RUA BINEDA IN BALI
Counterfeit Justice In The Trial of Nyoman Gun^sa
^vu-
Xv
v^C
Ron Jenkins Ron Jenkins
Ron Jenkins is a former Guggenheim
fellow whose research in Bali over the
past thirty years has been supported
by fellowships from the Watson
Foundation, The Asian Cultural
Council of the Rockefeller Brothers
Fund, and the Fulbright Fund.
A professor of theater at Wesleyan
University, he holds a doctorate from
Harvard University and a master's
in buffoonery from the Ringling
Brothers Clown College. In addition
to writing numerous books on theater,
he has contributed articles to Tiie
New York Times, Tlie Village Voice,
and UNESCO's International Tlieater
Review.
Ron Jenkins aiinlah mantan penerima
beasiswa Guggenheim moigadakan
penelitian di Bali selama tiga puluhan
tahun dan biaya penelitiannya
dibantu oleh Watson Foundation,
Ttie Asian Cultural Council of the
Rockefeller Brothers Fund, dan the
Fulbright Fund. Dia adalah seorang
profesor di bidang teater dari
Wesleyan University, meraih gelar
doktor dari Harvard University dan
masternya dalam bidang pelav^/ak/
badut dari Ringling Brothers Clown
College. Di samping menulis sejumlah
buku dalam bidang teater, dia juga
mengkontribusikan artikel-artikel
pada New York Times, Vw Village
Voice, dan UNESCO's Inter)iational
Theater Review.
I Nyoman Gunarsa / Nyoman Gunarsa
I Nyoman Gunarsa is one of Bali's
most acclaimed artists. His paintings
have been exhibited in museums
all over the world, and he has won
countless awards for the unique ways in
which his works combines innovative
modern techniques with the traditional
_ principles of Balinese Hindu culture.
Tlie Gunarsa Museum in Klungkung
is a repository of many of Bali's oldest
artistic artifacts and the site of Bali's
^ largest ceremonial uate.
/ Nyoman Gunarsa adalah seorang
pelukis Bali yang paling dielu-elukan.
Lukisannya telah dipamerkan di
musium-nnisium seluruh dunia,
dan tak terhitung memenangkan
penghargaan dengan jalan yang
unik dimana karyanya merupakan
kombinasi inovasi teknik-teknik
moderen dengan prinsip-prinsip
tradisi budaya Bali Hindu. Musium
Nyoman Gunarsa di Klungkung
adalah tempat penyimpanan dari
sekian banyak karya-karya artistik
artefak seni tua Bali dan sebuah
tempat dengan gapura Bali yang
amat besar
'r*>'f'
:^^^*
RUA BINEDA IN BALI
Counterfeit Justice In The Trial of Nyoman Gunarsa
Ron Jenkins
Translation by Nyoman Catra & Post Graduate Institute of Indonesian Art - ISI Jogjakarta
Shadow Puppet Play "False Anggada" by Wayan Nardayana ('Dalang CenkBlonk')
"The Heron and the Crab" by Ida Pedanda Ketut Sidemen
Photographs by Franziska Blattner, Ron Jenkins, and Indrawati Gunarsa
Graphic Design by Johannes Satyadi
Printed by PT. Jayakarta Agung Offset
Managing Editor - Indrawati Gunarsa
Executive Editor - Franziska Blattner
Associate Editor - Gede Artison Andarawata
Assistant Editors - Komang Artisti Sekar Linuwih & Luh Estiti Andarawati
Copy Editors - I Gusti Ngurah Artawan & Luh Gede Sujianingsih
Copyright of illustrations, 2010, Nyoman Gunarsa
Copyright of "The False Anggada," 2010, Wayan Nardayana
Copyright of "The Heron and the Crab," 2010, Ida Pedanda Ketut Sidemen
Copyright of the text of "Ruabineda," 2010, Ron Jenkins
Copyright of the Indonesian translation, 2010 by Nyoman Catra
Copyright photos, 2010, Franziska Blattner, Ron Jenkins, Indrawati Gunarsa
RUA BINEDA IN BALI
Counterfeit Justice In The Trial of Nyoman Gunarsa
Ron Jenkins
Published by
INDONESIAN INSTITUTE OF THE ARTS
ISI JOGJAKARTA
\
r
DEDICATION
Didedikasikan
To my wife Franziska,
for confusing me in so many loving and enlightening ways.
Untuk istri saya Franziska,
karena membuat saya bingung dalam berbagai kesayangan dan
pencerahannya.
^^J!^^.
TABLE OF CONTENTS
Daftar Isi
1 . Acknowledgments | Pernyataan rasa terima kasih 9
2. Preface: The Painter, The Puppet-Master, and the Priest | Prawacana: Pelukis, Dalang, dan Pendeta 1 3
3. Introduction: The Battle of Dharma and Adharma | Pendahuluan: Pertempuran Dharma dan Adharma 21
4. Art on Trial: Sekala and Niskala | Seni di Sidang: Sekala dan Niskala 39
5. Puppet Justice: The Shadows of Clowns and Kings | Keadilan dalam Wayang: Bayang-bayang para Panakawan dan Raja 69
6. Astra Geni: Art as a Weapon | Astra Geni: Seni Sebagai Senjata 87
7. A Priest's Perspective: The Light and the Dark | Perspektif Pendeta: Terang dan Gelap 111
8. Karma Pala: The Justice of Heaven | Karma Pala: Keadilan Sorgawi 125
9. "The False Anggada" - Shadow Play by I Wayan Nardayana | "Anggada Palsu" - Pertunjukan Wayang Kulit oleh I Wayan Nardayana 1 59
10. Courtroom Testimonies of Nyoman Gunarsa and Indrawati Gunarsa | Transkripsi Kesaksian oleh I Nyoman Gunarsa dan Indrawati Gunarsa 267
11. "The Heron and the Crab" by Ida Pedanda Ketut Sidemen | "Burung Bangau dan Kepiting" oleh Ida Pedanda Ketut Sidemen 305
12. Epilogue: Synest^es/a - The Soul of an Artist | Epilog: Synesthesia: Jiwa seorang Seniman 313
ACKNOWLEDGMENTS
1
Pernyataan
rasa terima kasih
'Om Awignam Astu Namo Sidham"
"Om Awignam Astu Namo Siddham'
This book would not be possible without the kindness and wisdom of the
many extraordinary Balinese artists who have been so generous to me over
the past thirty-three years. There are too many to name, but 1 will try to
express my thanks to a few who have worked directly on this project.
First I want thank I Nyoman Gunarsa for the magnificent artwork that is
published in this book for the first time. His wife Indrawati Gunarsa, their
son Gede Artison Andarawata and the entire Gunarsa family were extremely
helpful me to throughout my research.
I Wayan Nardayana, known throughout Bali as dalang CenkBlonk, also
deserves my deep gratitude for patiently allowing me to observe and
document his artistry as a master of shadow puppetry.
Ida Pedanda Ketut Sidemen is a profoundly wise poet and priest whose
sense of spirituality and love of language have inspired me in more ways
that I can say.
I Nyoman Catra has been my friend, teacher and student for many years,
and his contributions to my understanding of Balinese culture go far
beyond his help with the Indonesian translation of this book.
I Gusti Ngurah Artawan made important contributions to this book by
transcribing "Anggada Palsu" and translating a first draft to Indonesian.
Ni Luh Gede Sujianingsih was also a diligent assistant whose translation
skills were invaluable throughout the process of writing this book. Her
father I Ketut Jagra made valuable contributions to the translations.
The support of the senior faculty of the Indonesian Institute of the Arts
(ISI) in Denpasar has been invaluable to me. In addition to thanking
Buku ini tidak akan terwujud tanpa kebaikan dan kebijaksanaan dari
sejumlah seniman Bali yang luar biasa yang telah dengan kemurahan hati
kepada saya selama kurun waktu tigapuluh dua tahun lamanya. Terlalu
banyak nama-nama untuk disebutkan, di sini saya akan coba untuk
menyatakan rasa hormat dan terima kasih saya kepada beberapa yang telah
bekerja secara langsung pada proyek ini.
Pertama saya menyatakan terima kasih kepada I Nyoman Gunarsa atas
karya seninya yang bagus sekali dipublikasikan untuk pertama kali dalam
buku ini. Istrinya Indrawati, putranya Gede Artison Andarawata dan seluruh
keluarganya Gunarsa yang sangat membantu saya selama penelitian saya
pada perjuangan mereka di pengadilan.
I Wayan Nardayana, dikenal diseluruh Bali sebagai dalang CenkBlonk, juga
berhak mendapat rasa hormat saya yang paling dalam dengan kesabaran
memberikan saya untuk mengobservasi dan mendokumentasikan keahlian
seninya sebagai dalang.
Ida Pedanda Ketut Sidemen adalah sastrawan yang amat bijaksana dan
seorang pendeta yang memiliki rasa spiritual dan kecintaannya dengan
bahasa telah menghilhami saya dari berbagai jalan yang dapat saya katakan.
I Nyoman Catra telah menjadi teman, guru, dan murid saya untuk sekian
tahun dan kontribusinya kepada saya mengertikan budaya Bali melebihi
dari bantuannya dalam pengindonesiaan dari buku ini.
I Gusti Ngurah Artawan membuat kontribusi penting untuk buku ini dengan
mentrakripsikan 'Anggada Palsu" dan terjemahan draf awal ke dalam
bahasa Indonesia. Ni Luh Gede Sujianingsih juga asisten yang rajin yang
keterampilan terjemahannya amat berharga sepanjang proses penulisan
buku ini. Ayahnya I Ketut Jagra memberi sumbangan yang berharga untuk
terjemahan.
Dukungan dari dosen senior Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk
saya adalah tak ternilai harganya. Di samping itu terima kasih saya untuk
10
I Made Bandem, I Wayan Dibia, I Ketut Kodi, and I Nyoman Sedana for
their ongoing advice. I want to thank I Wayan Rai for estabhshing the
International Translation Center and initiating its work making the texts
of Indonesian performances more accessible to scholars and students
around the world. Indonesian Shadow Puppetry has been declared a World
Cultural Treasure by the United Nations, but without translations of the
densely textured plays, foreigners will never fully appreciate the complex
interweaving of history, religion and current events that makes this art so
compelling. Lastly I want to thank my colleagues in the faculty and the
administration of Wesleyan University for their continuing support of my
Indonesian research.
Finally, although they are not cited directly, I want to acknowledge the
superb work of the many western writers who have investigated Balinese
culture over the past century. They have helped to provide the foundation
for many of the insights in this book. One of the most perceptive observers
of Balinese art and culture is Hildred Geertz, whose recent trilogy of books
provides an outstanding model of sensitive and illuminating scholarship.
The publications of Adrian Vickers, Helen Creese, Clifford Geertz, Mark
Hobart, P.J. Zoetmulder, C. Hooykaas, Urs Ramseyer, H.I.R. Hinzler, Henk
Schulte Nordholdt, S.O. Robson, Thomas M. Hunter, Mary Zurbuchen, R.
Rubenstein, Jean Couteau, Fred Eisner, Jane Belo, Idanna Pucci, Margaret
Mead, Fritz DeBoer, Miguel Covarrubias, Walter Spies, David Stuart- Fox,
Claire Holt, and Colin McPhee, each in their own distinctive style, have made
essential contributions to my understanding of Bali in all its incarnations.
"Om Santi, Santi, Santi, Om"
/ Made Bandem, I Wayan Dibia, I Ketut Kodi dan I Nyoman Sedana atas
sarannya yang tiada henti. Saya ingin berterima kasih kepada I Wayan Rai
untuk mewujudkan International Translation Center dan mendukung usaha
yang berkelanjutan untuk membuat buku-buku seperti ini yang membuat
teks-teks pertunjukan di Indonesia dapat lebih diakses untuk sarjana dan
mahasiswa dari seluruh dunia. Pertunjukan Wayang Kulit Indonesia sudah
dideklarasikan sebagai World Cultural Treasure oleh Perserikatan Bangsa-
bangsa, akan tetapi tanpa terjemahan dari kepadatan tekstur pertunjukan,
orang asing tidak bakalan pernah sepenuhnya dapat mengapresiasi
kompleksitas rajutan sejarah, agama, dan peristiwa kekinian yang membuat
seni ini menjadi meyakinkan. Juga saya berterima kasih teman-teman dosen
dan administrasi di Weleyan University atas dukungannya yang tak pernah
surut untuk penelitian saya di Indonesia.
Akhirnya, kendati mereka tidak dikutip karyanya secara langsung saya ingin
menyampaikan rasa terima kasih terhadap hasil kerja yang gemilang dari
sejumlah penulis barat yang telah mengadakan investigasi tentang budaya
Bali sejak seabad yang lampau. Mereka telah membantu memberikan dasar
wawasan luas dalam buku ini. Salah seorang yang paling memiliki perspektif
observasi tentang seni dan budaya Bali adalah Hildred Geertz dengan
triology buku barunya menyediakan model yang luar biasa dari sensitif dan
mengiluninasi para sarjana. Publikasi-publikasi dari Adrian Vickers, Helen
Creese, Clifford Geertz, Mark Hobart, P.J. Zoetmulder, C. Hooykaas, Urs
Ramseyer, H.I.R. Hinzler, Henk Schulte Nordholdt, S.O. Robson, Thomas M.
Hunter, Mary Zurbuchen, R. Rubenstein, Jean Couteau, Fred Eisner, Jane
Belo, Idanna Pucci, Margaret Mead, Fritz DeBoer, Miguel Covarrubias,
Walter Spies, David Stuart-Fox, Claire Holt, dan Colin McPhee, dengan
gaya mereka masing-masing, telah memberi kontribusi mendasar untuk
pengertian saya tentang Bali di dalam keseluruhan kelahirannya.
"Om Santi, Santi, Santi, Om"
11
12
PREFACE:
The Painter, the Puppet-master,
and the Priest
Prawacana:
PelukiSy Dalangy dan Pendeta
13
"There is no limit to learning. The sea goes on forever. Where is the
end of the sea? There is none. That is what knowledge is like. Where is
the footprint of a flying bird? You cannot see it. It is there, but it is not
there. That's why we have to be patient."
-Blonk: a clown puppet in the shadow play "The False Anggada"
"Tiada batas untuk belajar. Laut membentang tanpa batas. Dimana
ujungnya laut? Tidak ada. Seperti itulah pengetahuan itu adanya.
Dimana bekas jejak kaki dari seekor burung yang sedang terbang? Kamu
tak dapat melihatnya. Sesungguhnya ada di sana, akan tetapi tidak ada
di sana. Itulah sebabnya kita harus bersabar"
- Blonk: wayang badutan di dalam pertunjukan wayang
"Anggada Palsu."
Like the trace a bird leaves in the sky, justice is elusive. This book is about
a search for justice that began in a courtroom battle over copyright laws
in Denpasar, Bali. It is a story of art forgery, mystical shadow puppets,
international crime syndicates, and divine identity theft as seen from
the perspectives of three extraordinary Balinese individuals: a painter, a
puppet master, and a high Brahmin priest, who is also a poet. I Nyoman
Gunarsa, one of Bali's most acclaimed artists has devoted eight years to
a legal battle over the forgery of his paintings, a struggle he hopes will
strengthen the enforcement of Indonesia's copyright laws for all artists. I
Wayan Nardayana is one of Bali's most popular and accomplished dalangs,
a master of shadow puppetry whose witty cinematic performances update
the plots of Hindu epics with references to modern moral dilemmas. Ida
Pedanda Ketut Sidemen, sometimes known as
Ida Pedanda Ketut Kencana Singarsa, is a high
Brahmin Hindu priest, who is also one of Bali's
most gifted poets, the author of sophisticated
verses that give renewed spiritual meaning to
sacred Hindu texts.
The collective artistry of these three individuals
provides more insight into the issues of
justice, morality, and truth than was found
Seperti menelusuri jejak seekor burung di udara, keadilan adalah terabaikan.
Buku ini tentang penelusuran untuk keadilan yang perdebatannya berlangsung
di ruang pengadilan berkenaan masalah hukum hak cipta di Denpasar,
Bali. Ini adalah sebuah ceritera tentang pemalsuan karya seni, pertunjukan
wayang kulit yang mistis, sindikat kejahatan internasional, dan pencurian
identitas kedewataan yang muncul dari perspektif tiga orang secara individu:
seorang pelukis, dalang dan seorang pendeta dari kalangan brahmana yang
juga seorang sastrawan. I Nyoman Gunarsa salah seorang seniman Bali
yang dielu-elukan telah mencurahkan dalam kurun waktu delapan tahun
untuk memperjuangkan melalui hukum pengadilan atas pemalsuan karya-
karya lukisannya, sebuah perjuangan yang dia harapkan akan memperkuat
penyelenggaraan dari hukum hak cipta di Indonesia untuk semua seniman.
I Wayan Nardayana adalah salah seorang
dalang Bali yang popular dan sukses, ahli dalam
mempermainkan wayang melalui pertunjukan
sinematik yang Jenaka memperbaharui alur
ceritera dari epik Hindu dengan referensi moral
dilema moderen. Ida Pedanda Ketut Sidemen
salah seorang pendeta dari kalangan brahmana
juga seorang sastrawan dermawan, penulis sanjak-
sanjak dengan cangih yang memberi kebaharuan
arti spiritual pada teks sakral Hindu.
Pada keahlian artistik dari ketiga masing-masing
individu menyediakan pengertian yang mendalam
kedalam persoalan keadilan, moralitas, dan
14
in the confusing decision of the judges in the
copyright trial, ahhough the courtroom was
enhvened by Gunarsa's artworks and the dances
he performed there to explain the difference
between the forged paintings and the originals.
Lawyers for the Indonesian Anti-Corruption
Movement (GerRAK) and Bali Corruption
Watch have declared Gunarsa's trial an example
of "mafia justice." Because the judge s decision
acknowledged the forgery of Gunarsa's paintings
but absolved the perpetrators of its creation
and sale from any punishment, there are
strong suspicions that organized crime figures
manipulated the verdict. Citing the "false logic" of
the ruling, the anti-corruption lawyers who analyzed the trial's proceedings
called it a "tragedy of the law... a valuable lesson of something that should
never be repeated."'
kebenaran daripada yang telah diperoleh di dalam
Keputusan yang membingungkan dari para hakim
di dalam ruang pengadilan disemarakkan dengan
karya-karya besarnya Gunarsa dan tarian yang
dia pertunjukkan sebagai bagian dari kesaksiannya
menerangkan perbedaan antara lukisan palsu
dengan yang asli. Para pengacara untuk Indonesian
Anti-Corruption Movement (GerRAK) dan Bali
Corruption Watch telah mengumumkan bahwa
pemeriksaan pengadilan Gunarsa sebagai contoh
dari "mafia pengadilan" Oleh karena keputusan
jaksa telah membuktikan pemalsuan atas karya
lukisannya Gunarsa ... di sana kuat kecurigaannya
bahwa figure kriminal terorganisasi memanipulasi
keputusan. Mengutip "logika palsu" dari penguasa, para hakim anti koupsi
yang menganalisa dokumen tentang cara kerja pemeriksaan pengadilan
menyebutkannya sebagai "tragedi hukum... pelajaran berharga dari sesuatu
yang seyogyanya tidak pernah terulang lagi."'
Ttie painter, the puppet-master and the priest, each in their own way, rely
on the animist-mystic traditions of the Balinese Hindu religion to provide
a sense of clarity, truth and justice that was missing from the decision of
the judges in the court.
Pelukis, dalang, pendeta, masing-masing dengan caranya sendiri, bersandar
pada tradisi animisme mistis dari keagaman Hindu Bali untuk membagikan
pengertian kejelasan, kebenaran, dan keadilan yang absen dari keputusan
para hakim di pengadilan.
With the copyright trial as a starting point each of these individuals
comments on the underlying meanings of truth and falseness as seen
through the Balinese-Hindu philosophy ofruabineda, a principle of spiritual
dialectics that envisions the co-existence of opposites in a state of dynamic
equilibrium. Darkness and light. The true and the false. Good and evil.
Gods and demons. The Balinese believe that all these contradictory forces
exist in opposition to one another and that the continuing tension between
them is necessary for the balanced functioning of the world.
Dengan pengadilan hak cipta sebagai titik berangkat komentar-komentar
masing-masing dari individu ini mengenai pengertian mendasar tentang
kebenaran dan kepalsuan seperti dapat dilihat melalui filsafat Hindu
orang Bali yakni ruabineda, sebuah prinsip dari dialektika spiritual yang
memimpikan kebersamaan dari pernyataan yang bertentangan untuk
dinamika keseimbangan. Kegelapan dan terang. Kebenaran dan kepalsuan.
Baik dan jahat. Tuhan dan raksasa. Orang Bali percaya bahwa semua
dari sifat berseberangan ini ada, saling bertentangan satu sama lain dan
Wahyu Sasongko in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas
Terdakwa Ir. Hendra Dinata". (Malang, 2009). Pp. 89-90.
Wahyu Sasongko in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas
Terdakwa Ir. Hendra Dinata". (Malang, 2009). Pp. 89-90.
15
\
K^V
::^'fi.
.c
0
A
rS
C^^^
I
.V.-7»?
■M
-4i*^!
-■'—i^
1
7
,-^
1.0
^
J^
K^
\/
yy
X5
/r
^v
/
©^
.^;
/1"
cvs»V-.i
/
'\
Y
: }
/r
i.
M
JL-,
'Jls
"jy.'
-^
•^
*:^^^
/
^'
</
•^
-^.
J^
P
v\
t 's.;
-«^
^.it7'
>-51
Nardayana transforms Gunarsa's copyright trial into
an allegorical story based on characters from the
Ramayana, animating the philosophical issues in a
spectacular display of shifting shadows accompanied
by enlightening comic commentary. In a kinetic
series of watercolors Gunarsa brings the shadow play
to life in his distinctive style of swirling colors and
dynamic lines. Ida Pedanda Ketut Sidemen provides
additional commentary on the issues of truth and falsehood by quoting
Hindu texts that are the source of both his religious faith and his poetry.
The similarities in the responses to the trial given by the painter, the puppet
master and the priest are illuminating in the way they reveal the common
reference points of all three men. Each of them in their own way relies on
the animist-mystic traditions of the Balinese Hindu religion to provide a
sense of clarity, truth and justice that was missing in the courtroom.
Among other reference points, they all pointed to Saraswati, the Hindu
goddess of wisdom, as a source of guidance in distinguishing the true
from the false. Ida Pedanda Ketut Sidemen broke down the definition of
her name into three root words that combine to mean "The weapon of
knowledge as a guide to human behavior." Gunarsa drew a diagrammatic
sketch that illustrated the goddess as the source of all literature and arts.
And Nardayana inserted a clown dialogue into his shadow play that used
humor to explain the significance of the cecek lizard that is associated with
Saraswati. The cecek is the name of a lizard but it is also a grammatical mark
itulah menjadi ketegangan yang tidak berkesudahan
diantara keduanya adalah sangat diperlukan untuk
keseimbangan fungsi dunia.
Nardayana mentransformasikan sidang pengadilan ke
dalam sebuah kiasan ceritera berdasar pada karakter
tokoh dari Ramayana, menghidupkan persoalan-
persoalan filsafat ke dalam pertunjukannya yang
spektakuler dengan mengganti bayang-bayang disertai
dengan pencerahan melalui komentarnya yang Jenaka.
Dalam kinetis serial dari lukisan cat airnya Gunarsa
membawa pertunjukan wayang hidup ke dalam
gayanya yang khas dari lingkaran warna-warna dan dinamika garis. Ida
Pedanda Ketut Sidemen memberikan komentar tambahan pada persoalan-
persoalan dari kebenaran dan kepalsuan dengan memetik teks-teks Hindu
yang menjadi sumber baik sebagai kepercayaan agamanya maupun karya
sastranya.
Persamaan di dalam memberi respon kepada sidang pengadilan yang
diberikan oleh pelukis, dalang dan pendeta menerangkan dengan cara
mereka dalam menyatakan hal-hal pokok referensi umum dari ketiganya.
Masing-masing dengan caranya sendiri bersandar pada tradisi animisme
mistis dari kepercayaan agama Hindu untuk memberikan pengertian untuk
kejelasan, kebenaran dan keadilan yang absen di dalam ruang persidangan
pengadilan.
Diantara pokok referensi yang lain mereka semua menunjukpada Saraswati,
Dewi kebijaksanaan Hindu sebagai sumber tuntunan dalam membedakan
kebenaran dari kepalsuan. Ida Pedanda Ketut Sidemen memecah definisi
namanya ke dalam tiga akar kata yang kemudian dikombinasikan berarti
"Senjata dari ilmu pengetahuan sebagai tuntunan untuk perangai manusia"
Gunarsa menggambar diagramatik sketsa yang mengilustrasikan sang Dewi
sebagai sumber untuk semua literatur dan seni. Nardayana memasukkan
dialog panakawan ke dalam pertunjukan wayangnya dengan menggunakan
lelucon untuk menerangkan arti binatang cecdk yang diasosiasikan dengan
17
that resembles a dot or a period. "That's why offerings to Saraswati include
a cake shaped like a cecek" says the clown servant Sanggut. "Saraswati is
the symbol of knowledge. The source of knowledge comes from the dot
{cecek)"
"From what?" asks Sanggut's less enlightened brother and fellow servant,
Delem.
"From the dot," Sanggut insists. From the dot. Letters are made from an
arrangement of dots. A straight succession of dots is called a line." The
wise clown goes on to argue that all written words are made of dots, so all
written literature and wisdom begins with a dot. He takes the logic a step
further by making a pun on the Indonesian word for dot (titik) which is
the same as the Balinese word for vagina, concluding his comic lecture by
Saraswati. Kata cecek adalah sebutan untuk cecak yang juga sebagai tanda
yang berhubungan dengan tanda pada tata bahasa yang berupa bintik
atau titik. "Itulah sebabnya sesajen untuk Saraswati terdapat jajan yang
menyerupai bentuk seekor cecak," kata panakawan Sungut. "Saraswati
adalah symbol dari ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan datangnya dari
titik fcecekj."
"Dari apa?" pertanyaan saudaranya Sangut yang kurang akan penerangan
dan temannya sebagai abdi, Delem.
"Dari titik" Sangut bersikeras. Dari titik. Huruf dibuat dari pengaturan titik-
titik. Rangkaian titik-titik lurus disebut garis. Panakawan yang bijaksana
meneruskan untuk berargumentasi bahwa semua kata-kata yang ditulis
dibuat dari titik, dengan demikian semua tulisan literatur dan kebijaksanaan
dimulai dari titik. Dia mengambil logika dalam langkah maju membuat
lelucon dengan permainan kata cecek untuk bahasa Indonesianya berarti
18
declaring that therefore "everything in the world is born out of a dot."
The puppet master's multi- linguistic punning is only one of the sophisticated
techniques used by Nardayana to communicate complex spiritual concepts
to a general audience in an entertaining manner. The virtuosic skills
of Gunarsa are equally astonishing in the way his drawings depict the
complicated iconography of his religion in a few artfully shaped lines. Ida
Pedanda Ketut Sidemen, an artist in his own right, is peerless in his ability to
make the arcane philosophy of Balinese Hinduism immediately accessible
to anyone who reads his poetry or listens to him speak.
This book documents the collective talents of these three gifted men in an
attempt to tell the story of a copyright trial whose importance transcends
the secular courtroom in which it was held. By inspiring the artistry of a
painter, a puppet master, and a priest, the trial reveals the
extraordinary ability of the Balinese to use their cultural
traditions to make sense of the moral dilemmas that
accompany the ongoing modernization of their island.
While the rest of the world might not see the traces left
in the sky by a flying bird, the Balinese painters, puppet
masters, and priests, know it is there. Their culture values
the artistic and spiritual expression of what is invisible to
the eye. This book is a tribute to that skill and the wisdom
behind it.
'titik' yang dalam bahasa Balinya berarti merupakan bagian dari kemaluan
wanita, menyudahi ceramah leluconnya dengan pernyataan bahwa oleh
karenanya 'semuanya di dunia lahir dari titik."
Multi bahasa sebagai permainan kata ki dalang adalah satu dari teknik yang
canggih digunakan oleh Nardayana untuk mengkomunikasikan kompleksitas
konsepsi spiritual untuk penonton umum ke dalam cara menghibur Keahlian
hebat dalam teknik yang dimiliki Gunarsa sejajar membuat terperangah
dalam cara lukisannya menggambarkan ikonografi yang kompleks dari
kepercayaan agamanya dalam hanya beberapa bentuk licin garis-garis.
Ida Pedanda Ketut Sidemen seorang seniman dalam caranya sendiri, tiada
bandingannya pada kemampuannya untuk membuat misterius filsafat
dari Hinduisme Bali dengan segera dapat diterima oleh setiap orang yang
membaca sajak-sajaknya atau mendengarkan dia berbicara.
Buku ini mendokumentasikan secara kolektif berkemampuan dari ketiga
orang yang berbakat di dalam usaha mengisahkan ceritera pengadilan
hak cipta jauh lebih penting dengan ruang persidangan sekuler yang
telah berlangsung. Dengan diilhami oleh kemahiran
dari seorang pelukis, dalang, dan pendeta ketiganya
memperlihatkan kemampuannya yang luar biasa sebagai
orang Bali untuk menggunakan tradisi budaya mereka
dalam memberikan pengertian tentang dilema moral
yang menyertai keberlanjutan moderenisasi dari pulau
tempat tinggalnya. Sementara di negara lain barangkali
tidak melihat jejak yang ditinggalkan oleh seekor burung
yang sedang terbang diudara, pelukis Bali, dalang, dan
pendeta tahu bahwa itu ada disana. Nilai-nlai budaya
mereka menjadi artistik dan ekspresi spiritual tentang
apa yang tidak nampak dihadapan mata. Buku ini
menghargai keterampilan tersebut dan kebijaksanaan
yang berada dibaliknya.
19
V
INTRODUCTION:
The Battle of Dharma
and Adharma
P endahuluan:
Pertempuran Dharma
dan Adharma
21
"To find justice in this world is difficult, because there are so many kinds
of justice: justice according to God, justice according to the judge, justice
according to the accused, justice according to the community. Oh, there
are many kinds."
- Twalen, the clown servant and sage, in "The False Anggada."
"Untuk mendapatkan keadilan di dunia ini sangatlah sulit, oleh karena
terdapat beragam jenis keadilan: keadilan menurut Tuhan, keadilan
menurut hakim, keadilan menurut tertuduh, keadilan menurut
masyarakat. Oh, ada banyak jenisnya."
- Tualen, panakawan dalam pementasan "Anggada Palsu".
On June 26, 2008 in the austere government offices of Indonesia's Ministry
of Law, an artist was pleading his case in a private audience with a Deputy
Minister from the National Task Force for Intellectual Property Rights. The
artist had traveled hundreds of kilometers from his home on the island
of Bali in hopes of meeting with the country's President, Susilo Bambang
Yudhoyono, and the Deputy Minister assured him that his appeal would be
brought before the President after he dealt with the student riots that were
then plaguing the capitol city of Jakarta.
Pada tanggal 26 Juni 2008 dalam situasi pemerintahan Asisten Menteri
Koordinator Tim Nas Haki di Indonesia dalam keadaan tegang, seorang pelukis
mengadakan pembelaan terhadap kasusnya dengan mengadakan pendekatan
secara perseorangan kehadapan Asisten Menteri Koordinator Tim Nas yang
bertugas membidangi pelanggaran hak cipta. Seorang pelukis mengadakan
perjalanan ratusan kilometer dari rumahnya di pulau Bali dengan harapan
dapat bertemu dengan pimpinan Negara, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, diterima oleh Asisten Menteri yang dengan meyakinkan bahwa,
pendekatannya akan dibawa kehadapan presiden, setelah dia menyelesaikan
persoalan penting berkenaan dengan gerakan mahasiswa yang mengacau
keamanan ibukota Jakarta.
"Ihe President should meet with people who are trying to solve problems
peacefully, not only with those who threaten violence," argued I Nyoman
Gunarsa, an internationally exhibited artist, whose paintings had been
forged and put up for sale by individuals he believed to be part of a multi-
national crime syndicate. Gunarsa had been fighting the case in the courts
for over eight years, and although the paintings had been proven false, the
judge in the most recent trial had declined to hold anyone responsible,
leaving the forgers, distributors, and gallery owners unpunished and free
to continue their operation. "This case is not just about my paintings," said
Gunarsa. "It is about upholding copyright laws, so that the rest of the world
will stop viewing Indonesia as a 'nation of pirates' {'Negeri Pembajak').
The artist's colorful language was met with formal words of sympathy
expressed by the Deputy Minister in phrases that were as stiff as the collar of
"Presiden seyogyanya bertemu dengan orang yang ingin menyelesaikan
masalahnya dengan damai, tidak hanya untuk mereka yang mengancam
dengan kekerasan," argumentasi I Nyoman Gunarsa seorang pelukis berkaliber
internasional, yang lukisannya dipalsukan dan dijual oleh seseorang yang
dia percaya sebagai bagian dari jaringan sindikat multi nasional. Gunarsa
telah memperjuangkan kasusnya di pengadilan lebih dari delapan tahun, dan
kendati lukisannya sudah terbukti dipalsukan, para hakim pada pengadilan
belakangan ini mengalami kemunduran dalam menentukan seseorang yang
bertanggungjawab, dan membiarkan si pemalsu, distributor, dan pemilik
galeri, tanpa diberi hukuman dan bebas untuk melangsungkan operasi
mereka. "Kasus ini bukan hanya menyangkut lukisan saya" kata Gunarsa.
"Ini adalah penegakkan hukum hak cipta, dengan demikian dunia luar akan
berhenti menuding Indonesia sebagai negara pembajak"
Bahasa seorang pelukis yang berwarna-warni bertemu dengan bahasa formal
yang dilontarkan sebagai sebuah simpati oleh Asisten Menteri, dalam frase
22
his batik print shirt. It seemed unUkely that the case would get any farther
than that sterile office, until Gunarsa pulled out a large notebook with
reproductions of his paintings, and used them to explain the case in more
detail. At first the Deputy Minister just looked politely at the photographs
and nodded. Gunarsa showed him the paintings that were used as evidence
in the courtroom, pointing out the details that distinguished the original
paintings from the forgeries. The Deputy Minister mumbled a few words
of encouragement with a rigid smile. Then Gunarsa turned the pages of
his notebook to another set of paintings that were not used in the trial, but
seemed to be of far greater interest to the Deputy Minister.
They were paintings of a wayang kulit shadow puppet play that used an
episode from the Hindu epic Ramayana as an allegory to illuminate the
deeper meanings of the copyright trial.
The shadow puppet play had been
performed in Denpasar's Puputan Square
the week before the trial began (April,
2007). That audience in Bali's capital a
year earlier had laughed and cheered at "^ '^^-,.
the puppet masters re-imagining of a
modern court case as a battle between
sacred monkeys and giant demons.
Gunarsa seemed to recapture the energy
of that festive outdoor performance as he
recounted the puppet story to the Deputy
Minister. The plump, cherubic sixty-four
year old artist stood up and acted out
scene after scene, imitating the voices of
the puppet monkeys, demons, and clowns
with a vibrant vocal range that matched
the swirling colors of his paintings. The
Deputy Minister was entranced, leaning
yang tak ubahnya sekaku kerah baju batik cetaknya. Nampaknya sulit untuk
dipercaya bahwa penanganan kasusnya dapat melaju dari sebuah kantor
steril seperti itu, sampai akhirnya Gunarsa mengeluarkan buku catatan
besar dengan reproduksi lukisan-lukisannya, dan menggunakannya untuk
menerangkan kasusnya lebih detail. Mengawali Asisten Menteri melihat
pada foto-foto dengan sopan seraya mengangguk-angguk. Gunarsa
memperlihatkan padanya lukisan yang telah dijadikan barang bukti
di pengadilan, menunjuk lebih detail perbedaan lukisan-lukisan yang
asli dengan yang dipalsukan. Asisten Menteri berkomat-kamit dengan
beberapa kata-kata membesarkan hati dalam senyumnya yang kaku.
Kemudian Gunarsa membuka halaman buku catatannya ke halaman yang
lain dengan sejumlah lukisan-lukisan yang tidak dipergunakan dalam
pengadilan, yang kelihatannya jauh lebih menarik bagi Asisten Menteri.
Terdapat pula lukisan-lukisan pertunjukan Wayang Kulit yang menggunakan
episode dipetik ceritera kepahlawanan Hindu yakni Ramayana sebagai
sebuah kiasan menerangkan arti yang
lebih dalam dari peradilan hak cipta.
Pertunjukan wayang kulit dipentaskan
di lapangan Puputan Badung, seminggu
sebelum peradilan dilaksanakan
(bulan April 2007). Para penonton
yang kebanyakan dari penduduk kota
Denpasar setahun sebelumnya tertawa
terpingkal dan mengelukan ki dalang
kondang membayangkan kembali kasus
pengadilan moderen ke dalam sebuah
perang seekor kera suci dengan raksasa
besar. Gunarsa nampaknya dapat
menangkap energi dari pertunjukan
yang diselenggarakan di alam terbuka
yang bersifat festa seperti halnya dia
meceriterakankembalikisahpertunjukan
tersebut kehadapan Asisten Menteri.
Sintalnya, seorang malaikat, pelukis
24
forward on the edge of his chair, his eyes darting back and forth between the
illustrations and the artist who was bringing them to life in his office.
At the heart of the play was a climactic scene in which the false was
distinguished from the true in a highly theatrical encounter. A demon
disguised as the red monkey commander Anggada was unmasked as an
imposter by Anggada's brother, the Hindu monkey hero Hanuman. The
demon planned to use his disguise to enter the palace of King Rama and
murder him, but Hanuman was suspicious and tested his authenticity
by speaking to him in monkey language. When the demon failed to
understand and respond, Hanuman knew he was a fraud and chased
him from the palace door, saving the kingdom from destruction by his
shrewd discernment of the difference between the false monkey and his
true brother.
When Gunarsa reenacted that crucial scene, he screeched like a monkey
to demonstrate the efficacy of Hanumans test. The simian gibberish
elicited hearty laughter from the Deputy Minister who then began to
participate in the performance himself, like a child calling out to the
puppets in a Punch and Judy play. "Yes, now Hanuman is the judge," he
cried. From that moment, he was swept away by the truth of the allegory,
and responded with genuine enthusiasm to Gunarsa's arguments about
the importance of the case, and the possibility of its being heard on appeal
by the nations Supreme Court.
After he had finished recounting the shadow puppet allegory, Gunarsa
returned to the facts of the copyright trial. This time, sensing the support
berumur enam puluh empat tahun berparas kekanak-kanakan berdiri
tegak memperagakan adegan demi adegan, menirukan suara wayang kera,
raksasa, dan panakawan dengan getaran dan perbedaan tingkat suara,
menyatu dengan campuran warna lukisannya. Asisten Menteri menjadi
terpesona, mendongak ke depan dari tepian kursinya, matanya bergerak
bolak-balik diantara ilustrasi si pelukis yang membawakan semua itu
dengan hidup di kantornya.
Pada inti pertunjukan tersebut terdapat adegan puncak dimana yang palsu
dibedakan dengan yang benar. Seorang Raksasa yang mentransformasi
dirinya menjadi seorang jenderal kera merah Anggada dibuka kedoknya
sebagai penipu lihai oleh kakaknya Anggada, seekor kera pahlawan dalam
epik Hindu bernama Hanuman. Raksasa merencanakan untuk menggunakan
penyamarannya memasuki istana raja Rama dan membunuhnya, akan
tetapi Hanuman menaruh kecurigaan dan menguji keasliannya dengan
berbicara bahasa kera dengannya. Ketika si Raksasa gagal mengertikan dan
menjawabnya, Hanuman mengetahui bahwa dia itu adalah seorang penipu
seraya mengejarnya dari gapura kerajaan, menyelamatkan kerajaan dari
kehancuran dengan menggunakan kepintarannya membedakan diantara
'kera palsu dengan saudaranya yang asli.
Ketika Gunarsa meragakan kembali adegan krusial tersebut, dia mengeluarkan
bunyi berciut seperti suara kera sembari mendemonstrasikan kemanjuran
pengujian yang dilakukan oleh Hanuman. Bualan monyet menimbulkan
ketawa besar dalam hati Asisten Menteri yang kemudian ikut berpartisipasi
dalam mempertunjukan dirinya, tak ubahnya seorang anak kecil memanggil-
manggil kehadapan wayang seperti halnya dalam pertunjukan Punch dan
Judy. "Ya, sekarang Hanuman adalah hakimnya," teriaknya. Dari peristiwa
tersebut, dia dibawa hanyut oleh kebenaran kiasan, dan memberi respon
dengan penuh antusias terhadap argumentasinya Gunarsa tentang penting
kasusnya, dan kemungkinannya telah didengar kesungguhan permohonannya
oleh Mahkamah Agung.
Setelah dia selesai meragakan kiasan pertunjukan wayang, Gunarsa kembali
kepada kenyataan dari perkara hak cipta. Kali ini dia merasakan topangan
25
of his newly converted audience, Gunarsa did more than simply present
the legal arguments.
He stood up and re-enacted the courtroom drama as if it too were a shadow
puppet play in which the accurate discernment of the difference between
truth and falsehood would determine the fate of the kingdom, in this case
Indonesia itself In fact, President Yudhoyono had recently empowered
a commission to recommend ways to strengthen Indonesia's copyright
laws. The issue was acknowledged as a major problem for the nation's
international reputation and cultural identity, but that sense of urgency had
not yet filtered down to local courts, and Gunarsa's case was the first in
the country's history to attempt to apply intellectual property rights to the
works of visual artists.
Gunarsa's spirited performance in the Deputy Minister's office was an
attempt to transcend years of indifference, corruption, and organized crime
that had reduced Indonesia's copyright laws to toothless suggestions that
were rarely enforced. By the end of his presentation the artist had succeeded
not only in persuading the Deputy of the timeliness of his case, he had even
inspired the stodgy bureaucrat to express his solidarity in a dance. After
Gunarsa had demonstrated that the forged paintings of traditional Balinese
dancers could be distinguished from the originals by their distorted sense of
anatomy, the Deputy Minister extended his arm in an imitation of the forged
painting, tilted sideways in his chair, and agreed with the artist's assessment.
"A person can't dance like that," he said sympathetically, joining Gunarsa in
a comically awkward pas de deux that relied on the logic of the human body
as the final arbiter of truth.
penonton haru yang kiranya bisa memberi jalan keluar, Gunarsa melakukan
lebih dari sekedar menghadirkan argumentasi menurut hukum.
Dia berdiri dan memperagakan kembali drama dalam ruang pengadilan
seperti halnya juga sebuah pertunjukan wayang kulit dengan penentuan
yang akurat dari perbedaan antara kebenaran dan kebohongan, akan dapat
menentukan nasib dari kerajaan, dalam hal ini adalah Indonesia sendiri.
Pada kenyataannya Presiden Yudhoyono tak begitu lama telah menguasakan
kepada sebuah komisi pengawas agar merekomendasi jalan untuk
memperkuat hukum hak cipta di Indonesia. Persoalannya adalah pengakuan
sebagai persoalan besar untuk bangsa dalam reputasi internasional dan
identitas budaya, akan tetapi rasa mendesaknya itu belum disaring turun ke
dalam peradilan lokal, dan kasusnya Gunarsa adalah yang pertama dalam
sejarah bangsa untuk berusaha memberlakukan hak atas kekayaan intelektual
ke dalam karya visual (lukis) seniman.
Spirit pertunjukannya Gunarsa di kantor Asisten Menteri adalah sebagai
sebuah usaha untuk melewati bertahun-tahun sikap acuh tak acuh, korupsi,
kriminal terorganisasi yang menekan hukum hak cipta di Indonesia,
termasuk pada usulan ompong yang jarang dikuatkan. Sampai pada akhir
presentasinya si pelukis telah berhasil tidak hanya membujuk Asisten Menteri
dari ketepatan waktu untuk kasusnya, dia bahkan mengilhami birokrasi yang
kurang tertarik untuk menyatakan kesetiakawanannya ke dalam sebuah
tarian. Setelah Gunarsa mendemonstrasikan semua lukisan palsu tentang
penari tradisional Bali dapat dibedakan dari yang asli melalui perasaan
dari anatominya yang dirusakkan. Asisten Menteri menjulurkan tangannya
ke dalam tiruan dari lukisan yang dipalsukan, diangkat menyamping pada
kursinya dan setuju dengan penilaian si seniman. "Seseorang tidak akan bisa
menari seperti itu," kata dia penuh simpatik, menemani Gunarsa di dalam
kekakuan lelucon pas de deux yang secara diam-diam percaya dengan logika
dari tubuh manusia sebagai penguasa akhir akan kebenaran.
27
The encounter between the artist and the Deputy Minister
was extraordinary in many ways. Not only did it culminate
in an unlikely dance duet, but it also marked the meeting of
two distinctive Indonesian cultures, the Balinese Hinduism
of Nyoman Gunarsa, and the Javanese Muslim faith of the
Deputy Minister. Indonesia has the world's largest Muslim
population, but as the globes fourth most populous nation
it is also home to a diverse spectrum of people who speak
hundreds of different languages and live on thousands of
far flung islands.
Gunarsa and the Deputy Minister did not speak to each
other in their respective native tongues (Balinese and Javanese), but used
Indonesian instead, the official lingua franca of the Indonesian archipelago.
More effective than a common language in bringing them together was
their common passion for wayang kulit shadow puppet plays. Although the
Javanese and Balinese shadow puppets are performed in different styles they
share a set of plots and characters revolving around the Hindu epic stories
of the Ramayana and Mahabhrata. Javanese Muslims do not regard the
stories as religious, but consider them to be part of their cultural heritage,
and in fact, before the thirteenth century most Javanese practiced a form of
Hindu-Buddhist-Animism that is similar to the religion practiced today in
Bali. The shadow puppet plays are one of the last vestiges of their shared
history, but because few Balinese understand the Javanese language used in
Javanese shadow plays and most Javanese do not understand the Balinese
language used in Balinese shadow plays, the two traditions remain distant
to their respective admirers.
Pertemuan diantara seniman dengan Asisten Menteri dalam
banyak hal adalah sangat luar biasa. Tidak hanya dilakukan
dalam puncak tak ubahnya bagaikan tarian duet, akan
tetapi juga pertanda pertemuan dari dua budaya Indonesia
yang berlainan yakni Nyoman Gunarsa sebagai orang Bali
beragama Hindu dengan Asisten Menteri sebagai orang
Jawa penganut kepercayaan agama Islam. Indonesia adalah
Negara terbesar yang berpopulasi penganut kepercayaan
menurut agama Islam, selain itu sebagai Negara keempat
terbesar populasinya didunia dan juga rumah orang-orang
yang memiliki spektrum berbeda, berbahasa dengan ratusan
bahasa yang berbeda, dan tinggal di dalam ribuan pulau-
pulau bertebaran berjauhan.
Gunarsa dengan Asisten Menteri keduanya tidak berbicara
satu sama lain dengan bahasa daerahnya (Bali dan Jawa), akan tetapi
menggunakan bahasa Indonesia, yakni bahasa nasional, bahasa penghubung
untuk Seantero kepulauan Indonesia. Jauh lebih efektif dibanding dengan
menggunakan bahasa umum dalam membawa mereka bersama adalah
kegemaran untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Kendati pertunjukan
wayang kulit Jawa dan Bali memiliki gaya yang berbeda keduanya
menggunakan perlengkapan untuk alur ceriteranya dan karakter dari
masing-masing tokoh dari seputar epik Hindu yakni ceritera Ramayana dan
Mahabharata. Orang Islam Jawa menghormati ceritera tersebut tidak sebagai
bagian dari agamanya, akan tetapi lebih mempertimbangkannya sebagai
bagian dari warisan budaya mereka, yang pada kenyataannya sebelum abad
ke tiga belas kebanyakan orang Jawa menganut bentuk kepercayaan dari
Hindu - Buddha - dan kepercayaan Animisme yang memiliki kesamaan
dengan agama yang masih dipraktekkan sampai sekarang ini di Bali.
Pertunjukan wayang kulit adalah salah satu kebudayaan tradisi yang masih
bertahan dalam membagi sejarah bersama, akan tetapi oleh karena hanya
sedikit orang Bali mengerti Bahasa Jawa yang digunakan dalam pertunjukan
wayang Jawa dan kebanyakan orang Jawa tidak mengerti bahasa Bali yang
digunakan dalam pertunjukan wayang Bali, kedua dari tradisi ini tetap
memiliki jarak akan kekaguman dan rasa hormat mereka.
28
29
•,-'*«^
The exchange between Gunarsa and the Deputy Minister revealed more
than a simple enthusiasm for wayang. It demonstrated the deep connection
they both feel exists between the ethical values expressed in wayang and the
codes of conduct all people are expected to follow, regardless of religion. In
this case a complex legal issue that had not been decided with clarity in the
courts was communicated effectively through the allegorical language of
wayang shadow puppets. The actions of Rama, Hanuman, his monkey army,
and their demonic adversaries eliminated the need for legal arguments. The
Balinese artist and the Javanese bureaucrat understood each other perfectly,
because in both of their cultures the puppets embody the struggles between
good and evil, faith and betrayal, or falseness and truth, that are at the core
of humanity's efforts to live together in a just society. Some might say that
wayang offers a shadow legal code that is philosophically more compelling,
persuasive, and accessible than the formal laws of government. Many of
Indonesia's presidents have professed a deep love of wayang, including
the founding president Sukarno, who was named after a wayang character
(Kama), and the current president, Yudhoyono, who
according to the minister of culture, Jero Wacik, grew
up performing wayang stories with palm leaves as his
make-shift puppets. A few months after the wayang
play about Gunarsa's trial was performed in Bali, a
former Indonesian president, Abdurrahman Wahid,
also known by his nickname "Gus Dur," commissioned
a Javanese wayang play to allegorically tell the story
of how he had been slandered by Jusuf Kalla, who
was then vice-president. Wahid had threatened to
take the case to court, but the wayang plot about the
misfortunes that befell a kingdom after it's hero had
been insulted, was more effective than an extended
legal battle in expressing his side of the story. Furthermore he, and the
thousands of supporters who gathered on a field near his Jakarta home to
watch the play, experienced the vicarious pleasure of watching the hero's
adversary apologize.
Pertukaran diantara Gunarsa dan Asisten Menteri diungkapkan lebih dari
sekedar antusias pada wayang. Itu menunjukkan hubungan yang sangat
dalam diantara mereka berdua, merasakan keberadaannya akan nilai-nilai
etika yang diekspresikan dalam wayang dan aturan tingkah laku untuk semua
orang yang diharapkan untuk diikuti, dengan mengabaikan agamanya.
Dalam kasus ini permasalah menurut hukum yang kompleks belum pernah
diputuskan dengan kejelasan di dalam persidangan, telah dikomunikasikan
dengan efektif melalui bahasa kiasan dari wayang kulit. Perlakuan sang
Rama, Hanuman, dengan pasukan keranya, beserta musuhnya yang bersifat
keraksasaan, mengabaikan kebutuhan akan argumentasi berdasarkan
undang-undang. Seniman Bali dan birokrat orang Jawa mengerti satu sama
lain dengan sempurna, oleh karena dikedua dari budaya mereka yakni
pada budaya wayang, menggambarkan pergumulan antara baik dengan
jahat, beriman dengan pengkhianat, kepalsuan dengan kebenaran, yang
keberadaannya adalah pada inti usaha manusia untuk hidup bersama
di masyarakat. Mungkin beberapa orang mengatakan bahwa wayang
menawarkan bayangan aturan perundang-undangan
yang berupa filsafat lebih mendorong, membujuk,
dan dapat diakses, dibanding dengan hukum formal
pemerintahan. Beberapa dari Presiden Indonesia
menyatakan kecintaannya yang mendalam terhadap
wayang, termasuk presiden pertamanya yakni
Sukarno yang namanya diambil dari nama karakter
wayang (Kama), dan presiden sekarang Yudhoyono
yang menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Jero Wacik beliau tumbuh sebagai dalang dengan
mempertunjukkan ceriteranya dengan wayang
terbuat dari daun palem. Beberapa bulan setelah
pertunjukan wayang tentang pengadilannya Gunarsa
yang dipentaskan di Bali, mantan Presiden Indonesia Abdulrrahman
Wahid yang juga dikenal denga nama kecilnya "Gus Dur," menugaskan
mempertunjukkan wayang Jawa membawakan ceritera secara simbolik
bagaimana dia telah difitnah oleh wakil presiden Jusuf Kalla. Wahid telah
diancam untuk membawa masalahnya ke pengadilan, akan tetapi alur
pertunjukan wayang tentang kemalangan yang menimpa sebuah kerajaan
31
setelah pahlawannya dicacimaki, jauh lebih efektif ketimbang dengan
rentangan perseteruan perang resmi dalam mengekspresikan sisi beliau di
dalam ceriteranya. Lebih jauh lagi beliau dengan ribuan pendukungnya
berkumpul di tanah lapang didekat rumahnya di Jakarta untuk menyaksikan
pertunjukan tersebut, menyaksikan langsung sepertinya mengalami sendiri
kesenangan menyaksikan musuh dari sang pahlawannya meminta maaf
Both the Javanese and BaHnese wayang shadow puppet stages are structured
in a way that emphasizes the dynamic tension between contradictory
elements of existence. Good and Evil. Darkness and Light.
The High and the Low. The True and the False. In the world
of wayang, as in the philosophy of life embodied in the
Hindu epics that comprise its repertoire, these oppositional
forces are inextricably entwined with one another. In
the old Javanese literary language known as Kawi, the
simultaneously conflicting and interdependent nature of
these contradictory forces is called ruabineda. Although
the old Javanese Kawi language is no longer spoken, most
of the Hindu literature used as source material for the
shadow plays in Java and Bali is written in Kawi, so shadow
puppet masters on both islands still study it, and often sing
quotations from old poetry in the original Kawi phrases.
The physical manifestations of ruabineda can be seen in the way a wayang
puppet play is dramatized. The heroic characters representing the forces of
good, faithfulness, and truth are hned up on the right side of the shadow
puppet screen. The villains who represent the forces of evil, betrayal, and
falseness are lined up on the left side of the screen. But on each side are
characters that embody the opposite of what they appear to be. The Balinese
clown servant, Sanggut, for instance who always accompanies the villainous
antagonists from the left side of the screen, often argues with his partner
32
Baik wayang Bali maupun wayang Jawa pementasannya disusun
berdasarkan cara yang penekanan dinamikanya, ketegangannya,
berunsurkan dari elemen yang bertentangan akan
keberadaan Baik dan Jahat. Kegelapan dan Terang. Tinggi
dan Rendah. Kebenaran dan Kepalsuan. Di dalam dunia
wayang seperti halnya di dalam filsafat hidup perwujudan
di dalam epik Hindu yang meliputi repertoarnya, semua
dari kekuatan yang bertentangan ini adalah tidak mungkin
untuk dipisahkan karena satu sama lainnya terjalin erat.
Di dalam literatur bahasa Jawa Kuno yang dikenal dengan
bahasa Kawi, keduanya berbarengan secara alami unsur
yang berlawanan dan saling ketergantungan dari kekuatan
yang bertentangan ini disebut ruabineda. Kendatipun
Bahasa Jawa Kuno tidak lagi menjadi bahasa pergaulan,
kebanyakan literatur Hindu menggunakannya sebagai
sumber materi untuk pertunjukan wayang kulit di Jawa dan
Bali ditulis dalam bahasa Kawi, dengan demikian dalang di
kedua daerah ini masih mempelajarinya, dan sering menyanyikan petikan
dari puisi frase kawinya yang asli.
Manifestasi pisik dari ruabineda dapat dilihat di dalam dramatisasi
kemasan pertunjukan wayang kulit. Karakter-karakter pahlawan ksatria
yang menggambarkan sifat baik, kesetiaan, dan kebenaran adalah berjejer
di sisi sebelah kanan kelir. Penjahat sebagai perlambang dari kekuatan
kejam, penghianat, dan kepalsuan adalah berjejer disebelah kiri kelir.
Namun masing-masing sisi adalah karakter-karakter sebagai perwujudan
pertentangan dari apa yang mereka munculkan. Panakawan para abdi
dalam wayang Bali, seperti Sangut contohnya yang selalu mengikuti
33
FAKE PAINTING
LUKISAN PALSU
Nyoman Sumerta, of the "Sumerta Gallery" in Teges, Ubud, asked about
the authenticity of this painting after receiving it from Pak Kristiyono.
Lukisan ini didapat dari Pak Kristiyono yang menanyakan keaslian lukisan tersebut
melalui saudara Nyoman Sumerta dari "Sumerta Gallery" Teges Ubud.
34
NYOMAN GUNARSA'S TRUE PAINTING
LUKISAN ASLI NYOMAN GUNARSA
This authentic painting by Nyoman Gunarsa is from the collection of Made Suwitha.
Lukisan asli Nyoman Gunarsa yang telah dikoleksi Made Suwitha (sebagai terdakwa).
Delem, in favor of the positive values represented by the protagonists who
originate on the right side of the screen. The duo of Delem and Sanggut is
a manifestation of Ruabineda in comic form, a pair of opposites who are
in constant conflict with one another while at the same time inseparable.
Their low social status is also in clear contrast to the high social status of
their masters, but again the opposition conceals another paradox. In many
situations the lowly servants are revealed through their joking and comic
observations to be wiser than their aristocratic masters, who need and rely
on them in spite of their lowly status.
kebengisan tokoh antagonis yang kejam dari sisi sebelah kiri kelir, sering
berargumentasi dengan pasangannya Delem dalam kebajikan sebagai nilai-
nilai positif yang dihadirkan oleh tokoh protagonis yang asalnya dari sisi
sebelah kanan kelir. Pasangan Delem dengan Sangut adalah manifestasi
dari ruabineda di dalam bentuk sepasang pelawak yang bertentangan,
selalu konflik satu sama lain dan dalam waktu yang bersamaan mereka tak
terpisahkan. Sosial status mereka yang rendah juga jelas mencerminkan
kontras dengan junjungannya yang memiliki sosial status tinggi, kembali
disini oposisi merahasiakan paradoksi yang lain. Di dalam beberapa
situasi pelayan yang rendah mengungkapkan pesannya melalui humor dan
badutan mereka menjadi lebih bijaksana dibanding dengan aristokrasi
tuannya, yang memerlukan dan mengandalkan mereka walau status
mereka terbilang rendah.
The opposition between darkness and light is of course built into the core
technique of a shadow puppet play, where the images on the screen are
composed of black silhouettes created by the absence of the light source
that illuminates the rest of the screen and makes the characters visible. The
darkness would not exist without the light and vice versa, and the images
on the screen would not be possible without the positioning of light and
darkness in contrast to one another. These paradoxes are sometimes joked
about by the clowns, often in situations where electricity failures temporarily
halt the play. Some wayang plays are still performed with the light of a flame
from a coconut oil lamp, but many now use electric light to enhance the
shadows and create special effects.
Metaphorically the light represents the truth and the darkness represents
what is false. Just as the villains on the left side of the screen represent
characters who have chosen false paths (for the most part) as opposed to
the true paths chosen by the characters on the right side (again, for the most
part, but never entirely). These conflicting forces need each other to exist
so that truth emerges in contrast to the falseness that opposes it, just as the
light is visible in contrast to the darkness that shadows it.
Pertentangan diantara kegelapan dan terang adalah rangkaian teknik inti
yang dibangun pada pertunjukan wayang kulit, dimana khayalan yang
muncul di layar, dikomposisikan dari siluet hitam yang dibentuk oleh
sumber sinar yang tertutup penyinarannya di layar, sehingga karakter bisa
muncul. Kegelapan tidak akan muncul tanpa sinar, demikian sebaliknya,
dan bayangan di layar tidak bakalan muncul tanpa kegelapan dan terang,
yang dapat memposisikan kontras satu sama lain. Berlawanan asas
terkadang dijadikan lelucon oleh panakawan, memanfaatkan situasi ketika
listrik mati untuk sementara manakala pertunjukan berlangsung. Beberapa
pertunjukan wayang masih tetap dimainkan dengan lampu belencong
berminyak kelapa, dan beberapa diantaranya menggunakan lampu listrik
untuk membentuk bayangan dan menciptakan efek-efek tertentu.
Secara metapora sinar melambangkan kebenaran dan kegelapan
melambangkan kesalahan. Seperti halnya para penjahat dari sisi sebelah
kiri layar mewakili tokoh-tokoh yang memilih jalan salah (pada kebanyakan
bagian) sebagai oposisinya untuk jalan yang benar dipilih oleh tokoh-tokoh
yang berada di sisi sebelah kanan (lagi, pada kebanyakan bagian, tidak
pernah untuk seluruhannya). Pertentangan kekuatan seperti ini memerlukan
keberadaan untuk keduanya dengan demikian kebenaran muncul sebagai
35
These philosophical roots of ruabineda are embedded
in the literature and performance of wayang, but
for the audience, what is important is how these
conflicting elements are portrayed in the dramatic
action of the plays. As was evident in the interaction
between Gunarsa and the Deputy Minister, wayang
enthusiasts get wrapped up in the ethical dilemmas of
the characters, even though they are only shadows on
the screen. As shadows they can make visible what is
usually invisible. Their otherworldly appearance makes
the flickering silhouettes an appropriate medium for
conveying messages from the invisible world of spirits,
gods, demons, and deceased ancestors. In the old
Javanese language this invisible world is called niskala
and it exists in contrast to the visible world of everyday life that is called
sekala. The puppets in a wayang play give form to the struggles of the
invisible world, enabling the audience to see connections between their
own lives and the examples played out in shadows on the screen.
This story of Gunarsa's copyright trial and the wayang plays it inspired is a
contemporary example of how the invisible world of the shadow puppets
still interacts with the visible world of artists, lawyers, judges, politicians,
and criminals. For Gunarsa the search for justice in the visible world of
sekala is inextricably linked to the search for justice in the invisible world of
niskala. As his wife, Indrawati, said when she and her husband were leaving
the office of the Deputy Minister, "We are sure that dharma will defeat
adharmar Indrawati was born in Java, and she said this after recounting
yet another fable of the invisible world to the Deputy Minister, this time
kontras dari kejahatan yang mengoposisikannya, sama
halnya terang itu muncul akibat dari kontras kegelapan
yang membayanginya.
Akar filsafat ruabineda adalah terpancang di dalam
literature dan pertunjukan wayang, akan tetapi yang
penting bagi penonton adalah bagaimana ketegangan
elemen-elemen ini digambarkan dalam dinamika laku
dalam pertunjukan tersebut. Adalah menjadi bukti
dalam interaksinya antara Gunarsa dengan Asisten
Menteri, kegemaran mereka akan wayang dapat
membungkus etika dilema dari berbagai karakter,
walaupun itu hanya dalam bayangan di kelir. Melalui
bayang-bayang semua dapat dibuat menjadi nyata,
apa-apa yang biasanya tidak nyata. Kehadiran dunia
lain dari mereka terbuat dalam getaran bayangan gelap
sebagai media yang sangat cocok untuk menyampaikan
pesan dari dunia mayanya berbagai spirit, dewa-dewa,
raksasa, dan para nenek moyang pendahulu. Di dalam bahasa Jawa Kuno
dunia tak nyata ini disebut Niskala dan keberadaan kontrasnya adalah
untuk dunia nyata yakni dunia kehidupan sehari-hari disebut Sekala.
Dalam pertunjukan wayang kulit, wayang memberi bentuk kepada
pergumulan dari dunia maya sehingga memungkinkan penonton dapat
melihat hubungan diantara kehidupan mereka dan contoh-contoh yang
dimainkan di dalam bayangan di layar.
Ceritera dari kasus pengadilan hak ciptanya Gunarsa, pertunjukan
wayangk/i yang menghilhami sebagai sebuah contoh kekinian bagaimana
dunia maya dari pertunjukan wayang tetap berinteraksi dengan dunia
nyatanya para seniman, hakim, politikus, dan criminal. Bagi Gunarsa
pencarian keadilan di dunia nyata (sekalaj adalah tidak memungkinkan
untuk melepaskan diri dalam hubungan pencarian keadilan di dunia
maya fniskalaj. Seperti halnya dengan istrinya, Indrawati, mengatakan
manakala dia dengan suaminya meninggalkan kantor Asisten Menteri,
"Kami berkeyakinan bahwa Dharma akan menaklukkan Adharma."
36
a Javanese story of murder, ghosts, and retribution. Dharma is an old
Javanese word synonymous with virtue, justice, civic duty, and truth, while
adharma is its opposite. Her statement to the minister about dharmas
triumph over adharma was her way of using the language of wayang to
support her husband's faith that in life, as in wayang, the true will triumph
over the false.
Indrawati lahir di Jawa dan katanya, setelah menceriterakan ini, masih ada
kisah dari dunia tidak nyata dari Asisten Menteri, kali ini adalah ceritera
Jawa tentang pembunuhan, hantu, dan ganti rugi. Dharma adalah istilah
dalam bahasa Jawa kuno memiliki padanan dengan kata kebaikan, keadilan,
tugas kewarganegaraan, dan kebenaran, sementara Adharma adalah
kebalikannya. Pernyataannya kehadapan menteri tentang kemenangan
dharma di atas adharma adalah caranya menggunakan bahasa wayang
untuk menopang perjuangan suaminya dalam kehidupan nyata, seperti
halnya di dalam wayang, bahwa kebenaran akan memperoleh kemenangan
di atas kebohongan.
37
■^'oP/^ fCAAfirAi
ART ON TRIAL:
Sekala and Niskala
Seni di Sidang:
Sekala dan Niskala
39
FAKE PAINTING
LUKISAN PALSU
NYOMAN GUNARSA'S TRUE PAINTING
LUKISAN ASLI NYOMAN GUNARSA
This falsified painting, brought by Bapak Kristiyono to the Sumerta Gallery and then shown
to Nyoman Gunarsa for verification, was used as evidence in court.
Lukisan tiruan (palsu) ini didapat dari Bapak Kristiyono, kemudian dibawa ke Sumerta Gallery
untuk kemudian ditunjukkan kepada saya (Nyoman Gunarsa), yang kini menjadi barang bukti.
This authentic painting by Nyoman Gunarsa is in the Collection of the Museum of
Balinese Classical Art.
Lukisan asli Nyoman Gunarsa, koleksi Museum Seni Lukis Klasik Bali.
40
"I believe this life of ours is like a wayang play. Wayang is a light, an
illumination, that gives us a model of how to look for the truth."
- I Nyoman Gunarsa
Once a week for several months in the spring and
summer of 2007 the State Court in Bali's capitol
city of Denpasar was flooded with art. Early in
the morning, while the main hall was still empty,
workers carried in more than a dozen framed
canvases and lined them up against the walls
behind the judges' bench and behind the tables
for the prosecuting and defending attorneys.
Some of these paintings were the work of Nyoman
Gunarsa. Others were false copies that bore his
name. The installation of these artworks echoed
the preparations that take place before a wayang
kulit shadow play. The puppet master's assistants line up the characters on
two opposing sides of the screen, preparing the audience for the inevitable
clash between good and evil, truth and falsehood, that comes at the climax
of every story. In this case the paintings were the main characters in the
conflict that was about to unfold in court. The prosecuting attorneys would
accuse the defendant, Sinyo, of selling falsified paintings in his gallery. His
defense attorneys would argue that the paintings might be authentic, or
that in any case Sinyo thought they were when he offered them for sale. The
genuine paintings in the courtroom were not separated from the forgeries as
they might have been if they actually were characters in a wayang play, but
the battle lines between the opposing sides were clearly delineated, and the
vivid presence of the painted figures surrounding the human antagonists
heightened the sense of drama in the courtroom.
Although the judge's chairs were on raised platforms some of the six-foot
"Saya percaya hidup kita ini tak ubahnya ibarat pertunjukan Wayang.
Wayang adalah sebuah cahaya, yang menyinari, yang memberi kita
sebuah model bagaimana melihat pada sebuah kebenaran."
- 1 Nyoman Gunarsa
Suatu ketika seminggu untuk beberapa bulan
pada musim panas dan penghujan di tahun 2007
Pengadilan Negeri Bali di ibukota Denpasar
dibanjiri oleh benda seni. Paginya ruangan
utamanya masih dalam keadaan kosong, pekerja
membawa lebih dari selusin lukisan dalam kanvas
berbingkai dijejerkan ditembok dibelakang para
hakim, dibelakang meja jaksa penuntut umum, dan
pengacara pembelaan. Beberapa dari lukisan-lukisan
ini adalah karya Nyoman Gunarsa. Selebihnya
duplikat palsu dengan tanda tangannya. Instalasi
dari karya seni ini menggaungkan persiapan yang
berlangsung seperti halnya sebelum pertunjukan wayang kulit. Pembantu
dalang (katengkongj menjejerkan tokoh-tokoh dalam wayang di dua sisi
yang berseberangan di layar, mempersiapkan penonton untuk perselisihan
yang tak bisa diacuhkan diantara baik dan buruk, kebenaran dan kepalsuan
yang akan muncul pada klimaks setiap ceritera. Dalam hal ini lukisan
adalah tokoh-tokoh utamanya dalam konflik yang akan dibentangkan dalam
pemeriksaan pengadilan. Jaksa penuntut umum akan menuduh terdakwa,
Sinyo, menjual lukisan palsu pada galerinya. Pengacara pembelanya akan
berargumentasi bahwa lukisan itu adalah asli, atau dalam beberapa kasus
mengira adalah memang demikian adanya, ketika dia menjajakan itu untuk
dijual. Lukisan-lukisan asli di dalam ruang pengadilan tidak dipisahkan
dengan yang dipalsukan seperti halnya semuanya adalah tokoh-tokoh
dalam dunia pewayangan, akan tetapi garis perseteruan antara sisi yang
berseberangan sangat jelas digambarkan dan kehadirannya yang hidup dari
tokoh-tokoh yang digambarkan diseputar tokoh antagonis mempertinggi
rasa dari dramanya di dalam ruang pengadilan.
Walaupun kursinya hakim dalam posisi ditinggikan di atas panggung
41
high paintings loomed over their heads when they sat down to convene
the trial. Most of the artwork depicted traditional Balinese dancers,
captured in mid-step, as if they were about to leap oflFthe canvas
into the courtroom. The figures wore brightly colored sarongs and
flowered headdresses that filled the otherwise somber courtroom
with rainbows of visual energy. There had always been small
hints of Bali's Hindu traditions in the courtroom: the tiny shrine
of incense and offerings nailed onto the back wall; a cluttered
cabinet filled with law books and plastic bottles of holy water; the old
Javanese words 'dharma yukti (Virtue and truth') engraved in the
wooden seal under the judge's chair; and the tiny yellowing cloth that
hung over the entrance with faded hand-drawn symbols indicating
that the room had been ritually protected from the disruptive forces
of the invisible world. The significance of these small magical talismans
was magnified many times over by the invasion of the life-sized painted
dancers, who represented performers at sacred ceremonies that are at the
heart of Bali's cultural and religious identity. These sacred traditions would
be on trial along with the art.
rendah beberapa dari lukisan-lukisan yang berketinggian 180 cm
terbayang di atas kepala mereka ketika mereka duduk dalam
berkumpul untuk pemeriksaan pengadilan. Kebanyakan dari
karya seni tersebut menggambarkan penari Bali tradisional,
yang dapat ditangkap seakan ketengah melangkah sepertinya
dia hendak menari keluar dari kanvas ke dalam ruang
pengadilan. Figur-figur yang mengenakan kain sarung dengan
warna cerah dan mahkota berhias bunga yang memenuhi bahkan membuat
suram ruang pengadilan dengan pelangi dari energi visual. Selalu ada isyarat
kecil dalam tradisi Bali Hindu, juga terdapat dalam ruang pengadilan yakni
tempat pemujaan kecil fplangkiranj tempat upakara dan dupa dibakar yang
dipakukan ke tembok; sebuah almari yang dipenuhi dengan buku-buku hukum
kacau balau posisinya serta botol-botol plastik dari air suci; motto dalam
bahasa Jawa Kuno 'dharma yukti' (keadilan dan kebenaran) diukirkan pada
kayu penyegel di bawah mejanya hakim, dan kain kuning kecil menggayut di
atas pintu masuk sebagai indikasi bahwa ruangan tersebut telah diupacara
untuk perlindungan dari gangguan kekuatan dunia yang tidak kelihatan. Arti
dari magisnya jimat kecil ini dalam pelanggaran lukisan penari diperbesar
berulang kali melebihi dari ukuran tubuh manusia, yang menggambarkan
penari di dalam upacara sakral yang menjadi jantung dari identitas budaya
dan agama orang Bali.
The lawyers' attempts to differentiate truth from falsehood were played out
on many levels. While the prosecutors attempted
to prove that the paintings for sale in Sinyo's
galleries were false, the defense lawyers attacked
the credentials of many witnesses, claiming that
they were not 'true' art experts, so they could not
be trusted to judge the authenticity of the paintings.
Gunarsa's wife Indrawati was the first witness.
Shortly after she had sworn to 'tell the whole
truth and nothing but the truth,' the chief lawyer
for Sinyo's defense asked the judge to ignore her
opinions and have her testimony struck from the
record because "she is not an expert." He used the
Pengacara berusaha untuk membedakan yang asli dengan yang palsu
dimainkan dalam berbagai tingkatan. Sementara
jaksa penuntut umum berusaha untuk
membuktikan bahwa lukisan untuk dijual di dalam
Galerinya Sinyo adalah palsu, pengacara pembela
menyerang surat kepercayaan dari banyak saksi,
menuntut bahwa 'sungguh' mereka bukanlah ahli
seni, dengan demikian mereka tidak bisa dipercaya
untuk menghakimi keaslian dari lukisan-lukisan
tersebut. Indrawati, istrinya Gunarsa adalah saksi
yang pertama. Tak lama setelah dia bersumpah
untuk 'mengatakan semua yang dikatakannya
benar dan tiada lain selain kebenaran,' wakil
42
43
44
phrase disdainfully several times,
and maintained a condescending
attitude towards her throughout
the questioning. With his black
robe and dark crooked hairpiece
he swaggered across the courtroom
floor like a comic book villain,
smugly satisfied with his own
cleverness.
Indrawati, however, was a
formidable sparring partner.
Having had decades of experience as an art dealer and the curator of a
museum of antiquities owned by her husband, she turned the defense
lawyer's own words against him, prefacing many of her detailed responses
about art technique with a variation of the phrase, "You are not an expert
in the field, so how can I educate you, sir." One of her answers in response
to questions about Gunarsas 1998 stroke included information on which
side of the brain processes artistic functioning. The defense lawyer implied
that the alleged forgeries might have been painted by Gunarsa when his
motor functions were impaired by the stroke. Shocked at the accusation
that her husband could have forged his own paintings, Indrawati responded
with polite firmness to the question, "Did his work change because he had
experienced an illness?"
pengacara pembelanya Sinyo
memohon kehadapan hakim
untuk mengabaikan opininya
dan hapuskan kesaksiannya dari
rekaman mengingat "dia bukan
ahlinya." Dia menggunakan
frase dengan penuh penghinaan
berulang kali dan bersikap rendah
diri dalam mengajukan keseluruh
pertanyaannya. Dengan jubah
hitamnya dimana hitam helai
rambutnya yang tidak seimbang,
dia berjalan dengan sombongnya
melintas dilantai ruang persidangan,
tak ubahnya buku komik seorang
penjahat, dengan penuh kepuasan
akan kepintarannya sendiri.
Indrawati, bagaimanapun adalah
mitra tarung yang hebat. Dengan
memiliki pengalaman beberapa puluh tahun sebagai pedagang barang seni
dan curator dari museum antik yang dimiliki oleh suaminya, dia memutar
balikkan kembali kata-kata pengacara pembela yang ditujukan pada dirinya,
memberi pengantar secara detail pada responnya tentang teknik seni dengan
frase yang bervariasi, "Anda bukan orang ahli dalam bidang ini, dengan
demikian bagaimana cara saya mendidik anda, pak" Dalam memberi
jawaban untuk sebuah pertanyaan tentang sakit stroke-nya Gunarsa pada
tahun 1998, adalah satu dari jawabannya termasuk memberikan informasi
dalam sisi mana dari kerja otak berkenaan dengan fungsi artistiknya. Hakim
pembela menyatakan bahwa tuduhan pemalsuan barangkali memang dilukis
oleh Gunarsa ketika motor penggeraknya menjadi lemah akibat stroke yang
dideritanya. Mendengar tuduhan yang mengejutkan tersebut bahwa suaminya
telah memalsukan lukisannya sendiri, Indrawati memberi tanggapan dengan
santun dan tegas terhadap pertanyaan tersebut, "Apakah karyanya berubah
disebabkan oleh pengalaman sakitnya?"
45
"No, I am sure," Indrawati replied. "I will explain
it to you because you are not an expert in art. If
someone is an economist, the active part of the brain
is the left side, but if he is an artist, the active side
is the right side. My husband's stroke was on the
left side, so his artistic skills continued to function.
There was no change.... Because you are not an
expert, sir, I had to inform you."
^■:
•*^.
*WAKi
1«
",'/ ''i"
HENVNTUT PBMef^lNTP^H
"Tidak, saya yakin betul, " Indrawati menjawab.
"Saya akan terangkan kepada anda karena anda
bukanlah orang ahli dalam bidang seni. Jika seseorang
adalah seorang ekonomi, kerja otaknya adalah pada
bagian sisi kiri, akan tetapi jika dia seorang seniman
sisi kerja aktifnya ada pada sisi kanan. Stroke suami
saya adalah pada bagian kiri, dengan demikian
keterampilan artistiknya berfungsi normal. Tidak
ada perubahan ... Oleh karena anda bukanlah orang
ahli, pak. Saya harus beri tahu anda"
■"■"'f •>
The verbal battle between Indrawati and the lawyer
continued throughout her testimony. At one point
she asked and received permission from the judge
to walk over to the paintings lined up against the
wall as she pointed out the differences between
the forgeries and the originals. Each time she
approached the paintings she was followed by
an entourage of reporters, photographers, TV
cameramen, lawyers from both sides, and all three
judges, who stepped down from their platforms
to accommodate her. During those moments Indrawati seemed to be
controlling the courtroom single-handedly, like a charismatic lecturer in
an art gallery, or a choreographer putting a chorus of extras through their
paces. The defense lawyers huddled together at the back of the crowd that
followed Indrawati from one painting to another, while Sinyo himself stayed
in his chair and stared down at the ground. During the course of the eight-
year legal battle over the paintings Sinyo had twice tried unsuccessfully to
sue Indrawati for slander. He seemed to be still nursing the wounds of those
lost cases by pretending that Indrawati was not there at all.
-1
'^ KAI,4 r^Je^
P-
^,:
Perdebatan lisan berlanjut antara Indrawati dengan
pengacara selama kesaksiannya. Pada suatu ketika
dia memohon dan permohonannya dikabulkan
oleh hakim untuk mendekati lukisan-lukisan yang
berjejer disepanjang tembok sembari menunjuk
perbedaan diantara yang palsu dengan yang asli.
Setiap dia mendekati lukisan-lukisan tersebut dia
diikuti oleh rombongan iring-iringan fotografer,
cameraman TV, pengacara dari kedua kubu, dan
ketiga dari keseluruhan hakim, turun dari flatform
tempat duduk mereka masing-masing untuk mengakomudasi dia. Pada
saat itu Indrawati sepertinya mengendalikan ruang persidangan seorang
diri, tak ubahnya sebagai seorang pemberi ceramah yang memiliki karisma
dalam sebuah galeri seni, atau seorang koreografer memposisikan tarian
masai melalui langkah mereka. Pengacara pembela ikut berjubel pada
bagian belakang dari gerumulan keramaian mengikuti Indrawati dari satu
lukisan ke lukisan yang lain, sementara Sinyo sendiri tinggal dikursinya dan
menatap ke lantai. Selama delapan tahun jalannya perjuangan lewat hukum
atas lukisannya, Sinyo telah dua kali mencoba untuk menggugat Indrawati
atas tuduhan fitnah. Nampaknya dia masih menyusui pada luka-luka dari
kalahnya dalam kasusnya dengan berpura-pura bahwa Indrawati sama
sekali tidak berada di sana.
46
The climax of the simmering antagonism between Indrawati and the
Puncak dari pertentangan perlahan mendidih antara Indrawati dengan
defense lawyers came when they challenged her
past failure to press charges against an artist
who had copied Gunarsa's paintings. Again,
she turned the tables on them, suggesting that
although she was not an expert in the law, she
understood legal ethics and procedures more
fully than they did themselves. "Excuse me,
sir. I am not a lawyer, but I obey the laws and
understand the impropriety of making mutual
accusations. Because the police did not consider
him a suspect, there was nothing wrong in my
saying, 'I don't know. That (pressing charges) is
the right of the police, the responsibility of the police, yes the police.' Is that
true or not?" The spectators in the courtroom, who had been won over by
Indrawati's fiery demeanor, laughed and applauded her logic. The judge
was forced to intervene.
pengacara pembela datang ketika mereka
menantang kegagalan masa lampaunya untuk
mendesak menuntut seniman yang telah mencopy
lukisan-lukisan Gunarsa. Lagi dia memutar meja
kehadapan mereka, mengusulkan bahwa walau
dia ahli dalam bidang hukum, dia mengerti
etika menurut hukum dan prosedurnya lebih
lengkap dari apa yang mereka lakukan untuk diri
mereka. "Maafkan saya Pak. Saya bukan seorang
pengacara, akan tetapi saya menghormati hukum
dan mengerti ketidak pantasan bagaimana
membuat tuduhan terbalik. Oleh karena polisi
tidak mempertimbangkan bahwa dia sebagai seseorang yang dicurigai, dan
tidak ada sesuatu yang salah dari apa yang saya katakan, 'Saya tidak tahu. Itu
adalah haknya polisi, tanggung] awabny a polisi, ya polisi.' Apakah itu benar
atau salah?" Pengunjung di dalam ruangan pengadilan yang telah memberi
kemenangan akan sikapnya yang berapi-api tertawa dan memberi tepukan
tangan akan logika pemikirannya. Hakim juga didesak untuk campur tangan.
'T want to remind you again," admonished the judge, "that if you are not
asked a question, you should not give commentary, so in that way only what
is asked will be answered."
"Saya ingin mengingatkan anda lagi" Hakim mengingatkan, "bahwa jika
anda tidak diminta untuk bertanya anda harus tidak memberi komentar,
demikianlah semestinya apa yang dipertanyakan akan dijawab"
Indrawati's response to the judge was respectful, but it also expressed her
disapproval of the way in which the lawyers were using distractions to blur
the distinctions between what was true and what was false. "If things are
not clear," she said pointedly, "I also will not answer."
Indrawati memberi respon kehadapan hakim dengan penuh hormat, akan
tetapi juga mengekpresikan penolakannya dari cara yang mana pengacara
menggunakan cara menyembunyikan untuk mengaburkan perbedaan antara
apa yang benar dan apa yang salah. "Bila sesuatunya tidak jelas" katanya
dengan tajam, "Saya juga tidak akan menjawab"
The judge was forced to concede her point. "In that case the court will
make things clear."
Hakim juga ditekan untuk mengakui poinnya. "Pada kasus itu pengadilan
akan membuat segala sesuatunya jelas"
"Ali right, sir," Indrawati replied, satisfied for the moment. "Thank you."
"Baiklah, Pak" Jawab Indrawati, mengenakkan untuk sementara. "Terima
kasih"
47
By the end of her testimony Indrawati had transformed the courtroom into
a stage where the battle between the true and the false was heightened by the
personal antagonism between the participants, and the theatrical tension of
their dialogue. The paintings had become major characters in the conflict
by virtue of her visiting them each in turn to point out their virtues and
their flaws. Indrawati had also enlivened the courtroom with laughter.
Like the comic servant Twalen, the most beloved of all Wayang characters,
whose humble appearance belies his divine origins and uncommon wisdom,
Indrawati outsmarted the arrogant antagonists who tried to dismiss her as
a minor player in the drama. When given an opportunity to dispute her
testimony, Sinyo began to make a few points, but gave up. "Actually, I cannot
have a conversation with her, because she talks too much," he said in a tone
of resignation.
Pada akhir dari kesaksiannya Indrawati telah mentransformasikan ruang
pengadilan menjadi panggung dimana perseteruan diantara kebenaran
dan kepalsuan telah dipertinggi oleh personalnya antagonis dengan para
peserta, dan ketegangan teatrikal dari dialog mereka. Lukisan-lukisan
tersebut menjadi karakter pokok di dalam konflik dengan kebaikannya
telah mengunjunginya semua satu persatu bergiliran untuk menunjuk
kebenarannya dan kecacatannya. Indrawati juga meramaikan ruang sidang
pengadilan dengan penuh tawa. Seperti abdi yang lucu Twalen, yang paling
dicintai dari sekian banyak tokoh dalam wayang yang karena kerendahan
hati penampilannya terbentang sifat asli ketuhanan dan kebijaksanaan yang
tidak asing, Indrawati jauh lebih pintar dibanding antagonis yang arogan
yang mencoba untuk membebaskan dia sebagai pemain minor di dalam
drama. Ketika dia diberikan kesempatan atas perselisihan kesaksiannya,
Sinyo mulai membuat beberapa poin, akan tetapi menyerah. "Sesungguhnya
saya tidak bisa bercakap-cakap dengannya, karena dia berbicara terlalu
banyak" katanya dalam suara mengundurkan diri.
Indrawati had the last word, responding to Sinyo's accusation that she had
physically attacked the false paintings in his gallery by reminding the court
she had already been cleared of those charges in a prior trial. "I would add,"
she concluded, "that... during the time I was put on trial, the witnesses
contradicted him (Sinyo)."
Indrawati mempunyai kata terakhirnya, memberi respon pada tuduhannya
yang secara pisik dia telah serang pada lukisan-lukisan palsu di dalam
galerinya dengan mengingatkan pengadilan dia sudah secara gamblang
terhadap tuntutannya pada peradilan terdahulu. "Saya mau tambahkan," dia
menambahkan, "bahwa., selama kurun waktu saya perkarakan, para saksi
mengkontradiksi dia (Sinyo)."
Indrawati had set the tone of the trial, by refusing to be bound by the traditional
decorum of the law, turning the courtroom into both an art gallery and a
stage. She had also initiated an inquiry into the deeper meanings of truth and
falseness that went beyond simply determining whether or not a painting was
counterfeit. In recounting her first meeting with an employee in Sinyo's gallery
she quoted herself as saying that Gunarsa's paintings "embody the image of
Indonesia.... Why are you falsifying Bali itself?" Her question to the gallery
employee was for her the heart of the trial's meaning. She saw in Gunarsa's
paintings the "image of Indonesia.... especially Bali" and that is what she felt
was being falsified by the forged paintings. When pressed to define what is
was that differentiated the original paintings of Gunarsa from the copies.
Indrawati telah menseting sifat peradilan, dengan menolak untuk diikat oleh
kesopanan tradisional dari hukum, memutar ruang pengadilan menjadi galeri
seni dan tempat pertunjukan. Dia juga menginisiasikan sebuah penyelidikan
ke dalam arti yang lebih dalam dari kebenaran dan kepalsuan yang
melampaui hanya untuk menentukan apakah ya atau tidak lukisan tersebut
dipalsukan. Dalam menceriterakan pertemuan pertamanya dengan pekerja
di galerinya Sinyo dia mengutip pembicaraan dirinya bahwa lukisannya
Gunarsa "perwujudan kesan Indonesia... Kenapa kamu memalsukan Bali
sendiri?" Pertanyaannya kepada pekerja galeri baginya merupakan hal yang
paling esensial dalam pemeriksaan pengadilan. Dia melihat pada lukisannya
Gunarsa "citra Indonesia.... khususnya Bali" dan itulah yang mebuat dia
48
FAKE PAINTING
LUKISAN PALSU
NYOMAN GUNARSAS TRUE PAINTING
LUKISAN ASLI NYOMAN GUNARSA
On this sticker is written "The work of Nyoman Gunarsa"
Sticker yang tertuliskan karya Nyoman Gunarsa
Lukisan tiruan (palsu) yang diketemukan di CelHni Gallery milik Hendra Dinata
alias Sinyo, Jl. Gatot Subroto Denpasar.
This falsified painting was found in the Cellini Gallery, owned by Hendra Dinata,
alias Sinyo, Jalan Gatot Subroto, Denpasar.
Foto ini diambil oleh Indrawati Gunarsa, sewaktu Polisi dari Polda mengantar ke Gallery
Cellini Jl. Gatot Subroto Denpasar untuk mencari kebenaran bahwa Gallery tersebut
menjual lukisan tiruan (palsu) Nyoman Gunarsa.
This photo was taken by Indrawati Gunarsa, at the time that officers from the district police
accompanied her to Gallery Cellini on Jalan Gatot Subroto to confirm that the gallery was
selling paintings falsely attributed to Nyoman Gunarsa.
This painting was used for comparative purposes in the investigation by Balinese District Police.
Pembanding baru yang dipergunakan oleh penyidik Polda Bali.
49
she used the Javanese phrase
"mbalung sumsum" to explain
that her husband had assimilated
the music and movements of
Balinese sacred dances "in the
marrow of his bones," and that
it was this cultural essence that
he communicated through the
'soul' of his artistry. With those
remarks Indrawati made it clear
that in the case of Gunarsa's artwork, the court could not fairly determine the
nature of truth and falsity in the visible world of commerce and copyright
without examining the nature of truth and falsehood in the invisible world of
spiritual beliefs that are at the core of Bali's cultural identity. Her husband's
testimony would amplify those ideas, and other 'experts' would also refer to
the 'soul' of his paintings, but Indrawati was the first to link Gunarsa's case
to the invisible world of niskala and the falsification of cultural identity.
merasa telah dibohongi oleh
pemalsu lukisan. Ketika ditekan
untuk mendefinisikan apakah
yang membedakan lukisan
aslinya Gunarsa dari copynya,
dia gunakan frase bahasa Jawa
"mbalung sumsum" untuk
menerangkan bahwa suaminya
telah mengasimilasikan musik
dan gerakan tari sakral Bali "di
dalam sumsum tulangnya," dan itulah esensi dari kebudayaan ini dan dia
mengkomunikasikannya melalui jiwa dari keterampilan kesenimanannya.
Dengan ucapannya itu Indrawati membuatnya jelas bahwa di dalam kasus
karyanya Gunarsa, pengadilan tidak dapat secara adil menentukan secara
alami kebenaran dan kepalsuan di dunia nyata dari perdagangan dan hak cipta
tanpa mengeksaminasi secara alami akan kebenaran dan kepalsuan di dunia
tidak nyata dunianya kepercayan spiritual yang menjadi inti dari identitas
budaya orang Bali. Kesaksian suaminya akan memperkuat ide tersebut dan
ahli yang lain yang juga menunjuk pada jiwa dari lukisan-lukisannya,
sesunguhnya Indrawati adalah orang yang pertama menghubungkan
kasusnya Gunarsa ke alam tidak nyata yakni dunia 'niskala.' dan pemalsuan
dari identitas budaya.
Over the next few months more than a dozen witnesses followed Indrawati
to give testimony. The most frequently asked question during the court's
proceedings was "How can you identify the difference between the false
paintings and the originals?" Almost all of the art experts, museum curators,
and professors gave variations of the same answer. "The forgeries do not
have the artist's "soul." They used the word "jiwa" to indicate the invisible
essence that gave Gunarsa's work its artistic distinctiveness and 'soul.'
Selama beberapa bulan berikutnya lebih dari selusin saksi mengikuti Indrawati
untuk memberi kesaksiannya. Yang paling sering melayangkan pertanyaan
selama cara kerjanya pengadilan adalah "Bagaimana saudara dapat
mengidentifikasi perbedaan antara lukisan palsu dengan yang asli." Hampir
seluruh dari ahli seni, museum curator, dan professor memberi variasi dari
jawaban yang sama. "Yang palsu tidak memiliki jiwa' senimannya" Mereka
gunakan kata "jiwa" untuk mengindikasikan esensi yang tak nampak yang
membuat karyanya Gunarsa memiliki perbedaan artistik dan jiwa!
It was up to Gunarsa himself to define exactly what it was that constituted
the 'soul' of his paintings. He began his testimony with an intellectual
definition of his style that referred to the sense of proportion, perspective
50
Sampai pula pada Gunarsa sendiri untuk memberi definisi persis apa yang
mendasari dari jiwa' lukisan-lukisannya. Dia memulai kesaksiannya dengan
definisi intektual dari gayanya yang menunjukkan pada rasa secara proporsi.
and anatomy that differentiated his work from the forgeries, but eventually
he felt compelled to abandon this rational approach and provide what he
felt was irrefutable proof of his argument. He danced. Gunarsa stood
up in the courtroom and used his own body to prove that the forgeries
misrepresented the traditions embedded in Balinese choreography. He
took the position of one of the dancers in the false paintings and explained,
"You can see how a person whose legs were in a position like that would fall
down. . . It is unbalanced."
Gunarsa then demonstrated the correct dance stances. The spectators in
the courtroom applauded his testimony as if it were a performance. He was
not only defending the integrity of his identity as a painter. He was also
defending the integrity of Balinese traditions as they are embodied in the
movements of its dancers. The dances depicted in the paintings take place
during sacred ceremonies. The choreography is an offering to the Gods. The
exquisite balance displayed by the highly trained dancers is a manifestation
of a deeper spiritual balance that is a cornerstone of the Balinese Hindu
religion. According to Balinese beliefs, humans are engaged in an ongoing
struggle to maintain their equilibrium in spite of forces from the invisible
world that pull them up towards the Gods
in heaven and down towards the demons
of the underworld. The body of a Balinese
dancer is a microcosm of that invisible tug of
war, a physical embodiment oVruabineda in
action. The elbows, rib cage, fingertips and
toes are always straining upwards against
gravity while the torso sinks on bended knees
towards the ground. These conflicting forces
pulling in opposite directions within a single
dancer s body give Balinese choreography its
dynamic tension and spiritual integrity. To
depict these sacred dances in careless copies
that are "unbalanced" is an artistic travesty
verging on sacrilege. The forgeries not only
perspektif, anatomi yang membedakan karyanya dengan yang palsu, akan
tetapi pada akhirnya dia merasa terpaksa untuk mengabaikan pendekatan
rasional ini dan menyediakan apa yang dia rasa sebagai bukti yang tidak
dapat dibantah dari argumentasinya. Dia menari. Gunarsa berdiri di ruang
pengadilan dan menggunakan badannya sendiri untuk membuktikan lukisan
yang palsu itu salah penyajian tradisi yang terpancang dalam koreografi Bali.
