir 
sama.  Jadi  saya  membuat  Museum  karena  karya-karya  saya  yang  saya  koleksi 


287 


>.^fl 


AJ:    Those  paintings  are  in  the  museum, 

is  that  correct? 

G:  Yes,  in  the  museum. 

AJ:  Well,  now  we  come  to  the  problem  at 

hand.  You  are  here  as  a  witness  to  discuss 

the  falsification  of  your  paintings,  is  that 

correct?  Are  you  already  acquainted  with 

the  accused? 

G:   I  know  the  accused  as  a  result  of  this 

case. 

A}:  As  a  result  of  this  case.  Have  you  ever 

been  to  his  Gallery? 

G:      I   was   accompanied   there   at   the 

request  of  the  district  police  investigator 

on  the  tenth  of  April  to  bear  witness  as  to 

whether  the  paintings  there  were  authentic  or  false. 

AJ:    At  that  time  you  went  there  with  the  police  did  you  see  any 

paintings  or  any  falsified  paintings  on  display? 


of  your 


G:  There  were  none  of  my  paintings  there. 

AJ:  There  were  not? 

G:  All  the  work  there  was  falsified,  or  imitations. 

AJ:  Imitations?  None  of  them  were  your  work? 

G:     But  they  resembled  my  paintings  and  they  were  signed  "Nyoman 

Gunarsa"  and  beneath  them  was  a  sticker  that  said  "the  work  of  Nyoman 

Gunarsa." 

AJ:  There  were  paintings  that  resembled  your  paintings,  sir?  And  on  those 

paintings  were  signatures  that  resembled  yours,  sir?  And  there  were  also 

stickers. 

G:  Yes,  stickers. 

AJ:  And  what  kind  of  stickers  were  they? 

G:  The  stickers  read,"  Work  of  Nyoman  Gunarsa." 

AJ:  That  is  what  you  saw  the  time  you  went  to  the  Gallery? 


adalah  karya  terbaik. 

Hakim  Anggota  :  Lukisan  itu  ada  pada 

Museum  ya? 

Saksi:  Ya,  Museum. 

Hakim  Anggota:  Nah  sekarang  kita  masuk 

kepersoalannya  ya,  saudara  sebagai  saksi 

disini    karena    1    (satu)    lukisan    bapak 

dipalsukan,  kan  begitu  ya?  Anda  sudah 

kenal  dengan  terdakwa? 

Saksi:   Saya  kenal  terdakwa  dalam  kasus 

ini. 

Hakim  Anggota:  Perkara  kasus  ini  ya  tho! 

Bapak  pernah  ke  Gallerynya? 

Saksi:     Saya  diajak  oleh,   diminta  oleh 

penyidik  Polda  waktu  itu  tanggal  10  April 

untuk    meyakinkan    apakah    benar   ada 

lukisan  palsu  atau  tidak. 


Hakim  Anggota:  Pada  saat,  pada  waktu  Bapak  kesana  bersama  Polda,  ada 

bapak  lihat  lukisan-lukisan  atau  lukisan-lukisan  bapak  yang  dipalsukan 

yang  dipajang? 

Saksi:  Lukisan  saya  sendiri  tidak  ada. 

Hakim  Anggota:  Tidak  ada  ya? 

Saksi:  Semua  karya-karya  yang  saya  lihat  itu  lukisan  palsu  alias  tiruan. 

Hakim  Anggota:  Tiruan  pak  ya?,  bukan  karya  bapak  ya? 

Saksi:    Tapi  menyerupai  lukisan  saya  dan  juga  ada  tanda  tangan  Nyoman 

Gunarsa  dan  dibawahnya  ada  stiker,  karya  Nyoman  Gunarsa. 

Hakim  Anggota:  Ada  lukisan  menyerupai  lukisan  bapak  ya?,  pada  lukisan 

itu  ada  tanda  tangan  yang  menyerupai  punya  bapak?,  kemudian  apakah 

ada  stiker  ya? 

Saksi  menyela:  "ya  stiker" 

Hakim  Anggota:  Kemudian  apa  isi  stiker  tersebut? 

Saksi:  Isi  stiker  itu  "karya  Nyoman  Gunarsa:" 

Hakim  Anggota:  Itu  yang  bapak  lihat  pada  waktu  bapak  datang  ke  Gallery  itu? 


289 


G:  That's  correct. 

AJ:  How  many  paintings  were  there? 

G:  There  were  eight  paintings. 

AJ:  There  were  eight? 

G:  Here  in  the  courtroom  there  are  six  that 

are  being  used  as  evidence.  But  where  are 

the  other  two  large  paintings? 

AJ:  Now  I  would  like  to  ask  you  about  this 

painting.  Whose  work  is  this  painting? 

(The  judge  points  to  one  of  the  original 

Gunarsa  paintings  that  has  been  brought 

to  the  courtroom  to  serve  as  a  point  of 

comparison  with  the  copies) 

G:  That  is  my  work. 

AJ:   Your  work.  And  what  about  this  one 

here? 

(The  judge  points  to  one  of  the  falsified  paintings  seized  by  the  court  as 

evidence) 

G:  That  is  not  my  work. 

AJ:  Not  your  work,  sir.  So  if  we  look  at  the  paintings,  in  what  way  does  this 

painting  resemble  the  painting  over  there? 

(The  judge  points  to  one  of  the  originals  and  one  of  the  falsifications) 

G:  There  is  a  resemblance,  but  they  are  not  the  same.  They  are  different,  the 

only  thing  the  same  is ... . 

AJ:  (cutting  off  Gunarsas  response)  Where  is  the  difference? 

G:    He  used  a  carved  wooden  frame,  which  is  a  trademark  that  I  always 

use.    I  play  with  the  image  of  the  sun,  so  he  also  plays  with  the  image  of 

the  sun,  but  he  has  not  mastered  the  technique,  because  in  painting  there 

are  two  important  aspects  that  must  be  understood:  the  conceptual  aspect 

and  the  physical  aspect.    For  instance  the  attention  given  to  the  physical 

aspect  is  clearly  not  the  same  as  in  mine.    The  lines  are  weak.    Secondly, 

the  proportions  are  not  true.    It  is  not  the  depiction  of  an  expert  dancer. 

You  can  see  how  a  person  with  their  legs  in  a  position  like  that  would  fall 

down.   (Pointing  to  the  falsified  painting  Gunarsa  stands  up  and  moves  into 


Saksi:  Betul. 

Hakim  Anggota:  Ada  berapa  lukisan  pak? 

Saksi:  Ada  delapan  lukisan. 

Hakim  Anggota:  Ada  delapan  ya? 

Saksi:    Disini  ada  enam  yang  saya  lihat 

dipakai  barang  bukti  itu,  jadi  kemana  dua 

lukisan  yang  gede  itu?. 

Hakim  Anggota:     Sekarang  begini,  saya 

mau  nanya  ya,  ini  kan  lukisan,  yang  ini 

lukisan  karya  siapa? 

(sambil  menunjuk  lukisan  pembanding) 


Saksi:  Lukisan  karya  saya. 

Hakim  Anggota:    Karya  bapak  ya,  kalau 
yang  disana  itu. 
(menunjuk  lukisan  barang  bukti) 

Saksi:  Bukan  karya  saya. 

Hakim  Anggota:  Bukan  karya  bapak  ya,  nah  kalau  dilihat  lukisan  ya,  apa 
ada  kemiripan  lukisan  yang  disana  itu  dengan  lukisan  yang  ini  (menunjuk 
barang  bukti  dan  pembanding) 

Saksi:    Ada  satu  kemiripan,  tapi  tidak  sama.  beda,  hanya  idenya  sama 
(terpotong  pertanyaan  Hakim) 
Hakim  Anggota:  Perbedaannya  dimana? 

Saksi:  Dia  menggunakan  frame  berukir,  selalu  khas  saya  (lukisan  Gunarsa) 
kemudian  saya  main  matahari,  dia  juga  main  matahari,  tapi  tehniknya 
dia  tidak  menguasai  karena  melukis  itu  ada  dua  aspek  penting  yang  harus 
diketahui  aspek  ...  dan  aspek  fisik.  Kayak  apa  yang  terawat  aspek  fisiknya  ini 
jelas  tidak  sama  dengan  punya  saya,  goresannya  ini  lunak,  kedua  proporsi 
tidak  benar  tidak  mengenai  tukang  tari.  Anda  bisa  lihat  bagaimana  posisi- 
posisi  kaki  orang  yang  dengan  posisi  demikian  bisa  jatuh  (sambil  menunjuk 
lukisan  palsu,  kemudian  Gunarsa  berdiri  sambil  memperagakan  agem- 
agem  tari  Bali)  yang  saya  maksud  kiri-kanan  (agem  tari )  jadi  tidak  seperti 


290 


the  stance  of  a  Balinese  dancer.)  What  I  am  referring  to  is  this,  a  "left-right 
stance."  (Gunarsa  demonstrates  the  correct  stance),  which  should  not  be  done 
like  this  (Gunarsa  demonstrates  the  stance  depicted  in  the  false  painting)  or 
you  would  fall  down.  It  is  not  balanced.  Tliis  is  what  you  call  ''agem"  (the 
Balinese  name  for  a  basic  dance  position).  Secondly,  balance.  Thirdly,  that 
dancer  is  too  relaxed  so  the  head  and  the  neck  are  like  a  doll's.  The  head  is  just 
a  circle  on  the  neck  (he  assumes  the  shape  of  a  straight  stiff  line).  Compared 
with  my  work,  he  has  not  mastered  the  proportions  of  human  anatomy.  It 
is  the  same  with  the  fingers.  You  can  see  here  on  the  green  one  {the  falsified 
painting)  and  then  on  this  one  {the  original).  The  fingers  should  be  like 
this  (Gunarsa  demonstrates  the  distinctive  movements  of  a  Balinese  dancer's 
fingers).  Remember  that  my  work  is  based  on  decades  of  study,  while  this  one 
(pointing  to  the  false  painting)  is  the  imitation  of  someone  who  has  worked 
only  a  month.  It  is  not  possible.  It  requires  experience.  That  painting  does 
not  possess  the  required  technique  and  knowledge  and  experience.  That  is 
what  diff^erentiates  it  from  my  work.  To  become  a  master  painter  requires 
time  and  lots  of  experience  that  is  artistic,  practical  and  analytical. 


ini  (posisi  penari  dalam  lukisan  palsu)  bisa  jatuh,  tidak  seimbang,  itu  yang 
namanya  agem,  2  keseimbangan,  3  penari  itu,  membuat  penari  itu  rilek, 
kemudian  kepala  dan  leher  (menunjuk  lukisan  palsu),  ini  kayak  boneka, 
kepala  bulat  lehernya  begini  (membentuk  garis  lurus),  bandingkan  dengan 
karya  saya,  dia  tidak  menguasai  anatomi/ proporsi  manusia.  Kemudian 
jari-jari  juga,  kemudian  kita  lihat  apa  itu  yang  hijau  (lukisan  palsu/barang 
bukti)  sama  itu  (menjelaskan  perbedaan  lukisan  palsu  dengan  karyanya), 
jadi  jari-jari  itu  harus  begini  (menjelaskan  dengan  memperagakan  gerak 
jari  tangan  dan  menunjukkan  sedikit  gerakan  tari),  kalau  ini  sejak  puluhan 
tahun  jangan  lupa  saya  melukis  mempelajarinya,  sedangkan  ini  (menunjuk 
lukisan  palsu)  satu  bulan  bisa  dengan  meniru,  ini  tidak  bisa,  ini  perlu 
pengalaman,  jadi  melukis  itu  bukan  hanya  tehnik  dan  pengetahuan  yang 
diperlukan,  pengalaman  juga  bisa  membedakan  karya.  Jadi  untuk  menjadi 
seorang  maestro  perlu  waktu,  pengalaman  yang  banyak,  artistik,  proyektif, 
analogik  semua. 


AJ:  Ali  right,  sir.  At  the  time  you  were  painting  this  piece,  how  long  did  it 

take  to  finish? 

G:  The  finishing  was  not  a  problem.  What  was  important  was  the  mood. 

AJ:     No,  what  I  meant  was  how  much  time  did  it  take?     Do  you  still 

remember? 

G:    When  I  paint  I  require  the  right  mood  and  moment.    To  express  the 

character,  maybe  about  an  hour.    In  three  or  four  hours  I  can  complete  it 

well. 

AJ:  So  you  don't  need  weeks  and  weeks? 

G:    Oh,  I  don't  work  that  way,  taking  weeks  and  weeks,  because  I  work 

expressionistically. 

AJ:  Otherwise  it  would  disappear? 

G:  Disappear. 

AJ:  All  right.  So  then  where  did  you  learn  that  work  resembling  yours  was 

being  displayed  at  the  Sinyo  Gallery? 

G:   Oh,  I  learned  that  there  were  paintings  that  resembled  mine,  alias  false 


Hakim  Anggota:  Baik  pak  ya!,  pada  saat  bapak  melukis  lukisan  ini  bapak 
selesaikan  berapa  lama? 

Saksi:  Kalau  soal  menyelesaikan  tidak  soal,  yang  penting  ada  mood. 
Hakim  Anggota:  Tidak,  maksudnya  berapa  lama  bapak  menyelesaikan  karya 
mungkin  bapak  masih  ingat? 

Saksi:  Kalau  saya  melukis,  saya  perlu  mood  dan  momen  karena  saya  perlu 
ekspresi,  karakter  itu  satu  jam  mungkin,  tiga  sampai  empat  jam  sudah  bisa 
jadi  bagus. 

Hakim  Anggota:  Jadi  tidak  pernah  berminggu-minggu  ya? 
Saksi:  ooo,  saya  tidak  mau  begitu  bekerja,  karena  kalau  lebih  itu  berminggu- 
minggu,  karena  saya  ekspresif. 
Hakim  Anggota:  Hilang,  gitu  ya. 
Saksi:  Hilang. 

Hakim  Anggota:  Ya,  baik  kemudian  begini  pak  ya,  nah  bapak  dari  mana  tahu 
bahwa  ada  karya  yang  menyerupai  karya  bapak  ya,  dipajang  di  Gallerynya 
Sinyo? 
Saksi:  Oo,  saya  tahu  adanya  lukisan  yang  mirip  karya  saya  alias  tiruan  palsu 


291 


copies,  from  my  wife  on  the  tenth  of  January.  My  wife  went  to  Denpasar  and 

reported  it  to  me.  She  said  calmly  that  she  would  go  the  next  day  to  check 

it  again  with  my  son  Gede  Artison.   So  both  of  them  knew.   I  learned  of  it 

from  my  wife  who  knows  the  character  and  style  of  my  work  because  she  has 

always  been  by  my  side  for  forty  years.   So  my  wife  knows  all  the  rhythms 

and  details  of  my  work  as  well  as  I  do. 

AJ:  (Shows  a  document  to  Gunarsa  and  the  prosecutor  and  defense  attorneys 

and  the  accused.)  It  is  a  receipt  from  Ibu  Sida. 

G:  Yes,  I  obtained  this  from  Ibu  Sida. 

AJ:  When  did  you  obtain  it? 

G:  I  obtained  it  on  the  twenty-sixth  of  April. 

AJ:  She  came  directly  to  your  house,  sir? 

G:  She  came  to  Kungklung  to  find  out  if  it  was  authentic  or  not. 

AJ:  In  the  sense  of  a  complaint,  sir? 

G:   Yes,  it  was  a  complaint.   "Oh  that  is  not  authentic,"  I  said,  because  she 

pointed  to  a  receipt  with  my  name  on  it,  and  I  was  very  surprised.  Shocked. 

Because  my  reputation  {harga  diri)  was  actually  being  commercialized 

without  permission.    This  had  to  be  investigated.    I  am  not  a  person  who 

usually  pursues  these  things,  but  this  goes  to  the  root  of  Indonesian  law.  We 

don't  want  it  to  become  an  issue.  We  don't  want  to  give  the  impression  that 

we  are  a  nation  of  pirates.  {''Negeri  Pembajak"). 

AJ:  It  became  an  issue.  Did  people  or  galleries  complain? 

G:  Ibu  Sida.  Sumerta.  Sumerta  sent  his  staff  there  to  check  two  paintings. 
Sumerta  said  that  he  got  the  painting  from  Bu  Ninik,  an  employee  of  Bank 
BCA.  Bu  Ninik  got  the  painting  from  Johannes  Kristyono.  I've  known  him 
since  June. 

AJ:  So,  you  painted  this  painting.  If  I  see  clearly,  this  is  a  painting  of  two 
dancers,  is  that  correct?  When  you  make  a  painting  like  this,  is  it  from  a 
model?  Are  there  several  or  only  one  or  what? 

G:  For  me  it  is  like  this:  that  object  is  an  object,  but  that  object  can  become 
the  character  of  a  painting  with  my  inspiration,  and  I  can  repeat  it  several 
times.  This  is  common  in  the  working  style  of  Affandi.  He  painted  profiles 


itu,  dari  istri  saya,  tanggal  10  Januari ,  jadi  istri  saya  itu  keluar  ke  Denpasar, 

dia  lapor  ke  saya,  saya  hilang  tenang-tenang  dulu  besok  di  cek  (lukisan  suami 

saya)  supaya  dicek  kembali  jam  11.30  saya  punya  anak  Gde  Artison  jadi  ada 

dua  orang  yang  tahu  dari  istri  saya  sendiri,  istri  saya  tahu  gaya  dan  style  saya 

karena  dia  selalu  mendampingi  saya  hampir  40  tahun,  jadi  istri  saya  tahu 

guritno  segalanya  itu  tahu  betul  bagaimana  saya. 

Hakim  Anggota:  (Meminta  sesuatu  kepada  Jaksa  dan  meminta  Gunarsa  juga 

penasehat  Hukum  terdakwa  melihat  kwitansi  dari  Ibu  Sida) 

Saksi:  Ya,  saya  dapat  ini  dari  Ibu  Sida. 

Hakim  Anggota:  Kapan  anda  dapatkan? 

Saksi:       Saya    dapatkan    itu    tanggal   26   April    (tahunnya    tidak  jelas 

kedengaran) 

Hakim  Anggota:  Langsung  datang  ke  rumah  bapak?. 

Saksi:  Datang  ke  Klungkung  menyampaikan  asli  atau  tidak. 

Hakim  Anggota:  Dalam  arti  komplain  pak  ya? 

Saksi:     Ya  komplain,  wah  itu  bukan  asli,  saya  bilang  begitu,  sebab  dia 

menunjukkan  ada  kwitansi  dan  ada  nama  saya  disana,  saya  kaget  sekali, 

shock.  Karena  harga  diri  saya  betul-betul  disini  dikomersilkan  dan  juga  tanpa 

ijin,  ini  yang  perlu  kita  tuntaskan.  Semua  ini  saya  bukan  orang  per  orang 

harus  tuntas  masalah  tapi  berdasarkan  hukum  di  Indonesia  ini,  jangan  jadi 

topik  ada  kesan  katakanlah  jadi  negeri  pembajak. 

Hakim  Anggota:  Jadi  langsung  pada  topik,  ada  berapa  orang  atau  Gallery 
yang  komplain?. 

Saksi:  (satu)  Ibu  Sida,  (dua)  Sumerta,  Sumerta  mengirim  anak  buahnya 
kesana  suruh  ngecek  membawa  dua  buah  lukisan,  Sumerta  hilang  bahwa  ia 
dapat  lukisan  dari  Bu  Ninik,  pegawai  Bank  BCA,  Bu  ninik  mendapat  lukisan 
itu  dari  Johanes  Kristyono.  Saya  kenal  dari  bulan  Juni  (Januari  -  Juni). 
Hakim  Anggota:  Kemudian  begini  ya,  bapak  melukis  ini  ya,  kalau  saya 
lihat  jelas  ini  lukisan  dua  orang  penari  ya?,  nah  apakah  bapak  yang  melukis 
model  begini,  ada  berapa  banyak  kalau  dalam  melukis  ada  hanya  satu  atau 
bagaimana? 

Saksi:  Saya  begini,  obyek  itu  kan  satu  obyek  tetapi  obyek  itu  bisa  menjadi 
berbagai  karakter  lukisan  dengan  inspirasi  saya,  bisa  berkali-kali  dan 
berulang-ulang,  itu  sudah  biasa  justru  stylenya  Affandi,  Hendra,  dia  melukis 


292 


FAKE  PAINTING 
LUKISAN  PALSU 


NYOMAN  GUNARSA'S  TRUE  PAINTING 
LUKISAN  ASLI  NYOMAN  GUNARSA 


This  painting  was  boutht  by  Ibu  Sida  from  the  CeUini  Gallery,  owned  by  Hendra  Dinata, 

ahas  Sinyo,  on  Jalan  Gatot  Subroto,  Denpasar. 

Lukisan  ini  dibeli  Ibu  Sida  di  Cellini  Gallery  milik  Hendra  Dinata  alias  Sinyo 

di  II.  Gatot  Subroto  Denpasar. 


A  painting  from  the  Collection  of  the  Museum  of  Balinese  Classical  Art  as  a  point  of  comparison. 
Lukisan  koleksi  Museum  Seni  Lukis  Klasik  Bali  sebagai  pembanding. 


293 


several  times,  and  they  came  out  well,  but  were  never  the  same. 

AJ:  So  this  is  an  example  of  a  model  painting.  The  problem  is  that  the  lines 

are  different  from  the  model? 

G:  Different.  Very  different.  So  it  cannot  fulfill  the  aspiration  of  art. 

AJ:    So  as  for  the  paintings  in  the  gallery,  there  were  eight  pieces,  is  that 

correct?  And  of  the  eight,  none  of  them  were  your  work,  is  that  correct? 

G:  They  were  not  my  work! 

AJ:  There  were  signatures  on  all  of  them. 

G:  There  were. 

Second  Associate  Judge:    There  were  signatures  that  resembled  yours  on 

them,  is  that  correct? 

G:  There  were. 

SAJ:  What  year  did  you  begin  painting? 