Dia mengambil satu posisi dari satu lukisan palsu dan menerangkan, "Anda
akan melihat bagaimana seseorang dengan kakinya dalam posisi seperti itu,
dia akan jatuh... Itu tidak seimbang"
Gunarsa kemudian mendemonstrasikan cara berdirinya seorang penari
yang benar. Pengunjung di dalam ruang pengadilan bertepuk tangan atas
kesaksiannya sepertinya itu adalah sebuah pertunjukan. Dia tidak hanya
mempertahankan integritas dari identitas dirinya sebagai pelukis. Dia
juga mempertahankan integritas dari tradisi Bali seperti semuanya sebagai
perwujudan di dalam gerakan tariannya. Para penari yang digambarkan
dalam lukisannya mengambil tempat pada upacara sakral. Koreografinya
adalah sesajen persembahan kehadapan Tuhan. Keseimbangan yang indah
dipertontonkan oleh penari yang terlatih adalah sebagai manifestasi dari
kedalaman keseimbangan spiritual sebagai dasar bagi orang Bali yang
beragama Hindu. Menurut kepercayaan orang
Bali manusia adalah bersentuhan dengan
pergumulan yang tak pernah berkesudahan
mempertahankan keseimbangan kendatipun
ada tekanan dari dunia tidak nyata yang
menarik semuanya ke atas menuju Tuhan di
sorga dan turun ke arah alam raksasa di bawah
bumi. Badan penari Bali adalah mikrokosmos
dari kekuatan yang saling tarik menarik
sebagai perwujudan ruabineda dalam gerak
secara pisik. Siku, tulang belikat, jari tangan
dan jari kaki selalu membuat ketegangan naik
melawan grafitasi sementara batang tubuh
tenggelam dalam bengkokan lutut menuju
lantai. Kekuatan yang bertentangan ini tarik
51
52
diminish the reputation of the painter, they diminish the reputation of the
island and its culture as well.
Gunarsas use of dance as courtroom evidence reveals the extent to
which traditional Balinese performing art forms have shaped his identity
as a painter. When challenged to define the 'soul' of his work, Gunarsa
instinctively began to move, accompanying his improvised choreography
with gamelan melodies that he hummed to himself as he shifted his limbs
into positions that matched the lines he had drawn into his paintings of
the dancers. In a 2003 interview Gunarsa said that his paintings were
inextricably linked to the traditional Balinese music he listened to when
he drew them. "I am drawing the lines as I would sing," he said at the time.
"I set the colors as I would dance... My lines are my music. My colors are
my dance." (Wayan Sukra, Moksa, Jakarta: 2003, p. 37) Now Gunarsa was
demonstrating that claim in a courtroom, dancing his colors and singing his
lines before a judge.
When he argues for copyright laws as a means of maintaining the integrity
of Bali's traditional arts, Gunarsa is not talking about a hollow quest for
authenticity that would lead to the rigid mummification of form and content.
He is fighting for the vibrant Balinese traditions that are constantly evolving
and responding to political, social, and artistic influences from Indonesia
and abroad. Like many Balinese performing and visual artists Gunarsa's
work has been influenced by foreign sources, but it remains deeply rooted in
the traditions that give Balinese art its distinctive spirit. He calls this blend
a 'local-universal' style.
menarik ke arah yang bertentangan dalam badan setiap penari memberi
koreografi ketegangan dinamika dan spiritual integritas. Untuk melukis
tarian sakral seperti ini dalam copian yang kurang peduli pada membuatnya
'tidak seimbang adalah sebuah artistik parodi diambang pelanggaran pada
hal-hal yang dianggap keramat. Pemalsuan tidak saja menurunkan reputasi
pelukisnya, mereka menurunkan reputasi daerahnya dan budayanya juga.
Gunarsa menggunakan tarian sebagai bukti dalam ruang persidangan
mengungkapkan tingkatan yang mana seni pertunjukan Bali dibentuk
oleh identitasnya seperti halnya pada pelukis. Ketika menantang untuk
mendapatkan jiwa dari karyanya, Gunarsa secara naluriah mulai bergerak
menyertai improvisasi koreografinya dengan melodi gamelan yang dia
senandungkan sendiri sewaktu dia membentuk anggota tubuhnya ke dalam
posisi yang cocok dengan garis yang dia goreskan kedalam lukisan penari-
penarinya. Bertahun-tahun sebelum pemeriksaan pengadilan dia pernah
memberi tahu seorang pewawancara (Wayan Sukra, Moksa, Jakarta: 2003. p.
37) yang lukisannya tidak mungkin dapat melepaskan diri dari keterkaitannya
dengan musik Bali tradisional yang dia dengarkan sewaktu dia melukis.
"Saya menggoreskan garis-garis seperti saya sedang bernyanyi" katanya pada
waktu itu. "Saya set warnanya seperti halnya saya mau menari... Garis saya
adalah musik saya. Warna saya adalah tarian saya" Sekarang Gunarsa telah
mendemonstrasikan tuntutan tersebut dihadapan hakim di dalam ruang
persidangan, menari adalah warnanya dan bernyanyi adalah garisnya.
Manakala dia memperdebatkan untuk hukum hak cipta sebagai artian untuk
memelihara integritas seni tradisional Bali, Gunarsa tidaklah membahas
tentang gaung pencaharian untuk keaslian yang akan mengantarkan pada
kekakuan pengawetan mayat dari bentuk dan isi. Dia memperjuangkan
untuk getaran tradisi Bali yang secara terus menerus mengembangkan dan
menjawab terhadap politikal, sosial, dan pengaruh-pengaruh artistik dari
Indonesia dan dunia luar. Seperti banyak seniman seni pertunjukan dan
seniman seni rupa, karyanya Gunarsa telah dipengaruhi oleh sumber-sumber
asing, akan tetapi tetap mengakar pada tradisi yang dapat memberi pada
khasanah kesenian Bali spirit yang berbeda. Dia sebut ini gaya campuran
'lokal-universaV
53
FAKE PAINTING
LUKISAN PALSU
NYOMAN GUNARSA'S TRUE PAINTING
LUKISAN ASLI NYOMAN GUNARSA
/ "^ *-
' T
X-
••a
^f
'i»
.*»
— ^
^i-'d^^
This false painting was found in "Gallery Cellini," owned by Hendra Dinata, alias Sinyo,
on Jalan Gatot Subroto, Denpasar.
Lukisan tiruan (palsu) ini diketemukan di Gallery Cellini milik Hendra Dinata
alias Sinyo, Jl. Gatot Subroto Denpasar.
This original painting by Nyoman Gunarsa was published as part of an exhibition shown
at the Arcade Gallery in Old Oakland, California, USA.
Lukisan asli Nyoman Gunarsa yang telah dibukukan pada pameran tunggal
di Arcade Gallery, Old Oakland, California USA.
54
At the core of Balinese art is a Hindu-animist tradition that affirms the
interconnectedness of the invisible world of the gods and the visible world
of man. It is also a tradition that reveres artistic expression as a means for
keeping the connection between those worlds alive. The arts themselves are
also connected with each other to an extent that is rarely found in Western
artistic traditions. Balinese performing artists are trained in singing, dance,
literature, and the playing of musical instruments, and these forms are
rarely performed in isolation from one another. As a painter, Gunarsa has
assimilated these interlocking visions of artistry and spirituality.
"I listen to gamelan music when I paint so that I can give shape to the colors
and movements that are in the melodies," he explains. "I do not always
achieve my goal, but my ideal desire is to paint the essence of the music."
Gunarsa's understanding of the link between traditional music and painting
is rooted in Balinese religious beliefs. Sacred books preserved in the form of
palm leaf manuscripts called lontars explain the connection in detail: Each
musical note in the pentatonic scale is written with a sacred symbol that
corresponds to a color, a god, a spatial direction, and a place in the human
body.
One of the watercolors Gunarsa painted after the trial expresses these
overlapping relationships with a diagrammatic depiction of dancing gods
emanating from colors that originate on the keys of a traditional metal
xylophone from a Balinese gamelan orchestra. Other watercolors depict
dancing human forms that grow out of the shapes of the traditional Balinese
alphabet used in the writing of sacred religious literature like the Ramayana
and the Mahabhrata. When Gunarsa paints, he is creating images infused
with colors, shapes, and lines that cannot be separated from the music,
religious stories, and sacred dances that have influenced him since childhood.
Although he has developed his own distinctive style as an artist, it has been
formed in the cauldron of Balinese interlocking traditional arts. When he
fights for the intellectual property rights of Balinese artists (and by extension
Pada intinya seni tradisi Hindu- animisme Bali yang menegaskan saling
bertautannya dunia tidak nyata dunia dewa-dewa dengan dunia nyata
dunianya manusia. Itu adalah juga tradisi yang memuja-muja ekspresi
artistiknya sebagai arti untuk menjaga koneksi diantara kedua dunia itu
hidup. Seni itu sendiri adalah juga berhubungan dengan satu sama lain untuk
diperluas yang jarang didapat dalam tradisi artistik didunia Barat. Seniman
seni pertunjukan dilatih dalam bernyanyi, menari, literature, dan memainkan
musikal instrument, dan bentuk-bentuk seperti ini jarang dipentaskan dalam
keterpisahannya dari satu elemen dengan yang lainnya. Sebagai seorang
pelukis, Gunarsa telah mengasimilasikan pandangan terjalin ini kedalam
keterampilan kesenimanannya dan spiritualitasnya.
"Saya mendengarkan gamelan ketika saya melukis, dengan demikian saya
mencoba untuk memberi bentuk pada pewarnaannya dan gerakan pada
melodinya," katanya menerangkan. "Saya tidak selalu dapat mencapai
tujuan saya, akan tetapi keinginan ideal saya adalah melukis pada esensi
dari musik" Pengertian Gunarsa akan keterkaitan antara tradisional
musik dan lukisan mengakar dalam kepercayaan agama orang Bali. Buku
suci dipreservasi di dalam bentuk manuskrip pada daun lontar yang dapat
menerangkan koneksinya secara detail: Setiap notasi nada musik Bali yang
berlaras pentatonik ditulis dengan simbol suci yang berhubungan dengan
warna, dewa, dan spasial arah, dan tempatnya dalam diri manusia.
Satu dari lukisan cat airnya Gunarsa yang dilukis setelah pemeriksaan
pengadilan, mengekspresikan tumpang tindihnya hubungan ini dalam
penggambaran diagram dari tarian tubuh para dewa berasal dari warna, yang
aslinya berasal dari bilah gender orkestra gamelan Bali. Ada lukisan cat air
lainnya mengambarkan manusia dalam tariannya tumbuh keluar membuat
bentuk alphabet tradisional Bali yang digunakan dalam menulis literatur
sakral keagamaan seperti Ramayana dan Mahabharata. Ketika Gunarsa
melukis, dia menciptakan kesan memasukkan warna, bentuk, dan garis yang
tak bisa dipisahkan dari musik, ceritera keagamaan, dan tarian suci yang
mempengaruhi dia sejak masa kanak-kanak. Walau dia mengembangkan
gayanya sendiri yang khas sebagai seorang pelukis, itu telah dipalsukan dalam
kawah dari ketersambungan Seni Bali tradisional. Ketika dia berjuang untuk
55
all Indonesian artists), he is fighting to preserve the integrity of a style that is
enriched by its local heritage. The falsified copies and illegal reproductions
of that work degrade the integrity of that vibrant tradition, diminishing the
original work in hollow imitations. "The false paintings have my name, but
not my soul," laments Gunarsa referring not only to his individual soul, but
also to the soul of his island.
Another part of Gunarsa's testimony that was as significant as his dance, but
not as dramatic, was his response to the defense lawyer's questions about
the meaning of abstract impressionism. Gunarsa admitted that although his
works were essentially Balinese, they had been influenced by the abstract-
impressionist movement. The lawyer then tried to suggest that this genre of
art was so vaguely defined that it could not be forged. Any copy, he implied,
could be seen as a legitimate attempt to express an abstract impression of a
subject. While debunking the absurdity of the lawyer's questions, Gunarsa
gave his own personal definition of abstract expressionism as it appears in
his work. "I choose abstraction because I like to be free, especially in the
background. Freedom. Abstraction. Expressing what cannot be seen."
In these simple sentences Gunarsa expressed an essential element of his
unique style: the ability to express "what cannot be seen." The invisible
world (niskala) of spirits, ancestors, gods, and demons, that the Bahnese
believe to be co-existent with the visible world (sekala) of their material
lives, is represented as an "abstraction" found "in the background" of all his
paintings. This rich background of swirling abstract shapes gives spiritual
depth and balance to all his sketches and paintings. No matter what their
ostensible subject matter, they are all situated in the teeming spirit world of
niskala that is at the core of the Balinese world-view.
hak atas kekayaan intelektual dari seniman Bali (dan dengan pengembangan
untuk seluruh seniman Indonesia), dia berjuang untuk preservasi integritas
gaya yang diperkaya oleh warisan lokal. Pemalsuan peniruan dan reproduksi
legal dari kerja tersebut menurunkan integritas dari getaran tradisi,
mengurangi karya asli karena gaungnya imitasi. "Pada lukisan palsu itu
tertera nama saya, akan tetapi tidak jiwa saya" keluh Gunarsa menunjuk
tidak hanya pada jiwa dirinya, tetapi juga pada jiwa tanah kelahirannya.
Bagian lain dari kesaksian Gunarsa adalah sangat penting seperti tariannya
dan bukan sebagai dramatik, adalah responnya kepada pertanyan pengacara/
pembela tentang arti dari abstrak impresionisme. Gunarsa mengakui
kendati karya-karyanya pada intinya bercorak Bali semuanya dipengaruhi
oleh gerakan abstrak impresionisme. Pengacara kemudian mencoba untuk
mengusulkan bahwa jenis seni seperti ini samar-samar digambarkan yang
tidak dapat untuk dipalsukan. Copy apa saja, dia menyiratkan akan dapat
dilihat sebagai sebuah usaha yang sah untuk mengekspresikan subjek abstrak
impresionisme. Sementara membuktikan ketidak benaran dari kemustahilan
pertanyaan-pertanyaan pengacara, Gunarsa memberikan definisinya sendiri
tentang abstrak ekspresionisme seperti yang muncul pada lukisannya. "Saya
memilih abstraksi oleh karena saya menyukai kebebasan, khususnya pada
latar belakang. Kebebasan. Abstraksi. Mengekspresikan secara kasat mata
apa-apa yang tidak dapat dilihat"
Dalam kalimat yang sederhana ini Gunarsa mengekspresikan elemen yang
mendasar dari keunikan gayanya: kemampuan untuk mengekspresikan
"sesuatu yang tidak nampak" Dunia yang tidak nyata Cniskalaj dunianya
spirit, para leluhur, para dewa, dan raksasa yang dipercaya oleh orang Bali
menjadi kelangsungkan dari dunia nyata (sekalap dari kehidupan material
mereka adalah dipersembahkan sebagai sebuah bentuk "abstraksi" terdapat
"dalam latar belakang" dari seluruh lukisannya. Latar belakang yang kaya
dengan bentuk-bentuk abstrak melingkar memberi kedalaman spiritual dan
keseimbangan untuk seluruh sketsa dan lukisan-lukisannya. Apapun pura-
puranya pokok persoalan, semuanya disituasikan dalam padatnya spirit dari
dunia niskala jyan^ menjadi inti dari pandangan orang Bali terhadap dunia.
56
>^
-.;"— / '
C (■
/,
«•
<" ^
^
^fNJs
57
According to Gunarsa, many of these indecipherable shapes in the
background of his paintings are abstractions of Bahnese symbols called
aksara. On one level the aksara are letters in the Balinese alphabet, but they
can also be used as magically charged symbols in the chanting of mantras
intended to influence the forces of the invisible world. The aksara are also
associated with notes on the musical scale, colors, parts of human anatomy,
the positions of the gods in the heavens, and supernatural weapons associated
with each of the gods. Some versions of Balinese mythology attribute the
origins of the aksara to the goddess of wisdom and literature, Saraswati, who
is associated with the small lizard known in Balinese as cecek, which is also
the word for a dot or a point. On the day designated to honor Saraswati, the
goddess is given offerings in the shape of a cecek lizard, but they are also
adorned with tiny dots to acknowledge the double meaning of the word and
the fact that all written words begin with dots. Dots are the elements that
are arranged together to form the shapes of lines and curves that make up
the aksara letters that spell the words. Dots are also the elements that make
up all the lines and curves in visual art, and by extension Gunarsa attributes
the origins of all Balinese art forms to all the aksara bestowed on the world
by Saraswati. Because Saraswati is associated with wisdom, truth, and the
cecek lizard, it is believed that having one's words punctuated by the croaking
of the lizard is a sign from the invisible world that the words just spoken
were true. So it is understandable that between court sessions Gunarsa's
thoughts and drawings would turn to the subject of Saraswati, bestower of
truth.
Menurut Gunarsa banyaknya bentuk-bentuk yang tidak dapat diketemukan
ini sebagai latar belakang lukisannya adalah bentuk abstrak dari simbol-
simbol Bali yang disebut aksara. Dalam satu tingkatan aksara adalah huruf
dalam abjad bahasa Bali dan semuanya juga dapat digunakan sebagai
simbol kekuatan di dalam melantunkan mantera-mantera diharapkan dapat
mempengaruhi kekuatan dari dunia tidak nyata. Aksara jw^a diasosiasikan
dengan notasi dalam laras karawitan Bali, warna, bagian dari anatomi badan
manusia, posisinya para dewa di sorga, dengan senjata supra naturalnya yang
diasosiasikan untuk masing-masing para dewa. Beberapa versi dari atribut
mitologi Bali sebagai asal muasal dari aksara yaAin/ Dewi Saraswati lambang
kebijaksanan dan literature, juga disosiasikan dengan binatang cecak, di
Bali dikenal dengan nama 'cecek.' juga sebuah kata untuk penyebutan titik.
Pada hari yang menunjuk untuk menghormati Dewi Saraswati, sang Dewi
dihaturkan sesajen di dalam bentuk binatang cecak, di samping juga dihiasi
dengan titik-titik kecil untuk mengakui adanya arti ganda dari kata tersebut
dan pada kenyataannya bahwa semua penulisan kata dimulai dari titik.
Titik merupakan elemen-elemen yang dapat diatur ke dalam bentuk garis,
melengkung yang membentuk aksara huruf yang diucapkan sebagai kata-
kata. Titik juga sebagai elemen yang dapat membentuk berbagai jenis garis
lurus dan garis lengkung di dalam seni lukis, dan sebagai pembentangan
atributnya Gunarsa sumber asli semua jenis bentuk seni dengan seluruh
aksara memberi anugrah untuk dunia oleh Dewi Saraswati. Oleh karena
Dewi Saraswati diasosiasikan dengan kebijaksanaan, kebenaran, dan
binatang cecdik yang dipercayai memiliki satu kata sebutan titik (cek) dengan
suaranya cecak sebagai tanda dari dunia tidak nyata dari kebenaran yang
baru saja disuarakan. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa diantara
sesi pengadilan, pikiran Gunarsa dan lukisan-lukisan akan berpaling ke
subjek Saraswati sebagai penganugrahan kebenaran.
In one of his drawings Gunarsa depicts the goddess floating above a cecek
lizard surrounded by dots, while she is encircled by aksara letters of the
Balinese alphabet. Emanating from the dots around the lizard are lines that
point towards a dancer, a musician, a painter, a sculptor and an architect.
This vision of the birth of the arts as being inseparable from the creation of
aksara is consistent with Gunarsa's belief that "all Balinese art forms begin
Satu diantara lukisannya Gunarsa menggambarkan sang Dewi mengambang
di atas binatang cecak diitari oleh titik-titik, sementara sang Dewi diitari
oleh aksara, huruf-huruf dari abjad Bali. Terpancar dari titik-titik diseputar
cecak adalah garis-garis yang menunjuk ke arah penari, pemusik, pelukis,
pematung, dan arsitektur. Pemandangan kelahiran dari berbagai bentuk seni
kreasi tidak terpisahkan dari aksara menjadi tetap dengan kepercayaannya
59
with the aksara!' The background of the drawing is filled with abstracted
miniature aksara. This sketch of Saraswati as the mother of art and literature
is an explicit embodiment of the interpenetration of visible and invisible
worlds that is implicit in all his work.
One of the most sacred aksara is called the ongkara. It is a visualization of the
syllable 'om' which is itself a conflation of three other syllables representing
the Hindu trinity of Brahma, Siva, and Visnu. After one of the trial sessions,
Gunarsa retreated to the comfort of the studio at his home in Klungkung,
where he reflected on the nature of the aksara as he drew. "The fundamental
shape of the aksara is a triangle," Gunarsa says as he sketches three triangles
radiating outwards from the 'om' aksara. Below each triangle he draws three
letters of the aksara alphabet. "Each letter has the elements of a dance," he
says as he transforms the curves of the three letters into the limbs of three
dancers, preserving the triangular core of each moving figure. Without
reference to or knowledge of the French writer Antonin Artaud, Gunarsa is
proving the critic s observation that Balinese dancers actually are animated
hieroglyphs. Gunarsa is using a bamboo pencil on paper to animate the
Balinese alphabet in a sketch that captures the essence of his approach to
painting Balinese dance. The complex conceptual framework of this drawing
is what Gunarsa attempted to communicate through his demonstrative
dance in the courtroom. The sacred dances, mantras, aksara, music and
mudra gestures of Balinese priests are all inextricably linked to one another,
and a true representation of the dances has to take into account that spiritual
unity. Gunarsa's dance in the courtroom illustrated the soul of his paintings
in action. His sketch illustrated it on paper. His drawing depicted the bodies
of Balinese dancers as animated embodiments of a sacred alphabet.
To complete the concept he was trying to illustrate in his studio, Gunarsa
framed the bm' aksara and the three dancing letters with drawings of the
two most sacred figures in Balinese dance. Barong and Rangda. Barong is a
Gunarsa bahwa, "semua bentuk seni Bali dimulai dari aksara." Latar belakang
dari lukisannya dipenuhi dengan mininatur abstrak dari aksara. Sketsa
Saraswati ini sebagai ibu dari seni dan literatur adalah perwujudan langsung
dari interpenetrasi dunia nyata dan dunia tidak nyata yang terkandung pada
semua karyanya.
Satu yang paling sakral diantara aksara disebut ongkara. Itu adalah
visualisasi dari silabel 'Om' yang mana di dalamnya merupakan gabungan
dari tiga silabel perwujudan dari Sanghyang Tri Murti yakni Brahma, Siwa
dan Wisnu. Seusai satu sesi pemeriksaan pengadilan Gunarsa mundur
untuk menghibur diri di studio di rumahnya di Klungkung, dimana dia
refleksikan sifat alami aksara tersebut ketika dia melukis. "Bentuk dasar
dari aksara adalah segi tiga" kata Gunarsa sembari mensketsa tiga segitiga
sebagai pancaran keluar dari aksara 'Om! Di bawah masing-masing segitiga
dia melukis tiga huruf dari abjad aksara. "Setiap huruf memiliki elemen
tarian" katanya ketika dia mentransformasikan lekukan dari ketiga huruf ke
dalam wujud tiga penari, memelihara esensi bentuk segi tiga tersebut. Tanpa
referensi terhadap pengetahuan dari seorang penulis Francis Antonin Artaud,
Gunarsa telah membuktikan observasi kritis bahwa penari Bali sesungguhnya
adalah animasi hieroglyphs (bahasa yang divisual dengan simbol-simbol).
Gunarsa menggunakan pensil bambu pada kertas untuk menghidupkan
abjad huruf Bali ke dalam sketsa yang dapat ditangkap esensi pendekatannya
ke dalam lukisan tarian Bali. Konsepsi yang kompleks sebagai bingkai kerja
dari lukisannya apa yang Gunarsa coba komunikasikan dengan demontrasi
tariannya di ruang persidangan. Tarian suci, mantra, aksara, musik dan
gerakan mudra tangan pendeta tidak memungkinkan keluar melepaskan
diri hubungan satu sama lain, dan presentasi tari-tarian sesungguhnya telah
memberitahukan persatuan spritual tersebut. Tariannya Gunarsa di ruang
pemeriksaan pengadilan mengilustrasikan jiwa dari lukisannya dalam bentuk
aksi. Lukisannya mengambarkan wujud dari penari-penari Bali seperti yang
dihidupkan ke dalam wujud abjad suci.
Melengkapi konsep yang dia coba ilustrasikan di studionya, Gunarsa
membingkai aksara om' dengan tiga tarian huruf dengan lukisan dari dua figur
yang paling suci yakni Barong dan Rangda. Barong adalah mahluk menyerupai
60
61
62
.,^-itii'ltfc
-^ • ■ -:>
Art '^
dragon-like creature who represents positive protective forces, and Rangda
is a fanged demonic female who represents negative destructive forces.
These two fantastical embodiments of ruabineda are traditionally pitted
against one another in temple dances, and Gunarsa draws them on opposite
sides of his dancing alphabet, singing in the low demonic growl associated
with Rangda as he sketches her wildly flailing limbs. The painter sings the
music associated with Barong as he draws the calmer but still vibrant form
of the dragon. Like the dancers in his paintings, these figures are alive with
movement, as is Gunarsa's entire body when he draws them. Part of the flow
of movement from arm to hand to bamboo implement to paper includes
the flicking of Gunarsa's wrist as he sketches tiny aksara between the lines
that depict the dancing emblems of good and evil. In the end his sketch
encompasses a microcosm of the Balinese world-view, alive with swirling
movements of sacred dance generated by an intricate alphabet that contains
the seeds of divine choreography in the curves and angles of each letter. It
is a visualization of the meaning of dance in Bali that Gunarsa might never
have put to paper if the secular courts had not forced him to define how his
art captures the essence of his subjects. Like the fragments of choreography
Gunarsa presented as evidence in the courtroom, his diagrammatic sketch
is an attempt to capture the invisible truths that are encoded in the textures
of all Balinese art forms.
These traces of the invisible world can be found in
the best examples of Balinese music, dance, theater,
and visual artworks. To use his wife's phrase,
Gunarsa has assimilated these elements of Balinese
spiritual beliefs 'in the marrow of his bones.' They
form the core of the artistic "soul" he believed was
naga melambangkan kekuatan positif sebagai pelindung, dan Rangda adalah
figure raksasa wanita bertaring melambangkan kekuatan negatif atau
peleburan. Keduanya merupakan perwujudan fantastis dari ruabineda secara
tradisi beradu satu dengan yang lain di dalam tari-tarian pura, dan Gunarsa
melukiskannya kedalam dua sisi yang bertentangan pada tarian hurufnya,
bernyanyi mengeram dalam suara rendah yang diasosiasikan dengan Rangda
sewaktu dia mensketsa dengan buasnya mencambuk anggota badannya.
Pelukis menyanyikan musik yang diasosiasikan dengan Barong sewaktu
dia melukis dengan tenang namun tetap penuh getaran muncul dari figure
naga tersebut. Seperti figur penari dalam lukisannya, figur-figur ini jelas
nampaknya hidup dengan gerakannya sepertinya menyatu dengan gerakan
seluruh badannya Gunarsa manakala dia melukis. Bagian dari mengalirnya
gerakan dari tangannya ke bambu dalam mengimplementasikan ke dalam
kertas termasuk kibasan dari Gunarsa yang meliuk sewaktu dia mensketsa
aksara-aksara kecil diantara garis-garis yang menggambarkan emblem dari
sifat baik dan buruk. Diakhir pensketsiannya yang meliputi mikrokosmos
dari pandangan dunia orang Bali, hidup dengan gerakan-gerakan melingkar
dari tarian sakral yang terlahir dari penggambaran hurup yang ruwet yang
berisi koreografi dari biji-bijian kedewataan di dalam lingkungan dan sudut
dari setiap huruf. Itu adalah visualisasi dari arti tarian di Bali yang mana
Gunarsa barangkali belum pernah menaruhnya di kertas jika peradilan sekuler
yang telah mendorong dia untuk mendapatkan bagaimana karya seninya
menangkap esensi dari tarian Bali. Seperti fragmen dari sebuah koreografi
Gunarsa berikan sebagai bukti di dalam ruang pemeriksaan persidangan,
sketsa diagramatikanya adalah berkehendak untuk
menangkap kebenaran yang tidak nampak dia
padukan dalam tekstur pada semua bentuk seni di
Bali.
Penjelajahan dunia yang tidak nyata ini didapat di
dalam contoh yang paling baik dalam Bali seperti:
musik, tarian, teater, dan pekerjaan seni visual.
Menggunakan frase istrinya Gunarsa yang telah
mengasimilasikan elemen-elemen dari kepercayaan
spiritual orang Bali ke dalam "sumsum tulangnya".
63
being falsified by the forged paintings in the trial, setting what he believed
to be a dangerous precedent for the falsification of Bali's artistic and spiritual
identity on a larger scale. Although it was ultimately the truths of the
invisible world that were on trial in Gunarsa's case, the rhetoric of the lawyers
focused on the more tangible and visible elements of truth and evidence
that are appropriate to a secular court of law. But even Sinyo, a Christian,
understood that the case was in some sense about the underlying truths of
cultural identity, and not just about paintings. Responding to Indrawati's
testimony, the defendant complained to the judge that she had once called
him "a person without culture" who could not represent the character of the
nation "because I was just a businessman." She had said nothing of the kind in
this trial, but he had clearly been mulling over something she had said years
ago, hoping to win his case by declaring himself a man of culture as well. So,
when he was asked by the judge to comment on Gunarsa's testimony, Sinyo
staged a cultural performance of his own. He dramatically called for an
assistant to enter the courtroom. The man complied, carrying what looked
like it might be another painting, wrapped in brown paper. Sinyo ripped
off the paper to reveal a hand painted placard signed by Gunarsa endorsing
the gallery where Sinyo claimed to have bought the paintings that were now
being called false.
Semuanya itu membentuk inti, jiwa artistiknya yang dia percaya telah
dipalsukan oleh si pemalsu lukisan di dalam pemeriksaan pengadilan,
menseting apa yang dia percaya akan menjadi preseden buruk dan berbahaya
untuk pemalsuan karya artistiknya Bali dan identitas spiritual dalam skala
yang lebih luas. Walaupun pada akhirnya kebenaran dari dunia yang tidak
nyata terjadi pada pemeriksaan pengadilan dalam kasusnya Gunarsa,
retorikanya para pengacara lebih terfokus pada kebenaran dan bukti-bukti
yang elemennya kelihatan secara kasatmata yang lebih cocok untuk peradilan
hukum sekuler. Akan tetapi kendatipun Sinyo yang menganut agama Kristen
mengerti bahwa kasusnya dalam beberapa pengertian tentang kebenaran
yang melandasinya dari identitas budaya, dan tidak semata tentang lukisan.
Merespon kesaksiannya Indrawati Sinyo komplain kehadapan jaksa karena
Indrawati pernah mengatakan dirinya "seseorang tanpa budaya" yang tidak
dapat mewakili karakter bangsa "oleh karena saya (Sinyo) adalah hanya
orang bisnis." Dia tidak bilang apa-apa pada pemeriksan pengadilan seperti
ini, akan tetapi dia secara jelas mempertimbangkan atas sesuatu yang dia
katakan setahun sebelumnya, dengan harapan untuk memenangkan kasus
ini Sinyo mengumumkan dirinya sendiri sebagai seorang budayawan juga.
Dengan demikian ketika dia ditanya oleh hakim untuk mengomentari
kesaksiannya Gunarsa, Sinyo mempertontonkan pertunjukan budayanya
sendiri. Dia secara dramatik memanggil untuk seorang pendamping untuk
memasuki ruang persidangan. Orang itu menyetujui dengan membawa
sesuatu yang kelihatannya itu adalah kiranya sebuah lukisan yang lain, yang
dibungkus dengan kertas coklat. Sinyo merobek kertasnya untuk membuka
plakat yang dilukis tangan ditunda tangani oleh Gunarsa menguasakan
sebuah galeri dimana Sinyo mengklaim didapat dengan cara membeli lukisan
tersebut yang kini disebut sebagai pemalsuan.
"What was your intention in making this sign for the Switha Gallery?" he
shouted triumphantly to Gunarsa. Then turning to the judge he declared,
"I found this, Your Honor, in the Switha gallery... I got all the paintings
here that are being called false from the Switha Gallery. . . So now I want an
answer, yes or no? About this matter of Mr. Switha I invite Mr. Gunarsa to
swear to the Gods in the ritual of sumpah cor, here and now."
"Apa niat saudara membuat tandatangan seperti ini untuk Switha Gallery?"
dia berteriak secara berjaya kehadapan Gunarsa. Kemudian berpaling
kepada hakim dia mengumumkan "Saya dapatkan ini. Yang Mulia, di Switha
Gallery.. Saya dapat semua lukisan-lukisan disini yang dikatakan palsu dari
Switha Gallery... Dengan demikian sekarang saya butuh jawaban , ya atau
tidak? Berkenaan dengan masalah ini dari Pak Switha saya mengundang
65
Gunarsa had in fact made the sign as a favor to the gallery owner, but it
had nothing to do with the paintings under question in the trial. Gunarsa
explained the meaning of the placard calmly, but he was incensed by Sinyo's
introduction of a sacred ritual challenge into the court. According to
Balinese Hindu laws a "sumpah cor" is "an oath of pouring" that involves
going to a high priest and swearing the truth of a statement while drinking
holy water. The implication of the ritual is that the results of the oath will be
"poured" like water upon one's descendents, blessing them if the statement
is true and cursing them if it is false. Since he had already sworn an oath
to God and the state before he began his testimony, Gunarsa resented the
implication by Sinyo that he was lying, but he was even more upset by what
he felt was an inappropriate invocation of a sacred ceremony that could only
be conducted by a high priest in a sacred setting. No priest would ever agree
to perform a sacred ritual of that nature in a secular courtroom. In Gunarsa's
mind, Sinyo, a non-Hindu, was proposing another forgery, a false ceremony
that would be totally inappropriate to the setting at hand. Like the forged
paintings, the very idea was "out of balance," a kind of spiritual blasphemy
that would cheapen the ritual the way the forged paintings cheapened the
sacred dances they depicted. It was in Gunarsa's mind an insult to the spirits
of the invisible world.
"Don't make things up," he shouted to Sinyo. "Don't try to divert our
attention to blur the issues. Don't play around with swearing to the gods."
Gunarsa raised his arms in a dramatic gesture as he spoke and the courtroom
spectators applauded. They too sensed that the invisible world of their gods
and ancestors was on trial along with the paintings.
Gunarsa untuk mengucapkan sumpah dihadapan Tuhan dengan upacara
"sumpah cor," di sini dan sekarang."
Gunarsa pada kenyatannya membuat tanda tangan sebagai tanda kebaikan
hati untuk pemilik galeri, akan tetapi tidak ada yang dilakukan dengan lukisan-
lukisan dibawah pertanyaan di dalam pemeriksan pengadilan. Gunarsa
menerangkan arti dari plakat secara tenang, akan tetapi dia telah dibuat marah
oleh pendahuluannya Sinyo dari upacara suci ditantang di dalam pengadilan.
Menurut hukum orang bali Hindu, "sumpah cor" adalah "sumpah kucuran"
yang menyertakan pendeta dan bersumpah akan kebenaran dari pernyataan
sambil menegak air suci. Implikasi dari upacara ini adalah hasil dari sumpahnya
akan dikucurkan seperti air kepada keturunan seseorang, memberkahi dia
bila pernyataannya benar dan mengutuk dia kalau dia itu salah. Sementara
dia telah mengucapkan sumpah kehadapan Tuhan dan Negara sebelum dia
memulai pemeriksaan pengadilan ini, Gunarsa marah akan usul Sinyo bahwa
dia adalah bohong, bahkan dia lebih terganggu dengan apa yang dia rasa
tidak pantas berdoa dengan upacara sakral yang hanya boleh dilakukan oleh
pendeta dalam tempat yang suci pula. Tak seorang pendetapun akan setuju
untuk menyelenggarakan upacara sakral dengan sifat alamnya dalam tempat
sekuler seperti ruangan pengadilan ini. Dalam benaknya Gunarsa, Sinyo yang
bukan orang Hindu, telah mengusulkan pemalsuan yang lain, upacara palsu
yang akan sepenuhnya tidak pantas untuk situasi sekarang di pengadilan.
Seperti pada lukisan palsu, dari ide juga "diluar keseimbangan" sejenis
spiritual penghinaan terhadap Tuhan yang akan membuat upacara menjadi
murahan sama halnya dengan lukisan-lukisan palsu yang membuat murahan
penari sacral yang digambarkan. Adalah di dalam benaknya Gunarsa sebuah
penghinaan kehadapan spirit didunia tidak nyata.
"Jangan mengada-ada" dia berteriak kehadapan Sinyo. "Jangan mencoba
mengalihkan perhatian kita untuk tujuan mengaburkan masalah. Jangan
berputar dengan bersumpah kepada Tuhan" Gunarsa mengangkat tangannya
dalam gerakan dramatic ketika dia berbicara dan pengunjung di dalam
ruang persidangan bertepuk tangan. Mereka terlalu perasaan bahwa dunia
tidak nyata dari Tuhan mereka dan para leluhurnya berada dalam sidang
pengadilan bersama lukisan-lukisannya.
66
Ajfter months of testimony from expert witnesses on both sides, the
judges handed down a mixed verdict that was inconclusive and full of
contradictions, a muddled model of ruabineda run amok. Gunarsa's
courtroom dance had been persuasive in helping to convince the judges
that the paintings were in fact forgeries. But in a confusing, almost farcical
decision, they declared that since the paintings were false, and had been
proven not to be the work of Gunarsa, they could not be protected as his
work under copyright law. Sinyo and his associates were cleared of all
charges, and no one was convicted of wrongdoing. Gunarsa was crushed.
He vowed to appeal to the high court in Jakarta, but while he waited for a
decision about whether or not they would hear his case, the artist's thoughts
turned back to the still higher court of the invisible world. While he was
waiting for a reprieve from the injustice he had received at the hands of the
judges in the visible world of sekala, he would revisit the satisfaction he
had enjoyed while watching the trial imagined by the wayang puppets in
the invisible world of niskala. Some of the events depicted in the shadow
puppet play had been prophetic. Performed a week before the trial began,
the wayang enacted scenes that would later occur in court. The puppet play
had foreseen the manipulation of the law at the same time
that it had clarified ethical issues that had been blurred
by the legal rhetoric of the trial lawyers. In the months
that followed the trial's muddled verdict, Gunarsa often
returned to the trial as it had been depicted on the wayang
stage, painting its characters repeatedly, mimicking the
voices of the puppets, reflecting on the insights of the
clowns, and even envisioning a sequel.
Setelah sebulan kesaksian dari saksi ahli dari kedua belah pihak diperiksa,
para hakim meneruskan dengan keputusan campuran yang mana belum
selesai dan penuh dengan kontradiksi bercampur aduk seperti rua bineda'
menjadi rusuh. Tariannya Gunarsa dalam ruang persidangan telah
membujuk untuk meyakinkan para hakim bahwa lukisan-lukisan pada
kenyataannya adalah dipalsukan. Akan tetapi dalam keputusan yang sangat
membingungkan dan bahkan cendrung sebagai sebuah lelucon, mereka
mengumumkan bahwa sesungguhnya lukisan-lukisan tersebut dinyatakan
tiruan, dan telah dibuktikan bukan hasil karyanya Gunarsa, semuanya itu
tidak bisa dilindungi sebagai karyanya dihawah hukum hak cipta. Sinyo dan
seluruh asosiasinya dibebaskan dari semua tuntutan dan tak seorangpun
dihukum karena melakukan pelanggaran. Gunarsa dihancurkan. Dia
berjanji untuk memohon/naik banding ke Mahkamah Agung di Jakarta,
akan tetapi sementara dia menunggu pada keputusan apakah juga mereka
tidak mendengarkan kasusnya, pikiran seniman beralih lagi ke hal: masih
ada pengadilan lebih tinggi di dunia tidak nyata. Sementara dia menunggu
penangguhan hukuman dari ketidak adilan dia menerima keputusan para
hakim dari dunia nyata dunia Sekala, dia akan mengunjungi kembali untuk
kepuasan dengan membuat kesenangan dirinya sambil
melihat peradilan yang diimajinasikan dalam wayang kulit
di dunia maya, dunia Niskala. Beberapa peristiwa yang
dilukiskan di dalam pertunjukan wayang telah menjadi
ramalan, menetapkan adegan pembabakan yang nantinya
terjadi di pengadilan. Yang lain mengklarifikasi isu ketika
yang telah dikaburkan oleh retorika hukum dari peradilan
para pengacara. Bulan-bulan berikutnya setelah peradilan
dengan keputusannyayangbercampur aduk, Gunarsasering
kembali ke pengadilan seperti itu melukiskannya ke dalam
pertunjukan wayang, melukis tokoh-tokohnya berulang
kali, menirukan suara-suara wayang mencerminkan
pengertian yang mendalam dari tokoh panakawan dan
bahkan memimpikan kelanjutannya.
67
PUPPET JUSTICE:
The Shadows of
Clowns and Kings
Keadilan dalam
Wayang:
Bayang-bayang para Panakawan
dan Raja
69
"The path of life is full of choices between what is false and what is true,
so we as human beings have to decide: Do we want to become false or
do we want to become our true selves? Watching the shadow puppet
characters, the choice is clear."
- I Wayan Nardayana, the shadow puppet master known as
'Dalang CenkBlonk.'
"Jalan hidup ini penuh dengan pilihan diantara apa itu salah dan apa
itu benar, dengan demikian kita sebagai manusia harus memutuskan:
Apakah kita ingin menjadi pembohong atau apakah kita memilih
kebenaran kita dalam diri? Dengan melihat pertunjukan tokoh-tokoh
dalam wayang kulit, pilihan menjadi jelas."
- I Wayan Nardayana, seorang dalang yang dikenal dengan
sebutan dalang Cenk Blonk.
When Gunarsa visits the puppet master I Wayan
Nardayana at his home in the village of Belayu
he wears the traditional sarong, sash, and
headdress the Balinese wear when going to sacred
ceremonies. Although their meetings are friendly
and informal, a conversation between two artists
who have reached the pinnacles of their respective
fields, Gunarsa wears these clothes as a sign of
respect. "Visiting a dalang is like visiting a priest,"
he says with a laugh, but there is a bit of truth in
Gunarsa's joke. The word dalang is an honorific
term that implies much more than its awkward
English language equivalent: "shadow puppet
master." The dalang has mastered the art form of 'wayang kulif ('shadows
of skin or leather'), a genre of puppetry with deep sacred significance to
the Balinese. Mastering the form involves not only learning the technical
skills of manipulating the puppets, but also studying the Mahabhrata,
Ramayana, and other sacred texts that are enacted in improvised episodes
during the performances. Many shadow puppet plays are performed as
part of ceremonial temple festivals, but even the ones performed in secular
settings are preceded by ritual offerings, chants, and prayers.
Ketika Gunarsa mengunjungi dalang Wayan
Nardayana di desa Belayu dia mengenakan
busana tradisi memakai sarung dan kain sebagai
ikat pinggang, dan ikat kepala, tataan busana yang
biasa dikenakan ketika mengikuti upacara sakral.
Kendati perteman mereka adalah bersahabat dan
bersahaja, percakapan diantara kedua seniman
yang telah mencapai puncak dari bidang keahlian
yang dihormati, Gunarsa mengenakan busana
ini sebagai wujud rasa hormatnya. "Mengunjungi
dalang sama halnya mengunjungi pendeta"
katanya sambil tertawa, akan tetapi ada unsur
benarnya dari guraunya Gunarsa. Kata dalang
adalah sebutan kehormatan yang menyiratkan lebih jauh dari kekakuan
Bahasa Inggris untuk hal yang sejajar: "shadow puppet master" Seorang
dalang adalah piawi akan bentuk seni pedalangan dari "wayang kulit"
(wayang yang dibuat dari kulit sapi ditatah), sebuah jenis dari pewayangan
dengan arti sakral yang sangat dalam bagi masyarakat Bali. Untuk menjadi
ahli dalam bentuk ini melibatkan tidak hanya mempelajari keterampilan
teknik memainkan wayang, akan tetapi juga mempelajari Mahabharata,
Ramayana, dan beberapa teks sakral yang lain yang dapat ditetapkan dalam
improvisasi pada episode dalam pementasan. Banyak pertunjukan wayang
kulit dipentaskan sebagai bagian dari upacara-upacara di pura, dan bahkan
yang dipentaskan dalam pengaturan untuk kepentingan sekulerpun didahului
dengan ritual menghaturkan sesajen, mantra, dan doa.
70
71
A special form of shadow puppetry called wayang
lemah ('day shadows') is staged without a screen
or light source, so that the painted leather puppets
can be seen directly as they enact scenes from the
Ramayana or Mahabhrata above a string stretched
between two tree branches stuck in the ground. This
form of shadow play where the sun is the only source
of light is a ritual requirement for many ceremonies.
Because it is viewed primarily as a performance for
the gods, the Balinese rarely pay attention to it,
but if it were not staged, the ceremony would be
viewed as incomplete and ritually invalid. One day
of the Balinese religious calendar is set aside for
honoring the shadow puppets. It is called Tumpek Wayang ('the Saturday
of the Puppets'), and on that day offerings of flowers, fruit, and rice cakes
are presented to the puppets, which are housed in special shrines. People
who are born during the week of 'Tumpek Wayang are considered to be
especially vulnerable to the demon of time (Kala) and often ask dalangs to
come to their homes on their birthdays to stage a ritually protective 'wayang
lemah' about the god Siwa's son who was saved from Kala by a dalang who
hid the child behind his puppets.
Whenever a wayang play is staged for a special
occasion, the dalang meets with the host to
discuss ways in which the original stories from the
Mahabhrata, Ramayana, or other sources might
be adapted or updated to fit the situation being
observed: wedding, cremation, temple anniversary,
etc. A few weeks before the 2007 trial in Denpasar,
Bentuk special dari pertunjukan wayang yang
disebut 'wayang lemah' (wayang siang hari) yang
dipentaskan tanpa layar (kelir) atau lampu sumber
cahaya, dengan demikian pewarnaan kulit wayang
dapat dilihat langsung sewaktu mereka memainkan
adegan dari Ramayana atau Mahabharata di atas
seutas benang yang dibentangkan diantara dua
cabang pohon yang ditancapkan di pohon pisang.
Bentuk pertunjukan wayang seperti ini dimana
surya adalah sumber cahaya yang menjadi bagian
dibutuhkan untuk beberapa upacara. Oleh karena
itu kelihatannya sebagai sebuah pementasan untuk
para dewa, orang Bali kurang memberi perhatian
kepadanya, akan tetapi bila tidak diadakan upacaranya dipandang kurang
lengkap secara ritual keagamaan kurang sempurna. Satu hari menurut
kalender keagamaan orang Bali ditentukan hari untuk menghormati wayang
kulit. Hari itu disebut "Tumpek Wayang" (Sabtu Keliwon wuku Wayang),
dan pada hari itu sesajen yang dibuat dari rangkaian bunga, buah, dan
jajan dari beras dipersembahkan kehadapan wayang yang ditempatkan
khusus di tempat suci. Orang-orang yang lahir pada hari-hari minggunya
wuku wayang dipertimbangkan menjadi sangat berbahaya dari kejaran
Hyang Kala, dan dalang sering diminta untuk datang kerumahnya pada
hari kelahirannya untuk pementaskan wayang
sapuh leger untuk tujuan perlindungan seperti
putranya Hyanga Siwa yang selamat dari kejaran
Bhatara Kala dan diselamatkan oleh dalang dengan
bersembunyi dibelakang wayang.
Bilamana pertunjukan wayang dipentaskan untuk
peristiwa tertentu, ki dalang bertemu dengan si
penanggap untuk membicarakan jalan yang mana
ceritera aslinya dari Mahabharata, Ramayana
atau sumber ceritera lainnya kiranya diadopsi atau
diperbaharui untuk penyesuaian dengan situasi
yang sedang di amati: perkawinan, kremasi, upacara
72
1
Gunarsa asked Nardayana if he could perform a shadow play that might have
some relevance to the issue of copyright protection. The dalang agreed.
"As soon as Mr. Gunarsa told me his situation I knew immediately that
the story of "Anggada Palsu" ("The False Anggada") would fit perfectly,"
said Nardayana, whose nickname as 'Dalang CenkBlonk' comes from the
names of two ancient wayang clown characters, Cenk and Blonk, whom he
resurrected as his trademark characters. They appear at the end of all his
stories as representatives of ordinary people commenting on the meaning
of the play and its relevance to the current concerns of the audience. This is
a function that is also served by the two pair of clown servants that appear
in every Balinese shadow play (Twalen & Merdah, Delem & Sanggut),
but Cenk and Blonk are especially ridiculous free spirits whose satirical
commentary gives Nardayana's performances a unique twist. Their
distinctive voices have helped to make Dalang CenkBlonk the most sought-
after puppet-mater on the island of Bali. In telling the story of "The False
odalan di pura dan yang lainnya. Beberapa minggu sebelum peradilan tahun
2007 di Denpasar, Gunarsa meminta kepada Nardayana mempertunjukkan
wayang kulit yang kiranya mempunyai beberapa relevansi dengan masalah
perlindungan hak cipta. Ki dalang setuju.
"Demikian Pak Gunarsa memberitahu saya situasinya saya tahu tanpa
harus berfikir panjang bahwa ceritera "Anggada Palsu" akan cocok dengan
sempurna" kata Nadayana, yang memiliki nama kondangnya sebagai dalang
CenkBlonk terlahir dari nama-nama dua tokoh wayang badutan yakni,
Cenk (Nang Klenceng) dan Blonk (Nang Eblong) yang mana dia hidupkan
dan selipkan pada bagian akhir dari keseluruhan ceritera sebagai perwakilan
dari orang kebanyakan berkomentar terhadap kepedulian masalah kekinian
penonton. Fungsi seperti ini juga dilakukan oleh dua pasang punakawan
yang selalu hadir pada setiap pementasan wayang kulit Bali yakni (Twalen &
Mredah, Delem & Sangut), akan tetapi Cenk dan Blonk adalah terutamanya
menggelikan spirit bebas (membebaskan minuman keras) yang komentar-
komentarnya yang menyindir menjadikan pertunjukan wayangnya Nardayana
unik membelit, dan telah membuat membantu dia menjadi dalung yang paling
73
Anggada" Nardayana used the comic dialogue of these six
clown figures to inform the audience about the relevance of
the ancient allegory to the modern copyright trial that was
about to take place in Denpasar. They make their points
through jokes and puns that make the complex ethical
issues accessible and palatable to the diverse audiences
who attend shadow plays for a variety of reasons, from a
desire for pure entertainment and the fulfillment of social
obligations to a hunger for philosophical enlightenment or
simple curiosity.
The night that Nardayana performed "The False Anggada" in
Denpasar's Puputan Square, the open grassy field was crowded with thousands
of spectators who had read about the free event in the newspapers. Gunarsa
sat on the ground in front of the screen like everyone else, wondering what
the dalang would say. Although Gunarsa had suggested the play's theme, he
had no idea how Nardayana would actually make the connection between
the characters of the Ramayana and the modern problems of copyright
enforcement. The dalang had performed this story before, but never with
this particular theme. "The False Anggada" is in the category of plays called
Kawi Dalang ("Inventions of the Puppet Masters"). Although the characters
in the story like King Rama, the monkey general Hanuman, and his brother
Anggada, are all found in the Hindu epic Ramayana, the specific incidents
in the story were invented by the dalang.
"In Balinese wayang," explains Nardayana, "many of the stories come from
India. But some of the stories were created in Bali to relate to problems that
are particular to Bali. They are grafted onto the original and give rise to a
new branch of the story. The dalang is free to create a new branch of the
digandrungi di Bali. Di dalam membawakan ceritera dari
"Anggada Palsu" Nardayana menggunakan komik dialog
dari enam tokoh panakawan untuk menginformasikan
kehadapan penonton tentang relevansi dari kiasan kuno ke
dalam masalah moderen tentang peradilan hak cipta jelang
mengambil tempat di Denpasar Mereka membuat poin-
poin melalui lelucon dan silat lidah yang membuat isu-isu
etika dapat diakses dan menjadi enak untuk penonton yang
menyaksikan pertunjukan wayang, mereka terdiri dari
berbagai lapisan yang hadir dengan alasan yang bervariasi,
dari keinginan sekedar menghibur dan pemenuhan
kewajiban sosial sampai pada kehausan akan filsafat-
filsafat sebagai pencerahan atau sekedar ingin tahu.
Malam hari ketika Nardayana mempertunjukkan ceritera
"Anggada Palsu" di tanah lapang berumput Puputan Badung ribuan
pengunjung datang memadati dimana mereka mendapat informasi akan
pertunjukan gratis tersebut dari surat kabar. Gunarsa duduk di tanah lapang
didepan layar seperti yang lainnya, meragukan apa yang akan dikatakan
dalang. Walaupun Gunarsa memiliki rasa yang akan dibuat dalam
pertunjukan, tetapi dia tidak tahu bagaimana kiranya Nardayana dapat
membuat hubungan karakter-karakter dari pertunjukan Ramayana dengan
persoalan masa kini akan penguatan tentang masalah hak cipta. Dalang
sudah pernah mempertunjukkan ceritera ini sebelumnya tetapi bukan
untuk tema khusus seperti ini. "Anggada Palsu" termasuk kategori dari
pengemasan pertunjukan yang dikenal dengan "Kawi Dalang" (ciptaan atas
dasar kepiawian dalang). Kendati para tokoh di dalam ceritera seperti raja
Rama, petinggi jenderal pasukan kera Hanuman, dan saudaranya Anggada,
semuanya terdapat dalam epik Hindu Ramayana, namun ceritera seperti ini
secara khusus digagas dan dikemas oleh ki dalang.
"Di dalam wayang Bali" Nardayana menerangkan, banyak ceritera datangnya
dari India. Beberapa ceritera ada yang diciptakan di BaU yang berhubungan
masalahnya dengan persoalan yang ada di Bali. Kemunculannya didorong
kedalam ceritera aslinya dan dibangun sebagai cabang baru dari ceritera
74
plot, but there still have to be the same two sides, Rawhana on the evil side,
and Rama on the side of truth. We can create something new and make it
different, as long as it is faithful to the original. It is interesting to expand
the story's range."
tersebut. Dalang mempunyai kebebasan menciptakan cabang baru dengan
alurnya, namun seyogyanya tetap pada kaidah dua sisi yakni Rahwana di
sisi yang jahat dan Rama di sisi kebenaran. Kita bisa ciptakan sesuatu yang
baru dan membuatnya berbeda sepanjang tetap setia mengacu pada ceritera
pokoknya. Adalah sangat menggugah kehendak untuk memperluas cakupan
ceritera"
"The False Anggada" stays true to the epic formula of truth
battling falsehood, with the red monkey general Anggada
and his brother Hanuman serving the interests of the
god-king Rama, while the son of the evil Rahwana plots
to assassinate Rama in revenge for having killed his father
in the war that constituted the central plot of the original
Ramayana story. This variation on the old story focuses
on Rahwana's son, named Maya Cakru. Many of the more
literate audience members understand from the start that
the character is linked to falseness just from the meaning
of his name. Maya means illusion, and the word Cakru is
derived from the name of Vishnu's sacred discus, a magical
weapon called a cakra. So the villain's name connotes a false
or illusory weapon. The last letter of the name is changed
from 'a' to 'u' to reinforce the perception of falsehood.
The misspelling leaves no doubt that the 'cakru' in the demon's name is an
inauthentic replica of the god Visnu's sacred cakra.
"Anggada Palsu" pembungkuskebenaran dengan epikformula
dari kebenaran bertempur dengan kebohongan, dengan
jenderal kera merah Anggada dan saudaranya Hanoman
mengabdi pada sang Rama raja yang disegani, sementara
anak dari raja Rahwana yang jahat merencanakan
untuk membunuh Rama sebagai usaha balas dendam atas
kematian ayahnya di dalam perang yang berdasar pada
alur utama dari ceritera Ramayana. Variasi dari ceritera
lama seperti ini difokuskan pada anaknya Rahwana yang
bernama Maya Cakru. Kebanyakan dari penonton yang
memahami tentang literatur mengerti sejak awal bahwa
tokoh ini memiliki kaitan erat dengan kebohongan berdasar
dari arti namanya. Maya berarti ilusi, dan kata Cakru
diambil dari nama senjata saktinya dewa Wisnu yang
bernama Cakra. Dengan demikian nama dari tokoh jahat
ini dikonotasikan pada sebuah kesalahan atau senjata yang menyesatkan.
Nama akhirnya diganti dari 'a' menjadi 'u' untuk lebih menekankan persepsi
dari kepalsuannya. Salah pengucapan tidak diragukan bahwa kata 'cakru
dalam namanya raksasa adalah tidak asli dari replika 'cakra' sucinya dewa
Wisnu.
The demon whose name connotes 'false imitation schemes to enter the
palace of Rama and murder him by turning himself into a false imitation
of Rama's trusted general, the red monkey Anggada. Maya Cakru takes
advantage of the fact that Anggada is away from the palace. The red
monkey has been ordered by Rama to go to heaven and bring back holy
water that is necessary to complete a ceremony for the purification of the
world. While Anggada is gone, Maya Cakru goes to the cemetery to ask the
Raksasa yang namanya dikonotasikan dengan 'palsu atau imitasi' ... untuk
masuk pada istana sang Rama dan membunuh dia dengan cara membalikkan
dirinya ke dalam imitasi kepalsuan sang jenderal kepercayaan Rama yakni
kera merah Anggada. Maya Cakru mengambil kesempatan pada kenyataan
bahwa Anggada adalah pergi dari istana. Si kera merah diperintahkan oleh
Rama pergi ke sorga dan membawa serta air suci yang sangat dibutuhkan untuk
melengkapi sebuah upacara untuk penyucian dunia. Sementara Anggada
75
death goddess Durga for the power to transform himself into
the shape of the red monkey. After the transformation he goes
to the palace with a container of counterfeit holy water that
is actually poison. Anggada's brother Hanuman is suspicious
and stops the "false Anggada" at the palace gates, subjecting
him to a test of authenticity. He speaks to the impersonator
in monkey language, and when he does not respond in kind,
Hanuman knows he must be an imposter. Rama's army of
monkeys launches a war against Maya Cakru's demon followers
and Rama's kingdom of Ayodhya is saved.
pergi, Maya Cakru datang ke kuburan memohon kehadapan dewi
Durga sebuah kekuatan untuk dapat menstranformasi dirinya
ke dalam bentuk seekor kera merah. Setelah bertransformasi dia
pergi ke istana dengan sangku berisi air suci yang sesungguhnya
adalah racun. Saudaranya Anggada yang bernama Hanuman
curiga dan menghentikan langkahnya Anggada palsu, di depan
gerbang istana dan menanyakan dirinya melalui sebuah tes
akan keasliannya. Dia berbicara dengan penyamar dalam
bahasa kera, dan ketika dia tidak memberikan respon dengan
baik, Hanoman mengetahui dia pasti adalah seorang penyamar.
Pasukan Rama melancarkan serangan kehadapan raksasa Maya
Cakru dan pengikutnya dengan demikian kerajaan sang Rama
yakni Ayodya menjadi selamat.
The shadow play offers an allegory about the danger of accepting false
copies. The climactic scene in which Hanuman tests the imposter through
the use of monkey language is the dalangs metaphor for a courtroom
trial. Hanuman is the judge who devises a foolproof test for discerning
the difference between the false monkey and his true brother Anggada.
The ability to differentiate the false from the true saves the world not only
from the murderous counterfeit demon, but also from the poisonous
counterfeit holy water he was planning to use to pollute the ceremony that
would cleanse the world of evil. The kingdom has been saved through
Hanuman's wise enforcement of simian copyright law. More effective
than a didactic lecture on the subject, the shadow
play presents the theme of copyright with mesmerizing
silhouettes of constantly changing shape and size that
conjure up spectacular battle scenes and hilarious slapstick
comedy. The monkey language test is particularly funny,
with Hanuman's screeches of gibberish echoed feebly by
Maya Cakru's whining responses. After his humiliation the
demon meets his servant Delem who laments, "I forgot to
give you a course in monkey talk."
Pertunjukan wayang kulit memberikan kiasan tentang bahayanya menerima
duplikat palsu. Adegan puncak ketika Hanuman memberi tes kepada yang
palsu melalui menggunakan bahasa kera adalah metaporanya dalang untuk
sidang pengadilan. Hanuman adalah hakim memikirkan tes yang sangat
mudah membedakan perbedaan antara kera yang palsu dengan saudara
aslinya Anggada. Kemampuan untuk membedakan dari yang palsu dengan
yang asli dapat menyelamatkan dunia tidak saja dari rencana pembunuhan
raksasa palsu, tetapi juga dari racun palsu yang dikatakan air suci yang
dia rencanakan untuk digunakan meracuni upacara yang bertujuan untuk
membersihkan dunia dari kejahatan. Kerajaan dapat diselamatkan oleh
Hanuman dengan kekuatan kebijaksanaan dari peradilan
hukum hak cipta kera. Jauh lebih efektif ketimbang dengan
pendidikan ceramah pada pokok materi, pertunjukan
wayang kulit menyajikan tema tentang hak cipta dengan
bayangan mengikat secara konstan merubah bentuk dan
ukuran dengan kenangan adegan-adegan perang yang
dahsyat dan lelucon dan badutan yang sangat menggelikan.
Tes bahasa yang dilakukan oleh si kera adalah sangat
lucu, dengan siutan Hanuman yang melengking ditirukan
dengan lemah oleh Maya Cakru dengan suara melolong.
Setelah penghinaan ini si raksasa menemui Delem yang
76
mengeluhkan, "Hamba lupa memberitaku paduka pelajaran bahasa kera."
This scene and its central metaphor would have been enough to
entertainingly make the point that forgery is a danger to both the visible
world of the body and the invisible world of the spirit, but wayang is a
sophisticated art form and Nardayana is one of its most accomplished
experts. This 'trial' scene is only the climax of a far more complex
dramatic mechanism whose structure of overlapping sub-plots rivals the
intricacy and depth of a Shakespearean drama. All the minor characters are
also engaged in activities that echo the central theme of
unmasking fraud. Like a Chinese box of mirrors within
mirrors Nardayana's shadow play presents scene after
scene in which the audience is invited to differentiate
the true from the false. The ingeniously interlocking
plot-lines are all the more remarkable when one takes
into consideration the fact that the play was improvised
by a single performer playing all the roles himself as
he changed voices and manipulated the shadows of
his puppets while sitting in a fixed position behind the
screen.
The dalang begins the performance by making offerings
to the spirits of the invisible world and chanting mantras
that invoke the inspiration of the gods. He does this
while manipulating a mountainous egg-shaped puppet
called a kayonan, a term derived from a word that could mean either 'wood'
or 'idea'. The kayonan is the sacred puppet that begins and ends all wayang
plays. In one sense it is the tree of life from which all creatures are descended.
At the same time it is a sacred mountain, the source of all ideas and stories,
one of which is selected by the dalang for each evening's presentation.
Adegan ini adalah pusat dari metapora dan cukup menghibur dalam
membuat poin bahwa pemalsuan adalah bahaya baik untuk dunia nyata,
dunia material, maupun dunia maya yakni dunianya spirit, dengan wayang
sebagai bentuk seni yang jelimet dan Nardayana adalah salah seorang ahli
yang paling mampu memenuhi syarat tersebut. Adegan pengadilan ini
adalah hanya sebuah klimak dari jauh lebih kompleks mekanisme dramatic
yang strukturnya saling tumpang tindih dengan sub-alur dapat menyaingi
keruwetan dan kedalaman drama sejarah Shakespeare.
Semua karakter pendukung juga terlibat dalam aktivitas
yang menggema pada tema inti untuk membuka kedok
penipuan. Tak ubahnya seperi kotak cermin China
didalam kotak cermin, pertunjukan wayang kulitnya
Nardayana mempersembahkan adegan demi adegan
yang mana penonton diundang untuk membedakan yang
benar dengan yang palsu. Dengan mahirnya menjalin
keseluruhan garis alur dan lebih luar biasa ketika dengan
pertimbangan yang diambil oleh seseorang yang pada
kenyataannya pementasan tersebut adalah improvisasi
oleh seorang pelaku memainkan seluruh peran sendiri
dengan merubah-ubah suaranya, memainkan bayangan
dari wayangnya sambil duduk bersila dibelakang layar.
Ki dalang memulai pertunjukannya dengan menghaturkan
upakara kehadapan spirit didunia tidak nyata dengan
melantunkan mantra untuk mengundang inspirasi dari
Tuhan. Dia lakukan ini ketika dia memegang wayang
yang berbentuk lonjong seperti telor bernama kayonan sebuah nama yang
berarti ganda yakni 'kayu' dan 'ide.' Kayonan adalah wayang sacral dan
selalu digunakan untuk memulai pertunjukan wayang. Dalam satu sisi
adalah sebagai perwujudan pohon kehidupan dimana dari sana semua
kehidupan bermula. Dalam waktu yang bersamaan adalah menjadi sumber
dari semua ide, ceritera, satu kiranya yang dipilih oleh dalang untuk setiap
malam disajikan.
77
After the kayonan prologue, Nardayana begins the story of "The False
Anggada" with a scene depicting the true Anggada making preparations to
go to heaven and find holy water for Rama's ceremony. Having established
the main plot points for the audience, the dalang now puts the spotlight
on the clown servants of the protagonist, Twalen and his son Merdah,
sometimes also known as Malen and Werdah. Up until this point the
short, stubby, and plump servants have bowed obsequiously to their
master Anggada and translated his eloquent poetic language (spoken and
sung by the dalang in Old Javanese) into the common Balinese vernacular
most easily understood by the audience. Once Anggada leaves, the comic
duo begin to banter with puns and coarse jokes
whose crisp staccato rhythms would be familiar
to aficionados of American Vaudeville and
the English Music Hall. Their iconic status as
instantly recognizable character types is similar
to the recognition granted in Italy to commedia
dell'arte clown servants like Harlequin and
Pulicinella, the primary diff"erence being that
commedia figures (with some exceptions) are
relics of a half-remembered past while Twalen
and Merdah are part of a living theatrical tradition
that is still a part of everyday life in Bali.
Setelah prolog kayonan, Nardayana memulai cerita "Anggada Palsu"
dengan mengisahkan Anggada yang asli membuat persiapan untuk
pergi ke sorga guna mendapatkan air suci untuk upacaranya sang Rama.
Setelah menyelesaikan poin-poin pada alur utama untuk penonton, ki
dalang kemudian memberikan penonjolan pada panakawan abdi pada sisi
protagonist, Twalen dan putranya Merdah, terkadang juga disebut Malen
dan Wredah. Sampai pada poin ini panakawan yang pendek, gemuk, dan
gendut dengan posisi agak membungkuk dihadapan tuannya sang Anggada
dan menterjemahkan ekspresi bahasa poitisnya (sebagai wawan kata dan
nyanyian oleh ki dalang di dalam bahasa Jawa Kuno) ke dalam bahasa
umum yang jauh lebih mudah dimengerti oleh
penontonnya. Demikian Anggada meninggalkan
tempat, pasangan badut ini memulai berseloroh
dengan permainan silat lidah dan lelucon
kasarnya dengan irama stakato mengkeriting
yang sangat diakrabi seperti aficionados(fan)
American Vaudeille dan English Music Hall. Status
badutan mereka segera dapat dikenali sebagai
model karakternya tak ubahnya dalam mengenali
panakawan warisan commedia delVarte Italia
seperti tokoh Harlequin dan Pulicinella (dengan
beberapa pengecualian) adalah peningalan yang
sebagian masih diingat sebagai peninggalan masa
lampau, sementara Tualen dan Merdah adalah
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bali.
Twalen and Merdah follow Anggada to the invisible world of heaven
but are separated from their master and decide to take advantage of
the opportunity to take an unplanned holiday to the invisible world of
hell where Twalen hopes to be "refreshed." He uses the English word, an
addition to his richly fragmented vocabulary that also includes bits of
Latin, High Balinese, and Old Javanese to supplement the Low Balinese
and Indonesian he uses most of the time - all of these languages and the
cross-linguistic puns that occasionally link them are generated by a single
performer, the dalang, who must keep track of the different language
Twalen dan Merdah mengikuti Anggada ke dunia maya yakni ke sorga
akan tetapi mereka berpisah dengan tuannya dan memutuskan mengambil
kesempatan untuk mengambil liburan yang tidak direncanakan ke dalam
dunia neraka dimana Twalen berharap untuk "refreshed" (dia menggunakan
kata Inggris disamping dengan kayanya fragmen perbendaharaan kata yang
juga harus digunakan sedikit bahasa Latin, Bahasa Bali Halus, Bahasa Jawa
Kuno, dilengkapi dengan Bahasa Bali Kasar dan Bahasa Indonesia yang
dikebanyakan dia gunakan pada setiap adegan - semua bahasa-bahasa ini
dan silang permainan kata untuk lelucon adalah di hasilkan oleh seorang
78
preferences displayed by each of the play's characters.
On their way to hell, Twalen instructs his son Merdah on the proper code
of conduct that should be followed by servants. There are ten rules to be
followed, each constructed around a linguistic pun on its number ("One?"
"We should serve "won-one-derfully.".... "Four?" "For-Four-go all else to
attend to the needs of your master." etc.). After hearing the original code of
behavior from his father, Merdah proposes an alternative code of his own
that involves lots of eating and goofing off. His father reprimands him for
replacing the true code of conduct with a false one. "Your basic rules of
conduct from one to ten are all about food. . .," he complains. "After the rice
is eaten what does it become? Nothing more than skin, body parts, blood,
bones, and forgive your father in advance for saying it, but it all turns into
shit."
Unfazed by his father's scatological reasoning, Merdah simply asks, "After
that?" This causes his father to launch into tirade about the dangers of
materialism. "Our life is not just about food. We cannot live only to eat, but
we have to eat to live." Again, Merdah is unmoved. "Is there a difference?," he
asks. Twalen takes the question as a cue to lecture his son on the difference
between the corporal life of the body and the invisible world of the spirit,
that both need to be nourished. He goes on to rail against the hollowness of
television consumerism, which presents characters with fancy clothes and
flawed morals. "But behind it all there is corruption," Twalen concludes,
raising a theme that will continue through the shadow play, and later be
brought up again in the courtroom, where Gunarsa suggests that corruption
might have played a role in the twisted logic of the verdict, "because we live
in a country where the law can be bought."
penyaji, ki dalang, yang harus tetap menjaga perbedaan suara dipilih untuk
memberi karakter pada masing-masing tokoh dari pertunjukan tersebut).
Dalam perjalanannya ke neraka, Tewalen menginstruksikan anaknya Merdah
dengan kepantasan perlakuan sesuai tatacara yang harus diikuti sebagai
abdi. Ada sepuluh azas yang harus diikuti, masing-masing dikonstruksikan
diseputar permainan kata dalam penomoran ("Satu?" Kita harus melayani
" menang - satu - penuh - (bagus)derfully." .... "Empat?" "Untuk-empat-
pergi untuk memenuhi hal yang diperlukan dari tuanmu." Dst) Setelah
mendengarkan kode perilaku yang pantas dari ayahnya, Merdah mengusulkan
alternative kodenya sendiri yang menyertakan banyak tentang makanan dan
memakannya. Dia ditegur oleh ayahnya dari menggantikan dari kode perilaku
yang benar dengan yang salah. "Landasan dasarmu dari satu sampai sepuluh
semuanya menyangkut makanan...," dia marah. "Setelah nasi itu dimakan
apa jadinya? Tidak ada lebih jadi kulit, bagian badan, darah, tulang, dan
maafkan ayahmu dulu untuk membilang semua itu, akan tetapi semuanya
itu akan kembali ke najis"
Tidak tak diganggu oleh alasan ayahnya yang (vulgar) scatological, Merdah
bertanya dengan sederhana, "Setelah itu?" Inilah yang menyebabkan ayahnya
meluncurkan kedalam lama mengomel tentang bahayanya dari materialisme.
"Hidup kita tidak hanya soal makanan. Hidup kita bukan hanya untuk
makan, tetapi kita makan untuk hidup" Lagi-lagi Merdah tidak bergerak.
"Ada perbedaannya itu? dia bertanya. Twalen mengambil pertanyaan tersebut
sebagai sebuah pertanda untuk memberikan pelajaran kepada anaknya
dalam perbedaan antara kehidupan jasmani dari badan dan dunia tidak
nyata dari dunianya spirit, keduanya memerlukan makanan. Dia lanjut
memagari melawan lubang menganga dari konsumerisme televisi, yang
mempertontonkan tokoh-tokoh dengan busana yang mewah gemerlapan
namun cacat moral. "Akan tetapi dibalik semua itu penuh dengan korupsi"
Twalen mengakhiri pengangkatan tema yang akan dilanjutkan melalui
pertunjukan wayang dan drama yang kemudian membentang di ruang
pengadilan, dimana Gunarsa menyatakan bahwa korupsi kiranya telah
memainkan peran dalam logika terbalik dari keputusan akhir, "mengingat
kita hidup di Negara dimana hukum bisa dibeli"
79
The parallels between the laws encountered by the clowns in heaven and
the laws that will be tested in Gunarsa's upcoming court case are always
hovering in the subtext of the play, but occasionally they are mentioned
directly in the comic banter.
Paralel diantara hukum diketemukan oleh panakawan di sorga dan hukum
yang akan diujikan dalam pemeriksaan pengadilan tentang kasusnya
Gunarsa nantinya selalu menunggu dalam penantian dekat pada sub teks
pertunjukan, akan tetapi adakalanya semua itu disebutkan secara langsung
di dalam selorohan lelucon.
Twalen: Let's go somewhere refreshing.
Merdah: Where?
Twalen: To hell.
Merdah: What for?
Twalen: To see the souls being judged.
Merdah: Being judged?
Twalen: Tomorrow will be the judging.
Merdah: What kind of judging?
Twalen: The judging about the copyright.
Merdah: Is that right?
Twalen: Yes. That is the situation there.
Merdah: Why should we go there?
Twalen: Well, to see how the people who hold the power of the law decide
the cases. We will be like a team of monitors.
Merdah: Is that how it will be?
Twalen: Yes. Which side is right and which is not.
Merdah: Oh, I see.
Twalen: That is what is difficult for the people who hold the power of
the law. They make the laws, but then they don't always enforce
them. The law is sacred if you apply it fully. Be sure to uphold it.
Be sure to enforce it. Because today many clever people
manipulate the law. Our country is the cleverest... at twisting
the law.
These observations are followed by a reference to a recent twisting of the
law that was fresh in the minds of the audience. Twalen suggests that there
might be a place in hell for Amrozi, one of the three terrorists condemned
Twalen: Mari pergi kesuatu tempat untuk penyegaran
Merdah: Kemana?
Twalen: Ke neraka.
Merdah: Untuk apa?
Twalen: Melihat para atma sedang diadili.
Merdah: Sedang diadili?
Twalen: Besok akan diadili.
Merdah: Pengadilan seperti apa?
Twalen: Pengadilan tentang hak cipta.
Merdah: Apa itu betul?
Twalen: Ya. Seperti itulah situasinya di sana.
Merdah: Kenapa kita mesti pergi ke sana?
Twalen: Yah, untuk melihat orang-orang yang memegang kekuasaan
tentang hukum dalam memutuskan perkara. Kita sebagai
tim monitoring.
Merdah: Seperti itukah terjadi nantinya?
Twalen: Ya. Dari sisi mana yang benar dan yang mana bukan.
Merdah: Ooo begitu
Twalen: Itulah sulitkan bagi orang-orang yang semestinya memegang
kekuasaan hukum. Mereka membuat hukum, akan tetapi tidak
selalu mereka memperkuatnya. Hukum itu sakral jika kamu
aplikasikan secara penuh. Pastikan dalam memegangnya.
Pastikan dalam memperkuatnya. Oleh karena sekarang ini banyak
orang pintar memanipulasi hukum. Negeri kita adalah terpintar
dalam memutar balikkan hukum
Observasi seperti ini diikuti dengan referensi memutar balikkan fakta hukum
menjadi segar dalam ingatan penonton. Twalen mengusulkan barangkali
sudah ada tempatnya Amrozi di kawah neraka, salah satu dari tiga teroris
80
to a death sentence for the Bah Bombings of 2002, who was still alive on
Death Row at the time of the performance, reportedly enjoying illegal
access to cell phones, computers, and other luxuries as a result of bribes to
his jailers. "They say he was sentenced to die," says Merdah. "The law died,
but Amrozi is still alive," answers Twalen, stating succinctly the feelings of
many Balinese about the law's unjust treatment of the Bali Bombers.
When the pair arrives at the gates that separate heaven from hell, Twalen
and Merdah discover first-hand how clever people try to
manipulate the law by watching the newly- arrived dead
souls trying to convince the gatekeeper Suratma that they
deserve admission to heaven. Ihe first soul they see is called
Wayan Polos, a name that means Mr. Virtuous. He mentions
his neighbor Sudharma (a name that means 'follower of the
noblest laws') who steals things all the time. Mr. Virtuous
claims that he lives up to his name by praying regularly,
donating more money to the temple than anyone else and
making the biggest offerings. "I burn so many bundles of
incense sticks," Mr. Virtuous boasts, "that I make the priest
sneeze from all the smoke."
Suratma is not impressed with the soul's history of fake piety, and instructs
him at length on the difference between true religious feelings and the false
trappings of religion. At one point he sums up the problem by decrying the
soul's lack of spiritual balance. "You must be balanced," he repeats, using
the same criterion for separating truth from falsehood that Gunarsa would
later use in the trial to differentiate his paintings from the forgeries. "If you
are not balanced, that is when things are difficult."
dijatuhi hukuman mati karena perlakuannya peledakan bom di Bali tahun
2002, yang ketika dilangsungkannya pertunjukan tersebut dia masih hidup,
dikabarkan menyenangi akses ilegal menggunakan telepon genggam,
computer, dan beberapa barang mewah sebagai hasil dari penyuapan untuk
masa kurungannya. "Katanya dia sudah dijatuhi hukuman mati," kata
Merdah. "Hukumnya yang mati, akan tetapi Amrozi masih hidup," jawab
Twalen, menyatakan dengan ringkas tetapi jelas akan perasaan banyak orang
Bali tentang hukum kurang adil dalam masalah pengeboman Bali.
Manakala sepasang punakawan sampai pada pintu pemisah antara sorga dan
neraka, Twalen dan Merdah menemui dari tangan pertama
bagaimana pintarnya orang-orang mencoba memanipulasi
hukum dengan mengamati kedatangan seorang atma yang
baru saja meninggal mencoba merayu sang Suratma penjaga
pintu bahwa mereka pantas dapat masuk ke sorga. Atma yang
pertama mereka lihat adalah bernama Wayan Polos, sebuah
nama yang berarti Pak Lugu. Dia menyebut tetangganya
bernama Sudharma (sebuah nama yang berarti 'pengikut
yang paling mulia terhadap hukum') yang mencuri sesuatu
terus menerus, mengklaim dia hidup di atas namanya dengan
berdoa secara regular, menyumbang ke pura selalu melebihi
orang lain dan membuat sesajen yang paling besar. "Saya
membakar banyak bungkus dupa" dia membual, "membuat
pemangku bersin karena diliputi asap"
Suratma tidak terkesan dengan kisahnya kealiman palsunya si atma,
menginstruksikan dia cukup lama pada perbedaan antara rasa keagamaan
yang benar dengan kepalsuan yang dibalut atas nama agama. Pada poin dia
meringkas permasalahan dengan mengutuksi atma kekurangan keseimbangan
spiritual. "Kamu harus seimbang" dia mengulangi, menggunakan ukuran
dari pemisahan kebenaran dari kepalsuan yang Gunarsa kemudian gunakan
di dalam pemeriksaan pengadilan untuk membedakan lukisannya dari
pemalsuan. "Jika kamu tidak seimbang, itu yang membuat segala sesuatunya
sulit"
81
After an extended debate the unbalanced soul tries to gain entrance to
heaven by bribing Suratma, who of course refuses, and ends up being called
a bohong lu ('big liar') by the desperate soul. In the end "Mr. Virtuous" is
condemned to fifty years in the burning cauldrons of hell. "My god, that's
so extreme," the soul complains. "I've only been alive for forty-five years,
and I'll be frying for fifty."
Suratma then encounters the soul of a prostitute who is also rejected from
heaven. Although scenes like these are full of vulgar comedy, they also
present serious teachings about Hindu philosophy that define the difference
between hollow religious practice and genuine spirituality. For instance
Suratma explains the importance of the Hindu principles of Kayika Wacika
Manacika, which involves striving for unity of thought, speech, and action.
Ultimately all of the scenes at heaven's gate present Suratma as a judge who
upholds the law by clearly discerning the difference between the true and
the false without succumbing to corruption.
Setelah perdebatan panjang roh yang terganggu jiwanya mencoba untuk
dapat masuk sorga dengan jalan menyuap Suratma, yang sudah barang tentu
menolaknya, dan pada akhirnya diledek "bohong lu" oleh atma yang putus
asa. Pada akhirya "Pak Jujur" dihukum selama lima puluh tahun di dalam
kawah dengan jilatan api di neraka. "Ya Tuhan itu sangat ekstrim," si atma
komplain. "Hamba hidup hanya empat puluh lima tahun, dan hamba kan
digoreng selama lima puluh tahun"
Suratma kemudian menjawab sang atma sebagai seorang prostitusi yang
ditolak dari sorga. Kendati adegan seperti ini penuh dengan komedi fulgar,
semuanya juga menghadirkan pengajaran yang serius tentang filsafat Hindu
yang dapat membedakan perbedaan antara praktik keagamaan yang gamang
dengan spiritual yang asli. Sebagai contoh Suratma memberitahukan prinsip
yang penting dari ajaran Hindu adalah Kaya, Wak, Manah, yang menyertakan
kerja keras penyatuan dari fikiran, perkataan dan perbuatan. Pada akhirnya
semua dari adegan-adegan pintu masuk sorga ini menghadirkan Suratma
sebagai hakim yang memegang teguh hukum dengan jelasnya memilah
perbedaan antara kebenaran dengan kepalsuan tanpa harus mengalah untuk
sebuah korupsi.
When the dalang moves to depicting scenes
involving the servants of the antagonist Maya Cakru,
the audience sees the same problems of separating
falsehood and truth from a new perspective. The
clown servant Delem proclaims his desire to be
elected village chief, then Governor, then President.
It is up to his younger brother Sanggut to point
out that his vision of politics is false, based on self-
interest rather than service to the community.
Delem responds to the dismissal of his political
ambitions by bragging about his luxurious lifestyle,
recounting a typical day that includes smoking clove
Ketika ki dalang memainkan adegan yang
menggambarkan panakawan tokoh antagonis Maya
Carkru, penonton melihat persoalan yang sama
yakni pemisahan kepalsuan dengan kebenaran
dari perspektif baru. Panakawan abdi raja Delem
mengutarakan keinginannya agar dipilih menjadi
pimpinan desa, kemudian Gubernur, kemudian
Presiden. Tergantung pada saudranya Sangut yaitu
adiknya untuk menunjuk pandangan politiknya
seperti itu adalah salah, berdasar dari keinginan
sendiri, ketimbang sebagai pelayan masyarakat.
Delem merespon kepada penolakan ambisi para
politisinya dengan membual diseputar kemewahan
gaya hidup menceriterakan kekhususan sehari-
82
cigarettes, soaking in a Jacuzzi with his beautiful wife, and being driven to
the spa by a chauffeur in his luxury sedan. Again Sanggut punctures the
false pipe dream of his brother by recounting the true nature of their lives
as servants to Maya Cakru who spend their days performing menial jobs.
Although he serves the side of evil in the world of wayang, Sanggut is a
voice of truth, whose commentary is rendered more comical and poignant
by its location in the midst of characters who are linked to falsehoods.
At the moment that Maya Cakru is preparing to transform himself into
the "False Anggada" Delem says that even if he and his master are taken
to court for this crime, there will be no punishment, because "you can buy
your way out of the law."
Sanggut chastises his brother for his amoral thoughts. "Don't think you can
buy your way out of the law," he says. "False words will get you punched
in the mouth." Then Sanggut takes the argument about falsehood and
corruption to a higher level, invoking the invisible world by talking about
the goddess of truth and wisdom, Saraswati.
At the end of the story, when Maya Cakru has been unmasked as a fraud
and war breaks out between Rama's monkey army and the demon followers
of Maya Cakru, the dalang presents an image that epitomizes the battle
between good and evil, truth and falseness, more powerfully than any other
in the realm of the Balinese cosmology: the battle between Rangda and
Barong. Anggada transforms himself into the figure of Barong, a lion-like
dragon who represents the positive, true, and protective elements of the
invisible world, while Maya Cakru transforms himself into Rangda, who
represents the negative, false, and destructive elements of the invisible
world. The shadow play battle between these two fantastical creatures
ends in the same way as all re-enactments of their clash. They fight to a
draw. One cannot defeat the other. They are the ritual embodiments of
ruabineda at its highest levels. Good and evil. Light and dark. Truth and
hari termasuk mengisap rokok cerutu, berendam di dalam Jacuzzi bersama
istri cantik, dan mengendarai sedan mewah untuk pergi ke spa didampingi
sopir. Lagi-lagi Sangut merusak khayalan palsu saudaranya dengan
menceriterakan keadaan alami sesungguhnya menjadi abdi untuk Maya
Cakru. Kendatipun dia mengabdi pada sisi dari penjahat di dalam
dunia wayang, Sangut adalah suara dari kebenaran, yang komentarnya
mensumbangkan lebih lucu dan lebih tajam dengan penempatannya di
tengah karakter yang berhubungan dengan kebohongan.
Pada saat Maya Cakru mempersiapkan dirinya untuk bertransformasi
menjadi "Anggada Palsu" Delem mengatakan bahkan dia dan tuannya
dibawa ke pengadilan karena kejahatannya, bakalan tidak ada hukuman,
karena "paduka bisa beli untuk bisa bebas dari jeratan hukuman."
Sangut menghukum untuk kebaikan kepada saudaranya dari perlakuannya
yang mempunyai pikiran tidak bermoral. "Jangan kamu kira kamu dapat
membeli caramu keluar dari jeratan hukum," katanya. "Kata-katamu salah
kamu akan dapat pukulan di mulutmu." Kemudian Sangut mengambil
argumentasi tentang kepalsuan dan korupsi ke level yang lebih tinggi,
dengan permohonan pada dunia tidak nyata melalui dewi kebenaran dan
kebijaksanaan, yakni Saraswati.
Pada akhir ceritera ketika Maya Cakru telah dibuka kedoknya sebagai penipu
dan perangpun meletus antara kera-kera pasukan sang Rama melawan
raksasa para pengikutnya Maya Cakru, disini ki dalang menghadirkan
imajinasi bahwa perang tersebut melambangkan pergolakan baik melawan
buruk, kebenaran dan kepalsuan, lebih kuat dibanding dengan sesuatu yang
ada pada kenyataan kosmologi Bali yakni pertempuran antara Rangda
melawan Barong. Anggada mentransformasikan dirinya menjadi figur
Barong seekor singa yang mendekati bentuk naga mewakili kekuatan positif,
kebenaran, elemen perlindungan dari dunia yang tidak nyata, sementara
Maya Cakru mentransformasikan dirinya menjadi figur Rangda yang
mewakili kekuatan negatif, kepalsuan, dan elemen perusak dari dunia tidak
nyata. Pertempuran wayang kulit dari dua mahluk yang fantastis ini berakhir
dengan ke dalam jalan yang sama keduanya sebagai pengulangan kembali
83
lies. None of these categories could exist
without their opposites, their doubles,
their shadows.
The dalangs decision to end with this
image foreshadowed the stalemate
that later marked the end of Gunarsas
copyright trial. Months later, when asked
at his home in Belayu how he had come
up with the structure of this particular
shadow play, Nardayana had a short answer and a long answer. The
short answer was one word: ''Ruabineda"
The long answer began with the dalang stating his belief that Gunarsas
copyright trial was essentially a story about ruabineda, so it was natural for
the dalang to structure the play around situations that reflected variations
on that theme, from the clown dialogues to the battle between Rangda and
Barong.
"In Hinduism we have the concept of ruabineda" noted Nardayana. "There
is right and wrong. There is day and night. There is high and low. And so
on. Rama (the hero) exists because there is Rawhana (the villain). If there
is no Rawhana, there is no Rama. The wind exists because there is air. The
difference between the high air pressure {tekanan tinggi) and the low air
pressure {tekanan rendah) causes the movement {perpindahan) of the wind.
It is like this in our lives and in the wayang. In life there is good and evil. In
religion we call it the character of the gods and the character of the raksasa
dari perpecahan mereka. Pertempuran
berkesudahan dengan seri. Satu tidak
dapat mengalahkan yang lain. Mereka
adalah upacara sebagai perwujudan
ruabineda dalam tingkatan yang lebih
tinggi. Baik dengan buruk. Terang dengan
gelap. Kebenaran dengan kebohongan. Tak
satupun kategori ini ada ada bila tidak
ada pertentangannya, kembarannya,
bayang-bayangnya.
Keputusan dalang untuk mengakhiri
dengan gambaran bayangan kemacetan
yang kemudian menandai akhir dari
pengadilan hak ciptanya Gunarsa.
Beberapa bulan kemudiannya ketika dia
ditanya dirumahnya di Belayu bagaimana
dia datang dengan struktur ide khususnya untuk pertunjukan wayangnya,
Nardayana memiliki jawaban singkat dan jawaban panjang. Jawaban
pendeknya adalah tediri dari satu kata: "Ruabineda."
Jawaban panjangnya dimulai oleh dalang menyatakan kepercayaannya
pada Persidangan hak ciptanya Gunarsa pada intinya adalah kisah tentang
'ruabineda,' adalah menjadi alami bagi ki dalang untk menstruktur
pertunjukannya diseputar situasi yang merefleksikan variasi dari tema
tersebut, dari percakapan panakawan sampai ke perang antara Rangda
dengan Barong.
"Dalam kepercayaan Hindu kita memiliki konsep yang disebut dengan
ruabineda," Nardayana memberi catatan. "Ada yang benar dan yang salah.
Ada siang dan malam. Ada tinggi dan rendah. Dan seterusnya. Rama
(sang pahlawan) ada oleh karena ada Rahwana (penjahat). Kalau tidak
ada Rahwana, tidak bakalan ada Rama. Adanya angin karena adanya
udara. Perbedaan diantara tekanan udara tinggi dan tekanan udara rendah
disebabkan oleh perpindahan dari angin. Seperti inilah adanya dalam
kehidupan kita dan dalam kehidupan dunia wayang. Dalam kehidupan
84
(demons). Now it depends on us. Which one are we going to choose in our
hfe? Do we want to choose the true or false? The truth has its final harvests
at the end. Falseness also has its final harvests at the end. In the afterlife
they are called heaven and hell. Here on earth we also have heaven and hell.
Prison is hell. Heaven is the acknowledgment you get from the community
for your good actions. If we commit crimes, we go to jail. If we do good
things, our actions are acknowledged by the community. In wayang it is
also like this. We have the right side and the left side. On the right are
the elements of truth. On the left are the elements of falseness. There are
also characters who have traits of pretending {pura pura). The meaning of
pretending is that someone gives the impression of being a good person,
but he is really evil. With the insertion of a character like that the story
comes alive. Everything is turned upside down. But in the end karmapala
restores the balance. It is the same with a baby calf. It will never make a
mistake while looking for its mother. Even though there are many mother
cows around, the calf knows which one is its mother. Karma is like that.
It will follow the one who commits the action. These are the teachings of
Hinduism."
terdapat adanya sifat baik dan sifat jahat. Dalam ajaran agama kita sebut
sebagai karakter dewa dan karakter raksasa. Sekarang tergantung pada
kita. Yang mana akan kita pilih dalam hidup ini. Apakah kita mau memilih
yang benar atau yang salah. Pada akhirnya kebenaran akan memiliki
panen akhir. Kebohongan juga akan memiliki panen akhir pada akhirnya.
Di dunia sana keduanya disebut dengan sorga dan neraka. Disini di dunia
nyata kita juga memiliki sorga dan neraka. Penjara adalah neraka. Sorga
adalah penghargaan yang kamu terima dari masyarakat karena perbuatan
baik anda. Jika kita melakukan kejahatan kita akan dibawa ke penjara. Jika
kita melakukan sesuatu yang bagus kita akan diakui oleh masyarakat karena
perbuatan baik kita. Di dalam wayang juga berlaku seperti ini. Kita memiliki
sisi kanan dan sisi kiri. Di sisi kanan terdapat elemen kebenaran. Di sebelah
kiri adalah elemen kejahatan. Ada juga karakter yang memiliki perangai
berpura-pura. Arti dari pura-pura adalah dia memberikan impresi sebagai
orang baik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah jahat. Dengan penyisipan
tokoh-tokoh seperti itu membuat ceritera hidup. Semuanya diputar balikkan.
Akan tetapi pada bagian afc/z/r karmapala memulihkan keseimbangan. Sama
halnya dengan seekor anak sapi. Dia tidak
bakalan pernah salah dalam mencari
ibunya kendati ada banyak induk sapi
disekelilingnya, anak sapi mengetahui
yang mana ibunya. Hasil akhir dari sebuah
karma adalah seperti itu. Akan mengikuti
seseorang yan melakukan aksinya. Seperti
itulah ajaran dari kepercayaan Hindu."