G:   1960. 

SAJ:  What  year  did  you  begin  registering  your  paintings. 

G:  1998,  sir,  under  intellectual  copyright.  (HAKI) 

SAJ:  Do  you  still  remember  the  registration  number? 

G:  I  remember  the  number:  021240. 

SAJ:  What  year? 

G:  2000. 

SAJ:  Before  that,  no? 

G:    It's  like  this:  As  an  artist,  when  a  work  is  complete,  it  is  immediately 

protected  under  the  law  as  an  original.  It  is  already  protected  according  to 

the  code  of  laws,  so  to  register  it  becomes  a  double  declaration.  So  I  appeal 

to  Indonesian  artists  to  understand  the  law,  so  that  artists  will  not  be  taken 

advantage  of  and  exploited. 

SAJ:  In  the  registration  are  there  several  paintings  registered? 

G:  There  is  one  group  of  paintings. 

SAJ:    Does  that  include  this  painting  here?  (pointing  to  one  of  Gunarsas 

paintings). 

G:  No,  but  it  is  the  same  style,  so  it  is  included  in  the  group.  In  this  book 

there  are  120  examples. 

SAJ:  As  for  the  painting  that  is  here,  was  it  registered  or  not? 


profil  dirinya  berkali-kali,  itu  sudah  jadi  tetapi  tidak  sama. 

Hakim  Anggota:  Jadi  ini  salah  satunya  lukisan  model  begini,  soal  obyek  yang 

ada  model  lain  tapi  goresannya  sudah  lain  ya? 

Saksi:  Lainnya  lain,  jadi  akan  berkembang  karena  itu  aspirasi  seni. 

Hakim  Anggota:  jadi  mengenai  lukisan  di  Gallery  itu  coba  bapak  lihat  ada 

delapan  karya  ya?,  yang  ke  delapan  karya  ini  bukan  karya  bapak  ya? 

Saksi:  Bukan  karya  saya! 

Hakim  Anggota:  tanda  tangan  ada  tertera  semua? 

Saksi:  ada. 

Hakim  Anggota  H:  Yang  menyerupai  tanda  tangan  bapak  itu  juga  ada? 

Saksi:  Ada. 

Hakim  Anggota  II:  Dari  tahu  berapa  saksi  melukis? 

Saksi:  Tahun  1960. 

Hakim  Anggota  II:    Dari  tahu  berapa  saksi  mendaftarkan  lukisan-lukisan 

saksi? 

Saksi:  Tahun  1998,  pada  HAKI  pak! 

Hakim  Anggota  U:  Masih  ingat  nomor  pendaftarannya? 

Saksi:  saya  ingat  nomor :  021240 

Hakim  Anggota  II:  Tahun  berapa? 

Saksi:  Tahun  2000. 

Hakim  Anggota  II:  Sebelumnya  tidak? 

Saksi:   Begini,  sebagai  seniman  kalau  karya  itu  sudah  jadi,  maka  langsung 

mendapat  perlindungan  hukum  dan  asli.  Itu  sudah  mendapat  perlindungan, 

ini  menurut   Undang-Undang  apalagi  didaftarkan  jadi  dobel  mendapat 

pengakuan.  Jadi  saya  mnghimbau  kepada  seniman  Indonesia  biar  tahu 

hukum,  biar  sebagai  seniman  jangan  sampai  dikalahkan,  dieksploitir. 

Hakim   Anggota   IT.      Dalam    mendaftarkan    ada    berapa    buah    lukisan 

didaftarkan? 

Saksi:  Ada  satu  buah  lukisan. 

Hakim   Anggota  II:   Apa  termasuk  lukisan  ini?,  (sambil  menunjuk  lukisan 

karya  Gunarsa). 

Saksi:  Tidak,  tapi  sejenis  menyerupai  satu  gaya  karena  terbatas  pada  panitia, 

itu  buku,  tapi  ada  yang  120  biji  satu  buku. 

Hakim  Anggota  II:  Lantas  lukisan  yang  ada  disini  sudah  didaftarkan  apa  tidak? 


294 


G:    I  did  not  yet  register  this  one,  but  I  already  have  the  copyright  for  it, 
because  as  I  have  clearly  demonstrated,  it  has  the  same  form  as  my  work 
that  is  already  protected  under  the  law. 
AJ:  Your  works  are  registered  in  the  form  of  a  published  book. 

G:  I  always  do  that,  but  in  the  book  there  are  many  (paintings).  (He  exhibits 

the  book). 

AJ:  When  your  works  are  sold,  how  much  do  they  cost? 

G:   There  are  varying  prices  depending  on  the  size,  from  a  sketch  at  about 

a   hundred   million   rupiah   to   two 

hundred  million  rupiah  (points  to  a 

painting  of  150x150  cm.) 

AJ:  So  the  price  of  a  painting  depends 

on  its  size? 

G:     No,  not  at  all.     It  is  based  on 

the  level  of  accomplishment.     The 

quality. 

AJ:   In  selling  your  paintings  to  you 

pay  taxes? 

G:  Until  now  because  I  am  a  freelance 
artist,  so  I  am  not  assessed  sales  tax. 

Prosecuting  Attorney  (Jaksa  Umum): 

You  just  testified  that  your  wife  and 

son  went  to  Sinyo's  Gallery  on  January 

tenth  and  eleventh,  and  that  then  you 

went  there  on  April  tenth.    Among 

the  ten  paintings  that  were  displayed 

and  seen  and  witnessed  by  you  in  person,  were  any  of  those  paintings  on 

display  licensed  by  you? 

G:  No,  that  is  not  true.  I  have  never  licensed  any  of  my  work.  Never.  If  he 

testified  that  he  had  a  license  form  me,  that  is  slander.  I  never  licensed  my 

work.  Perhaps  I  can  show  you  what  I  brought. 


Saksi:  Kalau  yang  ini  belum  saya  daftarkan,  tapi  sudah  mempunyai  hak, 
karena  ini  merupakan  karya  saya  yang  nyata  yang  jelas  sudah  dilindungi 
hukum. 

Hakim  Anggota:     Karya-karya  saksi  apa  didaftar  dalam  bentuk  buku/ 
dimuseumkan  (dicatat)  dibukukan  (lukisan-lukisan  apa  ada  daftarnya)? 
Saksi:  Saya  selalu,  tapi  didalam  buku  banyak  (dan  menjelaskan  buku-buku 
yang  memuat  karya-karyanya). 

Hakim  Anggota:  Karya-karya  kan  dijual,  berapa  harganya? 
Saksi:  Itu  bervariasi,  itu  ada  ukuran,  dari  sket  ada  dari  100  juta  sampai  200 

^     juta  (menunjuk  lukisan  ukuran  150 
"^~'  X  150  Cm). 

Hakim  Anggota:  Apa  ukuran  lukisan 
itu  mempengaruhi  harga? 
Saksi:         Oh     bukan     itu,     karena 
prestasinya,  Quality. 

Hakim  Anggota:  Dalam  menjual 
lukisan  apa  saudara  membayar 
pajak? 

Saksi:  Sampai  saat  ini  karena  saya 
seniman  bebas,  karena  saya  bukan 
ahlinya  itu  saya  tidak  kena  pajak. 
J  P  U:  Saudara  saksi  tadi  saudara 
mengatakan  bahwa  anak  dan  istri 
saudara  datang  ke  Gallery  Sinyo 
tanggal  10  dan  11,  kemudian  saudara 
tanggal  10  April  datang  kesana,  nah 
diantara  10  lukisan  yang  terpajang, 

yang  dilihat  saudara  dan  disaksikan  saudara  sendiri  secara  langsung,  apakah 

didalam  memajang  tersebut  ada  ijin  saudara? 

Saksi:  Tidak  benar,  saya  tidak  pernah  memberikan  ijin,  tidak  pernah!,  kalau 

dia  terangkan  dia  sendiri  bawa  ijin,  itu  fitnah,  tidak  pernah  ada  ijin,  mungkin 

bisa  saya  tunjukkan,  saya  bawa. 


295 


PA:  So  there  was  no  license.  Then  you  remember  that  the  false  paintings 
were  sold.  You  explained  that  one  was  sold,  just  now  with  the  receipt.  To 
whom  else  were  the  paintings  sold? 

G:  As  I  said  before  I  learned  from  Sumerta  that  Sumerta  delivered  some  to 
Mr.  Nengah  Mudra,  and  it  was  said  that  he  got  them  from  Ibu  Ninik  who 
in  turn  got  them  from  Mr.  Johannes  Kristyono.   A  water  color  and  an  oil. 
They  are  here,  (he  points  to  a  green  painting  and  a  small  one). 
PA:  Can  you  explain  again  which  paintings  were  sold  to  who? 

G:   Ibu  Sida  had  one  with  three  dancers.   Mr.  Kristyono  had  two  dancers 

and  a  Tamulilingan  dancer,  an  oil,  and  a  watercolor. 

PA:  So  those  two  paintings  were  sold  to  someone.  Besides  those  two  that 

were  sold  to  Ibu  Sida,  to  whom  were  the  others  sold? 

G:  Those  two  paintings  were  from  Ibu  Ninik.  Ibu  Ninik  brought  them  to 

Sumerta.  Then  Sumerta  asked  me  about  them  and  I  said  that  they  were  not 

my  work.    So  I  asked  if  he  would  be  a  witness  and  show  them  as  evidence 

here. 

PA:  So  among  the  pieces  of  evidence,  can  it  be  seen  which  are  original  and 

which  are  false. 

G:  It  can  be  seen.  (He  points  to  the  paintings  from  Sumerta,  Kristyono,  and 

Ibu  Sida)  And  I  can  say  that  these  works  are  not  mine,  they  are  falsifications. 

They  are  all  false,  (the  witness  points  to  them).  Those  false  paintings  are  not 

done  according  to  the  proportions  and  form  of  the  human  body.  The  color 

and  form  of  the  frames  are  different. 


J  P  U:  Jadi  tidak  ada  ijin,  kemudian  saudara  mengingatkan  bahwa  itu  lukisan 

palsu  yang  ada  dijual,  ternyata  saudara  menjelaskan  bahwa  itu  dijual,  seperti 

tadi  ada  kwitansi,  kepada  siapa  lagi  lukisan  itu  dijual  ? 

Saksi:  jadi  kepada,  ini  tadi  saya  katakan  dari  Sumerta,  Sumerta  itu  ajudannya 

bawa  ke  pak  Nengah  Mudra,  katanya  dapat  dari  Ibu  Ninik,  kemudian  Ibu 

Ninik  dapat  dari  Bapak  Johanes  Kristyono,  cat  air  dan  cat  minyak,  disini  ada 

(sambil  menunjuk  lukisan  hijau  dan  kecil). 

/  P  U:  Coba  saudara  jelaskan  lagi  tiap-tiap  lukisan  itu  temanya  seperti  apa 

yang  dijual? 

Saksi:   Ibu  Sida  ada  tema  tiga  orang  penari,  kemudian  pak  Kristyono  dua 

orang  penari  dan  tari  tamulilingan,  cat  minyak  dan  cat  air. 

J  P  U:  Jadi  dua  lukisan  itu  dijual  kepada  siapa,  disamping  dua  lukisan  yang 

dijual  kepada  Ibu  Sida,  dijual  kepada  siapa? 

Saksi:   Dua  lukisan  oo  itu  dari  Bu  Ninik,  Bu  Ninik  bawa  ke  Sumerta,  jadi 

pak  Sumerta  menanyakan  kepada  saya,  saya  bilang  ini  bukan  karya  saya, 

kemudian  saya  minta  dan  jadi  saksi  dan  barang  bukti  disini. 

J  P  U:  Jadi  diantara  itu  ada  yang  barang  bukti  mana  yang  asli,  mana  yang 
palsu  bisa  dilihat?. 

Saksi:  Bisa  dilihat  (menunjukkan  lukisan  dari  Sumerta,  Kristyono,  Ibu  Sida) 
dan  menyatakan  ini  bukan  karya  saya  alias  palsu,  semua  palsu  (ditegaskan 
saksi).  Jadi  lukisan  palsu  itu  tidak  sesuai  proporsi  dan  bentuk  fisik,  yang 
pewarnaan  bentuk  frame  beda. 


PA:  Of  the  ten  paintings  that  were  displayed,  it 
seems  that  there  were  six,  that  although  they  were 
not  your  work  had  your  signature  on  them,  and 
also  had  stickers  that  read,  "The  Work  of  Nyoman 
Gunarsa."  Can  you  show  us  where  those  stickers 
were  located? 


/  P  U:  Dari  sepuluh  lukisan  yang  dipajang,  ternyata 
diantaranya  6,  itu  lukisan  yang  dipajang  itu  bukan 
karya  dari  saudara,  akan  tetapi  tanda  tangannya 
dalam  lukisan  itu  ada  tanda  tangan,  kemudian 
ada  stiker  yang  bertuliskan  karya  Nyoman  Gunarsa 
dan  dapatkah  saudara  menunjukkan  dimana  stiker 
tersebut  berada?  (disela  hakim) 


296 


Head  Judge:  All  right.  Before  you  answer  that,  at  the  time  that  you  arrived 

{at  Sinyo's  Gallery)  and  saw  eight  paintings,  did  you  see  paintings  like  those? 

(points  to  the  false  paintings). 

G:  Yes,  that's  right. 

HJ:  What  the  Prosecuting  attorney  is  asking  is,  "Was  your  signature  there?" 

Was  your  signature  there? 

G:  Something  resembling  my  signature  was  there. 

HJ:    Was  it  your  signature  or  not?  The  signature  on  that  painting,  was  it 

your  signature  or  not? 

G:  No  it  was  not. 

H:  That's  the  answer. 

G:    But  I  have  photographs  from  that  time  taken  by  the  district  police. 

(Gunarsa  takes  photos  from  his  bag). 

JA:   Then  according  to  you,  in  your  experience,  they  must  be  genuine,  is 

that  correct? 

G:  They  must. 

JA:  Please  show  them  to  us. 

(Gunarsa  takes  photos  from  his  bag  and  shows  them  to  the  judge,  the 

prosecutor,  the  defender,  and  the  accused). 

Counsel  for  the  Defense  of  the  Accused:    You  gave  testimony  before  the 

investigator  explaining  that  your  paintings  were  in  the  realm  of  abstract 

impressionism.   I  would  like  to  ask  if  traditional  paintings  are  included  in 

the  movement  of  abstract  impressionism.  And  are  there  similarities  among 

impressionist  works? 

G:  To  answer  this  we  have  to  go  back  to  the  word  "impress"  which  means 

that  something  makes  and  impression,  it  possesses  an  impression  of  its  own. 

There  are  two  words  in  the  term,  impressionist  and  abstract.  The  impression 

resembles  the  trace  of  the  object.      So  the  form  is  not  important  to  the 

impression,  but  the  symbol  of  the  impression  has  to  have  the  proportions  of 

the  object  of  which  it  is  an  abstraction.  I  choose  abstraction  because  I  like 

to  be  free,  especially  in  the  background.  Freedom.  Abstraction.  Expressing 

what  cannot  be  seen.    If  I  want  emotion  I  can  break  out.    Otherwise  the 

painting  would  be  just  like  a  videograph. 

HJ:  That's  the  answer. 


Hakim:    Baik  sebelum  dijawab  ya,  pada  waktu  saudara  datang  (ke  Sinyo 

Gallery)  dilihat  ada  delapan  lukisan,  apa  saudara  lihat  lukisan-lukisan  itu 

(menunjuk  lukisan  palsu)  seperti  ini? 

Saksi:  Ya,  betul!! 

Hakim:   Maksud  dari  Pak  Jaksa  (Hakim  menjelaskan  berkaitan  dengan  itu 

apakah  ada  tanda  tangan  saudara  disana?,  apakah  ada  tanda  tangannya 

saudara? 

Saksi:  Menyerupai,  ada. 

Hakim:  Apakah  tanda  tangan  saudara  atau  bukan?,  apakah  tanda  tangan 

pada  lukisan  itu,  apakah  tanda  tangan  saudara  atau  bukan? 

Saksi:  Bukan! 

Hakim:  Itu  jawabannya. 

Saksi:    Tapi  saya  punya  foto-foto  saya  waktu  diambil  oleh  Polda  (sambil 

mengambil  foto  dalam  tasnya) 

/  P  U:  Jadi  ini  menurut  pandangan,  pengalaman  saudara,  jadi  harus  yang 

benar  pak  ya! 

Saksi:  Harus. 

J  P  U:  Silahkan  tunjukkan. 

Saksi:    (membawa  foto  dan  ditunjukkan  pada  majelis  Hakim,  Jaksa  dan 

penasehat  hukum  terdakwa) 

Penasehat  Hukum:  Saudara  saksi,  saudara  pernah  memberikan  keterangan 

didepan  penyidik,  yang  menerangkan  bahwa  lukisan  saudara  itu  adalah 

termasuk  kedalam   impresionisme  abstrak,  yang  saya   tanyakan  apakah 

pelukis-pelukis    tradisional    termasuk    didalamnya    aliran    impresionisme 

abstrak,  apakah  karya  impresionisme  itu  ada  kemiripan? 

Saksi:  Jadi  ini  termasuk  tentang  obyek,  ada,  ini  dari  kata  impress  itu,  kesan 

jadi,  memiliki  kesan,  ada  terdiri  dari  dua  kata  impresionis  dan  abstrak,  impres 

merupakan  kesan  dari  obyek.  Jadi  kesan-kesan  tidak  mementingkan  bentuk, 

tetapi  kesan  simbul  ada  proporsi  kemudian  yang  abstrak  itu,  saya  memilih 

abstrak  karena  ingin  kebebasan  saya  terutama  back-ground,  kebebasan, 

abstraksi,  ekspresi  memang  sesuatu  yang  tak  nyata,  tetapi  saya  ingin  emosi 

saya  bisa  keluar,  kalau  tidak  lukisan  itu  bisa  seperti  videografi. 


Hakim:  Jawabnya  ada! 


297 


CDA:  So  there  are  similarities  within  the  same  movement? 

G:  It's  different.  Each  movement  is  different,  because  individual  identities 

are  different.  But  the  object,  the  object  that  is  painted  is  there.    But  each 

person  is  different,  because  their  identities  are  different.    So  within  one 

movement  there  must  be  differences. 

CDA:    So  the  forms  can  be  different,  can't  they?    Fundamentally  you  are 

saying  that  when  you  make  a  painting  you  need  an  object.  Can  you  or  can 

you  not  paint  it  several  times,  one  time  one  way,  and  another  time  a  different 

way?  We  want  to  ask  if  the  paintings  that  you  call  false  have  similarities  to 

yours? 

G:    They  do.    The  ideas,  the  concepts  are  almost  the  same,  especially  the 

frame  and  trappings,  but  not  at  all  identical  to  mine.  Then  there's  the  dance. 

They  depict  dance  movements  that  are  almost  the  same.  My  wife,  after  they 

were  examined  by  my  wife  and  myself  in  a  detailed  way,  I  could  see  that  the 

technique,  the  technical  ability  was  different  in  terms  of  the  proportions, 

form,  profiles,  colors,  and  lines  that  were  there.  The  personality  or  character 

was  very  different,  the  identity.     The  person  that  painted  these,  I  believe 

this  is  in  accordance  with  what  I  testified  to  the  police,  does  not  have  a 

personality.  I  consider  these  paintings  to  be  raw.  (mentah). 


Penasehat  Hukum:  Jadi  ada  kemiripan  diantara  sesama  aliran? 
Saksi:  Beda,  setiap  aliran  berbeda,  karena  pribadi  itu  berbeda,  tapi  satu  obyek, 
obyek  yang  dilukis  itu  ada,  tetapi  setiap  orang  berbeda  karena  kepribadian 
itu  berbeda,  jadi  suatu  aliran  itu  harus  berbeda  -beda. 

Penasehat  Hukum:  Jadi  wujudnya  bisa  beda  atau  lain?  Berdasarkan 
pernyataan  saudara,  bahwa  saudara  saksi  didalam  membuat  satu  lukisan 
itu  perlu  obyak  yang  sama,  satu  obyek.  Bisa  enggak  saudara  melukisnya 
beberapa  kali  tetapi  antara  satu  dan  yang  lain  berbeda.  Kami  ingin  tanyakan 
bahwa  lukisan  yang  saudara  katakan  palsu  itu  ada  kemiripan  apa? 
Saksi:  Ada  dari  ide,  gagasan  hampir  sama,  terutama  frame,  asesorinya,  itu 
bukan  identik  saya,  kemudian  tari,  membuat  gerak  tari  juga  hampir  sama, 
istri  saya,  setelah  dicek  istri  dan  saya  sendiri  secara  detail  itu  disana  saya 
lihat  tehniknya,  itu  kemampuan  tehnik  yang  berbeda  baik  dari  proporsi, 
bentuk,  profil  atau  warnanya,  goresan  di  sana  apa-apa,  pribadi  atau  karakter 
berbeda-beda,  jadi  yang  berkepribadian,  orang  yang  melukis  ini  saya  kira  itu 
memang  sesuai  dengan  keterangan  saya  di  kepolisian  itu,  ini  tidak  memiliki 
kepribadian.  Saya  anggap  ini  suatu  karya  yang  mentah. 


CDA:  So  there  are  similarities  in  the  ideas?  Especially  in  the  selection  of 
the  object  and  the  selection  of  the  trappings  of  the  frame,  and  so  forth? 

G:  Yes,  similarities  and  resemblances,  but  they  are  not  the  same. 

CDA:   Among  the  paintings  that  are  here  as  evidence  that  resemble  those 

false  paintings,  where  are  the  signatures  that  resemble  your  signature. 

G:  (Shows  them  to  the  lawyers  and  the  accused).  Because  these  paintings  are 
not  my  work,  it  goes  without  saying  that  anything  he  makes  is  a  falsification. 
So  he  should  have  distinguished  his  work  from  mine,  so  as  not  to  deceive 
the  public  and  the  customers  and  the  art  community,  because  his  technique 
is  different,  ft  is  unquestionably  false. 