85
ASTRA GENI:
Art as a Weapon
Astra G eni:
Seni sebagai Senjata
87
"The 'astra genV is a sacred weapon that knows the
difference between good and evil. It is used by the
hero of the puppet play to find the wrong-doer and
punish him no matter where he hides."
- Nyoman Gunarsa
Nyoman Gunarsa believes that art is the ujung tombak
("point of the spear"), a weapon composed of words,
images, and timeless wisdom that can be more effective
in battle than conventional implements of war. In the
months that followed the inconclusive court decision
in Denpasar, Gunarsa grew impatient waiting for the
copyright case to be decided by Indonesia's High Court in Jakarta, so he
returned to the weapon of art. He made dozens of paintings of the wayangplscy
that had been inspired by his case. During this period he also made sketches
of the courtroom itself, but they were simpler and starker, far outnumbered
by his vibrant and colorful depictions of "The False Anggada" with its cast of
evil demons, heroic monkeys, and gods. Some of the watercolors included
phrases that ballooned out of the characters' mouths like the dialogue in
comic books. Through his dynamic combination of words and images
Gunarsa brought the puppet play back to life day after day, as if the images of
Anggada, Hanuman, and Maya Cakru were still flickering in his imagination
like shadows on a screen.
Eventually the shadow story playing itself out in Gunarsa's mind took on a
life of its own, and the artist began creating paintings of scenes that did not
take place in the original performance. "It has to have another ending," he
"Astra geni adalah sebuah senjata suci yang
mengetahui dengan jelas antara kebajikan dan
kebatilan. Senjata ini digunakan oleh para ksatria
dalam pertunjukan wayang kulit untuk mengejar
para pelaku yang berbuat salah dan menghukum dia
tanpa kecuali dimanapun mereka bersembunyi."
- Nyoman Gunarsa.
Nyoman Gunarsa percaya bahwa seni adalah "ujung
tombak" ("the point of the spear"j, sebuah senjata
yang dikomposisikan dari formulasi kata, kesan,
kebijaksanaan tanpa batas waktu, dapat lebih efektif di
dalam perang dibanding dengan implementasi perang
konvensional. Berbulan-bulan peradilan berlangsung di
Denpasar yang kemudian diikuti dengan keputusan pengadilan yang kurang
meyakinkan, menumbuhkan ketidaksabaran Gunarsa dalam menunggu
persoalan hak ciptanya untuk diputuskan oleh Mahkamah Agung di Jakarta,
dimana dia kembali menggunakan senjata seni. Dia membuat lusinan
lukisan pertunjukan wayang yang terlahir dari inspirasi dari persoalannya
sendiri. Selama kurun waktu dalam persidangan dia juga membuat sketsa
tentang suasana ruang persidangan, kesemuanya itu dibuat lebih sederhana
dan mendekati kenyataan, jumlahnya jauh melebihi dengan penggambaran
warna-warni yang menggetarkan dan lukisan dari "Anggada Palsu" dengan
penokohan Raksasa jahat, pahlawan kera, dan para Dewa. Beberapa dari
lukisan cat airnya termasuk di dalamnya bagian-bagian yang penggambaran
mulutnya mengembung keluar dari karakter seperti layaknya berdialog
dalam buku komik. Melalui dinamika kombinasi kata-kata dan imajinasinya,
Gunarsa membawa pertunjukan wayang itu hidup kembali dari hari ke
hari, seakan bayangan dari tokoh Anggada, Hanuman, dan Maya Cakru
sepertinya masih berkerdip dalam khayalan tak ubahnya ibarat bayangan
wayang dalam layarnya.
Akhirnya kisah dari cerita wayang bermain dengan sendirinya keluar
dari pikiran Gunarsa seraya mengambil kehidupannya sendiri, dan naluri
kesenimannnya mulai menciptakan lukisan-lukisannya yang tidak pernah
said, describing the new series of paintings. "The story has to come to a final
conclusion."
The first wayang performance had ended with the figures of Rangda and
Barong battling each other to a draw in the perpetual struggle between
positive and negative forces that is fundamental to the Balinese Hindu
philosophy. As if its conclusion had been foretold by the puppet play, the
trial in Denpasar had also ended in an inconclusive manner. Now Gunarsa
felt compelled to apply another Hindu concept to the story's resolution:
karmapala. Karmapala is a form of divine justice that metes out punishment
for acts of evil and rewards for acts of goodness. "If you plant corn, you will
harvest corn," he explained. "If you plant sweet potatoes, you will harvest
sweet potatoes."
Gunarsas reflections on karmapala
gave birth to a new image that began
to appear in his watercolors about
the story. It was a magical weapon
known in Hindu scriptures as "astra
gem' ("the fiery weapon that sees
the truth"). Gunarsa depicted it as a
fiery arrow that could follow its target
anywhere. "No one can hide from the
astra geni" Gunarsa said pointing at
the weapon in a painting of a demon
trying to elude its attack. "It knows the
difference between right and wrong
and will follow an enemy no matter
muncul dalam pertunjukan wayang sesungguhnya. "Semestinya harus
memiliki kesimpulan akhir yang lain," katanya, ketika mendiskripsikan serial
baru buah karya dari sejumlah lukisannya. "Ceritera diselesaikan seharusnya
dengan keputusan akhir"
Pertunjukan wayang yang pertama diselesaikan dengan menghadirkan
pergumulan dua figur Rangda dan Barong berseteru, berakhir dengan seri
dalam pertempuran yang tiada henti antara kekuatan positif melawan
kekuatan negatif, menjadi landasan dasar dalam filsafat hidup umat Hindu
Bali. Seperti halnya kesimpulan akhir yang dituturkan lewat pertunjukan
wayang, pengadilan di Denpasar juga berakhir dalam sikap yang tak
meyakinkan. Kini Gunarsa merasa membutuhkan untuk menggunakan
konsepsi yang lain dari ajaran agama Hindu dalam menentukan resolusi
ceritera yakni: karmapala. Karmapala adalah wujud dari keadilan para
dewa yang membagikan keputusan akhir berupa hukuman untuk para
penjahat dan penghargaan dari perbuatan yang baik. "Jika kamu menanam
jagung, kamu akan memanen jagung"
dia menceriterakan. "Jikalau kamu
menanam ketela, ketelalah yang akan
kamu panen"
Refleksinya Gunarsa dalam konsep
karmapala memberi kelahiran kepada
imajinasi baru yang dia tuangkan ke
dalam kanvas dengan pewarnaan cat
air bertautan dengan ceritera tersebut.
Adalah senjata "astra geni" sebuah
senjata yang memiliki kekuatan magis
yang digambarkan dalam buku suci
agama Hindu (yakni sebuah senjata
yang dapat melihat kebenaran).
Gunarsa mengambarkannya sebagai
sebuah senjata jilatan api yang dapat
mengejar sasarannya kemana saja dia
lari. Tak seorangpun dapat menghindar
90
how many times he changes direction. The astra geni is hke the "Exocet"
missile of Hinduisms sacred books. It is a smart bomb against which there
is no defense."
Eventually Gunarsa went again to visit Nardayana at his home in the
village of Belayu, hoping
he could persuade the
dalang to perform another
shadow play in which
the metaphorical drama
would be resolved more
definitively. The master
painter began his request
to the master puppeteer
with the utmost simplicity.
"It isn't finished yet," said
Gunarsa. The dalang
agreed to perform a sequel
to "The False Anggada."
Nardayana confessed that he had personal reasons for inventing a new ending
to the allegorical wayang. A few years earlier one of his performances had
been video-taped by copyright violators who sold pirated dvd's of his puppet
play. This experience strengthened his belief that Indonesia's copyright laws
shouldbe upheld in the courts for the protection of all artists. To accommodate
Gunarsa's image of the astra geni the dalang proposed another story about
Anggada in which Rawhana's grandson, a demon named Mayasura, slanders
the red monkey's reputation by attacking Rama in the dark and claiming that
it was Anggada who had attacked the king. Anggada is thrown out of the
palace in disgrace, but when Mayasura asks Rama for a weapon to use against
dari kejaran senjata astra geni," kata Gunarsa menunjuk kepada gambaran
senjata dalam lukisannya tentang seorang Raksasa yang mencoba menghindar
dari serangannya. "Senjata itu mengetahui perbedaaan antara yang benar
dengan yang salah, dan akan mengejar musuhnya tidak peduli berapa kali
dia akan berubah arah. Senjata astra geni tak ubahnya seperti "peluru
kendaWnya kepercayaan Hindu yang terdapat dalam buku suci. Senjata itu
adalah sebuah bom yang pintar yang tak mungkin untuk dielakkan."
Akhirnya Gunarsa pergi lagi menemui Nardayana di rumahnya di desa
Belayu, dengan harapan
dia dapat meyakinkan
sang dalang untuk
mempertunjukkan
kembali wayang kulitnya,
di mana sebuah drama
yang berkenaan dengan
metafora akan dapat
dipecahkan secara lebih
pasti. Sang maestro
seni lukis mengajukan
permohonannya kembali
kehadapan ki dalang
kondang dengan segala kesederhanaannya. "Ini belum berakhir," kata
Gunarsa. Sang dalang setuju.
Nardayana mengakui bahwa dia memiliki alasan tersendiri dalam
mengkemas pertunjukan wayangnya menciptakan sambungan sampai
kepada yang bersifat kiasan. Beberapa tahun sebelumnya satu dari
pertunjukannya divideokan oleh seseorang pelanggar hak cipta yang menjual
rekaman pertunjukan wayangnya tanpa ijin atau sepengetahuannya.
Pengalamannya ini memperkuat kepercayaannya bahwa hukum tentang
hak cipta di Indonesia seyogyanya ditangani oleh pengadilan untuk tujuan
melindungi semua seniman. Untuk mencocokkan imajinasinya Gunarsa
tentang geni astra, ki dalang mengajukan ceritera yang lain tentang Anggada
yang mana di dalamnya seorang Raksasa Mayasura cucu dari Raja Rahwana
91
Anggada he is given the astra geni. When the demon launches the magical
weapon against the red monkey it discerns the difference between good and
evil, boomeranging back on Mayasura and destroying the originator of the
deception.
Gunarsa was thrilled with the dalangs suggestion. For him this
sequel and its new ending provided the dramatic satisfaction
of karmapala that was missing from the first Anggada puppet
play and the copyright trial that followed it. For nearly two
hours the two artists discussed the philosophical ramifications
of the allegory and its relevance to the moral issues related to copyright
laws. Their conversation shifted back and forth fluidly from the story of the
forged paintings to the story of the monkey hero who had been betrayed and
thrown out of the palace. Like the first Anggada story, this plot also included
a kind of divine identity theft. The demon Mayasura, who had been adopted
into the palace as a baby after his grandfather Rahwana's death, imitated
Anggada falsely during his attack on Rama, and when Anggada came to the
king's defense, the demon claimed that it was Anggada who was the attacker.
Anggada leaves the palace in shame, while Mayasura is hailed as a hero. The
moral universe of the play is temporarily turned upside down. A villain is
praised for his deception, while a hero is condemned for his virtue. Order
can only be restored by the 'fiery weapon that sees the truth' ("astra geni")
and the victory of karmapala that results from its use.
memfitnah reputasi si kera merah, Anggada, dengan cara menyerang Rama
dalam kegelapan dan memfitnah bahwa Anggadalah yang menyerang
sang raja. Anggada diusir keluar dari istana dengan aib memalukan, dan
ketika Mayasura memohon sebuah senjata untuk melawan
Anggada kehadapan Sri Rama, dia dianugrahkan senjata geni
astra. Manakala raksasa Mayasura melepas senjata sakti yang
memiliki kekuatan dapat memilah perbedaan antara yang baik
dengan yang buruk, yang dia bidikkan pada sasarannya si kera
merah Anggada, menjadi bumerang memantul kembali ke
Detya Mayasura dan menghancurkan dirinya sebagai sumber
kecurangan.
Hati Gunarsa tergetar oleh saran yang diajukan sang dalang.
Baginya, bagian ini sebagai kesimpulan akhir yang baru
memberikan kepuasan dramatik dari karmapala yang absen
pada versi pertunjukan wayang Anggada yang pertama, seperti
halnya perkara tentang hak cipta yang mengikutinya. Hampir
dua jam kedua seniman ini mendiskusikan percabangan filsafat dari kiasan
dan relevansinya berkaitan dengan isu moral yang berhubungan dengan
undang-undang hak cipta. Percakapan mereka mengalir berpindah
bolak-balik dari kisah pemalsuan lukisan ke kisah pahlawan kera yang telah
dikhianati dan dibuang keluar dari istana. Seperti halnya dengan kisah
Anggada yang pertama, alur ini juga mengandung pencurian identitas.
Raksasa Mayasura yang telah diangkat menjadi keluarga istana ketika dia
masih bayi setelah kematian Rahwana kakeknya, dengan cara memalsukan
dirinya menjadi Anggada sewaktu dia menyerang Sri Rama, manakala
Anggada datang untuk membela sang raja. Raksasa memutarbalikkan
fakta dan mengatakan Anggadalah sebagai penyerangnya. Anggada
meninggalkan istana dengan rasa malu, sementara Mayasura dielukan
sebagai pahlawan. Moral alam duniawi dari pertunjukan tersebut untuk
sementara terbalik seratus delapan puluh derajat. Seorang penjahat mendapat
penghargaan untuk tipu muslihatnya, sementara sang pahlawan dihukum
karena kebajikannya. Perintah hanyalah dapat dipulihkan oleh 'sebuah
senjata yang dapat melihat kebenaran f"geni astra'j dan kemenangan
karmapala berbuah dari penggunaannya.
92
"The astra geni is looking for the difference between the
person who is innocent and the person who commits crimes,"
says Gunarsa. "This is the way the law should work in our
society. In religion we have the principles of ruabineda, good
and evil, truth and falseness, but they should be built into the
law the way they are built into the astra geni\
The dalang agrees. "We all have standards," he says, "for
copying, and for cheating, which are false actions. Religion
also states these things. We all live together, but our minds
are different. To give peace to our lives, we need standards
to follow, common standards. These standards must be
respected. In the banjar (neighborhood association) we call
these traditional customs (awig-awig) and nationally we call
them laws (hukum). For those who violate the customs, there are sanctions.
For those who violate the laws, there are sanctions."
"Like astra genii' Gunarsa interjects. He sees the sacred object as a weapon
that can be wielded in the metaphorical story to redress the injustices of
the trial. He gives the dalang more details about
the twists of the trial. "I was accusing him,"
continued Gunarsa, "but he accused someone
else of dropping off the paintings. It was a chain
of criminals. One was the distributor. One was
the retailer. And then there was the one who
signed the false signature."
Gunarsa goes on to explain that there had
been a previous trial in which, one member
"Senjata geni astra mencari perbedaan diantara seseorang yang
lugu dengan seseorang yang berbuat kejahatan" kata Gunarsa.
"Demikianlah seyogyanya hukum itu berlaku dalam masyarakat
kita. Di dalam agama kita memiliki prinsip ruabineda, baik
dan buruk, benar dan salah, akan tetapi hal itu semestinya
dibangun berdasarkan hukum seperti halnya dia dibangun ke
dalam geni astra".
Sang dalang setuju. "Kita semua memiliki norma" katanya,
"untuk menggandakan dan mengutip, yang mana merupakan
aksi yang salah. Ajaran agama juga menyatakan untuk sesuatu
seperti ini. Kita semua hidup bersama, akan tetapi pikiran kitalah
yang berbeda. Untuk memberikan kedamaian dalam hidup kita,
kita membutuhkan norma untuk dijadikan pegangan, norma
umum. Norma seperti inilah yang mesti dihormati bersama.
Di banjar kita namakan peraturan adat Cawig-awigJ dan regulasi secara
nasionalnya kita sebut hukum. Kepada mereka yang melanggar awig-awig,
ada sangsinya. Bagi mereka yang melanggar hukum ada juga sangsinya"
"Seperti halnya dengan geni astra," Gunarsa menyisipkan. Dia melihat
obyek sakral sebagai sebuah senjata yang dapat dipegang dan digunakan
dalam metafora ceritera untuk menunjukkan
ketidak adilan dari perkara pengadilan. Dia
memberikan lebih rinci lagi kepada sang
dalang tentang plintiran dalam persidangan.
"Saya menuduh dia," lanjut Gunarsa, "akan
tetapi dia menuduh orang lainlah yang
menjatuhkan lukisan-lukisan tersebut. Itu
adalah rangkaian kriminal. Salah seorangnya
adalah distributor. Seorangnya lagi adalah
pengecer. Kemudian ada seseorang yang
membubuhkan tandatangan palsu."
Gunarsa lebih lanjut membeberkan bahwa
dalam persidangan sebelumnya di mana
93
94
TV
w
N \
'V-
^^6^
A.'^AZ4^/ ^^Vy4/7V /'A^"A/,^-
Vav /V'/ »Al^ Aif'*^^'^^''
of the criminal syndicate was convicted of being guilty:
"The middleman was also singled out, put on trial and
sentenced. Sinyo should have been punished too, but he
was set free, because he has money. One was taken and
one was not." This imbalance in the justice system is one
of the sources of Gunarsa's frustration. He believes that
bribery was part of the process that led to setting Sinyo
free.
The miscarriage of justice through corruption was one of
the themes that Nardayana had raised in the first shadow
puppet play when Twalen and Merdah witness a dead soul
trying to bribe his way into heaven. Both men realize the
problem reaches far beyond the case of copyright law to
the Indonesian legal system at large. The dalang reminds
Gunarsa that the Indonesian President Yudhoyono has
launched a campaign to eliminate corruption from the
legal system. "They cannot dare to do those kinds of things any more,
because we have the Corruption Eradication Commission (known in
Indonesia as KPK)."
Gunarsa worries that the federal government's
program against corruption has not yet solved the
problem. He reports that the files of the trial that
had resulted in a conviction of Sinyo s associate had
mysteriously disappeared. "In Bali some judges
are still manipulating things, playing around with
justice. My fear is that the police can be bought.
The prosecutors can be bought. Justice can be
bought."
salah seorang dari anggota mata rantai telah dijatuhi
hukuman karena bersalah. "Orang tengah juga dipilih,
dimasukkan dalam perkara dan dihukum. Sinyo
semestinya juga dihukum, akan tetapi dia dibebaskan,
karena dia memiliki uang" Ketidak seimhangan dalam
sistem peradilan seperti ini menjadi sumber frustasinya
Gunarsa. Dia percaya bahwa suapan kiranya menjadi
bagian dari proses yang membuat Sinyo bebas.
Kegagalan dari keadilan melalui korupsi juga menjadi
tema yang diangkat oleh Nardayana pada pertunjukan
wayangnya yang pertama ketika Tualen dan Merdah
menyaksikan roh orang meninggal yang mencoba
menyuap unuk memuluskan perjalanannya menuju
sorga. Keduanya menyadari persoalan mencapai jauh
diluar dari kasus hukum hak cipta sebagai sistem formal
Indonesia dalam arti luas. Ki Dalang mengingatkan
Gunarsa bahwa Presiden Indonesia Yudoyono telah mewacanakan dalam
kampanyenya untuk mengurangi korupsi dari sistem formal. "Mereka
tidak berani melakukan hal seperti itu lagi, oleh karena kita telah memiliki
badan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dikenal dengan
singkatan KPK.
Gunarsa menghawatirkan bahwa program
pemerintah pusat melawan korupsi belum dapat
memecahkan masalah. Dia melaporkan sejumlah
dokumen dari persidangan pengadilan yang
dihasilkan tentang penghukuman rekan sejawatnya
Sinyo, secara misterius menghilang. "Di Bali
beberapa hakim masih memanipulasi sesuatu,
mempermainkannya diseputar keadilan. Ketakutan
saya bahwa polisi juga dapat dibeli. Jaksa penuntut
dapat dibeli. Hukum dapat dibeli"
95
The dalang is sympathetic to Gunarsas concerns.
He reiterates points that he had expressed in
the first puppet play through the voice of the
clown servant Twalen. "Sometimes the laws are
manipulated," he tells Gunarsa, "to the point that
the false becomes the true, and the true becomes
the false, because of money. Because it is people
who uphold the law, and they are fallible. But
according to our beliefs religious laws cannot
be manipulated. The truth is always true and
falseness is always false. All of that is established
from the Lord above. Karmapala teaches us that
in the end everything you do will come back to
you.
Nardayana is describing the scene of inverted
values depicted in the sequel to Anggada's story
where Anggada is thrown out of the palace and
the demon who falsely slandered him is praised
('the false becomes true and the true becomes
false'), but when Gunarsa hears the word
karmapala his thought shift back again from
the world of wayang to the specifics of his case.
"Yes," he interrupts. "Karmapala means that anyone who commits evil,
will be doomed by their own evil deeds. I am hoping that the one who has
committed crimes of falseness will be punished, because I am looking for
the truth. The astra geni is the symbolic weapon of karmapala"
It is normal in Bali for the host of a wayang play to discuss the issues he
hopes will be discussed in the course of the story, and most dalangs choose
Ki dalang menaruh simpatik terhadap
kepeduliannya Gunarsa. Dia mengulangi poin
pernyataannya yang dia telah ekpresikan dalam
pertunjukan wayangnya yang pertama, melalui
suara panakawan Tualen. "Kadangkala hukum itu
dimanipulasikan," dia kasih tahu kepada Gunarsa,
"tegasnya bahwa yang salah bisa menjadi benar,
dan yang benar bisa menjadi salah, karena uang.
Oleh karena mereka orang-orang bertugas sebagai
penegak hukum, dan mereka berbuat keliru atau
salah. Akan tetapi menurut hukum kepercayaan
kita, tidak mungkin untuk dimanipulasi. Yang
benar itu selalu benar dan yang salah adalah
tetap salah. Semua itu ditetapkan oleh Yang Maha
Kuasa di atas. Karmapala memberi pelajaran
kepada kita bahwa pada akhirnya semua yang
pernah kamu lakukan akan kembali ke kamu"
Nardayana menggambarkan nilai-nilai yang
diputar balikkan dalam untaian adegan kisahnya
Anggada, dimana Anggada diusir keluar dari
istana sedangkan raksasa yang dengan licik
menebar fitnah justru mendapat penghargaan
Cyang salah menjadi benar dan yang benar
menjadi salah'), akan tetapi ketika Gunarsa
mendengar kata karmapala pikirannya berbalik
kembali dari dunia wayang kepada kasusnya yang lebih mengkhusus. "Ya"
dia menyela. "Karmapala berarti bahwa setiap orang yang berbuat kejahatan,
akan dihukum oleh kejahatan yang dia perbuat sendiri. Saya berharap bahwa
seseorang yang melakukan kejahatan dari pemalsuan akan dihukum, karena
saya mendambakan kebenaran sejati. Astra geni adalah senjata simbolik
dari karmapala.
Adalah menjadi kebiasaan di Bali bagi si penanggap pertunjukan wayang
melakukan diskusi tentang hal-hal yang akan didiskusikan dalam jalan
96
97
their stories as a form of allegorical commentary on
the situation being experienced by their audiences
at the moment of the performance. The importance
of matching a performance to the concerns of the
spectators is embodied in a concept known as desa,
kala, patra ('place, time and context'). The interaction
between Gunarsa and Nardayana is an example of how
deeply the Balinese believe in the connection between
the invisible world of wayangs religious allegories and
the visible world of everyday life. For some, of course,
wayang puppet plays are merely entertainments, but
for deeply religious Balinese Hindus, there are powerful links between the
world of shadows and the world of the flesh.
ceritera, dan kebanyakan dalang memilih ceritera sebagai
komentar yang bersifat perlambang dalam situasi yang
tengah dialami oleh penontonnya pada saat pementasan.
Pentingnya memadukan dalam sebuah pementasan
terhadap kepedulian dengan situasi penontonnya
adalah menjadi bagian dari sebuah konsep yang dikenal
dengan istilah desa, kala, patra (berarti: tempat, waktu
dan keadaan). Interaksi diantara Gunarsa dengan
Nardayana adalah sebuah contoh betapa dalamnya
kepercayaan orang Bali dalam hubungannya dengan
alam maya dunia wayang sebagai kiasan religius dan
dunia nyata sebagai kehidupan setiap hari. Untuk beberapa orang sudah
barang tentu memandang pertunjukan wayang adalah melulu sebagai
hiburan, akan tetapi lebih dalam bagi orang Hindu Bali terdapat koneksi
yang sangat kuat diantara dunia wayang dengan dunia wadak.
In the sacred Hindu text "Dharma Pawayangan" dalangs are given
instructions on how to uphold the moral integrity of their art, explaining
which offerings and mantras are to be used in different situations. The holy
book outlines the connections between the four servant clowns and the
four guardian spirits that accompany each human being at the moment of
birth, and act as sacred protectors throughout the
lifespan. These four sacred guardians are known
as kanda empat ('the four siblings') and they are
associated with the umbilical cord, the amniotic
sac, the amniotic fluid, and the afterbirth. These
physical by-products of birth are buried with
offerings by the family of the newborn child as
embodiments of the kanda empat, which are
invoked during many religious ceremonies as the
child progresses from childhood to adulthood
to death and reincarnation. Nardayana quotes a
well-known Balinese proverb: "If we remember
the kanda empat, they will remember us, but if
we forget them, they will forget us too. It is the
Dalam teks lontar suci "Dharma Pewayangan" dalang diberikan instruksi
bagaimana memegang integritas moral seni mereka, menerangkannya
dengan upakara dan mantra-mantra yang akan digunakan dalam situasi
yang berbeda. Garis besar buku suci memuat hubungan diantara empat
punakawan dengan empat spiritual saudara pelindung yang menyertai setiap
manusia sejak dia lahir, dan bertugas sebagai
proteksi spiritual sepanjang hayat di kandung
badan. Kempat malaikat pelindung ini dikenal
dengan nama kanda empat (empat saudara)
dan mereka semua itu berhubungan dengan
ari-ari, air ketuban, lamas dan darah. Keempat
unsur pisik yang menyertai manusia lahir
ditanam dengan upakara tertentu oleh keluarga
pada setiap kelahiran bayi yang baru sebagai
perwujudan kanda empat untuk dimohonkan
perlindungannya pada kebanyakan upacara
keagamaan ketika pertumbuhan anak dari masa
kanak-kanak sampai menginjak dewasa kemudian
kematian bahkan sampai reinkarnasi nantinya.
98
same with the four punakawan (the name that refers collectively to the
four clown/servant puppets). They are also guardians who give advice that
people remember."
The symbolic relationship between the world of wayang and the material
world reflects what is known in Bali as the relationship between bhuana
agung and bhuana alit, the microcosm and the macrocosm. The bhuana
agung (literally 'large world') refers to the spiritual construction of the
universe, while the bhuana alit (literally 'small world') refers to the corporeal
world of the human body. "The puppet screen is a manifestation of the sky"
explains Nardayana. "Under the screen is the banana log (gedebong) which
supports the rods inserted in each puppet, and is a manifestation of the
earth. And the flame of the coconut oil lamp that projects the shadows is
a manifestation of the sun. But at the same time all these elements exist in
the body of the dalang. The banana log is like one of my bones. The screen
is like the tissues of my flesh. The strings that tie the screen to the frame
are like my nerves. And the little nails that secure the banana log are my
teeth."
The four sacred clown puppets are also internalized by the dalang. "The
punakawan are the dalang, and the dalang is them," states Nardayana with
quiet conviction. These four characters are the servants who translate the
words of the gods and kings into a vernacular that can be understood by
the audience. Ostensibly these are the characters that the dalung speaks
through, using their voices to make the ancient stories and complex
religious concepts accessible to the spectators, but when Nardayana and
other dulungs speak reverently of these characters it is sometimes unclear
who is speaking through whom. "In the mythology, these four servants
were sent to the world to serve the earthly reincarnation of Visnu," says
Nardayana, recounting the relationship of the wa/am^ servants to the sacred
directions, colors, and body parts associated with each of the Hindu gods in
Bah. "I apologize for not knowing all of the sacred books thoroughly, but
Nurduyanu mengutip pribuhusu yung suduh di kenul di Buli: "Jiku kitu ingut
dengun suuduru emput kitu, mereka akun mengingut kitu, ukun tetupi bilu
kitu melupukun mereku, merekupun ukun melupukun kitu. Ini sumu hulnyu
dengun keemput panakwan (sebutun yung merujuk securu kolektif untuk
keemput pembadut/abdi dulum wuyung). Mereku jugu muluikat pelindung
yang memberikan nusehut yung dikenung oleh orang"
Hubungan simbolik dianturu duniu wayang dengun duniu muteriul terpuncur
seperti apu di Buli dikenul dengun hubungun bhuana agung dengan bhuana
alit, jugut ruyu dengun duniu di dulum diri. Bhuana agung (urtinyu duniu
besur) merujuk pudu konstruksi spirituul duri pembentukun ulum semestu,
sementuru bhuana alit (urtinyu duniu kecil) berkuitun dengun duniu budun
munusiu. "Luyurnyu wuyung fkelir'j melumbungkun lungit," Nurduyunu
menerungkun. "Di buwuh kelir terduput pohon pisung ("gedebong'j untuk
menopung setiup tungkui wuyung ketiku dituncupkun uduluh munifestusi duri
bumi. Koburun lumpu belencong berminyuk kelupu yung memproyeksikun
buyungun ke kelir uduluh sebugui munifestusi mutuhuri. Dulum wuktu
bersumuun, semuu elemen ini terduput jugu dulum diri si dalang. Pohon
pisung uduluh seperti tulung suyu, luyur utuu kelir uduluh lupisun duri duging.
Tuli pengikut luyur sumpui dengun ke lumpu tuk ubuhnyu uduluh suruf-saraf
tubuh. Puku-puku kecil mengunci pohon pisung uduluh gigi suyu"
Keemput punukuwun suci duri wuyung uduluh jugu diinternulisasikun oleh
dulung. "Panakawan itu uduluh dulung, dun ki dalang uduluh mereku,"
Nurduyunu menyutukun dengun tenung penuh keyukinun. Keempat duri
tokoh ini uduluh puru ubdi yung menterjemuhkun buhwu puru dewu dan
ruju-ruju ke dulum buhusu yung dipuhumi dun dimengerti penontonnyu.
Seoluh-oluh melului kurukter iniluh ki dalang berbicuru menggunukun
ucupunnyu untuk membuut kisuh yung suduh kuno tersebut dengun konsep
keugumuun yung kompleks duput diterimu oleh musyurukut penonton, ukun
tetupi ketiku Nurduyunu demikian jugu hulnyu dalang yung luin berbicuru
dengun hormutnya pudu semuu kurukter ini sesungguhnyu terkadang takjelus
siupu yung berbicuru melului siupu. "Dulum mitologi keempat punukuwun ini
uduluh diutus ke duniu nyutu untuk mengubdi kepudu reinkurnusi Wisnu yung
berudu di bumi," kutu Nurduyunu, menceriterukun hubungan panakawan
99
these four servants have divine origins. Twalen
is related to Lord Ismaya and therefore to Siwa.
His dwelHng place is in the east, where the color
is white, so even though the skin of the puppet is
painted black, Twalens blood is white and pure."
Nardayana's description of Twalen is consistent
with the reverence paid to the puppet by other
dalangs. There is at least one Balinese Brahmin
high priest who uses the puppet of Twalen as
a vehicle for making blessings at ceremonies,
dipping the puppet into holy water and sprinkling
it over the participants in the ceremony.
wayang dengan arah suci, warna, dan bagian dari
badan dalam hubungannya dengan setiap para dewa
menurut Hindu di Bali. "Saya mohon maaf karena
tidak menguasai seluruh isi dari buku suci tersebut,
akan tetapi keempat panakawan ini asli memiliki
sifat ketuhanan. Twalen ada hubungannya dengan
Dewa Ismaya yang tiada lain adalah Siwa. Stana
beliau adalah di arah timur, warnanya adalah
putih, kendati kulitnya wayang dicat berwarna
hitam, darahnya Tuwalen adalah putih bersih"
Nardayana mendeskripsikan tentang Twalen yang
memiliki kesamaan dengan referensi yang diberikan
oleh para dalang yang lainnya. Paling tidak ada seorang pendeta brahmana
yang mengunakan wayang Twalen sebagai wahana dalam memberi berkah
pada upacara, dengan mencelupkan tangkai wayang ke dalam air suci dan
memercikkannya kepada seluruh peserta upacara.
Twalen is a symbolic embodiment of ruabineda, black on the outside, with
white blood on the inside. He wears the
sacred cloth of black and white checked
patterns known as polenc which is itself a
manifestation of ruabineda that mirrors
Twalen's character. He has a humble
appearance, but a divine origin. The other
servant puppets are less revered, but still
connected to sacred origins. "Merdah is
yellow," Nardayana continues, referring
to Twalen's son and comic sidekick.
"He dwells in the west (the direction
associated with the god Mahadewa).
Delem is a proud fiery character, because
he is related to Brahma whose element is
fire. Delem dwells in the south where the
color is red, and so his blood is also red."
100
Twalen adalah simbol personifikasi dari ruabineda, hitam dibagian luarnya,
dengan darah putih bagian dalamnya.
Dia menggunakan kain suci berpola kotak
catur berwarna hitam dan putih yang
disebut kain poleng yang sesungguhnya
kain itu sendiri melambangkan ruabineda
yang mencerminkan karakternya Twalen.
Dia memiliki perangai yang hormat
rendah hati, namun sesungguhnya dia
adalah perwujudan dewa. Panakawan
yang lain dalam wayang kurang dipuja
seperti Twalen, akan tetapi tetap memiliki
hubungan dengan kesucian asli. "Merdah
adalah kuning," Nardayana meneruskan,
menunjuk kepada anaknya Tualen
dan pembadut pendampingnya. "Dia
beristana di barat (arah mata angin
yang diasosiasikan dengan posisi Dewa
Sanggut, Delem's fellow servant on the "left" or "evil" side of the wayang
world, is the opposite of his partner. "Sangut is associated with Visnu,"
continue Nardayana. He dwells in the north where he is soft like his
element, which is water. He puts out the fires that Delem starts." Again the
dalangs description of the characters confirms their contradictory nature
as embodiments of the principle of ruahineda.
Sanggut and Delem are opposites. Ordinarily in the
course of a wayang play, Delem will speak falsely
and advocate deception, while Sanggut, although
he works for the "left," opposes his partner and
advocates positions of truthfulness and honesty.
As a team they play on contradictions within
contradictions, which makes them both comically
entertaining and philosophically enlightening,
qualities that are essential to a good wayang play.
The wide-ranging conversation between the dalang and the painter takes
place on the platform of an open-air pavilion with a tile roof supported
by four pillars. The pavilion is located next to Nardayana's family temple,
whose shrines are organized according to the same principles of sacred
color and directionality that the dalang explains are embodied in the
wayang servant clown puppets. Nearby is a closed room whose doors are
sculpted in the form of a kayonan wayang pwppet. At the base of this figure,
which represents both the tree of life and the source of all stories, are the
four clown servants from the world of wayang, Delem, Sanggut, Twalen
and Merdah. It is fitting that they are carved into the base of the kayonan
Mahadewa). Delem seorang tokoh sombong pedas berapi-api karena dia
diasosiasikan dengan dewa Brahma berelemen api. Delem beristana diselatan
dengan warna merah dan juga darahnyapun merah"
Sangut, saudaranya Delem yang berpihak pada kelompok "kiri" atau "jahat"
pada dunia wayang, adalah bertentangan dengan pasangannya. "Sangut
diasosiasikan dengan dewa Wisnu," Nardayana melanjutkan. Dia beristana
di utara dimana dia memiliki sifat yang lembut seperti elemennya yakni
air. Dia mampu memadamkan api yang dimulai oleh Delem." Lagi-lagi
ki dalang mendeskripsikan mengkonfirmasikan
karakter mereka yang bertentangan adalah
perwujudan dari prinsip ruabineda. Sangut
dengan Delem adalah b er seberangan. Biasanya
di dalam jalannya pertunjukan wayang, Delem
berbicara penuh kebohongan dan mendukung
penipuan, sementara Sangut kendati dia mengabdi
kepada untuk kelompok "kiri," dia berseberangan
dengan pasangannya dan dia tetap mendukung
keberadaan dari kebenaran dan kejujuran. Sebagai
sebuah tim mereka bermain berseberangan dalam
pertentangan, yang membuat badutan mereka
berdua menghibur dan secara filosofi juga
memberi pencerahan, menjadi kualitas mendasar
pertunjukan wayang yang bagus.
Percakapan dengan dalang dengan pelukis yang demikian luas meliputi
banyak hal mengambil tempat di pelataran balai terbuka dengan atap
alang-alang disangga oleh empat pilar. Letak balai tersebut disebelah
pura keluarga ('sanggahj yang mana tata letak bangunan suci disusun
menurut prinsip yang sama dari warna suci dan prinsip arah seperti
yang di tuturkan oleh dalang adalah perwujudan wayang punakawan.
Disebelahnya adalah ruang tertutup yang pintu masuknya diukir dalam
bentuk kayonan wayang. Dibawah dari figur yang menggambarkan pohon
kehidupan dan sumber dari semua ceritera terdapat empat punakawan
dari dunia pertunjukan wayang yakni Delem, Sangut, Twalen dan Merdah.
101
because they and their words are at the foundation
of all wayang plays. One of the names by which the
quartet is collectively known is the penasar, or 'those
at the foundation.'
Inside the room protected by the penasar is
Nardayana's wooden puppet box, containing all the
characters in all the stories of the wayang universe.
Each time he performs a wayang play the dalang
chooses some of those puppet characters to inhabit
the shadow world that consists of a banana log earth
and a canvas screen sky illuminated by a coconut-
oil lamp. "The puppet box," explains Nardayana first
using the word keropak and then switching to the
word ^ec/on^ which is the same word used to describe
the containers of the sacred objects in a family temple
shrine, "is symbolic of nature, and its contents. The
puppets are its inhabitants: people, animals, plants,
gods, and all the rest. The dalang at the moment of
the performance, becomes like a god, but only for the
moment of the puppet performance. He gives life to
all of them."
"Yes," agrees Gunarsa enthusiastically. "The dalang is a creator. He can
invent a story like the gods. He can punish the villain with the astra genu
Gunarsa has turned to the world of wayang for the justice that he feels was
denied to him in the world of formal laws and courtrooms. The courtroom
he trusts most is the courtroom of the dalang, where the audience can see
the effects of karmapala without waiting a lifetime. The dalang shortens
the path to justice, so that it can be achieved in the course of an evening's
story.
Adalah sangat cocok mereka diukirkan menjadi
dasar kayonan karena mereka dan dunia mereka
adalah fondasi dari seluruh pertunjukan wayang.
Pada kenyataannya satu nama untuk keempatnya
adalah "penasar," atau 'semuanya sebagai dasar!
Di dalam ruangan yang dijaga oleh penasar adalah
tempat penyimpanan kotak kayu untuk wayangnya
Nardayana berisikan penuh dengan wayang berbagai
karakter untuk seluruh ceritera dunia pertunjukan
wayang. Setiap kali dia mempertunjukkan wayang
ki dalang menggunakan wayang dengan karakter
yang sama untuk menghidupkan dunia pewayangan
berisikan tanah dari batang pohon pisang, layar
kain sebagai langitnya disinari oleh lampu belencong.
"Kotak wayang" Nardayana menerangkan pada
awalnya menggunakan kata keropak kemudian
diganti dengan sebutan gedog yang berarti sama
dengan kata yang digunakan untuk menyatakan kotak
dari obyek suci dalam pura keluarga, adalah symbol
alam dengan segala isinya. Wayangnya adalah mahluk
hidupnya: orang, binatang, tumbuh-tumbuhan,
dewa-dewi, dan yang lainnya. Ketika pementasan
ki dalang tak ubahnya ibarat tuhan, walau hanya
untuk sementara selama mempertunjukkan wayang.
Dia memberi kehidupan kepada semua mahluk itu.
"Ya" Gunarsa setuju dengan penuh antusias. "Ki dalang adalah seorang
pencipta. Dia bisa membuat ceritera tak ubahnya seperti Tuhan. Dia bisa
menghukum si penjahat dengan astra geni." Gunarsa memalingkan dunia
wayang untuk keadilan yang telah ditolak untuknya dalam dunia hukum
formal dari ruang pengadilan. Ruang pengadilan yang lebih dia percaya
adalah ruang pengadilan dari dalang, dimana pemirsanya akan dapat
melihat efek dari karmapala tanpa harus menunggu dalam bentangan
waktu kehidupan. Dalang memperpendek jalan menuju keadilan, sehingga
102
"The laws in Indonesia are not yet firm,"
says Gunarsa. "They are still in a state
of flux. I have been struggling with this
case for eight years, but there is still no
clear decision and no punishment for
those who break the law. The wayang
introduces the theme of karmapala.
The people who commit evil deeds are
punished and those who commit good
deeds are rewarded. It raises the issues
of morality that were ignored when
my case was in court. If we have a law
without morals, what will happen to our
country? The reputation of the country
is at stake, not just the reputation of a
single artist. Other countries will not
have faith in us."
In fact, Indonesia's copyright law, like other
international copyright laws that follow United
Nations' recommendations, does include a
clause referring to the 'moral rights' of the artist.
These moral rights include the protection of an
artist's reputation if it is damaged by forgery or
falsification of the artist's work. The decision
in Gunarsa's case did not mention or take into
account the damage to his reputation which is
covered by the protection of an artist's 'moral
rights.' This is one of the points he will argue if
akan dapat dicapai dalam pergolakan
ceritera semalam.
"Hukum di Indonesia belum kuat,"kata
Gunarsa. "Semuanya masih dalam
keadaan berubah-ubah. Saya sudah
delapan tahun berkutat dengan kasus
ini, masih saja belum adanya keputusan
yang jelas dan tidak ada hukuman
kepada mereka yang melanggar
hukum. Wayang memperkenalkan
tema karmapala. Orang-orang yang
melakukan kejahatan adalah dihukum,
bagi mereka yang melakukan perbuatan
baik diberikan penghargaan. Semua itu
mengangkat masalah-masalah moral
yang mana hal itulah diabaikan ketika
kasus saya masih dalam persidangan.
Jika kita memiliki hukum tanpa
moral, apa yang akan terjadi pada dunia peradilan kita? Reputasi dari
sebuah negara menjadi taruhannya, bukan saja pada reputasi seniman
secara perorangan. Negara-negara lain tidak akan
memiliki kepercayaan pada kita"
Pada kenyataannya, hukum hak cipta di Indonesia,
seperti halnya dengan hukum hak cipta secara
internasional yang diikuti sesuai rekomendasi
Perserikatan Bangsa-bangsa, adalah termasuk
di dalam pasal menunjuk kepada "hak moral"
pada seniman. Hak moral seperti ini termasuk
melindungi reputasi seniman jika dia itu dirugikan
oleh pemalsuan atau cara pemalsuan hasil karya
seorang seniman. Keputusan dalam kasusnya
Gunarsa tidak menyebutkan atau mengambil
perhitungan atas kerugian terhadap reputasinya
103
104
his case is accepted for review by Indonesia's High Court.
While waiting for that opportunity Gunarsa
chose to argue his case in the court of wayang
shadows, where heroes and demons fight over the
truth in cinematic silhouettes cast by the flames
of a coconut oil lamp. On the night of June 12,
2008 when Nardayana presented the sequel to
Anggada's story at Puputan Square in Denpasar,
Gunarsa was seated on the grass in front of the
puppet screen with thousands of other spectators,
watching the copyright laws refracted through the
lens of a dalang's imagination. The location was
the same as it had been more than a year earlier
before the inconclusive trial had begun. The field's
name was appropriate to Gunarsa's seemingly
Quixotic attempts to establish a precedent that would strengthen the laws
of the fourth most populous country in the world. "Puputan" means the
end, but in keeping with the Balinese philosophy of ruabineda, it is also
associated with a beginning. A larger than life monument on Puputan
Square memorializes the attempts of the Balinese King of Badung to defend
Bali against the invasion of the Dutch Colonial army in 1906. The King
and his royal court marched to the sea in their ceremonial temple clothes.
Armed with only wavy kris daggers, they were no match for the cannons
and muskets of the Dutch soldiers who massacred the Balinese contingent,
including the women and children of the court. While it marked the
temporary end of Balinese independence, it also marked the beginning of
world respect for the power of Balinese beliefs. The Balinese King's decision
to perform a symbolic resistance against impossible odds reverberated
around the world. The Dutch were shamed by their barbaric actions, and
consequently allowed the Balinese to rule themselves and continue their
traditional religious activities throughout the centuries of their occupation.
And now that the Dutch have gone and Indonesia is independent, Bali still
yang mana sesunguhnya dilindungi oleh perlindungan dari hak moral untuk
seniman. Ini adalah satu poin yang dia akan desak perdebatkan jika kasusnya
diterima untuk ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung.
menunggu datangnya kesempatan
Gunarsa memilih untuk mendebatkan
Sembari
tersebut,
kasusnya dalam peradilan pertunjukan wayang,
dimana pahlawan dan raksasa berperang untuk
sebuah kebenaran dengan tampilan tokoh melalui
bayangan siluet sinematik dengan sumber cahaya
dari kobaran lampu belencong berminyak kelapa.
Pada malam hari tanggal 12 Juni 2008 manakala
Nardayana mempersembahkan kisah sambungan
kisahnya Anggada di Lapangan Puputan Badung
di Denpasar, Gunarsa duduk di rumput didepan
layar wayang bersama ribuan penonton lainnya,
menonton hukum hak cipta yang dibelokkan
melalui lensa dari imajinasi dalang. Lokasinya
sama dengan pementasan setahun yang lampau sebelum terselesaikannya
penyelesaian sidang pengadilan tengah berlangsung. Nama tempat lapangan
adalah sangat cocok untuk Gunarsa melamun idealis, berusaha untuk
menetapkan sesuatu yang dapat dijadikan teladan yang dapat memperkuat
hukum pada negara yang populasi penduduknya keempat terbesar di
dunia. "Puputan berarti selesai, akan tetapi untuk mengkaitkannya dengan
ruabineda sebagai filosofi konsepsi hidup orang Bali adalah juga diasosiasikan
dengan awal. Lebih besar dari kehidupan sesungguhnya monumen di
lapangan Puputan mengingatkan usaha pencapaian dari seorang Raja
Denpasar penguasa Badung untuk mempertahankan Bali dari invansi tentara
Kolonial Belanda pada tahun 1906. Raja dengan kerabat kerajaan berbaris
ke laut dengan berbusana upacara yang biasa dikenakan untuk ke pura.
Hanya bersenjatakan tombak, keris, golok tidaklah seimbang berhadapan
dengan meriam dan senapan api dari tentara Belanda yang membantai
secara masai pasukan Bali, termasuk wanita dan anak-anak kerabat istana.
Sementara itu sebagai tanda waktu berakhirnya kebebasan orang Bali, dan
juga sebagai tanda awal dunia menghormati kekuatan kepercayaan orang
105
maintains a great deal of autonomy within the Repubhc of Indonesia, partly
out of respect for the traditions embodied by the Puputan and the cultural
values it represents.
Bali. Keputusan raja di Bali adalah simbolik untuk menunjukkan penolakan
melawan kemustahilan rintangan yang menggema diseluruh dunia. Belanda
merasa malu dengan aksi liarnya, sebagai konsekuensinya memberikan orang
Bali untuk mengatur dirinya dan melanjutkan tradisi aktivitas agama mereka
selama pendudukan. Sekarang belanda sudah pergi dan Indonesia merdeka,
Bali masih memelihara perjanjian besar tentang otonomi daerahnya didalam
Negara Republik Indonesia, sebagiannya masih dihormati untuk tradisi
dilandasi oleh jiwa "Puputan" c^an nilai-nilai budaya yang mewakili.
The Puputan Badung was one of Balinese history's most potent examples of
the use of culture as the tip of the spear {ujung tombak). The ceremonial
procession was a performance of courage that symbolized Bali's indomitable
spirit. Every year the Balinese perform theatrical versions of the puputan
massacre, a reminder, like the statue in Puputan Square, that art can be a
powerful weapon, even in the face of seemingly insurmountable odds.
"Puputan Badung" salah satu contoh yang paling kuat dari penggunaan
ujung tombak kebudayaan. Prosesi upacara adalah simbolik pertunjukan
keberanian sebagai lambangnya spirit orang Bali yang gigih. Setiap tahun
orang Bali mempertunjukkan versi pertunjukan teatrikal tentang puputan'
dan pembantaian, dan patung pada lapangan puputan adalah salah satu
pengingat bahwa seni adalah sebagai senjata yang sangat kuat, kendati
dihadapan dari rintangan yang sulit untuk ditanggulangi.
106
In his ongoing battle to strengthen Indonesia's
copyright laws Gunarsa has found another way
to use art as a weapon. "I have chosen wayang
as part of this struggle," he says, "because it is the
media closest to the people and the strongest way
to communicate a moral message to the public,
and the easiest for people to absorb and appreciate.
It reaches a wide audience. The punishment of
karmapala is the result of ruabineda, the actions
of good and evil. Sometimes those principles are
clearer in wayang than they are in the law."
In the version of Anggadas story that Nardayana
performed that night the demon Mayasura was
destroyed by the astrageni, a fiery arrow he had
tried to launch against the slandered hero without
knowing it would turn back on him and reveal
the falseness of his actions and words. Gunarsa
cheered the victory of karmapala with the rest
of the audience. "The one who is wrong will be
destroyed by karmapala. That is the meaning of
that weapon. That is the connection to my case.
The point is that no matter what or where, I have
to search for the truth. My task here is not for
myself, but for my descendants, my grandchildren. The copyright laws have
to be upheld."
At the end of the play, two comic characters, Cenk and Blonk, who are
inserted into all of Nardayana's stories as representative voices of ordinary
Dalam perjuangan yang tidak berkesudahan untuk
menguatkan hukum hak cipta di Indonesia Gunarsa
mendapatkan jalan lain yakni menggunakan seni
sebagai senjata. "Saya menggunakan wayang sebagai
bagian dari pergumulan ini, oleh karena dia sebagai
media yang paling dekat kepada masyarakat dan
sebagai jalan yang paling kuat mengkomunikasikan
pesan-pesan moral kehadapan publik, dan sesuatu
yang paling mudah bagi masyarakat dalam
menyerap dan mengapresiasi. Bisa menjangkau
penonton secara luas. Hukuman dari karmapala
adalah hasil dari ruabineda, akibat dari hasil kerja
baik ataupun buruk. Terkadang prinsip tersebut
adalah menjadi jelas dalam pertunjukan wayang
dibandingkan dengan didalam hukum."
Di dalam versi kisahnya Anggada yang
dipertunjukkan oleh Nardayana pada malam hari
itu, raksasa Mayasura dihancurkan oleh senjata
astrageni, sebuah senjata berapi-api yang dia
coba lepaskan untuk membunuh musuhnya sang
pahlawan tanpa mengetahui semuanya itu akan
berbalik arah pada dirinya sendiri serta mencerca
kesalahnnya dari perbuatan dan kata-katanya.
Gunarsa mengelukan kemenangan dari karmapala
bersama dengan penonton lainnya. "Seseorang yang
bersalah akan dihancurkan oleh karmapala. Itulah
artinya dari senjata tersebut. Ini berhubungan
dengan kasus saya. Pada prinsipnya tidaklah peduli tentang apa dan dimana,
saya harus mencari kebenaran. Tujuan saya disini tidak semata untuk diri
sendiri, akan tetapi juga untuk generasi penerus saya, anak cucu saya. Hukum
hak cipta mesti harus ditegakkan!'
Pada akhir pementasan dua tokoh badut Cenk dan Blonk yang disisipkan
kedalam seluruh ceritera pertunjukan wayang Nardayana sebagai representasi
107
.;A4Ar*t^;;;
people, find the demon's body after he has been struck down by the
weapon called astra geni. They decide that Mayasura's demise is the result
of karmapala and exchange opinions about the meaning of copyright law.
Their commentary connects the fate of the ancient characters who appear
in the story with the contemporary concerns of the audience. The kayonan
puppet appears on the screen, representing the tree of life that contains
all stories. Offerings are made and the audience goes home. The dalang
makes offerings to the gods and relinquishes his exalted status to become an
ordinary man again. His wayang performance has played a role in inspiring
a fight against the unfair enforcement of copyright laws. Gunarsa believes
that the just enforcement of these laws will benefit the reputations of all
Indonesian artists, and of the country itself. Nardayana's shadow puppets
and Gunarsa's paintings will not change the copyright laws on their own,
but their symbolic force is rooted deeply in Bali's sacred traditions. Part
of the arsenal of cultural weapons that have
been wielded successfully by the Balinese for
generations, the puppets and the paintings
are imbued with the persuasive power that
resides at the 'tip of the spear."
omongan orang kebanyakan, menemukan jasadnya raksasa setelah
tersungkur dihantam oleh astrageni. Mereka berkesimpulan bahwa kematian
Mayasura adalah sebagai akibat dari karmapala dan kemudian mengalihkan
pikiran mereka tentang arti dari hukum hak cipta. Komentar mereka
berhubungan dengan takdir dari tokoh-tokoh kuno yang dimunculkan melalui
ceritera dengan kepedulian terhadap masalahnya penonton berlangsung p ada
masa kini. Wayang kayonan muncul di layar sebagai penggambaran pohon
kehidupan yangberisikan semua ceritera. Upakara dihaturkan ketika penonton
pada bergegas pulang. Ki dalang menghaturkan sesajen kehadapan Tuhan
melepaskan status suci dirinya kembali menjadi orang biasa. Pertunjukan
wayangn)/a telah memainkan peran dalam menginspirasikan pertempuran
melawan ketidak adilan memperkuat hukum hak cipta. Gunarsa percaya
bahwa hanya dengan memperkuat dari hukum-hukum ini akan bermanfaat
pada reputasi untuk seluruh seniman dan negara sendiri. Pertunjukan
wayangnya Nardayana dan lukisan-lukisan
Gunarsa tidak bakalan merubah hukum
hak cipta dengan sendirinya, akan tetapi
tekanan simboliknya adalah mengakar amat
dalam didalam tradisi sakral di Bali. Bagian
dari gudang senjata kebudayaan yang telah
memiliki kesuksesan untuk orang Bali dari
generasi ke generasi, pertunjukan wayang
dan lukisan adalah menghilhami dalam
membujuk kekuatan yang berada pada
'ujung tombak"
Pf RC/. M l' F) ^^Zi Pff.vrif
109
no
A PRIEST'S
PERSPECTIVE:
The Light and the Dark
Perspektif Pendeta:
Terang dan Gelap
111
"Om Aditya Sya Param Jyoti Rakta Teja Namastute Sweta Pangkaja
Madhyasthah Bhaskara Ye Namastute."
"Om, Lord of the Sun whose glory illuminates the world with fiery light
that shimmers and glistens in the heart of the lotus flower, I worship You."
"Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau
Bersinar Merah, Hormat Pada-Mu, Engkau Yang Berada Ditengah-
tengah Teratai Putih, Hormat Pada-Mu Pembuat Sinar."
"Om Sanghyang Surya yang maha hebat menyinari dunia dengan
sinar merekah berkerdip gemerlapan di dalam bunga teratai, hamba
memunjaMu."
The Balinese prayer quoted above was chanted
by the dalang Nardayana before he began the
wayang shadow puppet performance that
alluded to Gunarsa's copyright trial. It is a
sacred invocation that calls on the sun to
witness the play and inspire it with the truth
that is inherent in its illuminating rays of light.
The same mantra is chanted by Balinese high
Brahmin priests every morning when they
pray to the sun, which is a manifestation of the
highest god in the Balinese-Hindu Pantheon,
Sang Hyang Widi Wasa.
The high priest of Gria Taman in Sanur, Ida
Pedanda Ketut Sidemen interprets the prayer's
first line as "asking for the blessing of sun's rays
to enlighten the world, because without that
illumination, there would be no truth in the
world. There would be no words. The light of
the truth gives birth to words."
Mantram pemujaan orang Bali yang dipetik
di atas dilantunkan oleh dalang Nardayana
jelang dia memulai pertunjukan wayang
kulitnya yang dikaitkan dengan peradilan hak
ciptanya Gunarsa. Adalah sebuah lantunan
matram yang sakral dengan memanggil Dewa
Surya untuk menyaksikan pertunjukannya
yang diinspirasikan oleh kebenaran yang
tidak bisa dipisahkan dari penerangan
sinar cahayaNya. Mantra yang sama juga
dilantunkan oleh para pendeta pada pagi
setiap harinya memuja Dewa Surya, sebagai
manifestasi personifikasi Tuhan Yang Maha
Esa dalam Pemujaan Kahyangan Jagat, Sang
Hyang Widi Wasa.
Seorang pendeta dari Geria Taman
di Sanur, Ida Pedanda Ketut Sidemen
menginterpretasikan bait pemujaan tersebut
pada baris pertamanya ''memohonkan
perlindungan dari sinar sucinya surya yang
menyinari dunia, tanpa sinar beliau, tidak
bakalan ada kebenaran didunia. Tidak akan
ada kata-kata. Sinar kebenaran memberikan
kelahiran kata-kata."
112
Hie dalang and the priest are both concerned about the relationship between
Hght and truth. When the dalang invokes the sun, it is night, and he hopes
that the flame of his coconut-oil lamp will be blessed to symbolically take
the place of the sun in the microcosm of the wayang universe. The lotus
flower is also invoked in the prayer as an earthly manifestation of the sun's
illuminating powers. The kawi word used for lotus flower is pangkaja which
literally means 'the eastern light in the mud." The lotus flower closes in the
night and opens in response to the sunlight. It operates on the principles of
ruabineda that are embedded in its name. It reaches for the light of the sun
at the same time that it is rooted in the darkness of the mud.
When he learned of Nardayana's shadow play allegory about the copyright
trial, Ida Pedanda Ketut Sidemen responded with a flood of stories on
similar themes that could also illuminate the issues behind Gunarsas case.
The similarities between the responses of the priest and the responses of
the dalang reveal how deeply the issues in Gunarsas trial are linked to the
spiritual, religious, and cultural concerns at the core of Bali's traditions. The
watercolors of Gunarsa capture these themes in painted lines. The wayang
shadow puppet plays of Nardayana capture the same themes in narrative
performance. And the reflections of the priest confirm the spiritual roots
of these issues in Balinese Hindu phflosophy. All three of these individuals
see the concept of copyright as something that goes beyond the legal issues
in a secular courtroom to touch upon sacred concepts linked to ruabineda,
the true and the false, visible and invisible worlds, darkness and light,
dharma and adharma.
Ida Pedanda Ketut Sidemen's observations on these issues are particularly
flluminating, because he is a poet as well as a priest. He approaches the
issues with an artistic mastery of language and literature that matches the
virtuosity of Gunarsa and Nardayana in their respective fields. The painter.
Ki dalang dan pendeta keduanya berurusan dengan hubungan diantara
sinar dan kebenaran. Ketika dalang memohon kehadapan dewa surya,
pada saat itu adalah malam hari, dan berharap kobaran api dari lampu
minyak kelapanya (T)elencongj akan memberi restu secara simbolik
mengambil tempat surya di alam jagad kecil yakni dunianya wayang.
Bunga teratai juga diberi mentera sebagai manifestasi surya di bumi yang
menyinari penuh kekuatan. Kata dari bahasa kawi digunakan untuk
teratai adalah pangkaja' yang secara harafiah berarti 'sinar didalam
lumpur." Bunga teratai kuncup diwaktu malam hari dan kembang sewaktu
memberi respon kehadapan sinar matahari. Hal itu berjalan pada prinsip
ruabineda seraya tertanam dalam namanya. Bunga tersebut disatu sisi
menggapai sinar sang surya pada waktu bersamaan mengakar dalam
kegelapan lumpur.
Ketika beliau belajar pada kiasan pertunjukan wayangnya Nardayana
tentang peradilan hak cipta, Ida Pedanda Ketut Sidemen memberi
respon membanjiri dengan ceritera dalam tema yang hampir sama yang
kiranya dapat menerangi isu-isu dibalik kasusnya Gunarsa. Persamaan
diantara responnya pendeta dan responnya dalang menyatakan betapa
dalamnya persoalan dalam peradilan Gunarsa adalah berkaitan dengan
kepedulian spiritual, religius, dan kebudayaan dalam intinya tradisi Bali.
Dalam lukisan cat airnya Gunarsa menangkap tema-tema ini dilukiskan
berurutan. Pertunjukan wayang kulitnya Nardayana menangkap tema-
tema yang sama dalam naratif pertunjukannya. Demikian juga halnya
refleksi dari seorang pendeta mempertegas akar spiritual dari persoalan
ini melalui filsafat Hindu Bali. Ketiga individu ini melihat konsep hak
cipta sebagai sesuatu yang membentang melewati persoalan hukum formal
dalam ruang pengadilan yang sekuler lebih jauh lagi menyentuh konsepsi
sakral yang berhubungan dengan ruabineda, benar dan salah, dunia nyata
dan dunia maya, kegelapan dan penerangan, dharma dan adharma.
Observasi Ida Pedanda Ketut Sidemen terutamanya pada persoalan ini
dapat memperjelas, oleh karena beliau selain seorang sastrawan beliau juga
seorang pendeta. Beliau mendekati persoalan dengan kepiawian dalam
memformulasi bahasa dan literatur memiliki kecocokan dengan keahlian
113
^'W
.#i ^"'■
:<j
the puppet master, and the poet/priest each provide their own unique artistic
and spiritual perspectives on the meaning of copyright.
"The dalanghsLS to think about which of these many stories matches the case
most closely," the priest said. "It's like when I chant a prayer. I choose the
one that fits the occasion. There are lots of stories that teach the philosophy
of ruabineda. In the Ramayana and the Mahabhrata many episodes are
based on the philosophy of ruabineda and the importance of knowing the
difference between the false and the true. The same ideas can be found in
the Tantri stories."
One of the stories the priest recalls is about a heron (cangak) that dresses
up as a priest in order to earn the trust of some fish and make it easier for
him to eat them. "The fish mistake him for someone who follows the laws
ofdharma (religious integrity and truth), because he has the right costume,"
dalam teknik dari Gunarsa dan Nardayana dalam bidang keahliannya
masing-masing. Pelukis, dalang, dan pendeta sastrawan masing-masing
memberikan keunikan artistik dan perspektif spiritual berkenaan dengan
arti dari hak cipta.
"Ki dalang harus memikirkan yang mana diantara sekian banyaknya ceritera
kiranya paling cocok atau mendekati persoalan" kata pendeta. "Itu sama
halnya bilamana saya melantunkan mantra. Saya memilih satu diantaranya
yang paling cocok dengan peristiwa atau upacara. Ada banyak ceritera yang
mengajarkan filsafat fenfan^ ruabineda. Dalam Ramayana dan Mahabharata
banyak episode berdasar pada filsafat ruabineda dan pentingnya dalam
mengetahui perbedaan diantara yang salah dengan yang benar. Ide yang
sama bisa didapat di dalam ceritera Tantri"
Satu ceritera yang disebut oleh pendeta adalah kisah tentang burung bangau
yang berbusana sebagai seorang pendeta agar mendapat kepercayaan dari
sejumlah ikan untuk memudahkan dia memakan mereka. "Kesalahan ikan
kehadapannya yakni seseorang yang mengikuti hukum dharma (kejujuran
114
recounts the priest. He has the headdress and everything. But he is a
counterfeit priest. A false priest."
"The fish are crying, because the lake they live in is drying up," continues
the priest. "So they turn to the bird dressed as a priest, because they think
he is a holy man." Although the priest is speaking in Indonesian he uses the
low Balinese word "sadu" for holy man to emphasis the low status of the
deceitful impersonator. "He promises to take the fish to a place with lots of
water, but instead he takes them to a dry rock, where he eats them. Then
along comes a crab (yuyu), whose name is associated with the truth (yukti)"
Again the priest plays with language to emphasize the story's elements of
ruabineda: the falseness of the fake priest and the truth inherent in his
antagonist. The word for crab in Balinese is yuyu, which the priest conflates
with the word for truth which is yukti. "The crab knows the heron is a liar,
so he bites him in the neck and kills him. In this story the crab becomes the
judge who knows the difference between the true and the false, because his
name means truth. That is the victory ofkarmapala"
religius dan kebenaran), oleh karena dia mengenakan busana yang benar"
ceritanya pendeta. Dia memakai mahkota dan reagalia yang lain. Akan tetapi
dia adalah pendeta gadungan. Pendeta bohongan."
"Ikan pada menangis, oleh karena danau dimana mereka tinggal akan
mengering," pendeta melanjutkan. "Demikian mereka berpaling pada si
burung yang bermahkota pendeta, oleh karena mereka kira dia adalah
orang sadu," Kendati pendeta berbicara dalam bahasa Indonesia beliau
menggunakan kosa kata bahasa bali rendah "sadu" untuk kata orang suci
untuk memberi penekanan pada status rendah penyamar yang curang. "Dia
berjanji untuk memindahkan semua ikan ke tempat yang airnya melimpah,
akan tetapi sebaliknya mereka dibawa ke tempat batu karang yang kering,
dimana mereka dimangsa semuanya. Kemudian datang si kepiting yang
namanya diasosiasikan dengan kebenaran" Kembali pendeta bermain
dengan bahasa dari ceritera untuk menegaskan elemen dari ruabineda:
kepalsuan dari pendeta gadungan dan kebenaran yang melekat pada diri
lawannya. Kata untuk kepiting dalam bahasa Bali adalah 'yuyu' yang mana
pendeta menyamakan dengan kata untuk kebenaran yakni 'yukti! "Kepiting
115
The priest tells the story to a foreign visitor in the his home in Sanur, but
by the time he finishes a crowd of Balinese guests and relatives has gathered
around the pavilion where the priest is sitting, laughing and commenting
on the story amongst themselves. Sensing the enthusiasm of his impromptu
audience the priest continues telling entertaining allegories that provide
insight into the theme of truth and falseness. Songbirds perched in flowered
cages throughout the open-air courtyard provide a musical accompaniment
to his improvised performance. Eventually he pulls out a manuscript written
in the fluid curves of the Balinese alphabet and begins to sing verses from a
poem he has written himself on the theme. It is a sequel to the Tantri story
of the heron and the crab.
The priest prefaces his singing with a casual explanation of the plot and
the themes of the poem. "I could add another story, which is also about
a heron, who wants to catch fish but can't fly," says the priest. "He sees
another big bird diving for fish from the air and tries to do the same thing,
but when he dives into the water, he is so big that he can't get out. So he
is washed up on the shore and meets a crab. The crab asks him why he
was in the water and the bird says he was trying to help the fish because
he feels sorry for them. The crab knows that he is the descendent of the
other heron who deceived the fish and killed them, so he says, 'I know your
ancestor also felt sympathy for the fish and helped them to move. What
can I do to repay the debt that the fish owe your ancestor.' The bird asked
to be taken to a peaceful place, because he could no longer walk on his
own. The crab carried him to a hot dry rock, like the one his ancestor had
flown to with the fish. When the stork was weak from the heat of the sun,
the crab pinched the bird's long beak with his claws and told him he was
evil. You have been lying to cover up your evil deeds like your ancestors.
mengetahui si burung bangau adalah pendusta, dan dia menjepit lehernya
si bangau sampai dia mati. Dalam kisah ini si kepiting menjadi hakim yang
mengetahui perbedaan yang benar dengan yang palsu, oleh karena namanya
sendiri berarti kebenaran. Itu adalah kemenangan dari karmapala."
Pendeta menceriterakan kisah ini dihadapan orang asing di tempat tinggal
beliau di Sanur, ketika menyelesaikan kisahnya kerumunan orang Bali dan
kerabat yang berkumpul diseputar balai dimana pendeta duduk, tertawa dan
mengomentari diantara mereka tentang ceritera tersebut. Mengetahui antusias
dari pendengarnya yang tidak memiliki persiapan sebelumnya, pendeta
melanjutkan memberikan kiasan yang menghibur menyediakan pengertian
yang mendalam pada tema kebenaran dan kepalsuan. Kicau burung yang
bergantung pada sangkarnya yang berornamentasi bunga-bungaan di alam
tempat tingal beliau yang terbuka seakan menyediakan musik pengiring pada
pertunjukan improvisasinya. Pada akhirnya beliau mengeluarkan lontar yang
ditulis mengalir dengan ukiran abjad huruf Bali, dan memulai menyanyikan
sajak dari puisi yang beliau karang sendiri dalam tema ini. Itu adalah bagian
dari ceritera Tantri tentang burung bangau dan kepiting.
Pendeta memberi prawacana pada nyanyiannya sebagai penerangan
bersahaja tentang alur dan tema dari puisinya. "Saya bisa tambahkan
dengan ceritera yang lain, yakni tentang kisah si burung bangau juga,
yang ingin menangkap ikan namun tidak bisa terbang," kata pendeta. "Dia
melihat burung besar lainnya menyelam untuk mendapatkan ikan dari
udara dan dia mencoba melakukan hal yang sama, akan tetapi ketika dia
menyelam di air, dia terlalu besar dan tidak bisa keluar. Dengan demikian
dia mandi ditepian dan bertemu dengan kepiting. Si kepiting bertanya
padanya, kenapa dia ada di dalam air dan si burung menjawab karena
dia merasa kasihan dengan warga ikan dan dia ingin membantu mereka.
Si kepiting mengetahui dia itu adalah keturunan dari burung bangau yang
menipu ikan-ikan dan membunuh mereka, demikian katanya, 'Aku tahu
leluhurmu juga merasa kasihan kepada kelompok ikan dan membantu
mereka untuk memindahkannya. Apa yang dapat aku lakukan untuk
membayar hutang budi yang membebani para ikan terhadap leluhurmu.' Si
burung memohon untuk dibawa ketempat yang aman, mengingat dia tidak
116
That is why I cut off your beak so you can't speak Ues
anymore."
The priests sequel to the Tantri story ends with the
bird's disfigurement rather than death, but its theme
is similar to the original. "This story is another
example of how karmapala works," he says. "I wrote
about the descendants of the birds from the Tantri
story to show that old stories still have truths that
can be useful to us today."
Having introduced the tale in prose, the priest begins
to sing in a deep and gruffly melodious voice. The
poetry is written in sophisticated rhythmic structures
in language so lyrical that even some Balinese do
not understand all the nuances of the words. He
stops every few lines to translate the story into the
common vernacular, breaking the hypnotic spell of the song to comment
on the action as if describing for the audience a scene from an invisible
world that only he could see. "The heron is expressing his sympathy for
the fish that are stranded on the beach and drying out in the sun." Then
he sings again, the inflections of his voice changing slightly as the point
of view shifts from the bird to the crab. "The crab knows the heron is not
telling the truth and that his words do not match his intentions, but he
does not want to say directly that the bird is lying, so he just listens." The
kuat lagi berjalan sendiri. Si kepiting membawa
dia ke tempat karang yang kering, seperti halnya
leluhurnya menerbangkan ikan-ikan kesana. Ketika
si burung bangau semakin melemah dari sengatan
sinar matahari, si kepiting menjepit leher panjang
si burung dengan cangkangnya dan memberi
tahu padanya bahwa dia adalah seorang yang
kejam. Kamu sesungguhnya berbohong menutupi
perbuatan kejimu seperti halnya leluhurmu. Oleh
karenanya aku potong paruhmu sehingga kamu
tidak berbohong lagi"
Cuplikan kisah tantrinya sang pendeta berakhir
dengan perusakan wajah ketimbang dibunuh, akan
tetapi tema intinya sama dengan yang asli" Kisah ini
adalah contoh yang lain dari bagaimana karmapala
berproses," katanya. "Saya tulis tentang keturunan si
burung dari ceritera Tantri untuk memperlihatkan
kisah dari masa lampau masih memiliki kebenaran
yang masih berguna untuk masa kini"
Dalam memperkenalkan kisah ini didalam bentuk
prosa, pendeta bernyanyi keras dengan suara merdu.
Syairnya ditulis dalam ritme yang sangat kompleks
dalam lirik bahasa yang terkadang sukar dapat
dimengerti nuansa bahasanya kendati oleh orang
Bali sekalipun. Beliau berhenti pada setiap beberapa
baris untuk menterjemahkan ceriteranya ke dalam bahasa daerah yang
umum, memenggal ejaan hipnotis nyanyian tersebut untuk dikomentari
dari bahasa kuno dengan menceriterakannya kembali kepada pemirsanya
dari dunia maya yang hanya beliau sendiri yang dapat melihatnya. "Burung
bangau menunjukkan rasa simpatinya kepada ikan-ikan yang terdampar di
tepian danau sekarat karena terik matahari" Kemudian beliau bernyanyi
lagi dengan liukan dan getar suaranya sedikit berubah ketika beberapa
pergantian pertemuan antara si burung dengan si kepiting. "Kepiting
117
priest goes back to singing, drawing his listeners into another world, before
he stops to translate again. "He is the descendant of the heron who wore
white clothes and pretended to be a priest, so that he could eat the fish." As
the story progresses the priest sings longer and longer before stopping to
translate, as if the poem won't let him stop singing. "The crab knows that
the heron is only pretending, but he says nothing and just amuses himself
by listening to the heron's lies." Soon the priest is so wrapped up in the
singing that he stops only long enough to tell his listeners that he doesn't
want to stop. "Now the crab is telling the story of their ancestors. I will
translate later." From this point the priest sings without interruption. His
informal audience is entranced, regardless of
how much of the text they actually understand.
When he finishes singing the last stanza, the priest, shifts into a more
casual mode of speech, addressing the intimate gathering in the courtyard
like a grandfather talking to his family. He takes off the thick-lensed black
glasses he wore to read the poem and looks directly into the faces of his
listeners. "The crab is the voice of truth," the priest explains, "This is
what he says to the heron: 'Your deceitful ancestor dressed up in white
with a priest's headdress, imitating a holy man for evil ends. Now you
want to do the same thing. But it is wrong." The priest's is soft spoken,
but his manner gives the impression that he is speaking to each person
present as if he or she were the heron in the story. "Don't make the same
mistakes as your ancestors. It is sinful. You are living by exploiting the
118
mengetahui si burung bangau tidak mengatakan yang benar dan kata-
katanya tidak nyambung dari apa yang dia utarakan, akan tetapi dia tidak
mau mengatakan secara langsung bahwa si burung adalah berbohong, dengan
demikian dia hanya diam mendengarkannya." Pendeta kembali bernyanyi
menarik perhatian pemirsanya ke dalam dunia lain, sesaat dia berhenti
untuk menterjemahkannya lagi. "Dia adalah keturunan dari burung bangau
yang mengenakan busana putih dan berpura-pura sebagai pendeta, dengan
cara itu dia bisa memangsa ikan." Demikian ketika ceritera bergerak maju
pendeta bernyayi semakin lebih panjang dan tidak lagi menterjemahkannya,
seakan puisinya tidak memberi kesempatan kepada beliau untuk berhenti
bernyanyi. "Kepiting mengetahui bahwa si
burung bangau adalah hanya berpura-pura,
bahkan dia tidak bilang apa-apa dan hanya
diam sembari mendengarkan si burung bangau
berbohong" Hampir si pendeta diliputi dengan
nyanyiannya dia hanya berhenti sejenak untuk
memberitahu pemirsanya bahwa dia tidak ingin
berhenti. "Sekarang si kepiting menceriterakan
kisah leluhurnya. Saya akan terjemahkan
nanti" Dari titik ini pendeta bernyanyi tanpa
ada yang menyelanya. Pendengar informalnya
terpesona mengabaikan berapa banyak mereka
sesungguhnya dapat mengerti teks lagunya.
Ketika beliau selesai menyanyikan bait yang terakhir, sang pendeta, beralih
suasana pembicaraannya menjadi lebih biasa, menunjuk keakraban
kebersamaan di halaman seperti halnya seorang kakek berbicara kepada
keluarganya. Beliau melepas kacamatanya yang hitam tebal yang beliau
kenakan untuk membaca dan memandang langsung pada wajah-
wajah pemirsanya "Kepiting tersebut adalah suara dari kebenaran,"
pendeta menerangkan. "Beginilah katanya kehadapan si burung bangau:
"Leluhurmu yang curang berbusana putih dengan mahkota pendeta,
menirukan orang suci yang pada akhirnya berbuat kejahatan. Sekarang
kamu mau melakukan hal yang sama. Akan tetapi itu adalah salah" Sang
pendeta berucap lirih, akan tetapi caranya memberikan kesan bahwa beliau
suffering of others, by taking things that are not yours, by choosing a path
that is not truthful. You have a long mouth that you use to lie, so in order
to stop you from saying anything else that isn't true, I am going to cut your
beak."
The small audience laughs at the victory of karmapala, perhaps out of relief
that their own beaks are still intact. "That story is not in the book of Tantri,"
the priest announces, laughing along with them. "I wrote it myself It is
about ruahineda. It is about the true and the false. The crab is the truth and
the heron is falsehood. Because the crab knows the stories of his ancestors,
he is not deceived by the descendant of the heron. The crab knows the
truth. He sees the truth. He speaks the truth."
"Ruahineda deals with the true and the false. The crab is the truth and the
heron is the false. They are the descendants of the characters in the tantri
story who also represented truth and falseness. Because the crab knows
the stories of his ancestors, he is not deceived by the descendant of the
heron. He knows about the past deception and falseness, but he does not
say anything."
The priest's variation of the story gives the plot new resonance for
a contemporary audience. They listen to the new encounter between
the heron and the crab with a double awareness. Knowing about the
meeting of the characters' ancestors adds a layer of irony to the narrative
for the audience, enabling them to appreciate the crab's manipulation
of the heron. They can laugh with the crab as he lures the heron into
unknowingly asking for his own punishment by agreeing that the sacred
books demand past debts be repaid. They can also contemplate a new
dimension of ruahineda when they learn that the crab, a representative of
herhicara kepada setiap orang yang hadir seperti halnya mereka adalah
hurung hangau dalam ceritera. "Jangan herhuat kesalahan yang sama
seperti yang dilakukan oleh leluhurmu. Itu penuh dosa. Kamu hidup dengan
mengeksploitasi kesengsaraan orang lain, dengan mengamhil sesuatu yang
hukan milikmu, dengan memilih jalan yang hukan jalan kebenaran. Kamu
memiliki mulut panjang untuk herbohong, dengan demikian agar dapat
mengehentikan kamu dari mengatakan hal-hal lain yang tidak benar, saya
akan memotong paruhmu."
Pemirsa yang jumlahnya tidak begitu banyak tertawa pada kemenangan
dari karmapala, barangkali dapat pembebasan bahwa paruh mereka masih
utuh. "Kisah itu tidak ada di buku Tantri," pendeta memberitahukan,
sambari tertawa bersama mereka. "Saya sendiri yang menulisnya. Ini
semua berkenaan dengan ruabineda. Adalah berkenaan dengan kebenaran
dan kebohongan. Si kepiting adalah kebenaran dan burung bangau adalah
kebohongan. Oleh karena si kepiting mengetahui kisah leluhurnya, dia
tidak ditipu oleh keturunan si burung bangau. Si kepiting mengetahui yang
benar. Dia melihat yang mana benar. Dia berbicara benar"
"Ruabineda adalah tentang benar dan salah. Si kepiting adalah benar dan
si burung bangau adalah salah. Mereka adalah keturunan dari kisah dalam
ceritera Tantri yang juga menggambarkan kebenaran dan kebohongan. Oleh
karena si kepiting mengetahui tentang kisah leluhurnya, dia tidak ditipu
oleh keturunan burung bangau. Dia mengetahui tentang kebohongan dan
kebenaran pada masa lampau, namun dia tidak bilang apa-apa,"
Variasi yang diberikan oleh pendeta pada ceritera tersebut memberikan
alur baru untuk pendengar masa kini. Mereka mendengarkan pertemuan
baru diatara burung bangau dengan si kepiting dengan kesadaran ganda.
Mengetahui tentang pertemuan tokoh-tokoh leluhurnya menambah satu
lapisan ironi pada naratif untuk pemirsanya, memungkinkan mereka lebih
mengapresiasi si kepiting akan perbuatan curang si burung bangau. Mereka
boleh tertawa dengan si kepiting yang memancing si burung bangau tanpa
mengetahuinya menanyakan untuk hukumannya dengan menyetujui bahwa
tuntutan buku suci terhadap hutang pada masa lampau harus dibayar.
119
the truth, has to resort to deception to bring the heron to justice.
The priest's subtle reframing of the tale also highlights an important theme
that is not explicit in the original. The crab acquires truth through his
familiarity with the stories of the ancestors. If he had not studied that
history, he might not have known the true intentions of the heron. This
new twist enables the priest to emphasize the importance of reading history
and literature. He is suggesting that the wisdom found in these old texts
remains useful from generation to generation and can still be a useful tool
for survival in the modern world.
To explore this idea further the priest explains the meaning of the name of
the Hindu goddess Saraswati, who is believed to be the source of all written
words and wisdom. "In the old Javanese language of kawi," says the priest,
"sara means weapon, swa means line, and ti means behavior, or the way we
conduct ourselves. Saraswati is the one who gives us a line, a guide that
we can use for modeling our behavior. These guidelines or regulations are
weapons. The wisdom to know which actions we can imitate and which
we cannot makes us strong. Knowledge is the weapon we receive from
Saraswati."
Like many of the themes discussed by the priest, the concept of Saraswati as
a source of wisdom, literature, and knowledge was presented in Nardayana's
shadow puppet play about the copyright trial. The story of the case evokes
similar responses from the dalang and the priest, both of whom have
studied sacred Hindu texts extensively, and view them as cultural weapons
associated with the power of truth.
Mereka juga dapat merenungkan dimensi baru tentang ruabineda ketika
mereka belajar bahwa si kepiting itu adalah representasi dari kebenaran,
harus menempatkan segala bentuk penipuan dari si burung bangau untuk
dibawa ke pengadilan.
Pembingkaian kembali yang sulit dipisahkan kepunyaannya pendeta terhadap
kisah tersebut yang juga menyoroti tema penting yang tidak termasuk di
dalamnya pada kisah aslinya. Si kepiting memperoleh kebenaran melalui
keakrabannya dengan kisah dari leluhurnya. Jika dia tidak pernah belajar
sejarah tersebut, mungkin saja dia tidak mengetahui niat sesungguhnya
dari si burung bangau. Pembelotan yang baru seperti ini memungkinkan
pendeta untuk menekankan pentingnya membaca sejarah dan literature.
Beliau mengusulkan bahwa kebijaksanaan yang terdapat di dalam teks-
teks kuno tetap dapat berguna dari generasi ke generasi sebagai alat untuk
kelangsungannya di dalam dunia moderen.
Dalam mengeksplorasi ide ini lebih jauh pendeta menjelaskan arti dari
Dewi Saraswati dalam ajaran Hindu, yang dipercaya sebagai sumber untuk
semua dunia tulis menulis dan kebijaksanaan. "Dalam Bahasa Jawa Kuno
yakni bahasa kawi" kata pendeta, "sara berarti senjata, swa berarti garis,
dan ti berarti perangai, atau tata cara kita memperlakukan diri kita sendiri.
Saraswati adalah satu-satunya yang memberi kita garis, sebuah tuntunan
yang dapat digunakan untuk memperagakan prilaku kita sendiri. Petunjuk
atau peraturan seperti ini adalah senjata. Kebijaksanaan untuk mengetahui
yang mana aksi yang dapat kita tiru dan yang mana tidak dapat membuat
kita kuat. Pengetahuan adalah senjata yang kita terima dari Saraswati"
Seperti halnya banyak tema yang didiskusikan oleh pendeta, konsepsi
Saraswati sebagai sumber kebijaksanaan, literatur, dan pengetahuan juga
dipersembahkan dalam pertunjukan wayangnya Narday ana tentangperadilan
hak cipta. Ceritera dari persoalan menimbulkan persamaan respon baik oleh
dalang maupun oleh pendeta, keduanya telah mempelajari teks dari buku
suci Hindu secara ekstensif, dan memandangnya sebagai senjata kebudayaan
diasosiasikan dengan kekuatan kebenaran.
120
"The strongest weapons come out of ideas, not guns," says Ida Pedanda
Singarsa. "One of my ancestors, Sang Hyang Dwi Jendra, wrote a poem
called "Niti Sara." Niti means idea or thought, and sara means weapon,
so the name of the poem means 'Thought- Weapons.' It is a collection of
short powerful ideas expressed in poetry. The meaning of the title is that
power can be found in ideas. And the powerful can be defeated by using
ideas. That is why in some of the old Tantri stories the monkey can defeat
the tiger. The tiger is more powerful, but the monkey has the weapon of his
thoughts. Thoughts can also be tricks. Tricks are thoughts that have been
well cooked or ripened."
One of the poems in "Niti Sara" is also about the
difficulty of finding truth. "My ancestor wrote
that there is no truth in the world, and there will
never be any truth until lotus flowers grow out of
stones."
The poetic fragment that the priest recalls invites
deeper reflection. Its contradictions are rooted in
the same philosophy of ruabineda that informs
most Balinese Hindu beliefs. The lotus, whose Kawi
nsime, p angkaj a, is itself a contradiction, suggests a
source of light that grows out of darkness. The lotus
blossom is a central image in Balinese Hinduism.
The circular arrangement of its petals is viewed as a
microcosm of the cosmos in which each major diety
inhabits a cardinal direction and Siwa, lives in the
center. This arrangement is known as Nawasanga
or 'nine nines." As the dwelling place of the sacred
sources of enlightenment, the lotus flower can be
seen as a metaphor for the truth, as can Dwi Jendra's poetic paradox about
the lotus growing out of the stone. If, as the priest's ancestor suggests, real
truth cannot be found in the material world until a lotus flower grows out
of a stone, humans might have to wait until they die to experience truth in
"Senjata yang paling kuat keluar dari ide, bukan sejata api" kata Ida Pedanda
Singarsa. "Satu dari leluhur saya yakni Sanghyang Dwi Jendra, menulis puisi
disebut "Niti Sara." Niti berarti ide atau pikiran, dan sara berarti senjata,
dengan demikian nama dari puisi berarti 'Senjata-Pikiran.' Adalah kumpulan
dari ide pendek yang berkekuatan tinggi dinyatakan di dalam puisi tersebut.
Arti dari judul tersebut adalah kekuatan bisa didapat di dalam ide. Dan
kekuatan dapat dikalahkan dengan menggunakan ide. Oleh karenanya
kenapa di beberapa ceritera kuno Tantri si kera dapat mengalahkan si
harimau. Si harimau jauh lebih kuat, akan tetapi si kera memiliki senjata
pikirannya. Pikiran bisa juga muslihat. Muslihat adalah pikiran yang telah
dimasak dengan sempurna atau sudah matang.
Salah satu puisi di dalam "Niti Sara" adalah juga
tentang kesulitan mencari kebenaran. "Leluhur
saya menulis bahwa tidak ada kebenaran didunia,
tidak bakalan ada kebenaran sampai bunga teratai
tumbuh dari batu!'
Bagian-bagian puisi yang diingatkan oleh pendeta
mengundang refleksi yang lebih mendalam.
Pertentangannya berakar pada filosofi yang sama
yakni ruabineda ya«^ membentuk hampir sebagian
besar kepercayaan orang Bali Hindu. Teratai yang
dalam bahasa kawi disebut pangkaja adalah pada
bunga itu sendiri terjadi kontradiksi, mengusulkan
sumber dari cahaya tumbuh dari kegelapan.
Kembang teratai menjadi imajinasi sentral dalam
kepercayan menurut orang Bali Hindu. Tata
letak daun bunga teratai yang melingkar adalah
dipandang sebagai mikrokosmos dari alam semesta
yang mana setiap dewa utama berstana di setiap
arah dan Siwa berstana di tengah. Sebagai stana dari sumber suci pencerahan,
bunga teratai dapat dilihat sebagai perlambang dari kebenaran, seperti halnya
paradoksi puisinya Sanghyang Dwi Jendra tentang teratai yang tumbuh dari
batu. Jika seperti yang disarankan oleh leluhurnya pendeta bahwa kebenaran
121
another world. Perhaps the moment of the soul's release from the body's
cold bones is the equivalent of a lotus growing out of a stone. Maybe the
moment truth is born does not come until the cremation flames rise up out
of the sarcophagus.
Whatever the meaning of his ancestor's poem,
Ida Pendanda Singarsa is reluctant to end the
conversation on such a somber note. Not wanting to
lose the opportunity to bring a little more laughter
to his audience, the priest recalls one more comic
fable on the theme of justice in the courts. "Here is
another story on the subject," he says. "It is about an
argument between a big black monkey and a young
ape. The black monkey finds a vegetable that he
calls a banah (yam). The young ape comes along
and tells him that it is not a banah, but a gadung
(yam). Actually banah and gadung are two words for
the same thing, but since they cannot stop arguing ^
they go to court to resolve their dispute. When the
judge sees that the black monkey is much bigger
than the young ape, he decides the case in favor of
the black monkey and declares the vegetable to be a
banah. That is not justice, but that kind of thing still
happens today. Sometimes the one who wins is not
necessarily the one who is right. It is too bad that
judges don't study the Ramayana, because it is the book that teaches that
falseness must be banished from the world. That is Rama's mission."
Though they have never met him Gunarsa and Nardayana are in agreement
hakiki tidak didapatkan di dalam dunia material ini sampai nantinya bunga
teratai tumbuh dari batu, manusia mesti menunggu sampai mereka mati
untuk mengalami kebenaran dialam sana. Barangkali ketika jiwa manusia
lepas dari jasadnya tulangnya yang dingin sama halnya ibarat teratai yang
tumbuh dari batu. Barangkali saat kelahiran kebenaran tidak bakalan datang
sampai api pembakaran jenasah mengangkatnya dari peti mati.
Apapun arti dari puisi leluhur pendeta, Ida
Pedanda Singarsa menjadi segan untuk mengakhiri
perbincangan dalam catatan suram seperti itu. Tidak
menginginkan untuk kehilangan kesempatan untuk
memberi sedikit tertawa pada pemirsanya, pendeta
mengingat satu lagi kisah fable yang lucu dalam
tema keadilan di pengadilan. "Ini ada satu ceritera
lagi sesuai subjek," katanya. "Itu adalah mengenai
perdebatan diantara kera hitam besar dengan monyet
kecil. Kera hitam mendapatkan sayur yang dia sebut
* i banah (ubi rambat). Monyet kecil datang langsung
mengatakan bahwa itu bukanlah banah akan tetapi
gadung (ubi rambat). Sesungguhnya banah dan
gadung adalah dua kata untuk menyatakan hal
yang sama, akan tetapi ketika mereka tidak bisa
menghentikan perdebatannya, mereka pergi ke
pengadilan untuk memecahkan perselisihan mereka.
Ketika hakim melihat si kera hitam jauh lebih besar
dibanding dengan si monyet kecil, dia memutuskan
permasalahan dengan berbaik hati untuk si kera
besar dan mengumumkan sayur itu adalah banah. Itu bukanlah kebenaran,
namun hal seperti itu masih saja terjadi sampai sekarang. Terkadang
seseorang yang dikatakan menang tidaklah mesti seseorang yang benar.
Sangatlah disayangkan seorang hakim tidak belajar Ramayana, sebab itu
adalah buku yang mengajarkan pembohong harus dibuang dari dunia. Itu
adalah misinya Rama"
Kiranya mereka tidak pernah bertemu dengan beliau, Gunarsa dan
122
with the priest on that point, and many others. They have studied the
Ramayana, performed it, painted it, and even invented sequels that follow
the adventures of the main character's descendants. In concluding their
versions of Anggada's story with the image of the sacred weapon called
astra geni the painter and the dalang are instinctively following another
of the priest's suggestions, "Remember the meaning of Saraswati's name,
and respect her weapons of wisdom that guides our actions towards the
truth."
Nardayana adalah dalam kecocokan dengan pendeta pada poin dan
dalam banyak hal yang lain. Mereka telah mempelajari Ramayana dan
mempertunjukkannya, melukisnya, dan bahkan menciptakan bagian-
bagian mengikuti keturunan dari tokoh-tokoh utama. Dalam kesimpulan
akhir dari versi ceritera Anggada dengan imajinasi senjata sakral yang
disebut dengan astra geni pelukis dan dalang secara instinktif mengikuti
hal lain yang diusulkan pendeta. "Ingat arti dari nama Saraswati dan
menghormati senjatanya tentang kebijaksanaan yang dapat menuntun
perbuatan kita menuju kebenaran."
123
AX
w m.
KARMAPALA:
The Justice of Heaven
Karmap ala:
Keadilan Sorgawi
125
Ida Pendanda's story about the heron who impersonates a priest is based on
a well known Balinese fable that is depicted in a set of paintings found in
one of the island's most famous landmarks, Kertha Gosa, or "Hall of Justice."
Kertha Gosa is an open-air pavilion located in Klungkung on the grounds
of what used to be the palace of the royal family. The heron's deception is
one of many cautionary tales that adorn the ceiling of Kertha Gosa, where
legal disputes were decided by the King of Klungkung.
As a child in the 1950's Nyoman Gunarsa went to a school built by the
Dutch on those same palace grounds. He often stared out the window of his
classroom at the Kertha Gosa pavilion dreaming that he would be a painter
one day. The paintings on the ceiling of the "Hall of Justice" were among
his first artistic inspirations. "Whenever I could, I would spend time in the
pavilion making sketches of all the scenes on the ceiling," he recalls. Those
paintings were part of my education as an artist and as a human being.
They visualized the difference between right and wrong, taking justice out
of the realm of abstraction and turning it into something concrete and
unforgettable."