CDA:  For  clarification,  you  pointed  to  some  of  the  false  paintings,  is  that 
correct?  And  you  recently  testified  that  you  had  given  some  paintings  to 
Mr.  Switha.   What  we  would  like  to  know  is:  are  any  of  the  paintings  you 


Penasehat  Hukum:   jadi  kemiripan  itu  ada  dalam  ide?,  khususnya  dalam 

pemilihan    obyek    kemudian   pemilihan    asesoris    dalam  frame,    apakah 

demikian? 

Saksi:  Ya,  mirip-mirip,  serupa  tapi  tak  sama. 

Penasehat  Hukum:    Saya  kira  diantara  barang  bukti  yang  berupa  lukisan 

palsu  itu  dimana  yang  ada  tanda  tangan  yang  mirip  dengan  tanda  tangan 

saudara? 

Saksi:     (Menunjukkan  bersama  Jaksa  dan  penasehat  hukum  terdakwa). 

Karena  ini  lukisan  bukan  karya  saya  otomatis  sebenarnya  apa  yang  dia  buat 

adalah  palsu,  mestinya  itu  mengisahkan  bahwa  karya  saya,  seolah  -olah 

ini  mengelabui  para  pemirsa  atau  pembeli  atau  komuni  art,  tapi  tehniknya 

berbeda,  otomatis  itu  palsu. 

Penasehat  Hukum:  Saudara  saksi,  untuk  penegasan  saja  seperti  yang  anda 

sampaikan  tadi  lukisan  palsu  ya?,  saudara  saksi  tadi  ada  mengatakan 

memberikan  lukisan  kepada  saudara  Switha.  Yang  kami  tanyakan  adalah 


298 


gave  to  him  here  among  these  paintings? 

G:  No. 

CDA:  How  closely  do  you  know  Mr.  Switha? 

G:    I  met  him  on  October  first,  1989.    He  was 

with  Putu  Jaya  at  Pecatu  Graha,  a  staff  employee 

of  Tommy.     Putu  Jaya  asked  me  to  make  a 

painting  of  Balangan  Beach,  so  at  that  time  Putu 

Jaya  sent  Made  Switha  to  pick  me  up  and  give 

me  a  ride  from  Klungkung  to  Balangan.  So  that 

is  how  I  met  him  at  that  time.   I  don't  have  any 

relationship  with  him.  I  only  know  him  through 

Putu  Jaya. 

CDA:  That  is  your  opinion  of  Made  Switha.   To  your  knowledge  is  Made 

Switha  a  painter? 

G:  No,  he  is  not  a  painter. 

CDA:  Does  he  own  a  gallery? 

G:  Yes,  at  that  time  he  built  Show  Room  Made  Switha  and  I  was  asked  to  go 

there  to  Nusa  Dua  to  the  art  gallery.  Well  of  course  I  was  asked  to  open  the 

gallery,  but  I  did  so  as  a  favor  to  give  my  imprimatur  to  the  gallery.  As  an 

old  man  I  think  that  young  people  need  support.  It  turned  out  differently 

than  what  I  had  expected.  He  misused  my  trust.  It  appears  that  he  said  in 

the  police  report  that  he  brought  ten  of  my  paintings  there.  But  although  I 

feel  sympathy  for  him,  it  is  not  clear  that  the  ten  paintings  I  saw  there  were 

the  paintings  I  had  given  him  at  that  time. 

CDA:  They  were  not  the  same? 

G:  They  were  not! 

CDA:   We  apologize  in  advance  for  the  next  question  because  it  might  be 

a  little  personal,  but  I  had  the  opportunity  to  talk  about  it  just  now.    The 

question  is  whether  or  not  you  noticed  any  difference  in  the  quality  of  your 

paintings  before  and  after  your  illness? 

G:  I  believe  that  there  is  no  difference  in  the  work  before  and  after  my  illness. 

It  is  the  same.  But  during  the  time  I  was  sick  I  did  take  a  complete  rest  and 


diantara  lukisan-lukisan  ini  ada  lukisan  yang 
saudara  berikan? 
Saksi:  Tidak  ada. 

Penasehat   Hukum:      Seberapa   dekat  saudara 
mengenal  saudara  Switha? 
Saksi:    Saya  mengenal  ia  pada  1  Oktober  1989, 
ia  diantar  oleh  Putu  Jaya  yang  di  Pecatu  Graha 
anak  buahnya  Tommy.  Putu  Jaya  minta  supaya 
saya  melukis  pantai  Balangan,  kemudian  pada 
waktu  itu  Putu  Jaya  menyuruh  Made  Switha 
untuk    menjemput   saya    ke   Klungkung   antar 
jemput  PP  dari  Klungkung  ke  Balangan.  Jadi 
dengan  demikian  saya  kenalnya  pada  waktu  itu, 
saya  dengan  dia  tidak  ada  apa-apanya,  Cuma  kenal  Putu  Jaya. 
Penasehat  Hukum:    Itu  pendapat  saudara  saksi  mengenai  Made  Switha. 
Apakah  sepengetahuan  saksi  Made  Switha  ini  seorang  pelukis? 
Saksi:  Tidak,  dia  bukan  seorang  pelukis. 
Penasehat  Hukum:  Apakah  ia  memiliki  Gallery? 

Saksi:  Ia,  waktu  itu  ia  membuat  show  room  Made  Switha,  kemudian  saya 
disuruh  kesana  di  Nusa  Dua,  disana  ada  Gallery  seni.  Nah  tentu  saya  disuruh 
membuka  Gallery  itu  tapi  saya  secara  dengan  baik  hati,  saya  tanda  tangani 
semua  itu  Gallerynya.  Saya  juga  bilang  sebagai  orang  tua  tentu  anak-anak 
muda  perlu  di  support.  Ternyata  berbeda  dengan  apa  yang  saya  terima 
ternyata  ia  menyalahgunakan  kepercayaan  saya,  ternyata  ia  bilang  dalam 
BAP  itu  telah  menderop  sepuluh  lukisan.  Tapi  yang  sangat  saya  sayangkan 
pikiran  orang  itu,  tapi  yang  saya  tidak  jelas  itu  ternyata  kesepuluh  lukisan 
yang  saya  lihat  itu  bukan  lukisan  yang  saya  berikan  pada  waktu  itu. 
Penasehat  Hukum:  Bukan? 
Saksi:  Bukan!! 

Penasehat  Hukum:  Saudara  saksi  kami  mohon  maaf  sebelumnya,  mungkin 
pertanyaan  ini  terlalu  yah  sedikit  pribadi  bisa  dibilang  begitu  tadi  sempat 
saya  ungkap.  Pertanyaannya  setelah  sakit  kalau  saudara  saksi  bandingkan 
apakah  ada  perbedaan  dari  kwalitas  seni  saudara  dan  sesudahnya? 
Saksi:  Saya  menganggap  tidak  ada  perbedaan  sebelum  dan  setelah  sakit, 
sama.  Tetapi  waktu  sakit  itu  memang  istirahat  total  dan  waktu  saya  sakit 


299 


the  doctor  said  I  only  had  lost  a  little  control  of  my  hands.  After  that  I  took 

some  medicine  and  painted  again.  I  have  a  letter  from  the  Sanglah  hospital 

stating  that  my  body  and  soul  were  fine  and  back  to  normal. 

CDA:  A  certificate  of  health? 

G:  But  it  is  clear  that  my  illness  should  not  be  exploited  for  making 

insinuations  about  the  difference  between  my  true  work  and  the  falsifications. 

That  is  a  violation  of  human  rights. 

CDA:  Are  you  sure  they  are  not  your  paintings? 

G:   They  are  not.   And  a  person's  illness  should  not  be  brought  up  in  this 

trial.  It  is  not  proper! 

HJ:  Let  me  intervene  a  little,  sir.  It  is  clear  to  you  that  those  paintings  are 

not  yours.  Do  you  know  who  painted  them? 

G:   I  do  not  know.  That  is  a  question  for  the  police.   If  the  police  want  to 

make  a  case  against  Switha  along  with  Sinyo,  they  should  arrest  them. 

HJ:   When  you  went  to  Gallery  Cellini,  Gallery  Sinyo,  did  you  ever  meet 

Sinyo  there? 

G:  No. 

HJ:  So  the  paintings  that  are  here  seem  to  belong  to  Sinyo.  Where  did  they 

originate? 

G:  I  don't  know. 

HJ:  I  think  that  concludes  the  testimony  of  the  witness. 

CDA:  (Interrupting  the  Judge)  Your  Honor. 

H  J:  If  you  have  anything  to  add,  please  make  it  concise  and  to  the  point. 

CDA:  An  additional  question,  sir.  In  your  studio  or  in  the  museum  at  your 

residence  have  you  ever  sold  falsified  paintings? 

G:  No. 

HJ:  Does  the  prosecuting  attorney  have  any  questions? 

Prosecuting  Attorney:  Just  a  few.  When  other  people  want  to  exhibit  your 

paintings,  do  they  receive  an  authorizing  license  from  you? 

G:  They  do.  Whenever  I  have  an  exhibition  in  this  country  or  abroad,  there 
is  always  a  license.  If  you  would  like  to  see  one  I  have  it  here. 
PA:  Can  we  see  it? 
G:  Yes. 


itu  Dokter  bilang  Cuma  kendala  pada  tangan  saya,  kemudian  saya  obati  dan 

melukis  lagi  dan  saya  baik  jasmani  dan  rohani  saya  normal,  saya  ada  surat 

dari  Rumah  Sakit  Sanglah. 

Penasehat  Hukum:  Surat  cek  kesehatan? 

Saksi:    Tapi  yang  jelas  jangan  sakit  itu  diekseploitir  untuk  mengesahkan 

antara  karya  yang  sah  dan  karya  yang  palsu.  Itu  tidak  berprikemanusiaan. 

Penasehat  Hukum:  Yang  jelas  itu  bukan  lukisan  bapak? 

Saksi:   Bukan,  jangan  sampai  orang  sakit  dipakai  dalam  ruang  sidang  ini, 

enggak  benar  itu!! 

Hakim  Ketua:   Saya  tambahkan  sedikit  pak  ya,  yang  jelas  itu  bukan  karya 

bapak  ya.  Apakah  bapak  tahu  siapa  yang  melukis? 

Saksi:  Saya  tidak  tahu,  itu  urusan  Polisi.  Kalau  polisi  itu  mau  sukses  Switha 

sama  Sinyo  ini  harus  segera  diproses. 

Hakim  Ketua:    Apakah  pada  waktu  saudara  datang  ke  Gallery  Cellini, 

Gallerynya  Sinyo  saudara  ketemu  dengan  saudara  Sinyo? 

Saksi:  Tidak. 

Hakim  Ketua:  Terus  apakah  bahwa  lukisan-lukisan  yang  ada  disini   ya  itu 

merupakan  milik  dari  Sinyo  itu  asalnya  dari  mana? 

Saksi:  Saya  tidak  tahu. 

Hakim  Ketua:  Saya  kira  keterangan  saudara  sudah  cukup  ya. 

Penasehat  Hukum:  Bapak  Majelis  (dipotong  Hakim) 

Hakim  ketua:  Ada  tambahan,  silahkan  singkat  dan  padat. 

Penasehat  Hukum:  Saudara  saksi,  untuk  tambahan  saja,  itu  distudio  saudara 

atau  di  Museum  tempat  tinggal  saudara  apakah  saudara  saksi  menjual 

lukisan  palsu? 

Saksi:  Tidak! 

Hakim  Ketua:  Saudara  terdakwa  ada  pertanyaan? 

J  P  U:     Saya  ada  tambahan  sedikit,  andaikata  orang  lain  yang  ingin 

memamerkan  lukisan  karya  saudara  ditempat pameran-pameran  itu  apakah 

ada  lisensi  dari  saudara? 

Saksi:   Ada  pak,  jadi  setiap  saya  pameran  keluar  negeri  dan  dalam  negeri 

untuk  ijin  semua  ada,  bapak  mau  lihat  suratnya,  saya  sampaikan. 

J  P  U:  Bisa  dilihat. 

Saksi:  Ada 


300 


PA:    Another  question.    At  the  time  of  the  exhibition  was  the  Gallery  on 

Jalan  Gatot  Subroto  easily  accessible  to  the  public.    Could  it  be  visited  by 

people  on  the  street? 

G:  It  was  very  visible  because  lots  of  people  passing  by  on  the  street  could 

see  it. 

PA:  It  was  easy  to  see? 

HJ:    I  think  that  concludes  the  questioning  of  the  prosecuting  attorney. 

Does  the  accused  have  anything  to  say? 

Sinyo:  What  was  your  intention  in  making  this  sign  for  the  Switha  Gallery 

that  I  am  now  going  to  show  to  the  court.  (He  gestures  to  some  men  to  bring 

a  framed  painted  sign  into  the  courtroom) 

G:  Oh,  that  is  a 

S:  So  what  is  the  meaning  of  this?  I  found  this,  Your  Honor,  in  the  Switha 
Gallery,  so  it  seems  that  he  (Gunarsa)  made  this  sign  so  it  could  be  seen  by 
the  public.  And  furthermore  it  appeared  in  the  mass  media. 
HJ:  Stop.  The  witness  recognizes  the  signature,  and  therefore  recognizes 
the  object,  but  the  witness  has  not  had  a  chance  to  answer  the  question  of 
what  its  purpose  is. 

G:  Oh,  it's  like  this:  Switha  would  often  give  me  a  ride  from  Klungkung  to 
Balangan  at  the  time  that  I  was  working  on  a  commission  for  Sebudi  in  Nusa 
Dua.  He  {Switha)  requested  that  I  open  an  exhibition  at  his  Gallery.  Out  of 
humanitarian  feelings,  since  it  was  not  any  trouble,  and  I  wanted  to  support 
the  activities  of  the  younger  generation,  and  it  was  not  a  problem,  I  agreed, 
but  it  turned  out  that  I  was  repaid  with  bullshit.  So  he  teamed  up  with 
Sinyo,  and  took  advantage  of  the  opportunity  for  falsifying  the  paintings. 

HJ:  Are  there  any  other  questions? 

S:  So  in  the  testimony  I  have  seen  Gunarsa  himself  said  that  he  gave  paintings 

to  Switha.   I  got  all  the  paintings  here  that  are  being  called  false  from  the 

Switha  Gallery.    So  now  I  want  an  answer,  yes  or  no?    About  this  matter 

of  Mr.  Switha  I  invite  Mr.  Gunarsa  to  swear  to  the  gods  ('sumpah  cor'  is  a 

BaUnese  ritual  ofUquid  Ubations)  here  and  now. 

HJ:  What  is  your  question? 

S:  Does  Mr.  Gunarsa  want  to  swear  to  the  gods  or  not? 

G:   I  have  already  taken  enough  oaths  here.   Here  I  am  under  oath  to  the 


/  P  U:    saudara  saksi  ada  tambahan,  ditempai  Gallery  di  Gatot  Subroto  itu 
apa  mudah  dilihat  oleh  umum,  bisa  dikunjungi  oleh  umum  dari  pinggir  jalan? 

Saksi:     pukul  satu,  gampang  dilihat  karena  banyak  orang  lewat,  jelas 

tampaknya  itu. 

J  P  U:  Mudah  dilihatnya  itu? 

Hakim  Ketua:  Saya  kira  dari  rekan  JPU  sudah  tidak  ada  pertanyaan  lagi  ya, 

saudara  terdakwa  bagaimana? 

Terdakwa:  Apakah  maksud  saudara  membikin  slogan  pada  Switha  Gallery, 

sekarang  saya  mau  tunjukkan  bapak  Majelis,  (sambil  menyuruh  seseorang 

membawa  poster  dalam  frame). 

Saksi:  O  o,  ini  adalah 

Terdakwa:  Jadi  apa  yang  dimaksud,  saya  temukan  ini  pak  (Majelis)  di  Switha 

Gallery,  jadi  maksud  dia  membuat  tulisan  ini  sehingga  orang-orang  yang 

melihat  ini,  apa  lagi  masuk  dalam  media  massa. 

Hakim  Ketua:     Stop,  tandatangannya  dikenalkan  pada  saksi,  kemudian 

barangnya  dikenalkan,  terus  yang  belum  dijawab  oleh  saksi  tinggalnya  barang 

ini  untuk  apa? 

Saksi:    Oo  begitu,  Switha  pada  waktu  itu  menyuruh  saya  ke  Nusa  Dua 

atau  pekan  kesenian  itu  bersama  Sebudi  kemudian  hanya  dia  kerap  antar 

jemput  saya  dari  Klungkung  ke  Balangan.  Dia  menyuruh  saya  membuka 

pameran  itu  di  Gallerynya  dia.  Nah,  sebagai  rasa  kemanusiaan  saya  tidak 

ada  maksud  apa-apa  saya  mendukung  generasi  muda  melakukan  hal  itu, 

itu  tidak  menjadi  masalah,  tidak  ada  maksud  apa-apa,  kemanusiaan  itu 

tetapi  ternyata  disambut  dengan  tahi.  Jadi  dia  memihak  ke  Sinyo,  dia  jadikan 

kesempatan  itu  permasalahannya. 

Hakim:  Ada  lagi  pertanyaan? 

Terdakwa:    Kemudian  diantara  kesaksian  yang  saya  lihat  Gunarsa  sendiri 

memberikan  lukisan  ke  Switha,  saya  mendapat  lukisan  semua  ini  yang 

dibilang  palsu  dari  Switha  Gallery.  Nah  selama  ini  yang  saya  tahu  saya  mau 

jawab  ya  atau  tidak,  pak  Switha  mendasari  mengajak  pak  Gunarsa  sumpah 

cor  sampai  sekarang  ini? 

Hakim:  Pertanyaannya? 

Terdakwa:  Apakah  Pak  Gunarsa  mau  apa  tidak  sumpah  cor. 

Saksi:  Saya  sudah  cukup  disumpah  disini.  Ini  sumpah  pemerintah.  Tadi  kami 


302 


government.  We  just  made  an  oath  to  the  judge 
and  that  is  enough!  Don't  make  things  up.  Don't 
try  to  divert  our  attention  to  blur  the  issues.  (He 
raises  his  arms  in  the  air  as  he  speaks  and  receives 
applause  from  the  spectators  in  the  court.)   Don't 
play  around  with  swearing  to  the  gods. 
HJ:  All  right,  I  will  intervene  now. 
G:  I  just  took  an  oath  here. 
HJ:  In  the  court's  opinion  the  question  you  were 
asked  by  the  accused  has  no  relevance  to  your 
experience  so  you  do  not  have  to  answer.  And  I 
want  to  remind  the  accused  to  ask  his  questions 
in  a  correct  manner.  All  right,  since  that  was  not 
a  question,  you  have  anything  else  to  ask  the 
witness? 


S:    I  don't  have  any  more  questions  about  that  first  issue,  so  secondly  I 

would  like  to  ask  about  the  part  where  Mr.  Gunarsa  stated  that  I  went  to  his 

house  with  good  intentions  and  was  asked  to  initial  a  letter  as  proof  of  his 

requests. 

HJ:  Is  it  true  that  you  went  to  his  house  with  good  intentions? 

S:  Yes,  with  good  intentions. 

HJ:   All  right,  sir,  this  question  is  clear.    Does  the  witness  agree  with  this 

testimony? 

G:   I  clearly  heard  everything  he  said.   I  received  him  politely  and  did  not 

throw  him  out.  I  knew  that  the  events  between  the  20th  and  the  25th   were 

not  finished  going  back  and  forth,  but  I  still  received  him  with  respect  and 

gave  him  jackfruit  to  eat  at  my  house.  "If  you  want  to  make  peace,  sign  this" 

(he  makes  a  gesture  of  writing).   If  I  were  angry  I  would  have  thrown  him 

out  at  that  time. 

HJ:  Is  that  all  the  clarification  you  have  to  give? 

G:  That  is  all. 

HJ:  My  court  is  closed. 


4^  »       ^  sudah   disumpah   bapak   (Hakim)  sudah   cukup 

^nv        ■  itu!!  Jangan  mengada-ada,  jangan  mengalihkan 

^^P"         B  perhatian  untuk  mengaburkan  kasus  ini.  (sambil 

mengacungkan    tangan    keatas    dan    mendapat 
aplaus  pengunjung  sidang).  Jangan   main-main 
dengan  sumpah  cor!! 
Hakim  Ketua:  Baik  ya,  saya  ambil  alih. 
Saksi:  Tadi  saya  sudah  disumpah  disini. 
Hakim   Ketua:      Kembali  saya  jelaskan   bahwa 
apa    yang    ditanyakan    kepada    saudara    dari 
terdakwa  sama  sekali  tidak  ada  relevansi  dengan 
pengalaman  saudara  sehingga  pertanyaan  yang 
disampaikan  pada  saudara  tidak  usah  dijawab 
dan  memperingatkan  terdakwa  agar  memberi  pertanyaan  yang  baik!  Baik 
ya,  sudah  tidak  ada  pertanyaan,  apa  masih  ada  yang  ditanyakan  kepada 
saudara  saksi? 

Terdakwa:  Saya  tidak  akan  ada  pertanyaan  lagi  itu  yang  pertama,  kemudian 
yang  kedua,  dimana  pak  Gunarsa  mengatakan  saya  pernah  kerumahnya 
dengan  itikad  baik  saya  kesana  dan  disuruh  paraf  supaya  ada  bukti  apa 
permintaannya  dia. 

Hakim  Ketua:  Benar  pernah  kerumahnya  dengan  etikad  baik? 
Terdakwa:  Pernah,  benar  beritikad  baik. 

Hakim  Ketua:  Demikian  pak  pertanyaan  sudah  jelas,  apa  bapak  tetap 
dengan  keterangannya? 