After the disappointment of learning that that the Supreme Court in Jakarta
had refused to hear an appeal of his copyright case, Gunarsa went to Kertha
Gosa and revisited the paintings he had grown up studying. He pointed to
the faded figure of the heron in a priest's headdress, "The story of that false
priest is not so different from the story I've just lived through, but in my case
it was a false judge. He was dressed up in the robes of the court but he didn't
uphold the laws of justice any more than the heron upheld the laws of the
gods. The connection between this story and our case is clear. The judge
and lawyers, like the heron, manipulate the truth for their own gains. The
law is good, but the way it is applied is corrupt. The judge has the power to
turn black into white, to turn lies into truth. The law in Indonesia is played
Ceriteranya Ida Pedanda tentang seekor burung bangau yang menyamar
sebagai pendeta bersumber dari ceritera binatang sebuah kisah yang amat
populer di Bali digambarkan ke dalam satu set lukisan-lukisan terdapat di
balai Kerta Gosa yang juga berarti "Tempat Keadilan" sebuah objek menonjol
yang amat terkenal. Kerta Gosa adalah bangunan balai panjang terbuka,
berlokasi di Kabupaten Klungkung, dipelataran yang dulunya bagian dari
istana dari keluarga raja. Kisah penipuan sang bangau adalah salah satu dari
sekian banyak ceritera yang mengandung nasehat menghiasi langit-langit dari
balai Kerta Gosa tersebut, dimana perselisihan hukum diputuskan oleh Raja
Klungkung di tahun 1908.
Sebagai anak kecil di tahun 1950an Nyoman Gunarsa belajar pada sekolah
yang dibangun oleh Belanda di kawasan istana. Dia sering menoleh ke luar
melalui jendela dari dalam ruang kelasnya ke balai Kerta Gosa memimpikan
ingin jadi seorang pelukis suatu hari nanti. Lukisan-lukisan yang terpajang
pada langit-langit dari "Balai Peradilan" adalah menjadi inspirasi artistiknya
yang pertama. "Kapan saja ada waktu senggang, saya akan meluangkan
waktu di balai tersebut membuat sketsa dari semua adegan di langit-langit."
dia mengingat. Semua lukisan itu merupakan bagian dari pendidikan saya
sebagai pelukis dan sebagai manusia. Semua itu menggambarkan perbedaan
antara yang benar dan yang salah, mengambil keadilan diluar kenyataan
duniawi secara abstrak dan membalikkannya kembali menjadi sesuatu yang
nyata dan tak terlupakan.
Setelah kekecewaan dari mempelajari bahwa Mahkamah Agung di Jakarta
telah menolak untuk mendengarkan permohonan tentang kasus hak ciptanya,
Gunarsa pergi ke Balai Kerta Gosa dan mengunjungi kembali lukisan-lukisan
yang telah menjadikan dia tumbuh dan berkembang dengan mempelajarinya.
Dia menunjuk pada figur burung bangau yang sudah mulai memudar dengan
busana berhiasan mahkota seorang pendeta, "Kisah dari pendeta palsu tersebut
tidak jauh berbeda dengan apa yang saya alami dalam menjalani hidup ini,
hanya dalam kasus saya hakimnyalah yang palsu. Dia berbusana pakai jubah
pengadilan akan tetapi dia tidak lagi menegakkan hukum dibanding dengan
si burung bangau yang menegakkan hukum Tuhan. Hubungan diantara
kisah ini dengan kasus kami adalah sangat jelas. Para hakim dan pengacara.
126
^^y-
'C ''tif '^'
_Cv
;
^
y
-7
-ft
/
'.••/
cs
/
-A
"^■Sl»'
t
rv^
/i^, I. l', tx
/^ .( <-•» 1
/•t*C^r. ■. ''!:.vv.y'•*^•
r^
rv
U
N
'/. »
m
^v^
^i
5^.:^
S
<ti VVi
^
(>^ i/«e>'
>V <*«*A/.r»«^
''•I '.w.
W5V;
yM
^i^'t
V. -J'
■y...
^
^
.^
1 \V
J^
5r.**^
\
»/N
\
Ctr^^i^ <M^,^uy.^;^
/
Va^ ^..w^ -4w^-^ .«V/^<^' , '«'^ '*^;^ ^
Lv^
/
■■•(
/
^^^3^ii^
7 ■
y
/Z
^1<>^r
128
!
\>M
like a game, and I am a victim of their manipulation. Like the fish who were
victimized by a false priest, I was victimized by a false judge whose decision
violated the law. I am not afraid to call the judge a false judge, because that
is the truth based on the facts of the case. In this version of the story I am
the fish, but I am a fish with a paintbrush and artist s palette."
For Gunarsa the laws that were betrayed in the courtroom still live in the
realm of art. When his sees the next panel in the painting of the story,
Gunarsa imagines a new role for himself in his battle for justice. The heron
is decapitated by the crab, a creature who symbolizes the truth. "Maybe I
should be the crab with a paintbrush instead," he laughs.
sama dengan si burung bangau, memanipulasi kebenaran untuk keuntungan
diri mereka. Hukumnya sudah bagus, akan tetapi bagaimana semestinya
diaplikasikan adalah diperkosa. Hakim memiliki kekuasaan untuk memutar
balikkan yang hitam menjadi putih, membalikkan yang bohong menjadi benar.
Hukum di Indonesia dimainkan sebagai pertandingan dan saya adalah korban
dari manipulasi mereka. Seperti si ikan yang dijadikan korban oleh si pendeta
palsu, saya dikorbankan oleh si hakim bohong, yang mana keputusannya
melanggar hukum. Saya tidak takut untuk menyebut hakimnya adalah hakim
palsu, oleh karena demikianlah sebenarnya berdasarkan kenyataan pada
kasusnya. Dalam versi kisah seperti ini saya adalah ikannya, akan tetapi saya
adalah ikan dengan kuas dan palet"
Bagi seorang Gunarsa hukum yang telah dikhianati dalam ruang peradilan
masih hidup di alam seni. Manakala dia mengalihkan pandangannya pada
kisah dalam lukisan di panel berikutnya, Gunarsa membayangkan peran
baru untuk dirinya dalam memperjuangkan untuk sebuah keadilan. Si
burung bangau di penggal lehernya oleh si kepiting, seekor binatang lambang
kebenaran. "Barangkali saya lebih baik harus jadi kepiting dengan kuasnya"
dia tertawa.
Gunarsa is not alone in his belief that the judge in his case disregarded the
law. Shortly after his trial ended a team of lawyers engaged by the Indonesian
Anti- Corruption Movement and Bali Corruption Watch examined the
courtroom proceedings and published a devastating analysis suggesting
that the judge's "flawed" and "inaccurate" reasoning could only be explained
as an example of "mafia justice" in which the law had been manipulated by
individuals acting in their own self-interest. Criticizing both the judges in
Denpasar and the justices on the Supreme Court who upheld their decision,
the report of the anti-corruption agency states: "In the decision that freed
the suspect Sinyo, although there are strong signs the decision should be
reversed - the possibility that the judge had been "bought" can not be
definitively proven." It goes on to argue that cases like this in which legal
logic is so blatantly twisted are the "tip of the iceberg" offering "proof that
there really is a mafia" undermining the work of the Indonesian courts.'
' Putu Wirata Dwikora, director of Bali Corruption Watch, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir
Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). P.2
Gunarsa percaya bahwa dia tidaklah sendirian dalam melihat hakim yang
menangani kasusnya tak mengindahkan hukum. Tak lama setelah pemeriksaan
pengadilan selesai tim pengacara digandeng oleh Indonesian Anti-Coruption
Movement dan Bali Corruption Watch memeriksa hasil kerja peradilan dan
mempublikasikan sebuah analisa sangat keras memberikan kesan bahwa hakim
"bercacat" dan "tidak teliti" memberikan alasan yang diekplanasi hanyalah
sebagai contoh dari "mafia peradilan" dimana hukum telah dimanipulasi
oleh aksi perseorangan di atas kepentingan pribadi mereka. Laporan dari
Agen Anti Korupsi tersebut menyatakan: "Dalam keputusan membebaskan
tersangka Sinyo, walau terdapat signal yang amat kuat bahwa keputusan
semestinya dibalik - sebuah kemungkinan bahwa hakim telah "dibeli" kendati
tidak dapat secara pasti untuk dibuktikan" Itu semua berlangsung dalam
perseteruan bahwa kasus seperti ini yang mana logika formal adalah sangat
menyolok diputar balikkan adalah "ujung dari gumpalan gunung es yang
terapung" memberikan "bukti bahwa memang sesungguhnya adalah mafia"
129
Wahyu Sosongko, Professor of Law at Indonesia's
Lampung University writes, "The arguments used
by the judge in his decision are confused. The judge
acknowledges that the paintings in question are in fact
false, but even though Nyoman Gunarsa suffers a loss
because his name and signature are used illicitly, the judge
explains that the painter has no legal connection to the
paintings and therefore has no right to stop the suspect
or sue him. The judge's use of logic is misleading because
it allows anyone who is proven in court to have intentionally reproduced,
distributed, exhibited, and sold creative works to violate the copyright of
those works, in this case the false paintings that were reproduced without
permission from the painter. In spite of the fact that Nyoman Gunarsa is
the original artist and that his name and signature were falsified, the judge
argues that he has no right to prevent the falsification of his work. This is a
tragedy of the law.""
yang meruntuhkan kerja pengadilan di Indonesia.'
Wahyu Sasongko, seorang Profesor ahli Hukum pada
Universitas Lampung Indonesia menulis, "Argumentasi
yang digunakan oleh hakim dalam mengambil keputusan
mereka adalah membingungkan. Hakim mengakui adanya
lukisan-lukisan yang dipertanyakan pada kenyataannya
adalah palsu, bahkan kendati Nyoman Gunarsa menderita
kerugian karena nama dan tanda tangannya digunakan
secara terlarang, hakim menerangkan bahwa tidak ada
hubungan formal menurut hukum dengan lukisan-lukisan
tersebut dan oleh karenanya tidak ada hak untuk menghentikan tersangka atau
menggugat dia. Penggunaan logikanya hakim adalah menyesatkan karena
akan memberi peluang kepada orang-orang yang terbukti di dalam pengadilan
yang dengan sengaja mereproduksi, mendistribusikan, memamerkan, dan
menjual hasil kerja kreatif dengan melanggar hak cipta dari seluruh karya
seperti itu, dalam hal ini lukisan-lukisan dipalsukan di reproduksi tanpa ijin
dari pelukisnya. Kendati pada kenyataannya bahwa Nyoman Gunarsa adalah
pelukis aslinya dan nama serta tanda tangannya telah dipalsukan, hakim
berargumentasi dia tidak mempunyai hak untuk mencegah pemalsuan hasil
kerjanya. Ini adalah sebuah tragedi hukum" "
130
According to Tuafik Basari, a senior attorney for Indonesia's Public Legal
Assistance Society, "The reasoning that the judge used in the decision to
free the suspect in this case is not logical." Noting that important evidence
mysteriously disappeared from the court's files of a related case, Basari
goes on to lament that the case is "a very significant black stain on our
legal system of justice... There should be a comprehensive investigation to
determine the source of the vanished dossier, and criminal action should be
taken against those whose carelessness implicated them in this event."'"
Wahyu Sasongko, Professor of Law at the University of Lampang, in "Nyoman Gunarsa; Jalan Panjang Martir
Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). Pp. 88-89
Taufik Basari, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas
Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). Pp. 133-134
Menurut Tuafik Basari, seorang pengacara senior untuk Lembaga Bantuan
Hukum Masyarakat, "Pemikiran yang digunakan dalam mengambil
keputusan membebaskan orang yang dicurigai dalam hal ini tidaklah logis"
Catatan-catatan sebagai bukti penting secara misterius menghilang dari file-
file pengadilan yang berkaitan dengan kasus tersebut, Basari berteriak tak
berkesudahan mengeluhkan bahwa kasus tersebut adalah "sangat penting
sebagai sebuah noda hitam pada sistem perundang-undangan peradilan kita...
Seyogyanya dilakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk menentukan
sumber hilangnya kumpulan dokumen penting, dan tindakan jahat harus
' Putu Wirata Dwikora, director of Bali Corruption Watch, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta
dan Eksaminasi atas Putusan Bebas Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). P.2
" Wahyu Sasongko, Professor of Law at the University of Lampang, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak
Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas Terdakwa Ir Hendra Dinata. (Malang, 2009). Pp. 88-89
131
Arip Yogiawan, a lawyer for the Legal Aid Society in
Bandung, Indonesia, focuses on the numerous facts
that the judge ignored in making his decision, including
forensic tests on the false paintings that proved they were
not the work of Gunarsa. "It is clear that the paintings
displayed in the gallery were not the work of Nyoman
Gunarsa, and therefore the copyright protection of the
original works should not be ignored."'"
^^■j
jfc^tT;^
^^
^H
H. V ' w .^^^^^^H
Wjm
■^
V
m^i^
^
m
d^l
P
Ji
W^ 1^
^■^f^
^^E
^M
mil
diambil untuk melawan mereka yang ceroboh melibatkan
mereka dalam peristiwa ini" '"
Arip Yogiawan, seorang pengacara untuk Legal Aid Society
di Bandung, Indonesia, memfokuskan pada sejumlah
kenyataan bahwa hakim mengabaikan dalam membuat
keputusannya, termasuk pada test forensik pada lukisan-
lukisan palsu yang membuktikan bahwa semuanya itu
bukanlah karyanya Gunarsa. "Itu sangat jelas lukisan-
lukisan yang dipajangkan di galeri bukanlah karyanya
Nyoman Gunarsa, dan oleh karenanya perlindungan hak cipta atas keaslian
hasil kerjanya seharusnya tidak diabaikan" "
Gunarsa reflects on the corruption of justice that undermined the verdict
in his trial as he looks up at the paintings of the Kertha Gosa ceiling. One
sequence shows the agony of sinners in hell, whose grotesque punishments
are imagined to fit their crimes. "That is the fate of liars," he says, pointing
to a painting of a man whose mouth is being scorched by a flaming torch.
In another corner of the ceiling he finds the mythical figures of Rangda
and Barong enacting the eternal battle between good and evil, a scene that
helps him see his trial in a larger context of spiritual conflicts based on the
oppositional elements of Ruabineda: truth and lies, justice and injustice,
honesty and betrayal.
Still another panel depicts a shower of fiery weapons
sailing over a pyramid of flames, recalling the image of
Arip Yogiawan, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan
Eksaminasi atas Putusan Bebas Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). P. 175.
Gunarsa membayangkan akan pemerkosaan keadilan serta perusakan
keputusan dalam peradilannya seperti halnya ketika dia melihat ke atas
pada lukisan-lukisan di langit-langit balai Kerta Gosa. Sebuah rangkaian
menunjukkan kenyerian dari pendusta di neraka, yang kena hukuman
fantastis amatlah cocok dengan kejahatan yang dilakukannya. "Itulah nasib
para pendusta" katanya, menunjuk pada sebuah lukisan seorang lelaki
yang mulutnya sedang dibakar dengan kobaran api obor. Di sudut lain
dari langit-langit dia mendapatkan dongengan figur Rangda dan Barong
menggambarkan peperangan antara baik dan buruk dalam diri, membantu
menempatkan pemeriksaan pengadilannya dalam konteks yang lebih besar
dari konflik spiritual berdasar pada pertentangan dari elemen Ruabineda;
kebenaran dengan kebohongan, keadilan dengan ketidak
adilan, kejujuran dengan pengkhianatan.
Dalam panel yang lain ada lukisan pancaran senjata
api melintas di atas kobaran api berwujud piramida.
Taufik Basari, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan Eksaminasi
atas Putusan Bebas Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). Pp. 133-134
Arip Yogiawan, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan
Eksaminasi atas Putusan Bebas Terdakwa Ir Hendra Dinata. (Malang, 2009). R 175.
132
the astra geni from Nardayana's
shadow play. In fact all the figures
on the ceiling are reminiscent of
shadow puppets. The Klungkung
style of painting is based on
a two dimensional form of
representation that owes much
to the design of wayang kulit
puppets. Gunarsa's artistic
sensibilities were nurtured by this
unique form of abstraction and
its influence can be seen in the
personal style he has developed
for his own paintings.
A few hundred yards from Kertha
Gosa is the school building where
Gunarsa studied as a child. It
is now a museum, and on the
wall of his former classroom are
two large canvases painted by
Gunarsa. His style bridges the
gulf that separates the traditional
designs of Kertha Gosa's ceiling
and the evolving aesthetics of
contemporary Bali. Like the
Kertha Gosa ceiling Gunarsa's canvases depict the human figure in a style
that echoes the form of shadow puppets. One of the paintings portrays two
warriors in traditional garb as if they were figures from a puppet play. The
other portrays two women temple dancers in ceremonial costumes. They
are also depicted in a style linked to the figures found on the Kertha Gosa
ceiling, but like the warriors, the dancers defy the constraints of tradition.
mengingatkan sebagai kesan dari
astra geni pertunjukan wayang
kulitnya Nardayana. Pada
kenyataannya semua fugur-figur
yang terdapat di langit-langit
mengingatkan kepada pertunjukan
wayang. Gaya lukisan Klungkung
berdasar pada bentuk dua dimensi
yang kebanyakan meminjam dari
wayang kulit tradisi. Sensibilitas
atau rasa artistiknya Gunarsa
dipelihara oleh bentuk yang unik
ini dengan mengabstraksikannya
dan pengaruhnya dapat dilihat
pada gaya pribadinya yang dia
kembangkan sebagai ciri pribadi
lukisannya.
Beberapa ratus meter dari balai
Kerta Gosa adalah bangunan
sekolah dimana Gunarsa belajar
ketika dia masih kecil. Sekarang
sudah berubah menjadi museum,
dan di dinding bekas ruangan
kelasnya terdapat dua lukisan
berukuran raksasa yang dilukis oleh
Gunarsa sendiri. Gaya lukisannya
menjembatani jurang pemisah
desain tradisional di langit-langit
balai Kerta Gosa dengan estetika Bali kontemporer. Seperti halnya dengan
langit-langitnya Kerta Gosa, Gunarsa melukiskan mengambil figure manusia
dalam gaya yang kebanyakan dimiliki oleh pertunjukan wayang. Satu dari
lukisan tersebut menggambarkan ksatria berbusana tradisional seperti
nampaknya mereka adalah figur dari pertunjukan wayang. Lukisan yang lain
menggambarkan sepasang wanita penari pura mengenakan kostum upacara.
133
134
They break out of the static patterns of the old Klungkung style and seem to
vibrate with a hyper-kinetic energy that is unmistakably modern.
Among the most striking elements of these works are the swirling shapes
in the background areas between the
human figures. Gunarsa fills the space
with abstract lines, curves, and angles
that might be viewed as coded musical
notes propelling the figures through
space. Although they give Gunarsa's work
a decidedly modern flair, this element of
his painting also has its roots in classical
Klungkung paintings. The background
spaces in that traditional style are
ornamented with countless tiny floating
ovals, as if the air itself had eyes and the
gods were watching over every scene. This
motif can be seen in a painting hanging
in the former schoolroom near Gunarsa's
canvas. It is a variation of the Nawa
Sanga, a holy pattern depicting the nine
sacred directions of Balinese cosmology.
The spaces between the gods and demons
are filled with the familiar eye-shaped ovals whose power is intensified by
the floating shapes of mystical weapons like the disc-shaped cakra, flaming
arrows, and dragon-headed whips. Gunarsa's kinetic background shapes
suggest abstractions of these weapons or of the letters of the Balinese
alphabet called aksara, some of which are also considered to be weapons of
protection when used with the proper magical incantations.
Mereka juga dihidupkan dalam gaya yang menyatu dengan figur yang terdapat
di langit-langit balai Kerta Gosa, akan tetapi seperti halnya lukisan pahlawan,
lukisan penari juga menantang batasan dari tradisi. Mereka mendobrak pola-
pola gaya Klungkung yang statis dan kelihatannya digetarkan oleh energi
kinetis berlebihan itu jelasnya adalah moderen.
Diantara elemen-elemen yang paling menyolok dari karya ini adalah bentuk-
bentuk yang berpusar di bagian areal latar
belakang diantara figur-figur manusia.
Gunarsa mengisi kekosongan dengan
garis-garis abstrak, lekukan-lekukan dan
sudut-sudut yang kelihatannya sebagai
note musik yang kecil sehingga mendorong
figura lebih keluar dalam ruang. Kendati
mereka menyebut karya Gunarsa dengan
jelas sebagai bakat moderen, elemen-
elemen dari lukisannya juga mengakar
dengan gaya tua dari lukisan-lukisan
Klungkung. Ruang latar belakang dalam
gaya tradisi seperti itu diornamentasikan
dengan oval kecil mengambang tak
terhitung jumlahnya, layaknya bahwa
udara itu memiliki mata para dewa dalam
melihat pada setiap adegan. Motifnya
dapat dilihat di dalam lukisan yang
menggantung pada bekas ruang kelasnya
dekat kanvasnya Gunarsa. Adalah variasi dari nawasanga, pola-pola suci
menggambarkan sembilan arah suci dari kosmologi Bali. Ruang diantara alam
Tuhan dan Raksasa diisi dengan bentuk mata oval sudah dikenal kekuatannya
diintensifikan dengan bentuk senjata mistis mengambang seperti cakranya
Siwa, panah menyala dan cambuk berkepala naga. Bentuk-bentuk latar
belakang kinetiknya Gunarsa mengedepankan bentuk abstrak dari senjata ini
atau bentuk gaya baroque dari abjad Bali yang dikenal dengan nama aksara
beberapa diantaranya dipertimbangkan sebagai senjata untuk perlindungan
jika digunakan sesuai mantra magis.
135
Although it is impossible to label these shapes with a precise meaning,
Gunarsa's dancing hieroglyphs give his paintings their distinctive style, and
locate his roots in the mystical cosmology of his ancestors. "In the old
paintings," Gunarsa says, "the shapes in the spaces between the figures were
like the eyes of the gods watching everything, symbols of karmapala and
the justice of heaven." For Gunarsa the spiritual dimensions of traditional
Balinese art are reminders that spiritual justice transcends the law of men.
Walaupun tidak memungkinkan untuk menamakan bentuk-bentuk tersebut
dengan arti sesungguhnya, tarian hieroglyphs (bentuk symbol tulisan romawi)
Gunarsa memberikan gaya lukisannya yang unik, dan menempatkan akarnya
di dalam cosmologi mistis dari leluhurnya. "Bentuk-bentuk pengisi ruang
diantara figur-figur dalam lukisan tua layaknya seperti spirit. Semuanya
seperti mata-mata para dewa yang mengamati segala sesuatunya, simbol dari
karmapala dan pengadilan sorga." Bagi Gunarsa dimensi spiritual dari seni
Bali tradisional adalah pengingat bahwa peradilan secara spiritual melebihi
hukum manusia.
The schoolhouse turned museum is filled with talismans of that Balinese
faith in the ultimate triumph of good over evil. Across from Gunarsa's
paintings are the masked figures of Barong and Rangda whose ongoing
battle represents the eternal struggle between the positive and negative
forces of the universe. Not far from them is a painting that depicts the 1908
massacre of the Balinese by Dutch colonial soldiers. The battle occurred
in the palace courtyard of the Kertha Gosa pavilion. The Balinese King of
Klungkung refused to surrender to the Dutch, whose laws of empire had
decreed that Bali belonged to them. Instead he relied on the sacred laws
of his island and the spiritual weapons that had served his ancestors. In
the short-term all the members of his court were slaughtered, but a century
later evidence of the king's ultimate victory can be found in the fact that
the Dutch are gone and the Balinese "hall of justice" still stands on the site
of the Dutch army's hollow triumph. A stone statue of a hunched-over
Dutch soldier sits sulking in a shadowy corner beneath the painting of the
'nawasanga! The resonance of all this history infuses the objects in the
musty former schoolroom with a tranquil aura of karmapala, the ancient
Hindu belief that justice prevails in the end.
It is his understanding of karmapala that comforts Gunarsa in the aftermath
of his trial. All the sacred emblems of spiritual justice found in the kertha
Gedung sekolah yang sudah beralih fungsi menjadi musium tersebut
dipenuhi dengan jimat yang menurut kepercayaan orang Bali pada akhirnya
kebenaran pasti menang diatas kejahatan. Di seberang lukisan-lukisan
Gunarsa terdapat figur bertopeng Barong dan Rangda yang berseteru
secara terus menerus melambangkan pergolakan internal dalam diri antara
kekuatan positif dengan negatif dari alam semesta. Tidak jauh dari semua
itu terdapat lukisan yang menggambarkan pembantaian terhadap orang Bali
oleh tentara kolonial Belanda di tahun 1908. Pertumpahan darah terjadi
dihalaman diantara gedung sekolah dan balai Kerta Gosa. Raja Klungkung
menolak untuk menyerah kehadapan Belanda yang menurut hukum kerajaan
telah memutuskan bahwa Bali termasuk dalam wilayahnya. Selain itu beliau
lebih percaya dengan hukum sakral dari pulaunya dan senjata spiritual yang
telah melayani nenek moyangnya. Dalam waktu singkat semua keluarga
dan kerabat kerajaan dibantai, akan tetapi seabad kemudian terbukti raja
akhirnya mendapatkan kejayaan yang pada kenyataan Belanda telah pergi
dan "balai peradilan" orang Bali masih berdiri kokoh dalam area bekas tentara
Belanda memperoleh kemenangan palsu. Patung batu tentara Belanda duduk
membungkuk di sudut yang remang-remang dibawah lukisan nawasanga.'
Resonansi dari semua sejarah ini dituangkan ke dalam objek pada ruangan
pengap bekas ruang sekolah dengan aura ^enan^ dar/ karmapala, kepercayaan
kuno masyarakat Hindu bahwa pada akhirnya keadilan akan menunjukkan
dirinya.
Adalah pemahamannya tentang karmapala yang melegakan Gunarsa pada
buntut peradilannya. Semua lencana sakral dari peradilan spiritual yang
136
137
138
gosa and its adjacent museum can also be found in the art
museum that Gunarsa has estabhshed a few kilometers
away on a plot of land next to his home. The Nyoman
Gunarsa Museum of Classical Balinese Art boasts a rare
colleciion of paintings, sculpture, textiles, and shadow
puppets that enable visitors to view centuries of Balinese
tradition in the span of a few hundred square meters.
There are painted cloths that tell the stories of gods and
heroes struggling for justice in the face of evil. There are
figures of Rangda and Barong. There are also depictions
of the mystical weapons of the nawasanga, some of them
carved in stone on the exterior walls of the museum, 'for
protection,' says Gunarsa.
«^
An important part of the museum's collection includes cowhide leather
shadow puppets depicting hundreds of figures from Hindu mythology
including the characters from the Ramayana who were animated by the
dalang Nardayana in his performance about the copyright trial.
Gunarsa takes a few of them in his hands one at a time, giving them voices
that echo the dialogue in Naradayana's puppet play. "The false Anggada
will never escape," he grunts in the unmistakable voice of Twalen, the comic
narrator of the wayang plays. "The astra geni is a weapon that pursues evil
wherever it hides." Gunarsa laughs with the deep bellowing tones of the
puppet clown and picks up a shadow puppet incarnation of a fiery arrow
that might represent the astra geni. He waves it over another shadow
puppet that embodies a pyramid of blood red flames. In the world of
wayang justice is inevitable. In the world of Indonesia's legal system justice
has eluded Nyoman Gunarsa. Legal representatives of the country's anti-
corruption organizations have analyzed his case and found that corruption
of the judges by organized crime figures linked to Sinyo is the most likely
explanation for the convoluted decision that ignored the the violation of
didapat di dalam balai kerta gosa dan juga di dalam
museum yang berdekatan juga didapatkan di dalam
museum seninya Gunarsa yang dirikan hanya beberapa
kilometer jauhnya dalam pengaturan areal di samping
rumahnya. Musium Gunarsa untuk Seni Bali Klasik
dengan koleksinya aneh membanggakan terdiri dari
lukisan-lukisan, patung, tekstil, dan wayang kulit yang
memungkinkan pengunjung untuk melihat tradisi Bali dari
berabad silam di dalam bentangan ruang beberapa ratus
meter persegi. Terdapat lukisan kain yang menceriterakan
kisah dari dewa-dewa dan pahlawan bergumul untuk
mendapatkan keadilan dari hadapan pendurhaka. Ada
figur Rangda dan Barong. Terdapat juga penggambaran
senjata mistis dari dewatandiwasangsi, beberapa diantaranya
dipahatkan di batu di tembok bagian luar museum, sebagai
perlindungan,' katanya Gunarsa.
Menjadi bagian penting dari koleksinya museum termasuk wayang kulit
dari kulit sapi menggambarkan ratusan figur dari mitologi Hindu termasuk
karakter dari Ramayana seperti yang telah dihidupkan oleh dalang Nardayana
dalam pementasannya tentang pengadilan hak cipta.
Gunarsa mengambil beberapa diantaranya dan memegangnya satu persatu,
memberikan suara padanya menggema dari dialog pertunjukannya
Nardayana. "Anggada palsu tidak bakalan pernah bisa menghindar" dia
mengorok dalam suaranya Twalen yang tidak diragukan lagi, tokoh narator
badut yang terdapat dalam pertunjukan wayang. "Astra geni adalah senjata
yang mengejar pen j ahatkemanapun dia menghindar" Gunarsa tertawa dengan
suara rendah untuk wayang penakawan dan mengambil wayang inkarnasi
panah berapi-api sebagai perwujudan astra geni. Dia mengayunkan keatas
wayang lain yang mengambarkan jilatan api seperti darah merah berbentuk
piramida. Di dalam dunia wayang keadilan tidaklah bisa diacuhkan. Di
dunia dari sistem peradilan resmi di Indonesia Nyoman Gunarsa telah
dielakkan. Badan perwakilan resmi negara yakni organisasi anti korupsi
telah menganalisis keputusan yang diambil di pengadilan Denpasar dan
139
the copyright statutes that are written into Indonesian law.
diketemukan korupsinya hakim dengan figur-figur organisasi kriminal yang
berhubungan dengan Sinyo bisa dipastikan penjelasan untuk keputusan yang
dibengkokkan dengan mengabaikan fakta dari kasus dan pelanggaran tentang
hak cipta dalam perundang-undangan dasar negara telah termuat dalam
hukum Indonesia.
Gunarsa is outraged by this miscarriage of justice, and wonders how it
will affect the rights of other artists whose protection under the law is so
vulnerable. His legal avenues of appeal are exhausted, but the exposure of
the corruption that led to the exoneration of the copyright violators is still
possible. Gunarsa continues to work with the Indonesian Anti-Corruption
Movement and Bali Corruption Watch whose lawyers have declared that his
case "a tragedy of the law. . . that can serve as a valuable lesson, of something
that should never be repeated. The way in which the case was handled was
irregular. The officials assigned to uphold the law were not professional in
their actions.""
The corruption of public officials is so rampant in Indonesian society that it
is one of the first associations that the high priest Ida Pedanda Ketut Sidemen
makes when he sees a photo of the Kertha Gosa painting illustrating the
story of the heron and the crab. "He is dressed like a priest, but he is not a
priest, says Ida Pedanda. He will be trusted, because no one would expect
anything untrustworthy from a priest. But the heron betrays that trust.
It is the same kind of corruption that often happens now in Indonesia.
Common people believe the things that are said by people wearing ties and
government uniforms, but they are often the most corrupt. It is an example
of ruabineda. The one who appears to be representing truth is telling the
lies, like someone dressed as a judge pretending to be upholding justice, but
corrupting it instead. This would be a false judge, and it is not just the judge
who is at fault. The people who believe him are also wrong. Why should
" Wahyu Sasongko, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas
Terdakwa Ir. Hendra Dinata, (Malang, 2009). Page 89-90
140
Gunarsa sakit hati oleh kekeliruan hukum ini, dan mengkhawatirkan
bagaimana akan berpengaruh pada hak para seniman lain yang bernaung
dibawah perlindungan hukum yang sangat mudah untuk diserang. Jalan proses
hukum yang demikian lebar untuk menempuh banding sangatlah melelahkan,
akan tetapi kemungkinan membongkar korupsinya yang mengantarkan
pada pembebasan dari tuduhan pelanggaran hak cipta bagi pelanggar masih
menggiurkan. Gunarsa berlanjut untuk bekerjasama dengan Indonesian Anti
Coruruption Movement dan Bali Corruption Watch yang mana pengacara-
pengacaranya telah mengumumkan bahwa kasusnya merupakan "sebuah
tragedi dalam hukum... yang dapat menjadi pelajaran berharga, dari sesuatu
yang semestinya tidak terulang lagi. Cara penanganan kasus ini tidak seperti
biasanya. Para pejabat yang ditugasi untuk menegakkan hukum bukanlah
orang-orang profesional di dalam tingkah laku mereka!'^
Korupsi oleh para pejabat publik sangatlah merajalela di dalam masyarakat
Indonesia salah satu dan yang pertama diasosiasikan oleh pendeta Ida Pedanda
Ketut Sidemen ketika beliau melihat foto lukisan-lukisan dari balai Kerta Gosa
dengan ilustrasi ceritera burung bangau dan kepiting. "Dia berbusana seperti
pendeta, akan tetapi dia bukanlah seorang pendeta" kata Ida Pedanda. Agar
dia dapat dipercaya, karena tak seorangpun berharap sesuatu yang tak dapat
dipercaya dari seorang pendeta. Akan tetapi si burung bangau mengkhianati
kepercayaan tersebut. Sama halnya dengan model korupsi yang sering terjadi
di Indonesia sekarang ini. Orang kebanyakan percaya kepada sesuatu yang
dikatakan oleh orang yang memakai dasi dan berseragam pemerintahan, akan
tetapi merekalah sesungguhnya orang yang paling sering melakukan korupsi.
Itu adalah contoh dari ruabineda. Seseorang yang tampil sebagai perwujudan
kebenaranlah yang justru berkata bohong, seperti halnya seseorang yang
" Wahyu Sasongko, in "Nyoman Gunarsa: Jalan Panjang Martir Hak Cipta dan Eksaminasi atas Putusan Bebas
Terdakwa Ir. Hendra Dinata. (Malang, 2009). Page 89-90
#«^^«4^' y*sr ^^^'^^^ ^ *y**^^'^\ /^tjix
h' ■4^~
141
142
we believe anything that is said before we know for sure that it is true. We
have to think first about what is true and what is false. That is what the
story sings."
The priest's choice of verbs is revealing. When he looks at the story of the
heron as it is painted on the ceiling of Kertha Gosa, he does not just see a
visual metaphor for justice denied, he hears the story as if someone were
singing it to him from one of his fading lontar manuscripts. For him the
painting pulsates with teachings of sacred books and the voices of those
who sing from them. The tension between falsehood and truth is both the
source and subject of the heavenly music that enlightens those who listen.
The artist Gunarsa, like the priest, is also sensitive to the music in the
paintings of Kertha Gosa. For him it is a music connected to history and
nature, as well as religion. The ceiling is alive with images that remind him
of his childhood when he was first inspired to become an artist, and in those
images he hears the sound of the pindekan, the spinning noisemaker that
farmers set up in the rice fields to scare birds away from their crop. "The
pindekan is shaped like a wheel," Gunarsa explains, drawing a quick sketch
of a windmill above a hut in a ricefield. "It is propelled by the wind and it
moves through all the sacred directions. The sound it makes is the sound
of ruabineda, the sound of opposition. The wind blows through it from the
east to the west, or the west to the east, and the propeller spins through all
the directions of the nawa sanga. Like electricity, its energy is created by
the movement from one extreme to the other, from positive to negative. It
is the shape of the tampak dara, and as it spins it makes a sound that comes
from that spinning between opposites, as if it is singing a song of the wind
telling us that change is eternal."
berbusana sebagai hakim berpura-pura sebagai pemegang penegakan
keadilan, justru sebaliknya melakukan korupsi. Orang seperti ini adalah hakim
palsu, dan itu adalah tidak saja hakim yang salah. Orang yang percaya dengan
dia juga salah. Kenapa kita harus percaya pada sesuatu yang dikatakan sebelum
kita mengatahui dengan yakin. Kita harus berfikir dahulu apa itu yang benar
dan apa itu yang salah. Seperti itulah dinyanyikan dalam ceritera."
Pilihan kata kerja Ida Pedanda adalah membuka jalan pikiran. Ketika beliau
melihat pada kisahnya burung bangau seperti yang dilukiskan pada langit-
langit balai Kerta Gosa, beliau tidak hanya melihat kiasan nyata untuk keadilan
diingkari, beliau juga mendengar ceritera manakala seseorang menyanyikan
untuk beliau dari manuskrip lontar kusam miliknya. Bagi beliau getaran
lukisan dengan ajaran dari buku suci dan suara-suara semuanyalah yang
bernyanyi darinya. Ketegangan diantara kesalahan dan kebenaran keduanya
adalah sumber dan subjek dari musik sorga yang dapat memberi pencerahan
bagi mereka yang mendengarkannya.
Pelukis Gunarsa, seperti halnya pendeta, adalah juga sensitif kepada rasa
musikal di dalam lukisan Kerta Gosa. Baginya itu adalah sebuah musik
berhubungan dengan sejarah dan alam termasuk juga agama. Langit-langit
tersebut hidup dengan kesan yang dapat mengingatkannya pada masa
kanak-kanaknya ketika dia untuk pertama kalinya diinspirasikan untuk
menjadi seorang pelukis, dan dalam kesan tersebut dia mendengar suara dari
pindekan, suara yang dilahirkan oleh putaran baling-baling yang dipasang
oleh petani di sawahnya untuk menakut-nakuti burung agar menjauh dari
hasil panennya. "Bentuk dari pindekan tak ubahnya seperti roda" Gunarsa
menerangkan, dengan cepat dia membuat sketsa kasar baling-baling di atas
gubuk di tengah sawah. "Ini didorong oleh angin dan bergerak dengan
sendirinya ke semua arah yang suci. Suara yang dikeluarkan adalah suara
dari ruabineda, suara dari pertentangan. Angin menghembus dari timur ke
barat, atau dari barat ke timur, dan baling-baling berputar ke semua arah
dari nawasanga. Seperti halnya listrik, energinya diciptakan oleh gerakan
dari positif ke negatif. Itu adalah bentuk dari tampak dara dan demikian
dia berputar itu membuat suara yang datang dari perputaran antara
perseberangan, seperti halnya menyanyikan lagu dari angin yang memberitahu
143
kita bahwa perubahan itulah yang abadi."
;Gunarsas drawing of the pindekan crackles with a sense of movement
that makes the wind visible, and he voices the sound of the pindekan as he
sketches its spinning form. He cannot separate the music of the natural
world from its visual representation and its spiritual connection to Balinese
beliefs. "When I was a child I worked with my father in the rice fields and
was inspired by the movement of nature. The clouds were always moving,
changing shapes. And the movement of the clouds was always accompanied
by the singing of the wind, and sometimes by the
pindekan, which also kept spinning and changing,
but its essential shape was the shape of the tampak
dara that could be found also in the leaves of
the palm trees. The tampak dara signifies the
virtue that exists between the extremes of high
and low, left and right. This is ruabineda. The
wheel of life is always spinning us back and forth
between good and evil, between black and white,
according to the fruits of our actions."
The shape of the sacred tampak dara is made by two lines of equal length
that intersect each other at their midpoint creating four right angles. The
vertical line represents the axis from heaven to earth and the horizontal line
represents the link between humanity and the natural environment that
sustains it. When shorter lines are added to each of its ends, at a ninety-
degree angle, the shape becomes the Hindu Swastika, a symbol of eternal
movement and stability that long predates its appropriation by the Nazis.
Some Balinese believe that the tilting of the symbol off its north-south
axis was a destabilizing act of sacrilege that made the demise of the Nazis
inevitable.
Lukisan Gunarsa tentang pindekan pecahan dengan rasa bergerak yang
membuat angin itu nyata, dan dia bunyikan suara dari pindekan sambil dia
mensketsa bentuknya yang berputar. Dia tidak dapat memisahkan musik
dari alam dari persembahan visualnya dan hubungan spiritualnya dengan
agama orang Bali. "Ketika saya masih kecil saya bekerja dengan ayah saya di
sawah dan diilhami oleh gerakan alam. Awan selalu bergerak, berubah-ubah
bentuk, merubah dirinya kedalam bentuk para ksaria dari Mahabharata
dan Ramayana atau binatang naga. Perubahan
dari bentuk-bentuk awan tersebut selalu disertai
oleh nyanyian angin, dan terkadang oleh suara
pindekan, yang selalu berputar dan berubah,
akan tetapi bentuk pokoknya adalah berbentuk
tampak dara yang juga bisa didapat di dalam
daun tanaman jenis pohon palem. Tampak dara
menandakan kebaikan yang berada diantara
pertentangan diantara tinggi dengan rendah, kiri
dengan kanan. Inilah ruabineda. Roda kehidupan
kita selalu berputar bolak balik diantara baik
dengan jahat, diantara hitam dengan putih, sesuai
dengan buah dari tindakan kita"
Bentuk dari tampak dara yang sakral tersebut dibentuk oleh dua garis sama
panjang menyilang satu sama lain, pada titik pertengahan membuat empat
sudut yang sama. Garis vertikalnya mengkiaskan keberadaan dari sorga ke
bumi, dan garis horisontalnya melambangkan hubungan sesama manusia
dan alam lingkungannya yang menopangnya. Bila garis lebih pendek bersudut
sembilan puluh derajat ditambahkan kekanan pada setiap ujung dari masing-
masing garis, bentuk ini akan menjadi swastika Hindu, sebuah simbol dari
gerakan abadi dan keseimbangan yang jauh lebih tua dari hal yang sama
diberikan untuk Nazis. Beberapa orang Bali percaya bahwa kemiringan dari
simbol keluar dari keberadaan utara selatan adalah yang membuat tindakan
ketidakstabilan melanggar terhadap hal-hal yang diangap keramat yang
membuat kehancuran dari Nazis tak dapat dielakkan.
144
The pentatonic sounds of the Bahnese musical scale are arranged in a pattern
that fits that image of the tampak dara, with each note corresponding to
points found at the north, south, east, west, and center of the symbol.
Adding the points of northeast, southwest, northwest, and southeast creates
the nine-directional symbol of the nawa sanga whose points correspond to
the dwelling places of nine gods, along with the sacred weapons (senjata)
and monosyllabic mantras (aksara) that are associated with each of them.
The clockwise movement around each of these points is a circular rotation
known as pengider bhuana and it is associated with the circle of life as the
universe turns in eternal motion.
This sacred geometry is the foundation for the composition of many
traditional Balinese paintings, including the ceiling of Kertha Gosa. Though
less evident, the same sacred geometry is submerged in the structure of
all Gunarsa's artwork, and it is particularly forceful in the way it animates
the abstract shapes in the spaces between and around his central subjects.
A modern counterpart to the mystical shapes that filled the spaces in
traditional paintings like the ones at Kertha Gosa, Gunarsa's abstractions
surround his figures with a dynamic sense of kinetic energy that is almost
audible. TTiey imbue his work with a sense of spiritual mystery that is rooted
in the symbols of the tampak dara, nawa sanga, senjata, and aksara, even
though these symbols are never overtly present. Balinese cosmology has
been assimilated into the movement of Gunarsa's muscles when he puts a
pen to paper or a brush to canvas, and that movement seems always to be
propelled by the sounds that are integral to Balinese life: gamelan orchestras,
chants of prayer, and the wind blowing through a pindekan in a rice field.
When Gunarsa sees his paintings, he hears the sounds that inspired them.
Like the priest who hears the singing of sacred stories in the illustrations
that adorn Kertha Gosa's ceiling, Gunarsa cannot help but hear the music
that is embedded in the visual composition of his canvases. Pointing to a
painting of the Calonarang dance drama, Gunarsa sings the incantations of
Pengaturan pola sistem nada pentatonik (lima nada) untuk laras karawitan
Bali sesuai dengan kesan dari tampak dara, yang mana setiap nada bersenyawa
dengan menunjuk terdapat di utara, selatan, timur, barat dan ditengah dari
simbol. Dengan menambahkan pada titik-titik di timur laut, barat daya, barat
laut dan tenggara akan membuat sembilan arah mata angin sebagai simbol
nawa sungSLyang titik-titiknya berhubungan dengan stana dari sembilan para
dewa dengan senjata sucinya dan aksara bersuku kata satu yang memiliki
keterkaitan satu sama lainnya. Gerakannya yang searah dengan putaran
jarum jam seputar masing-masing dari titik ini berputar melingkar dikenal
dengan sebutan pengider bhuana diasosiasikan dengan siklus kehidupan
seperti halnya alam semesta bergerak berputar abadi.
Geometri sakral seperti ini menjadi dasar untuk komposisi kebanyakan
lukisan Bali radisional, termasuk lukisan di langit-langit balai Kerta Gosa.
Meskipun sedikit kurang jelas, geometri sakral keberadaannya menyelam di
dalam struktur karya seninya Gunarsa, dan terutama sekali itu sangat kuat
dalam menghidupkan bentuk-bentuk abstrak di dalam ruang diantara dan
diseputar subjek-subjek utamanya. Pendamping moderen kepada bentuk-
bentuk mistis seperti yang terdapat di Kerta Gosa, pengabtraksian Gunarsa
diseputar figur-figurnya dengan rasa tenaga gerak yang hampir dapat
didengar. Semuanya itu mengilhami kerjanya dengan rasa misteri spiritual
yang mengakar pada simbol-simbol dari tampak dara, nawa sanga, sejata
dan aksara, kendatipun simbul-simbul ini tak pernah secara terbuka hadir
kepermukaan. Kehadiran dari kosmologi Bali telah diasimilasikan ke dalam
gerak ototnya Gunarsa manakala dia menggoreskan penanya di kertas
atau pada sapuan kuasnya di kanvas,dan gerakan tersebut nampaknya
selalu didorong oleh suara yang menyatu ke dalam pemandangan jagad
Bali, gamelan, mantram lantunan doa-doa, dan angin yang menghembus
pindekan di tengah sawah.
Ketika Gunarsa melihat lukisannya, dia mendengar suara-suara yang
mengilhaminya. Seperti halnya pendeta yang mendengar nyanyian dari
ceritera sakral di dalam ilustrasi yang menghiasi langit-langit Kerta Gosa,
Gunarsa tidak dapat membantu akan tetapi mendengar bahwa musik tersebut
terpendam dalam komposisi visual dari kanvas-kanvasnya. Menunjuk pada
145
146
the sisya, apprentice sorcerers whose magic spreads plague in each direction
of the nawa sanga. Later he stops in front of a painting of a priest blessing
an offering with the sprinkling of holy water and the whisper of a sacred
mantra. Gunarsa imitates the delicate tinkling of the priest's bell, noting
that its sound is generated by the clapper's movement from east to west
or north to south as it hits against the dome of the bell at each of those
points.
In Gunarsa's paintings the sacred sounds, holy dances, and mystical beliefs
of Bali's heritage crash and clang together against the dynamic energy of
Bali's struggle to maintain its cultural identity in the modern world. This
dynamic merging of the senses is at the heart of Gunarsa's style, and it could
not be duplicated by the listless forgeries that were on display at the copyright
trial in Denpasar. Expert witnesses maintained that the copies lacked the
soul of Gunarsa's signature style, and the judges agreed with them. Even in
their decision to deny Gunarsa his rights under Indonesian copyright law,
the judges admitted that the copies did not meet his standards of artistic
creation. What the judges failed to do was to listen to the music of the
paintings on display in their courtroom. They could not hear the sound of
Balinese history, religion, and culture singing in Gunarsa's canvases, and
they were tone deaf to the destruction their decision would initiate.
The artistic heritage of Bali, Indonesia or any other culture
cannot endure if its ransacking is legitimized by the
authorities designed to protect it. If left unchallenged the
decision of the judges would undermine all copyright laws
in Indonesia, essentially permitting anyone to make bad
copies of any work of art (visual, literary, or musical) and
profit from their sale by arguing that the copy is not really
the same as the original, so the original artists have no legal
right to stop them. This violates not only the economic
lukisan dramatari Calonarang, Gunarsa menyanyikan mantra-mantra dari
sisya, murid dari seorang tukang sihir yang kekuatan magiknya menebar
wabah ke seluruh penjuru dari nawasanga. Kemudian dia berhenti dihadapan
lukisan seorang pendeta mendoakan sesajen dengan memerciki air suci dan
membisikkan mantra sakral. Gunarsa menirukan enaknya denting suara
genta pendeta memberikan catatan suara tersebut dihasilkan oleh ayunan
anak genta dengan gerakan dari timur ke barat dan dari utara ke selatan
memukuli setiap titik pada lengkungan tepian dari genta tersebut.
Di dalam lukisan Gunarsa suara suci, tarian suci, dan kepercayaan mistis
warisan orang Bali berbenturan dan berdentingan bersama melawan energi
dinamika kontemporer bergumul untuk tetap hidup. Dinamika seperti ini
bersatu dalam rasa menjadi pusat denyut gayanya Gunarsa, dan semestinya
tidak digandakan ke dalam pemalsuan yang tak bergairah seperti telah
dipamerkan pada peradilan hak cipta di Denpasar. Para ahli menjadi saksi
menegakkan bahwa duplikat kekurangan dari jiwa gaya tanda tangannya
Gunarsa, dan hakim setuju dengan mereka. Bahkan dalam keputusan mereka
menyangkal haknya Gunarsa dibawah perlindungan hukum hak cipta
Indonesia, para hakim mengakui bahwa duplikatnya tidaklah memenuhi
ukuran untuk standar artistik kreasinya. Apa yang menjadi kesalahan para
hakim yang tidak dilakukan adalah mendengarkan rasa musical dari lukisan-
lukisannya yang dipajang di dalam ruangan pengadilan mereka. Mereka tidak
dapat mendengar suara dari sejarahnya orang Bali, agama, dan budayanya
yang bernyanyi dalam kanvas-kanvasnya Gunarsa, dan mereka telah tuli
nada dalam menghancurkan keputusan awal mereka.
Bagaimana dengan warisan artistiknya Bali, Indonesia atau
sejumlah budaya yang lain dalam mempertahankannya jika
perampoknya disyahkan oleh pemegang kekuasaan yang
dibentuk sesungguhnya untuk melindungi. Keputusan para
hakim akan merusak semua hukum hak cipta di Indonesia,
pada intinya memberi ijin kepada setiap orang untuk
membuat duplikat jelek dari berbagai hasil karya seni (visual,
leteratur, musikal) dan mendapat keuntungan dari hasil
penjualan mereka dengan argumentasi bahwa duplikatnya
147
rights, but also the moral rights of every artist under international copyright
law, because the original artists get no share of the sale of the copies and
no compensation for the fact that their reputation and future earnings are
diminished by the dissemination of inferior work under their names. By
this twisted logic anyone could go into a bank, sign someone else's name
to a check, take money out of that person's account, and avoid punishment
because the forged check was not authentic and so did not belong to the
owner of the account.
tidaklah sama dengan aslinya jadi dengan demikian itu adalah menjadi
miliknya dan seniman aslinya tidak mempunyai hak untuk menghentikan
mereka. Pelanggaran seperti ini tidak saja pada hak ekonomi, akan tetapi juga
menyangkut hak moral setiap seniman dibawah perlindungan hukum hak
cipta internasional, oleh karena seniman aslinya tidak memperoleh bagian
dari hasil penjualan duplikasinya dan tidak ada konpensasi untuk kenyataan
bahwa reputasi mereka dan pendapatan dimasa datang menjadi berkurang
dengan penyebarluasan hasil karya yang murahan mutunya mengatas
namakan dirinya. Dengan pembengkokan logika seperti ini setiap orang bisa
pergi ke bank menanda tangani pada nama orang lain ke pada sebuah cek
yang sesungguhnya bohong dan tidak kepunyaan dari pemilik tabungan.
If the judge's reasoning is allowed to stand as precedent for
future judgments, no international company would agree to
do business in Indonesia. The ruling would allow anyone to
sell counterfeit products (Coca Cola, Gucci, or Sonny, for
example) as long as they could prove that the items with the
famous labels were not authentic, and consequently were
not the property of the brand name owners. The decision
of the judges makes a mockery of international copyright
law and announces to the world that Indonesia is officially
declaring itself to be a nation where piracy is legal.
If the judges in Denpasar and Jakarta, however, had listened more deeply
to the music that is embedded in Gunarsa's artwork, they would have heard
the sound of karmapala, the principle of spiritual justice that is at the core
of Balinese culture, and illustrated so vividly on the ceiling of Kertha Gosa.
If they had been more attentive to the rhythms of Balinese history and
culture, they would have been reminded of the fate in the after-life that
awaits those who distort the truth.
Jika pertimbangan para hakim mengijinkan berpegang
sebagai sesuatu yang dapat dijadikan teladan untuk
pengadilan di masa datang, tidak ada perusahan
internasional setuju melakukan bisnis di Indonesia.
Penguasa akan mengijinkan kepada setiap orang untuk
menjual produksi palsu (seperti Coca Cola, Gucci, atau
Sony) sepanjang mereka bisa membuktikan bahwa item
berlebel terkenal adalah tidak asli, konsekwensinya bukanlah
merupakan kepunyaan si pemilik nama cap si produser.
Keputusan para hakim membuat olok-olokan pada hukum
hak cipta internasional dan memberitahukan dunia bahwa Indonesia adalah
secara resmi mengumumkan dirinya sebagai bangsa dimana perampasan
adalah sah menurut undang-undang.
Kalau saja para hakim di Denpasar dan Jakarta, barangkali, mau
mendengarkan lebih dalam kepada rasa musikal yang tertanam pada karya
seninya Gunarsa, mereka akan mendengar suara dari karmapala, prinsip
dari pengadilan spiritual yang menjadi inti dari kebudayaan orang Bali,
diilustrasikan dengan gamblang di langit-langit Kerta Gosa. Jika saja mereka
lebih menaruh perhatian kepada ritme dari sejarah dan budaya orang Bali,
mereka semestinya sudah diingatkan akan nasib di dunia sana yang tengah
menunggu mereka yang merusak kebenaran.
148
Nyoman Gunarsa is not content to wait for the afterlife to find justice. He
wants to see the judges answer to the laws ofkarmapala as soon as possible,
and he responds to the injustice of their decision with the strongest weapon
at his disposal, art. The wayang play of Nardayana laid out the facts of the
case ir a clear manner and was prophetic in its observations about the
corrupt manipulation of the law in Indonesia. Many of the paintings done
by Gunarsa during and after the trial also reflect his longing for justice.
The sketches he scribbles casually over lunch in his studio are often visual
metaphors of justice deferred. One of them re-imagines the story on the
ceiling of the Kertha Gosa by caricaturing the judge as a heron in a judicial
hat and robe being pinched by a crab with a paintbrush. He laughs as he
draws, echoing the musical guffaws of the shadow puppet clown Twalen.
This, in turn inspires him to enact a miniature wayang play with scraps
of fruit as his puppets. "This is the heron who impersonated a priest, he
chortles holding up a box of dates. Then he picks up a discarded banana
peel and dangles it over the dates, "And this is the crab that won't rest until
he finds the truth."
Nyoman Gunarsa tidaklah mengisi untuk menunggu mendapatkan
keadilan setelah kehidupan ini berakhir. Dia menginginkan untuk melihat
hakim menjawab terhadap hukum karmapala sesegera mungkin, dan dia
merespon ketidak adilan dari hasil keputusan mereka dengan senjata
yang paling kuat pada penyelesaian, yakni seni. Pertunjukan wayangnya
Nardayana membentang luas kenyataan dari persoalan dengan sikap yang
jelas dan sebagai hal besifat ramalan dalam observasinya tentang korupsi
manipulasi terhadap hukum di Indonesia. Banyak lukisan karyanya
Gunarsa selama dan setelah persidangan pengadilan juga merefleksikan
dambaannya akan keadilan. Sketsa-sketsa yang dia ceriterakan dengan
bersahaja setelah makan siang di studionya adalah sering sebagai
visualisasi metapora dari sebuah keadilan yang tertunda. Salah satu
diantaranya mengingatkan akan cerita di langit-langit Kerta Gosa dengan
penggambaran hakim dalam karikatur sebagai seekor burung bangau dengan
topi yang biasa dikenakan pada proses peradilan dan toga yang tengah
dijepit oleh si kepiting dengan kuas lukisannya. Dia tertawa manakala dia
mengambarkannya, dengan menggemakan musikal terbahak-bahaknya tokoh
Twalen panakawan wayang kulit. Ini berbalik memberi inspirasi pada dirinya
untuk menetapkan sebuah miniature pertunjukan wayang dengan sisa buah
sebagai wayangnya. "Ini adalah burung bangau yang merubah dirinya
menjadi seorang pendeta, dia tertawa terbahak-bahak dengan mengangkat
sebuah kotak biji. Kemudian dia mengangkat kelupasan kulit pisang dan
mengayunkannya di atas kotak biji, "Dan inilah si kepiting yang tak mau
beristirahat sebelum dia mendapatkan keadilan"
Eventually Gunarsa creates his own new variation of the story about the
heron and the crab. It unfolds in a visual narrative of five watercolors. The
thoughts and words of the heron, crab, and fish are handwritten above them
as they would be in a cartoon, but the structure of his five-part creation
also mirrors the format of a lontar manuscript in which words and images
are combined to tell a story with a moral message. The action of Gunarsas
re-imagining of the story moves inevitably to the climax of karmapala in
which the heron's neck is sliced apart by the crab's claws.
Pada akhirnya Gunarsa menciptakan kreasi barunya sendiri merupakan
variasi dari ceritera burung bangau dan kepiting. Itu membentang kedalam
sebuah visual naratif dari lima lukisan cat air. Pikiran dan perkataan dari
burung bangau, kepiting, dan ikan diterakan dalam tulisan tangan di atas
mereka sepertinya mereka seakan dalam kartun, akan tetapi struktur dari
kelima bagian kreasinya juga mencerminkan format dari lontar manuskrip
yang mana kata-katanya dan kesan khayalan merupakan penggabungan
untuk memaparkan sebuah ceritera dengan pesan-pesan moral. Aksinya
Gunarsa dalam mengimajinasikan kembali ceritera tersebut tak bisa diacuhkan
bergerak menuju klimak karmapala yang mana leher si burung bangau
149
dipotong dengan cangkang kakinya si kepiting.
The first image presents the beauty of the natural world in pastel shades of
yellow and blue. The four elements of creation are palpable: earth, air, water,
and fire. The surface of the lake is rippling and drops of water splash around
the fish as they leap up to ask the priestly- clad heron to help save them
from the drought that is drying out their home. The heron is perched above
them on the shore, with shoots of grass growing from the mound of earth
he stands on. Clouds drift overhead propelled by a gentle wind suggested
by the swirling curves of the brush-strokes that depict a pale-blue sky in
the background. The sun radiates fiery rays of heat that reach the fish and
heron in faint dabs of yellow paint. The sun is in the northeast quadrant
of the paper, consistent with the vision of Balinese cosmology found in the
nawasanga, and it is personified with a smiling face that suggests the eyes of
heaven are watching everything that will ensue. Ironically the sun's features
bear a slight resemblance to Gunarsa's own visage.
Kesan pertama hadir adalah keindahan dunia alami di dalam bayangan
dari pastel kuning dan biru. Empat elemen kreasi dengan gamblang muncul
adalah: tanah, angin, air, dan api. Permukaan dari danau berdesir dan tetesan
air nyemplung diseputar ikan manakala dia melompat ke atas memohon
kehadapan burung bangau yang berlagak seperti pendeta untuk dimohonkan
bantuannya menyelamat mereka dari kekeringan yang membuat kematian
dirumah mereka. Burung bangau bertengger di tepian di atas mereka, dengan
tunas-tunas rumput tumbuh dari gundukan tanah di tempat dia berdiri.
Awan mengapung di atas kepala didorong oleh angin lembut dilukiskan
dengan pusaran lingkaran dari kibasan kuas yang mengambarkan langit
biru muda sebagai latar belakang. Radiasi surya dalam pancaran panasnya
sinar yang menyentuh ikan dan burung bangau dalam olesan redup dari
cat kuning. Matahari berada di timur laut kwadrant dari kertas, konsisten
dengan pandangan kosmologi orang Bali yang terdapat dalam nawasanga,
dan itu dipersonifikasikan dengan muka tersenyum yang mengusulkan mata-
mata dari sorga sedang mengamati segala sesuatunya yang akan terjadi.
Ironisnya airmukanya matahari membawa sedikit kemiripan seperti roman
mukanya sendiri.
Although the natural setting is idyllic, it is clear, even without reading the
dialogue, that something is amiss in the natural order of things. The fish are
out of water, balanced precariously on their fins at the lake's surface as if it is
already too shallow to sustain them, and their features give the impression
of frightened children. Their state of desperation is heightened by the drops
of water splashing off their scales that could be seen anthropomorphically
as beads of sweat expressing their fear of death. The heron rings the bell of a
priest (genta) with one talon which puts him out of balance, standing on one
leg as he lies to the fish about how he will save them. The heron's inner state
of corruption is expressed throughout Gunarsa's sequence of watercolors
by his external state of physical imbalance. On land the heron stands only
on one leg. When he is in the air, the bird twists his neck so that he looks
backwards while flying forwards. And when the heron lies to the crab in the
fourth painting of the series, the bird defecates while speaking, as if the fish
Walaupun seting alamnya idilis sangatlah jelas kendati tanpa harus membaca
dialognya, ada yang salah dari susunan dari sesuatunya secara alami disitu.
Ikannya keluar dari air seimbang tidak nyaman pada sirip mereka pada
permukaan danau sepertinya itu dangkal untuk mendukung mereka dan
kehadiran mereka memberikan kesan seperti ketakutan anak kecil. Pernyataan
keputusasaan mereka dipertinggi oleh tetesan air mencemplung di luar
sekala mereka yang dapat dilihat sebagai anthropormophis dari kebasahan
embuh manik-manik mengekspresikan ketakutan mereka akan kematian. Si
burung bangau membunyikan genta seorang pendeta dengan satu kuku yang
membuat dia tidak seimbang, berdiri di satu kaki demikian dan berbohong
kehadapan ikan-ikan tentang bagaimana dia akan menyelamatkan mereka.
Pernyataan dalam si burung bangau tentang korupsi diekspresikan melalui
sikwen-sikwen lukisan cat airnya Gunarsa dengan pernyataan luarnya secara
pisik tidak seimbang. Di tanah si burung bangau berdiri hanya dengan satu
150
he has killed and eaten are expelling themselves from his digestive system to
reveal his gluttonous sins to the world. Gunarsa heightens the sensory impact
of the scene with sound effects of the turds hitting the ground ("Prot!! Prot!!
Prot!!) and by giving their trajectory a visual pattern that mirrors the shapes
of the beads that dangle from the bird's earings. The earrings and head-dress
that the heron wears resemble those of a priest, but the excrement falling
from the other end of his body reveal the falsehood of his disguise. With the
top of his body garbed in holy accessories and his bottom parts stained with
filth Gunarsa's heron is an animated emblem of ruabineda. Two extremes
co-exist in one creature in a way that is unbalanced and blasphemous. It is
Gunarsa's scathing caricature of the judges who turned the law upside down
in his case and the viewer can almost smell the stench of corruption.
kaki. Manakala dia ada di udara si burung membengkokan lehernya dengan
menoleh ke belakang sementara dia terbang ke depan. Ketika si burung
bangau berbohong dihadapan kepiting pada lukisan yang keempat dari serial
lukisannya, si burung membuang air besar ketika sedang berbicara, sepertinya
ikan-ikan yang telah dibunuhnya dan dimakannya, mengeluarkan mereka
dari sistem percernaannya untuk mengungkapkan kelahapan dosanya kepada
dunia. Gunarsa mempertinggi dampak yang berhubungan dengan perasaan
dari pemandangan dengan efek suara dari kotoran yang jatuh ke tanah ("Prot!!
Prot!! Prot!!) dan dengan memberikan lintasan mereka ke dalam pola visual
yang mencerminkan bentuk dari manik-manikan membayang-bayangkan dari
anting-antingnya si burung. Anting-anting dan hiasan kepala yang dikenakan
oleh si burung bangau semua itu menyerupai seorang pendeta, aka tetapi
najis yang jatuh dari pantatnya mengakhiri dirinya mengungkap kepalsuan
dari penyamarannya. Pada bagian atas badannya berbusana dengan asesoris
suci dan bagian bawahnya dinodai dengan kotoran burung bangau lukisan
Gunarsa dihidupkan oleh lambang ruabineda. Dua perbedaan besar yang
berdampingan pada satu mahluk dalam arti itu adalah tidak seimbang dan
menghina Tuhan. Adalah karikaturnya Gunarsa yang pedas untuk para
hakim yang memutar hukum menjadi terbalik dalam kasusnya dan pengamat
hampir dapat mencium bau busuk dari korupsi.
The crab on the other hand appears in the fourth painting as a vision of
truth that will penetrate the heron's lies. While the priest used a verbal
pun to conflate the name of the crab {yuyu) with the word for truth (yukti),
Gunarsa relies on a visual analogy to convey the virtue of the crustacean
hero. The body of the crab in Gunarsa's watercolors has a circular structure
that recalls the shape of the nawasanga and its depiction of the nine sacred
directions. Although it is presented from three different angles, as if it were
spinning like the pindekan wheel whose wind-propelled movement echoes
the turning of the world, the crab has eight appendages radiating out from
his central shell, a design that corresponds to the eight cardinal directions
and the ninth point which is the dwelling place of Shiva in the center of the
diagram. The crab's virtue is also depicted visually by his yellowish red color
that matches the coloring of the sun who is personified by the Balinese as
the deity who is a source of light and truth Sangh Hyang Surya.
Si kepiting di sisi yang lain muncul di dalam lukisan keempat sebagai sebuah
pandangan dari kebenaran akan menembus kebohongan si burung bangau.
Sementara pendeta menggunakan permainan kata verbal untuk coflate
namanya si kepiting fyuyuj dengan kata untuk kebenaran (yuktij, Gunarsa
bersandar pada visual analogi untuk menyampaikan kebaikan dari pahlawan
binatang berkulit keras. Badannya si kepiting adalah dalam lukisan cat airnya
Gunarsa memiliki struktur melingkar yang memanggil bentuk dari nawasanga
itu tergambarkan dari kesembilan arah sakral. Walaupun itu dipresentasikan
dari tiga sudut yang berbeda, berputar seperti roda pindekan dimana
angin menghembus lembut menggemakan perputaran dunia, si kepiting
memiliki delapan kaki yang radiasinya keluar dari pusat perisainya, sebuah
desain yang berhubungan dengan delapan arah mata angin dan poin yang
ke sembilan adalah stana dari Siwa dipusat diagram. Kebenaran si kepitng
juga digambarkan secara visual dengan warna kuning kemerahan yang cocok
151
Although the crab does not appear in the story until the fourth watercolor,
his arrival has been visually foreshadowed by the shape and color of the
yellowish-red necklace the heron wears around his neck as part of his disguise.
The priestly accessory is counterfeit, and in keeping with the principles of
ruabineda it is replaced by a creature who symbolizes authenticity. The crab
wraps himself around the heron's neck, pretending to believe the heron's lies
about transporting him to a lake that will never dry up, but when he sees the
bones of the fish the heron has eaten on a barren hot stone, the crab slices
through the heron's neck with his pincers, beheading the bird and ending
his lies.
Associating the false priest in the fable with the false judge in his court case,
Gunarsa rejects the gentler ending of the priest's retelling of the tale in which
the crab merely cuts off the heron's beak to silence and humiliate him as a
punishment for his lies. "Karmapala must be complete," the artist insists.
In his five-painting narrative the artist has created a water-color wayang
play that metaphorically metes out justice in a style that owes much to the
ceiling-paintings of kertha gosa that he studied as a child. Identifying with
the crab as what he called "the personification of the artist" Gunarsa wields
his paintbrush like a saber. His art is his weapon {senjata kesenian), and he
wields it with fierce grace in his ongoing struggle to transform the ugliness
of corruption into the beauty of justice fulfilled.
dengan warna sinar matahari yang dipersonifikasikan oleh orang Bali
sebagai dewa sebagai sumber sinar dan kebenaran Sanghyang Surya.
Walaupun si kepiting tidak muncul di dalam ceritera sampai dengan
lukisan cat air yang keempat, kehadirannya telah secara visual membayangi
dari bentuk dan warna dari kuning kemerahan kalung yang dipakai si
burung bangau dilehernya sebagai bagian dari penyamarannya. Asesori
kependetaan adalah palsu dan dalam menjaga dengan prinsip dari
ruabineda itu diganti dengan mahluk sebagai simbol keasliannya. Kepiting
membungkus dirinya diseputar lehernya si burung bangau berpura-pura
percaya akan kebohongan si burung bangau tentang pemindahan dirinya
ke sebuah danau yang tak pernah kering, akan tetapi ketika dia melihat
tulang belulangnya ikan yang dimangsa oleh bangau di atas tandusnya
batu panas, si kepiting memotong kerongkongan lehernya bangau dengan
cangkangnya, menyudahi kebohongannya.
Menghubungkan pendeta palsu dalam kisah ceritera binatang dengan
hakim palsu dalam kasus pengadilannya, Gunarsa menolak akhir yang
lebih lemah dari apa yang diceriterakan oleh pendeta ceritera yang
mana si kepiting hanya memotong paruhnya si burung bangau untuk
membuat dia diam dan menghina dia sebagai sebuah hukuman atas
kebohongannya. "Karmapala harus lengkap," seniman mendesak. Dalam
lima naratif lukisannya seniman telah menciptakan pertunjukan wayang
yang secara metaporikal mengukur diluar keadilan dalam sebuah gaya
yang berhutang banyak untuk lukisan-lukisan langit-langit dari kertha
gosa yang dia belajari ketika masih kecil. Mengidentifikasikan dengan si
kepiting dengan apa yang dia sebut "personifikasi dari seorang seniman"
Gunarsa menggunakan kuas catnya bagaikan pedang. Karya seninya
adalah senjatanya fsenjata kesenianj, dan dia memegangnya dengan galak
hormat dalam keberlanjutan perjuangannya untuk merubah kejelekan
dari korupsi menjadi keindahan dari keadilan terpenuhi.
152
\j Hitli Kill^ e^-e^tC /^<^^-^-<
7 ^M^Cti/- ^
V '- i^^-'^'V^^ AY'^.Crt<^^^-'^ ^'''^^ .^
«<--.»%-
//
<^'
£-4
>- ' cV; (?<m! ^'-e ^de
-J
• •
. *♦
.'**^/M*,
♦■■
'M.
'y
Vn
^ e,.i:/
>-
■-■fe
<^
W^t/^gr^'Al^^ Ai-^t dcr^J^^ -^^'^rt^ •
'y.
'V"
.>v^,;,
^.
l'
^ r7.
<ry r\
158
"THE FALSE
ANGGADA" -
SHADOW PLAY
by
I Wayan Nardayana
Pertunjukan Wayang -
''Angga d a Palsu''
oleh
I Wayan Nardayana
159
Wayang Cenk Blonk Hak Cipta
Judul :
Tgl / Blonkn / Thn :
Tempat : Lapangan Puputan Badung
ENGLISH
Wayang Cenk Blonk Hak Cipta
Judul :
Tgl / Blonkn / Thn :
Tempat : Lapangan Puputan Badung
BAU/KAWI
(Boldface text indicates words spoken originally
in Kawi)
Wayang Cenk Blonk Hak Cipta
Judul :
Tgl / Blonkn / Tlin :
Tempat : Lapangan Puputan Badung
INDONESIAN
Dalang: (chanting a mantra) Om Om, most radiant
sun, source of the most glorious light, I bow down
before you, and pay homage to your fiery red rays
that glisten, incarnated in the center of the lotus
flower that is born out of the darkness. (The word
for lotus, 'pangkaja,' is derived from the words for
mud,' pang,' and easterly, 'kaja,' so it is literally the
flower that is born in the mud and opens to the sun
rising in the east). I worship you with the prayer of
OM that reverberates to the highest heaven of the
most glorious lord Siwa.
All that dwells in the natural world has a soul. Safe
and pure without danger. After the decision of
Batara Atianta. Start by praying, start by praying
Dalang: (mantra) "Om Om Om Raditya sya
paranjyotir, rakta teja namastute sweta pangkaja
amadyaste, baskara ye nama namah. Oooom rang
ring syah parama siwa ditya ya namah swaha".
Umerep ri sekala sang ning aneng apremanaaa.
Swasta ya paripurna natan kacauhing dening
pangila-ila. Wuus wecananira Batara Atianta.
Dalang: (mantra) Om Sanghyang Widhi Wasa,
Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau Bersinar
Merah, Hormat Pada-Mu, Engkau Yang Berada
Ditengah-tengah Teratai Putih, Hormat Pada-Mu
Pembuat Sinar.
Terdiamlah semua yang bernyawa di alam nyata.
Selamat dan sempurna tidak kena mara bahaya.
Setelah keputusan Hyang Batara, Berkehendak.
160
at the feet of the gods. To avoid mistakes in the
face of the lord's power.
Hurry. After a long time. It appears. The story
is told of Lord Suniantala like darkness walking.
He quickly walks into the Rangdu tree, the king of
trees. It can make the whole world tremble. Earth,
Light, Wind, Sky, Stars, Meteors, and also the sun
and the moon. Hurry. The story is told about the
appearance of the puppets that will dance.
Because it has been ordered by Lord Paramakawi,
based on an idea by the Lord Creator. It is available,
because it is already complete in all seven chapters.
The first chapter and the ones that follow in the
story. They were written by none other than the
sage Valmiki a long time ago. After that, it is told
that none other than the Lord Creator cut the
contents of the story. The story being told now is
about nothing less than heaven. The story being
told is the story of the red monkey Commander
Anggada, and also his two servants, none other
than Twalen and Werdah, and how they were
ordered by Lord Rama to go to Siwa's Heaven.
They meet none other than Lord Siwa, because
Lord Rama was conducting a ceremony to cleanse
the world of demonic forces, and to pray for the
entire world. That is the reason why Anggada was
ordered to go and bring down the cleansing holy
water. So that is the content of the story.
The story that will be told is none other than
General Anggada in Siwa's Heaven.
Kruweeee. Kruwee. (Anggada dances to monkey sounds)
Manggalaning sembah, manggalaning sembah
ningulun ri padana sira Hyang. Lamakana
natan keneng sotsot upadrawa kuasanira paduka
Batara. Agiaaaaa. Dadia Pira pinten gati kunang
lawas ikang kalaniraaa.
Mijiiil. Saksan mijil sang Hyang Suniantala
kadi gelapp dumerasah anusuping rangduning
praja menala. Yaya gumeter marikanang kang
Pertiwi tala. Apah Teja Bayu Akasa Lintang
Trenggana muang Surya Candra. Agiaaaa.
Saksana mijil Sang Hyang Ringgit yata amolah
cara. Sawetaning dinuduh de nira Sang Hyang
Paramakawi nguniweh winekanira Sang
Hyang Guru Reka. Paraaan ri sapratingkah ira.
Sawetaning sampun jangkep marikanang kang
Sapta Kanda. Utara Kanda tekeng Kapi Kanda
carita. Yata pangiketang niraaa Bagawan Walmiki
kala nguni purwa. Antian irikaaaa. Saksana mijil
Sang Hyang Kawi Swara Murti tan sah amunggel
punang taTwalena carita. Yaya kawinursita
mangke tansah marewanten ikanang Suargaaa
Loka. Warnaneeen wijilira Boset Bang Wira
Ngada. Katekaning caraka nira maka rwa. Tan
sah Twalen muang Werdah. Apan wit kadunung
nira Sri Batara Rama. Lumaku aneng kunang
Siwa Loka. Tan sah nyatpada Hyang hyang ning
Nilakanta. Mapan Sri Narendra Batara Rama
angadak kunang yadnya Bhuta Yadnya. Mapahayu
kunang jagat kabeh. Ya nimitanian kaduta lumaku
nedunang Tirta Sudamala. Samangkana kunang
taTwalena caritaaa.
Kawinursita sah sira Wira Ngada kunang Swarga
Loka. Kruweeeek. Kruweeeek. (Igal wayang
Anggada)
Mengawali sembah, mengawali sembah hamba di
hadapan paduka Hyang Kuasa. Agar terhindar
dari mala petaka atas kekuasaan paduka Bhatara.
Segera, setelah sekian lama waktunya. Muncul.
Diceritakan muncul Sang Hyang diantara Alam
Nyata dengan Alam Maya bagaikan gelap berjalan
cepat memasuki pohon Rangdu, raja pohon.
Menyebabkan bergemetar semua Bumi. Benda
padat Sinar Angin Angkasa Bintang Meteor
dan juga Matahari Bulan. Segera. Diceritakan
muncullah Sang Hyang Ringgit (Wayang) akan
Karena diutus oleh beliau Sang Hyang Paramakawi
atas gagasan Sang Hyang Pengarang. Adalah
keberadaan beliau; karena sudah lengkap semua
Tujuh babak. Utara babak juga Utara babak
cerita. Tiada lain karangannya Bagawan Walmiki
pada waktu lampau. Setelah itu, diceritakan tiada
lain hadir Sang Hyang Pengarang, memotong
jalan cerita. Diceritakan sekarang tiada lain
di Sorga. Dikisahkan keberangkatan Monyet
Merah, Perwira Ngada, dan juga abdinya berdua.
Tiada lain Twalen dan Werdah. Karena diutus
oleh Batara Rama. Menuju ke Siwa Loka. Tiada
lain menghadap Hyang Hyang Siwa. Karena
beliau Batara Rama mengadakan upacara Buta
Yadnya. Mendoakan dunia semua. Itu yang
menyebabkan Ngada diutus menuju menurunkan
Air pembersihan. Demikianlah isi cerita.
Diceritakan tiada lain Wira Ngada di Siwa Loka.
Kruweeeee. Kruweeeeek. (Anggada menari).
161
Chorus sings: The son ofSubali appears.
Anggada: Kruweeek.
Chorus sings
Anggada: {dances) Kruweeeek.
Chorus sings
Dalang: Radiaaaa.
Anggada: My servant Twalen. Is it you?
Twalen: Yes, I am here, my lord. I am at your
service.
Anggada: So get ready. Get ready, Twalen. This
is the moment to follow your lord Commander
Anggada.
Twalen: I would not dare refuse to follow you in
your journey. I bow down to you. Forgive me. Lord
Anggada, my master.
Anggada: Your master has been ordered by Lord
Rama, ordered to go to Siwa's Heaven, for no other
reason than to meet face to face with the lord of
lords, Siwa.
Twalen: Because you have been ordered by his
Lordship, I bow down to you. I bow down to my
lord. I am my master's servant. I ask forgiveness
from Lord Rama, the King of your nation, over there
in Ayodya Pura. You will present yourself in the
invisible world of Siwa's Heaven, arriving there in a
silver ship, is that not right?
Anggada: I will go because Lord Rama is
conducting a ceremony of prayer to purify the
entire world.
Twalen: Because our devoted lord never stops
preparing ceremonies to make the world safe,
peaceful, and tranquil, so that harmony can be
achieved. It is hoped that the ceremony of prayers
will cleanse the world of all dangers. Because my
lord always thinks about the welfare of the people in
the kingdom of Ayodya. That is how it is.
Anggada: True.
Twalen: True.
Sendon: "Mijiiil sira Bali Putra.
Angada: Kruweeek.
Sendon...
Angada: (menari). Kruweeeek.
Sendon...
Dalang: Radiaaaa.
Anggada: Caraka Twalen paricarakanku kalaganta.
Twalen: Inggih titiang Ratu. Titiang parekan Iratu
tua titiang.
Anggada: Kewala yatna-yatna. Kewala yatna-
yatna Twalen! Risada kala lampah tuanta Sira
Wira Ngada.
Twalen: Ten purun piwal. Titiang ngiringan
sapemargin palungguh Iratu, sasuhunan titiang.
Sugra Sang Angada kadi linggih Iratu.
Anggada: Mapan tuanta Wira Ngada wit kaduta
lawan Sri Narendra Batara Rama. Kinon lumaku
aneng kunang Suarga Loka. Tan sah nyatpada
Hyang-hyangning Nilakanta.
Twalen: Duwaning Iratu kautus ratu antuk Ida
Batara sasuhunan. Sasuhunan Iratu Bataran titiang.
Sugra Ida Batara Rama, murdaning jagat ratu,
irika ring Ayodya Pura. Mangda sida aratu tangkil,
merika ke niskala Siwa Loka, Rauhing Jung Ing
Selaka. Boya sapunika.
Anggada: Mapan yadnya tansah ginelar Sri
Narendra Batara Rama. Mopahayu maparisudi
kang jagat kabeh.
Twalen: Santukan Ida Batara sasuhunan tan
maren gumanti nabdad yadnya. Ngardi panegara
moksartem jagaditha ya ca iti darma. Kerahayune
kepanggih.Moga-mogayadnyamapahayumarisuda
aratu sahanaing mala petakan ikanang jagat.
Mangda panggih ratu punika indik kesejahteraan.
Minakadi panjak irika ring Ayodya. Sapunika.
Angada: Yogya.
Twalen: Patut.
Sendon: "Keluarlah beliau putranya Bali....
Anggada: Kruweeek.
Sendon...
Anggada: (menari). Kruweeeek.
Sendon...
Dalang: Radiaaaa.
Anggada: Twalen abdi sayangku....
Twalen: Ya, hamba, tuanku. Hamba abdi tuanku, si
tua hamba.
Anggada: Bersiap-siaplah. Siap-siap Twalen!
Manakala Tuanmu Sang Perwira Ngada.
Twalen: Kapan hamba berani menolak. Hamba akan
mengikuti paduka, tuanku. Mohon ampun paduka,
Sang Anggada.
Anggada: Oleh karena tuanmu, Angada, diperintah
oleh Sri Narendra Batara Rama. Disuruh datang
ke Siwa Loka, Tiada lain menghadap Hyang-
hyangning Nilakanta.
Twalen: Karena tuanku diutus oleh paduka raja
junjungan kita. Junjunganpadukadanjugajunjungan
hamba, mohon maaf hamba, beliau Betara Rama,
pucuk pimpinan negeri Ayodyapura. Agar paduka
datang ke dunia maya tiada lain ke Siwaloka menuju
Jungning Selaka. Bukankah demikian?
Anggada: Oleh karena Narendra Rama
menggelar upacara, mendoakan keselamatan dan
kesejahteraan keseluruhan negari.
Twalen: Karena beliau Batara junjungan kita tiada
henti untuk menggelar yadnya, mewujudkan
negara moksartem jagaddhita ya ca iti darma.
Memperoleh keselamatan. Semoga dengan upacara
dapat membersihkan segala sumber petaka di
dunia. Agar diperoleh apa yang dimaksud dengan
kesejahteraannya rakyat di Ayodyapura.
Anggada: Benar.
Twalen: Betul.
163
Anggada: That is why your lord, Commander
Anggada, was ordered to meet the lord of lords,
Siwa, for no other reason than to search for holy
purifying water.
Twalen: Yes. That is fundamental to the ceremony.
My master has been ordered by His Highness,
Lord Rama, the King of the World, to journey to
the invisible world of Siwa's Heaven. I ask for your
blessings in the realm of Lord Siwa, where you
will seek the Holy Water that they say can cleanse
the world of all impurities. It can wash away the
suffering of all the people. It can sanctify everything
so that nothing is unclean. That is the purpose of the
ceremony.
Anggada: True.
Twalen: True.
Anggada: And so that it may succeed, we must
leave quickly. Stay by the side of your master,
Commander Anggada.
Twalen: I will follow your path. Together with your
servant Merdah, we will accompany you on your
journey.
Anggada: Prepare yourself!
Twalen: Go ahead.
Anggada: Kruweeek.
(a tumultuous journey ensues with sound effects and
swirling shadows).
Twalen: Merdah, get ready, get ready. Come here,
Merdah. Follow Lord Anggada! Merdah!
Merdah: What's happening. Dad?
Twalen: Well, that's the way it is with the journeys of
Lord Anggada. It is so fast. Where are we? Well, it's
like this....
Merdah: Where are we?
Twalen: This is called "The Invisible World". It is
named "Heaven."
Merdah: Oh, is this heaven?
Angada: Larapania ta tuanta Wira Ngada wit
kaduta, nyatpada lawan Hyang-Hyang ning Nila
Kanta,tan sah bipraya ngulati kunang Tirta
Sudamala.
Twalen: Inggih. Raris melarapan yadnya punika.
Ratu kautus antuk Ida Sang Rama Dewa. Murdaning
jagat. Mangda sida Iratu tangkil ke niskala. Ke Siwa
Loka. Sugra titiang, nyatpada ring linggih Ida Batara
Siwa. Ngulati ngelungsur sane baosange Tirta
Pangelukatan Sudamala. Anggen ngelebur malan
jagat. Anggen ngelebur malan panjak druwene
sami. Mangda sida suci ning tanpa leteh. Pidabdab
yadnya druwe.
Anggada: Yogya.
Twalen: Patut.
Anggada: Lamakana sida katiba, lah sigra lumaku!
Papah Sira tuanta wira Ngada.
Twalen: : Kewanten Aratu memarga. Banggiang
titiang sareng parekane Werdah, tut wuri pemargin
Iratu.
Anggada: Yatna!
Twalen: Ngeraris!
Anggada: Kruweeek.
Twalen: Merdah. Dabdabang-dabdabang , mai -mai
Merdah. Iring-iring Dane Sang Ngada! Merdah!
Werdah: Kenken, nang?
Twalen: Peh monto pemargin Dane Sang Ngada.
Mecues to. Dija ne? Kaden keto nake.
Werdah: Dija ne?
Twalen: Ne raosange Niskala. Ne suba madan
Suarga Loka.
Werdah: One Suarga Loka?
Anggada: Yang menjadi kewajiban diutusnya
tuanmu Wira Ngada mengahadap Hyang-
hyanging Nilakanta tiada lain akan mencari Tirta
Sudamala.
Twalen: Ya. Berdasarkan upacara tersebutlah
kemudian paduka diutus oleh beliau pimpinan
pucuk negeri, Sang Rama Dewa.Tuanku agar
menghadap ke dunia maya, ke Siwaloka, maafkan
hambamu, memohon kehadapan beliau Batara Siwa.
Memohon untuk mendapatkan yang disebut air
suci pembersihan Sudamala. Digunakan melebur
kekotoran dunia. Digunakan melebur kesengsaraan
masyarakatnya semua. Agar mencapai kesucian,
bersih tanpa kekotoran, menjadi tujuan dari upacara
beliau.
Angada: Benar.
Twalen: Betul.
Anggada: Agar cepat berhasil; mari segera
berangkat! Dampingi tuanmu perwira Ngada.
Twalen: Berangkatlah tuanku. Biarkan hamba
dengan abdimu Werdah, mengikuti perjalanan
tuanku.
Anggada: Siaga!
Twalen: Silahkan!
Anggada: Kruweeek.
Twalen: Persiapkan, persiapkan. Mari, mari Merdah.
Ikuti, ikuti beliau sang Ngada! Merdah!
Werdah: Bagaimana 'Yah?
Twalen: Wah begitu perjalanan dane Sang Ngada.
Melesat itu. Dimana ini? Bukankah begitu.
Werdah: Dimana ini?
Twalen: Ini dinamakan dunia maya. Ini 'dah yang
disebut Sorga.
Werdah: Oh, ini alam surga?
164
Twalen: This is heaven. You are your father's son and
are very lazy, but don't bring your lazy habits from
the material world here to the invisible world.
Merdah: What is the right way to act?
Twalen: Well if your father is a servant, your first
priority should be to follow and serve the words of
Lord Rama. Then you should follow Lord Anggada.
Fundamentally the right thing for you is to be of
service. You should have the proper principles.
Merdah: What should I use as the foundation? What
principles should I use?
Twalen: "The Basic Rules of Conduct." Basic means
at the foundation. Conduct means behavior. What
are the rules of our life? It is said that we should be
of service here in the world.
Merdah: What is the right way?
Twalen: The right way is for us to count from one to
ten, and use that as a foundation for serving.
Merdah: One?
Twalen: We should serve Wonderfully.
That's how.
Merdah: One. Serve Won(one)derfully.
Twalen: Won(one)derfully.
Twalen: Ne Suarga Loka. Cai anggon nanang
panak jeg pragat keliad-keliud. De agul-agule di
Mercapada mai aba ke Niskala.
Werdah: Kenken patutne?
Twalen: Yen nanang memarekan, nampa nyuwun
pawecanan Ida Batara Rama. Ngiringan Dane Sang
Ngada. Patut benya dadi parekan ngelah dasar.
Ngelah patut benya gelar.
Werdah: Apa anggon dasar, apa anggon gelar?
Twalen: Dasa Sila. Dasa ngaraning dasar. Sila
ngaraning tingkah. Kenken sesanan iragane idup.
Raosange ngabdi dini di gumine.
Werdah: Kenken patut?
Twalen: Beneh keteken sa kanti adasa, to anggon
dasar iraga memarekan.
Werdah: Saaaa?
Twalen: Sesanan iraga dadi parekan. Kenken?
Werdah: Sa, sesana.
Twalen: Sesana.
Twalen: Ini alam surga. Kamu sebagai anakku, kok
selalu malas-malasan. Jangan kebiasaan ugal-ugalan
di bumi dibawa ke sini, ke alam gaib.
Werdah: Bagaimana seharusnya?
Twalen: Kalau ayah mengabdi, memikul
menyongsong wacana beliau Ida Batara Rama.
Mengikuti beliau Sang Ngada. Sepantasnya kamu
sebagai abdi mempunyai dasar. Kamu sebagai abdi
punya dasar. Kamu mesti punya modal.
Werdah: Apa yang dipakai dasar? Apa yang dipakai
modal?
Twalen: Dasa sila. Sepuluh berarti dasar. Sila berarti
perilaku. Bagaimana aturan kita hidup. Dikatakan
mengabdi di sini di bumi.
Werdah: Bagaimana seharusnya?
Twalen: Benarnya hitungan dari satu sampai
sepuluh, itu dipakai dasar kita mengabdi.
Werdah: Satuuuu?
Twalen: Perilaku kita sebagai abdi, mestinya
bagaimana?
Werdah: Satu, perilaku.
Twalen: Perilaku.
165
Merdah: Two?
Twalen: To(two) be bound to your position below
your master.
Merdah: Three?
Merdah: Be diUgent three times over in your
service.
Merdah: Four?
Twalen: (Four)Forgo all else to attend to the needs
of your master.
Merdah: Five?
Twalen: You should be like the five fingers and five
toes of your master. If you use a current term that
would be an assistant. In the palace or in the priest's
home that would be called a servant.
Merdah: Six?
Twalen: Attend to the words of your master six times
over.
Merdah: Ven?
Twalen: Can't you squeeze the whole word "seven"
out of your butt-hole? Make sure 'seven' times over
that you are serving well.
Merdah: Eight?
Twalen: Your are like an ambassador, deleg(eight)
ated by your master.
166
Werdah: Dua?
Twalen: Duwaning cai kewawa ring linggih Ida
Anake Agung.
Werdah: Telu?
Twalen: Telebeng awake memarekan.
Werdah: Pat?
Twalen: Cai pang patuh ring pikayun Ida anake
agung.
Werdah: Lima?
Twalen: Cai pinaka lima batis Ida. Yen cara jani
madan pembantu. Di Puri, di Jero, di geria madan
pengerob.
Werdah: Nem?
Twalen: Nampa nyuwun cai setata pawecanan Ida.
Werdah: Tuuu?
Twalen: Beh meles song jit ci ngorang pitu.
Pituhuyang awake ngayah.
Werdah: Kutus?
Twalen: Cai pinaka duta, pinaka utusan Ida.
Werdah: Dua?
Twalen: Duhai kau menghamba kehadapan Ida
Anake Agung.
Werdah: Tiga?
Twalen: Siaga selalu menjadi abdi.
Werdah: Empat?
Twalen: Kamu harus tepat patuh dengan kemauan
beliau orang Agung.
Werdah: Lima?
Twalen: Kamu ibaratnya tangan kaki beliau. Istilah
sekarang sekarang disebut pembantu. Di Puri, di
Jero, di Geria bernama pengerob.
Werdah: Enam?
Twalen: Pegang junjung perkataan beliau.
Werdah: Juuuuh?
Twalen: Wah meleleh air pantatmu bilang juuuuhh.
Sungguhkan hatimu mengabdi.
Werdah: Delapan?
Twalen: Kamu sebagai duta, sebagai utusan beliau.
Merdah: Nine?
Twalen: Always ready nine times over.
Merdah: Ten?
Twalen: Being an attendant should be your
foundation. Don't be a person without a foundation.
Don't just ask for a salary. Remember the tasks that
need to be done.
Merdah: So where do the Basic Rules of Conduct
come from? Your mouth or your butt, dad?
Twalen: What are you talking about?
Werdah: If we follow dad's basic rules of conduct,
from one until ten, there is no time for a servant to
eat. As soon as you wake up all your time is taken
with the job of being a servant. Daaaaaaaad?
Twalen: What?
Werdah: The servant will DSD.
Twalen: DSD?
Werdah: Die a slow Death. Because father has the
meaning of the Basic Rules of Conduct all wrong.
Twalen: Oh, do you know the meaning of the Basic
Rules of Conduct?
Werdah: If I can't use the Basic Rules of Conduct as a
foundation, I will swear never to be a servent.
Twalen: All right. You are going to swear to their
contents. What is the right meaning of number one?
Werdah: Once it is morning, just wake up.
Twalen: It's easier than going to the toilet. One.
Once it is morning, just wake up.
Twalen: Two?
Werdah: To please your father, go be a servant at the
palace.
Twalen: Three?
Werdah: Start the day with three items, dad.
Twalen: What?
Werdah: Granules, sugar, and boiling water.
Twalen: That is coffee.
Werdah: Have your coffee first. Wake up with sleepers
Werdah: Siya?
Twalen: Siaga setata.
Werdah: Dasa?
Twalen: Dasarin awake memarekan. De benya
sing medasar. De gajih doen tuntute. Ingetang
kewajibane laksanang.
Werdah: Dong apa ngardiang Dasa Sila to? Bibihe
apa jite, nang?
Twalen: Kal ke keto?
Werdah: Yen wake ngenehang Dasa Silan, nange.
Uli sa, nganti ke dasa to cepok sing ada ketekan
parekan makan to. Yen uli mara bangun jeg nyemak
gae tunden parekne. Nanaaaaang.
Twalen: Kenken?
Werdah: MPP parekne.
Twalen: MPP?
Werdah: Mati pelan-pelan. Ulian pelih baan nanang
ngartiang Dasa Sila to.
Twalen: Ooo..., Ci ngelah arti Dasa Sila?
Werdah: Yen sing medasar baan Dasa Sila, wake
gering sing memarekan .
Twalen: Imih. Misi gering pra. Beneh saaaa?
Werdah: Semengan mara bangun.
Twalen: Apa aluhang ken meju, sa. Semengan mara
bangun.
Twalen: Dua?
Werdah: Duaning ugi nanang kel ngayah ke Puri.
Twalen: Telu?
Werdah: Dasarin baan telu, nang.
Twalen: Apa?
Werdah: Serbuk, gula, yeh anget.
Twalen: Kopi to.
Werdah: Ngopi malu. Mara bangun, pecehe aman
Werdah: Sembilan?
Twalen: Selalu siap
Werdah: Sepuluh?
Twalen: Luluhkankesungguhanhatimumenghamba.
Jangan setengah hati. Ingat laksanakan kewajiban.
Werdah: Wah, apa yang membuat Dasa Sila itu?
Mulut apa pantat, 'Yah?
Twalen: Emangnya gimana?
Werdah: Ketika saya renungkan Dasa Silamu, dari
satu sampai ke sepuluh, sama sekali tidak ada
perhitungan makan untuk abdi. Dari baru bangun
kok dijejali pekerjaan terus, Yaaaaah?.
Twalen: Bagaimana?
Werdah: MPP para abdi jadinya.
Twalen: MPP?
Werdah: Mati Pelan Pelan. Karena kesalahan Ayah
memberi arti pada Dasa Sila itu.
Twalen: Ooo..., Kamu punya arti Dasa Sila?
Werdah: Tanpa didasari Dasa Sila, sumpah aku 'tak
'kan mengabdi.
Twalen: Wah. Berisi sumpah segala. Baiklah.
Saaaatuuu?
Werdah: Setiap pagi baru bangun.
Twalen: Apa sih sukarnya; Saatuuu setiap pagi baru
bangun.
Twalen: Dua?
Werdah: Karena kemauan ayah akan mengabdi ke
Puri.
Twalen: Tiga?
Werdah: Didasari oleh tiga hal, 'yah.
Twalen: Apa?
Werdah: Kopi bubuk, gula, dan air hangat.
Twalen: Kopi itu.
Werdah: Ngopi dulu. Emangnya begitu bangun.
167
in your eyes as big as sour mangosteens, and run
straight to the palace.
Twalen: Powder, sugar, boiUng water. So, four?
Werdah: Four is for equaUty with your master. For
what kind of equahty?
Twalen: For what kind of equality?
Werdah: If our master goes to the restaurant, father
must go with him to the restaurant. If our master
buys Cap Cay, father cannot settle for fried rice.
Twalen: For equality in eating together?
Werdah: For equality in eating together.
Twalen: Five?
Werdah: Add milk and five makes it perfect.
Twalen: The servant also drinks milk?
Werdah: They say that four-course meals are healthy,
but five-course meals are perfect. It is not important
that we eat a lot. But if we eat a little it should be food
with a lot of energy.
Twalen: Oh, add milk and five makes it perfect. Then
six ?
Werdah: If there's not enough, add a sixth dish.
Twalen: Ooo, everything is about food. So then,
seven?
Werdah: If your stomach is full with seven courses
of food, dad, then you can be serious about serving.
It's like a motor. Even though a car's engine might be
good, it can't move if there is no fuel.
Twalen: The seven courses of food make you serious
about serving.
Werdah: The seven courses of food make you serious
about serving.
Twalen: Eight?
Werdah: Our master, daaaad, cannot be stingy or
greedy. Everything he has, he must donate(eight)
to us.
Twalen: Oh, that is a very easy one. Turning eight
into donate. Ooo.
sentule ba melaib ke Puri.
Twalen: Serbuk, gula, yeh anget. Pat lantas?
Werdah: Iraga pang patuh ken Ida anake agung.
Patuhe to kenken?
Twalen: Patuhe to kenken?
Werdah: Yen Anake Agung ke Restorant, nanang
pang bareng ke restorant. Yen Anake Agung meli
Capcay, nanang paling sing nasi goreng.
Twalen: Patuh makan?
Werdah: Patuh makan.
Twalen: Lima?
Werdah: Tambah susune lima sempurna.
Twalen: Mesusu mase parekane?
Werdah: Empat sehat lima sempurna raosange.
Iraga sing penting makan banyak. Walaupun makan
sedikit tetapi makan itu cukup gisi.
Twalen: Ooo, tambah susu lima sempurna. Enam
lantas.
Werdah: Asal kuang makan nambah.
Twalen: Ooo, bagian maman gen onya ne. Pitu
lantas?
Werdah: Yen suba betek basang wake nanang. Ditu
mara pituhuyang awake ngayah. Yen cara motor,
menapa bagus mesin motore itu kalau mobil tidak
berisi bensin, motor itu tak bisa jalan.
Twalen: Ditu mara pituhuyang?
Werdah: Ditu mara pituyang.
Twalen: Kutuuus?
Werdah: Anake Agung, naaaang. Sing dadi bruwit
sing dadi demit. Apa Ida madruwe pang ketes sik
ukud iragae.
Twalen: Ooo gampang-gampang keto luwung to.
Kutus, ketes. Ooo.
kotoran mata masih sebesar buah sentul, sudah lari
ke Puri?
Twalen: Bubuk kopi, gula, air hangat. Kalau
empatnya?
Werdah: Kita harus patuh terhadap beliau orang
agung. Patuh itu bagaimana?
Twalen: Patuh dalam bidang apa?
Werdah: Bila sang raja ke restoran, ayah mesti ikut
ke restoran juga. Kalau orang sang Raja beli Capcay,
ayah setidaknya nasi goreng.
Twalen: Sama-sama makan?
Werdah: Sama-sama makan.
Twalen: Lima?
Werdah: Ditambah susu, lima sempurna.
Twalen: Seorang abdi, minum susu juga?
Werdah: Empat sehat lima sempurna, namanya. Kita
tidak penting makan banyak. Walau makan sedikit,
tetapi makan itu cukup gisi.
Twalen: Ooo, ditambah susu, jadi lima sempurna.
Enam lantas.
Werdah: Kalau makannya kurang; nambah.
Twalen: Ooo, bagian makanan saja semuanya. Tujuh
lantas?
Werdah: Kalau perut saya sudah penuh, ayah, di sana
baru abdikan diri dengan serius. Kalau diibaratkan
seperti motor; betapapun bagusnya mesin motor itu
kalau tidak berisi bensin, motor itu tak bisa jalan.
Twalen: Di sana baru diseriuskan menghamba?
Werdah: Di sana baru serius.
Twalen: Delapan?
Werdah: Sang Raja 'Yaaaaahhh. Tidak boleh pelit,
tidak boleh pelit. Apapun beliau punya, agar sampai
pada kita.
Twalen: Ooo gampangan begitu? Bagus itu. Delapan,
dapat juga bagian. Ooo
<n" ^ . V^V
KT^
Twalen: So then, nine?
Werdah: When the sun sets in the west, be prepared
nine times over.
Twalen: Prepared for what?
Werdah: Prepared to look for number ten.
Twalen: So then, ten?
Werdah: When the attendant takes his leave, he
should get a rice dinner to go, so his wife and child
at home can eat also. That's how it should be.
Twalen: Your basic rules of conduct from one to ten
are all about food. Only counting to seven reminds
you to do your job. Other than that, all your father
can see is food. But your father can't stop thinking
like a father.
Werdah: What can't you stop thinking?
Twalen: After the rice is eaten what does it become?
Nothing more than skin, body parts, blood, bones,
and forgive your father in advance for saying it, but
it all turns into shit.
Werdah: After that?
Twalen: Our life is not just about food. No. We cannot
live only to eat, but we have to eat to live.
Werdah: Is there a difference?
Twalen: There is a diff'erence. If we only eat, that
just fulfills the needs of our bodies, but our lives are
based on two foundations.
Werdah: What are they?
Twalen: Body and Soul. Mental and Spiritual.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: That's how it is. But your father is not sure
about it. Your father sees many good looking people
on televsion.
Werdah: Good looking people on TV?
Twalen: They wear ties and have shiny shoes. They
appear confident.
Werdah: How?
Twalen: But behind it all, there is corruption.
Twalen: Siya lantas?
Werdah: Be mekere engseb surya kauh. Siap-siap.
Twalen: Siap-siap ngudiang?
Werdah: Ngalih dasa.
Twalen: Dasa lantas?
Werdah: Dasarin di mepamit raga, maan nasi
bungkus. Panak somah jumah pang ngamah mase.
To keto.
Twalen: Dong ketekan Dasa Silan ci, uli di sa nganti
ke dasa bagian makanan doen onya to. Sapapitu gen
inget nyemak gae to. Lenan to makanan doen tolih
nanang. Kewala nanang anggon ci rerama, sing abis
pikir nanang.
Werdah: Sing habis pikire to?
Twalen: Dadi apa gen nasi ne pakan? Sing ada dadi
kulit, dadi isi, dadi getih, dadi tulang. Sugra nanang
di ajeng; makejang dadi tai dadi bacin.
Werdah: Suba keto?
Twalen: Idup iragae makan dogen? Sing baang.
Hidup ini bukan untuk makan. Tapi kita perlu
makan untuk hidup.
Werdah: Melenang to?
Twalen: Melenang. Yen makan doen, to mara
kebutuhan jasmani adane to. Iraga idup madasar
baan dadua.
Werdah: Apa to?
Twalen: Rohani jasmani. Mental sepiritual.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Keto. Nanang sing yakin. Liu tepuk nanang
nak ganteng di TV e.
Werdah: Ganteng di TV e?
Twalen: Medasi mesepatu nyelig. Uli penampilan
meyakinkan.
Werdah: Engken?
Twalen: Di balik to korupsi ya.
Twalen: Sembilan lantas?
Werdah: Jelang matahari tenggelam di ufuk barat,
siap-siap.
Twalen: Siap-siap untuk apa?
Werdah: Mencari sepuluh.
Twalen: Sepuluh lantas?
Werdah: Dengan alasan ketika permisi pulang, dapat
nasi bungkus. Anak istri di rumah agar makan juga.
Demikian tuh.
Twalen: Lho hitungan dasa Silamu, dari satu sampai
sepuluh itu hanya tentang makanan. Hitungan ke
tujuh saja ingat mengambil pekerjaan. Selebihnya
hanya untuk makanan, yang aku lihat. Sebagai orang
tua ayah tak habis pikir.
Werdah: Tak habis pikir yang dimaksud?
Twalen: Jadi apa saja nasi yang dimakan? Tidak ada
jadi kulit, jadi daging, jadi darah, jadi tulang. Maaf
ayah selagi dihadapan banyak orang; apa semua itu
hanya jadi kotoran?
Werdah: Setelah itu?
Twalen: Emangnya hidup kita hanya untuk makan?
Tidaklah. Hidup ini bukan untuk makan, tapi kita
perlu makan untuk hidup.
Werdah: Emangnya itu beda?
Twalen: Beda. Kalau makan saja, itu baru pemenuhan
kebutuhan jasmani namanya. Kita hidup dilandasi
dua hal.
Werdah: Apa itu?
Twalen: Rohani, jasmani. Mental, spiritual.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya gitu. Ayah enggak yakin. Banyak orang
ganteng ayah lihat di TV.
Werdah: Orang ganteng di TV?
Twalen: Berdasi bersepatu mengkilat.
penampilannya, meyakinkan.
Werdah: Bagaimana?
Twalen: Di balik itu, dia korupsi.
Dari
170
Werdah: How is that?
Twalen: Their morals are not good.
Werdah: Their morals?
Twalen: Morals. That is the most important part of
being completely human. It makes you a person of
quality.
Werdah: What kind of quality?
Twalen: A healthy body with a soul that is also
healthy.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: That's how it is. That's why your father is
telling you. You cannot just pay attention i;o your
body. You have to use your mind properly. Don't just
proclaim your religion with your mouth. Religion is
not just something you put on your identification
card. If your actions are not correct, that is a reflection
of the way you live your religion.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: Yeeeess! That's why your father is telling
you this. So now you can reflect on what is correct.
Prepare yourself. Because it is easy to find clever
people in the world.
Werdah: Easy?
Twalen: Easy. But finding honest people is difficult.
Werdah: Men apa?
Twalen: Moral sing bagus.
Werdah: Moral?
Twalen: Moral. Sangkal iraga penting membentuk
manusia seutuhnya. SDM pang berkwalitas.
Werdah: Ne madan berkwalitas?
Twalen: Jasmani sehat, rohanipun sehat.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Keto. Sangkal nanang ngorin cai to. Sing
dadi awak doen perhatiang. Mentale patut. Agama
pelajahin benya. De bibih doen ngeraosang agama.
Pang de agama to hanya sekedar KTP. Kewala
laksanane sing sajan ada mencerminkan orang
beragama.
Werdah: Ooo ketooo.
Twalen: Aaaaae. Kelan nanang ngorin cai. Patut cai
jani patut metaki-taki. Mepidabdab. Wireh ngalih
nak duweg aluh.
Werdah: Aluh?
Twalen: Aluh. Ngalih nak jujur keweh. Maka
Werdah: Lalu bagaimana?
Twalen: Moral tidak bagus.
Werdah: Moral?
Twalen: Moral. Karenanya penting kita membentuk
manusia seutuhnya. SDM agar berkualitas.
Werdah: Yang dimaksud berkualitas?
Twalen: Jasmani sehat, rohanipun sehat.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya gitu. Itu sebabnya ayah mengingatkan
kamu. Tidak boleh hanya badan saja yang
diperhatikan. Semestinya juga mental. Jangan mulut
saja berkata agama. Janganlah agama itu hanya
sekedar ditera di KTP. Tetapi perbuatanya tidak
mencerminkan orang yang sungguh beragama.
Werdah: Ooo begitu.
Twalen: Yaaa. Itu sebabnya ayah memberitahu
kamu. Sepatutnya, sekarang kamu bergegas.
Mempersiapkan diri. Karena mencari orang pintar
gampang.
Werdah: Gampang?
Twalen: Gampang. Mencari orang jujur sulit. Maka
171
So be happy to become an honest person. Because
in the world it is rare and difficult to find an honest
person. That means that becoming an honest person
is the rarest thing in the world.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: Yes yes. Oh, do you see that?
Werdah: Who?
Twalen: It is lord Anggada. He's leaping up to Siwa's
heaven. That makes your father happy.
Werdah: How?
Twalen: Who knows? There could be a stray angel.
I might bring one home to be my wife. Then you'd
have a mother. Like you always wanted.
Werdah: Well, well, well, so you're looking for a
woman, dad?
Twalen: If there is one who would believe in me.
Why not?
Werdah: Well there is a bat looking for something
down there. Looking for a pumpkin in Jegu. (these
are nonsense rhymes in Balinese).
Twalen: A bat is looking down below. Looking for
pumpkins in Jegu. What are you talking about?
Werdah: About you yourself. You don't have any
teeth, but you are thinking about marriage. Why
would any woman would want you?
172
bahagialah menjadi orang jujur. Sebab di Gumine
langah, keweh ngalih nak jujur. Maka dadi nak
jujur paling langka di Gumine.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Aaa ae. Ooo o puk ci to?
Werdah: Nyen?
Twalen: Dane Sang Ngada. Mecues ke Siwa Loka.
Nanang demen atie.
Werdah: Kenken?
Twalen: Nyen nawang ada dedari kesasar. Juk ukud
aba mulih anggon nanang somah. Anggon ci eme.
Keto nyet e to.
Werdah: Dong dong dong, mekita ngalih nak eluh
mase, nang?
Twalen: Dong yen ada nak ngugu. Kenken neh.
Werdah: Dong lelawah alih di beten. Buah waluh
alih di Jegu.
Twalen: Lelawah alih di beten. Buah waluh alih di
Jegu. Engken j a?
Werdah: Dong awak pawah nu mase ngitungan
nganten. Nyen nak luh bakal ngugu.
berbahagialah menjadi orang jujur. Sebab di dunia
jarang, sulit mencari orang jujur. Maka menjadi
orang jujur paling langka di dunia.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya ya. Ooo kamu lihat tuh?
Werdah: Siapa?
Twalen: Beliau Sang Ngada. Melesat ke Siwa Loka.
Hati ayah jadi senang.
Werdah: Bagaimana?
Twalen: Siapa tahu ada bidadari kesasar. Ayah 'kan
tangkap satu, bawa pulang jadikan istri. Sebagai
ibumu. Demikian niatku.
Werdah: 'Ntar, 'ntar, 'ntar, ada niat untuk
mempersunting wanita lagi, ayah?
Twalen: Bila ada orang yang menaruh hati.
Bagaimana tidak?
Werdah: Kelelawar cari di bawah, buah labu cari
di Jegu. (padanan ide: Kulit kepongpong dipelintir
angin, mata merah terkena debu).
Twalen: Kulit kepongpong dipelintir angin, mata
merah terkena debu. Apa maksudnya?
Werdah: Wah, gigi sudah ompong memikirkan
kawin lagi, wanita mana yang akan mau.
Twalen: Because I'm toothless?
Werdah: Because you are toothless.
Twalen: A (toothless) bat meets another bat. He gets
some medicine for his blotchy body.
Werdah: What's that about?
Twalen: Being toothless is not a problem. The thing
that matters is still strong. What are you thinking?
Having no teeth doesn't matter. Are my teeth getting
married? Even though I'm toothless, the man
downstairs still has what it takes. Although, your
father is old, don't call me an old man.
Werdah: Then what?
Twalen: Your father is like an old car engine.
Werdah: Like an old car engine?
Twalen: Your father is like an old car.
Werdah: How like an old car?
Twalen: Getting it started is difficult.
Werdah: Getting it started is difficult?
Twalen: Yes. But once it gets going, it's difficult to
stop.
Werdah: An old car?
Twalen: An old car. If you get a new car nowadays
it has a shiny body and is easy to start. Just click
the ignition and vroooom. But after five years your
engine breaks down. The staying power isn't strong.
So there!
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: That's how it is. Your father has already
passed the test run. A rare specimen, don't you
think? Lots ofpeople are looking for antiques. What
do you say to that?
Werdah: So that's why they are looking?
Twalen: And what's more, then they renovate the
antiques. Many jalopies have old parts, hub caps,
tires, so they replace them.
Werdah: Oh, antique antiquities?
Twalen: Yes, what do you know about it. Those
things are very expensive nowadays.
Twalen: Baan pawahe?
Werdah: Baan pawahe.
Twalen: Lelawah ketemu Lelawah. Tubuh panu di
beri obat.
Werdah: Apa to?
Twalen: Biar pawah sing ada masalah. Asal itu anu
masih kuat. Kenken ci. Apin nanang pawah. Gigi
maan nganten? Apin pawah be siteng panggal
pengijeng to sangetang. De nak tuae ubat-abite to.
Apin nanang tua.
Werdah: Men?
Twalen: Tuan nanange nak tuaning cara motor.
Werdah: Tuan cara motore?
Twalen: Nanang sing motor kuno nanang.
Werdah: yen motor kunoe?
Twalen: Ngidupang sukeh.
Werdah: Ngidupang sukeh?
Twalen: Aa. Kewala di suba idupe ngamatiang
keweh.
Werdah: Motor kunoe?
Twalen: Motor kunoe. Yen cai motor cara janie.
Nyelig di body ngidupang aluh. Ngajak setater pecik
gen sereeeet. Kewala limang tiban turun mesin ci.
Daya tahan sing kuat. Kenken.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Keto kenkene. Yen nanang kan suba lulus
uji coba. Barang langka kenken ci. Nak jani liu nak
ngalih barang-barang antik jani, kenkene.
Werdah: Awinang aliha?
Twalen: Apa buin lantas barang antike di modifikasi
lantas. Liu ceketere misi anu, pelek anu, meban,
mepelekan jani.
Werdah: Ooo antik-antik?
Twalen: Aa kenken ci. Mael barange to. Jani kene.
Twalen: Karena ompong?
Werdah: Karena ompongnya.
Twalen: Kepompong ketemu kelelawar. Tubuh panu
diberi obat.
Werdah: Apa itu?
Twalen: Biar ompong tidak ada masalah. Asal
anunya itu masih kuat. Bagaimana kamu. Biar ayah
'udah ompong. Emang giginya yang menikah? Biar
ompong, asal pangkal gigi masih kuat; masa bodoh.
Jangan ketuanku dipermasalahkan. Biar ayah udah
tua...
Werdah: Lalu?
Twalen: Tuanya ayah tak ubahnya seperti mobil.
Werdah: Ketuaan seperti motor?
Twalen: Ayah kan motor kuno, ayah.
Werdah: Kalau motor kunonya?
Twalen: Menghidupkannya sulit.
Werdah: Menghidupkannya sulit?
Twalen: Ya. Tetapi ketika sudah hidup, mematikan
sulit.
Werdah: Motornya kuno?
Twalen: Motor kuno. Kalau kamu, motor jaman
sekarang. Mengkilat di body. Menghidupkannya
gampang. Dilengkapi starter, hanya pencet saja,
sereeeet. Tetapi lima tahun udah turun mesin, kamu.
Daya tahannya tidak kuat. Gimana kamu.
Werdah: Oh begitu?
Twalen: Ya gitu tuh, gimana kamu. Kalau ayah kan
udah lulus uji coba. Barang langka, gimana kamu.
Banyak orang sekarang memburu barang antik.
Gimana kamu.
Werdah: Kenapa diburu?
Twalen: Apalagi barang antiknya dimodifikasi.
Banyak motor bekas berisi apa namanya tuh...,
pelek, rodanya berpelek sekarang.
Werdah: Ooo antik-antik?
Twalen: Ya bagaimana kamu. Itu barang mahal.
Sekarang begini.
173
Werdah: Oh, is that so?
Twalen: Now if we go along to Siwa's Heaven, the
people there will be talking about important things.
Our master Anggada will be meeting with Lord
Surya and Lord Siwa.
Werdah: And so?
Twalen: So, don't you disturb them!
Werdah: What do you mean?
Twalen: Let's go somewhere refreshing.
Werdah: Where?
Twalen: To hell.
Werdah: What for?
Twalen: To see the souls being judged.
Twalen: Being judged?
Twalen: Tomorrow will be the judging.
Werdah: What kind of judging?
Twalen: The judging about copyright.
Werdah: Is that right?
Twalen: Yes. That is the situation there.
Werdah: Why should we go there?
Twalen: Well, to see how the people who hold the
power of the law decide the cases. Oh, we will be like
a team of monitors.
Werdah: Is that how it will be?
Twalen: Yes. Which side is right and which is not.
Werdah: Oh, I see.
Twalen: That is what is difficult for the people who
hold the power of the law. They make the laws, but
then they don't always enforce them. The law is
sacred if you apply it fully. Be sure to uphold it. Be
sure to enforce it. Because today many clever people
manipulate the law. Our country is the cleverest.
Werdah: Why is that?
Twalen: An example.
Werdah: What?
Twalen: A government employeee is not allowed to
Werdah: Kenken?
Twalen: Yen benya bareng kema ke Siwa Loka. Nak
bebaosang sarat Dane Sang Ngada, ngiring Ida
Batara Surya. A Ida Batara Siwa.
Werdah:
: Kenken?
Twalen:
Ci de ngulgul!
Werdah:
: Kenken?
Twalen:
Jak represing.
Werdah:
: Kija?
Twalen:
Ke Yama Loka.
Werdah:
: Ngudiang?
Twalen:
Nelokan atma-atma sidang.
Werdah:
: Sidang?
Twalen:
Biin mani kel sidang nyen.
Werdah
: Sidang apa?
Twalen:
Hak Cipta keto.
Werdah
: Keto?
Twalen:
Aa. Kenken ya keadaan ditu?
Werdah: Ngudiang kema?
Twalen: Ye nelokan kenken nak ne ngisi-ngisi
hukum. Memutuskan sebuah kasus. Ooo, iraga
dadi tim pemantau.
Werdah: Keto?
Twalen: Aa. Apa beneh apa sing.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: To keto. Nak keweh ngisi hukum. Gae gen
awige, awag-awagen lantas. Hukume to nak tenget
yen hukume to saja tepaten. Saja jejegen, saja
jalanan. Wireh liu jani nak duweg mempermainkan
hukum. Gumin ragae paling duwege.
Werdah: To nguda keto?
Twalen: Contoh.
Werdah: Kenken?
Twalen: Pegawai negeri sing dadi ngelah kurenan
Werdah: Bagaimana?
Twalen: Kalau kita ikut ke Siwa Loka sana.
Pembicaraan penting paduka Ngada, dengan beliau
Dewa Surya dengan beliau Batara Siwa.
Werdah: Bagaimana?
Twalen: Kamu jangan mengganggu!
Werdah: Bagaimana?
Twalen: Mari beranjangsana.
Werdah: Kemana?
Twalen: Ke Yama Loka
Werdah: Untuk apa?
Twalen: Melihat para atma disidang.
Werdah: Sidang?
Twalen: Besok akan sidang lagi.
Werdah: Sidang apa?
Twalen: Hak cipta, gitu lho.
Werdah: Begitu?
Twalen: Ya. Bagaimana barangkali keadaan di
sana?
Werdah: Ngapain ke sana?
Twalen: La ya, melihat-lihat bagaimana orang yang
megang-megang hukum. Memutuskan sebuah
kasus. Ooo, kita menjadi tim pemantau.
Werdah: Begitu?
Twalen: Ya. Apa benar, apa tidak.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya seperti itu. Orang, emang sulit
menegalckan hukum. Buat peraturan adat; kemudian
tidak dihiraukan. Hukum itu sakral, kalau hukum
itu benar-benar ditepati, benar-benar dikukuhkan,
benar-benar dijalankan. Sekarang ini, banyak orang
pintar mempermainkan hukum. Orang-orang kita
paling pintar.
Werdah: Kenapa demikian?
Twalen: Contoh.
Werdah: Bagaimana?
Twalen: Pegawai negeri tidak boleh mempunyai dua
175
have two wives. That's what the law says. Now here's
the trick.
Werdah: What?
Twalen: Just a contract marriage. That's how they do
it. There is no evidence. No one can prosecute you.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: Yes. We are the cleverest at twisting the law.
Werdah: Oh, it's like that?
Twalen: Yes. Because nothing is perfect in the world.
There is no law that is perfect. Now if we stay aware,
we will hold the law in high esteem. The law will
be strong. To find justice in this world is difficult,
because there are so many kinds of justice, many
kinds.
Werdah: For example?
Twalen: Justice according to God. Justice according
to the judge. Justice according to the accused.
Justice according to the community. Oh, there are
many kinds.
Werdah: So, then?
Twalen: ... hmmm (thinks)
Werdah: For example?
Twalen: You burn your friend's house, like the case
of the citizens of Klungkung.
Werdah: What happens if you burn your friend's
house?
Twalen: Well.
Twalen: As for God's justice, we do not understand
it. As for the justice of the judge, they will get a
five year jail sentence, for example. As for justice
according to the owner of the house, five years is not
appropriate. He wants the death penalty. According
to the community, it should be something different.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: Yes. So then there will be some playing
around (with justice).
Werdah: Oh, is that how it is?
dua. Munyin hukume keto. Jani siasatne jani.
Werdah: Kenken?
Twalen: Jeg kawin sirih suba lantas. To sing ba
ngidang. Nak tara ada bukti, kenken anu nuntut.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Aa. Paling duweg mensiasati hukum.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Aa. Wireh di Gumie sing ada ne sempurna.
Hukum apa sing ada sempurna. Jani yen iraga sadar
lantas menjungjung tinggi hukume to. Hukume
to bakal kuat. Ngae adil di Gumie keweh. Wireh
macem-macem adile, liu macemne.
Werdah: Conto ne?
Twalen: Adil menurut Tuhan. Adil menurut hakim.
Adil ne menurut ne tersangka. Adil menurut
masyarakat. Ooo liu to.
Werdah: Meeen?
Twalen: ...hem....?
Werdah: Contohne?
Twalen: Cai nunjel umah timpal. Kasus wangsa di
Kelungkungne.
Werdah: Maan nunjel umah timpal?
Twalen: Aa.
Twalen: Yen menurut keadilan Sang Hyang Widhi,
iraga sinah ba sing nawang. Yen menurut pengadilan
hakime ne. Baang ba ya hukume limang tahun, keto
umpama. Menurut keadilan ne ngelah umahe sing
cocok limang tahun. Pang hukum mati ya. Ooo.
Yen menurut masyarakat biin len.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Aa. Kelan ne ada permainan lantas keto.
Werdah: Ooo keto?
istri. Seperti itu tertera dalam hukum. Kemudian
disiasati lalu.
Werdah: Caranya?
Twalen: Dengan jalan kawin sirih, lantas. Itu kan
sudah biasa. Orang tidak ada bukti, bagaimana cara
menuntutnya.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya. Paling pintar mensiasati hukum.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya. Karena di dunia tidak ada yang sempurna.
Hukum apapun tidak ada yang sempurna. Kalau
saja kita semua sadar menjungjung tinggi hukum
itu; hukum itu akan kuat. Membuat keadilan di
dunia sulit. Karena keadilan itu bermacam-macam.
Banyak macamnya.
Werdah: Contohnya?
Twalen: Adil menurut Tuhan. Adil menurut hakim.
Adil menurut yang tersangka. Adil menurut
masyarakat. Ooo banyak itu.
Werdah: Lalu?
Twalen: Hem ?
Werdah: Contohnya?
Twalen: Kamu membakar rumah teman. Seperti
kasus warga yang di Klungkung.
Werdah: Membakar rumah teman?
Twalen: Ya.
Twalen: Kalau menurut keadilan Tuhan, sudah pasti
kita tidak tahu. Kalau menurut keadilan hakim,
udah beri aja dia hukuman lima tahun; umpamanya.
Menurut keadilan yang punya rumah tidak cocok
lima tahun. Hukum mati aja dia. Ooo Kalau menurut
masyarakat lagi lain.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya. Makanya ini ada permainan seperti itu.
Werdah: Ooo begitu?
176
Twalen: Yes. So there will be some tampering to
make the game look good. This kind of game goes
on everywhere.
Werdah: Oh, so that's how it is?
Twalen: Yes. If we are with our wives and there is no
game-playing, then something beautiful is missing.
Werdah: Oh, you're bringing it down to that.
Twalen: Yes, just joking. If you are too serious, it's
only words.
Twalen: Let's go to Yama's Hell. We can watch the
souls being judged. Maybe there will be a place for
Amrozi there. (Amrozi was a convicted terrorist
awaiting the death penalty at the time of the play).
Werdah: Hasn't he been executed yet?
Twalen: Not yet.
Werdah: Not yet?
Twalen: Not yet.
Werdah: They say he was sentenced to die.
Twalen: The law died, but Amrozi is still alive. That's
what happened.
Werdah: Oh, is that how it is?
Twalen: Yes. We never know for sure. Let's go to have
Twalen: Aa. Pang nyak kutak-katik. Pang nyak
cantik permainane. Dija misi permainan kenken
ne.
Werdah: Ooo keto?
Twalen: Aa. Yen ajak somahe yen sing jin permainan
nyak sing luwung.
Werdah: Kema abae.
Twalen: Nah ketoang nen malu. Bes serius gen
omongne.
Twalen: Lan ke Yama Loka. Ngelokin atma-atmae
sidang ditu. Lan. Ada ya tongos Amrozi ditu.
Werdah: Konden hukum mati to?
Twalen: Konden.
Werdah: Tonden?
Twalen: Tonden.
Werdah: Kone hukum mati ya to?
Twalen: Hukume mati. Amrozi nu hidup. Kenken
ci.
Werdah: Ooo misi keto?
Twalen: Aa. Nak kena sing baan. Lan-lan lokan.
Twalen: Ya. Agar mau di kutak-katik. Agar mau
cantik permainannya. Dimana saja ada permainan;
bagaimana kamu.
Werdah: Ooo begitu?
Twalen: Ya. Kalau bersama istri tanpa diisi
permainan, tidak indah.
Werdah: Kok kesana dibawa.
Twalen: Ya guyon dikit. Biar tak terlalu serius
pembicaraanya.
Twalen: Mari ke Yama Loka. Melihat-lihat para
roh disidang di sana. Ayo. Apakah si Amrozi dapat
tempat disana?
Werdah: Belum dieksekusi mati tuh?
Twalen: Belum.
Werdah: Belum?
Twalen: Belum.
Werdah: Katanya dia difonis dengan hukuman
mati?
Twalen: Hukumnya yang mati. Amrozi masih hidup.
Gimana kamu.
Werdah: Ooo nyindir ya?
Twalen: Ya, kita tidak pernah tahu. Mari, mari.
177
a look.
Werdah: Let's go.
Singers: ... (chant)
Lord Suratma: Ha ha ha haaa. My name is Lord
Suratma. Lord Suratma is the secretary in Heaven.
Sang Hyang Suratma is Heaven's expert for writing
and punctuation. All the deeds commited by
humans that make up their karma will be entered
into the computer of Lord Suratma. Hey, all you
Cikrabala (demons of hell), please grab these
souls. Lord Suratma will keep writing. Over here.
Over here!
Singers: ... (chant)
Sang Suratma :
Soul: My name is Wayan Polos, sir. {Polos means
'virtuous')
Sang Suratma: Who?
Soul: Wayan Polos.
Sang Suratma: Oh, good, good, good. Your name
interests me already. If your name is Virtuous', then
your character must be virtuous. Take care to give
names whose nature is positive. A good name reflects
Werdah: Lan-lan. Jalan.
Sendon: ...
Sang Suratma: Ha ha ha haaaa. Yayateki ngaran
Sang Hyang Suratma. Sang Hyang Suratma
sekretaris Suarga Loka. Sang Hyang Suratma
juru tulis penyarikan Suarga, sahananing karman
manusa, masuk dalam komputer Sang Hyang
Suratma. Ih wateking Cikrabala sedaya yata
amet ikanang atma. Merangke! Apan Sang Hyang
Suratma bipraya nyurat. Merangke-merangke!
Sendon: ...
Sang Suratma: Ih kita atma prapta. Sang Hyang
Suratma tetanya lawan kalaganta. Sang apa dwi
dasa nama. Muang apa prayojananta aneng
kunang Mayapada?
Atma: Titiang madan Wayan Polos Atu.
Sang Suratma: Nyen?
Atma: Wayan Polos.
Sang Suratma: Goo bagus, bagus, bagus. Uli adan ba
menarik. Adan Polos sifat pasti polos. Apiken ngae
adan sifate pang nyak bagus. Uli adan ngeranang
sifate luwung.
lihat.
Werdah: Mari, mari jalan.
Senden: ...
Sang Suratma: Ha ha ha haaaa. Namaku ini Sang
Hyang Suratma. Sang Hyang Suratma sekretaris
Surga. Sang Hyang Suratma juru tulis, sekretaris
surga berkenaan semua perbuatan manusia,
masuk dalam komputer Sang Hyang Suratma.
Wahai para Cikrabala semua, ambil para atma.
Kesini! Karena Sang Hyang Suratma akan
mendata. Kesini! Kesini!
Sinden: ...
Sang Suratma: Wahai kamu roh yang datang. Sang
Surama bertanya padamu. Siapa namamu. Juga
apa maumu datang ke dunia maya?
Roh: Hamba bernama Wayan Polos.
Sang Suratma: Siapa?
Roh: Wayan Polos.
Sang Suratma: Ooo bagus, bagus, bagus. Dari nama
saja sudah menarik. Namanya Polos sifatnyapun
pasti polos. Buat nama yang bagus, agar sifatnya
jadi bagus. Dari nama membuat sifat jadi bagus.
178
a good character.
Soul: Oh. My neighbor to the south is named
Sudharma {one following the noblest laws'), but he is
always stealing things.
Sang Suratma : Sudarma? Stealing things? What's
your name?
Soul: I am Wayan Polos.
Sang Suratma: What did you do in the world?
Soul: I like to practice religion.
Sang Suratma: For example?
Soul: I always practice Tri Sandya ( ). I do it three
times. Three times every day. Morning, afternoon,
and evening. I never forget, sir.
Sang Suratma: Oh, good good good. That is the right
way to be. What is your name?
Soul: I am Wayan Polos, sir.
Sang Suratma: Aaah, do you make donations?
Soul: I am the father of donations. Wherever there is
a temple renovation, I am the first one to donate. If
someone donates two hundred, I give four hundred.
If someone donates four hundred I give eight
hundred. If someone donates five hundred, I give a
million. So that I can outdo all the others and keep
up my prestige, sir.
Sang Suratma : Oh, good, good, good. Your name?
Soul: I am Wayan Polos, sir.
Suratma : How about your praying?
Soul: I like praying very much. Whenever there is
a temple ceremony, I am always the first to pray. I
burn so many bundles of incense sticks that I make
the priest sneeze from all the smoke.
Sang Suratma: Oh, good, good, good. That is the
right way to be. Your name?
Soul: Wayan Polos, sir.
Sang Suratma: Why have you come here?
Soul: I am looking for heaven.
Atma: Bih delod umah tiange Sudarma adane,
ngemaling sai to.
Sang Suratma: Sudarma apa ngemaling? Adan cie?
Atma: Tiang Wayan Polos.
Sang Suratma: Wisayan ta ring Mercapada?
Atma: Tiang demen me agama.
Sang Suratma: Contohne?
Atma: Rutin tiang Tri Sandya. Tiga hari tiang, aa,
tiga kali tiap hari. Semengan tengai sanja. Pagi
siang dan sore. Tak pernah lupa tiang atu.
Sang Suratma: Ooo bagus, bagus, bagus. Pang keto.
Adan cie?
Atma: Wayan Polos tiang Atu.
Sang Suratma: Aaa yan mepunia?
Atma: Tiang bapak donature. Dija ja ada
wewangunan di Pura tiang simalu meaturan. Nak
ngaturan satak, tiang samas. Nak ngaturang samas
tiang lapan ratus. Nak ngaturang mang atus tiang
satu juta. Pang gedenan gen ken timpale. Gengsi
tiang Atu.
Sang Suratma: Ooo bagus, bagus, bagus. Adane?
Atma: Wayan Polos tiang Atu.
Sang Suratma: Yan mebakti?
Atma: Tiang paling demen mebakti. Dija ja ada
odalan di Pura tiang simalu mebakti. Apesel-pesel
ngenyit dupa. Jero Mangku kanti simpatan uyak
andus dupan tiange.
Sang Suratma: Ooo luwung luwung luwung. Pang
keto, pang keto pang keto ba. Adane?
Atma: Wayan Polos Atu.
Sang Suratma: Aaa tekan ci mai?
Atma: Tiang ngalih Suarga.
Roh: Wah tetangga saya di sebelah selatan rumah
namanya Sudarma, tapi dia sering mencuri.
Sang Suratma: Sudarma, apa mencuri? Namamu?
Roh: Hamba Wayan Polos.
Sang Suratma: Pekerjaanmu di dunia?
Roh: Hamba senang beragama.
Sang Suratma: Contohnya?
Roh: Rutin hamba Tri Sandya. Tiga hari hamba, aaa
maaf, tiga kali setiap hari. Pagi, siang, sore; pagi,
siang, dan sore. Tidak pernah lupa hamba paduka.
Sang Suratma: Ooo bagus, bagus, baguslah. Begitulah
semestinya. Namamu?
Roh: Wayan Polos, hamba paduka.
Sang Suratma: Aaa kalau bersedekah?
Roh: Hambalah bapak donatur. Dimanapun ada
pembangunan perbaikan Pura, hambalah yang
terdepan menyumbang. Orang menyumbang dua
ratus, hamba empat ratus. Orang menghaturkan
donasi empat ratus hamba delapan ratus. Orang
menghaturkan donasi lima ratus, hamba satu juta.
Pokoknya selalu lebih besar dibanding teman.
Gengsi hamba paduka.
Sang Suratma: Ooo bagus, bagus, baguslah.
Namamu?
Roh: Wayan Polos hamba paduka.
Sang Suratma: Kalau sembahyang?
Roh: Hamba paling senang sembahyang. Dimana ada
odalan di Pura hamba terdepan duduk sembahyang.
Berbungkus-bungkus membakar dupa. Jero Mangku
sampai bersin-bersin menghirup asap dupa hamba.
Sang Suratma: Ooo bagus, bagus, bagus. Ya begitulah,
agar begitulah, seperti itulah. Namanya?
Roh: Wayan Polos paduka.
Sang Suratma: Aaa kedatangan kamu ke sini?
Roh: Hamba mau ke Surga.
179
:''^<t*j
^\.-
'*
A-
X
y
^^,
r^/
^^
^y
m-:^
• ^*
}
,<:
.^
V
-\
o
/if*'
.-=?v"
r .
r.^»-
• *-
^
«^
% / '^V v^'
/
^ w
yr
^- V
rf''i^<iiaiiii
Sang Suratma: Why are you looking for heaven?
Soul: Because I like to pray.
Sang Suratma: Do you think you can find a place in
heaven just because you like to pray? Do you think
the Hindu religion asks you to do nothing more
than pray. The Hindu religion has four paths. They
are called "Catur Marga" ("The Four Paths"): Bakti
Marga (the path of prayer), Karma Marga (the path
of good deeds), Raja Marga (the path of law), Jnana
Marga (the path of knowledge). Putting a flower
above your head (in prayer) is just a small part of
what the Hindu religion teaches you. That is called
"Apara Bakti."
Soul: What do you mean? Not only here (have I been
praying), but I've been to Java four times. I've gone
back and forth to India three times to pray. Is that a
bad thing to do?
Sang Suratma: It's good.
Soul: Oh, it's good .
Sang Suratma: Your temple shrines at home are
falling apart, but you pay no attention, because you
are traveling all over looking for God in Java and
India. Take care of your home first, mister! You are
peeling off the bark of your Pole tree to give to your
neighbor. You are not paying attention to yourself
The Hindu religion has three levels. The high, the
middle, and the low. In your home there are also
three levels.
Soul: The highest?
Sang Suratma: Your family temple shrine!
Soul: The middle?
Sang Suratma: The house.
Soul: The lowest?
Sang Suratma: The outhouse. The toilet! In the
village there are also three levels.
Soul: The first?
Sang Suratma: The Temple.
Soul: The middle?
Sang Suratma: Awinan ci ngalih Suarga?
Atma: Wireh tiang demen mebakti.
Sang Suratma: Kaden ci dadi Suarga alih
ulian demen mebakti. Agama Hindu kaden ci
sembahyang gen orine. Agama Hindu to ngelah
jalan patpat. Raosange Catur Marga. Bakti Marga,
Karma Marga, Raja Marga. Jnana Marga. Ci mara
bisa menekang bunga duwur ubun-ubun. To mara
seper kecil ajaran Agama Hindu. Mara Apara Bakti
adane to.
Atma: Napi nika, de ja driki, ke Jawa gen pang
pat. Ke India bulak-balik pang telu mebakti. Jelek
nika?
Sang Suratma: Luwung.
Atma: Ooo luwung.
Sang Suratma: Sanggah Kemulan ci nyerendeng,
sing rungu-rungu ci. Tungkul ci paling ngalih
Dewa widhi ke Jawa ke India nabdab Dewa. Dewa
di jumah sing apikan ci. Ne jumah malu apikan
Gus! Ci cara babakan Pole nyeksek ke pisaga, awak
ci pedidi sing runguang ci. Agama Hindu ngelah
paletan telu. Utama, Madya, Nista. Jumah ci atelu.
Atma: Utamane?
Sang Suratma: Sanggah!
Atma: Madya?
Sang Suratma: Umah!
Atma: Nista?
Sang Suratma: Teba, WC! Di Desa ada telu!
Atma: Utamane?
Sang Suratma: Pura!
Atma: Madyane?
Sang Suratma: Alasan kamu hendak ke Surga?
Roh: Karena hamba senang sembahyang.
Sang Suratma: Kamu kira Sorga mudah didapat
hanya dengan rajin sembahyang? Melaksanakan
agama Hindu, kamu kira hanya dengan sembahyang
saja? Ada empat jalan ajaran menrut Agama Hindu,
disebut dengan Catur Marga: Bakti Marga, Karma
Marga, Raja Marga. Jnana Marga. Kamu baru bisa
menaikan bunga di atas ubun-ubun. Itu hanya
sebagian kecil ajaran Agama Hindu namanya.
Roh: Apa itu, jangankan di sini, ke Jawa empat kali.
Ke India bulak -balik tiga kali untuk sembahyang.
Jelekkah itu?
Sang Suratma: Bagus.
Roh: Ooo Bagus.
Sang Suratma: Tempat suci dirumahmu mau ambruk,
tidak kamu perhatikan. Karena kamu sibuk kesana-
kemari mencari Dewa. Ke Jawa ke India mencari
Dewa. Dewa dirumahmu sendiri kamu tidak hirau.
Yang dirumah mesti diperhatikan dahulu. Gus!
Kamu ini ibarat irisan pohon Pole, sibuk dengan
tetangga, dirimu sendiri tidak kamu urus. Cara
beragama Hindu memilikian, tiga tingkatannya.
Utama, Sedang, Nista. Tiga juga dirumahmu.
Roh: Utamanya?
Sang Suratma: Tempat suci!
Roh: Sedang?
Sang Suratma: Rumah!
Roh: Nista?
Sang Suratma: Bagian belakang rumah, WC! Di
desa ada tiga!
Roh: Utamanya?
Sang Suratma: Pura!
Roh: Sedangnya?
181
Sang Suratma: The village.
Soul: The lowest?
Sang Suratma: The graveyard. The graveyard. But in
your house you're using marble for the toilet. You're
using marble for your house. You line the ceilings
with gold leaf trimmings in the Balinese style. You
even have a small frangipani tree. But your temple
shrines are tiUed out of line. Your ancestors are
crying to be cared for. It is the same when you go to
the temple. You wear a Safari jacket, perfectly ironed
with gold buttons. You add an ornamental cloth
trimming. An ornamental cloth trimming. Fancy
sandals. But your head cloth is mismatched batik
and dirty. Your hair is not shampooed and oiled.
Your fancy shirt is crying. You must be balanced.
You must be balanced. If you are not balanced, that
is when things are difficult.
Soul: Why is it so difficult to get into this place I
don't think there is a test you can study for to get in.
If I knew what was in the test, I would have studied
the book before I died. There are no dead people
around to tell you these things. So this is how it is.
Lets not make things so difficult. It's actually very
simple. Why make it so complicated? Don't get
yourself so stressed out. Now, let's look at it this way.
In the preparations for my death, my descendants
supplied me with lots of money. Why don't you take
all of it, to smooth things over, so that I can just get
in to heaven.
Sang Suratma: Whoa! You think the gods take
money on the side? Even if you gave your money
to Lord Suratma, do you think there are popsicle
venders in heaven? Do you think the gods go to the
corner store to buy popsicles? The gods have their
own way of doing things. It is not important for the
gods in heaven to eat and drink, because they all have
what is called "Genta Amerta," the sacred nectar of
immortality. The holy water of life. That's why the
182
Sang Surtama: Desa!
Atma: Nistane?
Sang Surtama: Setra, Sema! Yen jumha WC ci
memarmeran. Umah ci memarmeran. Meprada
meberber mestail Bali. Misi Jepun Jepang. Kewala
Sanggah Kemulan ci nyerendeng. Tugtuge ngeling
Sang Pitaran cie. Patuh ci cara ke Pura. Mebaju
Safari meterik mekancing mas. Tambah saput
Songket. Kamen Songket. Sandal Emiped. Kewala
udeng ci len Batik len dekil. Sing mambuh biin
sada. Ngeling baju saparin cie. Pang setabil, pang
setabil, pang setabil! Idup ci pang setabil. Asal sing
setabil, to ba ne keweh.
Atma: Adi keweh nganteg dini nah. Kaden sing
misi tes kene dini. Ajan tawang misi tes kene,
mekere mati sing nyemak buku malu. Nak mati
sing ada nyambat e to. Puniki nak antuk, ampunan
nika bes ruet-ruetange. Pang gampangen gen nake.
Ngudiang ruet-ruet kenten. Setres Betara nyen. Ne
mangkin sapuniki. Dugas tiange mati, liu sajan
tiang bekelange pipis ken sentanan tiange. }eg ambil
sami nika anggen penglicin. Pang maan gen tiang
Suarga.
Sang Surtama: Pah, kayang Dewa tombok ci. Api
ci ngemang Sang Hyang Suratma pipis, kaden
ci di Suargan ada dagang es. Kaden ci ada Dewa
di warung singgah meli es. Dewa Aji mara ada.
Dewa Di Suargan sing penting makan sing penting
minum. Wireh Dewa di Suargan makejang suba
ane madan Genta Amerta. Tirta Kehidupan. Kelan
Dewa sing bisa mati. Kayang satak tali keti tiban
Dewa nu idup.
Sang Suratma: Desa.
Roh: Nistanya?
Sang Suratma: Kuburan, tempat pemakaman! Kalau
di rumah WC mu pakai marmer. Rumah kamu
pakai marmer. Berjejer berstyle Bali bercat prada.
Dihiasi jepun Jepang. Tetapi tempat sucimu miring.
Nangis sedih leluhurmu. Sama halnya bila kamu ke
Pura. Berbaju safari bersetrika berkancing emas.
Ditambah saput songket. Kain songket. Sandal
Emiped. Tetapi ikat kepalamu beda yakni batik dan
kotor. Rambut tak dikeramas. Nangis baju safarimu.
Semestinya harus seimbang. Seimbang, seimbang!
Hidup kamu harus seimbang. Kalau tidak seimbang,
itulah yang membuat sulit.
Roh: Kenapa jadi sulit sesampainya di sini, ya? Tak
menyana dikasi tes begini disini. Kalau tahu berisi
tes begini, sebelum mati ya ambil buku dululah.
Kematian tidak pernah dikasih tahu. Begini aja deh,
jangan itu dipersulit. Buatlah lebih gampang saja.
Kenapa mesti ruet begitu. Nanti Bhatara bisa stres.
Sekarang begini. Ketika hamba mati, banyak sekali
hamba dibekali uang oleh sanak keluarga hamba. Ya
ambil sajalah semua itu sebagai pelicin. Agar hamba
dapat Surga.
Sang Suratma: Wah, ini Dewa juga di sogok.
Kalaupun kamu beri Sang Hyang Suratma uang,
kamu kira di Surga ada dagang es? Kamu kira ada
Dewa mampir ke warung beli es? Kalau dewa Aji
baru ada. Dewa di Surga tidak penting makan tidak
penting minum. Karena Dewa di Surga semua sudah
yang namanya Genta Amerta. Tirta kehidupan. Itu
makanya para Dewa tidak bisa mati. Sampai dua
ratus ribu tahun Dewa masih hidup.
gods cannot die. Even after two hundred thousand
years, the gods will still be alive.
Soul: The gods in heaven never have to eat or drink?
Sang Suratma: No.
Soul : I made a ceremonial offering of a roasted pig,
and you're not going to tell me that the gods didn't
eat what I offered. Aaaaah. You're a big liar.
Sang Suratma: A big liar?
Soul: Don't the gods take what is offered to them?
Sang Suratma: Well, at the moment that you made
the offering of the Roasted Pig, did you ever say,
'Lord Suratma, I am now offering you this Roasted
Pig.' Did you ever say that?
Soul: No, never.
Sang Suratma: If you never said that, then I never ate
it. It is clear that if you make an offering, it also has
to include a prayer. If you don't know the right one,
you can ask a priest. If you can't find a priest, you
can look for a temple guardian.
It is the same if you have wealthy guests at your
home. You put a meal in front of your guests, but
Atma: Dewa di Suargan sing pati makan sing pati
minum?
Sang Surtama: Sing.
Atma: Tiang ngaturang Pregembal Guling
Bebangkit, ten soroh Tu makan aturang tiage to?
Aaaa bohong lu.
Sang Suratma: Bohong lu?
Atma: Ada Dewa mirat dana.
Sang Surtama: Dong dugas ci ngaturang Pregembal
Guling Bebangkit, taen ci matur. Ratu Sang Hyang
Surtama, tiang ngaturang Ratu Pregembal Guling
Bebangkit. Taen matur keto?
Atma: Ten ja wenten pa.
Sang Surtama: Yen ba keto sing ja bapa ya makan.
Terang ba cai yen ngeturang banten, pang misi saa
pang misi sapa. Yen ci sing bisa Peranda tuwur.
Yen sing ada Peranda Pemangku pendak. Patuh ci
cara ngae... ngundang tamu sugih. Ngae masakan
enak. Jang ci masakane di malun tamue. Sing ci
persilahkan makan tamue. Nyak sing tamue makan.
Roh: Dewa di Surga tidak pernah makan? Tidak
pernah minum?
Sang Suratma: Tidak.
Roh: Hamba menghaturkan upakara pregembal
guling bebangkit, bukannya kelompok paduka yang
memakan persembahan hamba itu? Aaaa bohong
Ihu.
Sang Suratma: Bohong Ihu?
Roh: Ada tidak Dewa mengambil? Mengaku!
Sang Suratma: 'Bentar dulu, ketika kamu
menghaturkan upakaraPregembalGulingBebangkit,
pernahkah kamu bilang. "Ratu Sang Hyang Suratma,
hamba menghaturkan tuan Pregembal Guling
bebangkit." Pernah bilang begitu?
Roh: Tidak ada ya.
Sang Suratma: Ya kalau begitu, bukan Aku yang
makan. Jelaslah sudah. Kalau kamu menghaturkan
upakara, agar berisi doa-doa. Kalau kamu tidak bisa
carilah Pendeta. Kalau tidak ada Pendeta Pemangku
juga boleh. Sama halnya kalau kamu bikin...
mengundang tamu kaya. Membuat masakan enak.
Kamu taruh masakannya di hadapan tamumu. Tidak
183
you don't ask them to eat. You don't want them to
eat. However dehcious your meal is, the important
thing is the principle of 'Kaya Wak Manah.' 'The
integration of Thoughts, Words, and Actions.'
So now it is like this, like this, like this. You like
to practice religion, but it is religion without a
foundation, without laws. At the base of our life in
the Hindu religion are the principles of Tatwa, Susila,
and Upacara. (Religious Philosophy, Spiritual Laws
of Conduct, and Ritual). You conduct Ceremonies
without a foundation of spiritual philosophy or
religious laws. So now this is how it will be: you will
be thrown into the burning cauldron of hell for fifty
years.
Soul: My god. That's so extreme! I've only been alive
for forty five years, and I'll be frying for fity. I'll be
fried longer than I lived.
Sang Suratma: Lord Suratma is not the one punishing
you.
Soul: Who is?
Sang Suratma: You sentenced yourself to the
punishment. When you did all those bad deeds, you
pulled yourself down into what is called hell. If you
had done lots of good deeds, you would have pulled
yourself up into what is called heaven. No matter
Menapa ja enak masakan cie. Penting to Kaya Wak
Manah. Keneh munyi Ian laksana. Jani kene kene
kene. Wireh cai demen meagama. Kewala meagama
tanpa dasar, tanpa suduk. Wireh asal iraga idup
meagama Hindu ada Tatwa, Susila, Upacara. Ci
ngelaksanang yadnya tanpa Susila, tanpa Tatwa.
Jani kene. Cai kelebok aneng Kawah Jambangan
seket tiban.
Atma: tmiiih. Exstrim Dewae. Tiang idup gen
45 tahun, megoreng seket. Lebihan megoreng
ketimbang idupe.
Sang Suratma: Sing ja Sang Hyang Suratma ne
ngukum cai.
Atma: Sira?
Sang Surtama: Perbuatan ci pedidi ne ngukum cai.
Yen cai liu melaksana corah, kedenge ci madan ke
Neraka. Yen cai liu melaksana ne patut kedenge ci
madan ke Suarga. Agama apapun yang dianut, pasti
ujung-ujung ne misi Suarga lan Neraka. Kenee,
kamu persilahkan tamunya makan. Tidak bakalan
tamunya makan. Betapapun enak masakanmu.
Penting itu. Kaya, Wak, Manah. Pikiran, perkataan,
dan perbuatan. Sekarang begini, begini, begini. Oleh
karena kamu senang beragama, tetapi beragama
tanpa dasar, tanpa aturan. Oleh karena, manusia
hidup beragama Hindu ada disebut dengan Tatwa,
Susila, Upacara. Kamu melaksanakan upacara tanpa
susila, tanpa tatwa. Sekarang begini. Kamu dibuang
ke kawah Jambangan lima puluh tahun.
Roh: Waaaah. Extrimis Dewa ini. Hamba hidup
hanya 45 tahun, kok digoreng lima puluh. Kelebihan
digoreng ketimbang hidup.
Sang Suratma: Bukannya Sang Hyang Suratma yang
menghukum kamu.
Roh: Siapa?
Sang Suratma: Perbuatan kamu sendiri yang
menghukummu. Kalau kamu banyak berbuat jahat,
ditariklah kamu ke Neraka. Kalau kamu banyak
berbuat baik ditariklah kamu ke Surga. Agama
apapun yang dianut, pasti ujung-ujungnya berisi
184
what kind of religion you follow, you surely end up
in heaven or hell. So this is how it's going to beeeeee!
You will be thrown into the burning cauldrons of
hell for fifty years. Cikrabala, take this soul. Throw
him in. Throw him in. Throw him in!
Soul: Oh no. Help. Aaiaiiiiiii. Oh no!
Chorus: ... (singing) the conduct of the soul...
Sang Suratma (greeting a female soul): Well, you are
a voluptuous soul. Lord Suratma has a question
for you. What is your name? What is your reason
for coming here to the invisible world?
Soul: My name is Luh Koncreng, sir. (Miss Flirt= the
one trying too hard to get attention)
Sang Suratma: Luh Koncreng?
Soul: Yes.
Sang Suratma: Why is your name Koncreng?
Soul: Because in the material world I was always
playing around with brother Hard-On.
Sang Suratma: Oh, so you're a CG? A call girl?
Soul: Yes. I'm called a playgirl, sir.
Sang Suratma: Oooo. Where is your base of
operations?
Soul: I don't have a fixed locale, sir. Sometimes I'm
in Sema Baung, then I move to Padang Galak. Then
to Blanjong. Then I can be called new merchandise
instead of old stock, sir.
Sang Suratma: Oh, how much do you charge?
Soul: In the past, sir, when times were good, I charged
a million rupiah for each visit.
Sang Suratma: And then?
Soul: Since the bomb struck in Kuta, I only charge a
thousand five hundred. Just enough to buy soap.
Sang Suratma: Oh, your business is deteriorating.
What is your name?
Soul: I am Koncreng.
cai kalebok di Kawah Jambangan seket tiban.
Cikrabalaaa amet ikanang atma! Merangke,
merangke merangke.
Atma: Aduh tulung. Aaaahhh. Aduuuuh.
Sendon: Polahaning atma.
Sang Suratma: Ih kita atma behenol. Sang Hyang
Suratma atetanya lawan kalaganta. Sang apa dwi
dasa nama. Muang apa prayojanan marikanang
Mayapada?
Atma: Tiang nika madan Luh Koncreng Atuuuu.
Sang Surtama: Luh Koncreng?
Atma: Inggih.
Sang Suratma: Ngudiang nyi madan koncreng?
Atma: Santukan rika ring Mayapada titiang setata
bergulat sama beli Gede Tomblos.
Sang Suratma: Ooooo nyai CO nyi? Cewek
Orderan?
Atma: Ngih. Tiang baosange Play Girl Atu.
Sang Suratma: Ooooo. Dija nyi kereng mangkal?
Atma: Aratu nika ten tentu Atu. Malih Sema Baung,
Malih tiang pindahange ke Padang Galak. Malih
Blanjong. Tiang baosange barang baru setok lama
Atu.
Sang Suratma: Oooo. Kuda kereng tarif nyie?
Atma: Ratu daweg degdeg Gumi dumun, satu juta
sekali traktir memargi Atu.
Sang Suratma: Men?
Atma: Sekat ulung boome di kuta, siyu mang atus
jalanin tiang. Pang wenten belin sabun.
Sang Suratma: Ooo jebol proyek nyie. Nyen adan
nyie?
Atma: Tiang Koncreng!
Surga - Neraka. Beginiiii, kamu dibuang di kawah
jambangan lima puluh tahun. Cikrabala ambillah
roh ini! Kesini kesini kesini.
Roh: Aduh tulung. Aaaahhh. Aduuuuh.
Sinden: Tingkah para roh.
Sang Suratma: Wahai kamu roh bahenol. Sang
Suratma bertanya kepada kamu. Siapa namamu.
Juga apa maksud kedatanganmu ke dunia maya?
Roh: Hamba bernama Luh Koncreng Padukaaaa.
Sang Suratma: Luh Koncreng?
Roh: Ya.
Sang Suratma: Kenapa kamu bernama Koncreng?
Roh: Karena di Bumi hamba selalu bergumul dengan
abang Gede Tomblos.
Sang Suratma: Oooo kamu CO kamu? Cewek
Orderan?
Roh: Ya. Hamba dipanggil sebagai Play Girl,
paduka.
Sang Suratma: Oooo dimana kamu sering
mangkal?
Roh: Paduka, tidak tentu, paduka. Terkadang di
Sema Baung. Kemudian hamba dipindah ke Padang
Galak. Lagi di Blanjong. Hamba disebut sebagai
barang baru setok lama, paduka.
Sang Suratma: Oooo. Berapa biasanya tarifmu?
Roh: Paduka, ketika situasinya baik, satu juta sekali
traktir, biasa paduka.
Sang Suratma: Lalu?
Roh: Semenjak boomnya meledak di Kuta, seribu
lima ratuspun hamba kanggokan. Untuk pembeli
sabun saja.
Sang Suratma: Ooo jebol proyekmu. Siapa
namamu?
Roh: Hamba Koncreng!
186
Sang Suratma: All right. Let me look here at the
computer files. Koncreng. It's in the K's. Kooncrent.
Oh, yes, here it is. Koncreng. That's you, Koncreng.
You're right here in the book. You have already
known the taste of many men. It says here the total
is three thousand, five hundred and fifi:y one and a
half times.
Soul: Why is there a half?
Sang Suratma: Well, it's like this. You were setting
up shop in Blonkanjong. It was a Friday. The
government employees propositioned you. You're
were just getting warmed up and you got grabbed
right away. Tibum. That's considered a half. It's a
half if you're just getting warmed up. Is that the way
it was?
Soul: Yes, it was sir.
Sang Suratma: Oh, at least you are honest. Honest.
You were given a good opportunity by the Lord
when you were born as a human, but you didn't take
advantage of it. You chose the wrong goals for the
pleasure of filling up your cooking pot. "Becoming
a human is the highest level of being. Because of
that you can help to free yourself from suffering,
Sang Suratma: Ne bapa nolih di bagian komputere,
Koncreng. Bagian K. Koncreng, Koooncreng. Na
Koncreng naaaa. Nyai Koncreng. Nyi mungguh di
Kitab Sarae. Nyi suba nawang asan nak muani ne.
Ngenah dini. Pang 3551 Vi.
Atma: Dados medaging ^2?
Sang Suratma: Kenee. Dugas nyi mangkal di
Blanjong. Hari Jumat. Ada unduk pegawai negeri
nraktir nyi. Begitu nyi baru pemanasan nyi langsung
tangkep Tibum. Asukan bapa setengah. Setengah
ne mara pemanasan setengah. Ada keto?
Atma: Inggih wenten Atuu.
Sang Suratma: Ooo jujur, jujur. Ne ba madan nyai
baaange kesempatan melah ken Widhi lekad dadi
manusia. Tidak dipergunakan dengan bagus. Justru
nyi salah sasaran, barang ne demenan nyie anggo
nyi payuk jakan. Apanikang dadi wang utama
juga ya. Nimitanian hana tumulung awaknia
sakeng sengsara. Masedana suhakarma. Sesuatu
Sang Suratma: Coba kulihat di bagian komputerku.
Koncreng. Bagian K. Koncreng, Koooncreng. Ya
Koncreng Yaaaa. Kamu Koncreng. Kamu tercatat di
buku ini. Kamu sudah tahu nikmat bersama lelaki.
Kelihatan disini. Sebanyak 3551 Vi.
Roh: Kenapa berisi V2.
Sang Suratma: Begini. Saat kamu mangkal di
Blanjong. Hari Jumat. Ada pegawai negeri mentraktir
kamu. Begitu kamu mulai pemanasan kamu langsung
ditangkap Tibum. Dianggap setengah. Setengah,
karena baru pemanasan. Ya baru setengah. Betul
begitu?
Roh: Ya betul paduka.
Sang Suratma: Ooo jujur, jujur. Sebenarnya kamu
ini diberi kesempatan baik oleh Tuhan, lahir
sebagai manusia. Tidak dipergunakan dengan
bagus. Justru kamu salah sasaran, barang yang
kamu senangi kamu gunakan sebagai sumber
penghasilan. Sesungguhnya utamalah kelahiran
seseorang menjadi manusia. Oleh karena dia dapat
187
succeed in doing good deeds". It is an extraordinary
happiness to be born as a human in this world. Why?
In becoming human, we can help ourselves to avoid
evil actions and to do good deeds. To do good deeds.
But you chose the wrong goals. So now this is how
it will be: Because in the material world you always
played around with the private parts of men, now
you will be given those parts. You will carry on your
shoulders the antique parts of men, three thousand
five hundred and fifty five and a half of them. The
left-over half will be eaten by a cat. Cikrabala take
this soul. Throw her in. Throw her in. Throw her
in!
Soul: Oh, Lord, help me.
Singers: ... (chant)
Narrator: Uduuuuuh.
Sang Suratma: Ah, the souls that show up here keep
getting worse and worse. Hey, you with the plump
body. Lord Suratma has some questions for you.
What is your name, and what did you do in the
material world?
Twalen: My name is Malen {his nickname).
Sang Suratma: Who?
Twalen: Malen.
Sang Suratma: Malen?
kebahagian luar biasa ci terlahir sebagai manusia
ke dunia ini. Mengapa? Dengan menjadi manusia,
kita bisa menolong diri kita, dari perbuatan yang
jahat, dengan, apa, perbuatan yang halal. Yang
Subha Karma. Justru nyi salah sasaran. Jani kene.
Wireh nyai di Mercapada setata bergulat sama
rudal-rudal nak muani. Jani bakal ada sarana. Nyi
bakal nyuwun barang antik nak muani, 3551 Vi
juga. Biin setengah amah meng to. Cikrabala amet
ikanang atma. Merangke, merangke!
Atma: Dewa ratu tulung tiang.
Sendon: ...
Dalang: Uduuuuh.
Sang Suratma: Nyelek-nyelekan atmae teka ah. liiih
kita atma badan padet. Sang Suratma atetanya
lawan kalaganta. Sang apa dwi dasa nama? Muang
apa prayojanan aneng kunang Mercapada?
Twalen: Tiang madan I Malen.
Sang Suratma: Nyen?
Twalen: Malen!
Sang Suratma: Malen?
menolong dirinya dari sengsara. Berdasarkan
dengan perbuatan baik. Sesuatu kebahagiaan luar
biasa kamu terlahir sebagai manusia ke dunia ini.
Mengapa? Dengan menjadi manusia, kita bisa
menolong diri kita, dari perbuatan yang jahat
dengan, apa, perbuatan yang halal. Yang berbuat
baik. Justru kamu yang salah sasaran. Sekarang
begini. Karena kamu di Bumi selalu bergulat dengan
rudal-rudalnya lelaki. Sekarang akan ada sarana.
Kamu akan menjunjung barang antik lelaki sebanyak
3551 Vi juga. Setengahnya lagi, dimakan kucing itu.
Cikrabala ambilah ini, roh. Kesini, kesini!
Roh: Oh Tuhan tolong hamba.
Sinden: ...
Dalang: Uduuuuuh.
Sang Suratma: Semakin jelek aja roh yang datang,
ah. Wahai kamu roh badan padet. Sang Suratma
bertanya kepada kamu. Siapa namamu. Juga apa
pekerjaanmu di Bumi?
Twalen: Hamba bernama I Malen.
Sang Suratma: Siapa?
Twalen: Malen.
Sang Suratma: Malen?
188
Twalen: Yes.
Sang Suratma: Malen. Malen. Malen. Ma. Malen. Ma
ma ma ma mi. Ma maaa mi e mami. That's the end
oftheUst. Your name?
Twalen: Maleeeen!
Sang Suratma: Ma ma ma ma mi, Your name?
Twalen: Lord of the Deaf. Ma ma ma ma, I already
said it is Malen.
Sang Suratma: Mister...
Twalen: Yes.... First.
Sang Suratma: Ma mama ma.
Twalen: Not the 'ma ma ma' again.
Sang Suratma: Ma mama mi. Wait a minute. Are you
dead yet?
Twalen: No.
Sang Suratma: Whoa. The only humans in my
computer are the ones who are already dead. Then
they appear here. You are still a flesh and blood
human. Why did you come here?
Twalen: For refreshment.
Sang Suratma: You came here for refreshment?
Twalen: In the material world there's no place to
enjoy yourself anymore.
Twalen: Ngih.
Sang Suratma: Malen. Malen. Malen. Ma Malen.
Ma ma ma ma mi. Ma maaa mi e mami kelah ba.
Adane?
Twalen: Maleeen!
Sang Suratma: Ma ma ma ma mi. Adane?
Twalen: Bongol Dewae. Ma ma ma ma.. Orang ba
Malen.
Sang Suratma: Bapa ...
Twalen: Ngih ...dumun.
Sang Suratma: Ma mama ma.
Twalen: Bin ma ma ma gen terus.
Sang Suratma: Ma mama mi. Nen malu ci taen mati
pidan?
Twalen: Ten.
Sang Suratma: lyiiiih. Ane masuk dalam komputer
Sang Hyang Suratma, manusane subamati, mungguh
dini. Ci jelema matah Blegeran, ci ngudiang mai?
Twalen: Refreshing.
Sang Suratma: Refreshing mai?
Twalen: Napi di Mercapada ten wenten tongos
melali mangkin.
Twalen: Ya.
Sang Suratma: Malen. Malen. Malen. Ma Malen. Ma
ma ma ma mi. Ma maaa mi e mami habis sudah.
Namanya?
Twalen: Maleeen!
Sang Suratma: Ma ma ma ma mi. Namanya?
Twalen: Dewa tuli ini. Ma ma ma ma.. Sudah bilang
Malen.
Sang Suratma: Bapak. .
Twalen: Ya.... dulu.
Sang Suratma: Ma mama ma.
Twalen: Lagi-lagi ma ma ma saja terus.
Sang Suratma: Ma mama mi. Sebentar dulu. Kamu
sudah pernah mati?
Twalen: Belum.
Sang Suratma: Lhooo. Yang masuk dalam komputer
Sang Hyang Suratma, manusia yang sudah mati,
semua kelihatan di sini. Kamu manusia biasa, kamu
ngapain kesini?
Twalen: Refreshing.
Sang Suratma: Ke sini refreshing?
Twalen: Di Bumi sekarang ini tidak ada tempat
untuk jalan-jalan.
189
Sang Suratma: Why is that?
Twalen: When you go to the beach there's a tsunami.
When you go to the mountains, there's a volcanic
eruption. When you go to Java, there's a big mud pit.
So I came here to the afterhfe.
Sang Suratma: Here?
Twalen: Yes, sir.
Sang Suratma: Who came with you?
Twalen: I accompanied Lord Anggada.
Sang Suratma: What for?
Twalen: To get to heaven.
Sang Suratma: Now that you're in the afterlife, what
do you want?
Twalen: I want refreshment.
Sang Suratma: If you are looking for Siwa's heaven,
you can find it to the northeast.
Twalen: Northeast?
Sang Suratma: That is the road to follow.
Twalen: If that's how it is, may I have permission to
leave?
Sang Suratma: Yesss. Lord Suratma is getting a
headache. His pants stink. Forgive me Lord
Siwa. We must be prepared to meet you. Let's get
ready!
Dalang: We will leave aside the story of the journey
Sang Suratma: Adi keto?
Twalen: Melaib ke pasih bisa Tsunami. Melaib ke
gunung, gunung meletus. Ke Jawa nyayad pang liu.
Mai tiang ke Suarga.
Sang Suratma: Mai?
Twalen: Inggih Tu.
Sang Suratma: Nyen ajak cie?
Twalen: Tiang ngiring dane Sang Ngada.
Sang Suratma: Ngudiang?
Twalen: Ke Suarga Loka.
Sang Suratma: Suba ke Suarga Loka. To ngudiang
mai?
Twalen: Tiang refreshing.
Sang Suratma: Yen cai bakal ngalih Siwa Loka. To
Ersania ulati!
Twalen: Kaja kangine?
Sang Suratma: To mamban ne patut ulati.
Twalen: Ba keto tiang ngelungsur pamit Ratu.
Sang Suratma: Naaaah. Uyeng-uyengan Sang Hyang
Suratma. Pahit mekilit bon kelanane. Pasang Tabe
Dewa Betara Siwa. Kewala pada yatna apan
bipraya hana nyatpada. Yatna Dewaaaa!
Dalang: Tan kewarnan nirang lampah sira si
Sang Suratma: Kenapa begitu?
Twalen: Pergi ke pantai bisa Tsunami. Berlari ke
gunung, gunung meletus. Ke Jawa, Lumpur meluap.
Makanya hamba datang ke sini ke Surga.
Sang Suratma: Ke mari?
Twalen: Ya paduka.
Sang Suratma: Bersama siapa kamu?
Twalen: Hamba mengikuti jejak Sang Ngada.
Sang Suratma: Untuk apa?
Twalen: Ke Surga Loka.
Sang Suratma: Ya sudah ke Surga Loka. Untuk apa
ke sini?
Twalen: Hamba refreshing.
Sang Suratma: Kalau kamu mau mencari Siwa Loka.
Ke timur laut mesti dituju.
Twalen: Timur laut?
Sang Suratma: Itu arah jalan yang benar.
Twalen: Kalau demikian, hamba mohon pamit
paduka.
Sang Suratma: Yaaa. Dibuat pusing Sang Hyang
Suratma, amis amat bau celananya. Ampun Dewa
Betara Siwa. Hati-hatilah, oleh karena ada orang
hendak menghadap. Siaga Dewaaaa!
Dalang: Demikian dikisahkan perjalanannya si
191
to Siwa's heaven of General Anggada and his two
servants, Twalen and Merdah. There is nothing
more to say other than that they meet the Lord of
Lords Siwa, and that they find the holy purifying
water. That is the first part of the story. Now the
story will be told of what happens in Laut Lungsur.
There is a powerful demon there named Detya Kala
Maya Cakru. He is none other than the descendant
of Rahwana. He is preparing a troop of demons.
He has already completed his studies in the temple
of the dead with the goddess Durga. Now he is
looking for Rama. That is the point of the story. In
Laut Lungsur there appears the demon Detya Kala
Maya Cakru. Weeeeee. liiiiiih. Aaaaah. Aaaaah.
He has the appearance of power.
Detya Kala Maya Cakru: My servants, Delem and
Sangut. Comehere, bothof you. Heeeeee huuuuu
emmmm. All the demon soldiers are ready to go.
Follow your master on his journey. We are going
to the temple in Ayodya with no other purpose
than to meet Lord Rama, because he has caused
destruction. He killed my father (Rahwana). That
is why Lord Rama is our enemy. Let's goooooo!
Weeeeee. Aiiiiiiih.
Go! Weeee . Aiiiih
Wira Ngada, katekaning carakanira maka rwa,
Twalen muang Werdah, juga aneng Siwa Loka.
Tan sah nyatpada ri Hyang Hyang ning Batara
Siwa. Tan sah ngulati kunang tirta Sudamala.
Mangkana rumuhun kunang tatwa lenan carita.
Kawinursita magke tan sah aneng Segara
Lungsur. Hana Raksasa sakti ngaran Detya Kala
Maya Cakru. Tan sah sutanirang Dasa Nana. Ri
sedeng anamtam ikanang wadwa raksasa. Mapan
ya wus nangun ajah aneng Dalem, lawan Hyang-
Hyang ning Batari Durga. Ya mangkin mulat kara
sirang Regawa. Mangkana punggeling kunang
taTwalena carita. Aneng Segara Lungsur antian
mijil Detya Kala Maya Cakru. Weeeeee. liiiih Ah
ah. Weee. Karura karaaaa.
Detya Kala Maya Cakru: Caraka Deleeeeem!
Muang Uludawa. Muang Uludawa. Carakaning
Ngong makarwa pwa kalaganta. Heeeee hog em
em em. Merangkeeee. Tamtam sahananing wadwa
raksasa kabeh. Tut lampah sira tuanta. Lumaku
aneng Ayodya Pura. Tan sah meperih lawan Si
Rama Dewa. Mapan ya ngawe kasmala. Amejah
ikanang bapa. Kadiang punapa si Rama Dewa
pinaka musuh. Mangkaaaat! Weeeeee. Aiiiih.
192
perwira Ngada, dan juga abdinya berdua Twalen
dan Werdah berada di Siwa Loka. Tiada lain
mengadap kehadapan Hyang Hyang Batara Siwa.
Tiada lain mencari air suci Sudamala. Demikian
adanya dan kini berganti cerita. Dikisahkan
sekarang tiada lain di Laut Lungsur. Ada raksasa
sakti bernama Detya Kala Maya Cakru, Tiada
lain anaknya Rahwana. Sedang mempersiapkan
pasukan raksasa. Karena sudah selesai belajar di
Dalem, dihadapan Hyang Hyang Batari Durga.
Dia sekarang hendak mencelakai Rama. Demikian
penggalan cerita selanjutnya. Di Laut Lungsur
muncullah Detya Kala Maya Cakru. Weeeee. liiih.
Ah ah. Weee. Menakjubkan.
Detya Kala Maya Cakru: Abdiku Deleeem dan juga
si rambut panjang, Sangut. Abdiku berdua kamu.
Heeee. hog em em em . Kesiniiiiiiii. Persiapkan
bala wadwa raksasa semua. Ikuti perjalanan
tuanmu.
Pergi menuju ke kerajaan Ayodya. Tiada lain
bertemu dengan Si Rama Dewa. Karena ia
membuat bencana. Membunuh orang tuaku.
Bagaimanapun si Rama Dewa adalah musuh.
Berangkaaaat! Weeeee Aiiiiiih.
Delem: ... (sings song in gibberish with a few
recognizable words, Uke 'carik', meaning ricefield or
punctuation mark)
Sangut: What is that song about? {he sings)
Delem: What does that mean?
Sangut : I don't know. It's too complicated. I can only
sing it.
Delem: ... (sings gibberish) Get ready!
(Delem and sangut dance)
Delem: Quiet. Quiet. Quiet. Stop dancing around
like that. I'm too tired to keep up. It is strange,
Sangut. My singing is faster than yours.
Sangut: Faster? How.
Delem: Please bang on the kulkul (wooden gong) in
the banjar. Call everyone in the community together.
Delem: (gending): "Leng-leng lung-lung
lumanggaaaaang" . liiii. (gending)"Aaaamulung
alelayang ring sang kirangan. Congkak congcang
cingania kecek. Acala calang carik cang cucu
cucut. Tongkak ti ninoyong doh mawiatah wedi
wediii. Dayus minggus kasingkul bit mijah atag
kapit tukad akung.
Sangut: Apa kaden orange neh. (gending) Montang
mongsos siya namor. cemara maring lo sikang kil
centik. Sat sat sosian pasusuian, sasusupan samia
rusasasa.
Delem: Apa artine?
Sangut: Nawang sing. Pang milu gen je megending
ruet mase.
Delem: (gending): Kat kat luklak saluklik salika
lika lawaning lawit. Puk upuk peksa peksa pijer
tengkuak kupu-kupu". Dabdabang!
(Delem dan Sangut menari).
Delem: Ngoyong, ngoyong, ngoyong! De ci ngekeh
Ngut! Bes tuyuh ngekeh. Len Ngut. Munyin kaka
enggal ken ci.
Sangut: Enggel. kenkene.
Delem: Gedig kulkul banjar 'ci jep diolas. Dauhang
para masyarakat ci makejang.
Delem: (gending): "Leng-leng lung-lung
lumanggaaaaang". liiii. (gending)"Aaaamulung
alelayang ring sang kirangan. Congkak congcang
cingania kecek. Acala calang carik cang cucu cucut.
Tongkak ti ninoyong doh mawiatah wedi wediii.
Dayus minggus kasingkul bit mijah atag kapit
tukad akung.
Sangut: Apa dibilang itu. (gending) Montang
mongsos siya namor. cemara maring lo sikang kil
cemik. Sat sat sosian pasusuian, sasusupan samia
rusasasa.
Delem: Apa artinya?
Sangut: Tidak tahu. Ikut-ikutan 'ajalah bernyanyi
ruwet.
Delem: (gending): Kat kat luklak saluklik salika
lika lawaning lawit. Puk upuk peksa peksa pijer
tengkuak kupu-kupu" Bergeaslah!
(Delem dan Sangut menari).
Delem: Diam, diam, diam! Jangan kamu berulah
Ngut! Terlalu payah dikau berulah. Beda Ngut.
Suaraku lebih cepat darimu.
Sangut: Cepat bagaimana.
Delem: Bunyikan kentongan banjar ku mohon dengan
hormat. Umumkan kepada masyarakatmu semua.
194
Sangut: Why is that? Why wasn't there any
announcement of meeting?
Delem: No, there is no meeting, no.
Sangut: So what's happening?
Delem: Call all the people to the temple to pray. I
will accompany them all them to the temple.
Sangut: Oh, to pray, because the world is plagued
with problems?
Delem: Yes, that's the reason.
Sangut: So what?
Delem: That's very important. You are N.C. Not
Connected. A.T.T. Afraid to Telecommunicate.
Sangut: What do you mean?
Delem: You haven't heard that I've been chosen as a
candidate for Governor of Lungsur village.
Sangut: What does that have to do with bringing the
people to pray in the temple?
Delem: When I bring them together to pray there
I can spread the word to them about my programs.
If it works out, I will become the Governor here in
Lungsur. I will tear down the temple.
Sangut: Why is that? Why will you tear down my
temple?
Delem: So I can renovate it, of course.
I'll tell you how you can organize it. You, as a leader,
can just find a way to get all the people to vote for me
on election day. So please calm down.
Sangut: So, if you win the election as Governor of
Lungsur, you'll renovate the temple?
Delem: Yes, I will revovate.
Sangut: If you lose the election and the temple is
already torn down, who will renovate it. Delem,
Delem, let me say something from my heart, with all
good intentions. I have nothing to gain. Religion can
guide us about how to manage politics, but politics
Sangut: Engken ne? Kal sing ada arah-arahan
ongkon nak sangkep?
Delem: Aing sangkep sing.
Sangut: Kenken ne?
Delem: Ajak masyarakate makejang mebakti ke
Pura. Kaka kel ngajak to ke Pura makejang.
Sangut: Ooo nunas icang Gumi gerubug kene?
Delem: Nah to ja mase.
Sangut: Men kenken?
Delem: Ne penting, ci adah ci Kuper. Kurang
pergaulan. Telkom, Telat Komunikasi ci.
Sangut: Kenken ne?
Delem: Wireh jani kaka suba kel anggone calon
Gubernur di desa Lungsur.
Sangut: Apa hubungane ajak masyarakat ke Pura?
Delem: Ajak sembahyang bersama. Ooo ditu kaka
mensosialisasikan program-program kaka. Yen
nyak kaka menek dadi Gubernur dini di tanah
Lungsur. Ah j eg Pura kel uwug kaka.
Sangut: lyeh kenken ne? Ujang uwug Puran cange
to?
Delem: Kel benin kenken ci. Ooo orin kenken
caran ci ngurusan. Ci dadi keliane. Engken caran ci
ngituangan to pang nyak gebyar milih kaka. To ooo
orin kaka tenang.
Sangut: Yen melem tulus nyen di Segara Lungsur
menek dadi Gubernur. Pura kel benin?
Delem: Benin.
Sangut: Yen buwung tes menek? Ba kadung uwug
nyen menin? Lem Lem, cang ngorin Melem ulian
keneh cange rahayu ne. Bedik sing ada kakene,
gama mengajarkan iraga untuk berpolitik. Tapi
agama jangan disusupi politik to. Pengidih cange
Sangut: Bagaimana ini? Tanpa pemberitahuan
orang-orang disuruh rapat.
Delem: Bukan. Bukan rapat.
Sangut: Bagaimana ini?
Delem: AjakseluruhmasyarakatkePurasembahyang.
Aku 'kan mengajak semuanya ke Pura.
Sangut: Ooo mendoakan akan wabah yang telah
melanda dunia?
Delem: Ya juga untuk itu.
Sangut: Lalu bagaimana?
Delem: Yang penting, waduh kamu orangnya
kuper; kurang pergaulan. Telkom, telat mikir. Telat
komunikasi kamu.
Sangut: Bagaimana ini?
Delem: Karena sekarang ini aku sudah dicalonkan
sebagai Gubernur di desa Lungsur.
Sangut: Apa hubungannya dengan mengajak
masyarakat ke Pura?
Delem: Diajak sembahyang bersama. Ooo disana
aku 'kan mensosialisasikan progam-programku.
Kalau aku berhasil naik menjadi Gubernur di sini di
tanah Lungsur, Ah semua Pura akan ku bongkar.
Sangut: Lho bagaimana ini? Kenapa Pura saya
dibongkar?
Delem: Untuk diperbaiki, giamana kamu. Ooo
beritahukan, giamana caranya kamu mengurus.
Kamu jadi ketuanya. Gimanalah caramu
mengusahakan agar gebyarnya memilih aku. 'Tuuuu.
Kubilangin, tenang.
Sangut: Jika Melem mulus jadi gubernur di Segara
Lungsur, Pura akan direnopasi?
Delem: Renopasi.
Sangut: Kalau batal naik? Sudah terlanjur di
bongkar, siapa memperbaiki? Lem, Lem, saya kasih
tahu Melem dengan maksud hati baik. Sedikitpun
tak ada cara begini, yaitu agama mengajarkan kita
untuk berpolitik. Janganlah agama itu disusupi
195
should not be inserted into religion. My request is
this. In the future when the people finish setting
up the banners for their religious ceremonies, don't
replace them with campaign banners in the temple.
Don't be a leader who works that way.
Delem: Works what way?
Sangut: If you have already conducted yourself well
in the village, you don't have to bring my people to
pray together to get them to vote for you.
If you have already done good deeds, your actions
will be appreciated by the people. You won't have to
make promises to get elected. Even though I have a
beautiful temple, I feel conflicted.
Delem: Why are you conflicted?
Sangut: My devotion to the temple is complicated,
because in my religion we have three basic
elements.
Delem: What are they?
Sangut: The Emotions, the Intellect, and the Body.
The most important thing is the feeling we have
about our religion. It doesn't matter if the temple
is luxurious. Even if the temple is luxurious, if you
don't have a strong feeling about your religion, it is
not good. It is hollow. The intellect. Even if you
know a lot about religious teachings, but you don't
put them into practice, it is hollow. The feeling for
to. Mani nyanan suwud nake kel nanceban umbul-
umbul yadnya. Umbul-umbul partai lantas di
Pura. Kel kudiang cang? De de Leeeem! Yen dadi
pemimpin to nak proses.
Delem: Proses apa?
Sangut: Yen suba luwung pekertin Meleme di Desa
di Banjar. De ajake sembahyang bersama masyarakat
cange, jeg pilihe Melem. Yen ba luwung. Apa
buin apa yang Melem lakukan to sudah diniMaya
Cakruati oleh masyarakat bersama. De de baange
janji jeg pilihe. Apin cang ngelah Pura luwung
keweh cang.
Delem: Ngudiang keweh?
Sangut: Miara keweh. Sebab cang meagama ada
dasar cang telu.
Delem: Apa?
Sangut: Rasa, rasio. Raga. Ne penting rasa agama.
Apin Pura mewah. Apin Pura mewah. Men dereng
rasa agama sing bagus, pocooool. Rasio. Apin liu
nawang tutur agama, men sing terapang pocool.
Rasa agamane penting. Kelan nak ne kuno-kuno
ngae Pura nak aluh-aluh ngae Pura.
politik. Permintaan saya, sungguh. Besok-besok
orang tidak lagi memancangkan umbul-umbul
upacara; umbul-umbul partai lantas di Pura,
bagaimana 'kan jadinya? Jangan! Jangan! Leeeeem!
Kalau menjadi pemimpin itu adalah sebuah proses.
Delem: Proses apa?
Sangut: Kalau sudah baik perbuatan Melem di desa,
dibanjar,takperlu untuk diajaksembahyangbersama
masyarakatnya, pasti Melem dipilih. Kalau sudah
baik. Apalagi apa yang Melem lakukan manfaatnya
sudah diniMaya Cakruati oleh masyarakat semua.
Tak usah dihumbar janji pasti dipilih. Bahkan bila
saya punya Pura bagus justru saya sulit.
Delem: Mengapa sulit?
Sangut: Memeliharanya sulit. Ada tiga hal yang saya
jadikan dasar beragama.
Delem: Apa?
Sangut: Rasa, Rasio, Raga. Yang penting rasa agama.
Kendati Puranya bagus. Walaupun Puranya mewah.
Namun rasa agamanya belum bagus, percumaaaa.
Rasio. Walau banyak tahu filsafat agama, kalau tidak
diterapkan percumaaa. Rasa agamanya penting. Itu
sebabnya orang dahulu membuat pura gampang-
gampang saja.
197
your religion is important. That's why it was so easy
for people in the past to build temples.
Delem: Why was it easy?
Sangut: Take a long stone, lay a flat stone on top of
it, and there you have it. It's called a Lingga Yoni
shrine. It is an inexpensive temple.
Delem: Why is that?
Sangut: You don't have to spend any money. You
just run down to the river to get the stones. Now
the world has progressed and people say they hold
their temples in high esteem. The temples get tafler
and taller, so that our esteem can grow higher and
higher. The world has progressed a lot in making the
temples higher, but they are no longer held in high
esteem.
Delem: Then how?
Sangut: Now the temple is esteemed only as high as
our heads. So Melem comes and brings money to
our temple in order to renovate it. But then it is no
longer esteemed as high as our heads.
Delem: Then how?
Sangut: It is lowered again to something that we
just carry on our shoulders, an obligation that our
generation passes down to our descendants. And
Delem: Ngudiang aluh-aluh?
Sangut: Make batu lonjong sik, jiine batu lempeng.
Tumpukne ba ditu. To raosange Lingga Yoni. Mudah
ajin Pura e.
Delem: Dadi keto?
Sangut: Tara ngelahang prebia. Ke tukade melaib
nyemak batu. Jani maju Gumie..., kelan aluh nak
ngae Pura. Kelan raosange Pura to sesungsungan.
Di duwur ngoyong joh Purae. Sungsunge diduwur.
lani maju-maju Gumine biin apikane Purae.
Ngeluwung-ngeluwungan Purae; suwud dadi
sesungsungan.
Delem: Dadi apa?
Sangut: Sesuwunan. Di nase ba ngoyong. Jani
teka Melem gebyar gebyur ngaba pipis ke Puran
cange. Apikan Melem Puran cange. Suwuuud dadi
sesuwunan.
Delem: Dadi apa?
Sangut: Tetegenan. Baat mekerug sentanan cange
tamiang. Apa buin idup keweh jani Leeeem. Anggon
amah basange gen keweh. Salihke menin Pura.
Delem: Kenapa gampang?
Sangut: Diambilkan satu batu lonjong ditumpuk di
atas batu bidang; itu yang dinamakan Lingga-Yoni.
Murah harga pembuatan Puranya.
Delem: Kenapa begitu?
Sangut: Tidak menghabiskan biaya. Pergi kesungai
mengambil batu. Sekarang dunia semakin maju...,
itu sebabnya orang gampang buat Pura. Makanya
Pura itu disebut sesembahan. Jauh, di atas tempatnya
Pura. Disembah jauh di atas. Sekarang dunia
semakin maju, lagi-lagi Puranya direnovasi lebih
apik. Semakin baik Puranya, tidak lagi menjadi
sesembahan.
Delem: Jadi apa?
Sangut: Jadi junjungan. Di atas kepala letaknya.
Sekarang Melem datang dengan gembyar-gembyor
membawa uang ke Pura saya. Melem perbaiki Pura
saya. Tidak lagi menjadi junjungan.
Delem: Jadi apa?
Sangut: Jadi pikulan. Berat sekali keturunan saya
mewariskan. Apalagi hidup sulit sekarang Leeeeem.
Untuk makan, isi perut saja sudah sulit. Apalagi
198
besides that, life today is difficult and different. It is
even hard to fill our stomachs, let alone renovate the
temple.
Delem: Ah. Ah. Ah. I'm trying to give you a donation,
but you don't want it. If I become governor school
tuitions will be free. There will be no more taxes.
Sangut: Ah, that is the voice of a drunken man.
Delem: Do I sound drunk?
Sangut: It's an old story. I hear it every day. Nobody
believes it. It's just a drunk man talking. It's going to
be like this or like that. The public is more intelligent
than that. They've got their eyes open. They've gone
to college. People are not so gullible anymore. They
don't believe in promises. They want the proof of
action. A promise is just a promise. It is the action
that matters.
Delem: What's wrong? Don't you agree with me?
Sangut: I did not say I don't agree. If Delem wants
to be a leader, I am in favor of it, but you haven't
yet been a leader of our neighborhood group in the
hamlet, and you're already dreaming of becoming
Governor. Ah, ah, ah, ah. I will tell you something,
Delem. If you want to be a leader, first you have to
lead yourself well, then lead your family well, your
wife. Be a leader to your neighbors. If you lead
Delem: lah ah ah ah. Ci ajak baang sumbangan sing
nyak. Yen kaka menek dadi Gubernur SPP gratis.
Pajak hapus.
Sangut: Ah munyi mabuk to.
Delem: Mabuk munyin cange?