Saksi:  Saya  dengar  jelas  semuanya,  saya  terima  dengan  baik  sayapun  tidak 
mengusir.  Karena  saya  tahu  kejadian  tanggal  20  -25  tidak  selesai  balak  balik 
jadi  tetap  saya  terima  baik-baik  dengan  hormat  dan  dengan  makan  buah 
cempedak  dirumah  saya.  Kalau  mau  damai  harus  ini  (sambil  mengisyaratkan 
gerak  tangan  orang  menulis),  tertulis,  saya  terima  dengan  baik,  kalau  saya 
marah  saya  usir  waktu  itu. 

Hakim  Ketua:  Jadi  saudara  tetap  dengan  keterangannya  ya? 
Saksi:  Tetap. 
Hakim  Ketua:  Sidang  saya  tutup. 


303 


THE  HERON 
AND  THE  CRAB 

by 
Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 


11 

Burung  Bangau 

dan  Kepiting 

Oleh 

Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 


305 


Yudhistira  made  sure  that  this  day,  the 
fourth  day,  was  a  propitious  day  for  taking 
a  journey.  Everyone  understood  this  and 
was  happy.  While  relaxing  by  the  sea,  he 
saw  a  heron  bent  over  on  a  stone,  hke  a 
person  practicing  meditation.  He  was 
peeping  down  at  the  fish,  but  the  fish  were 
too  frightened  to  swim  so  near  and  the 
heron  was  frustrated. 

The  heron  was  angry  that  many  birds  were 
flying  overhead,  chasing  away  the  fish  and 
mocking  him.  One  of  them  dove  down  with 
no  fear  for  his  life  and  plunged  directly  into 
the  water.  It  was  a  seagull  whose  name, 
paksi  langlang  ulan,  means  eyes-wide- 
open-for-finding-fish.'  The  seagull  was 
clever  at  searching  for  fish  with  his  eyes 
wide  open,  diving  into  the  water,  and  flying 
up  again.  He  found  many  fish. 

After  the  heron  saw  the  maneuvers  of  the 
seagull,  he  quickly  decided  he  would  imitate 
that  bird.  He  was  confident  that  he  could 
do  it.  He  was  bigger  than  the  seagull,  with 
a  strong  body  and  wide  wings.  So  he  flew 
up  into  the  air.  He  was  very  happy.  From 
above  he  could  see  many  schools  of  fish 
swimming  together  in  swirling  formations. 
There  were  big  fish  and  small  ones.  The 
heron  wanted  very  much  to  eat  them. 

He  was  verv  sure  that  he  could  succeed  in 


V.  o .  o  -/^  -i^ 'S  ,  o-\ 


TSOBinjUMlO'EO 


o  o  o  r\  o 


;i  u  5Q  O  wi  o  o  »£«  ^  o  CT  O  A^  Y^h  yi  1^  n  5Q  u  tsi»  ,j  isvij  ^  ri 

Sapunika  Dharmamurti,  mitegesang,  ring  rahina 
patpat,  rikala  pacang  mamargi,  sami  ledang  resep 
sampun,  ring  pasisi  ngulangunin,  paksi  cangake 
kacingak,  duwur  batune  ngarengkug,  kadi  anak 
nginengyoga,  ngintip  ulam,  ulamejejeh  mamargi, 
i  cangak  ipun  sengitan. 


;i  u  KU  o  CT  ^^  yru  jsu  wi  o  JSi  m 


v^s'''  o        v        o  o       ^ 

'nii2n'n»'U]5Sisuiuj)|K«sihsuiy 

-"  ■jiiUUJsuoihojO'iK»i)©|>^oura»jiK»io;js«JoriinJYai9 
n     o      o  r,       OS  ^  oo 


?)^ 


TTjTTUiUlJjJSl'rjTlU 

o^■^  r\       ^     'o       o'o'n 


o 


on^'Oiru^^sssiisu^uTiU'Ossijonji^ui)] 


^1^ 


Gedeg  ipun  kasuryakin,  sareng  katah,  ringpaksine 
ngindang,  pasliyur  sami  ngedekin,  wenten  paksi 
kadi  nglalu,  macehur  las  ipun  ring  urip,  maring 
toyane  ngumbang,  wantah  ipun  kapituduh, 
mwasta  paksi  langlang  ulan,  duwegpisan,  nyilem 
nglangi  munggah  malih,  katah  ipun  polih  ulam. 


u  5Q  K«  «UI  o  5®  95^1  u  ri  ^  ^  yi  UTi  Aj  in  9s»i  h  ra  wi  u  Ki  o  !si  ^  ^  rTo  o  W|| 
'o     o  o  n .       ./»      o^  o  /■^       • 

UT» 'U  ra  15«  u  CT  9S1  h  UVI  !Q  ITU  ri  0  2^  n  UI  JSlIl 'O  Jj  ^  ^  UTJ  UI  5Slfl  Jl  ISI»  9S1» 


'E;ijiifiuiq\'0'n 


o  1  ,uih  u  Ki 'n  5  ^  n  o 'U  (uissnsi  ^  ^-nJ 'U  551 


^^ 


UI»  )Q 'inj 'O 'O  ssvi 'isTi !?  ^^ 'O  «U  uj]  ri  5©  h  o  ri  o  yi  o  n  ic| 'O  yi  O  SO  O 'n  iru  CT  h 


o  ^ 

.SSWSSl' 

injisi 


306 


getting  many  fish,  because  he  was  brave  and  daring,  so  he  dove  down 
deep  into  the  dark  blue  water.  His  whole  body  was  wet,  and  he  could 
not  lift  himself  out  of  the  water.  Now  he  was  floating,  being  pulled  by 
the  tides.  He  was  underwater,  gasping  for  breath,  being  swept  away. 
Eventually  the  tide  dragged  him  to  onto  the  hot  sand  of  the  shore. 

For  a  long  time  he  was  rolling  around  on  the  beach,  being  pummeled 
by  the  crashing  waves  and  bitten  all  over  by  tiny  sea  creatures.  He  did 
not  believe  he  would  live  much  longer.  He  was  blessed  by  the  Lord  Sang 
Hyang  Widhi.  Suddenly  a  crab  appeared,  scrambling  around,  looking 
for  a  meal  on  the  beach.  He  was  surprised  to  see  the  heron  all  curled 
up  and  lifeless. 

Then  the  crab  asked,  "Hey,  heron,  why  are  you  here  like  this.  The  heron 
answered  through  his  tears,  "I  am  miserable,  and  what  is  the  reason? 
It  is  because  I  wanted  to  help  the  fish.  I  felt  so  sorry  for  all  of  them, 
gasping  for  air  on  the  hot  sand  while  the  tide  was  out. 

Many  of  them  died  under  the  heat  of  the  sun's  burning  rays.  It  made 
me  feel  so  sad  to  see  that.  And  so  that  is  why  I  wanted  to  help  the  fish. 
The  high  tide  was  coming.  The  water  was  rising  and  falling.  Then  I  was 
caught  under  the  water.  I  couldn't  breath  and  my  body  was  drenched 
with  water.  I  was  pummeled  by  the  crashing  waves."  The  crab  was 
laughing  to  himself  because  he  knew  what  really  happened. 

Actually  the  heron  and  his  ancestors  had  a  long  history  of  being  evil: 
lying  to  friends,  engaging  in  nasty  gossip,  wearing  white  to  give  the 
appearance  of  being  holy.  The  crab  was  sure  that  he  understood  the 
heron's  evil  nature.  The  crab  said,  "It  is  really  good  that  you  want  to 
help." 

"You  never  think  about  your  own  safety,  and  you  only  want  to  help 
your  friends,  even  at  the  risk  of  death.   This  is  because  of  your  family 


Punikan  sane  kapanggih,  ring  i  cangak,  glis  ipun  mamanah,  nyadia  ipun  mituwutin, 
andel  maring  dewek  mampuh,  awak  siteng  kampid  luwih,  mangkin  nambyung 
ipun  munggah,  lega  pisan  manah  ipun,  manggihin  ulame  katah,  masliyuran, 
rerod-rerod  ageng  alit,  i  cangak  lintang  dot  pisan. 

inj  ^  rn»  r\j  w  u  5©  Kill  JQJ  CT  5  ^  o  9®  jsi »  o  ao  o  SU  ;si>  1«  ri  9S1  h  isii  ra 
Kuiuinim^i^ 


o  o  J  ^  uij  u  QSj  ji -:i  o  J]  9S1  in  jsij  ^  o  yi  u  «u  iui  5^  rii  w  )ffl|  ^"^ 


Cageripunpacangpolih,  ulam  katah,  dwaningipun  elas,  sahasa  macehur  mangkin, 
ring  toyane  dalem  pelung,  belus  ipun  buka  katih,  nenten  dados  matingtingan 
kambang  mangkin  ipun  anyud,  ring  toyane  sengal- sengal,  kaanyudang,  kampih 
ipun  sampun  mangkin,  maring pasisi  kebusan. 


«JOUUTJ 


ujsi  on;ioiru'^;siJO'iri«"so«huTUJSii'U5si»J5siho'injsir  . 

...  .'^  n  o  o  o       v^  \  /      o   n  ^        ^ 


1  1      Ki    ;( tn   io  m  1  inj  " 


■>  jC 


^Y 


isij^ 


^CT 


Suwe  ipun  glalang-gliling,  tigtig  ombak,  paling  kepanesan,  turing  garang  unting- 
unting,  mingdoh  ipun  pacang  idup,  dados  wenten  swecan  Widhi  sakadi  wenten 
nguduhang,  wenten  mangkin  yuyu  rawuh,  grayang-grayang  ngrereh  teda,  ring 
sagara,  tangkejut  ipun  manggihin,  i  cangak  paling  maplisan. 

o  oorio  r\  ^oo  o  ^'»o^  n 

uviwiWjyiriiuojQB5sraKuTjrTJMrnKijhuTJUio5®rnu»^20sou»rTir^oo8QB09Q^ 

v        o     o  o  o  ^  o     ■1^^'^  \        ■t"      a     y"  \  n 

UJ  UJ]  iru  M  9®»  UVI  r?  9S1  ^  o  UT«  o  inj  JU  Ulh  o  9®  ri  u  JQ  ^  o  UT»  o  Kll  5Q  ^  o  15«  TU  ^  JCT  r^ 

^  jo  ri»  uj  n  iu  u  o  nj  nji  ^  u  «UI  0  UT«  o  UTj  in  iru  jci  UTJ  jo]  ^ 

I  yuyu  raris  nakenin,  iba  cangak,  apa  ne  ngawanang,  dadi  iba  buka  kene,  i  cangak 
ngelingmasawut,  yuyu  lacur  kai  j  ani,  olaskainengawinangkaimakenehmatulung, 
kangen  kai  mangenotang,  bene  kandas,  di  biyase  pagaliling,  pasihe  enggalan  aad. 


307 


heritage.  Your  ancestor,  the  heron-priest,  is  famous  for  having  made 
extraordinary  efforts  to  help  my  ancestors.  In  a  story  from  long  ago, 
it  is  said  that  my  ancestors  almost  died  because  the  water  in  their  lake 
was  very  shallow,  and  many  fish  were  splashing  in  puddles,  gasping  for 
breath. 

The  heron-priest  helped  them  all  to  move  away,  closer  to  the  deep  water. 
That  help  was  given  in  the  past.  Now  you  are  following  in  the  path  of 
your  ancestors.  I  feel  that  I  owe  a  debt  to  you  and  to  your  ancestor  the 
heron-priest.  Now,  what  can  I  do?  How  can  I  repay  the  debt  to  balance 
things  out?  It  is  a  bad  thing  to  remain  in  debt. 

Then  the  heron  spoke.  "Yes,  remember.  In  this  world  it  is  a  very  bad 
thing  to  forget  your  debts.  If  you,  crab,  do  not  pay  your  debts,  your  life 
will  become  like  a  living  hell.  Also  if  you  make  loans,  things  will  not  go 
well  until  they  are  paid  back,  and  your  life  will  also  be  like  hell  on  earth. 
If  you  do  things  in  opposition  to  this  wisdom  that  is  found  in  the  sacred 
books,  your  life  will  be  filled  with  suffering." 

Then  the  crab  spoke  again.  "Alright,  heron.  I  will  pay  my  past  debts. 
What  is  the  proper  way  for  me  to  restore  the  balance?"  The  heron 
answered,  "If  a  debt  is  incurred  through  the  performance  of  a  deed,  then 
it  should  be  repaid  through  the  performance  of  a  similar  deed.  This  is 
what  the  sacred  books  teach  us.  So  please,  crab,  follow  the  correct  path 
that  will  make  your  ancestors  happy. 

Now  you  have  to  help  me.  Bring  me  to  a  cool,  shady  place."  The  crab 
was  laughing  to  himself  as  he  dragged  the  heron  to  a  shady  spot.  As 
the  heron  began  to  dry  out,  he  began  to  get  cold  and  hungry.  Since  he 
did  not  have  anything  to  eat  or  drink  all  day,  evil  ideas  popped  into  his 
mind. 

Now  the  shivering  heron  was  staggering  to  his  feet.  The  crab  was  ready, 


(1 5Q  Tl  ra  JQ  \  ra  rn  in»  UT»  UI  551 JTI  ISI»  N  TT»  o  KJl  «SI  UT»  irU  «1 CT  551 

....       'CIO  '     n 

UU  UJ)  lAJ]  «1  o  lO  KU  UT»  CT  ^ 'l  ifUSl  UU  U]  30  5S1  u  iU  5®  h^ 


?i)  ^  CT  o  no 'D  o  5sfl  \ 
[  >     '151  /  i/i  ini     (^ 


J  J 


^^ 


Buwin  liyu  ane  mati,  hendet  surya,  to  ane  ngawanang,  kai  kangen  mangiwasin, 
ditu  lawut  kai  matulung,  teka  ombak  gede  gati,  ngencah  buwin  turunan,  nangkeb 
kai  enu  ditu,  bekbekan  kai  licitan,  tigtig  ombak,  i  yuyu  kedek  di  ati,  dening  ipun 
uning  pisan. 

ri  UU  so  rn  9S1J  Ji  n  9SVI  ri  UU  Ki  h  U  Ki  ^ 'l  SOI 'D  Ti  ^  ^  ri  m  9S1J  n^  5si«  o  J  ru  h  iu 

is»hiruOi«''^os€iousumournoo':)suu'UCT^^5Siyiuusosuu>'^o'\uuwuj  'V\\ 

o  jsij  CT  Ki  u  5S1  so  rn  Kti]  ^  in  ^si»  SU  r?  UU  TT» 'l  UU 'D  iru  su]  ^"^ 

Ring  i  cangak  sakeng  rihin,  wantah  corah,  nguluk-uluk  timpal,  sai  ngadu  daya 
lengit,  laksanane  mapi  sadhu,  mapanganggo  sarwa  putih,  niru  ida  sangpandita,  i 
yuyu  sumingkin  sumbung,  mikatin  ipun  i  cangak,  jati  corah,  i  yuyu  raris  mamunyi, 
jati  saja  iba  olas. 


^s^suuununis^rinuihis^'LS 


lAjj^iUinj» 


^  )©  in  ^  O 'l  in 'D  inj  SU  5Q  O  ji  iru  K  UJI  ari  561  rTi  in  SU  5SI  ISU  ^  551«  UI  CT  in« 'l  5S1 0 


tl  UU  so  u  u  ^  >\ 'l  in 'D 'AJ  SU  551  lAJ) 


^O^ 


o  njl  !5  ^  UU  JO  SU  ISU  UU 'l  551  o  TU  ^ 'l  5SIII 'D  so  u  JCl  TU  m  UU  o 


TU  ^  ^  lO  SU 'l  551 J  2fl  ^ 'l  ia;  5  ISU  o  «1 551  SU  w  551  u  SUJ  ^  UU 'l  rTJ 'l  551  TU  lAJ]  5S1II  >~U  SU  55^ 

Tusing  iba  ngitung  urip,  tuwah  nujwang,  mangolasin  timpal,  yadin  iba  ngmasin 
mati,  kawitan  ibane  malu,  sang  baka  kaucap  luwih,  ngolasin  laluhur  gelah,  ada 
satwa  ane  malu,  kocap  ida  laluhur  gelah,  dasan  seda,  yeh  tlagane  sayan  tipis,  ebene 
liyu  kandasan. 


UU  rTl  55«  ISI»  551» 'l  rn 'D  TU  SU  551  h  O  ri  SU  2Cl  ^  UTI 'l  rTI 'l  551 0  55«  T^  ^  5S1II  UU  ri  5511 'l  UJ 'l  UU  O 'l  w  ^ 'l  J^ 

OO  onoo  ^^■«'- 

SU  I 'l  551  o  TU  ^  r?  551  UU  ri  o  1S«  u  CT  551  h  TU  lAi  551»  UIJ  o  SU  o  1S«  ^  CT  o 

o^,  ^.  \    o  o  -r-  ov^ 

'D  551  so  ^  ril  55«  TU  TU  n  UU  CT  o  in  u  UI»  in  SU  20  ^^  r^ 'l  TU  UJI  551  in  TU  ^  UU  ISI»  ^^ 


ia;  551»  UIJ  o  SU  o  1S«  ^  CT  «1 551»  551  rU  55«  UU 'l  551  o  TU  ^  in  551  UU  u  UU 'l  in 


/  baka  teka  ngolasin,  mangisidang,  ebene  makejang,  kaaba  ka  yehe  gede,  keto  olas 
ya  ne  malu,  jani  iba  matuwutin,  liyu  kai  mrasa  mutang,  teken  i  baka  ane  malu, 


308 


because  he  already  knew  that  the  heron  was  evil.  He  knew  that  the  bird 
had  been  a  liar  since  the  time  of  his  ancestors.  The  heron  suddenly 
poised  himself  to  attack  and  was  ready  to  bite  the  crab.  The  crab  quickly 
retaliated  by  grabbing  the  heron's  beak  with  the  pincers  on  the  ends  of 
his  claws. 

The  mouth  ofthe  heron  was  held  tight.  The  heron  collapsed.  He  couldn't 
make  a  sound.  The  bird  just  fluttered  and  shook,  growing  weaker  and 
weaker.  Then  the  crab  said,  "Now  you  will  receive  what  is  owed  to  you 
for  your  past  evil  actions.  You  were  clever  in  speaking.  Now  you  have 
to  reap  the  results  of  what  you  have  sown.  When  the  seeds  you  have 
planted  are  harvested,  you  must  eat  the  fruits  of  your  past  actions. 

You  never  stopped  doing  evil  deeds,  like  lying  to  your  friends,  having 
bad  intentions,  getting  your  food  the  easy  way,  boasting  that  you  are 
rich,  speaking  loudly  to  make  other  people  trust  you,  coveting  your 
neighbors'  possessions,  never  thinking  about  what  is  right  and  what  is 
wrong,  inventing  your  own  rules  of  morality. 

You  are  still  lying,  like  your  ancestor  long  ago,  who  imitated  a  holy 
man,  dressed  in  white,  wearing  the  black  sash  of  a  priest  and  a  Brahmin 
headdress.  He  pretended  to  be  a  priest,  an  insolence  that  leads  to  a 
cursed  life.  Now  you  are  copying  the  example  of  the  false  heron-priest. 
It  is  not  necessary  to  imitate  that  model.  Make  an  effort  to  look  for  the 
proper  path. 

I  have  known  these  things  for  some  time,  but  don't  be  sad.  I  will  not  kill 
you,  but  will  let  you  live  as  proof  to  the  world  of  what  happens  to  long- 
mouthed  liars.  So  now,  to  make  you  more  handsome,  I  will  cut  your 
mouth  in  half.  Then  the  heron  staggered.  His  beak  had  been  cut. 

The  heron  flew  home  quickly.  When  he  arrived  at  his  house  his  wife 
was  surprised  and  began  to  cry.    "How  did  this  sickness  come  to  you 


jani  apa  anggon  icang,  bakal  nguliang,  utange  pang  ingas  dadi,  jele  yaning  ngelah 
utang. 


Evi  U  ^si»  o  rTO  ^  o  isij  ":>  uvi  ri  CT  ^  2^  rn  ri  J  u  5©  CT  20  inij  o  n  9Q  K«  iTTi  o  u  o  i^ 

*^0»0lS1»'5OSU|!!U;i5QJUTU|^5SVI5Q5QO9;ST|WU1S1»oK9S|OUl«2«]UCTinilO 


UTIIJOUOTJOJO 


Icangak  lawut  mamunyi,  to  ingetang,  da  ngengsapin  utang,  digumine  kabawosjele, 
yan  sing  mayah  utang yuyu,  nraka  idup  mati  dadi,  keto  masih  yan  masiliang,  kanti 
nagih  tusing patut,  nraka  idup  mati  bakat,  yaning  tungkas,  teken  kecap  sanghyang 
aji,  idupe  nemwang  sangsara. 

o  ooono  ^  o  ,'=' 

UT«  uj  uj  o 'Ej  rr:)  o  nji  <;  ^  UTj  rii  M  in  9CTI  h  O  ui«  rii  9S1I1  ifu  uj  ^  ^  uTjj  1S1»  ^  UT«  n  5Q  SU  r^ 

n.    o  o  o,  ^  o  A  o     -."      n. 

raohuvift3irnjCTiwuTjj;si)jyisuhiAj9QUTj]ij«u'iu;oni«u)QhouT«oinjsuor^ 

/  yuyu  mamunyi  malih,  iba  cangak,  kai  bakal  mayah,  utang  ane  suba  lami,  apa 
patut  anggon  ngentug,  i  cangak  masaut  raris,  yan  mahutang  piyolasan,  olas  anggo 
mayah  yuyu,  nganutin  kakecap  sastra,  kabawosang,  patute  jalan  to  alih,  kawitane 
apang  ledang. 


on  o  o  o  ^  „  „.,.,. 