Sangut: Uling pidan ba keto-keto. Ba ngelemah
dingeh cange. Ada sing nak percaya. Munyin nak
mabuk to. Kene sing keto, 'nak masyarakat jani
ba intelek ba melek. Ba pendidikan ba tinggi.
Nak sing nak gugue. Nak nu sing nak ngugu janji,
jani. Laksana anggone bukti. Nak janji obral janji.
Tinggal janji gen ia. Nak laksana ne pentingange.
Delem: Ci kenken ne? Ci sing cocok?
Sangut: Gang ada ngorang sing cocok. Yen ba nyak
Melem jadi, cang sing cocok ba. Di Banjar, dadi
sekhe semal sing taena. Mimpi dadi Gubernuuuuur.
Ah ah ah ah. Gang ngorin Lem. Yen benya dadi
pemimpin, memimpin diri sendiri malu! Ba bisa
memimpin diri sendiri, mimpin keluarga. Kurene
pimpin rumah tangga pimpin. Bagus memimpin
keluarga. Dadi pemimpin di Banjar. Kelian adat yen
memperbaiki Pura.
Delem: lah ah ah ah. kamu diberi sumbangan tidak
mau. Kalau aku naik menjadi Gubernur, SPP gratis,
pajak dihapus.
Sangut: Ah, itu ocehan orang mabuk.
Delem: Perkataan saya mabuk?
Sangut: Emang sejak dulunya udah begitu. Hampir
setiap hari saya dengar itu. Tidak ada orang percaya.
Ocehan orang mabuk itu. Omong-omong, orang
masyarakat sekarang sudah intelek sudah melek.
Sudah berpendidikan tinggi. Orang tidak percaya.
Sekarang ini, orang-orang tidak percaya dengan
janji-janji. Perbuatan yang menjadi bukti. Orang
janji, ngobral janji. Janji tinggal janji. Orang lebih
mementingkan perbuatan dari pada janji.
Delem: Gimana kamu ini? Kamu tidak cocok?
Sangut: Adakah saya bilang tidak cocok? Kalau
Melem bisa jadi, saya bakalan menolak. Di Banjar,
menjadi anggota grup menghalau tupai saja tidak
pernah. Mimpi jadi Gubernuuuuurrr. Ah ah ah
ah. Saya kasih tahu kamu. Lem. Kalau kamu
menjadi pemimpin, harus mampu memimpin
diri sendiri dahulu! Sudah bisa memimpin diri
sendiri, memimpin keluarga. Istri dipimpin, rumah
199
your family well, you can become a leader in your
community, a councilor or something like that. If
you do that well you can become the leader of your
village. You can become an alderman and then get
promoted to district chief. After that you can become
mayor. And after you have had success as a mayor,
then you will become Governor.
Delem: After Governor, I can be elected President.
Sangut: Ah, in Java it is unlikely you would get the
votes to be President. That position is impossible.
We {in Bali) are happy if we can get three ministerial
positions {in the Federal Government). How can you
expect to become President? You should settle for
what you can get. I am being honest, because it is
just you and I here talking between ourselves.
Delem: What's wrong with you? Your brain is N.C.,
Not Connected. Your thinking is behind the times.
Oh, what are you talking about? You're saying that
people can't make progress, that they can't flourish.
Just look at you. Compare yourself to me. We are
faaar faaaar apart.
Sangut: We are close, but you say we are far.
Delem: Faaaar. Far apart if you compare the way we
live. What time do I wake up, Sangut?
Sangut: What time do you wake up?
Delem: Never later than four in the morning. I wake
up before the roosters crow. Did you know I'm the
one who tells the roosters what time it is?
Sangut: Waaaah! You are a little arrogant.
Delem: As soon as I wake up there is a glass of clear
water on the table. Your sister Nyoman, my wife,
Ibu Erik, has it ready for me. Ha. Ha. Drinking clear
water when you get up in the morning improves the
circulation of your blood vessels. Ooooh, not like
you who gets up at ten. You have grains of sand in
apa. Luwung memimpin kelian adat dadi Bendesa.
Ooo. Suwud dadi Bendesa. Luwung benya dadi
Bendesa angkate dadi Camat. Suwud dadi Camat
Bupati. Ba luwung sukses di Kabupaten, dadi lantas
Gubernur.
Delem: Suwud Gubernur pilihe dadi Presiden.
Sangut: Ah di Jawa kuangan Jelema anggo Presiden.
Sing mungkin ngateg mai meeduman. Maan dadi
Mentri neng Telu gen ba demen atie. Kel nagih dadi
Presiden ba benya. Nak biasa-biasa gen omongan
nake. Ne ada-ada dini gen nake.
Delem: Ci kenken ci ne? Otak ci Kuper nyen. Ci
aduh ci telat mikir ne. Aduuuh nak. Orang nak
tuna maju tuna berkembang ci kene. Yen kaka tolih
ci aduuuh. Yen kaka teh saihan kaka. Kaka ajak ci
joooooh. Jooh, joooh.
Sangut: Awak paek benya ngorang jooh.
Delem: Jooooh. Di bidang kehidupan joh saing. Joh
joh joh. Ooo kaka bangun jam kuda Ngut?
Sangut: Jam kuda bangun?
Delem: Paling sing jam empat pagi. Konden
mekruyuk siap kaka bangun. Nak kaka nundun
siap pang ci nawang.
Sangut: Beeeeh sombong ne.
Delem: Mara bangun, diatas meja air putih
segelas. Embok Nyoman ci kurenan kaka Buk Erik
menyediakan. Ha ha ha. Mara bangun minum air
putih pang nyak lancar urat-urat darah to. Ooo sing
keto cara ci bangun jam dasa. Mara bangun pecehe
aman sentule melaib ke paon ngidu. Mara bangun
tangga dipimpin. Sukses memimpin keluarga, jadi
pemimpin di banjar. Ketua adat. Sukses memimpin
ketua adat, menjadi pemimpin desa adat. Berhasil
anda menjadi pemimpin desa adat, diangkat
menjadi Camat. Setelah menjadi Camat, Bupati.
Setelah sukses di Kabupaten, lantas jadi Gubernur.
Delem: Sehabis jadi Gubernur, dipilih menjadi
Presiden.
Sangut: Ah, di Jawa mana kurang orang untuk
dijadikan Presiden. Tidak mungkin kebagian sampai
ke sini. Dapat posisi tiga Menteri saja sudah senang.
Mau minta jadi presiden lagi? Yang biasa-biasa saja
diomongkan. Yang ada diseputar ini sajalah.
Delem: Bagaimana kamu ini? Otak kamu Kuper
ini. Kamu... waduh kamu ini telat mikir. Aduuuuh
orang. Orang tidak bisa maju kamu tidak bisa
berkembang. Kalau aku lihat kamu aduuuh. Kalau
aku bandingkan aku dengan kau terlalu jauh.
Jauuuuhhh, jauuuuhhhh, jauuhhhh.
Sangut: Orang kita dekat, kok kamu bilangnya
jauh.
Delem: Jauuuuh. Di bidang kehidupan; jauh
tanding. Jauh, jauh, jauh. Ooo aku bangunnya jam
berapa, Ngut?
Sangut: Jam berapa bangun?
Delem: Setidaknya jam empat pagi. Ayam belum
berkokok, aku sudah bangun. Akulah yang
membangunkan ayam. Agar kamu tahu saja.
Sangut: Waaaah sombongnya.
Delem: Begitu bangun, di atas meja, air putih
segelas. Embak Nyomanmu, Bu Erik istriku yang
menyediakannya. Ha ha ha. Baru bangun minum
air putih, agar urat-urat darah itu lancar. Ooo
tidak seperti kamu; bangunnya jam sepuluh. Baru
bangun kotoran matamu masih sebesar buah sentul;
200
your eyes as big as melons and you run to the kitchen
to warm yourself by the fire. For me it's clear water
as soon as I get up. After I drink the clear water, your
sister Nyoman gives me a back massage. "Let's go to
aerobics, dear husband." We go the aerobic center
right here in the neighborhood. And on the way
while we are holding hands she sings a little song.
Sol sol dooo. Do la so. Sol Doo. Do la sol.
La di dah. La di dah.
Sangut: What is that ?
Delem: That's the sound of your sister Nyoman's shoes
on the road. Sol sol paaa. Pa mi re. Mi sol sol dooo.
Do la sol. Byug go byug. My slippers flop on the
asphalt. My Gobyug-gobyug. Degleg-degleg. Aaaah,
it's like a musical melody. All along Fm wearing a
little towel around my neck.
Sangut: It's good you wear a little towel around your
neck so people can't see your goiter.
Delem: Oooo. We come home from aerobics.
Sangut: You come home from aerobics.
Delem: The servants have already set the table. Hot
coffee with milk. Spice cigarettes, the Gudang Garam
Merah brand. There's a newspaper too.
Sangut: Wow.
Delem: I drink coff'e. Light up a cigarette. Read
the newspaper. Look at the view. Listen. Find out
air putih. Suwud minum air putih sigite bangkiang
kaka ken Embok Nyoman cie. "Kang mas robik yuk".
Erobik. Di alun-alune robik. Melinder dini. Sambil
kaka medandan tangan, megending-gending kecil.
Sol sol doooo. Do la sol. Sol sol dooo. Do la sol.
Gedegleg-gedegleg.
Sangut: Apa to?
Delem: Sepatu tinjik Embok Nyoman ci mekaplug
di aspale. Sol sol paaa. Pa mi re. Mi sol sol dooo.
Do la sol. Byug go byug. Pantopel kaka mekaplug
di aspale. Gobyug-gobyug. Degleg-degleg. Aaaah
cara melodi lagu. Sambilang kaka mekalung cerik
anduk.
Sangut: Beneh kalungan cerike. Ada nak nepukin
pang saru gondongane.
Delem: Ooooo. Teka li erobik.
Sangut: Teka uli erobik?
Delem: Nganteg jumah di atas meja pembantu ba
nyiapin to. Kopi susu, roko kretek Gudang Garam
Merah. Di tambah koran.
Sangut: Pih.
Delem: Nyiup kopi ngisep roko, memaca koran.
Mendengar melihat pemandangan. Bagaimana
berlari ke dapur menghangatkan diri. Baru bangun
air putih. Selesai minum air putih, pinggangku
dicubit oleh embak Nyomanmu. "Kang mas erobik
yuk". Erobik. Di alun-alun erobik. Berputar di sini.
Sembari aku bergandengan tangan, bernyanyi-
nyanyi kecil. Sol sol doooo. Do la sol. Sol sol dooo.
Do la sol. Gedegleg-gedegleg.
Sangut: Apa itu?
Delem: Sepatu tinjik Embak Nyomanmu
berbenturan di aspal. Sol sol paaa. Pa mi re. Mi sol
sol dooo. Do la sol. Byug ge byug. Pantopel kakak
berbenturan di aspal. Gobyug-gobyug. Degleg-
degleg. Aaaah seperti melodi lagu. Sembari aku
berkalung handuk.
Sangut: Pantas dikalungkan handuknya. Ketika
dilihat orang, agar gondoknya tidak kelihatan.
Delem: Ooooo. Sekembalinya dari erobik.
Sangut: Sekembali dari erobik?
Delem: Sesampai di rumah di atas meja pembantu
sudah menyiapkan kopi, susu, rokok kretek Gudang
Garam Merah. Di tambah Koran.
Sangut: Wah.
Delem: Minum kopi, menghisap rokok, membaca
koran, mendengar, melihat pemandangan.
203
about the political situation in the country. What's
the condition of the economy? What's happening in
Iran? Not like you: a frog in a coconut shell who
doesn't know what's happening in the world.
Sangut: Wow.
Delem: Right, Sangut?
Sangut: Right. After your hot cofi^ee, Gudang Garam
Merah spice cigarettes, and newspaper, what then?
Delem: I take a shower. I come into the bathroom
and everything's ready: the hot water, the cold water,
the medium warm water. All I have to do is push the
button.
Sangut: Oh, in your bathroom. . . you just push.
Delem: Yes, it's electric.
Sangut: Oh, it's electric.
Delem: In the bathroom, your sister Nyoman and I
get in the Jacuzzi.
Sangut: What do you mean, Jacuzzi?
Delem: There is a half bucket of water for both of us.
We splash it around. Guzzy, cuzzy, cuzzy (splashing
sounds). It's a Jacuzzi.
Sangut: After the Jacuzzi?
Delem: Lunch. The servants already have it on the
table. Four courses for health. Five for perfection
situasi politik dalam negeri, bagaimana. Keadaan
ekonomi engken? Pang de ci katak dalam
tempurung, sing nawang perkembangan jaman.
Sangut: Pih.
Delem: Pas Ngut?
Sangut: Pas. Suwud kopi susu, roko kretek Gudang
Garam Merah ditambah Koran...?
Delem: Mandi. Kaka mecelep ke kamar mandi suba
tersedia air hangat, air dingin setengah mateng.
Tinggal nyelek.
Sangut: Ooo di kamar mandi... celek.
Delem: Saklare!
Sangut: Ooo saklare.
Delem: Di kamar mandi kaka ajak Mok Nyoman ci
mandi uap.
Sangut: Imih ane kenken madan mandi uap?
Delem: Ada iyeh tengan ember pang nyandang ajak
dadua. Golek uap uap uap uap. Mandi uaaaap.
Sangut: Habis mandi uap?
Delem: Makan siang. Di atas meja pembantu sudah
menyiapkan 4 sehat 5 sempurna.
Bagaimana situasi politik dalam negeri? Bagaimana?
Bagaimana keadaan ekonominya? Agar kamu
tidak seperti katak dalam tempurung. Tidak tahu
perkembangan jaman.
Sangut: Wah.
Delem: pas Ngut?
Sangut: Pas. Sehabis kopi susu, rokok kretek Gudang
Garam Merah ditambah Koran...?
Delem: Mandi. Aku masuk ke kamar mandi, sudah
tersedia air hangat, air dingin, air setengah matang.
Tinggal pencet.
Sangut: Ooo di kamar mandi... mencetnya.
Delem: Saklarnya!
Sangut: Ooo saklarnya.
Delem: Di kamar mandi aku dengan embak
Nyomanmu mandi uap.
Sangut: Wah, yang bagaimana namanya mandi
uap?
Delem: Ada air setengah ember agar cukup berdua.
Golek uap uap uap. Mandi uaaaap. (Uap dalam
bahasa Bali berarti usap).
Sangut: Habis mandi uap?
Delem: Makan siang. Di atas meja, pembantu sudah
menyiapkan 4 sehat 5 sempurna.
204
Sangut: And after lunch?
Delem: Sleeeping.
Sangut: That's what a pig does. A pig sleeps right
after it eats.
Delem: It's good for your digestion. Not like you,
running around after you eat. ft makes you too thin.
You need a lot of flesh to hold your bones together.
Otherwise your body will fall apart.
Sangut: Wow. After sleeping?
Delem: At four in the afternoon I run to the
community hall to do the Poco-Poco dance exercises
with your sister Nyoman. One two three four. Stretch,
shake your butt and squeeze. One two three four.
Shake your butt and squeeze. ''Mens Sana in Corpore
Sana" (quoting the Latin phrase). "A Healthy Soul in
a Healthy Body."
Sangut: That's right.
Delem: Isn't that right, Ngut?
Sangut: Right. And after the Coconut exercises?
Delem: Poco-Poco! Not coconut.
Sangut: After the Poco-Poco exercises?
Delem: A shower.
Sangut: You go to the bathroom again and push the
buttons for hot water, cold water, medium warm
water and a Jacuzzi. Then after the shower?
Sangut: Habis makan siang?
Delem: Bubuk.
Sangut: Eee angkal cara celeng? Yen celeng suwud
makan pules.
Delem: Pang nyak medegdegan nasie. Sing keto cara
cie, suwud makan ngelincaaang. Kal awak ci berig
bregidig. Ne aget kulit ngaput tulang. Yen sing keto
ngerosok bangken cie.
Sangut: Bih. Habis bubuk?
Delem: Jam 4 sore melaib ke wantilan senam poco-
poco ajak Mok Nyoman cie. Tu Wa Ga Pat. Tarik
goyang ajit jepit. Tu Wa Ga Pat tarik goyang ajit
jepit. Aaaah. Men sana in corpore sana. Dalam
badan sehat ada jiwa yang sehat.
Sangut: Pas.
Delem: Pas Ngut?
Sangut: Pas. Habis senam ngoco?
Delem: Poco-Poco! Ngoco-ngoco.
Sangut: Habis senam poco-poco?
Delem: Mandi.
Sangut: Biin mecelep kamar mandi biin celek.
Beneh, air hangat, air dingin, setengah mateng,
mandi uap. Habis mandi?
Sangut: Habis makan siang?
Delem: Tidur.
Sangut: Lho... kok seperti babi? Kalau babi setelah
makan, tidur.
Delem: Agar nasinya mengendap. Tidak seperti
kamu, sehabis makan tidak bisa diam. Itu sebabnya
kau kurus kering. Syukur saja ada kulit membungkus
tulangmu. Kalau tidak, berserakanlah bangkaemu.
Sangut: Wah. Habis bobok?
Delem: Jam 4 sore, berlari ke wantilan senam poco-
poco bersama embak Nyomanmu. Tu, ua, ga, pat,
tarik goyang pantat jepit. Tu, ua, ga, pat, tarik goyang
pantat jepit. Aaaah. Mensana incoporosana. Di
dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Sangut: Pas.
Delem: Pas Ngut?
Sangut: Pas. Habis senam ngoco...?
Delem: Poco-poco! Ngoco-ngoco.
Sangut: Habis senam poco-poco?
Delem: Mandi.
Sangut: Lagi masuk ke kamar mandi, lagi mencet.
Benar, air hangat, air dingin setengah matang, mandi
uap. Habis mandi?
205
i
1 V' 'V _ r
8
iri
•i
''H
Delem: Shopping
Sangut: Where?
Delem: At the shopping center.
Sangut: Where ?
Delem: In Nusa Dua. {sings a radio commercial) "Let's
go have fun, let's go have fun at the Nusa Dua hotel."
Haaa. You should know what my wife is like. Ibu
Erik is always making moves in front of the mirror.
My wife never forgets to wear mini skirts, blue jeans,
and a see-through t-shirt without a bra.
Sangut: Aduuuh, I feel cold all over.
Delem: And her hair?
Sangut: Her hair?
Delem: She lets her hair hang down. She irons it to
make it straight. She wears black sun glasses. Your
sister Nyoman dresses like a tourist. Sandals and
everything.
Sangut: What?
Delem: Karviill brand. She carries a mini-tote bag.
Sangut: What's in the bag?
Delem: Cosmetics.
Every time you turn around she's looking in the
mirror. Every time you turn around she's looking in
the mirror, chckety, clickety in her high heeled shoes.
That's your sister Nyoman. And your sister Nyoman
206
Delem: Berkemas.
Sangut: Kija ne?
Delem: Shopiiing.
Sangut: Kija?
Delem: Nusa Dua. (gending)"/a/an melali, jalan
melali ke hotel Nusa Dua. Haaaa. Kurenan kaka pang
ci nawang. Buk Erik di malun lemari tunggang-
tungging. Kurenan kaka tak lupa, nganggon rok
mini, jin ketat, kaos oblong tanpa BH.
Sangut: Aduuuuh dingin-dingin awake.
Delem: Rambut?
Sangut: Rambut?
Delem: Dibiarkan mayang terurai. Direbonding.
Pakai kaca mata hitam. Cara toris Mok Nyoman
cie. Sandalnya?
Sangut: Apa?
Delem: Karviiiil! Bawa tas mini.
Sangut: Dalam tas?
Delem: Kosmetik. Sebilang pengkol masuluh.
Sebilang pengkol masuluh. Teklik. Teklik Mok
Nyoman cie. Dan Mok Nyoman ci tak lupa pakai
farfum seprai Casablancaaa. Selat satus meter jeg
ngabyur kuren kaka. Yen ci maan nepuk kuren
Delem: Berkemas.
Sangut: Kemana ini?
Delem: Shopiiing.
Sangut: Kemana?
Delem: Nusa Dua. (geniding)"Ha>'o/a/j berlancong,
mari berlancong, ke hotel Nusa Dua. Haaa. Istriku,
agar kau tahu aja; Bu Erik, di depan cermin almari
bersolek. Istriku tak pernah lupa memakai rok mini,
jin ketat, kaos oblong tanpa BH.
Sangut: Aduuuuh menggigil tubuhku.
Delem: Rambut?
Sangut: Rambut?
Delem: Dibiarkan mayang terurai. Direbonding.
Pakai kaca mata hitam. Seperti turis saja embak
Nyomanmu. Sandalnya?
Sangut: Apa?
Delem: Karviiiil! Bawa tas mini.
Sangut: Dalam tas?
Delem: Kosmetik. Setiap tikungan bercermin.
Setiap tikungan bercermin. Teklik teklik embak
Nyomanmu. Dan embak Nyomanmu tak lupa
pakai parfum sepray Casablancaaa. Jarak seratus
meter menyebar bau istriku. Kalau kamu sempat
S'
<. * •. "»v
^t. .#^
•^*:
;•»'
*■••«- .-.'i-'
I
■"^
.•••^-
f/ .vl
never forgets to use Casablanca perfume spray. You
can smell my wife from a hundred meters away.
You could faint from seeing my wife. Her chest is
full. Her waist is small. Her thighs are plump. She's
shaped like an Australian horse.
Sangut: Ahhh, I'm feeling cold all over. And after
shopping?
Delem: Tim-Tim.
Sangut: What?
Delem: My private chauffeur is already outside. He
waves. Your Timor-Timor Luxury Sedan is parked
outside. Timor-Timor. "Hurry, Boss." That's what
my chauffeur calls me. He pushes the remote control
ignition button to start up the Luxury car from a
meter away. "Tililut. Tillilut." That's what a luxury
car sounds like when you start it up. Not like when
you start up your car. "Ke ke ke keg. Ke ke keg." You
have to push it. Ahhhh. I sit in the back.
Sangut: Why does the boss sit in the back?
Delem: If there's an accident the chaffeur dies. You
have no idea. Politicians have to be careful, you know.
Ahhh. I close the door of the sedan. "Jeeeeg."
Sangut: What is that?
Delem: That is the sound of my car door closing.
Not like your car. "Blongkaaag." And when I'm
inside the car I never forget to play Rock and Roll
with big "Bazooka" brand speakers: 'jus, jus, jus." If
I pass by, the people hear the noise and say, "That
must be somebody famous. Ooooooh. He's playing
'jus, jus, jus.'" I eat melon. You chew on crabapples.
I take a shower in the bathroom. You bathe in the
river. As soon as you start to wash your face, a big
turd floats downstream from the north. Aaaaa. You
are stupefied. Yes, yes, you are dazed. Now you
feel ashamed. That describes you exactly. You feel
ashamed. You are in a daze. Yes, yes, yes. Ooohh,
my mouth is sore.
kaka aduh jeg bisa pingsan niwang ci. Tangkah
endig. Bangkiang cenik. Nyengkled. Jit tegik. Arah
cara kuda Australi jenengne.
Sangut: Aruh dingin-dingin awake. Habis
berkemas?
Delem: Tim-Tim
Sangut: Apa?
Delem: Sopir pribadi ba diwang ba ngewangsiten.
Sedan Tumor parkir. Timor-Timor. Timor-Timor.
"Cepet bos!". Keto sopir kaka. Ngidupang mobil
mewah selat satu meter mecik rimut. Tililut, tililut.
Rimut mobil mewahe. Sing keto ci ngidupan motor
cie. Ke ke ke ke keg. Ke ke keg. Nyogok misi man.
Aaaah kaka negak di belakang.
Sangut: Nguda bos di belakang negak?
Delem: Di tabrak montore pang sopire bangka. Ci
sing ngelah daya. Orang politik kenken ci. Aaaa
nutup pintu sedan, jeeeeg.
Sangut: Apa to?
Delem: Munyin pintue tooo. Sing keto montor cie,
Blaaaaag. Aaaa dalam Sedan tak lupa muter lagu
Rock and Roli salonnya Bazooka. Jus jus jus. Asal
kaka maan liwat diwangan pasti ba uyut. Pasti Pak
Ngurah ne, ooooo. Orang jos ai jos ae. Kaka makan
Melon ci Lempeni gutgut ci. Pang milu ci ngamah
buah. Kaka mandi di kamar mandi. Ci pragat
manjus di telabah. Mara masugi tai gede anyud
uling kaja. Aaaaah. Ne ne bengong ci bengong ci.
Ne ne lek atin ci . Lek atin ci. Otopresis ci ne. Lek
atine. Bengong ci ye ye ye. Duh sakit bungut wih.
melihat istriku, waduh bisa pingsan kamu. Dadanya
busung. Pinggang kecil, langsing. Pantat menukik.
Walahwalah kayak kuda Australi aja tampangnya.
Sangut: Aduuuh menggigil tubuhku. Habis
berkemas?
Delem: Tim-Tim.
Sangut: Apa?
Delem: Sopir pribadi di luar udah memberi tanda.
Sedan Timor parkir. Timor-Timor, Timor- Timor".
Cepat Bos". Kata supirku. Menghidupkan mobil
mewah dari jarak satu meter dengan mencet rimut.
Tililut, tililut. Rimut mobil mewahnya. Tidak seperti
menghidupkan motormu. Ke ke ke keg. Ke ke keg.
Mesti didorong lagi. Aaaah; Aku duduk di belakang.
Sangut: Kenapa bos duduk di belakang?
Delem: Kalau-kalau motornya tabrakan, agar
supirnya yang mati. Kok enggak punya akal kamu.
Pikiran politik! Gimana kamu ini. Yaaa... pintu
sedan ditutup, jeeeeg.
Sangut: Apa itu?
Delem: Bunyi pintunya, seperti itu. Tidak kayak
motormu, Blonkaaag. Yaaa di dalam sedan tak lupa
memutar lagu Rock and Roli, salonnya Bazooka. Jus
jus jus. Setiap aku berkesempatan lewat dijalanan
pasti gaduh. Pasti Pak Ngurah ini, oooo. Bilang jos
ai jos ae. Kalau aku makan melon, kamu makan
lempeni. Agar kamu ikut-ikutan makan buah. Aku
mandi, di kamar mandi; kamu selalu mandi di
sungai. Begitu basuh muka, kotoran besar datang
dari utara. Aaaah. Ye ye bengong kamu, bengong
kamu. Ye ye malu kan kamu, malu. Kamu ini
Otopresis. Kamu ini dederu malu. Bengong kamu
ye ye ye . Aduh sakit mulutku.
208
Sangut: Aruh.
Delem: Why do you say, 'aruh aruh.' Ooo you are far
far far away.
Sangut: I am thinking deeply.
Delem: What are you thinking about?
Sangut: I'm thinking about what I know. You, Delem,
work with me as a servant in the Palace of Segara
Lungsur. At four in the morning when it is still
dark I wake you up. 'Delem, let's go to work at the
Palace, Delem. When we get to the palace we clean
up the grass, cook, and sweep. We wash clothes.
We iron them. We work until ten in the evening
and then go home. The next day it's the same thing,
early in the morning. 'Delem, let's go to work in the
Palace, Delem. We get to the Palace. We cut the
grass, sweep, cook, clean up. Every day it's like that.
So I am thinking what's all this about high-heeled
shoes and push button bathrooms and Timur luxury
cars and Casablanca perfume? When did it happen
Deleeeeeeem?
Delem: You ask me when. Those are just my dreams.
That's how we'll live when we are rich. What do you
think about that?
Sangut: Uhe he he he he. What a dope I was, ha ha. I
was taking you so seriously. But it was just a dream.
The Luxury Timor Sedan. It was all in your head.
Sangut: Aruh.
Delem: Nguda aruh aruh ci? Oooo jauh, jauh,
jauh.
Sangut: Orin cang nak berpikir keras ne.
Delem: Apa pikir?
Sangut: Ne tawang cang kan, Melam ajak cang
memarekan dini. Di Puri Segara Lungsur. Semengan
nu peteng ba dundun cang Melam. Jam 4. Lem mai
ngayah ke Puri Lem. Nganteg di Puri, ngudud,
masak , nyampat. Mencuci , nyetrika. Nganti jam
dasa petengne mara mepamit. Mulih to. Bin mani
semengan biin. Leeem ngayah ke Puri Lem. Ked di
Puri ngudud, nyampat, masak, nyuci. Ngelemah
keto to. Ne pikir cang . Gobyog-gobyog. Teklik-
tekilik. Timor. Kasablanca pidan to Leeeem ?
Delem: Pidan takonang cie. To nak mara cita-cita.
Kayange sugih, keto nyan bena idup. Kenken baan
ci ngenehang to.
Sangut: Uhe hehehe he he. Dong he hehe. Malah
mesedenan cang ningehang. Mara cita-cita. Misi
sedan Timor. Awak pengesan keles sing ngelah.
Sangut: Aduh.
Delem: Kenapa kamu aduh aduh? Ooo jauh, jauh,
jauh.
Sangut: Saya ini selagi berpikir keras.
Delem: Mikirin apa?
Sangut: Sejauh yang saya tahu, Melem dengan saya
'kan mengabdi di sini, di Puri Segara Lungsur. Di pagi
buta saya mesti membangunkan Melem. Jam 4. Lem
mari kita menghamba ke Puri, Lem. Sesampainya di
Puri, membersihkan rumput, memasak, menyapu,
mencuci, menyetrika. Setelah jam sepuluh malam
baru pulang. Ya pulang. Keesokan paginya lagi;
Leeem menghamba ke Puri Lem. Sesampainya di
Puri memotong rumput, menyapu, memasak, nyuci.
Berhari-hari begitu terus. Yang saya tak habis pikir:
gobyog-gobyog. teklik-teklik. Timor. Kasablanca.
Kapan itu Leeeem?
Delem: Kapan? Tanyamu. Itu kan baru cita-citaku.
Bila aku 'udah kaya, begitulah kita hidup. Bagaimana
caramu memikirkan itu.
Sangut: Uhe hehehe he he. Dong he hehe. Waduh
serius nian saya mendengarkannya. Ini hanya baru
cita-cita? Mengendarai sedan Timor? Pemarut
209
You don t have any of it.
Delem: You talk too much.
Sangut: If my sister really wore clickety click high
heels to the gym she would break her foot. One Two
Three Four. Stretch, shake your butt, squeeze.
Delem: You talk too much.
Sangut: Aruhh. So she uses Casablanca perfume
spray, does she? Whenever I meet your wife she
smells like a goat. One Two Three Four. Stretch,
shake.
Delem: You talk too much.
Dalang: Deleeeem.
Delem : Yes, here I am. {Delem jumps off the screen
in response to the call of the dalang puppeteer).
Sangut: If he wasn't like that, he wouldn't be Delem.
That's just the way he is. That's Mr. Delem. Mr.
Optimist. His eyes are always looking up. He never
ever looks down at the ground. He doesn't know
the ground is under his feet. He just looks up. He
can't bend his neck down because of the goiter under
his chin. That's what you call a person who wants a
luxurious life-style. A luxury life-style. Sometimes
he will do anything he can to reach that goal of
luxury. Delem is a good painter, but his paintings
never sell. So I asked him, "Hey, how is it going?"
"I made a painting." "What kind of painting." "You
Delem: Peta gen ci.
Sangut: Dong misi teklik-teklik sepatu tinjik. Dong
cang nolih batis kurenan Meleme belah-belah tepuk
cang. Tu Wa Ga Pat. Tarik goyang ajit jepit.
Delem: Petaaaa.
Sangut: Aruuuh. Dong ngangon parfun seprai
Casablanca. To cang ngimpasan kurenan meleme
cara kambing meuyeng bone. Tu Wa Ga Pat. Tarik
goyang
Delem: Petaaaa.
Dalang: Deleeeeem.
Delem : Tiaaang.( Delem makecos).
Sangut: Yen sing I Melem sing keto. Nak mula
biasa to Melem . To Pak Melem. Pak Beres to.
Matae nyengenget melat menek to. Sing taen, sing
taen sing nolih tanah. Tawang sing tanahe beten.
Nyengenget gen terus ne. Gangsele ken baongne
beten. Itu namanya manusia yang bergaya hidup
mewah. Bergaya hidup mewah. Kadang kala
untuk mencapai semua tujuan kemewahan itu
menghalalkan segala cara. Melem nak duweg
melukis ya. Kalo sing payu-payu lukisan ya e, keto.
Raga ba tes ajake. "Yuk". Keto. Engkene? "Ngae
lukisan puk". Lukisan apa gae? "Anun Pak anu.
kelapa rusakpun kamu tak punya.
Delem: Comel amat kamu.
Sangut: Aduh berisi teklik teklik sepatu tinjik.
Waduh ku lihat kaki istrimu pecah-pecah, Melem.
Satu, dua, tiga, empat, tarik goyang pantat jepit.
Delem: Ngomeeeelll.
Sangut: Aduuuh. Dong memakai parfum sepray
Casablanca. Ketika aku berdampingan dengan
istrimu, Melem, baunya ya ampun, amis, kayak
kambing dikibas. Tu wa ga pat. Tarik goyang
Delem: Ngomeeeelll.
Dalang: Deleeeem.
Delem : Hammmbaaa. (delem meloncat masuk ).
Sangut : Kalau tidak begitu, tidak I Melem, namanya.
Emang tabiatnya Melem seperti itu. Itu Pak Melem,
Pak Beres dia. Mata mendeleik ke atas. Tidak pernah,
tak pernah menoleh tanah. Dia acuh dengan tanah
di bawah. Menolehnya ke atas saja. Lehernya yang
mengganjal. Itu namanya manusia yang bergaya
hidup mewah. Bergaya hidup mewah. Kadang
kala untuk mencapai semua tujuan kemewahan itu
menghalalkan segala cara. Melem, orangnya pintar
melukis. Tetapi tidak laku-laku lukisannya. Seperti
itulah. Saya lantas diajak. "Yuk". Begitu. Bagaimana
ini? " Buat lukisanlah " Buat lukisan apa? Itu,
211
know, one of those by whatsisname. A Gunarsa
copy." It's okay to make a copy. Of course people
can make copies. We can paint copies of things by
our friends. But we should put our own signature
underneath, so it is understood that we were making
a copy. Delem did it differently. He made a copy and
signed Mr. Gunarsas name underneath. Friends like
that can bankrupt you. That cannot be allowed. It is
a violation of copyright, of what is called intellectual
property rights. That wrongs the rights. {The original
pun plays on the similarity between the acronym for
"intellectual property rights and the word for battery,
'HAKI' and 'aki\ by joking that the battery is dead).
This is what Mr. Gunarsa is fighting against. Steadily,
like the sun coming up in the east, he has been
struggling for years to establish intellectual property
rights for artists. In the past, no one thought about
it. How difficult was it for the great dancer Mario
to invent his choreography. Now there are people
who have recorded it on DVD's. But Mr. Mario
never saw a penny from them. I should say Mr.
Mario's heirs never saw a penny, because Mr. Mario
has already passed away. It shows that we have to
stay aware, so that the creativity of artists does not
become bankrupt. People talk about it all the time.
Artists are tired of other people profiting from their
work. So we have to stay vigilant. In the past tourists
would come and artists would be happy to let them
take photos. But now the world has changed. There
is a thing called copyright and people should know
the laws to protect themselves. That's why we should
stand behind Mr. Gunarsa in his struggle to establish
copyright laws for artists. Tomorrw they say Gunarsa
will go to court. I will be standing in the back with
my belt (sabuk). I will bring my thick army belt
(sabuk kopel), so if there is a riot I can use it as a
weapon. People can be difficult these days. That is
why I often have to use the word difficult. Nowadays
212
Gunarsa tempa". Nempa dadi. Kan niru nak mula
dadi. Iraga ngambar nempa anun timpal dadi. Jin ja
tekenan ragae betene. Pang tawange ya raga niru to.
Melem len. Nempa gambaran, teken Pak Gunarsae
jin betenan. Timpale sing bangka, timpale. To ba
menghalalkan segala cara. To menghina adane hak
cipta. Ne raosange HAKI. Aki suak jani. To Pak
Gunarsa lawan. To nak Matahari dari timur to. Inih
uli tiban-tiban memperjuangkan hak cipta to. Hak
Atas Kekayaan Intelektual. HAKI to. Uling pidan
nak ba biasa keto to. Maestro Mario to kudang,
kuda ya keweh ne ngae tari to. Jani duweg ba nak
rekam VCD ada. Pak Mario nepuken sing unduk.
Ngorang ia ja Pak Mario sing ada. "Dadi rekam
ne". Ada sing ngorang ia. Pak Mario. Sentanane
nak sing nepukin unduk. Makane perlu raga sadar
jani. Pang de nganti kreativitas senimane bangkrut
ulian ento. Sesai ba ngeraosang. Dong senimane
tuyuh orang lain ne anu. Ne motah to. Nah ne patut
sadar ajak makejang. Yen cara pidan teka Tourist
nyak foto gen ken torise ba demen atie. Pang maan
me foto. Iraga to, Jani nak Gumi suba maju. Serba
makejang pada intelek-intelek. Suba nawang aturan
to. Makane jani mari iraga selalu bareng di belakang
Pak Gunarsa. Memperjuangkan Hak Cipta ne ento
bareng. Biin mani kone Pak Gunarsa kel bareng
mepengadilan ento. Raga kel ngalih sabuk uling di
belakang ne. Sabuk Kopel kel aba. Yen ada kerusuhan
pang aluhang ben ngelamet. Apan nak keweh jani.
Mawinan raga sai ngeraosang keweh. Ada nak
unjuk rasa keto. Tembak ken Polisi. Polisi kena ba
anu. Tembak ken Polisi. Aaaa yen Polisi kena jagur
sing kena to. Ba biasa keto. Makane jani iraga sadar-
sadar ajak makejang. Orang ngalih nak sadar keweh.
Raga pang sing ulian nak keto. Ngudiang raga dadi
Manusa memarekan sik Raksasa ne momo-momo
keto. Raga Manusa sik Raksasa memarekan, perah
kewehe atie. Ngajak Raksasa model-model keto jeg
Pak itu, lukisan Gunarsa ditiru". Meniru boleh.
Bukankah meniru dibolehkan. Kita menggambar
meniru milik orang boleh. Beri tanda tangan kita
sendiri dibawahnya. Agar diketahui kita meniru
itu. Melem, lain dia. Meniru gambaran, tanda
tangannya Pak Gunarsa dibubuhi dibawahnya. Kan
itu dapat membuat teman bangkrut. Orang seperti
itu namanya menghalalkan segala cara. Itu artinya
menghina hak cipta. Yang disebut HaKI. Akinya
sekarang suak. Pak Gunarsa dilawan. Dia itu ibarat
matahari dari timur, dia. Ya, dari tahun-ketahun
tetap memperjuangkan hak cipta, dia itu. Hak Atas
Kekayaan Intelektual, HaKI itu. Emangnya sejak
dahulu sudah terbiasa seperti itu. Betapa sulitnya
Maestro seperti Mario, buat tarian. Sekarang banyak
orang pintar ada yang merekam ke dalam VCD. Pak
Mario tidak tahu apa-apa tentang itu. Bilangpun
sama Pak Mario tidak pernah. Keturunanyapun
tidak tahu apa-apa juga. Makanya kita perlu sadar
sekarang ini. Agar jangan kreativitas seniman sampai
bangkrut, karena itu. Sudah sering dibicarakan.
Yahhh.. senimanya yang payah, orang lainlah yang
menikmat, ya untungnya itu.Nah semua kita mesti
sepatutnya sadar. Kalau seperti dulu memang kalau
turis datang memfoto saja membuat hati sudah
senang. Agar pernah saja berfoto, diri kita tuh.
Sekarang ini orang dunia sudah maju. Semua pada
intelek-intelek. Sudah mengetahui aturan. Makanya
sekarang mari kita selalu dukung Pak Gunarsa dari
belakang. Ikut memperjuangkan Hak Ciptanya itu.
Besok katanya Pak Gunarsa ikut sidang pengadilan.
Saya akan ikut mencari kekebalan di belakang Sabuk
Kopel akan dibawa. Kalau ada kerusuhan agar
gampangan untuk mencambuknya. Karena sekarang
ini, orang memang sulit. Sebabnya saya bilangnya
sulit; ada orang unjuk rasa, ya seperti itu, ditembak
oleh Polisi. Ya kalau Polisi kena pukul tidak kena
itu. Sudah biasa begitu. Makanya sekarang ini kita
cf-. • f»
V/J,1
f i-
if people have a demonstration, the police shoot
them. If anyone hits a policeman, they get shot. If a
policeman punches somebody, no one says anything.
It's just the way things are. That's why we all have
to stay vigilant. It's not easy to find people who are
vigilant. We should not have to be subjected to those
kinds of things. Why should we as human beings
have to submit to greedy demons? (Raksasa). These
kinds of demons want to sweep things under the rug.
They think that anything is allowed as long as they
get what they want for themselves. So then, Delem
is a kind of provocateur. That fits. Delem. His name
means 'always moving {He combines the first two
syllables of the words meaning 'always moving' and
'unstable', 'dengang and 'lembpuyengan to explain
the origin of the name, 'Delem'). He's a person who is
always dizzy. Always on the run. "DeLeeeeeem."
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeem.
Delem: Ak ak ak ak. Here I am, at your service.
Please speak. Ak ak ak.
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeem.
Delem: Here I am.
Detya Kala Maya Cakru: Em em em em.
Delem: Ha ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em em em.
Delem: Ha ha ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em em.
Delem: Ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em.
Delem: Ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em.
Delem: Ha. My mouth is broken. Please tell me what
tasks you want me to perform.
Detya Kala Maya Cakru: Deleeem.
Delem: Here I am.
Detya Kala Maya Cakru: Get ready.
Delem: Yes.
Detya Kala Maya Cakru: Please call all the Raksasa
bagian sapu bersih gen. Apa ja halalkan segala cara,
untuk kepentingan diri sendiri. Aduh Melem lantas
bagian Propokatorne. Cocok sajan ne. Aruuuh.
Pak Delem. Dengang Lempuyengan. Jelema uyeng-
uyenaen ya. Inih pelaibne. Leeeem.
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeem.
Delem: Ak ak ak ak. Titiang parekan duwe. Raris
mawecana! Ak ak ak.
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeeem.
Delem: Titiang.
Detya Kala Maya Cakru: Em em em em.
Delem: Ha ha ha ha.
Detya Kala Cakru: Em em em em.
Delem: Ha ha ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em em.
Delem: Ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em.
Delem: Ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em.
Delem: Ha. Uwug bungute. Napi wenten karya raris
mawecana!
Detya Kala Maya Cakru: Deleeem.
Delem: Titiang.
Detya Kala Maya Cakru: Yatna!
Delem: Inggih.
Detya Kala Maya Cakru: Atag sahananing wadwa
mesti sadar, sadar, semua. Mencari orang sadar sulit.
Agar kita jangan seperti itu. Kenapa kita sebagai
manusia, mengabdi pada Raksasa yang serakah-
serakah seperti ini. Sebagai manusia kok mengabdi
pada raksasa. Susah amat hatiku. Mengajak Raksasa
model seperti itu, wah, segalanya disapu bersih. Di
bidang apa saja selalu menghalalkan segala cara,
untuk kepentingan diri sendiri. Aduh, Melemlah
lantas jadi propokatornya. Memang cocok ini.
Aduuuh. Pak De-lem.... Dengang Lempoyongan.
Dia itu manusia uring-uringan. Waduh larinya.
Leeeem.
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeem.
Delem: Ak ak ak ak. Hamba, abdimu yang mulia.
Silahkan berbicara! Ak ak ak.
Detya Kala Maya Cakru: Delemeeeeem.
Delem: Hamba.
Detya Kala Maya Cakru: Em em em em.
Delem: Ha ha ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em em em em.
Delem: Ha ha ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em em.
Delem: Ha ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em.
Delem: Ha.
Detya Kala Maya Cakru: Em.
Delem: Ha.rusak mulutku. Ada apa gerangan,
paduka? Silahkan bersabda!
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeem.
Delem: Hamba.
Detya Kala Maya Cakru: Siaga!
Delem: Baiklah.
Detya Kala Maya Cakru: Perintahkan pasukan
215
(demons).
Delem: Yes, allow me to gather all your people and
get them ready to follow your path.
Detya Kala Maya Cakru: Go to Ayodya.
Delem: We will go to the country of Ayodya?
Detya Kala Maya Cakru: That is right.
Delem: Correct. Ha ha ha ha.
Sangut: Deleeeem. {he has changed places behind
Delem who thinks it is still his master speaking)
Delem: Here I am. Ha ha ha.
Sangut: Get ready!
Delem: Yes. Ha ha ha. {he gets angry when he
realizes it is Sangut calling him pretending to be his
master) Sangut, you son of a bitch. You sound like
a rickety old 70cc motorcycle. Nothing but squeak
squeeaaak.
Deyta Kala Maya Cakru: Deleeeeeem.
Delem: Son of a bitch.
{Delem is hit by Kala Maya who thinks the insult was
meant for him)
Delem: Damn that Sangut. He's nothing but an old
lady with a protruding forehead. He didn't tell me
{that the master had returned). My head is spinning.
Raksasa kabeh!
Delem: Inggih banggiang titiang nabdabang panjak.
Pacang ngiring pamargin palungguh Iratu.
Detya Kala Maya Cakru: Lumaku aneng Ayodya.
Delem: Jagi merika ke Ayodya Pura?
Detya Kala Maya Cakru: Yogya.
Delem: Patut. Ha ha ha ha ha.
Sangut: Deleeeeem
Delem: Titiang. Ha ha ha ha.
Sangut: Yatna- yatna!
Delem: Inggih. Ha ha ha. Cicing Seven Cebloke to.
la jerit. Bench nguwik-nguwik.
Deyta Kala Maya Cakru: Deleeeeeem.
Delem: Seven ceblok.
(Delem di pukul oleh Kala Maya).
Delem: Cicing-cicing meng jantuke to. Sing nyambat
jeg uyeng-uyengen nase.
raksasa semua!
Delem: Baiklah. Biarlah hamba menyiapkan wadwa
semua. Untuk mengikuti perjalanan yang mulia.
Detya Kala Maya Cakru: Berangkat menuju
Ayodya.
Delem: Akan kesana, ke Negara Ayodya?
Detya Kala Maya Cakru: Benar.
Delem: Benar. Ha ha ha ha.
Sangut: Deleeeeem.
Delem: Hamba. Ha ha ha ha.
Sangut: Siap-siaplah!
Delem: Baiklah. Ha ha ha. Ah anjing lu. Manusia
tujuh sial lu. Dia yang menjerit. Pantas saja nguwik-
nguwik nafasnya.
Detya Kala Maya Cakru: Deleeeem.
Delem: Tujuh sial.
(Delem di pukul oleh Kala Maya).
Delem: Anjing-anjing kucing jantuk itu. Tak ngasih
tahu dia. Waduh kepala pening tujuh keliling.
216
Sangut: Deleeeem. {pretending again to be the
master)
Delem: Here I am. {Sangut runs away). Who was
that who just went by so quickly? His pants stink so
bad, he smells like a cat's corpse. Here's the Prime
Minister. He's getting the demons ready so that they
can follow the path of Detya Kala Maya Cakru. They
will go to the country of the Ayodya Palace. Now he
will take his revenge.
Singers: ... (chant)
Dalang: Aaaaaaa. We weeeeeee. (the demons enter).
We we we. Weeee yog yog yog yog yog .
Raksasa : Ha ha ha.
Raksasa: Ha ha. Ho ho. Ha ha. Ho ho . Ha ha. He
he. Ha ha. He he.
Delem: Oh, look at that. Look at that. Do you
see? They are in their battle formation. Like an
impenetrable fence of towering tree trunks. None of
them are out of place. Aaaah. All of them are ready.
Lord Rama will be blown to smithereens and end up
in the cemetery.
Sangut: Let's eat some porridge.
Delem: Who is your king? Sang Maya Cakru. Who
who who?
Sangut: Wau.
Delem: I am telling you. You have to know the
history of all this. Back to the beginning in the time
of our ancestors. There were many problems. Long
ago there was a holy and powerful king named Lord
King Dasanana. Dasamuka. Lord King Rahwana.
King of the country of Alengka.
Sangut: And then?
Delem: It started with the words of his sister Diah
Surpanaka Dewi.
Sangut: What did she say?
Delem:" My brother, in the Dandaka forest, there is
a very beautiful girl. Her name is Diah Sita. She is
Rama's wife. If you can take Diah Sita to be your wife
Sangut: Deleeeeem.
Delem: Titiaaaaaang. Ya san mekliem to? Bench
ba pahit mekilit bon klanane. Bangken Emeng gen
bon klanane. Gusti Patih. Dabdabang mangkin.
Dabdabang para Raksasane, jaga ngiring pemargin
Detya Kala Maya Cakru. Bakal ngungsi Gumi
Ayodya Purane. Aaa jani ba bakala ngeweragan.
Sendon: ...
Dalang: Aaaaaaa. We weeeeeee. (Keluar para
Raksasa). We we we. Weeee yog yog yog yog yog .
Raksasa: Ha haha ha ha.
Raksasa: Ha ha. Ho ho. Ha ha. Ho ho . Ha ha. He
he. Ha ha. He he.
Delem: Ooo to to to to. Puk ci to. Mererod. Bah
bedeg. Seluh pangi. Kerik tingkih. Ketog semprong.
Aaaah jeg makejang sayaga. Jani ba aaaa. I Rama
Dewa hancur lebur terkubur.
Sangut: Makan bubur.
Delem: Nyen Betaran ci. Sang Maya Cakru. Nyen
nyen nyen nyen?
Sangut: Pih.
Delem: Ne kaka nuturan cai. Ci pang nawang
sejarah-sejarah, kawitan-kawitan, unduk-unduk,
ne malu ada sang Praratu sakti mapesengan Sang
Prabu Dasanana. Dasamuka. Sang Prabu Rahwana.
Ratuning Lengka Diraja.
Sangut: Terus?
Delem: Sangkaning atur arin Ida. Diah Surpanaka
Dewi.
Sangut: Engken? "
Delem: "Beli Agung, di alas Dandaka ada nak Luh
Jegeg mekece-kecegan, madan Diah Sita, somah I
Rama Dewa. Yen Beli Agung sida ngambil Diah Sita
Sangut: Deleeem
Delem: Hambaaaaaa. Rasanya seperti dia yang
berkelebat itu? Pantasan bau celananya amis amat.
Berbau mayat kucing celananya. Maha Patih.
Persiapkan para Raksasa semuanya, agar menyertai
perjalanan Detya Kala Maya Cakru. Menuju Negara
Ayodya Pura tiada lain. Yaa Sekaranglah waktunya
membalas dendam.
Sendon...
Dalang: Aaaa. We weeee. (keluar para raksasa). We
we we . Weee yog yog yog yog yog yog
Raksasa: Ha hhahaha.
Raksasa: Ha ha. Ho ho. Ha ha. Ho ho . Ha ha. He
he. Ha ha. He he.
Delem: Ooo to to to to. Kamu lihat itu. Beriringan.
Bah bedeg. Semuanya tanpa kecuali dari berbagai
lapisan, siaga. Aaah wah semua sudah siaga.
Sekaranglah waktunya. I Rama Dewa hancur lebur
terkubur.
Sangut: Makan bubur.
Delem: Siapa beliau junjunganmu; Sang Maya
Cakru? Siapa? Siapa? Siapa?
Sangut: Wah.
Delem: Baiklah akan kuberitahu kamu. Agar kamu
tahu sejarah-sejarah, leluhur-leluhur, masalah-
masalah dari masa lampau adanya Maharaja sakti
mandraguna seperti sang raja bernama Sang Raja
Dasanana. Dasamuka. Maharaja Rahwana. Raja di
Alengka Negara.
Sangut: Terus?
Delem: Karena adanya pemberitahuan adiknya yang
bernama Diah Surpanaka Dewi.
Sangut: Bagaimana?
Delem: "Kakanda prabu, di hutan Dandaka ada
seorang wanita teramat cantik, bernama Diah
Sita, istri Rama Dewa. Kalau Kakanda prabu bisa
217
you will become very famous, the most famous of all,
the most respectable of all gentlemen. You will take
over the world there, in the country of Alengka.
Sangut: Oh, is that what Diah Surpanaka Dewi said?
Delem: Yes. So King Rahwana, followed by his
minister Marica, went to Dandaka forest. When they
arrived in the middle of the forest they saw Rama
and Sita. They were on their honeymoon in the
forest. Tlie minister Marica changed his body into
the form of a golden deer. Sita cried her eyes out
when she saw that deer. And because Rama loved
his wife, he chased the deer to bring it back for her,
leaving Sita alone. Then Lord Rahwana changed his
form into the body of a Priest. To make a long story
short, Sita was kidnapped. She was flown through
the sky. Zooooooom. Rahwana carried her flying
through the sky.
Sangut: He carried her flying through the sky,
Delem.
Delem: Above the sea.
Sangut: Above the sea.
Delem: Then a powerful gust of wind came along.
It blew open the folds of Sitas dress, revealing the
flawless thigh of Lady Sita, as smooth as the velvety
skin of a yellow langsat fruit, with tiny thin hairs.
Sangut: It gives me goosebumps.
Delem: Not only you.
It was the same for Lord King Rahwana. He was a
Super Playboy {using the English term). When he
saw that view he trembled and could not control his
desire.
Sangut: He could not control his desire.
Delem: His sperm came out.
Sangut: It came out?
Delem: It fell down.
anggen beli rabi, ngancan kesumbung, kajanaloka,
kajanapria Beli ngisi gumi, di Gumi Lengka
Dipurane".
Sangut: Ooo keto atur Diah Surpanaka Dewi.
Delem: Aa. Lantas Sang Prabu Rahwana, kairing
antuk Kriana Patih Marica, ngungsi Alas Dandaka.
Nganteg di tegah alase, kacingak I Rama ajak Sita
sedeng mekasih-kasih, memanying-manying,
memesra-mesra di alase. Kriana Patih Marica,
anyukti rupa dadi Kidang emas. Ngeling nyakit
I Sita nolih kidange to. Ulian tresna I Rama ken
somah, kepunge kidange ken Rama. Sita kutange
didian ditu. To. Lantas Sang Prabu Rahwana anyukti
rupa dadi Bagawan. Gelisang satwa enggal, bakat
pelaibange I Sita, keberange di langite. Ber ber.
Ritatkala mekeber di langite duwur....
Sangut: Ritatkala mekeber di langite. Lem.
Delem: Duwur pasihe.
Sangut: Duwur pasihe.
Delem: Ada angin ngelinus teka. Kepirne siyot Diah
Sitae. Ngenah pahan Diah Sita putih mulus, kuning
langsat, misi bulu srining-srining.
Sangut: Aruh dingin-dingin awake.
Delem: De ja cai. Kadi linggih Ida Sang Prabu
Bajra Rahwana. Super Playboy to. Ngetor nepukin
pemandange to. Ulian sing tahan....
Sangut: Ulian sing tahan.
Delem: Metu kaman Ida.
Sangut: Metu?
Delem: Ulung.
mempersunting Diah Sita, dijadikan istri, akan
semakin tersohor, terkenal dimata rakyat, terkenal
sebagai lelaki sejati, manakala paduka memegang
tampuk pemerintahan, di Negeri Lengka Dipura
ini.
Sangut: Ooo begitulah kata Diah Surpanaka Dewi.
Delem: Yaaa. Lantas Sang Prabu Rahwana, disertai
oleh patih Marica menuju hutan Dandaka.
Sesampainya di tengah hutan, dilihatlah I Rama
Dewa bersama Sita, sedang bercinta, bercumbu,
bermesra-mesraan di hutan. Patih Marica berubah
wujud menjadi Kijang Emas. Menangis miris Sita
melihat kijang tersebut. Karena cintanya I Rama
dengan istri, dikejarlah kijang itu oleh I Rama.
Sita ditinggal sendirian disana. Lantas sang prabu
Rahwana berubah wujud menjadi Pendeta. Singkat
cerita, I Sita dapat dilarikan, diterbangkan di langit.
Bang..bang... Saat terbang di langit di angkasa....
Sangut: Saat terbang di langit, Lem.
Delem: Di atas laut.
Sangut: Di atas laut.
Delem: Ada angin ribut datang. Tersingkaplah
kainnya Diah Sita. Kelihatan paha Diah Sita putih
mulus, kuning langsat, berisi bulu tipis-tipis.
Sangut: Aduuuuh merinding tubuhku.
Delem: Jangankan kamu. Seperti beliau Sang Raja
Rahwana. Super Playboy itu. Gemetar melihat
pemandangan seperti itu. Karena tidak tahan....
Sangut: Karena tidak tahan.
Delem: Keluar spermanya.
Sangut: Keluar?
Delem: Jatuh.
218
Sangut: It spurted out.
Delem: Well, to say it spurted out would be a little
crude. Whenever you read the old books they say
these things in a way that is fitting with the place,
the time and the context. So you cant just say all
of a sudden, 'it spurted out." You have to say it in
a refined way. Indirectly, but still clear. You can't
say 'spurrrrrrrting out.' You have to say something
different.
Sangut: What?
Delem: Spritzing out.
Sangut: An ape goes out. A monkey comes back. {It's
the same thing).
Delem: The sperm fell into the sea.
Sangut: Fell.
Delem: It fell. And because it was the sperm of the His
Royal Highness, the sperm glistened like firelight.
Sangut: It glistened?
Delem: It gUstened. So then Lord Brahma caught
some of that sperm, and then he chanted mantras
over it. It was blessed. And then out of the sperm
sprang a little boy who was given the name Lord
Maya Cakru. The sea in that place was transformed
into land, and the land was called Segara Lungsur.
(Gift of the Sea). And then the creatures of the sea
were transformed into an army of demons to serve
our master.
Sangut: Mekecret.
Delem: Beh mekecret. Jorok. Men ngelemah
mekawin mesanti, ngeraosang Desa Kala Patra.
Tekane teka, mekecret. Yen ngomong pang alus.
Pang saru. Ya pang ngenah. Mekecreeeet. Lenan
ken mekecret raosang!
Sangut: Apa?
Delem: Mekecrot!
Sangut: Mekaad Bojog teka Lutung ne.
Delem: Ulung kama di pasihe.
Sangut: Ulung.
Delem: Uluuung. Ulian kaman Sang Para Ratu luih,
ngendih ngabar-ngabar kamae.
Sangut: Ngendih?
Delem: Ngendih! Lantas ledang Ida Batara Brahma
kapining kamane to. Lantas kamane to kajapa
mantraning. Ka Weda Wedaning. Lantas kamane
to embas dadi anak alit lanang, kapesengan Sang
Maya Cakru. Pasihe ne kasupat dadi Gumi. Madan
Segara Lungsur. Be makejang di pasihe kasupat
dadi Raksasa. To pinaka wadwan liiida.
Sangut: Muncrat.
Delem: Beh muncrat. Jorok. Hampir setiap hari
membaca kekawin, membicarakan desa, kala, patra,
tahu tahu muncrat. Kalau ngomong agar lebih halus.
Agak samar tapi tetap kelihatan. Muncrrraaat. Selain
muncrat, omongkan!
Sangut: Apa?
Delem: Muncrat!
Sangut: Monyet pergi, datangnya kera ini.
Delem: Jatuh spermanya di laut
Sangut: Jatuh.
Delem: Jatuuuh. karena sperma Sang Raja Utama,
bercahaya terang spermanya.
Sangut: Bercahaya?
Delem: Bercahaya! Selanjutnya Ida Batara Brahma
senang dengan sperma itu. Lantas sperma itu diberi
mantra. Diberi weda. Dari sperma itu lahirlah
menjadi anak kecil laki diberi nama Sang Maya
Cakru. Laut ini dikutuk menjadi bumi, bernama
Segara Lungsur. Semua yang ada di laut dikutuk
menjadi Raksasa. Itu semua menjadi pasukan
pengikut beliau.
219
hI^^K^v '
AMi^:
WBL ' /y^jpy "--■
H^^^ .^-^- .if «.^-■' *
'.^^^^^^K-
^nf^' J^*^' ■
y^f^
^
^ \
Sangut: Ooo
Delem: When he reached the age of twenty-five...
Sangut: 25 years old.
Delem: The god Brahma said...
Sangut: What?
Delem: "My son Maya Cakru. Now you possess
a country, but if the country is not founded on
the teachings of sacred books it will not be able to
sustain itself. Please go to the Temple of Death and
ask the Goddess Durga for her teachings. There you
can ask for the wisdom that will enable a man to rule
a nation, that will reveal the meaning of our lives:
the four guardian spirits {Kanda Empat), the four
essences, the four divinities, the four infants. Study
these teachings.
Sangut: In the Temple of Death?
Delem: In the Temple of Death. To make a long story
short, five years passed. He graduated.
Sangut: He graduated?
Delem: He graduated. He got his graduate degree.
Sangut: What?
Delem: Doctor Maya Cakru, M.A., Ph.D, M.D.
Sangut: What is M.D.?
Delem: Master of Demonology. I have the rank of
Lieutenant General. You have the rank of Lieutenant
Colonel.
Sangut: The rank of Lieutenant Colonel is bad.
Delem: As soon as he graduated, he (Lord Cakru) was
endowed with magical powers, wisdom, knowledge,
and intelligence. He had the highest degree and the
Goddess Durga spoke to him.
Sangut: What did she say?
Delem: "Maya Cakru, you are my student. Now that
you have grown up, it is proper that you should use
the knowledge you have gained in my service, the
wisdom your mother has given you here. Put your
Sangut: Oooo.
Delem: Di subane Ida maumur selae tiban.
Sangut: 25 tahun.
Delem: Mawecana Ida Batara Brahma.
Sangut: Engken?
Delem: "Cening Maya Cakru. Wireh Idewa ngisi
Gumi. Yen Idewa ngisi Gumi yen sing medasar baan
sastra, pocol, genjong Gumine. Kama lautang Idewa
Ke Dalem nunas ajah ring Ida Batari Durga. Ditu
tunasin ragane inga-ingu. Kenken pidabdab nak
ngisi Gumi. Kenken sukseman iraga idup. Kanda
Pat Buta. Pat Sari. Pat Dewa. Pat Rare, pelajahin".
Sangut: Di Dalem?
Delem: Di Dalem. Gelisang satwa enggal. Ada
limang tiban. Tamaaat.
Sangut: Tamat?
Delem: Tamat! Maan titel gede.
Sangut: Apa?
Delem: Drs. Maya Cakru. Bsc. SH. IL.
Sangut: IL e?
Delem: Inan Liak. Kaka maan pangkat Letnan
Jedral. Ci maan pangkat Letkol.
Sangut: Beh jelek Letkol pangkate.
Delem: Di suba tamat. Sakti, pradnyan, wikan,
widagda, duweg. Maan titel gede. Mawecana Ida
Batari Durga.
Sangut: Engken?
Delem: "Ceniiiing Maya Cakru sisyan Meme Idewa
wreh Idewa suba duwur, jani sandang jani Idewa,
abdiang kebisan Idewane. Peplajahan Idewane
baang ban Meme dini. Abdiang kebisane anggon
Sangut: Oooo.
Delem: Setelah beliau berumur dua puluh lima
tahun.
Sangut: 25 tahun.
Delem: Bersabdalah beliau Ida Batara Brahma.
Sangut: Bagaimana?
Delem: "Cening Maya Cakru. Oleh karena
nanda memegang tampuk pemerintahan, kalau
tidak berdasarkan sastra, percuma, guncanglah
pemerintahan negara. Silahkan ananda ke Dalem
mohon ajaran kehadapan Hyang Batari Durga.
Disana mohonkan diri pelajaran. Bagaimana
tingkah-polah orang memegang Negara. Bagaimana
arti kehidupan. Kanda Pat Buta. Pat Sari. Pat Dewa.
Pat Rare, dipelajari.
Sangut: Di Dalem?
Delem: Di Dalem. Singkat cerita. Setelah lima tahun.
Tamaaaaat.
Sangut: Tamat?
Delem: Tamat! Dapat gelar tinggi.
Sangut: Apa?
Delem: Drs. Maya Cakru. Bsc. SH. IL.
Sangut: IL itu?
Delem: Inan Liak. Aku dapat pangkat Letnan
Jendral. Kamu dapat pangkat Letkol.
Sangut: Wah jelek amat Letkol pangkatku.
Delem: Setelahnya tamat. Sakti, pintar, lihai, cerdik.
Mendapatkan gelar tinggi. Bersabdalah Ida Batari
Durga.
Sangut: Bagaimana?
Delem: Nanda Maya Cakru siswaku ananda. Karena
ananda sudah dewasa, sudah saatnya ananda abdikan
kepintaran semua pelajaran yang ku berikan disini.
Abdikan pengetahuanmu untuk mensejahterakan
221
intelligence to use in the service of improving the
world. Put yourself into the service of Lord Rama.
Put your intelligence to use there in his palace. Be of
service to him. He is the avatar of Vishnu on earth.
Sangut: That is what the goddess Durga said?
Delem: Yes. And you and I will follow him to the
country of Ayodya. But in the middle of the journey,
he stopped all of a sudden. He used his disc brakes.
{This pun refers to the word for car brakes,'ngerim
cakram', and the name of Vishnu's magic weapon,
a discus called 'cakra', which is the source of Maya
Cakru's name)
Sangut: Why?
Delem: To think things over. To come up with
a strategy, a plan of action. It was as if he had
mortgaged three acres of land to go to school and
now that he had graduated, why should he use his
degree to work as a janitor? And what's more, to be
in the service of his enemy? It would be like you
becoming an assistant driver after you already had
all the licenses from A to Z. Why become a servant
when you have the power to turn the world upside
down? East becomes West. North becomes South.
Kill Rama. Kill his monkey soldiers. Kidnap Sita.
Cash in the mortgage.
melahang jagat. Kema jani Idewa memarekan ring
Ida Batara Rama. Abdiang kebisane. Menyeraka.
Ida awatara Wisnu di Gumine".
Sangut: Keto Ida Batari Durga?
Delem: Aa. Kaka cai pada ngiring kel ke Gumin
Ayodyane. Di tengah jalan ngerim Ida. Ngerim
cakram.
Sangut: Engken?
Delem: Tik kutak-katik. Mencari taktik, kir di
pikir-pikir. To carik telung hektar megade anggon
masekolah. Disuba tamate, to ngudiang titele anggo
tukang sapu. Bin sada memarekan ken musuh.
Angganin benya cara sopir, suba ngelah SIM A.
SIM B. SIM Z. Ngudiang dadi kernet? Badingan
jae e. Kangine dadiang kauh. Kaja e dadiang kelod.
I Rama matiang. Bojoge matiang. I Sita juang.
Penyuwudne raga ngontrak.
dunia. Berangkatlah ananda mengabdi kehadapan
Ida Batara Rama. Abdikan kepintaramu. Mengabdi.
Beliau titisan Wisnu di Bumi".
Sangut: Begitulah paduka Ida Batari Durga?
Delem: Yaa. Aku, kamu pada akan mengikuti ke
Negari Ayodyanya. Di tengah jalan tancap rem
beliau. Rem cakram.
Sangut: Bagaimana?
Delem: Tik kutak-katik. Mencari taktik, kir di pikir-
pikir. Itu sawah tiga hektar dikontrakan dipakai
biaya sekolah. Setelah tamat, kenapa mesti gelarnya
dipakai tukang sapu. Apalagi mengabdi pada
musuh. Seperti kamu menjadi sopir sudah punya
SIM A SIM B SIM Z. Mengapa jadi kondektur? Coba
bandingkan. Timur dijadikan barat. Utara jadikan
selatan. I Rama dibunuh. Monyet dibunuh. I Sita
diambil. Pada akhirnya kita ngontrak.
222
Sangut: Wow. Is it possible?
Delem: Why not? Our side is magically powerful
and potent. How are we doing? Now is the time.
How is Rama doing now? He had a dream that all
his monkeys were cut down. They will die tomorrow.
Ohhhhhh.
We can kidnap a servant girl. On my wedding day I
will let you take over everything.
Sangut: You'll elope with Nyoman.
Delem: I'll elope with Nyoman.
Sangut: How will it be?
Delem: I will put you in charge of the ceremony. I
will just worry about getting married. You will be
in charge, as the Chief Secretary, the head man, the
accountant. You will run all the departments.
Sangut: Just me alone?
Delem: Yes. I have faith in you. I will only think
about my wedding. In the end I will be married to
Nyoman.
Sangut: How many people should we invite?
Delem: Invite five hundred.
Sangut: How will you fit five hundred people in your
small house.
Delem: We'll use the community hall.
Sangut: We'll borrow it?
Delem: We'll rent it. Borrow. borrow. Borrowing
is for public events. We'll rent it.
Sangut: From the neighborhood banjari Five
hundred people. Where will they come from?
Delem: Cousins, friends, neighbors. Close family.
Prayer groups. Wherever we can get them. In our
neighborhood banjar there are two hundred and
fifty
Sangut: And the other two hundred and fifty?
Delem: The team that worked with me on the
construction project in Bukit.
Sangut: How many?
Delem: That is two hundred and fifty. Two hundred
Sangut: Puaaaaah. Ngidang?
Delem: Ngudiang sing ngidang. Nak sakti sakti.
Kenken ci. Jani ba. Eh kudiange I Rama jani. Ba
ngipi manyi telah bojoge makejang to. Kel bangka
biin mani. Ooo. Penyerowane raga nyuang. Di kaka
ngantene ci serahang kaka.
Sangut: Nyuang Nyoman.
Delem: Nyuang Nyoman.
Sangut: Engken to?
Delem: Ngurus gaen kakae. Kaka jeg nganten gen.
Ci ngitungan to. Sekretaris ci. Ketua 1 ci. Bendahara
ci. Seksi-seksi ci. Ooo.
Sangut: Cang didian?
Delem: Aa. Kaka percaya ken ci. Kaka jeg ngitungan
nganten gen. Pang pragat kaka di petegulen ajak
Nyoman.
Sangut: Kuda ngundang?
Delem: Ngundang mang atus.
Sangut: Dija tekan jelema, mang atusan ngundang.
Umah cenik.
Delem: Balai Banjar ada.
Sangut: Nyilih?
Delem: Nyewaaaa. Nyilih, lek atie. Nyilih, ke umum
nyilih. Nyewaaa.
Sangut: Di Banjare to. Ngundang mang atus. Dija
tekan tamue mang atus?
Delem: Misan, mindon, pisaga. Apit aneh,
tunggalan sumbah, juang ke juang. Ooo di Banjar
dini ada satak seket.
Sangut: A biin satak seket?
Delem: Prekantin-prekantin kaka ane ajak bareng
morong di Bukit.
Sangut: Kuda?
Delem: Satak seket to. Tak eket-tak eket. Mang
Sangut: Puaaaah. Bisa?
Delem: Kenapa tidak bisa. Begitu saktinya. Gimana
kamu? Ya sekaranglah. Eh dibagaimanakan I Rama
sekarang? Para monyet semua sudah bermimpi
mengetam padi. Akan mati besok. Ooo pembantunya
aku 'kan ambil. Ketika ku menikah nanti, kamu ku
serahkan mengurus.
Sangut: Kawin dengan Nyoman.
Delem: Kawin dengan Nyoman
Sangut: Bagaimana itu?
Delem: Mengurus upacaraku. Aku hanyalah kawin
saja. Kamu yang mengurus semua itu. Sekretarisnya
kamu. Ketua satunya kamu. Bendaharanya kamu.
Seksi-seksi juga kamu ooo.
Sangut: Saya sendirian?
Delem: Ya. Aku percaya dengan kamu. Aku hanya
memikirkan menikahnya saja. Agar sukseslah
perkawinanku dengan Nyoman.
Sangut: Berapa mengundang?
Delem: Mengundang lima ratus.
Sangut: Dimana saja datangnya orang, lima ratusan
mengundang? Rumahnya kecil.
Delem: Balai Banjar, ada.
Sangut: Meminjam?
Delem: Menyewaaa! Meminjam? Malu. Ke umum
meminjam. Sewaaa!
Sangut: Di Banjar itu. Undangannya lima ratus.
Dari mana datangnya tamu lima ratus?
Delem: Sepupu, saudara, tetangga. Saudara dekat,
satu sumbah, ambil diambil silang. Ooo di Banjar
disini saja ada dua ratus lima puluh orang.
Sangut: A lagi dua ratus lima puluh?
Delem: Teman-temanku yang diajak ikut
memborong di Bukit.
Sangut: Berapa?
Delem: Dua ratus lima puluh itu. Dua ratus lima
223
and fifty plus two hundred and fifty makes five
hundred.
Sangut: Wow. Five hundred guests. How many pigs
will you have to slaughter?
Delem: We won't count the kilos.
Sangut: How many vans?
Delem: We won t count the vans.
Sangut: What?
Delem: Whole pigs.
Sangut: How many pigs will we be looking ft)r?
Delem: We'll find a thousand pigs, at a hundred and
fifty kilos each.
Sangut: Wow. Where will you find all those pigs?
Delem: We'll find them in Java from Javanese pig
farmers.
Sangut: Wow. A hundred and fifty kilos. How can you
cook those pigs? A thousand of them at a hundred
and fifty kilos each. On Galungan (a holiday in which
pigs are sacrificed) cooking just one is exhausting.
Delem: You are so stupid. For the ceremony there
will be invitations, and at the bottom will be the
letters NB.
Sangut: NB?
Delem: News Bulletin. The guests will be asked to
bring a knife, a chopping block, a sieve, matches, and
coconut cooking oil.
Sangut: Yes?
Delem: Yes. And when they get to my house each
one of them will be asked to catch a pig, slaughter it,
gut it, clean it, prepare it, roast it, and slice it up into
servings.
Sangut: Wow. Each guest has to catch a pig, slaughter
it, roast it, and slice it up into servings. Wow, the
guests won't have any time to rest.
atus.
Sangut: Imiiih. Mang atus ngundang tamu, kudang
pikul tampahang celeng.
Delem: Sing ngitungan pikulan.
Sangut: Kudang kol?
Delem: Sing ngitungan kolan.
Sangut: Apa?
Delem: Ukudan.
Sangut: Kudang ukud alihang celeng?
Delem: Alihang celeng, a siyu ukud mabaat pikul
tengah, pikul tengah.
Sangut: Imiiih. Dija alih celeng?
Delem: Di Jawa alih. Tukang Jawa ngubuh
celeng...
Sangut: Imiiih. Pikul tengah. Kudiang ngolah
celenge. Siyu tes keto. Pikul tengah-pikul tengah.
Dugas Galungan celeng aukud ba lengeh cang.
Delem: Ci lengeh. Di ngantene di ngaba surat
undangan, betene jin NB.
Sangut: NB?
Delem: Numpang Berita. Tamu ne kundangan
kayang to, orin ngaba tiyuk, talenan, tempeh, korek,
langsung lengis gas.
Sangut: Aa?
Delem: Aa. Nganteg jumah kaka, baang wangsit
ngejuk celeng padum ukude. Uli ngorok, mutbuten,
masangan, ngelebengan, mayuh.
Sangut: Imiiih. Tamu ukud ngejuk celeng ukud. Uli
ngorok nganti ngelebengan, nganti mayuh. Mimih,
se sing maan mereren undangane.
Delem: I don't want to give them time to rest. If Delem: Jelap de baange mereren. Yen mereren
puluh dan dua ratus lima puluh. Lima ratus.
Sangut: Waaaah. Lima ratus mengundang tamu,
berapa ton babi mesti dibunuh.
Delem: Tidak menghitung tonan.
Sangut: Berapa cool?
Delem: Tidak menghitung pakai coolan.
Sangut: Apa?
Delem: Ekoran.
Sangut: Berapa ekor carikan babi?
Delem: Carikan babi, seribu ekor berbobot masing-
masing seratus lima puluh kg, seratus lima puluh
kg-
Sangut: Waaah. Dimana cari babi?
Delem: Di jawa cari. Tukang Jawa memelihara babi.
Sangut: Waaah. Seratus lima puluh kg. Bagaimana
caranya mengolah babi seribu tersebut. Seratus lima
puluh kg-seribu lima ratus kg. Pada waktu Galungan
mengerjakan hanya satu ekor babi saja saya sudah
payah.
Delem: Kamu goblok. Pada pernikahanku manakala
membawa surat undangan, dibawahnya kasi NB.
Sangut: NB?
Delem: Numpang Berita. Tamu yang kundangan
saat itu, suruh bawa pisau, kayu alas memotong,
tempayan, korek, termasuk minyak gas.
Sangut: Ya?
Delem: Yaa. Setibanya di rumahku, berikan
perintah: "tangkap babi masing-masing satu.
Dari membunuh, membersihkan, membersihkan
perutnya, mematangkan, menghidangkan."
Sangut: Waduuuh. Satu tamu menangkap satu
ekor babi. Dari membunuh sampai mematangkan,
sampai menghidangkan. Wah, kan tidak dapat
istirahat undangannya.
Delem: Sengaja tidak diberi istirahat. Kalau
224
they are resting they will have time to smoke all my
cigarettes. But if they are working, how can they
smoke? How can they? They've already been given
their jobs.
Sangut: So the guests will will prepare five hundred
of the pigs. What about the other five hundred pigs.
Will you sell them?
Delem: Why should I sell the pigs?
Sangut: What will you do with them?
Delem: When the guests go home, I'll tell each of
them to take a pig.
Sangut: Why is that?
Delem: As a gift from the host. We do things big
here in Segara Lungsur. So that other people cannot
copy your brother's ceremony.
Sangut: Wow.
Delem: On D-day, the day of the ceremony, you will
be standing outside the house.
Sangut: Why?
Delem: To greet the guests as they arrive.
Sangut: Why?
Delem: If guests are arrive on foot, tell them to go
home.
Sangut: Why?
Delem: Because they will only bring one coconut,
one egg, and one kilo of rice. We don't want to waste
ngelemah rokoe lelese liu. Yen ba ngelemah uyak
gae, kenkenan ngeroko. Sepanan kanti ya ngeroko.
Kenken ci. Ba baang gae nas ne.
Sangut: To teka tamu mang atus celenge siyu, biin
mang atus kija aba? Adep?
Delem: Ngudiang ngadep celeng.
Sangut: Kija aba?
Delem: Di mulih tamue, biin orin ngejuk celeng
padum ukude.
Sangut: Kal keto?
Delem: Anggon peneteh sok kasi. Pang mewibawa
dini di Segara Lugsur. Pang sing ada nak nempa
gaen kakae.
Sangut: Pih.
Delem: Di hari H, ci diwang ngoyong nyen.
Sangut: Ngudiang?
Delem: Menelik tamue teka.
Sangut: Adi keto?
Delem: Yen ada tamue jalan kaki, jeg tundung orin
mulih.
Sangut: Adi keto?
Delem: Paling banter ngaba nyuh bungkuk Baas
kilo. Taluh bungkuk Ada salin-salinan gen to. Yen
istirahatnya sering, rokoknya banyak diambil. Kalau
sudah terus-terusan bekerja, bagaimana dia sempat
merokok. Gimana kamu? Sudah diberi pekerjaan,
mereka.
Sangut: Tau yang datang lima ratus, babinya seribu,
lima ratus lagi, dikemanakan? Dijual?
Delem: Kenapa menjual babi?
Sangut: Kemana dibawa?
Delem: Ketika tamu pada pulang, lagi disuruh
menangkap babi satu-satu.
Sangut: Kenapa begitu?
Delem: Sebagai bungkusan pemberat bakul. Agar
berwibawalah aku di sini, di Segara Lungsur. Agar
tak tertiru upacaraku.
Sangut: Wah.
Delem: Pada hari H, kamu diluar saja menunggu.
Sangut: Ngapain?
Delem: Memperhatikan tamu yang datang.
Sangut: Kenapa begitu?
Delem: Kalau ada tamu jalan kaki, usir saja suruh
pulang.
Sangut: Kenapa begitu?
Delem: Paling-paling dia bawa satu butir kelapa.
Beras satu kg. Telor satu butir. Merepotkan untuk
225
time with them. If there is a guest who comes on
a two wheeled vehicle, or on a four-wheeler, or a
sixteen-wheeler, tell them to come in. At least they
will bring an envelope. Inside the envelope will be
at least five hundred thousand rupiah. AfLer the
ceremony we can buy a ricefield.
Sangut: Is this a business ceremony? If we have
a thousand pigs weighing one hundred and fifty
kilograms each, those are very expensive pigs. Do
you have the money for it?
Dalem: The bank has it.
Sangut: Yes, the bank has it, but do you have collateral
{for a loan)'? The ricefield is already mortgaged.
Delem: I can borrow it from the Banjar. I have a
persuasive tongue.
Sangut: If you borrow, but don't give it back?
Delem: Give it back? What are you talking about?
After the wedding I would tell Nyoman (his bride-
to-be) to stand outside the house.
Sangut: Why?
Delem: To look out for people asking for money in
case they arrive with the promissory note. If Ketut
is the one who brings the promissory note, she will
say, "Hello, brother Ketut. I know that you are here
for the debt repayment. But I don't know anything
about the problem of debt or repayment. I don't
ada tamu ngaba roda dua, roda empat, roda enam
belas, mara orin mulih. Paling sing amplop. Di
dalam amplop paling sing mang atus tali. Suwud
gae pang ngidang meli carik.
Sangut: Ooo bisnis gae e ne. Yen celeng a siyu. Pikul
tengah-pikul tengah. To celeng mael jani. Ba ngelah
pis?
Delem: Bank ada.
Sangut: Ba ja Bank to. Ngelah wanda? To carik ba
onya megade.
Delem: Nyilih di Banjar maan. Bungut memedang.
Sangut: Yen nyilih sing uliang?
Delem: Uliang. Kenken ci. Suwud nganten Nyoman
orin diwang ngoyong di angkul-angkule.
Sangut: Ngudiang?
Delem: Nyaga nak ne nagih utang. Yen teka ne
ngelahang utange. Yen Ketut ne ngelah utange, ye
beli Ketut, sing keto Nyoman. Tiang nawang beli
mal nagih hutang. Kewala nyen tiang sing nepukin
masalah utang piutang. Tiang sing nawang. Beli
Ngurah Delem ajak. Ya nak nelokin borongane di
diberi balasan bawaannya. Kalau ada tamu bawa
roda dua, roda empat, roda enam belas, baru suruh
pulang . Paling tidak amplop. Di dalam amplop
paling tidak lima ratus ribu. Seusai upacara agar
bisa beli sawah.
Sangut: Ooo upacaranya bisnis ini. Kalau babinya
seribu, masing-masing berberat seratus lima puluh
kilogram. Sekarang ini babi kan mahal? Sudah
punya uang?
Delem: ada Bank.
Sangut: Memang adanya di Bank. Punya jaminan?
Sawah semua sudah habis jadi jaminan.
Delem: Pinjam di Banjar, pasti dapat. Mulut
berkarisma.
Sangut- lika pinjam, tidak akan dikembalikan?
Delem: Kembalikan. Gimana kamu ini. Selesai
upacara menikah Nyoman suruh di luar diam di
depan rumah.
Sangut: Ngapain?
Delem: Menjaga orang-orang yang menagih
hutang. Kalau datang yang punya hutang. Kalau
berhutangnya kepada si Ketut: "yee kakang Ketut...,"
kan begitu si Nyoman. "...saya tahu abang ke mari
menagih hutang. Tetapi saya tidak tahu-menahu
masalah utang piutang. Saya tidak tahu. Abang
227
understand it. My husband Ngurah Delem will talk
to you about it. But now he is working on a housing
project in Bukit". That's what she will say. "My
husband will be there for five days. Yes, my husband
is there". That's what I will tell Nyoman to say.
Sangut: So, Melem?
Delem: I'll be hiding in the rice warehouse.
Sangut: That solves the problem. What happens
when he comes back in five days?
Delem: Five days later.
Sangut: Five days later, he will come again.
Delem: "Hello, Ketut." That's what I'll say. "I already
know that you are here to ask for money. There is a
lot of money in the bank, Ketut."
Sangut: Oh, you will say there is a lot of money in
the bank?
Delem: Yes, that's right. "Ketut, you know that getting
the money out is not easy. You have to sign here and
sign there. Letters here, letters there. Now, don't
be sad, Ketut. You can't get the money now. Try to
come here again in four days, Ketut. The money will
surely be here. Calm down, take it easy with me,
Ketut".
Sangut: Four days?
Delem: Four days.
228
^^^HS^^^^^Uh. ^ 1
p^^
H IKrV , J
Bukit. Keto orang nyen. Beli, biin limang dina beli
mai nyen. Beli Ngurah gen ajak nyen. Ooo keto
orin Nyoman.
Sangut: Men Melem?
Delem: Mengkeb di Jineng.
Sangut: Pragat kandane. Biin limang dina orin
teka?
Delem: Biin limang dina.
Sangut: Biin limang dina biin teka ya.
Delem: Yeeeee Ketut, sing keto kaka. Kaka ba
nawang Ketut mai kel nagih pis. Nak bek di Bank
Tut.
Sangut: Ooo nak bek di Bank.
Delem: Bench. Tut ba nawang. Nak ngalih pis sing
ja gampang. Misi teken dini teken ditu. Surat dini
surat ditu. Jani de Tut sebet nyen. Tut sing maan pis
jani. Yen tegarang biin 4 hari Tut mai. Pis pasti ada.
Tenang, gampang ajak kaka Tut.
Sangut: 4 hari?
Delem: 4 hariiiii.
Ngurah Delem ajak berurusan. Kini dia sedang
menengok borongannya di Bukit." Begitulah
patutnya dibilang. "Lima hari lagi datang ke sini
lagi, sama abang Ngurah sajalah berurusan." Ooo
begitulah Nyoman dikasih tahu.
Sangut: Lalu Melem?
Delem: Sembunyi di Lumbung.
Sangut: Selesai urusannya? Kalau lima harinya
disuruh datang?
Delem: Lima hari lagi.
Sangut: Lima harinya dia datang lagi.
Delem: "Yeee Ketut. . . ," kan begitu aku. "Abang udah
tahu Ketut ke sini untuk menagih uang. Di Bank
orang-orang terlalu penuh, Tut.
Sangut: Ooo orang penuh di Bank.
Delem: Sungguh. Tut kan sudah tahu. Orang emang
tidak gampang mengambil uang. Perlu tanda tangan
di sini, tanda tangan di sana. Surat di sini, surat di
sana. Sekarang janganlah Tut sedih, ya. Tut tidak
dapat uang sekarang. Coba 4 hari lagi Tut ke sini.
Uang pasti ada. Tenang, gampang dengan abang
Tut.
Sangut: 4 hari?
Delem: 4 hariiii.
Sangut: Four days later he arrives.
Delem: "Helloooooo, Ketut". That's what I'll say.
"Have a coffee first, Ketut." I have a coffee, so I ask
him if he wants one, too. I am sure he doesn't want
one. I just ask for the sake of asking. "The money is
in the cabinet, Ketut, it's all there. If I borrow money
from you, you don't have to worry. But last night
I was browsing through the calendar, and it turns
out that today is my birthday. People say that you
cannot pay back a debt on your birthday. Don't be
sad, Ketut. You will not get your money. Come back
here in five days and you will get the money".
Sangut: Heeey. Three days, four days, five days.
Three days, four days, five days. This will keep going
on until the grass on the path to your door is worn
down without you cutting it. After such a long time
I think the people who are owed the money will be
angry, Melem.
Delem: I hope they are angry. If so, they will be my
enemies. Once they are my enemies, how can they
ask for money? I hope they become my enemies.
Sangut: Delem, if I may say so, don't put yourself up
on such a high horse. When you do that, there is a
danger you will fall. You will break your bones. It is
better to be sitting in a low place {where you cannot
fall). Nowadays people are not dazzled by wealth,
Delem. The world is a circle now. They go to the
store with fifty million rupiah, and come home with
something worth four hundred million.
Delem: And the rest?
Sangut: On creddddddit. Even though it is impressive
to drive an expensive car for one month, after that
the dealer will take it back. Who will you show off
to then, Delem?
Delem: Look at you. Always talking about what
then, what then, what theeeeeeen.
{Demon puppets arrive)
Sangut: Biin 4 hari biin teka?
Delem: lyeeeee. Tut. Sing keto kaka. Ngopi alu Tut.
Ada kopi tanjen mase. Ba kel sing nyak tooo. Pang
kewala tanjen gen, basa-basi. Pis ada di lemari Tut,
genep. Lamun kel nyilih ken Ketut. Tenang gen Tut.
Kola ibi sanja iseng kaka malin kalender, tegak oton
kaka bisa jani. Nak sing kone dadi mebayahan di
tegak oton. De Tut sebet nyen. Tut sing maan pis.
Orang biin limang dina Tut mai pis maaan.
Sangut: Heeeee. Telun, tang dina, limang dina.
Telun tang dina limang dina. Kanti lisig padang
Meleme jumah sing ngudud-ngudud kanti. Yen
mekelo-kelo dong bisa pedih ne ngelahang pipise
ne cang Melem.
Delem: Madak pang pedih. Yen ngidang pang puik
biineng. Ba puik kudiange nagih pis. Madak pang
puik.
Sangut: Leeem. Yen cang ngorin Melem, de bes
tegeh negakan awak. Di ulunge meglebug. Elung
benya. Kanggoang beten-beten. lani ada sing nak
bengong ken kesugihan Leeem. Gumi pada bunter
jani. Ke toko ngaba pis seket juta, dimulihe bisa
barang samas juta aba.
Delem: Sisane?
Sangut: Ngrediiiit. Ooo. Apin gagah ngaba mobil
mewah abulan, suwud to tarike ken delere. Nyen
edengan jani Leeem.
Delem: Tolih cai. Nah Ooo to to to to. lani jani jani
janiiii.
(keluar para Raksasa).
Sangut: Empat harinya lagi dia datang?
Delem: lyeeee. Tut. Kan begitu aku. Minum kopi
dulu Tut. Ada kopi di tawarkan juga. Sudah tahu
dia tak kan mau. Tawarkan saja, basa-basi. Uang
ada di lemari Tut, genap. Masalah meminjam pada
Ketut, tenang saja. Tut. Tetapi semalam iseng abang
membaca kalender, tepat hari ini hari lahirnya
abang. Katanya tidak boleh membayar hutang tepat
di hari lahir. Jangan Tut sedih ya. Tut tidak dapat
uang. Lima hari lagi Tut ke sini, pasti dapat uang.
Sangut: Heeee. Tiga hari, empat hari, lima hari.
Tiga hari, empat hari lima hari. Sampai mati rumput
Melem dirumah tidak perlu ditebas. Lama-lama
orang yang cari uang bisa marah, Melem.
Delem: Aku berharap mereka marah besar. Kalau
bisa agar tak bertegur sapa lagi. Kalau sudah tak
bertegur sapa, gimana dia minta uang? Semoga saja
dia tak bertegur sapa.
Sangut: Leeem. Saya kasih tahu kamu Melem.
Jangan terlalu tinggi memposisikan diri. Kalau
jatuh berbahaya. Patah kamu. Kanggokan di bawah
seadanya. Sekarang ini, tidak ada orang bengong
dengan kekayaan Lem. Bumi sudah bundar.
Sekarang, ke toko membawa uang lima puluh juta,
ketika pulang bisa barang empat ratus juta dibawa.
Delem: Sisanya?
Sangut: Ngeridiiiit. Ooo. Walaupun gagah membawa
mobil mewah, setelah satu bulan itu di tarik oleh
dealer. Siapa yang di perlihatkan sekarang, Leem.
Delem: Kamu hhat. Ya Ooo to to to. Sekarang
sekarang sekaraaang.
(keluar para Raksasa).
229
Maya Cakru (the demon king): Delem.
Delem: That's me.
Maya Cakru: Get ready.
Delem: Yes.
Maya Cakru: We are already at the border.
Delem: Already in the country of Ayodya?
Maya Cakru: Right.
Delem: Right.
Maya Cakru: You can see the monkeys there.
Delem: Wow. The monkeys are on guard
everywhere.
Maya Cakru: Get ready.
Delem: Yes.
Maya Cakru: But if I go inside...
Delem: If you go inside.
Maya Cakru: They will know.
Delem: They will know.
Maya Cakru: Right.
Delem: Right. How can you do it?
Maya Cakru: / have a plan.
Delem: You will carry out your plan. The plan will
prevail. We won't have to fight, but the enemy will
die. It's like finding fish in a pool. The water is not
dirty. The water lilies are not wilted. The fish will be
caught. How?
Maya Cakru: Because I heard that Commander
Anggada (son of King Subali, who was killed by
Rama) went to Siwa Loka.
Delem: You heard the news that the red monkey
went to Siwa's Heaven.
Maya Cakru: Seeking holy water for purification.
Delem: He will get holy water for a purification
ceremony. And now?
Maya Cakru: / will change my form to become a copy
of Anggada. I will bring holy water, and distribute
holy water to everyone. It will be made of poison.
Delem: Aaaaa. Ha, ha, ha. Now, my master, you
will change your form so that you will be seen as
Maya Cakru: Delem.
Delem: Tiang.
Maya Cakru: Yatna!
Delem: Ngih.
Maya Cakru: Sampun prapta aneng ancaknia.
Delem: Nganteg Cumin Yodyane.
Maya Cakru: Yogya.
Delem: Patut.
Maya Cakru: Katon ikanang boset irika.
Delem: Tuh bojoge mejaga pesliwer to.
Maya Cakru: Yatna!
Delem: Inggih.
Maya Cakru: Kewala yan ngong masuk umanjing.
Delem: Yan Iratu macelep.
Maya Cakru: Ketara.
Delem: Tawange.
Maya Cakru: Yogya.
Delem: Patut. Punapi carane?
Maya Cakru: Winaya gelaraken.
Delem: Naaaaa. Daya dabdabang. Daya ngeranang
dayuh. Kenken carane mesiat pang sing (tawange),
musuh pang bangka. Ngalih be di tlagane. lyehe
pang sing puek, tunjunge pang sing layu. Be pang
bakat. Punapi?
Maya Cakru: Mapan Ngong ngarengga sira Wira
Ngada lumaku aneng kunang Siwa Loka.
Delem: Iratu miragi orti, kocap Bojog barake merika
ka Siwa Loka.
Maya Cakru: Ngulati kunang tirta Sudamala.
Delem: Bakal ngalih tirta Sudamala. Sane
mangkin?
Maya Cakru: Ngong anyukti rupa nadi Ngada.
Ngamong tirta, margiang tirta, gawe kunang
wisya.
Delem: Naaaaaa. Ha ha ha. Mangkin ampun Iratu
kel mesiluman pang tawange, pang kadena Ngada.
Maya Cakru: Delem.
Delem: Hamba.
Maya Cakru: Siaga!
Delem: Ya.
Maya Cakru: Sudah sampai di perbatasannya.
Delem: Sampai sudah di negari Ayodya.
Maya Cakru: Benar.
Delem: Benar.
Maya Cakru: Terlihat para monyet di sana.
Delem: Wah monyet-monyet berjaga berseliweran.
Maya Cakru: Siaga!
Delem: Ya.
Maya Cakru: Tetapi kalau Aku masuk ke dalam.
Delem: Kalau paduka masuk.
Maya Cakru: Kentara.
Delem: Diketahui.
Maya Cakru: Benar.
Delem: Benar. Bagaimana caranya?
Maya Cakru: Tipu muslihat dipakai.
Delem: Naaa Akal dijalankan. Akal membuat adem.
Bagaimana caranya berperang agar tidak diketahui,
musuh agar mati. Ibarat menangkap ikan di kolam:
airnya tidak keruh, teratainya agar tidak layu,
ikannya didapat. Bagaimana?
Maya Cakru: Aku mendengar si Perwira Ngada
pergi menuju ke Siwa Loka.
Delem: Paduka mendengar kabar, katanya si Monyet
Merah pergi ke Siwa Loka.
Maya Cakru: Mencari air suci Sudamala.
Delem: Untuk mencari tirta Sudamala. Ya
sekarang?
Maya Cakru: Aku akan berubah wujud menjadi
Ngada. Membawa tirta, membagikan tirta, yang
sesungguhnya adalah racun.
Delem: Naaaa. Ha ha ha. Sekarang paduka akan
berubah wujud jadi Ngada, agar tidak diketahui,
230
/
<yit;w
^ /
^V
5«?^
U>.c
^\
44^
v*^
dUu^
^^:
^•^3t
'Vi'i
/
*Ki.
Jp
•
?>?:
Jit.
Z^-:.
l:-**
A
»*
.^
•*^
Vi A
r1
»•
.<•»:.
f>j^:i
S^^
[;:;?><
5^5p^^
^
^J^
|i»
rr^vs
f;!r<t
\i'^:>
"i^^
i.^^
Kh3
^^s
t
'i
y^
^fih
Kjh-^
-■„/■
m.
•j^^
if:
:"^.^J*^.
;v2s. ^ --*^.;|
f>v
-r^A
-«.
LJ.
^ .» . W ^
."^J
1 iiv-y. 't>
'NM«»-t«
■^15
■'^:>5i?t
fi>
T^
% ^v
*'^^>-^
•"^^
v^^
-■*V .A-
.•%-
^
VW*'
J» « / %.
:?/"
.>-
Anggada. That's what they will think. You will bring
holy water that contains poison. You will distribute
the water and all the monkeys will be defeated.
Maya Cakru: Right.
Delem: Now let's get ready.
Chorus: ... (chants)
Delem: Now, since Anggada is not at home, Maya
Cakru will become Anggada. How can he imitate
him exactly? He will imitate Anggada by pretending
to carry the holy water (to Rama), but it will be full
of poison. They will drink it.
Sangut: If Anggada finds out about that, Delem will
be charged, and taken to court.
Delem: Why is that?
Sangut: For imitating a friend. For stealing his
identity. Now it is important to have our own
identity. Whether it is good or bad, it is our own
self, isn't that true? Even if it is a good imitation of a
friend, what is that for? If Anggada finds out, what
will he do? Take you to court....
Delem: Shut up. Shut up. Shut up. You can buy your
way out of the law.
Sangut: Don't think you can buy your way out of
the law. False words will get you punched in the
mouth. Be careful what you say. Be careful of what
comes out of your mouth. Otherwise your mouth
Ngaba tirta. Ditengah tirta jin cetik. Iratu nyiratin
jeg peplekplek Bojoge.
Maya Cakru: Yogya.
Delem: Ngiring dabdabang.
Sendon: ...
Delem: Jani wireh I Ngada sing ada jumah. Jani
dadi I Ngada. Pang kenken ben pang persis nempa.
Nempa Ngada e. Ngaba tirta, di tengah tirta e jin
cetik. Ia ngajeng.
Sangut: Yen tawange ken Sang Ngada. Kel laporne
ke pengadilan Melem ne.
Delem: Dadi keto?
Sangut: Nempa timpal. Sing ngelah jati diri adane.
Iraga kan penting jani jati diri. Apin luwung, apin
jelek diri sendiri, keto nake. Apin luwung niru
timpal, kenken ne. Yen tawange lantas ken Sang
Ngada, kel kudiang awake. Kena pengadilan...
Delem: Nep nep nep nep! Hukum dadi bayah aaaa.
Sangut: De ngawag-ngawag, hukum dadi bayah.
Pelih baan ngomong jagure bungute nyen. Ngaba
bungut melahang nake. Hati-hati ngaba bungut.
Kene ba bungut me bo mangkug. Ngawag-ngawag
agar dikira Ngada. Membawa tirta. Di dalam tirta
diisi racun. Paduka yang membagikannya; wah
bergelimpangan para monyetnya.
Maya Cakru: Benar.
Delem: Mari persiapkan.
Sendon....
Delem: Sekarang kebetulan I Ngada tidak ada
dirumah. Sekarang berubah wujud menjadi I Ngada.
Bagaimana caranya meniru, agar persis. Meniru
Ngada. Membawa tirta, di tengah tirta diisi racun.
Dia yang makan.
Sangut: Kalau diketahui oleh Sang Ngada, Melem
akan dilaporkan ke pengadilan.
Delem: Kenapa begitu?
Sangut: Meniru teman. Tidak punya jati diri
namanya. Sekarang ini pentingnya kan jati diri kita.
Apakah baik, apakah jelek, itulah diri sendiri. Seperti
itu semestinya. Walau baik, tetapi meniru teman;
bagaimana ini. Kalau diketahui oleh Sang Ngada,
akan dibagaimanakan dirimu. Kena pengadilan...
Delem: Diam! Diam! Diam! Hukum boleh dibayar
aaaa.
Sangut: Jangan sembarangan, hukum boleh dibayar.
Salah ngomong mulut kena pukul. Hati-hati ya, bawa
mulut. Hati-hati bawa mulut. Apalagi mulut berbau
busuk. Sembarangan berbicara. Makanya saya beri
233
will smell bad, if you just say anything that pops into
your head. That's why I am telling you, Melem, that
if you say something, it should be of value, so that
you can imitate the voice of the cecek lizard.
Delem: What does the voice of the cecek sound
like?
Sangut: Even though the cecek is a small creature, a
small animal, the voice of the cecek is valuable.
Delem: Why is it valuable?
Sangut: Everytime people speak, everytime people
speak in their homes, the voice of the cecek will be
answered by human voices.
Delem: How?
Sangut: "Come down Goddess Saraswati. Oh, you
valuable little creature"... The goddess Saraswati
is the symbol of knowledge. The source of that
knowledge is the dot or period, {cecek is a literary
marking indicating the schwa sound, and cecek is also
Balinese for lizard). That's why the Saraswati offerings
include a cake shaped like a cecek. Saraswati is the
symbol of knowledge. The source of knowledge
comes from the dot.
Delem: From what?
Sangut: From the dot. Letters are made from an
arrangement of dots. A straight succession of dots
is called a line.
Delem: A line?
Sangut: A line. Do you know what the word for dot
is in Indonesian?
Delem: What?
Sangut: "T/fz7c." Knowledge is based on dots. Letters
are based on dots. Everything in the world is born
out of a dot. {titik means dot in Indonesia and vagina
in Balinese). You and I were born from a dot.
Delem: Oh, you're bringing it down to that.
Sangut: Yes, like that first. That's why you should
not imitate the voice of a frog under the stairway.
memunyi. Kelan cang ngorin Meleeem. Yan
memunyi pang maji munyie. Pang ngidang nempa
munyin Cecek.
Delem: Munyin cecak? Engken ceceke?
Sangut: Yapin ya cecek to barang cenik, buron
cenik, maaji munyin ceceke.
Delem: Ngudiang maji?
Sangut: Ye kasal ada nak ngorta. Kasal ada nak
ngerembug di bale e. Memunyi Ceceke sautange
ken nake.
Delem: Engken?
Sangut: Turun Sang Hyang Aji Saraswati. O, maji
barang Cenik... Sang Hyang Saraswati to lambang
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan to sumber
uli Cecek. Kelan cara banten Saraswati misi
jaja mepinda Cecek. Saraswati to lambang ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan to mesumber uli
Cecek.
Delem: Uli apa?
Sangut: Uli cecek. cecek ane mererod ngardi hurup.
Ceceke mererod leser garis adane.
Delem: Garis?
Sangut: Garis, ceceke tawang Melem bahasa
Indonesiane?
Delem: Apaaa?
Sangut: Titik. Ilmu pengetahuan to mesumber uli
titik. Hurup itu mesumber uli titik. Di Gumine
makejang mesumber uli titik. Melem cang sing uli
titik lekadne.
Delem: Oooooo. Kema aba ci.
Sangut: Nah sing ketoang nden malu. Makane cang,
kelan de nempa munyin idongkang beten undag.
tau Meleeem. Kalau berbicara, agar omongannya
mempunyai nilai. Agar mampu meniru suara cicak.
Delem: Suara cicak? Bagaimana cicak nya?
Sangut: Walaupun dia cicak itu benda kecil, binatang
kecil: berharga suaranya cicak.
Delem: Kenapa berharga?
Sangut: Ya setiap ada orang berbincang, setiap
orang-orang berembug, di balai-balai rumah.
Cicaknya berbunyi, disahuti oleh orang-orang....
Delem: Bagaimana?
Sangut: "...Turun Sang Hyang Aji Saraswati." Ooo,
berharga barang kecil... Sang Hyang Saraswati itu,
lambang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu
sumber dari cicak. Makanya pada upakara perayaan
Saraswati berisi jajan berupa cicak. Itu Saraswati,
lambang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu
bersumber dari titik.
Delem: Dari apa?
Sangut: Dari titik. Titik yang berderet membuat
huruf. Titik yang berderet lurus garis namanya.
Delem: Garis?
Sangut: Garis. Cicak tahu Melem bahasa
Indonesianya?
Delem: Apaaa?
Sangut: Titik (dalam bahasa Bali berarti bagian dari
vagina). Ilmu pengetahuan itu bersumber dari titik.
Huruf itu bersumber dari titik. Di dunia semua
bersumber dari titik. Melem saya kan bermuasal
dari titik.
Delem: Ooooo. Kesana kamu alihkan.
Sangut: Ya begitukanlah dulu. Makanya saya bilang,
janganlah menirukan suara kodok dibawah tangga.
234
^ i^
->^-
/
\
%-«<
'■ Mi,
■. 1.^
P^ kr^ %x
Delem: Why?
Sangut: If someone is speaking, and they are
answered by a frog under the stairway who says,
''Prut, prut, prut? ('Bullshit'). They will take a stick
and push it into the frog's mouth. The frog is looking
for trouble. It's like that.
Delem: Shut up. Shut up. Shut up. I am the driver
here. You are the assistant. Don't give orders to the
driver. Your job is just to assist. Now it's already
time.
Sangut: Oh, it's so difficult, so difficult. You are
confusing me. We already have a good country here
in Segara Lungsur, but you will make problems again.
What should I do now? Ohhhhhh.
Chorus: .... (chants)
Maya Cakru: / will speak some mantras and hope
they are successful. I will try to unify speech,
thought, and action so that I can change my form
into an imitation of the red monkey. (There is
a transformation and the puppet of Maya Cakru
becomes the false Anggada) Now I can pay my
respects to the king. 'Please forgive your servant
Anggada. I want to pay my respects to my king."
Oh, Anggada has arrived.
Dalang: {singing) "He dares to conquer the world.
Trying to unify it with his actions."
Rama: My brother, Laksmana. How is it possible
that Anggada has already arrived?
Laksmana: That's right, my brother. Please.
Dalang: (sings)
False Anggada: I will pay my respects to you my
king. But please forgive your servant for only now
arriving, because there were a lot of accidents on the
way. They impeded the path of the king's servant.
But please forgive me. Ha ha ha ha.
Delem: Engkeeeen.
Sangut: Asal ada nak ngorta sautange ken dongkang
beten undag. Prut prut prut. Jemak ne legitik uguge
bungute. Dongkang ngalih wisya ne. Keto a.
Delem: 'Ndep, 'ndep, 'ndep. Kaka sopir ci kernet. De
sopire wawa. Urusan kernete gen to. Jani ba jani.
Sangut: Aduh keweh-keweh. Aduh raga jeg inguh
baane. Yen monto ba melah Gumine madan Segara
Lungsur. Biin bakal ngae uru ara. Kudiang awake
jani. Aduuuh.
Sendon: ...
Maya Cakru: Angeregep aken kunang japa mantra
wak bajra. Anunggal kunang Bayu Sabda Idep.
Lamakana matemahaken ikanang Boset Bang.
Enaaaak. (berubah menjadi Anggada). Aduh
pasang tabe sri narendra. Kewala kesamaakna
pakuluuun sirang Ngada. Tabe-tabe Sri Narendra.
Aduh Ngada dateng.
Dalang: (gending) Sura dira jayaning raaaat.
Lebur dening pangastuti.
Rama: Sumirta putra antenku pwa kalaganta.
Kadiang apaaa. Yayateki menawi sira Ngada wus
prapta.
Laksamana: Yogya kaka. Mabener. Saderaaaaaa.
Dalang: (gending) "Kasayan ikang papa. Nahan
prayojana. Ikang kaula.
Anggada Palsu: Aduh pasang tabe Sri Nara Raja.
Kewala ksamakna kang kaula. Mapan wawu
nyatpada mapan akweh bencana madyaning
awan, mengadang patik Sri Narendra. Kewala
ksamaknaaaaa ksamaknaaa. Ha ha em ha ha.
Delem: Bagaimana?
Sangut: Kalau ada orang berbincang, disahuti oleh
kodok dibawah tangga. Prut prut prut. Diambilkan
kayu di tonjok-tonjok mulutnya. Kodok mencari
bahaya. Begitu dia.
Delem: Diam, diam, diam. Gua sopir lu kernet.
Jangan sopir di perintah. Urusan kernet saja urus.
Sekaranglah, ya sekaranglah.
Sangut: Aduh susah-susah. Aduh, saya ini dibuat
bingung olehnya. Padahal sudah punya Negara
bernama Segara Lungsur. Lagi berulah buat masalah.
Kuapakan diriku sekarang ini. Aduuuh.
Maya Cakru: Memusatkan mantra dalam hati dari
kekuatan bunyi, menyatukan tenaga, perkataan
dan pikiran. Agar dapat berubah wujud menjadi
Kera Merah. Semoga, (berubah menjadi Anggada).
"Aduh hormat hamba kepada sang maharaja.
Maafkanlah hambamu ini Si Ngada. Ampunilah
hamba maharaja. Aduh, Ngada datang."
Dalang: (gending) Gagah berani berjaya di dunia.
Menyatu dari permohonan.
Rama: Dinda Laksmana adiku. Bagaimana
gerangan? Nampaknya mungkin ini si Ngada
telah datang.
Laksamana: Patut paduka. Memang benar.
Silahkan.
Dalang: {gendmg)"Menghilangkan kemelaratan
rakyat diupayakan ....
Aanggada Palsu: Aduh, hormat hamba pada
Maharaja. Maafkan hamba ini abdimu. Karena
terlambat datang, karena banyak halangan di tengah
perjalanan, menghadang hamba abdimu paduka
maharaja. Maafkanlah, maafkanlah. Ha ha em ha ha.
237
Rama: My son, Comander Anggada. My heart has
no feeling other than happiness now, because you
have already arrived here to stand before me.
False Anggada: That is right, my king. Ha Ha ha.
{Hanuman arrives)
Hanuman: I pay my respects to you, my king. Oh,
Hanuman is also happy, because my brother has
already arrived, bringing holy water. But now, my
king, please go inside first. Hanuman will ask his
brother about something.
Rama: If it is like that, be careful, Hanuman.
Hanuman: Please, go ahead.
Chorus sings
Hanuman: My brother Anggada.
Anggada: I am your brother.
Hanuman: / am so happy, because my brother has
arrived bringing holy water that can be used to
complete the ceremony of King Rama.
False Anggada: That's right.
Hanuman: But before you go inside the palace I
have a question for you.
Anggada: / am ready.
Hanuman: Anggada.
Anggada: / am ready.
Hanuman: {speaks in monkey gibberish). Are you
deaf? Are you deaf? Anggada.
False Anggada: (not having understood) Please go
ahead.
Hanuman: (more monkey gibberish) You are a
counterfeit monkey.
Chorus sings
Delem: What's going on?
Rama: Anaku Wira Ngada pwa kalaganta. Tan
sipi gatinira tuas ulun kaya mangke. Mapan
kita sampun prapta umedekaken cumawis kaya
ingulun.
Anggada Palsu: Aduh mabener Sri Narendra. Ha
ha ha.
(Datang Hanoman).
Hanoman: Kruweeeeek. Tabe-tabe Sri Narendra.
Aduh Maruti Hanoman juga garjita. Mapan
antenku sampun prapta. Angawa kunang tirta.
Kewala mangkin Sri Narendra manjing rumuhun!
Maruti bipraya mewarah-warah lawan antenku.
Rama: Yan tuhu mangkana yatna kalaganta
Maruti!
Hanoman: Lumaris!
Sendon: ...
Hanoman: Ranten ku Ngada pwa kalaganta.
Anggada Palsu: Sadera kaka.
Hanoman: Aduh aku garjita tan sipi, mapan
antenku sampun prapta. Angamong kunang tirta.
Ya matemahan cumawis sida karya yadnyan Sri
Regawa.
Anggada Palsu: Yugya-yugya.
Hanoman: Kewala, sadurung kamu manjing
aneng kunang Puri Kuta. Aku atetanya lawan
kalaganta.
Anggada Palsu: Sadera.
Hanoman: Ngada.
Anggada Palsu: Sadera.
Hanoman: Kuweeep we wep. Wo wop, wo wop, we
wep, we wep. Kal ci bongol? Bongol ci? Ngadaaa.
Anggada Palsu: Sadera.
Hanoman: Kuwe wep. We wep. We we wep. Wo
wop. Wo wop. Wenara dusta baaaah.
Sendon: ...
Delem: Sapunapi?
Rama: Anaku Perwira Ngada kamu. Tak terkira
senangnya hatiku sekarang. Karena kamu sudah
sampai menghadap dengan ku.
Anggada Palsu: Aduh benar paduka Maharaja. Ha
ha ha.
(Datang Hanoman)
Hanoman: Kruweeeek. Hormat hamba pada yang
Mulia Maharaja. Aduh, Maruti, Hanoman juga
bahagia. Karena adikku sudah kembali. Membawa
air suci. Tetapi sekarang paduka maharaja masuk
dahulu. Hanoman akan berpesan dengan adikku.
Rama: Kalau demikian waspadalah kamu
Hanoman.
Hanoman: Silahkan!
Sendon....
Hanoman: Adindaku Ngada kamu.
Anggada Palsu: Baiklah kakanda.
Hanoman: Aduh saya senang sekali, karena
adikku sudah kembali. Membawa air suci. Yang
akan membuat suksesnya upacara digelar oleh Sri
Rama.
Anggada Palsu: Benar-benar.
Hanoman: Tetapi, sebelum kamu masuk ke dalam
Istana. Aku bertanya dengan kamu.
Anggada Palsu: Silahkan!
Hanoman: Ngada.
Anggada: Silahkan.
Ha: Kuweeep we wep. Wo wop, wo wop, we wep,
we wep. Kenapa kamu tuli? Tuli kamu? Ngadaaa.
Anggada: Silahkan.
Ha: Kuwe wep. We wep. We we wep. Wo wop. Wo
wop. Monyet dusta waaaah.
Sendon...
Delem: Bagaimana?
238
'^
> ^
e-,-'
'4'* ' -^
^zp^S
^.._..- .'^_. . /fife,- w^of r.- I
False Monkey: Run. There is a white monkey
blocking the path of Commanderl Anggada.
Delem: There is a white monkey blocking my master's
path, asking questions in monkey language.
False Anggada: That's right.
Delem: I forgot to give you a course in monkey
language.
False Anggada: What should I do now?
Delem: Don't worry, my master. Behind us there
are still demons who will defend you. Oh, they will
attack and kill the monkeys.
False Anggada: Aaaahhh anger aahhh.
Delem: Let's go.
Chorus sings
(The demons arrive)
Sangut: Heh heh he he
Delem: You are laughing.
Sangut: This is a different kind of laughing. Actually
Hanuman has become a judge. He doesn't want to
accept a bribe. He really wants to uphold justice.
What will you do about that? If Hanuman wanted
to accept a bribe, you and your king would be free. If
Judge Hanuman accepted bribes, he would surely be
a bad judge. So what will you do now? That's why I
told you before. People shouldn't try to be someone
else. They should just be themselves, and not try to
steal the identities of others. How can you defend
yourself now?
Delem: Shut up. Shut up. Shut up. I will use my own
power. My body is strong and I have a lot of money.
Now is the time. The demons are powerful. They will
eat the monkey judge.
Sangut: We are already resorting to violence. The
law will not be upheld. Can violence be used this
way? Maybe it would be better if the law were upheld.
The people will be witnesses. The media will expose
the proceedings of the trial. I think Melem's Master
Anggada Palsu: Melayu. Hana Boset petak ngadang
Wira Ngada.
Delem: Wenten Bojog Putih nyaga Ratu metakon
aji basa bojog?
Anggada Palsu: Yogya.
Delem: Tuh engsap ngemang kursus basa bojog.
Anggada Palsu: Kadiang apa?
Delem: Aaaah Iratu sampunang sumandang saya.
Ring ungkur kari wenten Raksasa pacang mebela
pati ring anggan Iratu. Aaah, papagin Bojoge jeg
matiang bojoge.
Anggada Palsu: Aaah kroda.
Delem: Ngiring.
Sendon: ...
(Keluar para Raksasa).
Sangut: He he he he.
Delem: Kedek?
Sangut: Aing nak kedek len ne. Benengen ne dadi
Hakim Sang Hanoman. Tidak mau menerima suap.
Betul-betul menegakkan hukum to. Kudiang awak
to? Yen ada lantas Sang Hanoman ngidang suap,
mara ngidang loos to. Amun Hakim Sang Hanoman
dadi hakim, mau dengan suap. Jeg pasti terjegal.
Ooo kudiang awake jani to. Makane orin cang. De
demen menjadi orang lain. Jadilah diri sendiri.
Kudiang awake ba pelih o. Ngudiang melaning
awak.
Delem: Nep nep nep! Sakti anggon. Awak siteng. Pis
liu ngelah. Jani ja. Raksasa sakti-sakti. Apa Hakim
Bojog jeg amah nas ne.
Sangut: Badah ne ba main keras ba lantas. Hukume
sing mejalane. Dadi nak main keras keto na. Kan
hukume jalanin. Masyarakat akan jadi saksi.
Media-media akan mengekspos jalanya sidang.
Ooo. Ngencot cang sesuhunan Melem gelem biin
Anggada Palsu: Lari. Ada Monyet Putih
menghadang perwira Ngada.
Delem: Ada Kera Putih menjaga paduka seraya
bertanya dengan bahasa monyet.
Anggada Palsu: Benar.
Delem: Aduh, kelupaan memberi kursus bahasa
monyet.
Ap: Bagaimana?
Delem: Aaaah paduka jangan khawatir. Di belakang
masih banyak raksasa akan membela paduka. Aaah,
hadapi monyetnya. Bunuh monyetnya.
Anggada Palsu: Aaaa geram.
Delem: Mari.
Sendon....
(Keluar para Raksasa).
Sangut: He he he he
Delem: Tertawa?
Sangut: Ndak. Orang saya ketawa lain, nih.
Kebetulan yang menjadi hakim Sang Hanoman.
Tidak mau merima suap. Betul-betul menegakkan
hukum, beliau. Dibagaimanakan diri ini? Kalau saja
Sang Hanoman bisa disuap, baru barangkali bisa
lolos. Jika yang jadi hakim adalah Sang Hanoman,
mau disuap, pasti terjegal. Ya, mau diapakan diri ini.
Makanya saya bilang, jangan senang menjadikan diri
orang lain. Jadilah diri sendiri. Mau diapakan lagi,
orang diri sudah salah. Gimana caranya membela
diri, sekarang?
Delem: Diam, diam, diam! Kesaktian dipakai. Pisik
kuat. Uang banyak. Sekaranglah. Raksasa sakti-
sakti. Apa itu hakim monyet, lalap saja dia.
Sangut: Wah, sudah main keras jadinya. Hukum
tidak ditegakkan. Apakah boleh main kekerasan
seperti itu? Mestinya kan hukumnya dijalankan.
Masyarakat akan jadi saksi. Media-media akan
mengekspos jalannya sidang. Ooo. Keterlaluan
241
might suddenly get sick tomorrow. {A reference to
ex-President Suharto avoiding corruption trials by
feigning illness).
Delem: Why is that?
Sangut: A lot of people do that. When the trial
begins they get sick. They make the job difficult. It's
difficult to ask questions when people get sick. That
is a powerful way to fight the law.
Delem: How is that?
Sangut: By pretending to be sick. A little scab, and
they are sick. If there is a little scab, they say they are
sick. A little headache. They're sick.
Delem: Isn't there a doctor?
Sangut: Doctors. There are many honest doctors.
And there are many so-called doctors that accept
bribes.
Delem: They want a confirmation of their sickness.
Sangut: Not all doctors are like that. I don't want
my mouth to say the wrong thing again. I don't dare.
I'm talking about the 'so-called' doctors. Isn't it like
that? What can you do? People always say, 'Satwam
Eva Jayate" Meaning 'The truth will come out in the
end." Ohh. Sooner or later. It's still like that. That's
why Melem wants to become governor. If Melem
really became governor here in Segara Lungsur,
and held power, no law could touch you. When
you leave office, the corruption commission will be
questioning you. In that way they will find Melem.
When you leave office Melem will be investigated
by the corruption commission (LP3). That's why all
your wealth will be audited. Where does this come
from? Where does that come from? When you are
holding office in power, no law can touch you, because
you yourself made the laws. When you leave office,
they will find you. . . . That's why I told you, you have
to be brave enough to take responsibility for your
actions. Don't talk a lot. That's why I say, "Satwam
mam nyen.
Delem: Kal keto?
Sangut: Liu keto. Asal sidang geleeem. Sidang
gelem. Bench nak sukeh, sukeh menginterograsi
orang gelem soalne. To ba, toba kekuatan paling
ampuh to ngelawan hukum.
Delem: Sangkal keto?
Sangut: Sangkal aliha geleeeem. Bolenan geleeem.
Bolenan misi, sakit bolenan orange. Pengeng gigis
geleeem.
Delem: Kan ada dokter.
Sangut: Dokter. Dong liu doktere jujur. Ada dokter
oknum yang begitu kan keto dadi tombok.
Delem: Nyak ba ya neken gelem. Sing keto ya?
Sangut: Sing ja onya doktere keto. Biin pelih
bungute nyen. Sing bani nyen. Kan oknum raosange,
oknum. Kan keto. Kel kudiang? Cara omongan
sesai to, Satwam Eva Jayate. Kebenaran akan pasti
menampakan diri. Ooo. Lama atau cepet. Tetep
to. Kelan Melem nagih dadi Gubernur. Saja nyen
Melem dadi Gubernur dini di Segara Lungsur.
Benengan Melem ngisi jabatan sing ada hukum
ane paek. Di suba suwude tetele Melem ken badan
pemeriksa korupsi to. Keto, aliha ba Melem. Di ba
suwud aliha ba Melem ooo. LP3 to. Awanin jani
telah kekayaan Meleme di audit. Ne dija tekane-
ne dija tekane? Dija kaden tekane. Kudiang awake?
Dibenengan ngisi jabatan, saja sing paek huMaya
Cakrue bani. Pedidi ngae hukume to. Ba suwud
aliha benya.... sangkal cang ngorang, bani berbuat
bani bertanggung jawab. Bedikan omongan. Kal
cang ngorang SaTwam Eva Jayate. Kebenaran pasti
akan menampakan diri.
junjungan Melem, bisa sakit nanti.
Delem: Kok begitu?
Sangut: Banyak yang begitu. Asal sidang, sakit.
Sidang, sakit. Masalahnya, orang emang sulit, sulit
menginterograsi orang sakit. Itu 'dah, itulah, jadi
kekuatan yang paling ampuh melawan hukum.
Delem: Kenapa begitu?
Sangut: Setiap dicari, sakiiiiit. Panu sakit. Kena
panu, sakit panu dibilang. Pusing sedikit, sakiiit.
Delem: Kan ada dokter.
Sangut: Dokter, Memangnya banyak dokter
yang jujur. Ada oknum dokter yang begitu..., bisa
disuap.
Delem: Mau 'dah menandatangani surat sakit.
Bukankah begitu?
Sangut: Tidaklah semua dokter seperti itu. Nanti
salah lagi mulutku. Takut aku. Makanya dibilang
oknum. Gitu kan? Mau dibagaimanakan lagi. Bukan
begitu. Akan dibagaimanakan lagi? Seperti sering
telah dislogankan Satwam Eva Jayate. Kebenaran
akan pasti menampakan diri. Ooo. Lama atau cepat.
Tetap itu. Makanya Melem minta jadi Gubernur,
Melem sungguh bisa jadi Gubernur di sini di Segara
Lungsur. Selama Melem memegang j abatan tidak ada
hukum yang berani mendekat. Ketika sudah selesai
menjabat, dituntutlah Melem oleh badan pemeriksa
korupsi itu. Begitu. Dicarilah Melem. Ketika selesai,
dicarilah Melem ooo. oleh LP3. Makanya sekarang
seluruh kekayaan Melem diaudit. Yang ini darimana
datangnya? Ini dari mana datangnya? Tidak tahu,
darimana sih datangnya? Mau bilang apa lantas?
Memang ketika masih memegang jabatan tidak
ada hukum yang berani mendekat. Ketika sudah
selesai, dicarilah kita. Makanya saya kasih tahu:
berani berbuat berani bertanggungjawab. Kurangi
242
K
W ,
TK:
I
• •?„
\
\<
^Mr
^''>\
^-^'^
-'y' '•
.>*t-?
^•1
:'/
\
■J^-^i
■^ L' V
V
.TV^
•'-•■^
'^
to* ^
I
i
■0
:•.•"
«•('a
*?^^.
Eva Jayate' which means "The truth always comes
out in the end."
(The exact translation of the phrase is "Truth will
emerge victorious," but the servant gives his own
spin to the translation.)
Delem: Okay, lets get moving. Now I will eat that
one. (the white monkey)
Chorus sings
Hanuman: My father, Sugriwa, king of the monkeys.
Prepare to give orders to all the monkeys, because a
horde of demons are trying to kidnap Lord Rama.
Krueeeeek.
{sound of monkeys arriving)
Monkey: kruweeeek. Ha ha aiii.
Raksasa: Haaa. Out of my way, you monkeys. I am
looking for Rama. To kill him. To kill him. To kill
him. He he he. Because he created the disaster that
killed our former king. He unleashed chaos.
Hanuman: Krueeek. You are full of empty boasting.
What? Kill Rama? I will prevent his death. If you are
truly a good soldier, fight against me, Hanuman.
Raksasa: Damn you.
(Hanuman and the demon fight)
Dalang: aih ahi ahi.
Dalang: laaahh aoiiik aik aik. Aik aik aik. laaah ah.
Weeee, kruweeek.
Dalang: Kruweek aii.
{Hanuman continues to fight with the demon)
Chorus sings
Sangut: Wow. The monkeys are everywhere. The
demons are as big as Rangdu trees. Yeee, Nyoman.
{speaking to another puppet that has arrived, a
common man)
Nyoman: What's going on?
Sangut: Why have you just arrived?
Delem: Nah dabdabang, Jani kaka ngamah tooo.
Sendon: ...
Hanoman: Bapa kapi Raja. Sedeng yatna tamtam
Wore- Wore sedaya! Apan Raksasa kweh bipraya
mengep Sri Rama Badra. Kruweeeek.
(Keluar para Bojog).
Bojog: Kruweeeeek. Ah ah aaah Aiii.
Raksasa: Heeeee Haaaa. Minggir-minggir
kalaganta Beset! Maperih sirang Regawa. Pejah
pwa ya, pejah pwa ya. He he he. Mapan ya ngawe
kabancana mejah Bapa rumuhun. Angulatdara.
Hanoman: Kruweeeek. Cangkah-cumangkah
kalaganta mojar. Apaaa? Maperih sirang Sri
Regawa? Aku pinaka penelang patinira. Yan tuhu
kau prawira pagpaga yeki Maruti.
Raksasa: Ah bobab.
(Hanoman dan Raksasa bertempur).
Dalang: Aih aih aih.
Sendon: ...
Dalang: laaah aoiik aik aik. Aik aik aik iaaah ah.
Weeee. Kruweeek.
Sendon: ...
Dalang: Kruweeek Aiii.
(Hanoman terus berperang dengan Raksasa).
Sendon: ...
Sangut: Aruh Bojog-bojoge. Raksasa aman punyan
Kepuhe. Yeee Nyoman.
Nyoman: Engkeeeen.
Sangut: Ngudiang mara pesu?
membual. Makanya saya bilang: Satwam Eva Jayate.
Kebenaran pasti akan menampakkan diri.
Delem: Ayo bersiaplah. Sekarang aku makan ituuu.
Sendon...
Hanoman: Ayahanda Sugriwa. Waspadalah.
Persiapkan kera-kera semua! Karena tidak sedikit
Raksasa berkemauan mencelakai Rama Dewa.
Kruweeek.
(Keluar para Bojog)
Kera: Kruweeek. Ah ah aaaah aii.
Raksasa: Haaaa. Minggir-minggir kamu kera! Aku
mencari Rama. Matilah dia. Matilah dia, mati dia.
He he he. karena dia membuat bencana membunuh
raja dahulu. Membuat onar.
Hanoman: Kruweeeek. Bicaramu sembarangan.
Apaaa? Mau membunuh Rama? Aku sebagai
penghalang kematiannya. Kalau memang kamu
perwira hadapi ini Hanoman.
Raksasa: Ah bangsat.
(Hanoman dan Raksasa bertempur).
Dalang: Aih aih aih.
Dalang: laaaah aoiiik aik aik. Aik aik aik iaaah ah.
Weeee, Kruweeek.
Dalang: Kruweeek aiii.
(Hanoman terus berperang dengan Raksasa).
Sendon
Sangut: Aduh kera-kera. Raksasa sebesar pohon
Rangdu. Yeee Nyoman,
Nyoman: Bagaimana.
Sangut: Kenapa baru datang?
245
Nyoman: Whether I arrive first or last, I still don't
get anything. The results are the same.
Sangut: Where are you going?
Nyoman: Nowhere in particular. Just walking
around here.
Sangut: You're not going with us?
Nyoman: Where?
Sangut: To battle.
Nyoman: Against who?
Sangut: The monkeys.
Nyoman: What did the monkeys do wrong?
Sangut: The monkeys are the enemies of Sang Kal
Maya Cakru {the demon who tried to impersonate
Angga d a)
Nyoman: Should I become the enemy of my friend's
enemy? If someone dies, would you order me to die,
too? My head will grow bald if I thought like that.
Sangut: What are you talking about?
Nyoman: Nothing.
Sangut: Those are our orders, Nyoman.
Nyoman: What kind of order is that?
Sangut: Everyone should fight now. Small, young, old,
pregnant, one-eyed, one-legged, everyone should fight.
Nyoman: Maluan pesu mase sing maan apa. Siduri
patuh.
Sangut: Kel kija ne?
Nyoman: Sing kija, Ineng-ineng dini gen ja.
Sangut: Ci sing bareng?
Nyoman: Kija?
Sangut: Mesiat!
Nyoman: Nyen lawan?
Sangut: Bojoge.
Nyoman: Apa pelih Bojoge?
Sangut: Bojoge memusuh ken Sang Kala Maya
Cakru.
Nyoman: Timpale memusuh wake barengan ci? To
nake mati, wake bareng orin ci mati? Lengar nase
yen berpikir gen terus.
Sangut: Engken ne?
Nyoman: Engken sing.
Sangut: Nak perintah ne Man.
Nyoman: Perintah engken?
Sangut: Kel mekejang jani mesiat. Cenik, kelih, tua,
bajang, peceng, perot, makejang mesiat.
Nyoman: Walaupun duluan datangnya, toh juga
tak dapat apa-apaan. Sama dengan yang datang
belakangan.
Sangut: Mau kemana ini?
Nyoman: Tidak kemana, keluyuran di sini saja.
Sangut: Kamu tidak ikut?
Nyoman: Kemana?
Sangut: Berperang!
Nyoman: Siapa yang dilawan?
Sangut: Kera.
Nyoman: Apa salahnya kera?
Sangut: Kera bermusuhan dengan Sang Kala Maya
Cakru.
Nyoman: Orang lain bermusuhan, kok saya kamu
ikut dilibatkan? Kalau orang mati, kamu juga suruh
saya ikut mati? Botak kepala jadinya kalau berpikir
saja terus.
Sangut: Bagaimana ini?
Nyoman: Enggak apa-apa.
Sangut: Orang ini perintah, Man.
Nyoman: Perintah bagaimana?
Sangut: Sekarang ini semua orang ikut berperang.
Kecil-besar, tua-muda, buta-pincang, semua berperang.
246
Nyoman: Small, young, old, pregnant, one-eyed,
one-legged. All should fight?
Sangut: Follow them.
Nyoman: Should my grandfather, who is dying at
home, also come to kill the enemy? How can he kill
the enemy when he can hardly walk? Is your voice
coming out of your mouth, or someplace else?
Sangut: I am clever, but he is even more clever.
This one is really clever. It's like this, Nyoman. It's
like this, Nyoman. I will say a little something to
Nyoman.
Nyoman: You can say a lot. It's okay. The world is
now free. Please say as much as you want.
Sangut: Nyoman doesn't want to follow?
Nyoman: Why should we fight with all our friends?
Sangut: Nyoman, where are you going?
Nyoman: I will buy some Kentucky Fried Chicken.
Sangut: To give to whom?
Nyoman: To give to my wife. In my opinion my wife
is number one. It is difficult for me. I am already
old. My wife is young.
Sangut: So, your wife is young?
Nyoman: She is young. I was forty years old when we
got married. My wife was twenty when we married.
I was so happy. When I was fifty, my wife was thirty.
When I was sixty, she was forty. My wife wants sex,
but I am too weak.
Sangut: Ha ha ha. That's why I told you, Nyoman.
Don't marry a wife that is too young.
Nyoman: She is faithful to me. No one is faithful to
you.
Sangut: So what happens now?
Nyoman: Nothing.
Sangut: Now you just think about satisfying your
neighbors. The neighbors are satisfied.
Nyoman: That's okay. I sold my wife on purpose.
Nyoman: Cenik, kelih, tua, bajang, peceng, perot.
Bareng mesiat?
Sangut: Bareng.
Nyoman: Kake jumah ne mekere bangka to bareng
ngematiang musuh. Salihte ngematiang musuh
mejalan kake to sing ngidang. Ci bungut ci memunyi
apa apan ci ne?
Sangut: Ooo raga ba pahit ne biin pahiten. Pait ne
pait. Kene Man kene Man. Gang bedik gen ngomong
ken Man.
Nyoman: Pang liu dadi. Nak Gumi bebas jani
ngomong ba ci. Kal ulung munyi nah.
Sangut: Man sing bareng?
Nyoman: Ngudiang timpale telah lawan?
Sangut: Man kija ne?
Nyoman: Kel meli kentuky kud.
Sangut: Bang nyen?
Nyoman: Baang kurenane. Raga kan kurenane
malu ucukang. Raga keweh kene to. Awak ba tua.
Kurenen cenik, bajang tesan.
Sangut: Men kurenan Mane bajang?
Nyoman: Bajang to. Raga pidan meumur tang asa.
Kurenane meumur duang asa ked juang. Lega atie.
Raga meumur seket, kurenane telung dasa umurne.
Raga nem dasa ya tang asa. Kurenane sedeng
mekitae raga sedeng woon ne to.
Sangut: Ha ha ha, Kelan cang ngorin Man. De ngalih
kurenan bes cenik.
Nyoman: Wak kegugu. Gi sing kegugu.
Sangut: To kudiang jani ne?
Nyoman: Kudiange sing.
Sangut: Betek ngurusin pisaga gen ci. Pisagane
betek.
Nyoman: Pang ba. Jelap biin kel adep kurenane.
Nyoman: Kecil-besar, tua-muda, buta-pincang,
semua ikut berperang?
Sangut: Ikut.
Nyoman: Kakek yang jelang mati di rumah, ikut dia
membunuh musuh? Jangankan membunuh musuh,
berjalan saja kakek itu tidak bisa. Kamu mulut mu,
bicara apa apaan nih?
Sangut: Ooo Kalau awak sudah merasa cerdik, ini
lebih cerdik lagi. Gerdik sunguh cerdik. Begini Man,
begini Man. Tak banyak saya bicara dengan Man.
Nyoman: Banyakpun boleh. Sekarang ini era bebas,
bicara 'dah semanmu. Asal keluar bicaramu....
Sangut: Man tidak ikut?
Nyoman: Kenapa teman semua dilawan?
Sangut: Man kemana ini?
Nyoman: Akan membeli kentucky satu.
Sangut: Mau kasih siapa?
Nyoman: Kasih istriku. Kalau saya kan istri yang
didahulukan. Saya sulit begini. Saya sudah tua. Istri
masih kecil, muda lagi.
Sangut: Istrimu muda, Man?
Nyoman: Muda dia. Ketika dulu saya berumur
empat puluh, istriku berumur dua puluh, ketika
dinikahi. Amat senang hatiku. Saya berumur lima
puluh, istriku berumur tiga puluh. Saya enam puluh
dia empat puluh. Istri sedang bernafsunya saya
sedang lesunya.
Sangut: Ha ha ha, makanya saya beritahu kamu,
Man. Jangan mencari istri terlalu muda.
Nyoman: Saya dipercaya. Sedangkan, kamu tidak
dipercaya.
Sangut: Lalu mau diapaain sekarang ini?
Nyoman: Enggak apa, sih.
Sangut: Tak henti mengurus tetangga saja kamu.
Tetangganya yang kenyang.
Nyoman: Biarlah. Sengaja 'kan 'ku jual istriku.
247
Sangut: Why is that?
Nyoman: I hope my wife will have many other
lovers.
Sangut: Why is that?
Nyoman: If she has ten lovers, every night she earns
a hundred thousand from each one. I will get one
million in cash. All I have to do is sign.
Sangut: Nyoman, Nyoman.
Nyoman: What?
Sangut: I am telling you, Nyoman.
Nyoman: Don't give me any philosophy. I already
eat philosophy every day. Nobody is interested in
advice these days. Most people are deaf, but they
can hear.
Sangut: What is that called?
Nyoman: If I give them money, they can hear. If I
give them work to do, they are deaf. Now it is always
like that. People don't want to listen. I am feeling
only happiness now. You are young. Your wife is
old. You are looking for a grandmother. So don't
try to teach me any more. I don't want your lessons.
Tomorrow your wife will die. You hope your wife
will die so you can get another one. You are looking
for the old ones. You have shared all the wives of
your friends. Tliey can only sit on your lap. You
should look for one that can do more. Now that my
wife is young and I am old, I tell her to just give me
a massage.
Sangut: Just a massage, Nyoman?
Nyoman: Yes, that's it.
Sangut: So, Nyoman has never gone to war?
Nyoman: Why fight? I love peace.
Sangut: Those are our orders.
Nyoman: Are you the leader? What will you
become?
Sangut: The servant.
Sangut: Adi keto?
Nyoman: Wak madak pang kurenan wake liu ngelah
mitra.
Sangut: Adi keto?
Nyoman: Ngelah mitra neng dasa gen, sebilang
peteng ngenyuhin pis padum satus tali, satu juta
wak ngelah pis. Wake sing neken-neken gen.
Sangut: Man, Man.
Nyoman: Engkeeen?
Sangut: Gang ngorin Man.
Nyoman: De j a wake baang tutur. Wake ba ngamah
tutur ngelemah. Sing ada nak dadi tuturin jani. Nak
ba liunang bongol ningeh.
Sangut: Apa madan keto?
Nyoman: Baang pis ningeh. Baang gae bongol. Jani
nyen pang keto. Ada sing nak ningeh. Wak demen-
demen ati kene pa. Ci wak truna kurenan ci tua.
Dadong-dadong alih ci. Sangkal de urukane cang
biin. Misi ngurukan tara ditu. Mani gen bangka.
Madak mati se biin maan ngalih. Ci ngalih ne tua-
tua to. Kelah abilan timpale amah ci. Dadi abin-
abin dogen? Pang dadi adokan nake. Ooo jani api
nyen kurenan ba siteng. Wake ba tua, orin mijit-
mijit dogen to.
Sangut: Mijit-mijit Man?
Nyoman: Aa to.
Sangut: Dong Man sing maan mesiat nen?
Nyoman: Ngudiang mesiat? Raga 'kan cinta damai.
Sangut: Nak perintahe keto.
Nyoman: Ci dadi kelian? Ci dadi apa?
Sangut: Parekan!
Sangut: Kenapa begitu?
Nyoman: Saya berharap istri saya banyak punya
selingkuhan.
Sangut: Kenapa begitu?
Nyoman: Punya selingkuhan sepuluh saja, setiap
malam memberi uang seratus ribu, satu juta saya
punya uang. Saya 'kan tanda tangan-tanda tangan
saja.
Sangut: Man, Man.
Nyoman: Bagaimana?
Sangut: Saya beri tahu Man.
Nyoman: Jangan saya diberi nasehat. Makanan
sehari-hari saya nasehat. Tidak ada orang bisa
dinasehati sekarang. Orang kebanyakan sudah tuli
mendengar nasehat.
Sangut: Apa namanya begitu?
Nyoman: Dikasih uang dengar. Dikasi kerja jadi
orang tuli. Siapapun sekarang begitu. Tidak ada
orang mendengar. Awak hanya nyenengi hati
dewe. Kamu muda, istrimu tua. Nenek-nenek yang
kamu cari. Makanya jangan ngajarin saya lagi. Beri
nasehat lagi. Besok saja mati dia. Semoga mati, kan
dapat mencari lagi. Kamu itu mencarinya yang tua-
tua saja. Makanya ladang orang kamu lalap. Kamu
kira hanya cukup dipangku saja? Agar bisa dipakai
semestinya. Ooo sekarang walaupun istri muda,
saya sudah tua, suruh memijat-mijat saja tuh.
Sangut: Memijat-mijat Man?
Nyoman: Ya itu.
Sangut: Lho emangnya Man belum dapat
berperang?
Nyoman: Kenapa berperang? Saya kan cinta damai.
Sangut: Orang perintahnya begitu.
Nyoman: Kamu kan jadi ketua? Kamu jadi apa?
Sangut: Abdi!
248
■aSteft^rV
/
Y
Y
"'^fir'-^
( ^
i
W
(
>^"^Vv,
M=
/
5
i
\
_ t
^V'
Nyoman: What is a servant? It is just the one who
eats whatever is close. He is the one who gives the
king clever ideas about how to improve the world.
Why use them for fighting? Lord Rama, you should
know, is like a bumblebee, Rama the Bee.
Sangut: How is he like a bumblebee?
Nyoman: We must have many teachers in our lives.
Choosing which of their examples to follow is like
picking leaves from plants or fruit from trees, like
animals do.
Sangut: So why do you say that Rama is like a bumble
bee?
Nyoman: The bee, you should know, lands on the
leaf, but the leaf does not break. He lands on the
twig. The twig does not break. He lands on the
branch. The branch does not break. He lands on the
flower. The flower does not break. But he fertilizes
the flower, helping the flower, renewing the life of
the flower. What is the result?
Sangut: What?
Nyoman: Honey. That is the best result. That's how
the bee is good. But you have to be careful with
bees. Because if you do something wrong, and play
around with the beautiful bee, you will surely be
stung by it. Lord Rama is trustworthy. No matter
how brave you are, you will be stung by lord Rama.
Lord Rawana had a lot of power. He was killed by
Lord Rama. He has monkey servants. But, you only
have a big mouth. The snake is looking for the stick
(that will beat him). You are telling me to die, but
I already understand. You will take my wife. Your
idea is as shallow as a beetle hole. I have a brain with
principles. Like the proverb. Making a bridge over
a beetle hole. Blowing to cool down cold rice. You
already know that the hole of the beetle is small, but
you still build a bridge over it. You already know
that rice is cold, but you still blow on it to cool it
down. The point is that we must always be cautious.
Nyoman: Apa parekne apa paek pang leklek. Orin
nake Sang Prabu peduwegan nake ngemelahang
Gumi. Leklek anggon mesiat. Sang Rama to pang ci
nawang, nak cara Nyawan Sang Rama.
Sangut: Nyawan kenken?
Nyoman: Raga kan harus hidup banyak berguru.
Memetik contoh ken entik-entikan. Ken tumbuh-
tumbuhan, ken binatang.
Sangut: Mawinan Man ngeraosang Sang Rama cara
Nyawan?
Nyoman: Nyawan to pang ci nawang, meencegen di
daune. Daune kel sing patah. Meencegan di carang
kayune, carang kayune kel sing patah. Meencegan
di rantinge, rantingpun tak patah. Meencegan di
bunga, bunga tak rusak. Bahkan ngae penyerbukan.
Membantu bunga. Mengawinkan bunga. Nyawane
apa hasil na?
Sangut: Apa?
Nyoman: Madu. Kemelahang hasilange. Keto
luwung nyawane. Tapi ci hati-hati ken nyawan. Ulian
pelih baan ci ngaba awak, dipermainkan nyawan ne
bagus to. Sing buwung ci kel gincere ken ya. Sang
Rama mara polos. Sang Rama nyen banin ci, ci kel
gincere ci. Sang Rahwana pidan omeh saktine. Mati
mase ken Sang rama, mepanjak Bojog. Salih cai
kene bungut dogen. Lelipi ngalih legitik ci ne. Ci
ngorin wake mati, ba tawang wake. Ba mati wake.
Kurenan wake ci nyuwang. Dakenang ken song
beduda. Wake kan ngelah otak neglah prinsip. Cara
senggake, song beduda biin titinin. Nasi dingin biin
upinin, ooo. Ba seken song beduda cenik biin jin
titi. Ba seken nasi dingin biin upinin. Tetuekne raga
waspada to. Hati-hati raga. Kaden nake, air tenang
menghanyutkan. Mara air tenang kaden sing dalem
to. To cemplungen ci. Nyilem bol cie.
Nyoman: Abdi apa, apa yang dekat agar dimakan.
Beritahulah Sang Raja agar mampu membuat
Negara membaik. Kenapa kok dipakai berperang.
Agar kamu tahu saja. Sang Rama itu ibaratnya
Lebah, Sang Rama.
Sangut: Lebah bagaimana?
Nyoman: Kita hidup, kan harusnya banyak berguru.
Memetik contoh pada tumbuh-tumbuhan, mana
pohon-pohonan, sama binatang.
Sangut: Sebabnya Man bilang Sang Rama seperti
lebah?
Nyoman: Agar kamu tahu saja, ketika bertengger di
daun, daunnya tidak patah. Bertengger di ranting,
ranting tidak akan patah. Bertengger di bunga,
bunga tak rusak, bahkan membuat penyerbukan.
Membantu bunga. Mengawinkan bunga. Lebah, apa
hasilnya?
Sangut: Apa?
Nyoman: Madu. Kebaikan hasilnya. Itulah
kebaikannya lebah. Tapi kamu mesti hati-hati
dengan lebah. Bila salah kamu membawa diri,
dipermainkan lebah yang tampan itu. Tidak urung
kamu akan disengat olehnya. Sang Rama baru polos.
Kalau kamu berani dengan sang Rama, kamu akan
disengat kamu. Sang Rahwana dulu betapa saktinya.
Mati juga oleh Sang Rama yang berlaskarkan kera.
Apalagi kamu ini mulut saja. Tak ubahnya seperti
ular mencari tongkat, kamu. Kamu nyuruh saya mati;
saya sudah tahu. Kalau aku sudah mati, istriku kau
ambil. Lebih dangkal dari lubang beduda akalmu.
Saya kan punya otak punya prinsip. Seperti pepatah,
lubang beduda lagi dijembati. Nasi dingin ditiupin
lagi, ooo. Sudah pasti lubang beduda itu kecil, lagi
diisi jembatan. Sudah pasti nasinya dingin, lagi
ditiupi. Pada intinya kita harus waspada. Hati-hati
kita. Bukankah air tenang menghanyutkan. Baru
251
We must be careful. As people say, even calm water
can carry you away. Don't think that calm water is
not deep. If you dive into it, you will drown.
Sangut: Wow, you are clever, Nyoman.
Nyoman: Don't say that. Yesterday, where did you
go with your head cloth flapping?
Sangut: There will be a ceremony in the temple.
Nyoman: Where?
Sangut: There will be a Ngenteg Linggih ceremony.
Nyoman: Where did you go?
Sangut: We needed someone from the (Hindu) society
to give a lesson, to give a talk about enlightenment
there in the temple.
Sangut: I will ask the Hindu society to come.
Nyoman: What Hindu society?
Sangut: From the province.
Nyoman: A or B?
Sangut: Is there A and B?
Nyoman: Now people are talking about an era of
democracy. Not only do we have many political
parties. We also have many Hindu societies.
Sangut: It is better if there are more to choose from.
They will serve the people. Isn't that good.
Nyoman: Yes, if they want to serve the people. If
Sangut: Wak ah, bih duweg Man ah.
Nyoman: Ah de ba orange. Ibi ci kija meudeng
kilibiran to?
Sangut: Anu kel ada yadnya di Pura.
Nyoman: Dija?
Sangut: Kel ada odalan Ngenteg Linggih.
Nyoman: Kel kija to?
Sangut: Anu nuwur lembagae kel ngemang
pendidikan tuwun. Pang ngemang ceramah ditu.
Tuwun to.
Sangut: Kel nangkilang parisada.
Nyoman: Parisada apa?
Sangut: Propinsi.
Nyoman: A apa B?
Sangut: Misi A B.
Nyoman: Jani nak omong, gumi demokrasi. Sing
partai gen liu. Kayang parisada mekacakan.
Sangut: Ye kan luwung. Semakin liu semakin banyak
pilihan, kel melayani umat, kan bagus to.
Nyoman: Aa yen nyak melayani umat. Ngurusan
airnya tenang dikira tidak dalam itu. Disitu kamu
ceburkan diri. Tenggelamlah kamu.
Sangut: Wak ah, wah pintar Man ya.
Nyoman: Ah jangan dah dibilang. Kemarin kamu
kemana pakai udeng kilibiran itu?
Sangut: Anu ada upacara yadnya diPura.
Nyoman: Dimana?
Sangut: Akan ada odalan Ngenteg Linggih.
Nyoman: Akan kemana itu?
Sangut: Anu menghaturkan lembaga agar turun
memberi pencerahan. Agar memberi ceramah di
sana. Terjun langsung tuh.
Sangut: Akan menghadap parisada.
Nyoman: Parisada apa?
Sangut: Propinsi.
Nyoman: A apa B?
Sangut: Berisi A B,
Nyoman: Orang bilang sekarang ini era demokrasi.
Bukannya hanya partai yang banyak. Sampai
parisadapun berhamburan.
Sangut: Ye kan bagus. Semakin banyak, semakin
banyak pilihan untuk melayani umat, kan bagus
itu.
Nyoman: Ya kalau mau melayani umat. Mengurus
252
they only want to serve themselves, it's not good.
They should first think of taking care of the public's
problems. Now that is the way.
Sangut: How?
Nyoman: If that's the way it is, we could make any
kind of Hindu Society, a King Kong Hindu society.
That's why I told you that the authorities must
be united with the people at the grassroots. The
authorities should not be separated from the people
at the grassroots. Who will trust their voices? That's
why now they need to prove themselves through
action. People rarely believe words alone.
Sangut: Why is that?
Nyoman: Because their faith is already gone. There is
a crisis of faith. There is already too much mistrust,
that's why we find it difficult to speak. If there
was good faith, people would believe what is said.
Looking for faith is difficult.
Sangut: It is difficult for me to talk about it.
Nyoman: Why is it difficult? We are talking about
real things. If things are not real, how can we talk
about them? If we speak about what is real, people
will believe us. If it is not real, then it is just imaginary.
People should talk about what is real.
Sangut: Yes, it's like this, Nyoman. I will go to pee
first.
Nyoman: (ignoring Sangut's attempt to leave) That's
normal. I already know that. And why do I already
know that? Because I already studied all that. I have
studied about life and death. There is a proverb that
says, 'above the sky, there is more sky.' No matter
how powerful you are, there is always someone more
powerful. No matter how clever you are, there is
always someone more clever. Things are difficult for
me now. I am following the model of a goitered neck
(delem) and a long mouth (sangut). They are the only
types in my group. I am going bald from stress. It is
awakne gen sing becus, salihte ngurusan umat
duwene. Ah jani kene nak saliha.
Sangut: Engken?
Nyoman: Ya dadi keto jak ngae lantas Parisada versi
Kingkong nyen. Kan wak ngorin cai di duwur malu
mebesikan beten pang nyak besik. De raga duwur
besik, kauk-kauk ngorin timpal beten besik. Dija
gugu munyie. Kelan jani laksana anggon bukti. Nak
laksana anggon bukti. Munyi nak langah nak ngugu
munyi.
Sangut: Apa mawinang?
Nyoman: Wireh kepercayaan ba tuna. Krisis
kepercayaan. Iraga suba sing percayae jeg keweh
benya ngomong. Yen suba percayae apa orang
gugue. Ngalih percayae to ba keweh.
Sangut: Wak keweh ngorin Man.
Nyoman: Ngudiang keweh-keweh. Ne ada-ada gen
omongan. Ne sing ada kenkenang ngomongan?
Ne ada-ada omongan, gugu ba. Sing ada-ada, ajak
menghayal masyarakate, nyen ngugu. Ne ada-ada
gen omongan.
Sangut: Nah-nah, kene nen Man. Gang ngenceh
dik.
Nyoman: Biasa to. Raga, raga nak ba tawang to.
Mawinangbatawangto. Babakatpelajahinmakejang
to. Mati kelawan idupe ba pelajahin to. Sesenggake,
langit., di atas langit ada langit. Menapa benya sakti
nu ada nak saktien. Menapa benya duweg nu ada nak
duwegan keto. Raga keweh baane. Ngajak model-
model baong gondong, bungut lantang. Ne keto-
keto gen ajak maseka. Iraga lengar ne ulian setres
ne. Asin setres. Batak setres ngurusin kurenan keto.
Ne setres ngitungan keadaan keto.
dirinya saja tidak becus, apalagi mengurus umatnya.
Ah sekarang begini caranya.
Sangut: Bagaimana?
Nyoman: Kalau bisa begitu mari buat Parisada versi
Kingkong ya. Makanya saya usul ke kamu agar
di atas mesti bersatu lebih dahulu, agar dibawah
juga mau bersatu. Jangan hanya teriak di atas satu,
memberi tahu teman dibawah bersatu. Mana orang
mau percaya pada omonganmu. Makanya sekarang
ini, perbuatanlah yang dipakai sebagai bukti. Kalau
hanya omongan, jarang orang percaya.
Sangut: Apa sebabnya?
Nyoman: Karena kepercayaan sudah tipis. Krisis
kepercayaan. Kita sudah tidak sudah tidak dipercaya,
sulit kita bicara. Kalau sudah dipercaya, bilang apa
saja dipercayai. Mencari kepercayaan itulah yang
sulit.
Sangut: Saya sulit memberitahu Man.
Nyoman: Kenapa sulit-sulit. Yang nyata saja
diomongkan. Yang tidak ada bagaimana
membicarakannya? Yang riil saja dibicarakan,
pasti dipercayai. Yang tak ada..., diajak menghayal
masyarakatnya, siapa percaya? Yang nyata-nyata
sajalah dibicarakan.
Sangut: Baik, baik, begini dululah, Man. Permisi,
mau kencing dulu.
Nyoman: Biasa itu. Saya..., orang saya sudah tahu
itu. Sebabnya saya tahu? Sudah dipelajari semua itu.
Mati dan hidup semua sudah dipelajari. Pepatahnya,
langit... di atas langit masih ada langit. Betapapun
saktinya awak, masih ada lebih sakti. Betapapun anda
pintar masih ada yang lebih pintar. Saya dibuat sulit.
Ngajak model-model leher gondok, mulut panjang,
orang-orang seperti itu yang diajak bersekutu. Saya
ini botak, karena setres. Pantas setres. Kalau hanya
setres mengurus istri... ini setres mengurus keadaan
seperti itu.
253
fitting that I am stressed, if I am only stressed from
taking care of my wife. But I am stressed because I
am thinking about the situation of the country.
Sang Maya Cakru (the demon who imitated Anggada)
has been talking about eliminating corruption for a
long time. It is true that if we talk about god, we are
a religious country (we believe in god). If we talk
about humanity, we are a most humane country. If
we talk about unity, we defend our unity. People's
democracy is very much alive. There is social justice
for all the people in Segara Lungsur. (home of
demons). But there is corruption in the highest places.
What is the root of the problem? Who should I ask?
People can keep talking about corruption until they
drown... they say they will eliminate corruption...
eliminate corruption. And then all of a sudden the
ones talking get corrupt. They get involved in the
corruption cases... so who can we model ourselves
after? We have already studied the situation abroad.
Money is spent but nothing changes.
We study every day, everywhere.
We study in other countries. Only when we have to.
Oh, I am saying too many unkind things. Someone
will punch me in the mouth.
People will think I am drunk. If people don t get
paid off, they will talk. If they get paid, they will be
quiet. I already know that. I already read about that
before. That's the truth.
There is a lot of talk but no action. That's the way it
is. It's normal. The world is a difficult place. They
want me to go to war, but I am having a difficult
time now. It's better to stand in the back. If there
is victory, I will follow. If we lose, I will run. I don't
want to lose. I only want to win. Why should I join
the losing side. I have to win.
Sang Maya Cakru uli pidan ngeraosang brantas
korupsi, brantas korupsi to. Ba seken yen raosang
berkeTuhanan iraga, Gumi berkeTuhanan.
Yen raosang Kemanusiaan iraga, Gumi paling
berkemanusiaan. Yen raosang persatuan iraga, Gumi
mempertahankan kesatuan. Demokrasi kerakyatan
paling idup. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Segara Lungsur. Kenyataan korupsi paling sangete
keto. Dijane konslet? Nyen takoning? Kanti nyilem
ngorang brantas korupsi, brantas korupsi. Tau-
tan ya lantas kena korupsi to. Kena terlibat kasus
korupsi... kij a j ani matempa.
Be melajah ke luar negeri ba sesai. Pis kelah
perobahan sing ada keto. Melajah ba ngelemah.
Mileh melajah. Mempelajari negara orang lain.
Di perlu gen. Aduh bes liu ngorang jelek, uguge
bungute nyen. Aeng jelema mabuk ne malu to, keto
ya. Jelema sing maan uyut. Te gaarang ya maan
nengil. Ba tawang. Daya paca uling malu. Ba seken
keto. Baang ya ngomong, Bungutne ya ngomong
tengilang ya awakne. Ba seken keto to. Ba biasa.
Keweh ba Gumie. Iraga tes ajake mesiat jani keweh
to. Aden ba duri-duri. Yen menang barengan. Yen
kalah kel pelaibang awake keto. Raga tara pa nyak
kalah. Raga nagih menang gen. Ngudiang ngitungan
komplotan baang di kalahe. Harus menang keto.
Sang Maya Cakru sejak dulu bilang memberantas
korupsi, berantas korupsi. Sudah pastikah kita
seperti yang dikatakan berketuhanan, seperti negara
berketuhanan. Kalau dikatakan kemanusiaan
kita. Negara kita paling berkemanusiaan. Kalau
dikatakan persatuan kita. Negara mempertahankan
kesatuan. Demokrasi kerakyatan paling hidup.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Segara Lungsur.
Kenyataan korupsi paling tinggi, begitu. Dimanakah
konsletnya? Siapa ditanyakan? Sampai-sampai
tenggelam bilangnya berantas korupsi, berantas
korupsi. Tahu-tahu dia lantas kena korupsi itu. Kena
terlibat kasus korupsi... siapa yang bisa dijadikan
panutan?
Belajar ke luar negeri sudah sering. Uang habis
perubahan tidak begitu. Belajar sudah setiap
hari. Kemana-mana belajar. Mempelajari negara
orang lain. Manakala perlunya saja... aduh terlalu
banyak bilang jelek, ditonjok mulutku nanti. Wah
manusia mabuk ini, barangkali begitu katanya, ya.
Orang kalau tak dapat, ribut. Coba kalau dia dapat,
diam. Sudah tahu seperti itu. Akal sudah terbaca
sebelumnya. Sudah pasti begitu. Berikan dia bicara.
Mulutnya dia bicara. Lebih baik diam sajalah. Sudah
pasti begitu. Sudah biasa. Keadaan Negara emang
sulit. Saya diajak ikut berperang sekarang, sulit itu.
Lebih baik dibelakang-dibelakang sajalah. Kalau
menang ikut. Kalau kalah 'kan bisa melarikan diri,
begitu. Awak 'kan tak mau kalah. Awak maunya
menang saja. Kenapa mesti bersekongkol dengan
254
yang kalah. Harus menang, tuh.
Chorus sings
Hanuman: Krweeee. (he hfts Sangut flying into the
air)
Sangut: Ohhhhhhh.
Sangut: That was a free airplane ride. I am lucky not
to have been thrown down on the beach. He flew
me up into the air. And then he brought me down. I
didn't have to pay anything. My fate is good. That's
why if I stay in the right place, I will get the right
things. I don't have to buy a ticket. No passport. He
just swept me away.
Delem: Who is that, Sangut?
Sangut: The white monkey.
Delem: Who is that?
Sangut: Hanuman.
Delem: What happened?
Sangut: He took me flying.
Delemn: How could that be?
Sangut: The monkey has no courage.
Delem: What did you do to the monkey?
Sangut: I told him off, just a little and he was afraid.
I know how to kill monkeys.
Delem: (to Hanuman) Come down, come down.
Fly me a little too.
Sangut: Look, here he comes. Flyyyyyying. He's going
Sendon: ...
Hanoman: Krweeeeek. (membawa Sangut
terbang).
Sangut: Adaaah aduuuh.
Sangut: Kal ada jet gratis ne. Aget sing entungan
di pasihe. Jemake raga kebere menek to. Biin aba
tuwun. Keteng sing mayahe. Nak nasib mula bagus.
Angkal raga yen raga berpijak pada sesuatu yang
benar, pasti teka kebenarane. Meli tiket sing to.
Pasport sing. Pelaibange raga.
Delem: Nyen to Ngut?
Sangut: Bojog putih.
Delem: Nyen to?
Sangut: Hanoman.
Delem: Engken?
Sangut: Keberange san.
Delem: Ooo, kal ngidang?
Sangut: Ah, Bojog nyali cenik.
Delem: Kudiang ci Bojoge?
Sangut: Dengkik gigis engkeb ya. Kan ba matin
Bojog ba tawang cang.
Delem: Ih tuwun, tuwun, tuwun. Keberang jep! . . .
Sangut: Ooo teka, jemake beeeeer. Biin jemake
Sendon....
Hanoman: Krweeeeek. (membawa Sangut terbang)
Sangut: Adaaah aduuuh.
Sangut: Kok ada jet gratis ini. Syukur tidak dibuang
di laut. Awak diambil, diterbangkan naik, kemudian
lagi dibawa turun. Sepeserpun tidak bayar. Orang
nasib memang bagus. Itu sebabnyakalaukitaberpijak
pada kebenaran, pasti kebenaran itu datang. Beli
tiketpun tidak. Pasportpun tidak. Dilarikan kita.
Delem: Siapa itu Ngut?
Sangut: Kera putih.
Delem: Siapa itu?
Sangut: Hanoman.
Delem: Bagaimana?
Sangut: Diterbangkan tadi.
Delem: Ooo, kok bisa?
Sangut: Ah, kera bernyali kecil.
Delem: Kau apakan keranya?
Sangut: Digertak sedikit saja, diam dia. Bagaimana
matinya kera, kan saya sudah tahu.
Delem: Ih turun turun turun. Terbangkan sebentar!
Sangut: Ooo datang, diambil beeeer. Lagi diambil
255
to take you flyyyyyying. That's what will happen.
Delem: Oh, your voice is too soft. My voice is bigger.
Hey, monkey, Hanoman, Hanoman, come down,
come down, come down. I'm gonna beat you up...
come down here.
{Hanuman snatches Delem and flies away with him)
Sangut: Gliding in the air. Higher, flying, floating
into the air.
Hanoman: Kruweeeek.
Sangut: Baaa heee hhe.
Hanoman: Kruweeeeek.
Sangut: What's going on? Delem, Delem, what's up
with this? Where's your ticket? Oh man, oh man,
oh man. Everything's going wrong. Oh my god. I
feel sorry for Melem. If the monkey comes, he will
eat him. What are you going to do then? I feel sorry
for my brother. If he's gone, what will I do without
him. I'll keep watch behind the rocks. Where the
monkey can't see. Oh, my god, Delem, the monkey
is coming. Lem!
{Delem is surprised and jumps up)
Delem: Ha, Ha, ha. You big-lipped dog, you . . . He's a
tricky character. Gusti Patih, go fight!
Chorus sings
[The giant demon Raksasas fight with the monkeys)
Delem: Attaaack.
{The puppets Cenk and Blonk enter)
Cenk: Why are your lips folded over like that?
Blonk: You are so mean. You only want to settle
scores and insult me.
Cenk: You don't know what you're saying. Your eyes
are closed and your feet are monstrous. And besides
that, you're as dense as stone. Because you have a
negative attitude.
Blonk: Why negative?
Cenk: I had a bad dream last night.
beeeerrrrr. A keto.
Delem: Ah munyin ci cenik. Munyin kaka mara
gede. Hai Bojog. Hanoman, Hanoman, Hanoman,
tuwun tuwun tuwun! Kel cak-cak nas ne nyen...
tuwuun!
(Hanoman menyambar Delem dan membawa
terbang).
Sangut: Melayang-layang di udara. Tegehang,
keberang. leg menambung.
Hanoman: kruweeeek.
Sangut: Baaaaa he he.
Hanoman: Kruweeeeek.
Sangut: Kenken. Kenkene? Lem Lem, kenkene?
Tikete ken? Pih nyem, nyem, nyem. Onya nyem
nah...Onya nyem ne to. Imih ratu. Aruh pedalem
Melem. Yen teka Bojoge amahe. Kel kudiang awake
keto. Aduh ulian pedalem nyama. Ngelah nyema
ya gen sik. Uang ne nyen, kudiang awake sing ada
Melem nyen. Jaga mase baan batu. Yen teka Bojoge,
pang sing tepuke to. Aduh. Lem Bojoge teka Lem!
(Delem terkejut dan bangun).
Delem: Hah hah hah. Cicing Men Jantuk to. . . Dayan
jelema ne. Gusti Patih werangan!
Sendon: . .
(Siat para Raksasa dengan para kera).
Delem: Lawaaaan.
(Keluar wayang Cenk-Blonk).
Cenk: Adi mepeliten bungute.
Blonk: Ci meripit. Ci ngitungan monto wake jekjek
ci.
Cenk: Orang sing nepukan unduk. Mata ngidem
batis mekale to. Ba keto to to to to, Ci batu ngenen.
Uli pirasat ba jelek ne.
Blonk: Ngudiang jelek?
Cenk: Ngipi ibi sanja jelek ne.
beeer. A begitu.
Delem: Ah gerta Maya Cakruu kecil. Gertakku baru
besar. Hai kera. Hanoman Hanoman Hanoman,
turun turun turun! Akan dicincang kamu nanti...
turuuuun!
(Hanoman menyambar Delem dan membawa
terbang).
Sangut: Melayang-layang di udara. Tinggikan
terbangkan. Sampai melambung
Hanoman: kruweeeek.
Sangut: Baaa he he.
Hanoman: Kruweeeeek.
Sangut: Bagaimana. Bagaimana? Lem Lem,
bagaimana nih? Tiketnya mana? Wah dingin,
dingin, dingin, semua dingin ya... semua dingin
ini ya. Oh Tuhan, aduh kasihan Melem. Kalau ada
kera datang, pasti dimakan. Mau diapain dirinya
ini. Aduh, karena kasihan saja ama saudara. Punya
saudara dia saja satu. Kalau ini hilang, bagaimanakan
diriku ini, tanpa Melem nanti. Jaga jugalah dengan
batu. Kalau-kalau kera datang, agar tidak dilihat.
Aduh. Lem keranya datang. Lem!
(Delem terkejut dan bangun).
Delem: Hah hah hah. Anjing ciancuk kamu...
Akalnya.. Gusti Patih balaskan!
Sendon....
(Siat para Raksasa dengan para kera).
Delem: Lawaaaan.
(Keluar wayang Cenk-Blonk).
Cenk: Kenapa berbalik mulutnya.
Blonk: Kamu pelit. Kamu tak pakai perhitungan.
Gua lu injak-injak.
Cenk: Gua bilang tak tahu apa-apa? Mata terpejam
kaki sembrawut itu. Sudah begitu itu itu itu itu, kamu
kena batunya. Dari pirasat saja sudah jelek ini.
Blonk: Kenapa jelek?
Cenk: Impian kemarin malam, jelek ini.
257
Blonk: What kind of dream?
Cenk: Last night I dreamed that a snake bit me.
Blonk: If you dreamed you were bitten by a snake,
that is good.
Cenk: Why?
Blonk: Good luck will come.
Cenk: That's good luck?
Blonk: Good luck. If you're bit by a snake it's good
luck. What kind of snake?
Cenk: A little garden snake.
Blonk: Ah, that is good luck, but just a little, you
know.
Cenk: Why just a little.
Blonk: It's just a garden snake.
Cenk: Well, first the garden snake. It bit me like that.
Tut. Then later, a snake the size of a sago palm tree
came. Tuuuuut. Like that. (It bit me).
Blonk: Ah, a big one.
Cenk: Is that big?
Blonk: It's big. Where did it bite you?
Cenk: My hand.
Blonk: Ah, that's little.
Cenk: Why little?
Blonk: If a snake bites your hand, that means a little
luck. If it bites your foot, then it's a lot.
Blonk: Ngipi apa?
Cenk: Ngipi tegut lipi ibi sanja.
Blonk: Yen ngipi tegut lipi luwuuung.
Cenk: Adi keto?
Blonk: Rejeki kel teka!
Cenk: Rejeki to?
Blonk: Rejeki. Yen tegut lipi rejeki. Lipi apa?
Cenk: Lipi jali.
Blonk: Ah ada rejeki tapi cenik. Keto.
Cenk: Ngudiang Cenik?
Blonk: Lipi jali to.
Cenk: Nah malu lipi jali. Tot ketoange. Benjepne
teka lipi aman punyan jakae. Toooot ketoange.
Blonk: Ah gedeee.
Cenk: Gede to?
Blonk: Gedeee. Apan ci cegute?
Cenk: Limae.
Blonk: Ah Ceniiik.
Cenk: Ngudiang Cenik?
Blonk: Yen lima tegut lipi, Cenik. Yen batis tegut
ken lipi mara gede.
Blonk: Bermimpi apa?
Cenk: Bermimpi digigit ular kemarin malam.
Blonk: Kalau bermimpi digigit ular bagus.
Cenk: Kok begitu?
Blonk: Rejeki akan datang.
Cenk: Rejeki apa?
Blonk: Rejeki. Kalau digigit ular rejeki. Ular apa?
Cenk: Ular jail.
Blonk: Ah ada rejeki, tapi kecil. Begitu.
Cenk: Kenapa kecil?
Blonk: Ular jail itu.
Cenk: Ya pertamanya ular jail. Tot dibegitukan.
Sebentarnya datang ular sebesar pohon henau.
Toooot digitukan.
Blonk: Ah besaaaar.
Cenk: Besar itu?
Blonk: Besar. Apamu yang digigit?
Cenk: Tanganku.
Blonk: Ah keciiiil.
Cenk: Kenapa kecil?
Blonk: Kalau tangan digigit ular, kecil. Kalau kaki
digigit ular baru besar.
258
Cenk: First it bit my hand. Then it bit my foot.
Blonk: Biiiiig. Very big. Just calm down. Did blood
come out?
Cenk: Yes, a few drops.
Blonk: Ah, just a little then.
Cenk: Why a little?
Blonk: A few drops.
Cenk: First it was a few drops. Then two bucket-
fulls.
Blonk: Biiiig.
Cenk: It's big. Then it's little. Then it's big. Tlien it's
little again.
Blonk: Why are you acting like that? We can work it
out. What time was your dream?
Cenk: Twelve o'clock.
Blonk: How do you know what time it was when
you're dreaming? Do you dream with your eyes
open?
Cenk: I was dreaming. Then I woke up and saw the
clock. It was twelve.
Blonk: Oh, I see. I thought you were dreaming with
your eyes open.
Cenk: You don't know anything. That's bad luck.
Really really bad luck.
Blonk: Why bad luck?
Cenk: Because tomorrow I will go to the court.
Blonk: Why?
Cenk: Because I'm working together with a group
and we split it six ways.
Blonk: I see. Did you get your share?
Cenk: Oh, a lot. They say tomorrow Mr. Sunshine
will go into battle.
Blonk: Who said that?
Cenk: Tomorrow Pak Gunarsa will press charges
against me.
Blonk: Why will he press charges?
Cenk: Because I made copies.
Cenk: Malu lima, lantas keto batise tegute.
Blonk: Gedeee. Gede gede, tenang gen ci. Pesu
getih?
Cenk: Pesu mekecrit.
Blonk: Ah Cenik.
Cenk: Ngudiang Cenik?
Blonk: Mekecrit.
Cenk: Nak malu mekecrit. Ba keto duang ember
ada.
Blonk: Gedeeee.
Cenk: Biin gede biin Cenik, biin gede biin Cenik.
Blonk: Ci keto wak dadi atur. Jam kuda ngipi?
Cenk: Jam roras.
Blonk: Adi ngipi nawang jam. Sambilang kedat
ngipi?
Cenk: Cang ngipi, enten tes jame jam roras.
Blonk: Ooo keto. Kaden wak ci sambilang ngipi
kedat kaden...
Cenk: Apa sing tawang ci ne. Nasib jelek ne. Jelek
sajan nasib ne.
Blonk: Ngudiang jelek?
Cenk: Kena, biin mani saya kel sidang ne.
Blonk: Adi keto?
Cenk: Ba bakat bareng maseka, dum ajak nem to.
Blonk: Ooo keto? Maan ci duman?
Cenk: Ooo liu. Orin biin mani Sang Matahari kel
membrontak mani ne.
Blonk: Nyen keto?
Cenk: Pak Gunarsa biin mani ne. Kel nuntut.
Blonk: Ngudiang nuntut?
Cenk: Bakat niru to.
Cenk: Pertamanya tangan, kemudian lantas kaki
digigit.
Blonk: Besaaar. besar-besar, tenang saja kamu.
Keluar darah?
Cenk: Keluar sedikit.
Blonk: Ah kecil.
Cenk: Kenapa kecil?
Blonk: Sedikit.
Cenk: Ya pertama sedikit. Setelah itu ada barang
dua ember.
Blonk: Besaaaar.
Cenk: Lagi besar, lagi kecil, lagi besar lagi kecil.
Blonk: Kamu begitu orang bisa diatur. Jam berapa
bermimpi?
Cenk: Jam dua belas.
Blonk: Kenapa bermimpi tahu jam? Sambil buka
mata bermimpi?
Cenk: Saya bermimpi, lantas bangun. Jamnya jam
dua belas.
Blonk: Ooo begitu. Kukira sambil bermimpi buka
mata kira...
Cenk: Apa tidak tahu kamu ini. Nasib jelek ini. Jelek
sekali nasib ini.
Blonk: Kenapa jelek?
Cenk: Kena, besok saya akan sidang ini.
Blonk: Kenapa begitu?
Cenk: Sudah terlanjur ikut bersekongkol, dibagi
berenam itu.
Blonk: Ooo begitu? Dapatkah kamu bagian?
Cenk: Ooo banyak. Ku bilang besok sang Matahari
akan memberontak besok ini.
Blonk: Siapa bilang?
Cenk: Pak Gunarsa besok ini. Akan menuntut.
Blonk: Kenapa menuntut?
Cenk: Karena meniru itu.
259
Blonk: That's why I told you before, if you can't paint,
why do you paint.
Cenk: Oh, I already bought it.
Blonk: Bought what?
Cenk: The painting. I already bought it. That means
I have the copyright.
Blonk: Well, no. You have the painting. But the
copyright still belongs to the painter. If you sell it
again, still the one who made it has the copyright.
Cenk: So that's how it is?
Blonk: Yeah.
Cenk: Now you have a big profit. Profit is the most
important thing.
Blonk: Ah, you only think about the profit. That
means you earn happiness from other people's
suffering, is that it?
Cenk: Yes, that's right.
Blonk: That's right.
Cenk: Right. That's why you clap your hands.
Blonk: Oh, applause is not so important for me.
Everyone knows that. After they clap their hands,
I won't be shy about asking for money. If they don't
clap for me, I won't dare ask for money, (from the
host)
Cenk: Is it good to clap your hands?
Blonk: It's good. But if you clap your hands in an
alley, a dog will chase you. Actually it depends on
the context, because clapping your hands is based on
Desa Kala Patra (Time, Place, and Situation). The
people here are all intellectuals. All of them are
educated. There is no use bringing salt to the sea.
Everybody already understands.
Cenk: Oh, is that how it is?
Blonk: Everybody understands. That's because our
society's education has been improved. Therefore,
we have to look inside ourselves. Mulat Sarira (self
Blonk: Makane wak ngorin cai men sing bisa
ngambar, dadi ngambar.
Cenk: Ooo raga kan ba meli.
Blonk: MeH apa?
Cenk: Gambaran ba, ba beli raga to. Kan raga ne
ngelah hak to.
Blonk: Ah sing. Gambarne to ci ja ba ngelah.
Hak ciptane tetep yang melukis ngelah to. Ci biin
ngadep. Ya biin ngadep. Tetep ya ne ngae ngelah
hak cipta to.
Cenk: Keto to?
Blonk: Aa.
Cenk: Jani liu untungne. Kan keuntungan
terutama.
Blonk: Ah ci matan ci untung gen. Ne madan ci
bahagia di atas penderitaan orang lain, keto.
Cenk: Beneh keto?
Blonk: Keto.
Cenk: Beneh tepuk tangan ci.
Blonk: Ah wake kan sing penting tepuk tangan. Nak
pada ngerti onya. Be' nyak tepuk tangan, enjepan
juari ngidih pipis apa. Yen sing ada tepuk tangan
berek sing juari ngidih pipis wake. Nganteg jumah
bengong.
Cenk: Luwung tepuk tangan to?
Blonk: Luwung. Kalo ibi tepuk tangan di rurunge
kepunge ken cicinge. Nak nganutin Desa Kala
Patra mase tepuk tangane. Masayarakat dini kan
nak masyarakat intelek-intelek onya to. Makejang
berpendidikan to. Wake kan tan bina ngaba uyah
ke pasihe. Ba onyang pada ngerti keto.
Cenk: Ooo keto?
Blonk: Ngerti makejang. Makane masyarakat raga
to pendidikane sudah maju. Makane marilah iraga
pada saling introspeksi diri. Mulat sarira. Belajar
Blonk: Makanya saya menyuruh kamu kalau tidak
bisa menggambar, kenapa menggambar.
Cenk: Ooo saya kan sudah beli.
Blonk: Beli apa?
Cenk: Lukisannya, sudah..., sudah kubeli, itu. Kan
saya yang punya hak itu.
Blonk: Ah tidak. Lukisan itu kamu sudah punya. Hak
ciptanya itu tetap punya yang melukis. Kamu lagi
menjual. Ya lagi menjual. Tetaplah yang membuat
punya hak ciptanya itu.
Cenk: Begitu itu?
Blonk: Ya.
Cenk: Sekarang untungannya banyak. Kan
keuntungan terutama.
Blonk: Ah kamu matamu untung saja. Ini namanya
kamu bahagia diatas penderitaan orang lain,
begitu.
Cenk: Benar begitu?
Blonk: Begitu.
Cenk: Pantas tepuk tangan kamu.
Blonk: Ah saya kan tidak penting tepuk tangan.
Orang pada mengerti semua. Kalau sudah mau
tepuk tangan, sebentar nanti kan tidak malu
meminta upah. Kalau tidak ada orang yang tepuk
tangan, sumpah tidak berani minta uang saya.
Cenk: Bagus tepuk tangan itu?
Blonk: Bagus, kalau kemarin tepuk tangan
dijalan, dikejar anjing. Mestinya tepuk tangan itu
menyesuaikan dengan Tempat Waktu dan Situasi.
Masyarakat di sini kan masyarakat intelek-intelek
semua. Semua mereka berpendidikan. Saya kan tak
ubahnya membawa garam ke laut. Semua sudah
pada mengerti, begitu.
Cenk: Ooo begitu?
Blonk: Mengerti semua. Makanya masyarakat kita itu
pendidikannya sudah maju. Makanya marilah kita
pada saling interospeksi diri. Koreksi diri. Belajar
260
HT:^
\
^^:'f'>.
s:<V
^>
Q^
!vr\jr.<^
?•j^:;>?'^- ''".r^
I ,- >-^v•;■-^■Y^■ -. ' ■■• y Z- -'- - -v.-
•si
; -. -f-4^^
f.
iX £5:
i!f.
>t#^
,^'-
■>.•'■ ■■ ■'■■ • ■^^. '■< > XX'-; . ; .- .« ^ • * • .
:^^
H
*: i
.v iV.' '
A
li.
*>■
r:^"'.
-^^
^:i^3^-
««"A
m
■0
X
* \
^i(^
*£<^
'':^ '-
-<,
^
:%
introspection). Learning to look for the truth is
the right thing to do. Don't just use your rehgion as
a mask. Really act on it. Religion forbids the five
M's. Memadat (Using Drugs), Memaling (Stealing),
Memitra (Adultery) and others. Avoid them. You
as a community concentrate too much on gambling
games (like ce/c/ cards). You shouldn't do that. If we
don't respect the ceremonies of our own holy days,
who will respect them?
Cenk: Oh, is that right?
Blonk: Yes. You know, our government stopped the
flights of airplanes on the Nyepi holy day of silence.
If not for that, we might not know how to celebrate
our own holy days on our own. So, you see, the
authorites are making an effort to shape the world so
that we can devout ourselves to our holy days.
Cenk: Oh, is that right?
Blonk: Yes.
Cenk: Was it wrong what was done in the past?
Blonk: No one is saying it was wrong. Let's improve
things a little. Let's improve things. Keep learning,
because there is no limit to learning. That's why
knowledge is symbolized by a chain. We are always
learning. The ocean is endless. The sea goes on
forever. Where is the end of the sea? There is none.
That is what knowledge is like. Where is the footprint
of a flying bird? You cannot see it. It is there but it is
not there. That's why we have to stay alert. Adahh
dah dah dah. Toh toh toh. Lord Detya Kala Maya
Cakru (a demon) is angry.
Cenk: {translating Maya Cakra) Hey all you monkeys.
Hey, Rama Dewa. Who am I? I am the student of
Batari Durga (wife of Siwa). Now is the time. Your
death cannot be cancelled. Now you will burn. Now
you are dead.
Blonk: Hey, where are you going? To the cemetery.
Come and see. Come and see.
Kala Maya Cakru: Don't think you are so important
mencari sebuah kebenaran yang hakiki. Agama doen
pang da anggon tami. Laksanakanlah! Agamane
ba melarang raga Panca Ma. Memadat, Memaling,
Memitra dan lain sebagainya. Hindarilah. Ci
dadi rakyat tungkul ci maCeki. Pang da keto. Yen
sing iraga menghargai hari raya raga. Nyen orin
menghargai.
Cenk: Ooo keto?
Blonk: Aa. Monto aparete kanti nyetop kapal terbang
kanti hari raya Nyepi. Pang da kanti iraga lantas
sing bisa merayakan hari iraga sendiri. Amonto
suba kiBlonkah Sang Angawa Rat ngisi jagat. Untuk
iraga pang nyak kusuk hari rayane ento.
Cenk: Ooo keto?
Blonk: Aa.
Cenk: Pelih ne ba liwat?
Blonk: Ada sing nak ngorang pelih? Lan benahi
lagi, keto. Di benahi. Terus melajah. Wireh melajah
to sing ada batasne. Kelan lambang pengetahuan
to disimbulkan dengan rantai. Raga terus belajar.
Belajar terus. Samudra tanpa tepi. Sing ada tanggun
pasihe. Dija tanggun pasihe? Sing ada. Keto ba
satmaka ilmu pengetahuan. Tulya kadi tapakin
kuntul anglayang. Dija enjekin kedise makeber.
Sing ada to. Sing ada tepuk. Ya ada kalo sing ada.
Makane iraga mari sadar. Adah dah dah dahh. To to
to to. Badah duka Sang Detya Kala Maya Cakru.
Cenk: Ih ih ih cai bojoge makejang. Rama Dewa ci.
Wake ne nyen. Sisyan Batari Durga ne. Jani ba. Sing
buwungan ci mati sengeh jani ne. Bangka nasne
jani.
Blonk: Ooo kija to? Kel ke Setra. Mai lok mai lok.
Kala Maya Cakru: Haywa kalaganta agung ambek
mencari sebuah kebenaran yang mutlak. Jangan
Agamanya hanya dijadikan warisan. Laksanakanlah!
Ajaran agama sudah melarang kita dengan lima
Ma. Makan obat terlarang. Mencuri, Selingkuh dan
lain sebagainya. Hindarilah. Kamu menjadi rakyat
hanya berjudi. Agar jangan begitu. Kalau tidak kita
menghargai hari raya kita. Siapa suruh menghargai.
Cenk: Ooo begitu?
Blonk: Ya begitu semestinya. Aparat sampai-sampai
menghentikan kapal terbang mendarat pada hari
raya Nyepi. Agar jangan kitalah yang sampai tidak
bisa merayakan hari raya kita sendiri. Demikian
usaha sang penguasa, pemimpin Negara untuk kita,
agar perayaan hari rayanya kusuk.
Cenk: Ooo begitu?
Blonk: Ya.
Cenk: Kesalahan yang sudah lewat?
Blonk: Adakah orang yang bilang salah? Mari kita
benahi lagi, begitu. Dibenahi. Terus belajar. Oleh
karena belajar itu tidak ada batasnya. Itu sebabnya
lambang ilmu pengetahuan itu disimbulkan dengan
rantai. Kita terus belajar. Belajar terus. Samudra
tanpa tepi. Dimana batas laut? Tidak ada. Seperti
itulah ibaratnya ilmu pengetahuan itu. Tak ubahnya
seperti jejak kaki burung yang sedang terbang. Tidak
ada itu. Tidak ada kelihatan. Ya ada. Tapi tidak ada.
Makanya kita mari sadar. Aduh duh duh duh. Itu itu
itu. wah marah Sang Detya Kala Maya Cakru.
Cenk: Ih ih ih kamu kera semua. Rama Dewa kamu.
Saya ini siapa. Murid Betari Durga ini. Sekarang
sudah. Tidak lain kamu mati terbakar ini. Mati
kamu sekarang.
Blonk: Ooo kemana itu? Akan ke kuburan. Mari
lihat mari lihat.
Kala Maya Cakru: Jangan kamu besar tingkah bisa
263
because you can kill all the soldiers. Who am I, Kala
Cakru. I am a certified student ofBatari Durga. I
chant mantras. I hope to unify Action, Word and
Thought. There is nothing else for me to do but to
transform myself and become Durga.... Ahhhhhh!
{Kala Maya Cakru transforms into Rangda and
Anggada transforms into Barong)
Rangda: Ha ha ha ha. Rem reeeeeeem. The light of
the Lord Sun. My soul is possessed by Kala Maya
Cakru. What can be seen? Ah ahhhhhhh.
Blonk: Ok ok ok.
Cenk: What?
Blonk: (to the demon Rangda). Will you eat my
head? The tame pig becomes a wild pig. There is a
cow. A tiger. Smoke.
Cenk: What is it?
Blonk: Smoke.
Cenk: Oh, look at that.
Blonk: Who is that?
Cenk: It's Lord Tunggal (the highest god) and Lord
Wenang followed by Lord Anggada.
Blonk: The red monkey?
Cenk: Yes. He is bringing the Purifying holy water.
Blonk: Lord Wenang. Lord Tunggal.
Cenk: Lord Wenang. Lord Tunggal.
Blonk: Lord Tunggal?
Cenk: He is the one who makes the day, the night,
and the dusk.
Blonk: Lord Wenang?
Cenk: He is the one who decides who has the right to
life and who has the right to die. Lord Tunggal gives
his approval. He gives his approval. You and I, no.
(we can't decide).
Blonk: Oh, is that right?
Cenk: Yes. That is why we surrender our life to
him.
Blonk: To whom?
sida mejah ikanang wadwa prasama. Sang apa
yayateki Kala cakru. Sah sisyanirang Batari
Durga. Angeregepaken kunang japa mantra. Wak
bajra, anunggalaken Bayu Sabda Idep. Tan sah
matemahaken ikanang DurgaMurtiiii. Aaaaaah.