^  SU  5Q  h  JS«  UIJ  5S1II  w  JO  ^  «  2^  UJ]  O  UIJ  UT»  ril  ^  UVI UJ  U^  5SVI  o  10  o  UIJ  CT  ^  UIJI  Ml  in 


^' 


.  J 


no>  o         00.  0000. 

jjKihyiJoujn'L/iJuiiiuisiinsaKsuiskoojisiujsisujussih 

<,  \r  o         o  o      n,      o  .  o     -.^ a     o, v     o 

r^nj]»u9S]awjiKio^^o»«u5Q2orn5QjQhCTyi9siw?^ui«uuviCT»»iQu^u«uu 


Nejani  iba  ngolasin,  kai  kisidang  kadayuhe  aba,  i  yuyu  kedek  di  ati,  i  cangak  kapaid 
sampun,  ring  dayuhe  ipun  mangkin,  sasampun  ipun  isisan,  bulun  ipun  sayan  etuh, 
kantun  ipun  kadinginan,  turin  layah,  awai  tan  keni  napi,  pesu  pitungane  corah. 


SJiWi 


^^oo^  00  o'io  o^o^  o 

A«su|uiuTiu9®rn»hrTJrTJwi^9ahuTJUJW]wiiriin5|^'iaojsiui«u» 

sj  5  ^  o  j®«  5QJI  u  5€]  ji  n  JCT  yi  uij  !s^  ^  uS  M  rn  5SVI  rn  K)  u  ip  jsfl 


ono  ^■«'o^orl.  <^  O.. 

« jiU5QKuTJUJUJrnrT5yi5s«UCThJuuiJsuui«ussi'no^5SiiiM(\ 


309 


Srayang-sruyung  ipun  mangkin,  bababuyutan,  i  yuyu  taragia  dening  ipun 
sampun  uning,  ring  solah  i  cangak  rusuh,  mrekak  ipun  saking  rihin,  i  cangak 
mangkin  narejak,  sahasa  nyotot  i  yuyu,  sebet  i  yuyu  ngwalesang,  cepet  pisan,  i 
yuyu  ngenjirang  kapit,  sahasa  ipun  manyangkwak. 

o    r\    ^  -^      o       r\     o  ^        01  o  o. 

rTi]  in  isij  rn  o  501 0  )S«i  u  CT  K  CT  9Q»  O  J  iu  5®  h  UT»  sa  ri  9S«  o  uj '^  OT  »j  UJI  2«i  so  O  o  r^ 

V^    ^^v^nn  o  O  o^■«'^ooo  V..  o 

joj  r^  j«  r*  SU  w  5Q  SQ  3Q»  n  UI  u»  uj]  ri  ri  wi  o  rno  ^  o  59  »ji  rn  8SW  50 1?«  o  J  jo  ^  u  n 

rTioinj^^ipssiuiJiinju^CT'a'^irj]  059  u  055135111  h 


ujus)  ITT]  u  ^  UU  n  m  o  ^  ^ 


Bungut  cangake  kakapit,  tekek  pisan,  i  cangak  maguyang,  fusing  ya  dadi  mamunyi, 
krejeng-krejeng  sayan  enduk,  i  yuyu  raris  mamunyi,  ne  cangak  jani  tampedang 
pikolih  ibane  nutur  ane  pula  iba  mabwah,  jani  alap  timuh  buin  apang  mentik, 
yang  mabuwah  iba  ngamah. 


;«juiuTjiajornvuri3sihJowio«iori^^joo5si'usji'E;iJ'njh»jiui 
n  2Ci  ^  i5i>  u  rn  5Q  ^  SU  o  ^  ^ 'O  ino 'l  551  in  5S1  uiJi  n  uiJ  in  ^  uiJ  u  UT«  u 'O  J5JI 3« 


'n  so  2o  uj  r?  ^ 'iru  ^  iji!)  irui^sj 'O  ^ 'ui( 'ITU 'U!» 'inj)  ^\  Uli 


U    r  i 


ll]^0551IICT5Sl 


''lAj  <] 'U  SU  O  \  UTJ  u 'n»  9S1I1 CT  r^^  ^s«  SU 'n  isij  rii  3S1 !!  u  inj  !j  ^  ri  O 'n 'S 'U  O  CT  ^^ 

Tusing  emed  mangulurin,  daya  corah,  demen  ngapus  timpal,  sai  ngadu  daya  jele 
tulus  ngamah  ulih  aluh,  edot  apang  ngenah  sugih,  munyine  jani  aengang  apang 
awake  kegugu,  mikatin  gelah  pisaga,  apang  bakat  tusing  ngitung  beneh  pelih, 
nganggo  pamatut  kadidian. 


?  551  \  UT»  5S1  o  son  5sfl  \  o  u  SI 


;isuaciicio\ 

v  o  ^v^nov^  000  on 

ounonosuuiuCT^^osunji'Ou^svi  irj|5Q55«i^^ou'Ounuiossiii'33siJsih 

o  o  o  .ooo^o•^^. 

o  ^SlJ 'S 'En  iO  351  inj  ^ 'UVI 10  u  551  'O]  551» 'U»  r^  551« 'O  5S1  o  VU  ^ 'n  551 'U!» 'n»  in»  J^ 
UVl 'O  551 'O  551»  o  ISU  "2  u  ITU 'n 'U!»  3Slj  ^  u  15«  o  ISU  ui«  inj  ^  wi  n  CT  ^^ 


uli  ilu  kayangjani,  enu  mrekak,  mapi  sadhu  dharma,  mapanganggo  sarwa  putih, 
masalimpet  bwin  maketu,  mapi-mapi  ngawikonin,  to  madan  tulah  idupan,  buka  i 
baka  ne  malu,  jani  iba  bwin  nuwutan  tusing  nyandang,  ane  keto  palajahin,  patute 
alih  saratang. 


310 


while  you  were  out  looking  for  food?.  The  husband  heron  told  his  story. 
"Now  I  agree  with  what  is  written  in  the  sacred  books.  It  is  very  true 
what  is  said  there.  It  really  is  a  bad  thing  to  have  a  mouth  that  is  too 
long." 


o  v^v''  or)  o  r\  ^    o  •r- -r  -r-    ^  \ 

S®»  uvi  SU  ri»  a  ri  Ki  ui« )®  I  ^  UT)]  TU  r^  «J  Ki  I  ^  UI»  ini  jf\  rTnin»  i£T«  ^ 


KinuTJirur^iuiKij^^ 

uoyi5;ri]Suiotr^|5€^uij^uTJiuui«rT»o»5Qisijyi^j«iooojQOJCTioo^nKir^ 

o  Vo\o  n.      v.«'oo  A  on.  o  on 

CT  rn»  0  JQ  nj  5Q  \  n  s®  UTJ  iJi  uii  ini  rii  nil  «ui  \  1«  O  ru  uij  rii  U  0  jsi  rr5  \  uj  UTJ  w  ri  O  \  O 


wi  5S1  ii>n  a  jj  5S1 J  0 1?« 


^'^^^ 


(Note:  In  Balinese  the  name  of  the  kind  of  heron  featured  in  this 
story  is  'baka.' 

Today  in  Bali  the  word  'baka'  has  become  synonymous  with  'liar' 
or  hypocrite,  as  has  the  phrase  "pedanda  baka'  meaning  'heron- 
priest.'  And  when  the  Balinese  say  that  someone  has  a  'long  mouth' 
or  'bungute  lantang'  it  means  that  person  is  a  liar.) 


Kai  suba  mangenehin,  uli  busan  iba  da  nyebetang,  wireh  fusing  matiang  kai, 
apang  ibane  katiru,  di  gumine  maka  bhukti,  ne  bungut  ibane  lantang,  jani  apang 
iba  bagus,  tugel  kai  buwin  kenjang,  ya  i  cangak,  mapulisan  muntag-mantig, 
bungutnyane  sampun  pegat. 


>^  o  n .  o  ^ .  o  .      ^^  o^. 

™TU«uKrn'OVUUi'\yiu5uiu5QO^<^ojsiiiiU|'oriiJi-i09rT:>'i9Qin^ 

o  o  o    n.    o  n     o         ^ .     o  s-'  o  ^  ■^       -r 


o  -r  -rv  -i 

um  Ml  rusimsu  n  o  TU  «u 

e 

sri  ao  O  o  n  » in»  TU  ri  U)  ^  ^  ri  TU  ^  Uli 'O  ^  o  UT«  jq  u  5CT  ISI»  j  \  UTh  »;s  rn  3®ii  I 'U]  ssi 
'uuu5|imosy'\sur!usussihasiirT)iouowiinoTUOCT^W5Qrijr]'nCTTTi«j 


/  cangak  makeber  gelis,  ngamulihang,  rawuh  ipun  jumah, 
makesiab  somahnyane  ngling,  dadi  kene  beli  rawuh,  ngalih 
amah  maan  sakit,  i  cangak  mwani  nuturang,  jani  beli  mara 
cumpu,  teken  kecap  sanghyang  sastra,  saja  pesan,  kabawosang 
jele  gati,  yaning  bungute  bas  lantang. 


311 


EPILOGUE: 
SYNESTHESIA- 

The  Soul  of  an  Artist 


Penutup: 
Synesthesia- 

Jiwa  Seorang  Seniman 


313 


"The  clouds  were  like  the  eyes  of  spirits 
watching  everything.  When  you  are  a 
child  you  sense  the  mystery  of  the  natural 
world  all  around  you,  but  you  don't  have 
words  to  express  it." 

-  Nyoman  Gunarsa 


"They   were    like    spirits,"    says    Gunarsa 

pointing  to  the  clouds  in  a  painting  inspired 

by  childhood  memories  of  his  life  in  a  small 

village  near  Klungkung.     The  watercolor 

depicts  a  landscape  dominated  by  the  sacred 

mountain  Gunung  Agung  surrounded  by 

clouds  that  resemble  the  eye-like  shapes  that 

fill  the  sky  in  the  classical  Klungkung  style  paintings  he  grew  up  studying, 

"The  clouds  were  like  the  eyes  of  spirits  watching  everything.   When  you 

are  a  child  you  sense  the  mystery  of  the  natural  world  all  around  you,  but 

you  don't  have  words  to  express  it." 


Now  that  he  is  an  adult,  Gunarsa  expresses  those  ineffable  mysteries  through 
his  paintings.  His  ability  to  do  so  is  what  gives  his  artwork  its  soul  or  "j/wa." 
The  expert  witnesses  at  his  copyright  trial  referred  often  to  the  "j/wa"  of 
Gunarsa's  paintings  as  a  quality  that  was  missing  from  the  forgeries.  They 
noted  the  differences  between  the  authentic  paintings  and  the  false  ones 
with  technical  references  to  perspective,  anatomical  proportions,  and 
dynamic  lines,  but  the  term  they  kept  coming  back  to  was  "jiwa" 


Like  most  artists,  Gunarsa  is  reluctant  to  define  the  'soul'  of  his  work  in 
words,  but  one  of  his  watercolor  paintings  offers  clues  to  the  essence  and 


"Embun  tak  ubahnya  seperti  mata-mata 
spirit  mengamati  segala  sesuatunya.  Bila 
anda  seorang  anak  kecil  anda  rasakan 
misteri  sifat  alami  dunia  semua  diseputar 
anda,  tetapi  anda  tidak  memiliki  kata- 
kata  untuk  menyatakanya. 

-  Nyoman  Gunarsa. 


"Semuanya  itu  seperti  spirit,"  kata  Gunarsa 
menunjuk  ke  awan  dalam  sebuah  lukisan 
diinspirasikan  oleh  ingatan  masa  kanak- 
kanaknya  dari  kehidupannya  di  sebuah 
desa  kecil  dekat  Klungkung.  Lukisan  cat 
air  menggambarkan  sebuah  pertamanan 
didominasi  oleh  gunung  suci  yakni  Gunung 
Agung  diitari  oleh  awan  yang  menyerupai  bentuk  mata  yang  memenuhi  langit 
di  dalam  lukisan  gaya  klasik  Klungkung  dimana  dia  tumbuh  dan  berkembang 
serta  mempelajarinya.  "Awan-awan  tak  ubahnya  seperti  matanya  spirit  yang 
mengamati  segala  sesuatunya.  Bila  anda  seorang  anak  kecil  anda  rasakan 
misteri  sifat  alami  dari  dunia  semua  diseputar  anda,  tetapi  anda  tidak 
memiliki  kata-kata  untuk  menyatakannya. 

Sekarang  dia  sudah  dewasa,  Gunarsa  mengekspresikan  itu  semua  yang 
selalu  dikatakan  misteri  suci  melalui  lukisannya.  Kemampuannya  untuk 
melakukan  itu  semualah  yang  memberikan  hasil  karyanya  berjiwa.  Para  ahli 
yang  menyaksikan  pada  pengadilan  hak  cipta  sering  menunjuk  pada  "jiwa" 
dari  lukisan-lukisannya  Gunarsa  sebagai  sebuah  kualitas  yang  itulah  tidak 
muncul  dari  lukisan  yang  dipalsukan.  Mereka  memberi  catatan  tentang 
perbedaan  antara  lukisan  yang  asli  dengan  yang  tiruan  dengan  teknikal 
referensi  untuk  perspektifnya,  anatominya,  proforsinya,  dan  dinamika  garis, 
akan  tetapi  istilah  yang  tetap  muncul  lagi  adalah  "jiwa." 

Seperti  kebanyakan  seniman,  Gunarsa  segan  untuk  menggambarkan  'jiwa' 
dari  hasil  karyanya  di  dalam  susunan  kata-kata,  akan  tetapi  satu  dari  lukisan 


314 


origins  of  his  artistic  vision.  It  is  a  watercolor  that  combines  words  and 
images,  a  variation  of  the  format  used  in  the  palm  leaf /owfar  manuscripts  of 
sacred  texts  he  often  watched  his  father  read.  Gunarsa's  handwritten  words 
are  at  the  bottom  of  the  painting  beneath  the  slopes  of  a  mountain  framed  by 
the  legs  of  two  shadow  puppets  whose  heads  tower  up  over  Gunung  Agung 
on  either  side.  The  puppet  figures  are  indistinct  as  they  might  appear  to 
a  child  imagining  that  a  cloud  formation  looks  like  the  shadow  play  hero 
Bhima  on  the  right  side  of  the  sky  ready  to  do  battle  with  a  shadow  play 
demon  on  the  left  side  of  the  sky. 


The  cloud-capped  adversaries  face  each  other  on  opposite  sides  of  the 
mountain,  suggesting  the  configuration  of  the  puppets  at  the  beginning  of 
a  wayang  puppet  play,  when  the  sacred  mountain  is  placed  at  the  center  of 
the  dalangs  screen  flanked  by  the  heroic  characters  on  the  right  and  the 
villains  on  the  left.  The  sun  rising  over  the  mountain  in  Gunarsa's  painting 
is  placed  where  the  flame  would  be  burning  on  the  coconut-oil  lamp  that 
casts  the  play's  shadows. 


cat  airnya  memberikan  jejak  kepada  esensi  dan  asal  mula  dari  pandangan 
artistiknya.  Itu  adalah  cat  air  yang  dikombinasikan  dengan  kata-kata  dan 
kesan,  sebuah  variasi  dari  format  digunakan  dalam  daun  manuskrip  dari 
teks  sakral  yang  dituliskan  di  daun  lontar  yang  sering  dia  lihat  ketika  dibaca 
oleh  ayahnya.  Tulisan  tangannya  Gunarsa  diterakan  paling  bawah  bagian 
dari  lukisannya  dibawah  kaki  gunung  yang  dibingkai  oleh  kaki  dari  dua 
wayang  yang  kepalanya  menjulang  tinggi  di  atas  Gunung  Agung  di  kedua  sisi. 
Figur  wayangnya  tak  jelas,  nampak  persis  seperti  bayi  menghayalkan  bahwa 
formasinya  awan  kelihatannya  bagaikan  pertunjukan  wayang  kulit  dimana 
pahlawan  Bima  berada  di  sisi  sebelah  kanan  langit  siap  melakukan  perang 
dengan  bayangan  yang  berbentuk  raksasa  di  sisi  langit  sebelah  kiri. 

Dibawah  awan  mereka  bermusuhan  berhadapan  satu  sama  lain  disebelah 
menyebelah  gunung  mengingatkan  pada  konfigurasi  awal  pertunjukan 
wayang,  manakala  gunung  yang  sakral  diposisikan  di  tengah-tengah  pada 
kelirnya  dalang  diapit  oleh  oleh  tokoh-tokoh  kepahlawanan  di  sebelah  kanan 
dan  tokoh  jahat  disebelah  kiri.  Matahari  muncul  di  atas  gunung,  dalam 
lukisannya  Gunarsa  diposisikan  dimana  api  lampu  belencong  berminyak 
kelapa  dinyalakan  untuk  memproyeksikan  bayangan  tokoh  di  layar. 


Although  the  composition  of  the  watercolor  echoes  the  shapes  of  wayang 
theater  as  it  was  practiced  by  his  grandfather,  an  accomplished  puppet 
master,  Gunarsa  points  to  another  source  of  inspiration  that  is  also  deeply 
rooted  in  his  childhood  memories.  It  is  a  black  and  white  drawing  of  the 
nawa  sanga,  the  traditional  Balinese  vision  of  the  universe  as  a  circle  divided 
into  nine  sacred  directional  coordinates.  "To  the  north  is  Vishnu  and  to  the 
South  is  Brahma,"  he  says  while  gesturing  back  and  forth  between  his  two 
creations.  "Here  is  a  sacred  line  that  goes  from  the  mountain  down  to  the 
sea,"  Gunarsa  continues  tracing  a  line  that  runs  from  the  image  of  Gunung 
Agung,  between  the  cloudy  shadow  puppet  figures  down  to  the  handwritten 
text  that  seems  now  to  be  written  on  the  surface  of  a  shimmering  sea  that 
reflects  the  sunlight  and  cloud  shapes  above  it.  "I  here  am  in  the  middle, 
between  the  heaven  and  the  earth,"  he  concludes  confirming  his  place  in  the 
cosmos  as  it  is  understood  in  the  Balinese  cosmology  of  the  nawa  sanga. 
"My  father  told  me  that  our  village  in  Klungkung  was  at  the  center  of  the 


Walaupun  komposisi  dari  lukisan  cat  air  memantulkan  bentuk  pertunjukan 
teater  wayang  seperti  yang  pernah  dipraktekkan  oleh  kakeknya  seorang 
dalang  yang  sukses,  Gunarsa  menunjuk  pada  sumber  inspirasi  yang  lain  yang 
juga  secara  mendalam  mengakar  dalam  ingatan  masa  kanak-kanaknya. 
Itu  adalah  gambaran  nawa  sanga  hitam  putih,  pandangan  terhadap  tradisi 
orang  Bali  tentang  alam  semesta  sebagai  sebuah  lingkaran  dibagi  ke  dalam 
sembilan  koordinat  arah  suci.  "Di  sebelah  utara  adalah  dewa  Wisnu  dan 
di  sebelah  selatan  adalah  dewa  Brahma"  katanya  sementara  menunjuk 
kembali  bolak-balik  diantara  dua  kreasinya.  "Ini  adalah  sebuah  garis  sakral 
dari  gunung  turun  ke  laut"  Gunarsa  lanjut  menelusuri  sebuah  garis  yang 
membentang  melintas  dari  gambaran  Gunung  Agung  diantara  figure  wayang 
kulit  yang  berawan,  turun  ke  teks  tulisan  tangan  yang  nampaknya  sekarang 
ditulis  dipermukaan  laut  yang  merefleksikan  sinar  surya  dan  bentuk-bentuk 
awan  di  atasnya.  "Saya  berada  di  sini  di  tengah,  di  antara  sorga  dan  bumi" 
dia  menyudahi  mengkonfirmasikan  tempatnya  di  dalam  kosmos  seperti 


315 


\ 


t;  - 


l^. 


-  ^^ 


fSh^irlUc     f^M^lA      ^ 


world,  with  demons  below  us  and 
the  gods  up  above." 


To  illustrate  the  sacred  geography 

he  had  learned  from  his  father, 

Gunarsa  takes  a  pen  and  begins 

drawing     a     silhouette     of     the 

landscape  that  includes  the  mother 

Temple  Basakih  on  the  slopes  of 

Mount  Agung,  goes  past  a  pavilion 

in  Klungkung  to  another  temple 

by  the  sea  at  Kelotok.   He  draws  a 

dragon  swimming  out  of  the  sea  at  Kelotok  to  emphasize  the  demonic  nature 

of  that  lower  realm.  All  three  drawings  represent  the  codified  relationship 

between  humans  and  the  mysteries  of  the  natural  world  that  Balinese 

children  are  exposed  to  from  birth:  the  three  worlds  of  bor,  bwah,  suah,  the 

underworld,  the  earth,  and  the  heavens.  It  is  a  relationship  that  implicitly 

underlies  the  composition  of  all  Gunarsa's  artwork,  but  in  these  three  pieces 

the  painter  makes  the  structure  explicit.  He  also  paints  the  cloud  shapes  in 

a  style  that  is  clearly  inspired  by  the  eye-shaped  ovals  in  classical  Klungkung 

styled  paintings. 


In  most  of  his  works  those  shapes  are  abstracted  into  the  background  in 
seemingly  random  patterns,  but  they  are  always  illuminated  by  traces  of 
Gunarsa's  childhood  memories.  These  kinetic  emblems  energize  the  spaces 
between  his  central  figures,  like  a  secret  alphabet  that  links  each  composition 
to  the  invisible  world  of  spirits  that  populate  the  Balinese  landscape. 


As  he  notes  in  his  handwritten  commentary  the  size  of  the  figures  has  nothing 


dimengerti  di  dalam  nawa  sanga 
kosmologi  Bali.  "Ayah  memberitaku 
saya  bahwa  desa  kami  di  Klungkung 
adalah  pusatnya  dunia,  dengan 
alam  setan  dibawah  kami  dan  alam 
Tuhan  di  atas." 

Untuk  mengilustrasikan  geografi 
sakral  yang  dia  pelaj  ari  dari  ayahnya, 
Gunarsa  mengambil  pena  memulai 
menggambar  bayang-bayang  hitam 
sebuah  pemandangan  alam  yang 
menyertakan  Pura  terbesar  di  Bali 
yakni  Pura  Besakih  di  kaki  Gunung 
I  -  AQunQ,     membentang,     melewati 

balai  di  lungkung  menuju  ke  pura 
Batu  Klotok  yang  berada  di  tepi  laut.  Dia  menggambar  seekor  naga  keluar 
berenang  di  laut  Klotok  untuk  menegaskan  sifat  alami  dari  setan  yang  berada 
di  bawah  dunia.  Ketiga  gambaran  tersebut  mewakili  susunan  hubungan 
diantara  manusia  dengan  misteri  sifat  alami  dunia  bahwa  anak-anak  orang 
Bali  diarahkan  sejak  lahir:  adanya  tiga  dunia  yakni  bhur,  bhwah,  dan  swah, 
dunia  bawah,  bumi,  dan  sorga.  Itu  adalah  sebuah  hubungan  yang  secara 
implicit  menggarisbawahi  komposisi  dari  semua  karya  seninya  Gunarsa, 
akan  tetapi  pada  ketiga  lembar  ini  pelukis  membuat  srukturnya  eksplisit.  Dia 
juga  melukis  bentuk-bentuk  awan  ke  dalam  gaya  yang  jelasnya  diilhami  oleh 
bentuk  mata  yang  oval  dalam  gaya  lukisan-lukisan  klasikal  Klungkung. 

Dalam  kebanyakan  karyanya  bentuk-bentuk  itu  dibuatnya  abstrak  sebagai 
latar  belakang  dengan  pola  yang  tak  beraturan,  akan  tetapi  semuanya  itu  selalu 
diterangi  oleh  penelusuran  ingatan  Gunarsa  pada  masa  kanak-kanaknya. 
Emblim  kinetis  memberi  energi  pada  ruang  diantara  figure  utamanya  ibarat 
abjad  yang  sakral  yang  menghubungkan  setiap  komposisi  dengan  dunia  tidak 
nyatanya  spririt  yang  menghuni  pulau  Bali. 

Seperti  dia  memberi  catatan  pada  tulisan  tangannya  mengomentari  ukuran 


317 


to  do  with  realistic  perspective.  It  depends  on 

the  relative  importance  of  the  subjects  being 

drawn.  In  the  mountain  landscape  the  shadow 

puppets  loom  large,  the  way  they  appeared  to 

Gunarsa  as  a  child  who  saw  ghosts  and  spirits 

all  around  him.  Under  the  watchful  eyes'  of  the 

clouds  that  hover  over  the  mountain  these  two 

puppet  shapes  seem  ready  to  begin  the  battle 

between  good  and  evil  that  is  depicted  in  every 

shadow  puppet  play.   The  watercolor  captures 

a  moment  when  the  gods  of  the  nawa  sanga 

are  present  in  all  directions  as  spectators  at  a 

shadow  play  illuminated  by  the  sun  rising  over 

the  sacred  mountain.    The  puppet  characters 

are  formed  by  the  changing  shapes  of  clouds, 

and  the  battle  between  the  forces  of  good  and  evil  is  about  to  be  played  out 

on  a  landscape  that  stretches  from  the  heavenly  heights  of  Gunung  Agung 

down  to  the  demon-  infested  sea. 


The  words  he  paints  at  the  base  of  the  drawing  suggest  the 
scene  is  representative  of  the  way  his  childhood  imagination 
theatricalized  the  landscape.  "When  I  was  young  I  sensed 
all  kinds  of  eerie  things  and  was  full  of  fantasies  about  the 
natural  world  around  me.  Early  in  morning,  when  it  was 
still  dark,  it  was  as  if  the  natural  world  was  blanketed  with 
ghosts  or  spooky  spirits." 


As  he  looks  at  the  watercolor  Gunarsa  begins  to  sing, 
recalling  the  soundtrack  of  his  childhood  fantasy.  It  is  a 
song  he  learned  at  middle  school  about  the  mystery  of  a 
Balinese  sunrise.  He  voices  the  words  softly  in  Indonesian: 


dari  figur-figur  tidak  ada  hubungannya  dengan 
perspektif  relistik.  Itu  tergantung  pada  relatif 
pentingnya  dari  subjek  yang  digambar  Pada 
gambar  pemandangan  gunung  bayangan 
wayang  tampak  besar,  kemunculan  mereka  bagi 
Gunarsa  sebagai  anak  kecil  yang  melihat  hantu 
dan  spirit  diseputarnya.  Di  bawah  pandangan 
mata-mata  penuh  kewaspadaan  dari  awan 
yang  menunggu  dekat  di  atas  gunung  kedua 
bentuk  wayang  ini  nampaknya  siap  untuk 
memulai  peperangan  diatara  kekuatan  baik 
dengan  buruk  seperti  yang  digambarkan  pada 
setiap  pertunjukan  wayang  kulit.  Lukisan  cair 
air  menangkap  momen  ketika  dewata  nawa 
sanga  dimunculkan  di  seluruh  penjuru  seperti 
penonton  dalam  pertunjukan  wayang  kulit,  diterangi  oleh  matahari  muncul 
di  atas  gunung  yang  sakral.  Karakter  wayangnya  dibentak  dari  perubahan 
bentuk  dari  awan  dan  pertempuran  antara  kekuatan  baik  dengan  kekuatan 
jahat  seakan  jelang  dimainkan  keluar  dari  pemandangan  alam  yang 
membentang  dari  puncak  Gunung  Agung  dan  raksasa  turun 
mengerumuni  laut. 

Kata-kata  yang  dia  terakan  pada  bagian  bawah  lukisannya 
mengusulkan  adegan  sebagai  perwujudan  dari  cara 
masa  kanak-kanaknya  mendapat  kesan  pemandangan 
diteatr ikalkan.  "Ketika  saya  masih  muda  saya  merasakan 
berbagai  macam  ngeri  tentang  berbagai  hal  dan  penuh 
dengan  fantasi  tentang  sifat  alami  dunia  seputar  saya.  Di 
pagi  buta  ketika  masih  agak  gelap  dunia  diselimuti  oleh 
hantu  atau  spirit  yang  menyeramkan. 

Sembari  melihat  pada  lukisan  cat  airnya  Gunarsa  mulai 
bernyanyi  memanggil  kembali  lapisan  suara  dari  fantasi 
masa  kanak-kanaknya.  Sebuah  lagu  yang  dia  pelajari 
ketika  masih  duduk  di  bangku  sekolah  menengah  pertama 


318 


"Fajar  menyingsing  terbit  matahari,  kabut  melayang  menarik  hati,  cuaca 
terang  di  seluruh  negeri  ,  burung  bernyanyi,  bagai  berperi."  ("At  dawn  the 
sun  rises,  and  the  clouds  floating  in  the  fog  bring  me  joy.  The  climate  of  light 
spreads  across  the  entire  country.  The  birds  sing,  like  invisible  spirits.") 

"That  is  the  song  I  heard  while  I  made  this  painting,"  Gunarsa  explains.  "I 

could  also  hear  the  birds  singing, 

like  a  mystery  of  nature.  I  listen  to 

the  music  of  the  birds  so  that  I  can 

put  it  into  the  painting  and  hear  it 

when  I  look  at  it  again." 


A  moment  later  the  artist  begins 

to  sing  another  song.   This  one  is 

in  Balinese.    He  learned  it  from 

a  priest  who  visited  his  village 

elementary  school.    He  becomes 

more  animated  as  he  repeats  the 

simple  melody  and  begins  to  wave 

his  arms  as  if  he  were  conducting 

a  gamelan  ensemble.     He  voices 

the  sounds  of  each  instrument  in 

the  Balinese  orchestra  of  gongs, 

drums  and  metallophones,  adding 

layers  of  sound  to  his  memory  as  if  he  were  adding  layers  of  color  to  the 

painting.    Eventually  the  song  inspires  him  to  move  from  his  studio  to  a 

nearby  set  of  gamelan  instruments  where  he  actually  does  play  the  melody 

on  a  metal  xylophone.  Lacking  the  proper  mallet  he  improvises  by  hitting 

the  keys  with  a  stick  from  his  garden.  The  shimmering  sound  of  the  gamelan 

encourages  him  to  sing  the  song  more  forcefully,  and  his  right  arm  dances 

through  the  air  in  time  with  the  music. 


tentang  misteri  dari  munculnya  matahari  di  pagi  hari.  Dia  suarakan  kata- 
katanya  denga  lirih  dalam  bahasa  Indonesia:  "Fajar  menyingsing  terbit 
matahari,  kabut  melayang  menarik  hati,  cuaca  terang  di  seluruh  negeri, 
burung  bernyanyi,  bagai  berperi" 

"Nyanyian   tersebutlah  yang  saya  dengar  ketika  membuat  lukisan  ini. 

Gunarsa  menjelaskan.  "Saya 
juga  mendengar  burung-burung 
bernyanyi,  seperti  misterinya 
alam.  Saya  mendengarkan  musik 
dari  burung-burung  dengan 
demikian  saya  bisa  tuangkan 
ke  dalam  lukisan  saya  dan  saya 
mendengarnya  kembali  ketika 
saya  melihat  lukisannya  lagi" 

Beberapa  saat  kemudian  si  pelukis 
kembali  menyanyikan  lagu  yang 
lain.  Yang  ini  dalam  bahasa  Bali. 
Dia  belajar  dari  seorang  pendeta 
yang  mengunjungi  sekolah 
dasarnya  di  desa.  Dia  menjadi  lebih 
hidup  manakala  dia  mengulang 
melodi  yang  sederhana  dan  mulai 
melambaikan  tangannya  seperti 
halnya  dia  sedang  memimpin 
penabuh  barungan  gamelan.  Dia 
menyuarakan  suara  masing- 
masing  instrumen  gamelan  Bali  seperti  kendang  dan  nada-nada  bilah 
kerawang,  dengan  menambahkan  lapisan-lapisan  suara  melalui  ingatannya 
seperti  halnya  dia  menambahkan  lapisan  warna  dalam  lukisannya.  Akhirnya 
nyanyian  yang  mengilhami  dia  untuk  berpindah  dari  studio  lukisannya  ke 
tempat  dimana  satu  set  gamelan  yang  terletak  tidak  begitu  jauh  dan  di  sana 
dia  dengan  sungguh  memainkan  melodi  gamelan  tersebut.  Karena  tidak 
ada  tabuh  alat  pemukul  gamelan  dia  berimprovisasi  dengan  menggunakan 


319 


^  4->f ^  % 


The  open-air  pavilion  housing 
the  gamelan  is  surrounded  by  a 
pool  of  lotus  blossoms  dappled 
with  the  raindrops  of  a  recent 
shower.  The  lush  garden  is  rich 
with  the  aromas  of  mango  trees 
and  cempaka  flowers  whose  wet 
fallen  blossoms  are  scattered 
across  the  ground.  Still  singing, 
Gunarsa  leaves  the  gamelan  and 
plucks  a  tamarind  pod  from  a  low 
hanging  branch.  He  takes  a  bite 
and  chews  on  the  savory  pulp. 
The  sound  of  flowing  water  and 
singing  birds  has  replaced  the 
melody  of  his  childhood  song, 
but  the  words  of  the  song  still 
reverberate  in  his  memory  as  he 
reflects  on  the  power  of  music. 
"Music  softens  your  heart,"  he 
says,  pointing  in  the  direction  of 
the  gamelan.  "It  teaches  you  to 
be  refined,  so  that  you  won't  just 
be  a  wild  cowboy.  Art  is  not  just 
for  beauty.  It  exists  to  transform 
the  character  of  the  people  it 
touches." 


320 


batang  kayu  yang  di  ambil  dari 
kebunnya  untuk  memainkan 
gamelan.  Denting  gemerincing 
suara  gamelan  mendorong  dia 
untuk  menyanyikan  lagu  lebih 
keras  dan  tangan  kanannya 
menari  di  udara  bersamaan 
dengan  irama  musik. 

Balai  tempat  gamelan  sebuah 
bangunan  terbuka  diitari  oleh 
telaga  dengan  bunga  teratai 
mekar  diperciki  dengan  tetesan 
air  hujan  yang  baru  saja  turun 
menggerimis.  Taman  yang 
rimbun  subur  kaya  dengan 
aroma  dari  pohon  mangga 
dan  bunga  cempaka  yang 
basah  berjatuhan  berserakan 
di  tanah.  Masih  bernyanyi, 
Gunarsa  meninggalkan  gamelan 
dan  memetik  buah  asam 
yang  menggayut  rendah  pada 
cabangnya.  Dia  menggigit  sedikit 
dan  mengunyahnya  dengan 
lezat  sampai  hancur.  Suara  dari 
alunan  air  dan  nyanyian  burung 
yang  menggantikan  melodi  dari 
lagu  masa  kanak-kanaknya,  akan 
tetapi  kata-kata  lagunya  masih 
menggema  dalam  ingatannya 
seperti  dia  terefleksikan  ke 
dalam  kekuatan  musik.  "Musik 
memperlunak  hatimu,"  kata  dia, 
menunjuk  kearah  gamelan  "Itu 


mengajarkan  anda  menjadi  halus,  dengan  demikian  anda  tidak  menjadi 
buas  seperti  cowboy.  Seni  tidaklah  hanya  untuk  keindahan.  Keberadaannya 
untuk  mentransformasikan  karakter  orang-orang  dengan  sentuhan." 


The  song  from  his  childhood  that  sent  Gunarsa  singing  into  his  garden 
is  entitled  Dharma  Sadu  which  could  be  translated  as  "A  Person  of 
Incorruptible  Virtue."  He  associates  it  with  the  diagram  of  the  nawa  sanga 
whose  sacred  structure  is  embedded  in  most  of  Gunarsa's  work.  Looking 
at  a  drawing  of  a  rice-field  pindekan  whose  spinning  wheel  mirrors  the 
sacred  wheel  of  nawa  sanga,  he  observes,  "In  the  Hindu  religion  of  Bali  the 
movement  of  the  wind  from  north  to  south  and  back  again  is  similar 
to  the  movement  of  life  that  spins  back  and  forth  between  good  and 
evil  as  a  result  of  the  choices  we  make  in  this  life.  The  wind  that  blows  to 
the  east  originates  in  the  west  and  vice  versa.  You  can't  have  one  extreme 
without  the  other,  but  people  have  to  do  their  best  to  live  the  way  the  priest 
suggested  when  he  taught  this  song  to  the  children  in  my  school" 


Nyanyian  dari  masa  kanak-kanaknya  yang  mengirim  Gunarsa  untuk 
bernyanyi  di  kebunnya  berjudul  Dharma  Sadu  yang  kiranya  dapat 
diterjemahkan  ke  dalam  "Seorang yang  kebaikannya  tak  dapat  disuap"  Dia 
asosiasikan  itu  dengan  diagram  dari  nawa  sanga  yang  struktur  sakralnya 
terpancang  di  dalam  kebanyakan  karyanya  Gunarsa.  Melihat  pada  lukisan 
pindekan  untuk  sawah  yang  putaran  rodanya  mencerminkan  roda  suci  nawa 
sanga,  dia  mengobservasi.  "Di  dalam  ajaran  agama  Hindu  Bali,  pergerakan 
angin  dari  utara  ke  selatan  dan  kembali  lagi  adalah  sama  halnya  dengan 
gerakan  hidup,  sebagai  hasil  dari  pilihan  yang  kita  buat  dalam  hidup  ini. 
Angin  yang  mengembus  ke  timur  berasal  dari  barat,  demikian  sebaliknya. 
Anda  tidak  akan  dapat  satu  ekstrim  tanpa  yang  lain,  akan  tetapi  orang-orang 
harus  melakukan  apa  yang  terbaik  untuk  hidupnya  seperti  yang  disarankan 
oleh  pendeta  yang  mengajarkan  lagunya  di  sekolah  kepada  anak-anak  di 
sokolah  saya" 


Dharma  Sadu 

Ngiring  durus 
Sareng  sami  manut 
Mangusahang  raga 
Mangulati  kerahayon 
Tunggalan  bebaos 
Saking  jati  tuwon 
Nyudi  sane  becik 
Budi  utama  luhur 


The  Highest  Virtue 

First  come  along 

And  follow  all  together 

Make  an  effort 

To  weave  a  life  of  blessings 

Speak  words  that  are  harmonious 

Surrender  yourself  from  your  heart 

To  create  goodness 

With  behavior  of  the  utmost  refinement 


Dharma 

Mari  silahkan 
Bersama  mengikuti 
Berusaha  sendiri 
Mencari  keselamatan 
Satukan  pembicaran 
Dari  kesungguhan 
Melakukan  yang  terbaik 
Budi  utama  terhormat 


Gunarsa's  ability  to  make  sound  visible  is  one  of  the  distinctive  characteristics 
that  cannot  be  forged  by  imitators  of  his  paintings.  The  soul  of  Gunarsa's 
paintings  is  inseparable  from  their  music.  The  painter  himself  put  on  a 
performance  in  the  courtroom  to  demonstrate  that  the  forgeries  could 
not  be  'danced'  in  the  way  that  his  own  works  could.   His  demonstration 


Kemampuan  Gunarsa  untuk  membuat  suara  itu  menjadi  tampak  adalah 
satu  dari  perbedaan  karakteristiknya  yang  tak  dapat  dipalsukan  oleh 
sipeniru  untuk  lukisan-lukisannya,  jiwa  dari  lukisan  Gunarsa  adalah 
tidak  terpisahkan  dari  musiknya.  Pelukisnya  sendiri  meragakan  ke  dalam 
pertunjukan  di  dalam  ruang  sidang  pengadilan  untuk  mendemonstrasikan 


321 


in  the  courtroom  displayed  his  gift  of  synesthesia,  the  abihty  to  activate 
and  merge  all  the  senses  at  once.  Gunarsa  listens  to  music  while  he  paints, 
sometimes  singing  and  dancing,  and  always  surrounded  by  the  aromas  of 
his  lushly  flowered  garden  studio.  The  art  he  creates  is  infused  with  sounds 
that  evoke  the  sights,  tastes,  and  smells  of  Bali's  natural  landscape.  In 
Gunarsas  depiction  of  a  temple  ceremony,  one  can  hear  the  gentle  ringing 
of  the  priests  bell,  sniff  the  aroma  of  smoke  rising  in  spirals  from  the 
incense  sticks,  and  feel  the  sprinkling  of  holy  water  on  upturned  hands.  In 
Gunarsas  painting  of  a  shadow  puppet  play  one  can  hear  the  gutteral  rasp 
of  the  clown  Twalen's  voice  and  feel  the  heat  of  the  coconut  oil  lamp  that 
illuminates  the  screen.  When  Gunarsa  paints  a  performance  of  legong  the 
precision  of  his  lines  vibrates  with  the  sounds  of  the  gamelan  gong  music 
that  propels  the  dancers'  bodies  through  space. 


bahwa  yang  dipalsukan  tidak  bisa  "menari"  seperti  halnya  lukisannya 
sendiri,  menari.  Demonstrasinya  di  ruang  pengadilan  mempertontonkan 
(semua  rasa  dengar  lihat  lidah  menyatu  =  synesthesia),  kemampuan 
untuk  mengaktifkan  dan  menyatukan  semua  rasa  menjadi  satu.  Gunarsa 
mendengarkan  musik  ketika  dia  melukis,  dan  terkadang  bernyanyi  dan 
menari,  dan  selalu  diitari  oleh  aroma  dari  taman  bunga  studionya  yang 
subur.  Seni  yang  dia  ciptakan  tertanam  dengan  suara  yang  menimbulkan 
penglihatan,  rasa,  dan  bau  alami  pemandangan  tata  ruang  Bali.  Dalam 
lukisan  Gunarsa  sebagai  penggambaran  upacara  di  pura,  pertama  akan 
didengar  dentingan  suara  lembut  dari  gentanya  pendeta,  mengendus-endus 
aroma  asap  yang  mengangkat  dalam  spiral  asap  padupaan,  dan  merasakan 
percikan  air  suci  pada  telapak  tangan  yang  menengadah.  Dalam  lukisan 
Gunarsa  tentang  pertunjukan  wayang  kulit  seseorang  akan  mendengar 
(suara  mengeram  rendah  -parutan  guttural  deskripsikan  suaranya  tualen) 
dari  suaranya  panakawan  Twalen  dan  merasakan  hangatnya  api  belencong 
wayang  berminyak  kelapa  yang  mengiluminasikan  layar.  Ketika  Gunarsa 
melukis  pertunjukan  legong  ketepatan  garisnya  digetarkan  oleh  suara 
gamelan  gong  yang  menggerakkan  badan  penari  di  dalam  ruang. 


The  interpenetration  of  the  senses  that  animates  Gunarsa's  best  work  is  linked 
both  to  the  fluid  motion  of  the  lines  that  form  his  figures  and  the  kinetic 
charge  of  the  shapes  that  pulsate  in  the  spaces  between  them.  Inspired  by 
the  floating  ovals  in  classical  Klungkung  paintings  that  he  once  imagined 
were  the  eyes  of  the  gods,  Gunarsa  has  transformed  these  background 
shapes  into  tiny  abstractions  that  capture  the  dynamism  of  contemporary 
Bali  while  maintaining  the  spiritual  roots  of  its  traditions. 


Menjadikan  satu  semua  rasalah  yang  menghidupkan  kerja  besarnya 
Gunarsa  memiliki  hubungan  baik  untuk  gerakan  garisnya  yang  mengalir 
yang  membentuk  figurnya  dan  tuntutan  gerakan  dari  bentuk-bentuk 
yang  berdenyut  di  dalam  ruang  diantara  semuanya.  Diinspirasikan 
oleh  bentuk  oval  yang  mengambang  dari  gaya  klasik  lukisan  Klungkung 
yang  dia  bayangkan  sebagai  mata-mata  dari  para  dewa,  Gunarsa  telah 
mentransformasikan  latar  belakang  ini  kedalam  bentuk  abstrak  yang  kecil- 
kecil  yang  dapat  menangkap  kedinamisan  kontemporer  Bali  sementara 
memelihara  akar  spiritual  dari  tradisi  itu  sendiri. 


Animated  by  dancing  hieroglyphs  that  vibrate  with  the  presence  of  Bali's 
invisible  deities,  Gunarsa's  paintings  will  outlive  any  attempts  by  judges 
or  forgers  to  diminish  their  value.  His  art  is  inspired  by  the  movement 
between  extremes  that  awed  him  when  he  was  a  boy  working  in  his  father's 
ricefields,  watching  the  sky  and  listening  to  the  wind  whistle  through  the 
spinning  wheel  oi  the  pindekan.  "The  wind  that  came  from  the  east  sent  the 


Dihidupkan  oleh  tarian  hieroglyphs  (bahasa  dituliskan  dalam  simbol)  yang 
bergetar  dengan  kehadiran  para  dewata  Bali  yang  tidak  nampak,  lukisan 
Gunarsa  akan  hidup  lebih  lama  kendati  beberapa  usaha  apapun  oleh  hakim 
atau  pemalsu  untuk  mengurangi  nilainya.  Karya  seninya  diilhami  oleh 
gerakan  diantara  sifat  pertentangan  yang  mengagumi  dia  ketika  dia  masih 
kecil  bekerja  di  sawah  ayahnya,  memandangi  langit  dan  mendengarkan 


322 


wheel  moving  to  the  west  and  vice  versa.  It  spun  through  all  the  directions 
of  the  compass,  pointing  towards  the  dwelling  place  of  each  of  the  gods  in 
rapid  succession.  North  became  South.  East  became  West.  I  didn't  know 
it  then,  but  that  was  the  essence  of  ruahinedal'  As  a  child  Gunarsa  had  no 
words  to  express  the  mysteries  he  observed  in  the  world  around  him,  but 
the  older  he  gets,  the  more  skilled  he  becomes  in  expressing  those  mysteries 
with  deft  brush-strokes  that  fall  on  his  canvas  like  musical  notes  serenading 
unseen  spirits  in  the  clouds. 


angin  bersiul  melalui  putaran  dari  pindekan.  "Angin  yang  datang  dari 
timur  membuat  roda  putaran  ke  barat  dan  sebaliknya.  Itu  bisa  berputar  ke 
segala  arah  mata  angin,  menunjuk  pada  stana  setiap  dewa  dalam  rangkaian 
cepat.  Utara  menjadi  selatan.  Timur  menjadi  Barat.  Saya  tidak  mengetahui 
itu  kemudian,  akan  tetapi  itulah  esensi  dari  ruabineda."  Sebagai  anak  kecil 
Gunarsa  tidak  memiliki  kata-kata  untuk  mengungkapkan  misteri  yang 
dia  observasi  di  dunia  sekelilingnya,  akan  tetapi  susunannya  didapatnya, 
semakin  meningkat  keterampilannya  di  dalam  mengekspresikan  misteri  itu 
semua  dengan  kibasan  kuas  semakin  cepat  yang  jatuh  pada  kanvasnya  ibarat 
notasi  musik  merayu  dengan  musik  spirit  yang  tidak  nampak  di  dalam  awan. 


323 


List  of  Illustrations 


All  pen  and  ink  sketches,  oil  paintings,  pastels,  and  watercolors  are  the  work  of 

Nyoman  Gunarsa 

Traditional  paintings  are  from  the  Kertha  Gosa  Museum 

Shadow  puppet  performance  photos  document  the  work  ofWayan  Nardayana 

(Dalang  CenkBlonk) 

Photos  of  Nyoman  Gunarsa's  works  are  by  Indrawati  Gunarsa 

Other  photos  are  by  Ron  Jenkins  and  Franziska  Blattner 

Page  2  -  Guneman  -opening  display  of  shadow  puppets  before  the 

performance  begins 
Page  4  -  Legong  dancer  (pen  &  ink) 

Page  6  -  Ganesh  -  shadow  puppet  from  the  guneman  opening  display 

Page  8  -  The  on^/cflra  fl/csara  as  the  source  of  dance  movement  (pen  and 

ink) 
Page  12        -  Aksara  as  the  source  ofoleg  dancer's  movements  (pen  and  ink) 
Page  14        -  Ganesh 

Page  15        -  Twalen,  Hanuman,  and  Merdah 

Page  16        -  Bhagawan  Valmiki  writing  the  Ramayana  (pen  and  ink) 
Page  17        -  Twalen 

Page  18        -  Nyoman  Gunarsa  in  his  studio 

Page  18        -  Gunarsa's  brush  adding  detail  to  painting  of  a  flute  player 
Page  19        -  Gunarsa's  palette  of  colors 

Page  20        -  The  birth  of  music  and  the  Balinese  pentatonic  scale  ( watercolor) 
Page  23        -  Cenk  and  Blonk  with  Condong  -  Three  characters  from  a  shadow 

play  (pen  and  ink) 
Page  24        -  Gunarsa  in  front  of  his  painting  of  two  heavenly  guardians  painted 

in  the  ringgit  or  wayang  style 
Page  26        -  The  ongkara  aksara  as  the  source  of  all  movement  (pen  and  ink) 
Page  28        -  Tintia  or  Sang  Hyang  Tunggal  and  the  kayonan  shadow  puppet 

representing  creation 
Page  29        -  Harmony  of  male  and  female  dancers  (pen  and  ink) 
Page  30        -  Movement  of  the  fingers,  feet,  and  eyes  in  process  of  creating 

mudra  gestures 
Page  31        -  Sanggut  -  Collection  of  the  Gunarsa  Museum 
Page  32        -  Cupak  -  Collection  of  the  Gunarsa  Museum  - 
Page  33        -  Aksara  as  the  source  of  the  oleg  tamulilingan  dance  (pen  and  ink) 


Page  34 


Page 

36 

Page 

38 

Page 

40 

Page 

41 

Page 

42a 

Page 

42b 

Page 

43 

Page 

44 

Page 

45 

Page 

46 

Page 

47 

Page 

49a 

Page 

49b 

Page 

50 

Page 

51 

Page 

52 

Page 

54 

Page 

57 

Page 

58 

Page 

61 

Page 

62a 

Page 

62b 

-  Comparison  of  original  and  forged  oil  paintings  of  the  oleg 
tamulilingan  dance 

-  Durga 

-  Agem  kiri  and  agem  kanan:  dance  movements  born  from  aksara 

-  Comparison  of  authentic  and  forged  oil  paintings  of  pendet 
dancers 

-  Moving  forged  painting  into  the  courtroom 

-  Pelangkiran  -  offerings  in  the  courtroom  meant  to  provide 
spiritual  protection 

-  Defense  lawyer  in  court 

-  Dance  in  front  of  temple  gate  (pen  and  ink) 

-  Women  with  offerings  (pen  and  ink) 

-  Sugama,  a  reknowned  performer,  offering  his  support  to  Gunarsa 
(pen  and  ink) 

-  Petition  to  uphold  copyright  laws  signed  by  numerous  Indonesian 
artists 

-  Demonstration  in  front  of  court  in  which  Sugama  offers  support  to 
Gunarsa 

-  Forged  painting  with  sticker  and  forged  signature 

-  Detail  of  forged  painting  of  legong  dancer 

-  Detailed  comparison  of  Gunarsa's  painting  of  dancer's  foot  with 
forged  painting  of  dancer's  foot 

-  Gunarsa  at  copyright  demonstration  in  front  of  governor's 
mansion 

-  Offerings  for  otonon  celebration  for  three-month  old  baby  (pen 
and  ink) 

-  Comparison  of  authentic  and  forged  watercolors  of  young  men  in 
temple 

-  Saraswati,  the  goddess  of  art  and  knowledge:  the  birth  of  the  arts 
from  the  cecak  (pen  and  ink) 

-  Barong  and  Rangda  with  protective  aksara  symbols  (pen  and  ink) 

-  Rangda  with  rerajahan  symbols  meant  to  facilitate  magical 
transformations  (pen  and  ink) 

-  Rerajahan  drawing  meant  to  provide  spiritual  protection 

-  Bhima  with  magic  aksara  rerajahan  for  spiritual  protection  (pen 
and  ink) 


324 


Page 

63 

Page 

64 

Page 

67 

Page 

68 

Page 

70 

Page 

71 

Page 

72a 

Page 

72b 

Page 

73 

Page 

74 

Page 

75 

Page 

76a 

Page 

76b 

Page 

77 

Page 

78 

Page 

81 

Page 

82 

Page 

84 

Page 

85 

Page 

86 

Page  88 

Page  89 
Page  90 
Page  91a 
Page  91b 

Page  92 
Page  93a 
Page  93b 

Page  94 
Page  95a 


-  Gunarsa  with  his  wife  Indrawati,  his  daughter  Linuwih,  and  staff 
member  Mayxin 

-  Gunaman  opening  puppet  display  including  Mayasura,  Hanuman, 
and  the  Kayonan 

-  Temple  of  Denpasar 's  courtroom  in  disrepair 

-  Dalang  at  work  behind  the  puppet  screen  (oil) 

-  Dalang  Wayan  Nardayana  with  Nyoman  Catra  and  Nyoman 
Gunarsa 

-  Yudisthira  in  red  and  white  painted  in  wayang  or  ringgit  style  (oil) 

-  Dalang  Wayan  Nardayana  making  offerings  behind  the  screen 
before  his  performance 

-  Cenk  and  Blonk 

-  Four  clown  servant  characters:  Delem,  Sanggut,  Merdah  &  Twalen 

-  Gunarsa  Museum 

-  Ganesh 

-  Window  to  heaven  guarded  by  Vishnu's  weapon,  the  cakra 

-  Anggada 

-  Hanuman  from  the  collection  of  the  Nyoman  Gunarsa  museum 

-  Kayonan 

-  Twalen  and  Merdah 

-  Twalen  and  Merdah 

-  Delem  and  Sanggut 

-  Guneman  opening  display  of  puppets 

-  Emblem  of  CenkBlonk  displayed  on  the  dalang's  truck 

-  The  death  of  Mayasura  after  the  astra  geni  he  fired  at  Anggada 
boomerangs  back  (watercolor) 

-  Shadow  puppets  of  fire  and  arrow  from  the  collection  of  the 
Nyoman  Gunarsa  Museum 

-  Barong  and  Rangda  painted  in  the  Klungkung  style  (watercolor) 

-  Gunarsa  with  dalang  CenkBlonk  (Wayan  Nardayana) 

-  Offerings  behind  the  puppet  screen 

-  Wayan  Nardayana  making  offerings  to  make  the  performance 
fluent  and  safe 

-  Vishnumurti,  a  puppet  depicting  the  destructive  side  of  Vishnu 

-  Kayonan  on  fire 

-  Dalang  CenkBlonk  animating  the  clown  servants  Delem  and 
Sanggut  listening  to  Mayasura 

-  Astra  geni  (pen  and  ink) 

-  Guneman  opening  display  of  puppets 


Page  95b  -  Wayan  Nardayana  and  Nyoman  Gunarsa 

Page  96  -  Twalen  and  merdah  with  Tintia  or  Sang  Hyang  Tunggal  (pen  and 

ink) 

Page  97a  -  Delem  and  Mayasura 

Page  97b  -  Delem,  Mayasura  and  Sanggut 

Page  98a  -  Guneman  opening  display  of  puppets 

Page  98b  -  Dalang  CenkBlonk  animates  Hanuman 

Page  100a  -  Twalen  and  Merdah 

Page  100b  -  Sanggut  and  Delem 

Page  101  -  Sanggut  and  Delem 

Page  102  -  Door  to  puppet  storage  room  at  the  home  of  Wayan  Nardayana 

Page  103a  -  Detail  of  door  to  puppet  storage  room  featuring  the  four  clown 

servants  of  Balinese  wayang 

Page  103b  -  Guneman  opening  display  with  Sugriwa,  Hanuman  and  Ganesh 

Page  104a  -  Hanuman  and  Merdah 

Page  104b  -  Rama  and  Twalen 

Page  105  -  Dalang  CenkBlonk  animates  Barong 

Page  106a  -  Guneman  opening  display  with  Hanuman  and  Wibisana, 

the  brother  of  Rawana 

Page  106b  -  Sugriwa,  Hanuman,  Anggada,  and  soldiers 

Page  106c  -  Raksasa  demon 

Page  107a  -  Cenk  and  Blonk 

Page  107b  -  Cenk  and  Blonk 

Page  108  -  Mayasura  asking  rama  for  the  astra  geni  weapon  to  kill  Anggada 

Page  109  -  Pen  and  ink  drawing  of  the  crab  with  a  paintbrush  in  Gunarsa's 

studio 

Page  110  -  Balinese  high  priest  performing  a  ceremony  (pen  and  ink) 

Page  112  -  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 

Page  114  -  Details  of  paintings  from  Kertha  Gosa  telling  the  story  of  the  crab 

and  the  heron  (1  8f  2) 

Page  115  -  Details  of  paintings  from  Kertha  Gosa  telling  the  story  of  the  crab 

and  the  heron  (3  &  4) 

Page  117  -  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  reading  sastra 

Page  118  -  The  ceremonial  sacred  bell  of  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 

Page  121  -  Nawasanga 

Page  122  -  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 

Page  124  -  Kris  daggers  dropping  from  a  tree  in  hell  (watercolor) 

Page  127  -  Death  of  a  heron  impersonating  a  judge  (watercolor) 

Page  128a  -  Nawasanga  Senjata  -  sacred  weapons 


325 


Page  128b    -  Pindekan  (pen  and  ink),  symbolizing  the  spinning  of  the  world  or 

pengider  bhuana 
Page  130      -  Delem  and  Sanggut  -  Collection  of  the  Gunarsa  Museum 
Page  131a    -  Self-portrait  of  Gunarsa  working  in  a  ricefield  and  then  wearing 

shoes  first  time 
Page  131b    -  The  museum  at  Kertha  Gosa 
Page  132a    -  Carving  of  the  Trisula  sacred  weapon  of  protection  on  the  wall  of 

the  Gunarsa  Museum 
Page  132b    -  Carving  of  the  Cakra  sacred  weapon  on  the  wall  of  the  Gunarsa 

Museum 
Page  133      -  Oil  painting  of  Delem  and  Sanggut  at  the  Gunarsa  Museum 
Page  134a    -  Painting  of  the  Puputan  KlungKung  at  the  Kertha  Gosa  museum 
Page  134b    -  Gunarsa's  painting  of  Puputan  Klungkung  (watercolor) 
Page  135      -  Aksara  as  the  source  of  dance  movement  (pen  and  ink) 
Page  137a    -  Barong  and  Rangda  -  detail  of  painting  from  the  Kertha  Gosa 

ceiling 
Page  137b    -  Forgers  in  hell  punished  by  demons  (pen  and  ink) 
Page  138a    -  Gunarsa  as  adult  studying  the  ceiling  of  Kertha  Gosa 
Page  138b    -  Self  portrait  of  Gunarsa  as  a  child  studying  the  ceiling  of  Kertha 

Gosa 
Page  139      -  Twalen  painted  on  wood,  preserved  from  Kertha  Gosa  and  now  at 

the  Gunarsa  Museum 
Page  141a    -  Corrupt  judge  in  hell  punished  by  demons  (pen  and  ink) 
Page  141b    -  Punishment  of  liar  in  hell  -  detail  from  Kertha  Gosa  ceiling 
Page  142a    -  Barong  and  Rangda  -  detail  from  Kertha  Gosa  ceiling 
Page  142b    -  Punishment  of  judge  who  twists  the  law  with  lies  (watercolor) 
Page  144      -  Pindakan  -  trisula  -  cakra  -  pengider  bhuana  (pen  and  ink) 
Page  146      -  Ceiling  of  Kertha  Gosa  -  photo 
Page  147      -  Hanuman  -  Collection  Gunarsa  Museum 
Page  148      -  Anggada  from  Gunarsa  Museum  Collection 
Pages  153- 
157  -  Watercolors  by  Gunarsa  revising  the  tantri  story  of  heron  who 

impersonates  a  priest 
Page  158      -  Gunaman  opening  display  of  puppets  with  Maya  Cakru,  Anggada 

and  the  kayonan 
Page  160a  -  Cenk  and  Blonk 
Page  160b  -  Cenk  and  Blonk 
Page  162      -  Maya  Cakru  transforms  himself  into  the  false  Anggada  as  his 

clowns  servants  watch 


Page 

[66a 

Page  ] 

L  66b 

Page 

169 

Page 

l71 

Page 

[72a 

Page 

[72b 

Page 

[74 

Page 

[77 

Page 

[78a 

Page 

[78b 

Page 

[80 

Page  165      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  first  letter  of  the  Balinese  alphabet  - 
ha  (pen  and  ink) 

-  Anggada  asking  Durga  for  magical  powers 

-  Ganesh  with  Rama 

-  Anggada  asking  Durga  for  magical  powers  (watercolor) 

-  Aksara  as  source  of  art  -  the  second  letter  of  the  Balinese  alphabet 

-  na  (pen  and  ink) 

-  Blonk 

-  Cenk 

-  Durga  gives  Anggada  magical  powers  (watercolor) 

-  Aksara  as  source  of  art  -  the  third  letter  of  the  Balinese  alphabet  - 
ca  (pen  and  ink) 

-  Sanggut  &  Delem  (double  shadow) 

-  The  demon  Maya  Cakru 

-  Hanuman  as  judge  speaks  monkey  language  to  test  the  false 
Anggada  (watercolor) 

83      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  fourth  letter  of  the  Balinese  alphabet 

-  ra  (pen  and  ink) 
84a    -  Merdah  &  Hanuman 
84b    -  Durga 
85      -  The  real  Anggada  battles  Maya  Cakru  after  his  deception  is 

uncovered  (watercolor) 
87      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  fifth  letter  of  the  Balinese  alphabet  - 

ka  (pen  and  ink) 
88a    -  Barong  with  clown  servant 
88b    -Delem 

89  -  Aksara  as  source  of  art  -  the  sixth  letter  of  the  Balinese  alphabet  - 
da  (pen  and  ink) 

90  -  Rama  stops  Anggada  from  fighting  with  Mayasura  (watercolor) 

91  -  Aksara  as  source  of  art  -  the  seventh  letter  of  the  Balinese  alphabet 
ta  (pen  and  ink) 

92a    -  Sanggut  8f  Delem 

92b    -  Gunaman  opening  display  of  puppets 

93      -  Siva  grants  magical  powers  to  Hanuman  (watercolor) 

94a     -  Twalen  and  Hanuman  with  Kayonan 

94b    -  Twalen 

96  -  Twalen  and  Merdah  observed  by  Dewa  Tintia  (watercolor) 

97  -  Aksara  as  source  of  art  -  the  eighth  letter  of  the  Balinese  alphabet 
sa  (pen  and  ink) 


Page 

Page 
Page 
Page 

Page 

Page 
Page 
Page 

Page 
Page 

Page 
Page 
Page 
Page 
Page 
Page 
Page 


326 


Page  198a    -  Raksasa  with  Blonk  Page  227 

Page  198b    -  Delem 

Page  199      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  ninth  letter  of  the  BaUnese  alphabet  -  Page  228a 

wa  (pen  and  ink)  Page  228b 

Page  201      -  The  real  Anggada  asks  Durga  for  power  in  acemetery  while  leyaks  Page  231 

test  his  power  (watercolor) 
Page  202      -  Twalen  &  Merdah  meet  Suratma  judging  souls  in  heaven  Page  232 

(watercolor) 
Page  203      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  tenth  letter  of  the  Balinese  alphabet  -  la  Page  233 

(pen  and  ink) 
Page  204a    -  Kayonan  Page  235 

Page  204b    -  Durga 
Page  205      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  eleventh  letter  of  the  Balinese  alphabet  Page  236 

-  ma  (pen  and  ink) 
Page  206a    -Blonk  Page  239 

Page  206b    -  Ganesh  Page  240 

Page  207      -  The  real  Anggada  asks  Durga  for  help  after  being  wrongly  accused 

by  Mayasura  (watercolor)  Page  243 

Page  209      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  twelfth  letter  of  the  Balinese  alphabet  - 

ga  (pen  and  ink)  Page  244 

Page  210      -  Twalen  and  Merdah  observe  sinners  suflfering  in  hell  as  leyak  shake 

kris  from  tree  (watercolor)  Page  246a 

Page  211      -  Aksara  as  source  of  art  -the  thirteenth  letter  of  the  Balinese  alphabet  -  Page  246b 

ba  (pen  and  ink) 
Page  213      -  Durga  gives  Anggada,  Twalen  &  Merdah  magical  powers  to  fight  Page  249 

Mayasura  (watercolor) 
Page  214      -  Hanuman  exiles  Anggada  for  a  crime  he  did  not  commit  Page  250 

(watercolor) 
Page  216a    -Twalen  Page  252a 

Page  216b    -  Sanggut  Page  252b 

Page  219      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  fourteenth  letter  of  the  Balinese  Page  255 

alphabet  -  nga  (pen  and  ink) 
Page  220      -  Twalen  &  Merdah  meet  a  prostitute  asking  for  help  in  hell  Page  256 

(watercolor) 
Page  222a    -  photo  of  delem  and  sanggut  seeing  his  shadow  -  Page  258a 

Page  222b    -  Tintia  in  front  of  a  kayonan  Page  258b 

Page  225      -  Aksara  as  source  of  art  -  the  fifteenth  letter  of  the  Balinese  Tintia 

alphabet  -  (pen  and  ink)  Page  261 

Page  226      -  Mayasura  transforms  himself  into  the  false  Anggada  as  clowns  Page  262 

watch  (watercolor) 


Aksara  as  source  of  art  -  the  sixteenth  letter  of  the  Balinese 

alphabet  -  ja  (pen  and  ink) 

Delem  and  Sanggut  on  the  wayang  puppet  box  (keropak) 

Twalen  and  Merdah  on  the  wayang  puppet  box  (keropak) 

Twalen  tries  unsuccesffuly  to  bribe  (nyogok)  Suratma  to  get  into 

heaven  (watercolor) 

The  false  Anggada  is  stopped  by  hanuman  as  he  tries  to  enter 

palace  of  Rama  (watercolor) 

Aksara  as  source  of  art  -  the  seventeenth  letter  of  the  Balinese 

alphabet  -  ya  (pen  and  ink) 

Hanuman  talks  to  the  real  Anggada  in  front  of  Rama's  palace 

(watercolor) 

Delem  watches  Mayasura  chage  from  the  false  Anggada  back  to 

himself  (pastel  and  watercolor) 

Sugriwa  battles  against  Mayasura  (watercolor) 

Mr.  Virtue  (Wayan  Polos)  tries  to  convince  Suratma  to  let  him  into 

heaven  (watercolor) 

Merdah  fights  Sanggut  as  a  raksasa  demon  fights  the  real  Anggada 

above  them  (watercolor) 

Delem  with  shield  fights  Twalen  with  spear  as  Anggada  fights 

raksasa  above  them  (watercolor) 

Cenk  and  Blonk 

Guneman  opening  display  of  puppets  with  Sugriwa  and  Anggada 

and  Sempati 

Hanuman  takes  Twalen  for  a  flight  in  the  air  as  Merdah  watches 

from  below  (watercolor) 

Hanuman  brings  Twalen  and  Merdah  together  into  the  air  for 

a  joy-ride  (watercolor) 

Blonk  and  Sanggut 

Cenk 

Aksara  as  source  of  art  -  the  eighteenth  letter  of  the  Balinese 

alphabet  -  nya  (pen  and  ink) 

Raksasa  demon  king  discusses  war  with  his  raksasa  advisers  as 

Delem  watches  (watercolor) 

Twalen  and  Merdah 

Guneman  opening  display  of  puppets  with  Durga,  Mayasura, 

and  the  kayonan 
Cenk  and  Blonk  discuss  the  ethics  of  copyright  law  (watercolor) 
Maya  Cakru  and  the  real  Anggada  transform  into  Rangda  and 
Barong  (watercolor) 


327 


Page  264a  -  Twalen  and  Merdah  on  top  of  the  wayang  puppet  box  (keropak)  Page  301 

Page  264b  -  Malen  next  to  the  offerings  on  the  wayang  puppet  box  (keropak) 

Page  266  -  Three  sacred  syllables,  ang  ong  mang,  become  aum  and  the  source  Page  303 

of  dance  (pen  and  ink) 

Page  268  -  Judges  with  art  in  the  courtroom  Page  304 

Page  269  -  The  accused  {terdakwa)  giving  testimony  in  court  (pen  and  ink) 

Page  270  -  Nyoman  Gunarsa  and  Indrawati  Gunarsa  in  court  (pen  and  ink)  Page  306 

Page  271  -  Indrawati  Gunarsa  testifying  in  court  (pen  and  ink)  Page  310 

Page  273  -  Indrawati  Gunarsa  gives  testimony  in  front  of  judges  (pen  and  ink)  Page  311 

Page  275  -  Indrawati  Gunarsa  explains  a  painting  to  a  judge  in  court 

Page  276  -  Authentic  and  forged  paintings  used  as  evidence  in  court  Page  312 

Page  278  -  Gede  Artison  Andarawata  gives  testimony  in  court  in  front  of 

forged  painting  Page  314 

Page  281  -  Judge  consults  with  lawyers  in  court 

Page  282  -  Anak  Agung  Rai  Kalem  testifies  before  judges  and  lawyers  Page  316 

Page  285  -  Indrawati  Gunarsa  explains  art  to  the  judges  (pen  and  ink) 

Page  286  -  Shadow  puppets  of  fire  and  arrow  from  the  collection  of  the  Page  317 

Nyoman  Gunarsa  Museum 

Page  288  -  Gunarsa  at  a  demonstration  in  front  of  the  court  (pen  and  ink)  Page  318a 

Page  289  -  The  accused  {terdakwa)  watches  a  witness  testify  (pen  and  ink)  Page  318b 

Page  290  -  Gunarsa  makes  his  point  in  court  by  dancing 

Page  293  -  Forged  and  authentic  paintings  presented  as  evidence  in  court  Page  319 

Page  295  -  Judge  and  lawyers  examine  documents  (pen  and  ink)  Page  320 

Page  296  -  Official  from  the  National  copyright  office  testifies  before  judges  Page  323 

Page  299  -  Judges  surrounded  by  art  as  evidence  in  court 


-  Caricature  of  judge  in  hell  with  bribe  money  falling  out  of  his 
clothes  (watercolor) 

-  Art  in  court  next  to  the  Indonesian  flag  and  the  Garuda  eagle,  the 
national  symbol 

-  Heron  impersonating  a  priest  has  his  mouth  cut  off  by  the  crab 
(watercolor) 

-  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  presides  over  a  ceremony 

-  The  sacred  ceremonial  bell  of  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen 

-  Detail  of  fire  and  arrows  from  a  painting  on  the  Kertha  Gosa 
ceiling 

-  Clouds  over  a  sacred  mountain  framed  by  wayang  puppets,  Bhima 
and  a  demon  (watercolor) 

-  Gunarsa  in  front  of  his  painting  "Offerings"  at  the  Nyoman 
Gunarsa  Museum 

-  Diagram  of  Nawasanga  locating  gods  and  their  weapons  in  their 
sacred  directions 

-  Bali's  sacred  geography  (pen  &:  ink)  with  oil  painting  of  Barong 
and  Rangda 

-  Nawasanga  painting  from  the  Kertha  Gosa  Museum 

-  Detail  of  demon  puppet  from  an  oil  painting  of  a  dalang  in 
performance  (Gunarsa  Museum) 

-  Gunarsa's  garden  studio 

-  Priest  presiding  over  a  ceremony  (watercolor) 

-  Detail  of  clouds  over  the  sacred  mountain  Gunung  Agung 
(watercolor) 


328 


Selected  Bibliography 


Artaud,  Antonin.  The  Theater  and  Its  Double,  New  York,  1958. 

Bandem,  M.  8f  deBoer,  F.  Kaja  and  Kelod:  Balinese  Dance  in  Transition.  Kuala 
Lumpur,  1981. 

Bateson,  G.  &  Mead,  M.  Balinese  Character:  A  Photographic  Analysis,  New  York, 
1942. 

Belo,  Jane.  Bali:  Rangda  and  Barong,  New  York,  1949. 

Belo,  Jane.  Traditional  Balinese  Culture,  New  York,  1970. 

Catra,  N.  &  Jenkins,  R.  The  Invisible  Mirror-  Siwaratrikalpa:  Balinese  Literature 
in  Performance  Denpasar,  2008. 

Covarrubias,  Miguel.  The  Island  of  Bali,  New  York,  1937. 

Creese,  Helen.  Parhayana:  The  Journeying  of  Partha:  an  18th  Century  Balinese 
Kakawin,  Leiden,  1998. 

de  Zoete,  B.  &  Spies,  Walter.  Dance  and  Drama  in  Bali,  London.  1938. 

Dibia,  W.  &  Ballinger,  R.  Balinese  Dance,  Drama,  and  Music,  Singapore,  2004. 

Dwikora,  Putu  Wirata.  Nyoman  Gunarsa:  lalan  Panjang  Martir  Hak  Cipta, 
Malang,  2009. 

Emigh,  John.  Masked  Performance:  The  Play  of  Self  and  Other  in  Ritual  and 
Theater,  Philadelphia,  1996. 

Eiseman,  Fred.  Bali:  Sekala  and  Niskala,  Singapore,  1990. 

Geertz,  Clifford.  Negara:  The  Nineteenth  Century  Theater  State  in  Bali, 
Princeton,  1980. 


Geertz,  Hildred.  Images  of  Power:  Balinese  Paintings  Made  for  Gregory  Bateson 
and  Margaret  Mead  ,  Honolulu,  1994. 

Geertz,  Hildred.  The  Life  of  a  Balinese  Temple:  Artistry,  Imagination  and  History 
in  a  Peasant  Village,  Honolulu,  2004. 

Geertz,  Hildred.  Tales  from  a  Charmed  Life:  A  Balinese  Painter  Reminisces, 
Honolulu,  2005. 

Herbst,  Edward.  Voices  in  Bali:  Energies  &  Perception  in  Vocal  Music  and  Dance 
Theater,  Hanover,  London,  1997. 

Hinzler,  H.I.R.  Bima  Swarga  in  Balinese  Wayang,  The  Hague,  1981. 

Hobart,  Angela.  Dancing  Shadows  of  Bali,  New  York,  1987. 

Holt,  C.  Art  in  Indonesia:  Continuities  and  Change.  Ithica,  1967. 

Hooykaas,  C.  Kama  and  Kala:  Materials  for  the  Study  of  Shadow  Theater  in  Bali, 
Amsterdam,  1973. 

Jaman,  S.  Gede.  Fungsi  Dan  Manfaat  Rerahahan  Dalam  Kehidupan,  Surabaya, 
1999. 

Jenkins,  Ron.  Subversive  Laughter,  New  York,  1996. 

McPhee,  Colin.  Music  in  Bali:  A  Study  in  Form  and  Instrumental  Organization, 
New  Haven  &  London,  1966. 

Mershon,  Katharane.  Seven  Plus  Seve:  Mysterious  Life  Rituals  in  Bali,  New  York, 

1971. 

Pucci,  Idanna.  Bhima  Suraga:  The  Balinese  Journey  of  the  Soul,  Boston,  1992. 


329 


Ramseyer,  U.  The  Art  and  Culture  of  Bali,  Oxford,  1977. 

Robson,  Stuart.  Arjunawiwaha,  Leiden,  2008. 

Rubenstein,  Rachelle.  Beyond  the  Realm  of  the  Senses:  The  BalLnese  Ritual  of 
Kakawin  Composition,  Leiden,  2000. 

Santoso,  Soewito.  Ramayana  Kakawin,  New  Delhi,  1980. 

Sidemen,  Ida  Pedanda  Ketut.  Gaguritan  Panca  Satya,  Denpasar,  2003. 

Schulte  Nordholt,  Henk.  Bali:  An  Open  Fortress,  Leiden,  2007 

Stuart- Fox,  David.  Pura  Besakih,  Leiden.  2001. 

Sukra,  Wayan.  Moksa,  Jakarta,  2003. 

Teeuw,  A.  8f  Robson,  S.O.  &  Zoetmulder,  P.J.  Siwatratrikalpa  of  Mpu  Tanakung, 
Leiden,  1969. 


Tenzer,  Michael.  Balinese  Music,  Singapore,  1991. 

Toer,  Pramoedya  Ananta.  Cerita  Calonarang,  Jakarta,  2003. 

Vickers,  Adrian.  Bali:  A  Paradise  Created,  Ringwood,  Victoria.  1989. 

Vickers,  Adrian.  Journeys  of  Desire:  A  Study  of  the  Balinese  text  Malat,  Leiden, 
2005. 

Zoetmulder,  P.J.  Kalangwan:  A  Survey  of  Old  Javanese  Literature,  The  Hague, 
1974. 

Zoetmulder,  P.J.  Old  Javanese-English  Dictionary,  The  Hague,  1982. 

Zurbuchen,  Mary.  Language  of  the  Balinese  Shadow  Theater,  Princeton,  1981. 


330 


■JV 


vA  »«>—■-    •  • 

-     •  -  .      ».  >.  ^  ■  »  .  ,   ■  ^.  .■  -  i ».  »^c 

,.        .      ,  -..      ■    ir  .-.^.-  .. ...  .  ■  .%, 


-If  " 


•  ^J 


«"♦-i»! 


f-->/^» 


Ida  Pedanda  Ketut 
Sidemen 


Ida  Pedanda  Ketut 
Sidemen 


"Hi'-i 


'    ■_».-   ■"  \ 


•■v'^'^-:.^ 


Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen,  also 

known  as  Ida  Pedanda  Ketut  Kencana 

Singarsa,  is  a  Balinese  high  Brahmin 

priest.  He  has  written  numerous 

volumes  of  poetry  based  on  sacred 

Hindu  teachings,  including  "Panca 

Satya"  and  "Pati  Jelamit"  Every 

Sunday  evening  at  his  home  in  Gria 

Taman  in  the  village  of  Sanur,  Ida 

Pedanda  hosts  a  group  of  fishermen, 

teachers,  and  hotel  workers,  who 

keep  their  cuhural  traditions  alive  by 

singing  sacred  Hindu  poetry  from 

palm  leaf  manuscripts  known  as  lontar. 


Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  juga 
dikenal  dengan  nama  Ida  Pedanda 
Ketut  Kencana  Singarsa  adalah  seorang 
pendeta  dari  kaum  brahmana.  Beliau 
menulis  sejumlah  sanjak  berdasar 
pada  pendidikan  ajaran  Hindu 
diantaranya  "Panca  Satya"  dan  Pati 
Jelamit" Setiap  hari  minggu  malam  di 
tempat  kediamnya  di  Gria  Taman  di 
desa  Sanur,  Ida  Pedanda  menghimpun 
grup  terdiri  dari  para  nelayan,  guru, 
karyawan  hotel,  menjaga  kelangsungan 
hidup  tradisi  budaya  mereka  dengan 
menyanyikan  sanjak-sanjak  suci 


yang  ditulis  pada  daun  lontar. 


—  *^  .^  .l'  r  • 


I  Wayan  Nardayana       /  Wayan  Nardayana 


most  popular  and  prolific  dalangs. 

A  master  of  shadow  puppetry  in  all 

its  dimensions,  Nardayana  performs 


like  the  Ramayana  and  Mahabharata, 

enacting  the  voices  dozens  of 

characters  at  the  same  time  that 

he  manipulates  the  shadows  of  the 

leather  puppets  that  represent  them. 

He  is  also  known  as  Dalang 

CenkBlonk  in  honor  of  the  ; 

traditional  clown  figures  that 

he  has  resurrected  as  the 

voices  of  the  common  people, 

Cenk  and  Blonk. 


seorang  dalang  Bali  yang  amat  popular 
dan  sukses.  Seseorang  ahli  memainkan 
wayang  dari  berbagai  dimensinya, 
Nardayana  mempertunjukkan  cpisod- 
episod  dari  teks-teks  Hindu  kuno 
seperti  Ramayana  dan  Mahabharata,     • 


karakter  tokoh  dan  pada  saat 
bersamaan  dia  memainkan  bayangan 
dari  wayang  kulit  dengan 
segala  perwujudannya. 
Dia  dikenal  dengan 
dalang  CenkBlonk  sebagai 
penghormatan  pada  figur 
badutan  tradisional  yang  dia 
hidupkan  mewakili  suara 


ebanvaKan  meuinit 


suaranya  Ceng  dan  Blong. 


This  story  of  art  forgery,  mystical  shadow  puppets,  international  crime  syndicates,  and  divine  identity  theft  focuses  on  a  landmark  court  case  as  seen  from  the  perspective  of  three  extraordinary  Balinese 
individuals:  a  painter,  a  puppet-master,  and  a  high  Brahmin  priest.  I  Nyoman  Gunarsa,  one  of  Bali's  most  acclaimed  artists,  has  devoted  eight  years  to  a  legal  battle  over  the  forgery  of  his  paintings, 
a  struggle  he  hopes  will  strengthen  the  enforcement  of  Indonesia's  copyright  laws  for  all  artists.  I  Wayan  Nardayana  is  one  of  Bali's  most  popular  and  accomplished  dalangs,  a  master  of  shadow  puppetry 
whose  witty  performances  of  Hindu  epics  include  references  to  modern  moral  dilemmas.  Ida  Pedanda  Ketut  Sidemen  is  a  high  Brahmin  Hindu  priest,  who  is  also  one  of  Bali's  most  gifted  poets,  the  author 
of  verses  that  give  renewed  spiritual  meaning  to  ancient  Hindu  teachings.   With  the  copyright  trial  as  a  starting  point  each  of  these  men  comments  on  the  underlying  meanings  of  truth  and  falseness  as 

seen  through  the  philosophy  of  ruabineda,  a  Balinese-Hindu  principle  that  envisions  opposites  in  a  state  of  dynamic 
equilibrium.  Darkness  and  light.  The  true  and  the  false.  Good  and  evil.  Gods  and  demons.  The  BaUnese  believe  that  the 
continuing  tension  between  these  contradictory  forces  is  necessary  for  the  balanced  functioning  of  the  world. 

Nardayana  transforms  Gunarsa's  copyright  trial  into  an  allegorical  story  based  on  characters  from  the  Ramayana,  animating 
philosophical  issues  in  a  cinematic  display  of  shifting  shadows  and  enlightening  comic  commentary.  Gunarsa  creates  a  kinetic 
series  of  watercolors  that  brings  the  shadow  play  to  life  with  his  distinctive  style  of  swirling  colors  and  dynamic  lines.  Ida 
Pedanda  Ketut  Sidemen  provides  additional  commentary  on  themes  of  truth  and  falsehood  by  quoting  Hindu  texts  that  are 
the  source  of  both  his  religious  faith  and  his  poetry. 


%i  ^  tJ  T\  ^  ^.^ 


A:AA/A/.V.A  ^  VJhlfWrVr  - 


A^ALA-^    ^^^-i/"^^   /'A^-A/d 
B  u  K  l'  .V'  i  Z)/-  '^  M^  ^^^  ^^' '  I 


Lawyers  for  the  Indonesian  Anti-Corruption  Movement  (GerRAK)  and  Bali  Corruption  Watch  have  declared  the  trial  an 
example  of  "mafia  justice,"  "a  tragedy  of  the  law"  and  "a  valuable  lesson  of  something  that  should  never  be  repeated." 

The  painter,  the  puppet-master  and  the  priest,  each  of  them  in  their  own  way,  rely  on  the  animist-mystic  traditions  of  the  Balinese 
Hindu  religion  to  provide  a  sense  of  clarity,  truth  and  justice  that  was  missing  from  the  decision  of  the  judges  in  the  court. 


Ini  ceritera  tentang  pemalsuan  karya  seni,  pertunjukan  wayang  kulit  mistis,  sindikat  kriminal  internasional,  dan  identitas  bersifat 
kedewaan  yang  dicuri,  difokuskan  diseputar  hal  yang  menonjol  pada  kasus  pengadilan  yang  dipandang  dari  tiga  perspektif  dari 
tiga  orang  yang  luar  biasa:  seorang  pelukis,  seorang  dalang,  dan  seorang  pendeta  dari  kaum  brahmana.  I  Nyoman  Gunarsa  salah 
seorang  pelukis  Bali  yang  dielukan-elukan,  selama  delapan  tahun  telah  mencurahkan  usahanya  untuk  sebuah  perjuangan  hukum 
atas  pemalsuan  lukisan-lukisannya,  berjuang  dengan  harapan  dia  dapat  memperkuat  penyelenggaraan  hukum  hak  cipta  di  Indonesia 
untuk  semua  seniman.  I  Wayan  Nardayana  adalah  salah  seorang  dalang  yang  paling  popular  dan  sukses,  ahli  dan  jenaka  dalam 
memainkan  pertunjukan  wayang  dari  epik  Hindu  termasuk  memberi  referensi  tentang  dilema  moral  mederen.  Ida  Pedanda  Ketut 
Sidemen  adalah  seorang  pendeta  Hindu  dari  golongan  brahmana,  yang  juga  salah  seorang  sastrawan  penyair  Bali,  penulis  sanjak- 
sanjak  yang  memberikan  pembaharuan  pada  arti  spiritual  untuk  pendidikan  Hindu.  Dengan  pengadilan  hak  cipta  sebagai  titik  pijak 
masing-masing  orang  ini  memberikan  komentarnya  pada  arti  mendasar  dari  kebenaran  dan  kepalsuan  dipandang  melalui  filsafat 
ruabineda,  prinsip  mendasar  bagi  orang  Bali  Hindu  yang  memimpikan  pertentangan  ke  dalam  pernyataan  dinamika  keseimbangan. 
Kegelapan  dan  terang.  Baik  dan  buruk.  Dewa  dan  Raksasa.  Kepercayaan  orang  Bali  ketegangan  yang  berlangsung  terus-menerus 
diantara  kekuatan  yang  bertentangan  adalah  diperlukan  untuk  fungsi  keseimbangan  dunia. 

Nardayana  mentransformasikan  pengadilan  hak  cipta  ke  dalam  kiasan  ceritera  melalui  karakter-karakter  yang  dipetik  dari  Ramayana, 
menghidupkan  persoalan-persoalan  melalui  filsafat  ke  dalam  pertunjukan  sinematik  dengan  mengganti-ganti  bayangan  serta 
pencerahan  komentarnya  yang  lucu.  Gunarsa  menciptakan  serial  kinetis  dari  cat  air  yang  membawa  pertunjukan  wayang  menjadi 
hidup  dengan  gayanya  yang  khas  dengan  lingkaran  warna  dan  garis-garisnya  yang  dinamis.  Ida  Pedanda  Singarsa  memberikan 
komentar  tambahan  dalam  tema  dari  kebenaran  dan  kepalsuan  dengan  menyitir  teks  sastra  Hindu  hal  mana  sebagai  sumber  baik 
untuk  kepercayaan  maupun  puisinya. 


Para  pengacara  dari  Indonesian  Anti-Corruption  Movement  (GerRAK)  dan  Bali  Corruption  Watch  telah  mengumumkan  pemeriksaan  pengadilan  sebagai  sebuah  contoh  dari  "mafia  keadilan,"  "sebuah  tragedi 
hukum"  dan  pelajaran  berharga  dari  sesuatu  yang  mesti  tidak  pernah  terulang  lagi. 


Pelukis,  dalang  dan  pendeta,  masing-masing  berada  dalam  jalannya  sendiri  bersandar  kepada  tradisional  mistik- animisme  dari  agama  Hindu  Bali  untuk  memberikan  kejernihan 
rasa,  kebenaran  dan  keadilan  yang  absen  pada  keputusan  hakim  di  pengadilan. 


ISBN  TVfl-bDS-isaai-o-'i 
||llllllllllll||llllllllllli|| 

9II786O29II582I  09"