(Kala Maya Cakru berubah menjadi Rangda.
Nggada berubah menjadi Barong).
Rangda: He he he he. Rem reeeeem, tejan Sang
Hyang Baskara Dipati. Kasoooor lawan penadian
yeki Kala Maya Cakru. Apa katoooon. Ah ah
aaaaah.
Blonk: Ok ok ok ok .
Cenk: Apa?
Blonk: Amah ci nas wake. Celeng pemalu dadi
Celeng. Ada Sampi Macan. Mekudus.
Cenk: Apa e?
Blonk: Anduse.
Cenk: Ooo tolih to.
Blonk: Nyen to?
Cenk: Sang Hyang Tunggal Ian Sang Wenang.
Kairing antuk Dane Sang Ngada.
Blonk: Bojog Barake?
Cenk: Aa. Ngaba tirta Sudamala.
Blonk: Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal.
Cenk: Sang Hyang Wenang Sang Hyang Tunggal.
Blonk: Sang Hyang Tunggal?
Cenk: Ngae lemah petenge sandi kala.
Blonk: Sang Hyang Wenang?
Cenk: Ane ngewenangan Cen patut mati Cen patut
hidup. Sang Hyang Tunggal sane ngewenangan. To
ngewenangan. Ci ajak wake sing.
Blonk: Ooo keto?
Cenk: Aa. Kelan serahang idpue!
Blonk: Ken nyen?
membunuh prajurit semua. Siapa kau kira ini
kala Cakru. Tiada lain muridnya Batari Durga.
Merapalkan mantra. Semoga menyatukan Tenaga
Suara Pikiran. Tiada lain berubah menjadi Durga.
Aaaaah.
(Kala Maya Cakru berubah menjadi Rangda.
Nggada berubah menjadi Barong).
Rangda: He he he. Suraaaaamlah, sinar Sang
Surya. Kalah dengan penjelmaan ini Kala Maya
Cakru. Apa dilihaaaat. Ah ah aaaah.
Blonk: Ok ok ok ok .
Cenk: Apa?
Blonk: Kamu makan kepala saya. Babi ikut menjadi
babi. Ada kerbau Harimau. Berasap.
Cenk: Apanya?
Blonk: Asapnya.
Cenk: Ooo lihat itu.
Blonk: Siapa itu?
Cenk: Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang.
Diikuti oleh Sang Ngada.
Blonk: Kera Merahnya?
Cenk: Ya. Membawa Tirta Sudamala.
Blonk: Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal.
Cenk: Sang Hyang Wenang Sang Hyang Tunggal.
Blonk: Sang Hyang Tunggal?
Cenk: Membuat siang malam pertengahan siang
dan malam.
Blonk: Sang Hyang Wenang?
Cenk: Yang menentukan mana pantas mati mana
pantas hidup. Sang Hyang Tunggal yang menentukan.
Beliau yang menentukan. Kamu dan saya tidak.
Blonk: Ooo begitu?
Cenk: Ya. Itu sebabnya serahkan saja hidupmu!
Blonk: Kepada siapa?
264
Cenk: Lord Tunggal. Lord Wenang. The one who
watches over the world, the one who rules the world.
That is the one to whom we surrender our lives. He
is followed by Lord Anggada, who is bringing the
Purifying holy water. It will purify the entire world.
Those who are evil will be revealed as evil. Those
who are good will be revealed as good. Cleanse
the world now and transform all the evil so that it
becomes goodness. Build the world.
Blonk: Oh, is that how it is?
Cenk: Cleanse everything.
Blonk: Oh, is that how it is?
Cenk: You and I will now excuse ourselves to the
entire audience. We will do it all again tomorrow.
We hope that you were not bored, not bored. Well,
let's excuse ourselves. We are the servants of Lord
Rama. Let's go.
Cenk: Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Wenang.
Ne ngemban Gumi ngewenangan jagat. To ne bakal
serahang idupe to. Kairing antuk Sang Ngada ngaba
Trita Sudamala. Luirto kel marisuda sahahaning
jagate. Ane corah pang ya ngenah corah. Ane beneh
pang ya beneh. Marisuda jani mesikan sahananin ne
corah-corah pang ya dadi luwung. Ngawe jagate.
Blonk: Ooo keto?
Cenk: Parisuda makejang.
Blonk: Ooo keto?
Cenk: Ci ajak wake nganteg dini malu mepamit
ngajak sameton sareng sami. Kanggoang benjang
pungkur biin wawanin. Moga-mogi Ida Dane
ten ngewanehin, tan ngewadihin. Lan mepamit.
Memarekan ring Ida Batara Rama lan.
Cenk: Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Wenang.
Yang mengasuh dunia, yang menentukan dunia.
Kepada beliaulah hidup ini diserahkan. Diikuti
oleh Sang Ngada membawa Tirta Sudamala. Itu
akan membersihkan semua dunia. Yang jahat
agar dia kelihatan jahat. Yang benar agar ia benar.
Membersihkan sekarang mengumpulkan semua
yang jahat-jahat agar menjadi baik. Berbuat di
dunia.
Blonk: Ooo begitu?
Cenk: Dibersihkan semua.
Blonk: Ooo begitu?
Cenk: Kamu dan saya sampai disini dulu, mohon diri
kehadapan saudara kita semua. Cukuplah sampai
disini, besok lusa lagi dilanjutkan. Semoga hadirin
tidak bosan-bosan. Mari permisi. Mari mengabdi
kehadapan Ida Batara Rama. Mari.
SELESAI
265
266
COURTROOM
TESTIMONIES
of
Nyoman Gunarsa
and Indrawati Gunarsa
Kesaksian Sidang
Oleh
Nyoman Gunarsa
dan Indrawati Gunarsa
267
Trial Transcripts - May 1, 2007 - Indrawati
The session of May 1, 2007. Two witnesses:
Dr. Nyoman Gunarsa and Indrawati.
Before the session began, His honor the Judge ordered
the Public Prosecutor to present the accused, Hendra
Dinata, alias Sinyo. After the accused appeared,
his Honor the Judge called forward two witnesses:
witness Nyoman Gunarsa and witness Indrawati.
Following are excerpts from the dialogue that took
place during their testimony.
Head Judge: The court calls the two witnesses to
come forward.
(They come)
Head Judge: Before we continue the questioning of the witnesses for their
answers, we want to inform the public prosecutor that if there are any
other witnesses for this trial present in the courtroom we ask them to go
outside.
Are there any future witnesses in the courtroom at this time?
Prosecutor: Some future witnesses are sitting outside the courtroom.
Head Judge: Comrade Indrawati, where were you born?
Indrawati: In Temanggung.
HJ: Age?
I: 57 years old.
HJ: Religion?
I: Hindu.
HJ: Place of residence?
I: Jalan Raya Banda, Number 1. Klungkung.
HJ: Occupation?
I: Entrepreneur and Museum Directress.
HJ: Entrepreneur? Where precisely?
Persidangan 1 Mei 2007
Sidang pada tanggal 1 Mei 2007 menghadirkan
2 orang saksi yaitu: Saksi Drs. Nyoman Gunarsa
dan saksi Indrawati. Sebelum sidang dimulai
Majelis Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut
Umum untuk menghadirkan terdakwa Ir.
Hendra Dinata. Setelah terdakwa hadir. Majelis
Hakim memanggil 2 orang saksi yaitu : saksi Drs.
Nyoman Gunarsa dan saksi Indrawati, berikut
petikan dialog dalam persidangan:
Hakim Ketua: Hakim memanggil kedua saksi untuk duduk di depan
Hakim Ketua: Baik sebelum diperiksa lebih lanjut saksi-saksi yang akan
memberi jawaban, kami sampaikan kepada Penuntut Umum maupun dari
saksi-saksi terdakwa apabila ada saksi-saksi yang akan diperiksa pada
persidangan berikut yang sekarang ada didalam ruang sidang kami mohon
untuk keluar.
Hakim Ketua: Ada yang mau menjadi saksi pada sidang yang akan datang?
Jaksa: Para saksi yang akan di dengar berikutnya agar duduk di luar sidangi
Hakim Ketua: Saudara Indrawati lahir dimana?
Jawab: Di Temanggung.
Hakim Ketua: Umur?
Jawab: 57 Tahun.
Hakim Ketua: Agama?
Jawab: Hindu.
Hakim Ketua: Tempat tinggal dimana?
Jawab: Jl. Raya Banda No. 1 Klungkung.
Hakim Ketua: Pekerjaan Saudara?
Jawab: Wiraswasta dan Direktris Museum
Hakim Ketua: Wiraswasta ? Tepatnya?
268
I: Directress of the "Museum Klasik Bali"
HJ: Do you know the accused?
I: Initially I did not know him.
HJ: Now you know him?
I: Yes, I know him.
HJ: Is he a relative?
I: No.
HJ: Does he work with you?
I: No.
HJ: (To Prosecutor) Two witnesses?
Prosecutor: Yes.
HJ: On to the second. Name?
Gunarsa: Nyoman Gunarsa.
HJ: Dr. Nyoman Gunarsa?
G: Yes. (nodding)
HJ: Where were you born, sir?
G: I was born in Banda, Klungkung.
HJ: Current age.
G: 63 years old.
HJ: Nationality?
G: Indonesia.
HJ: Religion
G: Hindu.
HJ: Residence?
G: Jalan Raya Banda, Number 1. Takmung, Klungkung.
HJ: The same as your wife?
G: The same, (pointing to his wife).
HJ: Occupation?
G: Artist. Painter.
HJ: You you know the accused?
G: I have known him since the incidents concerning these paintings.
HJ: Do you know him now?
G: I know him as a result of this case.
HJ: Is he a relative?
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab:
Hakim
Jawab: Direktris Museum Klasik Bali
Hakim Ketua: Saudara kenal dengan terdakwa?
Jawab: Asal mulanya tidak kenal.
Hakim Ketua: Sekarang kenal?
Jawab: Ya, kenal.
Hakim Ketua: Ada hubungan keluarga?
Jawab: Tidak ada.
Hakim Ketua: Hubungan pekerjaan?
Jawab: Tidak ada.
Hakim bertanya kepada Jaksa.
Hakim Ketua: 2 orang saksi ya pak?
Jawab Jaksa: Ya.
Hakim Ketua: Terus yang kedua, nama?
Jawab: Nyoman Gunarsa.
Hakim Ketua: Tertera di BAP, Drs. I Nyoman Gunarsa.
Jawab: Ya (sambil mengangguk-.
Hakim Ketua: Lahir dimana Pak?
Jawab: Lahir di Banda Klungkung.
Hakim Ketua: Umur sekarang?
63 Tahun.
Ketua: Kewarganegaraan?
Indonesia.
Ketua: Agama?
Hindu.
Ketua: Tempat tinggal di mana?
Jalan Raya Banda No. 1 Takmung Klungkung.
Ketua: Sama dengan Ibu?
Sama (sambil menunjuk IbuJ.
Ketua: Pekerjaan?
Artist, Pelukis.
Ketua: Saudara kenal dengan terdakwa?
Saya kenal sejak peristiwa lukisan ini.
Ketua: Sekarang kenal?
Kenal sejak kasus ini.
Ketua: Ada hubungan keluarga?
269
G: No.
HJ: Do you work with him?
G: No.
HJ: All right, before you give your testimony, in accordance with the law,
you will both take an oath and give your testimony under oath. Please
stand. Repeat after me. (The two witnesses repeat his words) "In the name
of the Lord, I swear that as a witness in this case I will testify the truth and
nothing but the truth. Om Santih, Santih, Santih, Om.
(Let there be peace on heaven, on earth, and beyond)"
Please be seated. Now according to the rules the first
witness to be heard will be witness Indrawati, which
means that we will ask you, respected sir, to wait outside
the courtroom.
The first witness to give testimony is the witness
Indrawati
Head Judge: Please come forward Mrs. Indrawati.
(she steps forward)
Your have already taken an oath, is that
correct?
Indrawati: Yes.
H J: The meaning of that public oath is: First, that you are
responsible to God. Second, that you are responsible to
the law, because according to article 82 of the public penal code, whenever
a witness gives testimony, and that testimony is not truthful, the witness
is subject to a punishment of seven years in prison, so for that reason the
Court hopes that the testimony that you give to us will be truthful to your
point of view and experience, so that it will help us to discover the truth
of this case in a timely manner. All right, honorable witness, what do you
know about the case of the accused, Hendra Dinata?
Jawab: Tidak.
Hakim Ketua: Hubungan pekerjaan?
Jawab: Tidak.
Hakim Ketua: Baik ya, sebelum memberikan keterangan, sesuai dengan
Undang-undang, Saudara memberikan keterangan dibawah sumpah sesuai
dengan keterangan Saudara, silahkan berdiri!
Jawab : Ikuti apa yang saya ucapkan fditiru oleh saksi berduaj.
Hakim Ketua: Om Atah Parama Wisesa, saya bersumpah,
bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini akan
menerangkan yang benar, tidak lain dari pada yang
sebenarnya. Om Santih,Santih,Santih Om.
Silahkan duduk, baik ya sesuai aturan ya, KUHP maka
yang pertama-tama didengar adalah saksi pelapor yaitu
saksi Indrawati, oleh karena itu kami mohon dengan
sangat Bapak menunggu diluar sidang.
Saksi pertama yang dimintai keterangan adalah :
SAKSI INDRAWATI
Hakim Ketua: Silahkan Ibu Indrawati didepan.
Saudara saksi tadi sudah disumpah ya!
Jawab: Baik, Pak.
Hakim Ketua: Sumpah itu pada umumnya bermakna, satu
bertanggung jawab kepada Tuhan, kedua bertanggung
jawab kepada hukum, karena sesuai dengan pasal 82 KUHP, apabila saudara
bersaksi memberikan keterangan, apabila keterangan itu tidak benar, itu
bisa dikenakan pidana ancaman hukumannya 7 tahun, maka oleh karena
itu Majelis mengharapkan saudara memberikan keterangan yang benar
sesuai dengan penglihatan saudara, yang saudara alami, itu yang dapat kami
sampaikan. Kiranya dapat membantu dalam mencari kebenaran yang up to
date dalam perkara ini. Baik, saudara saksi ya, saudara tahu apa mengenai
perkaranya terdakwa Hendra Dinata?
271
I: I reported that the accused knowingly sold falsified paintings attributed
to Mr. Nyoman Gunarsa.
HJ: You reported that the accused sold falsified paintings.
I: That he knowingly sold falsified paintings attributed to Nyoman
Gunarsa.
HJ: How did you discover that?
I: From the beginning. In the month of January, about two thirty in the
afternoon, I passed by Jalan Gatot Subroto, and from the street I saw in
passing -- the light was lit and the weather was a little cloudy -- so I could
see that inside a painting was displayed that looked like the work of my
husband.
HJ: So you went into the Gallery?
I: No, I went by, sir.
HJ: Oh, you went by.
I: In passing by it seemed like the painting on display resembled my
husband's, so then I asked my driver to go back because I wanted to look at
it. When I went back I saw the staff^ turning off the lights and locking the
doors, so I tried to look in from outside. Because of the glare I had to do
this (makes gesture as if saluting to cover her eyes). Then the staff came over
to ask me, "Madam, is there anything we can do for you." I asked, "May I
see inside. The staff let me in. They turned on the lights, opened the door
and let me in.
HJ: What do you mean, 'you wanted to see inside'?
I: I wanted to see the Interior Design, to see if it was a gallery or a furniture
store.
HJ: Who was the owner of that Interior Design?
I: At that time I didn't know.
HJ: In brief, after you entered Cellini Interior Design, what did you see?
I: I approached the paintings on display that resembled my husband's work.
I arrived and went in with my secretary. Pak Wija and my driver. Putu. I
examined the paintings carefully and saw a small sticker saying they were
the work of Nyoman Gunarsa. I looked at it closely and spoke with my
secretary, Mr. Wija. I felt sympathetic because maybe it was a new owner
who knew nothing about the paintings of Mr. Nyoman Gunarsa and didn't
Jawab: Melaporkan terdakwa sengaja menjual lukisan palsu Pak Nyoman
Gunarsa.
Hakim Ketua: Saudara yang melaporkan terdakwa menjual lukisan palsu.
jawab: Sengaja menjual lukisan palsu dari Nyoman Gunarsa.
Hakim Ketua: Saudara tahu dari mana?
Jawab: Pada awalnya, bulan Januari kira-kira jam 14.30 sore saya lewat
di Jalan Gatot Subroto, dari jalan saya lihat sepintas, lampunya menyala
dan waktu itu cuaca agak remang-remang jadi sekilas didalam itu saya lihat
terpajang lukisan mirip karya suami saya.
Hakim Ketua: Saudara ke Gallery?
Jawab: Tidak, saya lewat pak.
Hakim Ketua: O, lewat.
Jawab: Lewat dijalan sepintas seperti terpajang lukisan mirip suami saya,
terus saya minta sama sopir, coba balik saya mau melihat, waktu membalik
itu tunggu waktu, saya berbalik kembali, disitu karyawan sedang mematiin
lampu, menutup pintu, saya menengok dari luar begitu. Karena kan silau
ada kacanya, kan saya begini fseperti memberi hormatj, terus karyawannya
menawarkan menanyakan, ibu ada apa, saya bilang boleh saya melihat
didalam, karyawan mempersilahkan, lalu menghidupkan lampu, membuka
pintu, mempersilahkan masuk.
Hakim Ketua: Maksudnya melihat didalam itu?
Jawab: Melihat-lihat di Interior Design, bisa ada gallery, furniture.
Hakim Ketua: Interior Design itu milik siapa?
Jawab: Waktu itu saya tidak tahu.
Hakim Ketua: Singkat cerita sudah masuk kedalam Cellini Interior Design,
saudara melihat apa?
Jawab: Saya langsung menuju lukisan yang terpajang yang mirip lukisan
karya suami saya, saya datang, waktu saya masuk, saya dengan sekretaris
saya dan sopir saya Pak Wija dan Putu, saya mengawasi itu lukisan dan
melihat stiker kecil di bilang karya Nyoman Gunarsa, saya amati terus saya
diskusi pada sekretaris saya Pak Wija, kasihan ini mungkin pemiliknya baru,
awam dengan lukisan Pak Nyoman sehingga dia tidak mengerti, apakah
272
^5^
/^
'£
understand. Should I tell her? Mr. Wija said, "Just tell her, madam." In the
end I asked, 'Whose paintings are these?"
HJ: Whom did you ask?
I: One of the women on the staff who was escorting me.
HJ: What was her name?
I: I didn't ask.
HJ: You didn't know her name.
I: Yes.
HJ: So what did the woman answer?
I: "These are the paintings of Mr. Nyoman Gunarsa, Madam. The price is
ninety million (rupiah)" No (/ said). These are not the paintings of Mr.
Nyoman. Oh no. They are false.
HJ: So what kind of paintings did you see inside Design Interior? What
were the motifs. Was it a landscape, a house, or what?
I: Theywere paintings ofBalinese dancers. Legong dancers. They resembled
my husband's paintings, but they were not the work of my husband.
HJ: Do you see them there among the paintings displayed as evidence? Are
they there? (refering to a group of paintings lined up against the wall of the
courtroom.)
I: Yes, they are there, (pointing to the paintings). The red one, the green
watercolor, a small green one, and some others, but they are not here.
HJ: How many of them exactly did you see at that time?
I: About ten were on the first floor, sir. I did not go up to the second
floor.
HJ: Yes, yes, there were about ten paintings on the first floor, and as far as
you understood the paintings were not the work of Nyoman Gunarsa. Like
this one here?
I: None of them were.
HJ: The ones that are here, can you point them out, to be clearer?
(The witness Indrawati stands and walks towards the evidence)
HJ: Which ones?
(The witness Indrawati points one by one to the pieces of evidence, one was
yellow measuring 145 x 145 centimeters and another was green measuring
perlu diberi tahu, Pak Wija bilang, kasih tahu saja bu, akhirnya saya kasih
tahu, ini lukisan siapa?
Hakim Ketua: Saudara bertanya kepada siapa?
Jawab: Salah satu pegawai wanita ada yang memandu.
Hakim Ketua: Namanya siapa?
Jawab: Saya tidak bertanya.
Hakim Ketua: Tidak tahu namanya?
Jawab: Ya.
Hakim Ketua: Lalu dijawab oleh wanita itu?
Jawab: Ini lukisan Pak Nyoman Gunarsa Bu, harganya 90 Juta, O memang
mantap tapi ini bukan lukisan Pak Nyoman lho, ini palsu.
Hakim Ketua: Terus lukisan yang saudara lihat di Design Interior itu lukisan
macam apa atau motif apa, apakah tentang pemandangan, atau berupa
rumah atau apa?
Jawab: Lukisan tari-tarian Bali, Tari Legong yang menyerupai lukisan suami
saya, tapi bukan karya suami saya.
Hakim Ketua: Apa yang saudara lihat pada waktu itu ada diantara lukisan-
lukisan yang sebagai barang bukti ini, ada?
Jawab: Yang di sana (sambil menunjuk lukisan) yang warna merah, hijau,
water colour, kecil hijau,dan ada beberapa lagi, tapi tidak ada disini.
Hakim Ketua: Persisnya jumlahnya berapa yang saudara lihat pada waktu
itu?
Jawab: Kira-kira 10, itu ada dilantai satu pak, saya tidak naik ke lantai
dua.
Hakim Ketua: Ya ya, di lantai satu ada 10 lukisan yang sepengetahuan
saudara bukan lukisan karya Nyoman Gunarsa, salah satu atau yang ini?
Jawab: Ya, semuanya itu.
Hakim Ketua: Yang ini, bisa ditunjukkan biar lebih jelas.
Jawab: Saksi Indrawati berdiri lalu mendekat ke barang bukti.
Hakim Ketua: Yang mana?
Jawab: (Saksi Indrawati menunjuk satu persatu barang bukti, yang ukuran
145 X 145 cm warna kuning dan ukuran 145 x 145 cm warna hijau).
274
145 X 145 centimeters)
HJ: And the one over there?
I: That is comparable.
HJ: At the time you were looking at them, was a female employee present?
I: Yes.
HJ: Did you have the chance to ask the female employee where the paintings
came from, is that what you asked her?
I: At first I said that they were false, and the employee was angry, sir.
HJ: Angry?
I: Very angry.
H J: In what way?
I: She reprimanded me.
HJ: What did she say?
I: "Madam, how dare you speak like that. The painter himself brought them
here. He was sick and needed money." I wanted to laugh, sir, but I feel
sorry for people who don't know what they are talking about, so I restrained
myself, and ran over to the ladder to try to hold it in like this (Indrawati
bends over and shakes her body to demonstrate). By this time there were five
people there, and two more had come in. I said, 'I am Nyoman Gunarsa's
wife.' Suddenly the employee stood up straight. Her lips trembled. I
could not hide my feelings, so I spoke. "Mr.
Nyoman lives forty kilometers from here.
Why are you selling forgeries. You are
destroying the image of Bali. 'Many tourists
come to this place,' I complained. They come
from far away looking for Nyoman Gunarsa's
valuable paintings. They embody the image of
Indonesia, the identity of Nyoman Gunarsa,
especially Bali. Why are you falsifying Bali
itself, so that his wife has to stop you in order
to uphold the ideals of her husband. That is
what I told her, sir. I gave her my name card
and warned her not to sell forgeries.
HJ: After you examined the paintings, did
you see tags and signatures on the paintings
Hakim Ketua: Kalau yang dibarat ini?
Jawab: Ini pembanding ( setelah itu duduk kembali).
Hakim Ketua: Pada waktu saudara melihat ada karyawan perempuan?
Jawab: Ya.
Hakim Ketua: Apakah saudara sempat menanyakan pada karyawan wanita
itu, ini lukisan asalnya dari mana, sempat nggak menanyakan itu?
Jawab: Pada awalnya saya bilang ini palsu, karyawan itu marah pak.
Hakim Ketua: Marah?
Jawab: Marah-marah.
Hakim Ketua: Bagaimana dia?
Jawab: Langsung marahin saya.
Hakim Ketua: Ada mengucapkan kata-kata?
Jawab: Ibu ini siapa beraninya ngomong-ngomong begitu, ada pelukisnya
sendiri bawa kesini, sakit butuh duit, saya ketawa pak, saya kan tumbuh
rasa kasihan orang yang tidak mengerti bicara demikian saya mau ketawa,
saya tahan, saya lari kesini dibawahnya ada tangga, pada waktu muter,
begini-begini (sambil menggoyang badan), dan diiringi 5 orang, ada 2 orang
lagi, setelah itu saya bilang saya itu istrinya Nyaman Gunarsa, tiba-tiba
karyawan itu berdiri, bibirnya bergetar, saya kan tidak sampai hati, terus
saya ngomong begini. Pak Nyoman tidak ada
40 km dari sini, kenapa jual palsu, ini kan
merusak citra Bali, banyak turis yang datang
ketempat saya komplin, datang dari jauh, cari
Nyoman Gunarsa mahal-mahal, punya citra
Indonesia, identitas Nyoman Gunarsa, khas
Bali, kenapa dipalsu di Bali sendiri, supaya
ibu mencegah maka dengan itikad mendukung
idealis suami saya, saya beritahu demikian
Pak, saya kasih kartu nama, tolong diberitahu
jangan jual palsu.
Hakim Ketua: Nah setelah ibu memperhatikan
lukisan ya, apakah ibu melihat ada stiker dan
275
FAKE PAINTING
LUKISAN PALSU
NYOMAN GUNARSAS TRUE PAINTING
LUKISAN ASLI NYOMAN GUNARSA
This falsified painting was found in Gallery Cellini, owned by Hendra Dinata,
alias Sinyo, on Jalan Gatot Subroto, Denpasar.
Lukisan tiruan (palsu) yang diketemukan di Gallery Cellini
milik Hendra Dinata alias Sinyo, Jl. Gatot Subroto Denpasar
A new point of comparison used in the investigation by Balinese District Police.
Pembanding baru yang dipergunakan oleh penyidik Polda Bali.
276
in question?
I: The signatures were similar {to Gunarsas), but I am not sure, but there
were tags, sir, small ones.
HJ: Where were they placed on the paintings?
I: On the lower right.
HJ: Can you try to show us where?
(Indrawati walks to the paintings and points out where the stickers were placed
and then goes hack to her seat. Each time she walks to the paintings she is
followed by a crowd of judges, lawyers, and reporters that transforms the court
into a miniature art gallery.)
HJ: So after you saw the paintings that according to you were not the
paintings of Mr. Nyoman Gunarsa, what did you do, what actions did you
take?
I: I told them that Mr. Nyoman was less than forty kilometers away, asked
why they were selling forgeries. I gave them my name card and told them
that if they wanted to sell Nyoman Gunarsas paintings that instead of selling
forgeries they should contact me and I would help them, because I was his
manager.
HJ: After that, in the following days, the next day or two days later, the next
week or after that did you go back to Interior Design?
I: With eastern propriety and ethics that were clearly polite and well-
intentioned, I sent my son and Mr. Wija to the gallery to ask where the
paintings had come from and to photograph them.
HJ: But at that time you did not accompany them?
I: I stayed at home.
HJ: You did not go there?
I: That's right, because I wanted to handle the matter ethically.
HJ: How long afterwards.?
I: The next day at nine in the morning.
HJ: You sent your son to verify whether or not they were the genuine
paintings of Mr. Gunarsa, and so you sent your secretary Mr. Wija with
your son.
I: But they were not allowed to take photographs because Mr. Sinyo was
there waiting for them.
tanda tangan di lukisan tersebut?
Jawab: Tanda tangannya menyerupai, tapi saya yakin bukan, kalau stiker
ada pak, kecil.
Hakim Ketua: Disebelah mana lukisan itu?
Jawab: Sebelah kanan bawah.
Hakim Ketua: Coba, bisa ditunjukkan!
Jawab: (Ibu Indrawati lalu berdiri dan menunjukkan dimana stiker itu
berada, setelah itu duduk kembali).
Hakim Ketua: Nah selanjutnya setelah melihat lukisan yang menurut saudara
bukan lukisan Pak Nyoman Gunarsa, apa yang saudara lakukan, apa yang
saudara perbuat?
Jawab: Saya memberitahu bahwa Pak Nyoman tidak ada 40 km dari sini,
kenapa jual palsu, ini kartu nama kalau berniat jual, jangan jual palsu, saya
Bantu, saya selaku managernya Pak Nyoman Gunarsa.
Hakim Ketua: Setelah itu apakah dikemudian hari, besoknya, dua hari,
seminggu dan selanjutnya pernah lagi ke Interior Design?
Jawab: Dengan rasa ketimuran, dengan etika, yang jelas saya menganut
bagaimana dengan Prikemanusiaan dengan etika budaya dan saya menyuruh
anak saya dan Pak Wija datang ke gallery itu menanyakan lukisan dari mana
dan memotret.
Hakim Ketua: Tapi pada waktu itu ibu tidak ikut kesana?
Jawab: Ada dirumah.
Hakim Ketua: Tidak kesana?
Jawab: Ya, karena saya menjaga etika.
Hakim Ketua: Selang beberapa hari?
Jawab: Besoknya, jam 09.00 pagi.
Hakim Ketua: Ibu menyuruh anak untuk memperjelas apakah itu betul
lukisan pak Gunarsa, dan sebagainya ibu menyuruh anaknya dan pak Wija,
sekretaris.
Jawab : Tapi dihalangi untuk memotret, karena sudah ditunggu oleh saudara
Sinyo.
277
HJ: What is your source for that information,
madam?
I: My source for the information is my son, who
said that he was met with anger.
HJ: So, after that did you ever directly meet the
accused in connection with the paintings or talk
to him or ask him anything?
I: No, my son did.
HJ: Your son? Then you never directly met the
accused, is that correct?
I: No, only my son. But I asked him to ask where
the paintings were from.
H J: And what did the accused answer.?
I: First the accused said, "Your mother came here very angry and she
created havoc with my staff. My son said that if I was angry he was sorry,
but he wanted to know where the paintings came from. Oh, he said, these
paintings are from Bimantoro {ex-police chief of Klungkung), Sitorus {the
township police chief), and the {current) Police Chief of Klungkung.
H J: That is what he said to your son.
I: Yes, to my son.
HJ: Not to you directly?
I: I spoke separately to my secretary and he said the same thing that my
son said.
HJ: Madam, you are familiar in detail with Mr. Gunarsa's paintings.
I: I know them very well, sir.
HJ: Mr. Gunarsa is a master painter, is that correct?
I: Yes, sir.
H J: Do you know if Mr. Gunarsa ever registered his work at the Copyright
Office?
I: Yes, my husband and I are often are invited to various places, seminars
on the subject of copyright, violation of copyright in the field of visual arts,
and other topics. My husband is in demand as a speaker who focuses on
these topics.
HJ: My question is do you know if Mr. Gunarsa ever registered his work.
Hakim Ketua : Tapi kan berdasarkan
keterangan Ibu?
Jawab: Berdasarkan keterangan anak saya, bahwa
anak saya disambut dengan marah-marah
Hakim Ketua: Nah, selanjutnya apakah Ibu
pernah bertemu langsung dengan terdakwa,
berkaitan dengan lukisan-lukisan itu, pernah
berdialog atau bertanya atau apa?
Jawab: Tidak, anak saya.
Hakim Ketua: Anak saudara? jadi ibu tidak
pernah bertemu langsung dengan terdakwa ya?
Jawab: Tidak, tapi anak saya, saya minta untuk
bertanya, ini lukisan dari mana?
Hakim Ketua: Lalu dijawab oleh terdakwa?
Jawab: Dulunya terdakwa bilang, ibumu datang kesini marah-marah,
tau enggak saya ini tukang buat huru-hara, terus anak saya lagi bilang o
bagaimana selanjutnya kalau memang marah-marah, maaf tapi dari mana
itu lukisan, ini lukisan dari Bimantoro, Sitorus, Kapolres Klungkung begitu.
Hakim Ketua: Itu dibilang sama anak ibu
Jawab: Anak saya
Hakim Ketua: Bukan pada saudara ya?
Jawab: Secara terpisah saya kompromikan dengan sekretaris saya, jawaban
sekretaris saya sama dengan anak saya
Hakim Ketua: Ibu kan tahu persis ya lukisan pak Gunarsa ya
Jawab: Sangat tahu pak
Hakim Ketua: Pak Gunarsa kan sebagai Maestro pelukis ya?
Jawab: Ya pak
Hakim Ketua: Apakah saudara tahu, karena Pak Gunarsa itu seorang pelukis
pernah mendaftarkan karya-karyanya di Direktorat Hak Cipta, anda tahu?
Jawab: Mendaftarkan iya dan juga suami saya, kami sering diundang ke
mana-mana, seminar membahas tentang Hak Cipta, pelanggaran Hak Cipta
dihidang seni lukis, juga yang lain, tetapi yang difokuskan itu, suami saya
sebagai pembicara seni lukis.
Hakim Ketua: Pertanyaan saya apakah ibu tahu Pak Gunarsa itu pernah
278
I: He did.
HJ: With the Director General of Copyrights?
I: Yes, he did, but the Director General of Copyrights only began its activities
around '95, '97, '98, sir.
HJ: When did your husband register his work? Do you still remember?
I: My husband registered them in Jakarta, during his exhibition at BMI,
but that was just done orally and not yet written down. Maybe my husband
remembers the written version.
HJ: So you forget, madam?
I: I did not specifically ask my husband, because I heard it directly at that
time from the attorney general, because our exhibition at BMI was opened
by Madam Tien {the wife of then-president Suharto). All the national
ministers were there.
HJ: So the one who would know the details about the registration is your
husband?
I: Yes.
HJ: So among these more or less ten paintings that you saw there, which
according to you are not the paintings of Mr. Gunarsa, were any of them
sold to other people or buyers?
I: From the beginning, the story is like this, sir. Afterwards I was informed
by Bimantoro, Sirotrus, and the Chief of Police of Klungkung, because my
museum has many State Guests, and there are often official activities. The
chief of police of Klungkung and his staff often come to provide security,
so it automatic that I have a close relationship with every police chief
in Klungkung, and when the Museum opened my husband was in Jogja
teaching at the Institute of the Arts...
H J: My question was about these paintings that you saw. Do you know
whether or not they were sold to anyone else?
I: It's like this, sir. There is a connection because I was told, directly, I was
told that the painting from the chief of police in Klungkung was installed
at the time of the building of the new police station. At that time the chief
of police was Mr. Basuki, and he asked for a painting by Mr. Nyoman as a
remembrance for the lobby. It measured 95 x 95 centimeters, so I wanted
mendaftarkan karyanya?
Jawab: Pernah.
Hakim Ketua: Ke Dirjen Haki ?
Jawab: Pernah, tapi Dirjen Haki itu kan mulai di aktifkan kira-kira pada
tahun 95, 97, 98 pak.
Hakim Ketua: Kapan suami ibu mendaftarkan?, masih ingat?
Jawab: Waktu itu mendaftarkan di Jakarta, waktu sedang pameran di BMI,
tetapi baru secara Usan saja belum tertulis, tertulisnya mungkin yang tahu
suami saya.
Hakim Ketua: Ya, ibu lupa ya?
Jawab: Saya tidak menanyakan jelas pada suami saya, kelanjutannya
bagaimana, karena saya dengar langsung, waktu itu di depan Bapak Jaksa
tinggi, karena kita kan pameran untuk BMI yang buka ibu Tien, Menteri-
Menteri Negara datang.
Hakim Ketua: Jadi yang lebih tahu secara mendetail mengenai pendaftaran
itu, suami ibu?
Jawab: Ya.
Hakim Ketua: Nah dari sekian lukisan ya, kurang lebih sepuluh lukisan
yang saudara lihat disana, sepengetahuan ibu bukan lukisan Pak Gunarsa,
sempat ada lukisan yang terjual pada orang lain atau pada pembeli?
Jawab: Pada awalnya setelah, kan ceritanya begini pak, setelah saya
diberitahu, dari Bimantoro, Sitorus dan Kapolres Klungkung, karena di
Museum saya sering mendapat tamu Negara, sering banyak aktivitas , oleh
pak Kapolres sering didatangi dan dijaga oleh anak buah Kapolres Klungkung,
jadi otomatis dengan tiap-tiap Kapolres di Klungkung saya akrab dan waktu
bangun Museum suami saya kan di Jogja ngajar di ISI...
Hakim Ketua: Pertanyaan saya yang berkaitan dengan lukisan-lukisan ini
ya, yang saudara lihat, tahu nggak ada nggak lukisan itu telah terjual kepada
orang lain?
Jawab: Begini pak, ada kaitannya terus saya karena diberitahu, saya akrab,
saya diberitahu bahwa lukisan dari Kapolres Klungkung memang waktu
mendirikan gedung Kapolres yang baru, waktu itu Kapolresnya Pak Basuki,
minta supaya ada kenang-kenangan dari Pak Nyoman di lobi Kapolres, merah,
tapi ukuran 95 X 95 saya sudah mencoba ngecek, apa masih ada atau
279
to check, but the new chief of pohce Mr. Hepi had aheady moved. I had
just met Mr. Yono, and he said how are you, madam. You are Gunarsa's
wife, aren't you. Yes, I said. How are you, madam? I'm here to check about
someone seUing false paintings. I am a hundred percent sure they are false.
That's what the chief of police said in Klungkung, Mr. Sitorus from the
Township Police and Bimantoro. By chance the police chief and I are both
from central Java, so naturally we have the same ideas about culture and art,
so he asked me to sit down, and then he said, madam that is not possible.
It is a hundred percent impossible, because it has been confirmed by the
highest authorities. You have to file a report and I will come there. It is a
serious responsibility, madam, you must fill out a report. So in the end on
the day of the 11th, the day after the 10th, because notice was served in the
afternoon of the 12th, I reported that I assumed false paintings were being
sold.
HJ: You assumed?
I: First I reported that I assumed the paintings being sold were false, then
the process went on, and in the end, at the beginning of April, the report
was acted on by the District Police, and the Chief of the District Police, in
order to get Mr. Nyoman himself to verify this, accompanied us with a police
escort, Mr. Dewa Penida and Mr. Nyoman Madra and someone whose name
I forget, and Mr. Wija, and Mr. Nyoman, and the five of us arrived at the
gallery and were received by an employee. And then Mr. Nyoman saw them
himself.
tidak, tapi Kapolresnya baru yang Pak Hepi sudah pindah, saya baru kenal
Pak Yono, terus ngapain bu, ibu, ibu Gunarsa ya, iya (jawab ibu) ngapain
bu?, ini ngecek ada orang jual lukisan jelas-jelas palsu, saya yakin 100 %
palsu, kok bilang dari Kapolres klungkung. Pak Sitorus dari Polda Bali dan
Bimantoro, Kebetulan Pak Kapolres dengan saya kan sama-sama dari Jawa
Tengah, otomatis kita punya budaya, punya alam pikiran sama, terus saya
dipersilahkan duduk, bu tidak mungkin!, tidak mungkin 100% karena beliau
hanya kenal saja mengaku-ngaku dari aparat tinggi, ibu harus membuat
sebagai laporan dan saya baru datang, kita baru kenal , pertanggungan jawab
benar itu bu, benar, berupa laporan, ya. Akhirnya tanggal 11, besoknya dari
tanggal 10, karena sudah sore tanggal 12 nya diproses, ya saya laporkan
bahwa saya menduga adanya penjualan lukisan palsu.
Hakim Ketua: Menduga?
Jawab: Dulunya, terus saya laporan diduga ada penjualan lukisan palsu, terus
waktu didalam proses, akhirnya pada awal April berkas itu dikirim ke Polda,
terus di Kapolda untuk membuktikan Pak Nyoman sendiri sebagai pelukisnya,
kami diantar oleh dari Polda, Pak Dewa Penida dan Pak Nyoman begitu
saya lupa namanya dan Pak Wija, Pak Nyoman dan saya, berlima datang
ke gallery dan diterima satu pegawai, terus baru Pak Nyoman menyaksikan,
terus ( CD terputus /tidak ada gambar).
HJ: (The judge reads from a statement given by the witness Indrawati in a
previous police report) "The testimony that I gave before is correct, but it is
necessary that I add that I met the maker of the two false paintings under
discussion, two watercolors on canvas that were presented as evidence. It was
I Gede Padma a working painter from the village of Batubulan Kecamatan
Sukawati, Kabupaten Gianyar. And also on the fifth of July in 2005 I was
given some watercolors on paper, that very much resembled the style of
my husband's. Dr. Nyoman Gunarsa, from a man named I Gede Danajyaya,
owner of Siaja Gallery on Jalan Raya Mas, in the village of Mas in the county
Hakim Ketua: (Hakim membacakan keterangan saksi Indrawati dalam
BAP) ; karya suami saya Drs. I Nyoman Gunarsa dari seorang
laki-laki bernama I Gede Dananjaya, pemilik Siaja Gallery Jalan Raya Mas
Desa Mas Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dan salah satu lukisan
tersebut diperoleh dari seorang laki-laki, nama I Wayan Lanus alamat
Banjar Manuaba Desa Kendran Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar,
mantan karyawan Drs. I Nyoman Gunarsa. Betulkan keterangan saudara itu
dipenyidik?
280
of Ubud, in the precinct of Gianyar, one of the
paintings in question was obtained by a man
named I Wayan Lanus from Banjar Manuaba
in the village of Kendran in the district of
Tagalalang in the precinct of Gianyar, former
employee of Dr. Nyoman Gunarsa." Is this
report from the investigating officer correct?
I: It is true, sir. First, Your Honor...
HJ: It's true. That's enough.
I: But first. Your Honor, I have to say that I
didn't understand why the investigator from the
Bah District Police did not recommend charges
against them, so that is why, wanting to be
ethical, I did not press charges against them.
HJ: (to the Prosecuting Attorneys advisor) You already knew, sir. You had
already confirmed it.
HJ: According to the related inquiries made by the investigator, the paintings
had signatures.
I: Yes, there were. There were two (she holds a photograph and points to
the paintings), but I have proof.
Counsel for Defense of the Accused (Penasehat Hukum Terdakwa): After
you found out who had made the paintings that you say are false, why didn't
you press charges?
I: I already told the Bali District Pohce and in the end I... (cut off by the
adviser)
CDA: My question is, did you press charges?
I: I already told them. I had already been questioned. I already said so.
HJ: That's the answer.
I: I already said so, but I didn't press charges.
HJ: You already knew, but you didn't press charges.
I: In this case it would have been redundant.
HJ: Madam would help us by answering succinctly, so that we don't run out
of energy.
I: The questions are confusing.
HJ: All right, I am sorry. The next questions will come from the Associate
Jawab: Benar Pak, didepan Bapak Hakim
Hakim Ketua: Benar, itu cukup.
Jawab: Tapi didepan Bapak Hakim saya bilang
tidak tahu karena penyidik dari Polda Bali
tidak merekomendasikan mereka itu bersalah,
jadi saya menurut etika tidak menuduh.
Hakim Ketua: Sudah diketahui ya pak, sudah dibenarkan, (hakim bertanya
pada penasehat Hukum).
Hakim Ketua: Yang menjadi pertanyaan berkaitan dengan pernyataan pada
penyidik, adakah lukisan itu yang ditandatangani?
Jawab: ada, ada dua (sambil membawa foto dan menunjuk lukisan), tapi
saya punya bukti.
P. H: Setelah saudara mengetahui bahwa pembuat lukisan tersebut yang
saudara katakan palsu, apakah saudara sudah melaporkannya?
Jawab: Saya sudah bicara dengan polda Bali dan saya selesai ...(dipotong
penasehat Hukum).
PH: Pertanyaan Saya, apakah sudara sudah melaporkannya?
Jawab: Sudah kanl, saya kan sudah diperiksa, saya sudah ngomong.
Hakim Ketua: Sudah jawabannya.
Jawab: Saya sudah ngomong, tapi tidak melaporkan.
Hakim Ketua: Sudah memberitahu, tapi tidak melaporkan.
Jawab: Masak dalam kasus ini dilaporkan berulang-ulang.
Hakim Ketua: Ibu tolong jawab yang singkat, agar tidak habis energinya.
Jawab: Habis pertanyaan memusingkan.
Hakim Ketua: Baiklah, mohon maaf ini, pertanyaan selanjutnya akan
281
Judge.
Associate Judge: The answers just submitted to
the Prosecuting Advisor about the witnesses
opinions should be erased from the court
records, because we consider them to be
irrelevant. She is not an expert. The witness is
not an expert. During the time that she told her
story to the court, about how she could see the
character of the paintings, it is not acceptable.
All the explanations and information presented
by the witness should therefore be struck from
the record.
CDA: My question is that it supports. . .
AJ: B ut she is not an expert.
CDA: Claiming that this is not the character of her husband's painting, is
her opinion as an individual...
AJ: But that is not acceptable. It is not an opinion. She is not an expert.
CDA: That is why we asked. . .
AJ: It's not acceptable.
CDA: But that has already been answered.
AJ: Then the answers have to be struck from the record.
I: Excuse me sir. I am not a lawyer, but I obey the laws and understand
the impropriety of making mutual accusations. Because the police did not
consider him a suspect, there was nothing wrong in my saying, "I don't
know." That is the right of the police, the responsibility of the police." Yes
the police. Is that true or not? (the spectators in the courtroom laugh).
HJ: I want to remind you again that if you are not asked a question you
should not give commentary so in that way only what is asked will be
answered. Please continue. Prosecuting Adviser.
I: If things are not clear, I also will not answer.
HJ: In that case the court will make things clear.
I: All right, sir. Thank you.
CDA: Just now, madam witness, you said that these paintings were false,
lacking proportion, without the soul and character of your husband. Where
can you locate the specific differences that you are talking about when you
disampaikan Hakim Anggota.
Hakim Angg: Klasifikasi pertanyaan Penasehat
Hukum tadi, mengenai apakah itu pendapat
saksi harus dihapus dalam catatan, karena
pertanyaan itu kami anggap menyimpang,
yang kita tanyakan itu, dia bukan ahli, saksi ini
bukan ahli, waktu ibu menceritakan ke Majelis
tadi, majelis mengatakan bagaimana caranya
dia melihat karakter lukisan itu, begitu toh I
jadi yang dialaminya, yang diketahuinya kan
itu keterangan saksi, jadi tolong itu supaya di
cukupkan.
P.H .: pertanyaan saya. Ini penegasan
Hakim Angg.: Tapi dia bukan ahli.
P.H.: Bahwa ini tidak ada karakter suaminya dilukisan ini, itu kan
pendapatnya dia secara pribadi.
Hakim Angg.: tapi ini tidak bisa, itu kan pendapat, dia bukan ahli.
PH.: Oleh karena itulah kita tanyakan.
Hakim Angg.: Tidak bisa itu.
PH.: Tapi itu sudah dijawab.
Hakim Angg.: Mukanya itu harus dianulir.
Jawab ibu: Maaf pak, saya orang awam Hukum, tapi saya patuh dan saya
punya etiket saling tuduh, karena polisi tidak menetapkan sebagai tersangka,
tidak bersalah, saya bilang tidak tau, itu hak polisi, itu kewajiban polisi, ya
pak polisi, bener enggak? (disambut dengan tawa hadirin)
Hakim Ketua: Saya peringatkan sekali lagi ya, kalau tidak ditanyakan,
jangan memberikan komentar, oleh karena itu sesuai dengan itu, apa yang
ditanyakan itu dijawab, silahkan penasehat hukum.
Jawab: Kalau tidak dengan jelas, saya juga tidak jawab.
Hakim Ketua: Nanti Majelis akan menjelaskan.
Jawab: Baik Pak, terima kasih.
PH.: Tadi saudara saksi mengatakan bahwa lukisan ini lukisan palsu ya,
tidak proporsional, tidak ada jiwa dan karakter suami ibu, dimana letak
perbedaan spesifik yang dimaksud oleh saksi mengenai perbedaan lukisan
282
refer to the differences between the paintings?
I: To answer your question clearly, sir, please excuse me for standing up.
(Indrawati clarifies the differences between the paintings by demonstrating
the body positions and movements of the dancers depicted in the both the
false and original paintings. Then she sits down.)
CDA: Madam witness, you just said that Mr. Nyoman Gunarsa paints with
an inspiration of the soul in a way that gives the painting a sense of, what is
it called, perfection?
I: No. The main point is that anyone taking even a glance at Mr. Nyoman's
paintings can see that he is indeed a master with a fundamental sense of
artistic ethics.
CDA: Just now madam witness referred to an inspiration of the soul. Mr.
Gunarsa's paintings, the ones in question, do you know what year they were
painted or can't you differentiate?
I: It is not only about inspiration of the soul. Mr. Nyoman is a master artist
of our times, inspired by the movements of Balinese dance. He knows those
movements intimately or as the Javanese would say "mbalung sumsum"
("they are in the marrow of his bones"), so he doesn't have to look at them,
he already knows them instinctively.
CDA: Just now you said that the inspiration of the soul is not the same for
everyone.
I: Yes, that will not always be the same.
CDA: But these are not the same. Howcanyouprovideproof that they are
not the paintings of Mr. Gunarsa.
I: It is clear to anyone who knows anything about painting that it has no
character. You are not an expert in the field of painting, so how can I educate
you, sir. Now, sir, if I ask you to look at a letter to you written by your wife
or ex-girlfriend, it will surely have its own soul or character. And then if
you look at a letter written by someone else you could see clearly that it was
not the writing of your wife, isn't that true?
CDA: What I'm asking about is paintings, which is a different subject.
I: Yes, but although paintings are not the same subject, the difference
between paintings with the soul of Mr. Nyoman and those without that soul
is similar to your recognizing the difference in someone's handwriting.
HJ: These questions are too abstract. Making them more concrete will help
itu?
Jawab: Apa yang Bapak maksud, maaf pak saya berdiri, (Ibu Indrawati lalu
menjelaskan dan memperagakan letak perbedaan dan posisi kaki penari
antara lukisan yang asli dengan yang palsu, lalu duduk kembali).
P.H: Saudara saksi ya, tadi saudara mengatakan bahwa Pak Nyoman
Gunarsa melukis dengan inspirasi jiwa sehingga dengan demikian bahwa
apa lukisan itu bisa, apa namanya sempurna?
Jawab: Tidak pokokya orang sekilas melihat lukisan Pak Nyoman itu memang
maestro, ada dasar-dasar etika seni.
PH.: Saudara saksi, tadi inspirasi jiwa. Pak Gunarsa itu, yang saya tanyakan
lukisan-lukisan ini tahun berapa atau bisa ibu bedakan?
Jawab: Tidak hanya inspirasi jiwa. Pak Nyoman sebagai pelukis sampai
maestro sekarang, inspirasi untuk gerak tari Bali itu, gerak tarinya saja
sudah nelotok, kalau orang Jawanya bilang sudah mbalung sumsum, tidak
usah lihat sudah tahu begini
P H.: Tadi kan saksi mengatakan bahwa inspirasi jiwa itu tidak selalu sama
semua.
Jawab: Ya, itu kan tidak sama yang itu.
PH.: Tapi ini tidak sama, bagaimana bisa membuktikan bahwa ini tidak
lukisannya Pak Gunarsa.
Jawab: Jelas dong tidak ada karakter, kalau yang namanya lukisan pak ya.
Bapak kan awam lukisan, apa perlu saya ajari pak, sekarang Bapak saya
Tanya Bapak menulis surat, tulisan tangan dari istri, mantan pacar pasti
menjiwai, sekarang dapat surat dari orang lain tau nggak itu tulisan istri
atau bukan.
PH.: Yang saya tanya, lukisan itu kan berbeda-beda.
Jawab: Ya tapi biarpun lukisannya tidak sama, tapi perbedaanya adalah
tidak ada jiwa Pak Nyoman tidak ada roh, seperti Bapak kalau menulis tidak
selamanya tulisannnya sama .
Hakim Ketua: Begini pertanyaannya jangan terlalu abstrak, kongkritnya
283
us to understand.
CDA: What year was this painting made?
I: There are many paintings that I didn't see, but I would say 1997.
CDA: And that one, what year?
District Attorney: Please Your Honor, we ask that this not be repeated
again.
HJ: More or less around 1998.
CDA: Madam witness, in the year 1998 was your husband, Mr. Gunarsa,
ever sick?
I: He was. Early on the morning of December 2, I took him to the
hospital.
CDA: So he was.
I: He was.
CDA: During the year of 1998 did he engage in any activities or paint?
I: Very often before he was sick. After he was sick he did things for collectors
continuing through 1999. All the paintings he did after he was sick, he
painted on commission. They were all put in the collection of Ibu Sri in
Jakarta the owner of the magazine Matra. The painting you referred to just
now was not like that, because when he was sick Mr. Nyoman's hands were
not affected, only his feet, a little bit, sir.
CDA: Did he ever experience a stroke?
I: Yes, but not a total stroke, and it only struck the left side of his brain.
CDA: But you just said that these things depended on the inspiration of Mr.
Gunarsa's soul. During the time just after his sickness, did his work change
because he had experienced an illness?
I: No, I am sure. I will explain it to you because you are not an expert in
art. If someone is an economist, the active part of the brain is the left side,
but if he is an artist, the active side is the right side. My husband's stroke
was on the left side, so his artistic skills continued to function. There was
no change.
HJ: That is not an answer.
I: Because, you are not an expert, sir, I have to inform you.
CDA: In connection with your recent testimony, are you acquainted with
Mr. Gede Padma?
I: I have known Gede Padma since I was put on trial two times on accusations
saja tolong dipahami.
P.H.: Ini lukisannya tahun berapa itu?
Jawab: Bisa, tapi saya banyak lukisan ndak lihat saya, tahun 1997.
P.H.: Kalau itu tahun berapa?
Jaksa: Begini Pak Hakim, kami mohon tidak diulang lagi.
Hakim Ketua : Kurang lebih tahun 1998.
PH.: Saudara saksi tahun 1998 apakah suami Ibu yang namanya Pak
Gunarsa itu pernah mengalami sakit?
Jawab: Pernah, 2 Desember pagi-pagi buta saya yang bawa ke rumah sakit.
PH: Pernah?
Jawab: Pernah.
PH.: Apakah selama tahun 1998 itu pernah dia melakukan atau melukis?
Jawab: Sebelum sakit, nggak. Setelah sakit hanya mencoba di muka kolector
tidak seperti itu, terus setelah tahun 1999, iya, tapi semua lukisannya begitu
Pak Nyoman sakit, dia melukisnnya selalu disponsori, dikoleksi semuanya
oleh ibu Sri di Jakarta pemilik majalah Matra. Melukis tadi tidak seperti
itu, karena Pak Nyoman biarpun sedang sakit tangannya tidak berpengaruh
hanya sedikit kaki Pak.
P.H.: Apakah dia pernah mengalami stroke?
Jawab: Iya, tetapi tidak stroke total, dan yang kena otak kiri.
PH.: Tapi tadi saksi bilang, ini tergantung daripada inspirasi jiwa Pak
Gunarsa, pada waktu itu dia baru sakit, apakah karyanya berubah karena
mengalami sakit?
Jawab : Nggak, tau nggak saya memberitahu karena bapak awam seni,
kalau orang itu ekonom, yang aktif itu otak kiri, kalau seniman yang aktif itu
semua otak kanan, suami saya yang kena otak kiri, jadi rasa seni rasa gerak
masih tetap, tidak berubah.
Hakim Ketua: Jawabannya tidak!
Jawab : Karena bapak awam saya kasi tahu.
PH.: Sehubungan dengan pernyataan saudara tadi, saksi kenal dengan gede
Padma.
Jawab: Saya kenal Gede Padma setelah saya diadili dua kali berdasarkan
284
of slandering Sinyo.
CDA: What led to your going there?
I: Because from the time that I opened
the Museum around 1995 until that
year I always passed by Silungan, and
on the left side of the road there were
paintings that resembled very much
(Gunarsa's), but I knew the were the
work of Gede Padma. So I went there,
and they were signed by Gede Padma,
so I kept quiet. After I was put on
trial twice for slander, I had the urge
to look for Mr. Gede Padma with this
photo, but he had already moved from
Silungan to Batubulan. So I went to
Batubulan to look for him carrying
this photo. So he explained: "My
paintings are similar to Mr. Gunarsa's.
I take orders. I look for figures." Then
in the end he understood that I was the wife of Mr. Gunarsa. "Oh, yes,
yes, madam." (replies Gede Padma). I asked him if this was his work or
not. Then he remembered. "Oh, yes, I paint many of them, many of them,
because I can imitate Mr. Gunarsa. Thanks to Mr. Nyoman Gunarsa I can
support my family, but I use my own name. I can buy a house like this. I
asked him. Sir, if this is your painting, please sign it. He signed it. (She
shows a photograph of the paitning signed by Gede Padma to the Prosecuting
Adviser and Sinyo).
CDA: During the time that you visited Mr. Gede Padma, did you ever show
the paintings of Gede Padma to anyone else who thought they were the
work of Gede Padma?
Answer: Gede Padma had many of them. He said, "Yes, of course, madam
I sign them. Thanks to Mr. Nyoman I can build a house here, but I buy the
land and this house all in my name.
CDA: You can say these things. Later Gede Padma will appear as a
witness.
tuntutan yang sama atas fitnah Sinyo.
P.H.: Apa tujuan Ibu datang kesana?
Jawab: Karena pada waktu saya bangun
Museum kira-kira tahun 1995 sampai
tahun itu saya selalu lewat Silungan,
kiri jalan ada lukisan yang mirip-mirip
begitu banyak, saya tahu itu lukisan
Gede Padma, o saya datangi masih atas
nama Gede Padma, saya diam. Setelah
saya difitnah dua kali, timbul rasa saya
untuk mencari saudara Gede Padma
dengan membawa foto ini, tapi di
Silungan sudah pindah ke Batubulan,
terus ke Batubulan saya cari, saya
sambil bawa foto ini, kemudian dia
menjelaskan, saya memanglukisan saya
memang sama dengan Pak Gunarsa,
saya bisa terima pesanan, sekarang
saya sudah cari figure sendiri, terus
akhirnya dia tahu saya ini istrinya Pak Gunarsa, oh ya ya bu, (jawab Gede
Padma). Saya bertanya Pak ini lukisan Bapak atau bukan? Terus dia ingat-
ingat, oh ya saya melukis banyak sekali, banyak, karena saya meniru Pak
Gunarsa. Karena jasa Pak Nyoman Gunarsa saya bisa hidupi keluarga saya,
tapi saya pakai nama saya sendiri, saya bisa beli rumah ini. Saya Tanya, Pak
kalau ini lukisan Bapak tolong dong ditandatangani. Beliau tanda tangani
(sambil menunjukan foto lukisan yang ditandatangani Gede Padma kepada
penasehat Hukum Sinyo).
P.H.: Apakah saksi pada waktu menemui Pak Gede Padma, apakah saksi
pernah menunjukkan lukisan orang lain sehingga Gede Padma mengira
lukisan ini karya Gede Padma?
Jawab: Gede Padma punya banyak sekali, sepertinya iya kok bu, ya saya
tanda tangani, terima kasih karena jasa Pak Nyoman saya bisa bangun
rumah ini, tapi beli tanah dan rumah ini tapi semua atas nama saya.
P.H.: Ibu bisa saja bicara demikian, nanti kan saksi Gede Padma kita
hadirkan.
285
I: As you please, sir, but I have already spoken with conviction.
HJ: That's enough. Does the accused have any questions to ask the
witness?
Sinyo: No.
HJ: What is your opinion of the witness' testimony?
S: Some of it is true and some of it is false.
HJ: Which was more: the true or the false? Was it mostly
true?
S: She said that my employee was very angry, but actually
she was very angry with my employee. Secondly, she hit
the paintings...
HJ: So most of it is not true, yes?
S: Other things, I don't know about. Secondly, it was said that I
insulted her religion. That is a lie. In fact she is the one who said
that I am a person without culture, that Gunarsa was an artist, which
meant that only Mr. Gunarsa could represent the character of the country,
and that I could not because I was just a businessman. Actually I cannot
have a conversation with her, because she talks too much.
HJ: Is that all?
S: Yes.
HJ: Madam, do you stand by your testimony? Do you want to change
anything?
I: No.
HJ: Thank you. Please sit down in the back.
I: Thank you, sir. I would add that at the time it was said I hit the paintings
I did not respond again. No one asked for my explanation, and during the
time I was put on trial the witnesses contradicted him.
HJ: Thank you and please sit down in the back. Next, will the witness Dr.
Nyoman Gunarsa please come into the courtroom.
(The witness Nyoman Gunarsa enters the courtroom)
Jawab: Silahkan Pak, tapi saya sudah dengan tekad saya, bisa.
Hakim Ketua: Cukup ya, saudara terdakwa ada pertanyaan kepada
saksi ?
Terdakwa: Tidak ada.
Hakim Ketua: Bagaimana tanggapan saudara terhadap
keterangan saksi tadi?
Terdakwa: Ada yang benar, ada yang salah.
Hakim Ketua: Mana lebih banyak, yang benar benar atau
yang salah ? Yang benar saja!
Terdakwa: Dia bilang karyawan saya marah-marah, tapi
justru dia yang marah-marahi karyawan saya, yang kedua
dia memukul lukisan, ....
Hakim Ketua: Selebihnya tidak benar ya?
Terdakwa: Yang lain saya tidak tahu, yang kedua, saya itu
dibilang menghina ibu agama, itu bohong, justru dialah, yang
bilang saya itu orang yang tidak berbudaya, bahwa seniman
Gunarsa itu, maksudnya ini bahwa hanya Pak Gunarsa saja yang bisa
nama Negara harum, apakah saya sebagai pengusaha, tidak, saya bilang
gitu. Justru saya tidak bisa berbicara sama dia karena dia ngomongnya
terlalu banyak.
Hakim Ketua: Begitu saja?
Terdakwa: Iya.
Hakim Ketua: Ibu tetap pada keterangannya, tidak berubah?
Jawab: Tidak.
Hakim Ketua: Terima kasih, silahkan duduk dibelakang.
Jawab: Terima kasih Pak, saya tambahkan, pada waktu saya dihilang
memukul lukisan, saya tidak direkonstruksi ulang, tidak diminta keterangan
saya, dan waktu saya diadili, saksinya dia bolak-balik.
Hakim Ketua: Terimakasih ya silahkan duduk dibelakang. Selanjutnya saksi
Drs.Nyoman Gunarsa silahkan masuk ke ruang persidangan.
(saksi Nyoman Gunarsa memasuki ruang persidangan)
286
Second Witness to Give Testimony is the Witness I Nyoman Gunarsa
Saksi Kedua yang dimintai keterangan adalah SAKSI Drs. I NYOMAN
GUNARSA
Before the judge opens the session, the Head judge asks the PubUc Prosecutor to
present the accused, Hendra Dinata, aUas Sinyo, to sit before the court. After
this His Honor begins the testimony of the witness Dr. I Nyoman Gunarsa.
What follows are excerpts from the dialogue between the court and the witness
I Nyoman Gunarsa.
Head Judge: Are you ready, sir.
Nyoman Gunarsa: Ready.
HJ: All right then. Before the questioning of the second witness proceeds,
we ask the Public Prosecutor and the Counsel for the Defense of the Accused
{Penasehat Hukum Terdakwa) to question the witness in a friendly manner
and that each person speaks in a concise way that conserves time. Can we
have an agreement on that? May we?
All right, if that is settled, and already agreed, we hope that the witness in
the interests of speeding things up will answer truthfully according to the
oath that includes accepting responsibility first of all to God, and secondly
to the law. If that is already understood we can continue with the question
of the witness.
Associate Justice: How long ago did you begin painting, sir?
Gunarsa: I began painting in 1960.
AJ: It is said that your paintings are seen and known all over the country,
and even abroad. Could you tell us your feelings about which of your works
are the most successful.
G: When I paint, my paintings are like my children. I conceive my children
with love, so all my works are created that way, and I consider them all good,
because they are created from deep feelings and concepts.
AJ: Which of your paintings do you have the most affection for? Do you
have favorites or not? I also want to ask you that.
G: Bexause I love all paintings, almost equally, I created a museum so that I
can collect the best works there.
Sebelum Hakim ketua memulai sidang, terlebih dahulu Hakim Ketua mohon
kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan saudara terdakwa yaitu
Ir. hendra Dinata alias Sinyo untuk duduk didepan Majelis Hakim. Setelah
itu Mejelis Hakim mulai meminta keterangan kepada saksi Drs. I Nyoman
Gunarsa. Berikut petikan dialog antara Majelis Hakim dengan Saksi Drs.
I Nyoman Gunarsa:
Hakim Ketua: Sudah siap pak ya?
Saksi: Siap.
Hakim Ketua: Baik ya, sebelum pemeriksaan terhadap saksi yang kedua
dilanjutkan, kami mohon kepada Penuntut Umum dan Penasehat Hukum
terdakwa bagaimana kita pilih satu orang saja, pertanyaan ini ini ini
ditulis sama temannya, satu orang yang berbicara untuk menghemat waktu
bagaimana sepakat? Boleh?
Baik kalau begitu ya, telah disepakati, saudara saksi ya, biar lebih cepat lagi,
diharapkan menjawab dengan benar ya, karena sumpah mengandung makna
satu bertanggung jawab kepada Tuhan, yang kedua pada hukum, sudah bisa
dimengerti ya, dan selanjutnya pemeriksaan saudara akan dilanjutkan.
Hakim Angg: Bapak mulai melukis sejak kapan?
Saksi: Saya mulai melukis sejak tahun 1960.
Hakim Anggota: Jadi sejak melukis katakanlah karya Bapak sudah tersebar
ya, baik dalam negeri, maupun luar negeri kan begitu ya, kalau bisa tahu
bapak melukis yang paling bapak rasakan hasil karya bapak seperti lukisan
apa?
Saksi: Pada waktu melukis, lukisan itu bagaikan anak, saya membuat anak
dengan penuh rasa cinta, jadi semua karya yang saya ciptakan itu, saya
anggap baik, karena mengikuti perasaan dan konsep.
Hakim Anggota: Yang mana kira-kira bapak punya lukisan kesayangan gitu?
Ada nggak? Ya saya ingin menanyakan itu juga?
Saksi: Karena lukisan-lukisan saya itu kasayangan, dan semua itu hampir
sama. Jadi saya membuat Museum karena karya-karya saya yang saya koleksi
287
>.^fl
AJ: Those paintings are in the museum,
is that correct?
G: Yes, in the museum.
AJ: Well, now we come to the problem at
hand. You are here as a witness to discuss
the falsification of your paintings, is that
correct? Are you already acquainted with
the accused?
G: I know the accused as a result of this
case.
A}: As a result of this case. Have you ever
been to his Gallery?
G: I was accompanied there at the
request of the district police investigator
on the tenth of April to bear witness as to
whether the paintings there were authentic or false.
AJ: At that time you went there with the police did you see any
paintings or any falsified paintings on display?
of your
G: There were none of my paintings there.
AJ: There were not?
G: All the work there was falsified, or imitations.
AJ: Imitations? None of them were your work?
G: But they resembled my paintings and they were signed "Nyoman
Gunarsa" and beneath them was a sticker that said "the work of Nyoman
Gunarsa."
AJ: There were paintings that resembled your paintings, sir? And on those
paintings were signatures that resembled yours, sir? And there were also
stickers.
G: Yes, stickers.
AJ: And what kind of stickers were they?
G: The stickers read," Work of Nyoman Gunarsa."
AJ: That is what you saw the time you went to the Gallery?
adalah karya terbaik.
Hakim Anggota : Lukisan itu ada pada
Museum ya?
Saksi: Ya, Museum.
Hakim Anggota: Nah sekarang kita masuk
kepersoalannya ya, saudara sebagai saksi
disini karena 1 (satu) lukisan bapak
dipalsukan, kan begitu ya? Anda sudah
kenal dengan terdakwa?
Saksi: Saya kenal terdakwa dalam kasus
ini.
Hakim Anggota: Perkara kasus ini ya tho!
Bapak pernah ke Gallerynya?
Saksi: Saya diajak oleh, diminta oleh
penyidik Polda waktu itu tanggal 10 April
untuk meyakinkan apakah benar ada
lukisan palsu atau tidak.
Hakim Anggota: Pada saat, pada waktu Bapak kesana bersama Polda, ada
bapak lihat lukisan-lukisan atau lukisan-lukisan bapak yang dipalsukan
yang dipajang?
Saksi: Lukisan saya sendiri tidak ada.
Hakim Anggota: Tidak ada ya?
Saksi: Semua karya-karya yang saya lihat itu lukisan palsu alias tiruan.
Hakim Anggota: Tiruan pak ya?, bukan karya bapak ya?
Saksi: Tapi menyerupai lukisan saya dan juga ada tanda tangan Nyoman
Gunarsa dan dibawahnya ada stiker, karya Nyoman Gunarsa.
Hakim Anggota: Ada lukisan menyerupai lukisan bapak ya?, pada lukisan
itu ada tanda tangan yang menyerupai punya bapak?, kemudian apakah
ada stiker ya?
Saksi menyela: "ya stiker"
Hakim Anggota: Kemudian apa isi stiker tersebut?
Saksi: Isi stiker itu "karya Nyoman Gunarsa:"
Hakim Anggota: Itu yang bapak lihat pada waktu bapak datang ke Gallery itu?
289
G: That's correct.
AJ: How many paintings were there?
G: There were eight paintings.
AJ: There were eight?
G: Here in the courtroom there are six that
are being used as evidence. But where are
the other two large paintings?
AJ: Now I would like to ask you about this
painting. Whose work is this painting?
(The judge points to one of the original
Gunarsa paintings that has been brought
to the courtroom to serve as a point of
comparison with the copies)
G: That is my work.
AJ: Your work. And what about this one
here?
(The judge points to one of the falsified paintings seized by the court as
evidence)
G: That is not my work.
AJ: Not your work, sir. So if we look at the paintings, in what way does this
painting resemble the painting over there?
(The judge points to one of the originals and one of the falsifications)
G: There is a resemblance, but they are not the same. They are different, the
only thing the same is ... .
AJ: (cutting off Gunarsas response) Where is the difference?
G: He used a carved wooden frame, which is a trademark that I always
use. I play with the image of the sun, so he also plays with the image of
the sun, but he has not mastered the technique, because in painting there
are two important aspects that must be understood: the conceptual aspect
and the physical aspect. For instance the attention given to the physical
aspect is clearly not the same as in mine. The lines are weak. Secondly,
the proportions are not true. It is not the depiction of an expert dancer.
You can see how a person with their legs in a position like that would fall
down. (Pointing to the falsified painting Gunarsa stands up and moves into
Saksi: Betul.
Hakim Anggota: Ada berapa lukisan pak?
Saksi: Ada delapan lukisan.
Hakim Anggota: Ada delapan ya?
Saksi: Disini ada enam yang saya lihat
dipakai barang bukti itu, jadi kemana dua
lukisan yang gede itu?.
Hakim Anggota: Sekarang begini, saya
mau nanya ya, ini kan lukisan, yang ini
lukisan karya siapa?
(sambil menunjuk lukisan pembanding)
Saksi: Lukisan karya saya.
Hakim Anggota: Karya bapak ya, kalau
yang disana itu.
(menunjuk lukisan barang bukti)
Saksi: Bukan karya saya.
Hakim Anggota: Bukan karya bapak ya, nah kalau dilihat lukisan ya, apa
ada kemiripan lukisan yang disana itu dengan lukisan yang ini (menunjuk
barang bukti dan pembanding)
Saksi: Ada satu kemiripan, tapi tidak sama. beda, hanya idenya sama
(terpotong pertanyaan Hakim)
Hakim Anggota: Perbedaannya dimana?
Saksi: Dia menggunakan frame berukir, selalu khas saya (lukisan Gunarsa)
kemudian saya main matahari, dia juga main matahari, tapi tehniknya
dia tidak menguasai karena melukis itu ada dua aspek penting yang harus
diketahui aspek ... dan aspek fisik. Kayak apa yang terawat aspek fisiknya ini
jelas tidak sama dengan punya saya, goresannya ini lunak, kedua proporsi
tidak benar tidak mengenai tukang tari. Anda bisa lihat bagaimana posisi-
posisi kaki orang yang dengan posisi demikian bisa jatuh (sambil menunjuk
lukisan palsu, kemudian Gunarsa berdiri sambil memperagakan agem-
agem tari Bali) yang saya maksud kiri-kanan (agem tari ) jadi tidak seperti
290
the stance of a Balinese dancer.) What I am referring to is this, a "left-right
stance." (Gunarsa demonstrates the correct stance), which should not be done
like this (Gunarsa demonstrates the stance depicted in the false painting) or
you would fall down. It is not balanced. Tliis is what you call ''agem" (the
Balinese name for a basic dance position). Secondly, balance. Thirdly, that
dancer is too relaxed so the head and the neck are like a doll's. The head is just
a circle on the neck (he assumes the shape of a straight stiff line). Compared
with my work, he has not mastered the proportions of human anatomy. It
is the same with the fingers. You can see here on the green one {the falsified
painting) and then on this one {the original). The fingers should be like
this (Gunarsa demonstrates the distinctive movements of a Balinese dancer's
fingers). Remember that my work is based on decades of study, while this one
(pointing to the false painting) is the imitation of someone who has worked
only a month. It is not possible. It requires experience. That painting does
not possess the required technique and knowledge and experience. That is
what diff^erentiates it from my work. To become a master painter requires
time and lots of experience that is artistic, practical and analytical.
ini (posisi penari dalam lukisan palsu) bisa jatuh, tidak seimbang, itu yang
namanya agem, 2 keseimbangan, 3 penari itu, membuat penari itu rilek,
kemudian kepala dan leher (menunjuk lukisan palsu), ini kayak boneka,
kepala bulat lehernya begini (membentuk garis lurus), bandingkan dengan
karya saya, dia tidak menguasai anatomi/ proporsi manusia. Kemudian
jari-jari juga, kemudian kita lihat apa itu yang hijau (lukisan palsu/barang
bukti) sama itu (menjelaskan perbedaan lukisan palsu dengan karyanya),
jadi jari-jari itu harus begini (menjelaskan dengan memperagakan gerak
jari tangan dan menunjukkan sedikit gerakan tari), kalau ini sejak puluhan
tahun jangan lupa saya melukis mempelajarinya, sedangkan ini (menunjuk
lukisan palsu) satu bulan bisa dengan meniru, ini tidak bisa, ini perlu
pengalaman, jadi melukis itu bukan hanya tehnik dan pengetahuan yang
diperlukan, pengalaman juga bisa membedakan karya. Jadi untuk menjadi
seorang maestro perlu waktu, pengalaman yang banyak, artistik, proyektif,
analogik semua.
AJ: Ali right, sir. At the time you were painting this piece, how long did it
take to finish?
G: The finishing was not a problem. What was important was the mood.
AJ: No, what I meant was how much time did it take? Do you still
remember?
G: When I paint I require the right mood and moment. To express the
character, maybe about an hour. In three or four hours I can complete it
well.
AJ: So you don't need weeks and weeks?
G: Oh, I don't work that way, taking weeks and weeks, because I work
expressionistically.
AJ: Otherwise it would disappear?
G: Disappear.
AJ: All right. So then where did you learn that work resembling yours was
being displayed at the Sinyo Gallery?
G: Oh, I learned that there were paintings that resembled mine, alias false
Hakim Anggota: Baik pak ya!, pada saat bapak melukis lukisan ini bapak
selesaikan berapa lama?
Saksi: Kalau soal menyelesaikan tidak soal, yang penting ada mood.
Hakim Anggota: Tidak, maksudnya berapa lama bapak menyelesaikan karya
mungkin bapak masih ingat?
Saksi: Kalau saya melukis, saya perlu mood dan momen karena saya perlu
ekspresi, karakter itu satu jam mungkin, tiga sampai empat jam sudah bisa
jadi bagus.
Hakim Anggota: Jadi tidak pernah berminggu-minggu ya?
Saksi: ooo, saya tidak mau begitu bekerja, karena kalau lebih itu berminggu-
minggu, karena saya ekspresif.
Hakim Anggota: Hilang, gitu ya.
Saksi: Hilang.
Hakim Anggota: Ya, baik kemudian begini pak ya, nah bapak dari mana tahu
bahwa ada karya yang menyerupai karya bapak ya, dipajang di Gallerynya
Sinyo?
Saksi: Oo, saya tahu adanya lukisan yang mirip karya saya alias tiruan palsu
291
copies, from my wife on the tenth of January. My wife went to Denpasar and
reported it to me. She said calmly that she would go the next day to check
it again with my son Gede Artison. So both of them knew. I learned of it
from my wife who knows the character and style of my work because she has
always been by my side for forty years. So my wife knows all the rhythms
and details of my work as well as I do.
AJ: (Shows a document to Gunarsa and the prosecutor and defense attorneys
and the accused.) It is a receipt from Ibu Sida.
G: Yes, I obtained this from Ibu Sida.
AJ: When did you obtain it?
G: I obtained it on the twenty-sixth of April.
AJ: She came directly to your house, sir?
G: She came to Kungklung to find out if it was authentic or not.
AJ: In the sense of a complaint, sir?
G: Yes, it was a complaint. "Oh that is not authentic," I said, because she
pointed to a receipt with my name on it, and I was very surprised. Shocked.
Because my reputation {harga diri) was actually being commercialized
without permission. This had to be investigated. I am not a person who
usually pursues these things, but this goes to the root of Indonesian law. We
don't want it to become an issue. We don't want to give the impression that
we are a nation of pirates. {''Negeri Pembajak").
AJ: It became an issue. Did people or galleries complain?
G: Ibu Sida. Sumerta. Sumerta sent his staff there to check two paintings.
Sumerta said that he got the painting from Bu Ninik, an employee of Bank
BCA. Bu Ninik got the painting from Johannes Kristyono. I've known him
since June.
AJ: So, you painted this painting. If I see clearly, this is a painting of two
dancers, is that correct? When you make a painting like this, is it from a
model? Are there several or only one or what?
G: For me it is like this: that object is an object, but that object can become
the character of a painting with my inspiration, and I can repeat it several
times. This is common in the working style of Affandi. He painted profiles
itu, dari istri saya, tanggal 10 Januari , jadi istri saya itu keluar ke Denpasar,
dia lapor ke saya, saya hilang tenang-tenang dulu besok di cek (lukisan suami
saya) supaya dicek kembali jam 11.30 saya punya anak Gde Artison jadi ada
dua orang yang tahu dari istri saya sendiri, istri saya tahu gaya dan style saya
karena dia selalu mendampingi saya hampir 40 tahun, jadi istri saya tahu
guritno segalanya itu tahu betul bagaimana saya.
Hakim Anggota: (Meminta sesuatu kepada Jaksa dan meminta Gunarsa juga
penasehat Hukum terdakwa melihat kwitansi dari Ibu Sida)
Saksi: Ya, saya dapat ini dari Ibu Sida.
Hakim Anggota: Kapan anda dapatkan?
Saksi: Saya dapatkan itu tanggal 26 April (tahunnya tidak jelas
kedengaran)
Hakim Anggota: Langsung datang ke rumah bapak?.
Saksi: Datang ke Klungkung menyampaikan asli atau tidak.
Hakim Anggota: Dalam arti komplain pak ya?
Saksi: Ya komplain, wah itu bukan asli, saya bilang begitu, sebab dia
menunjukkan ada kwitansi dan ada nama saya disana, saya kaget sekali,
shock. Karena harga diri saya betul-betul disini dikomersilkan dan juga tanpa
ijin, ini yang perlu kita tuntaskan. Semua ini saya bukan orang per orang
harus tuntas masalah tapi berdasarkan hukum di Indonesia ini, jangan jadi
topik ada kesan katakanlah jadi negeri pembajak.
Hakim Anggota: Jadi langsung pada topik, ada berapa orang atau Gallery
yang komplain?.
Saksi: (satu) Ibu Sida, (dua) Sumerta, Sumerta mengirim anak buahnya
kesana suruh ngecek membawa dua buah lukisan, Sumerta hilang bahwa ia
dapat lukisan dari Bu Ninik, pegawai Bank BCA, Bu ninik mendapat lukisan
itu dari Johanes Kristyono. Saya kenal dari bulan Juni (Januari - Juni).
Hakim Anggota: Kemudian begini ya, bapak melukis ini ya, kalau saya
lihat jelas ini lukisan dua orang penari ya?, nah apakah bapak yang melukis
model begini, ada berapa banyak kalau dalam melukis ada hanya satu atau
bagaimana?
Saksi: Saya begini, obyek itu kan satu obyek tetapi obyek itu bisa menjadi
berbagai karakter lukisan dengan inspirasi saya, bisa berkali-kali dan
berulang-ulang, itu sudah biasa justru stylenya Affandi, Hendra, dia melukis
292
FAKE PAINTING
LUKISAN PALSU
NYOMAN GUNARSA'S TRUE PAINTING
LUKISAN ASLI NYOMAN GUNARSA
This painting was boutht by Ibu Sida from the CeUini Gallery, owned by Hendra Dinata,
ahas Sinyo, on Jalan Gatot Subroto, Denpasar.
Lukisan ini dibeli Ibu Sida di Cellini Gallery milik Hendra Dinata alias Sinyo
di II. Gatot Subroto Denpasar.
A painting from the Collection of the Museum of Balinese Classical Art as a point of comparison.
Lukisan koleksi Museum Seni Lukis Klasik Bali sebagai pembanding.
293
several times, and they came out well, but were never the same.
AJ: So this is an example of a model painting. The problem is that the lines
are different from the model?
G: Different. Very different. So it cannot fulfill the aspiration of art.
AJ: So as for the paintings in the gallery, there were eight pieces, is that
correct? And of the eight, none of them were your work, is that correct?
G: They were not my work!
AJ: There were signatures on all of them.
G: There were.
Second Associate Judge: There were signatures that resembled yours on
them, is that correct?
G: There were.
SAJ: What year did you begin painting?
G: 1960.
SAJ: What year did you begin registering your paintings.
G: 1998, sir, under intellectual copyright. (HAKI)
SAJ: Do you still remember the registration number?
G: I remember the number: 021240.
SAJ: What year?
G: 2000.
SAJ: Before that, no?
G: It's like this: As an artist, when a work is complete, it is immediately
protected under the law as an original. It is already protected according to
the code of laws, so to register it becomes a double declaration. So I appeal
to Indonesian artists to understand the law, so that artists will not be taken
advantage of and exploited.
SAJ: In the registration are there several paintings registered?
G: There is one group of paintings.
SAJ: Does that include this painting here? (pointing to one of Gunarsas
paintings).
G: No, but it is the same style, so it is included in the group. In this book
there are 120 examples.
SAJ: As for the painting that is here, was it registered or not?
profil dirinya berkali-kali, itu sudah jadi tetapi tidak sama.
Hakim Anggota: Jadi ini salah satunya lukisan model begini, soal obyek yang
ada model lain tapi goresannya sudah lain ya?
Saksi: Lainnya lain, jadi akan berkembang karena itu aspirasi seni.
Hakim Anggota: jadi mengenai lukisan di Gallery itu coba bapak lihat ada
delapan karya ya?, yang ke delapan karya ini bukan karya bapak ya?
Saksi: Bukan karya saya!
Hakim Anggota: tanda tangan ada tertera semua?
Saksi: ada.
Hakim Anggota H: Yang menyerupai tanda tangan bapak itu juga ada?
Saksi: Ada.
Hakim Anggota II: Dari tahu berapa saksi melukis?
Saksi: Tahun 1960.
Hakim Anggota II: Dari tahu berapa saksi mendaftarkan lukisan-lukisan
saksi?
Saksi: Tahun 1998, pada HAKI pak!
Hakim Anggota U: Masih ingat nomor pendaftarannya?
Saksi: saya ingat nomor : 021240
Hakim Anggota II: Tahun berapa?
Saksi: Tahun 2000.
Hakim Anggota II: Sebelumnya tidak?
Saksi: Begini, sebagai seniman kalau karya itu sudah jadi, maka langsung
mendapat perlindungan hukum dan asli. Itu sudah mendapat perlindungan,
ini menurut Undang-Undang apalagi didaftarkan jadi dobel mendapat
pengakuan. Jadi saya mnghimbau kepada seniman Indonesia biar tahu
hukum, biar sebagai seniman jangan sampai dikalahkan, dieksploitir.
Hakim Anggota IT. Dalam mendaftarkan ada berapa buah lukisan
didaftarkan?
Saksi: Ada satu buah lukisan.
Hakim Anggota II: Apa termasuk lukisan ini?, (sambil menunjuk lukisan
karya Gunarsa).
Saksi: Tidak, tapi sejenis menyerupai satu gaya karena terbatas pada panitia,
itu buku, tapi ada yang 120 biji satu buku.
Hakim Anggota II: Lantas lukisan yang ada disini sudah didaftarkan apa tidak?
294
G: I did not yet register this one, but I already have the copyright for it,
because as I have clearly demonstrated, it has the same form as my work
that is already protected under the law.
AJ: Your works are registered in the form of a published book.
G: I always do that, but in the book there are many (paintings). (He exhibits
the book).
AJ: When your works are sold, how much do they cost?
G: There are varying prices depending on the size, from a sketch at about
a hundred million rupiah to two
hundred million rupiah (points to a
painting of 150x150 cm.)
AJ: So the price of a painting depends
on its size?
G: No, not at all. It is based on
the level of accomplishment. The
quality.
AJ: In selling your paintings to you
pay taxes?
G: Until now because I am a freelance
artist, so I am not assessed sales tax.
Prosecuting Attorney (Jaksa Umum):
You just testified that your wife and
son went to Sinyo's Gallery on January
tenth and eleventh, and that then you
went there on April tenth. Among
the ten paintings that were displayed
and seen and witnessed by you in person, were any of those paintings on
display licensed by you?
G: No, that is not true. I have never licensed any of my work. Never. If he
testified that he had a license form me, that is slander. I never licensed my
work. Perhaps I can show you what I brought.
Saksi: Kalau yang ini belum saya daftarkan, tapi sudah mempunyai hak,
karena ini merupakan karya saya yang nyata yang jelas sudah dilindungi
hukum.
Hakim Anggota: Karya-karya saksi apa didaftar dalam bentuk buku/
dimuseumkan (dicatat) dibukukan (lukisan-lukisan apa ada daftarnya)?
Saksi: Saya selalu, tapi didalam buku banyak (dan menjelaskan buku-buku
yang memuat karya-karyanya).
Hakim Anggota: Karya-karya kan dijual, berapa harganya?
Saksi: Itu bervariasi, itu ada ukuran, dari sket ada dari 100 juta sampai 200
^ juta (menunjuk lukisan ukuran 150
"^~' X 150 Cm).
Hakim Anggota: Apa ukuran lukisan
itu mempengaruhi harga?
Saksi: Oh bukan itu, karena
prestasinya, Quality.
Hakim Anggota: Dalam menjual
lukisan apa saudara membayar
pajak?
Saksi: Sampai saat ini karena saya
seniman bebas, karena saya bukan
ahlinya itu saya tidak kena pajak.
J P U: Saudara saksi tadi saudara
mengatakan bahwa anak dan istri
saudara datang ke Gallery Sinyo
tanggal 10 dan 11, kemudian saudara
tanggal 10 April datang kesana, nah
diantara 10 lukisan yang terpajang,
yang dilihat saudara dan disaksikan saudara sendiri secara langsung, apakah
didalam memajang tersebut ada ijin saudara?
Saksi: Tidak benar, saya tidak pernah memberikan ijin, tidak pernah!, kalau
dia terangkan dia sendiri bawa ijin, itu fitnah, tidak pernah ada ijin, mungkin
bisa saya tunjukkan, saya bawa.
295
PA: So there was no license. Then you remember that the false paintings
were sold. You explained that one was sold, just now with the receipt. To
whom else were the paintings sold?
G: As I said before I learned from Sumerta that Sumerta delivered some to
Mr. Nengah Mudra, and it was said that he got them from Ibu Ninik who
in turn got them from Mr. Johannes Kristyono. A water color and an oil.
They are here, (he points to a green painting and a small one).
PA: Can you explain again which paintings were sold to who?
G: Ibu Sida had one with three dancers. Mr. Kristyono had two dancers
and a Tamulilingan dancer, an oil, and a watercolor.
PA: So those two paintings were sold to someone. Besides those two that
were sold to Ibu Sida, to whom were the others sold?
G: Those two paintings were from Ibu Ninik. Ibu Ninik brought them to
Sumerta. Then Sumerta asked me about them and I said that they were not
my work. So I asked if he would be a witness and show them as evidence
here.
PA: So among the pieces of evidence, can it be seen which are original and
which are false.
G: It can be seen. (He points to the paintings from Sumerta, Kristyono, and
Ibu Sida) And I can say that these works are not mine, they are falsifications.
They are all false, (the witness points to them). Those false paintings are not
done according to the proportions and form of the human body. The color
and form of the frames are different.
J P U: Jadi tidak ada ijin, kemudian saudara mengingatkan bahwa itu lukisan
palsu yang ada dijual, ternyata saudara menjelaskan bahwa itu dijual, seperti
tadi ada kwitansi, kepada siapa lagi lukisan itu dijual ?
Saksi: jadi kepada, ini tadi saya katakan dari Sumerta, Sumerta itu ajudannya
bawa ke pak Nengah Mudra, katanya dapat dari Ibu Ninik, kemudian Ibu
Ninik dapat dari Bapak Johanes Kristyono, cat air dan cat minyak, disini ada
(sambil menunjuk lukisan hijau dan kecil).
/ P U: Coba saudara jelaskan lagi tiap-tiap lukisan itu temanya seperti apa
yang dijual?
Saksi: Ibu Sida ada tema tiga orang penari, kemudian pak Kristyono dua
orang penari dan tari tamulilingan, cat minyak dan cat air.
J P U: Jadi dua lukisan itu dijual kepada siapa, disamping dua lukisan yang
dijual kepada Ibu Sida, dijual kepada siapa?
Saksi: Dua lukisan oo itu dari Bu Ninik, Bu Ninik bawa ke Sumerta, jadi
pak Sumerta menanyakan kepada saya, saya bilang ini bukan karya saya,
kemudian saya minta dan jadi saksi dan barang bukti disini.
J P U: Jadi diantara itu ada yang barang bukti mana yang asli, mana yang
palsu bisa dilihat?.
Saksi: Bisa dilihat (menunjukkan lukisan dari Sumerta, Kristyono, Ibu Sida)
dan menyatakan ini bukan karya saya alias palsu, semua palsu (ditegaskan
saksi). Jadi lukisan palsu itu tidak sesuai proporsi dan bentuk fisik, yang
pewarnaan bentuk frame beda.
PA: Of the ten paintings that were displayed, it
seems that there were six, that although they were
not your work had your signature on them, and
also had stickers that read, "The Work of Nyoman
Gunarsa." Can you show us where those stickers
were located?
/ P U: Dari sepuluh lukisan yang dipajang, ternyata
diantaranya 6, itu lukisan yang dipajang itu bukan
karya dari saudara, akan tetapi tanda tangannya
dalam lukisan itu ada tanda tangan, kemudian
ada stiker yang bertuliskan karya Nyoman Gunarsa
dan dapatkah saudara menunjukkan dimana stiker
tersebut berada? (disela hakim)
296
Head Judge: All right. Before you answer that, at the time that you arrived
{at Sinyo's Gallery) and saw eight paintings, did you see paintings like those?
(points to the false paintings).
G: Yes, that's right.
HJ: What the Prosecuting attorney is asking is, "Was your signature there?"
Was your signature there?
G: Something resembling my signature was there.
HJ: Was it your signature or not? The signature on that painting, was it
your signature or not?
G: No it was not.
H: That's the answer.
G: But I have photographs from that time taken by the district police.
(Gunarsa takes photos from his bag).
JA: Then according to you, in your experience, they must be genuine, is
that correct?
G: They must.
JA: Please show them to us.
(Gunarsa takes photos from his bag and shows them to the judge, the
prosecutor, the defender, and the accused).
Counsel for the Defense of the Accused: You gave testimony before the
investigator explaining that your paintings were in the realm of abstract
impressionism. I would like to ask if traditional paintings are included in
the movement of abstract impressionism. And are there similarities among
impressionist works?
G: To answer this we have to go back to the word "impress" which means
that something makes and impression, it possesses an impression of its own.
There are two words in the term, impressionist and abstract. The impression
resembles the trace of the object. So the form is not important to the
impression, but the symbol of the impression has to have the proportions of
the object of which it is an abstraction. I choose abstraction because I like
to be free, especially in the background. Freedom. Abstraction. Expressing
what cannot be seen. If I want emotion I can break out. Otherwise the
painting would be just like a videograph.
HJ: That's the answer.
Hakim: Baik sebelum dijawab ya, pada waktu saudara datang (ke Sinyo
Gallery) dilihat ada delapan lukisan, apa saudara lihat lukisan-lukisan itu
(menunjuk lukisan palsu) seperti ini?
Saksi: Ya, betul!!
Hakim: Maksud dari Pak Jaksa (Hakim menjelaskan berkaitan dengan itu
apakah ada tanda tangan saudara disana?, apakah ada tanda tangannya
saudara?
Saksi: Menyerupai, ada.
Hakim: Apakah tanda tangan saudara atau bukan?, apakah tanda tangan
pada lukisan itu, apakah tanda tangan saudara atau bukan?
Saksi: Bukan!
Hakim: Itu jawabannya.
Saksi: Tapi saya punya foto-foto saya waktu diambil oleh Polda (sambil
mengambil foto dalam tasnya)
/ P U: Jadi ini menurut pandangan, pengalaman saudara, jadi harus yang
benar pak ya!
Saksi: Harus.
J P U: Silahkan tunjukkan.
Saksi: (membawa foto dan ditunjukkan pada majelis Hakim, Jaksa dan
penasehat hukum terdakwa)
Penasehat Hukum: Saudara saksi, saudara pernah memberikan keterangan
didepan penyidik, yang menerangkan bahwa lukisan saudara itu adalah
termasuk kedalam impresionisme abstrak, yang saya tanyakan apakah
pelukis-pelukis tradisional termasuk didalamnya aliran impresionisme
abstrak, apakah karya impresionisme itu ada kemiripan?
Saksi: Jadi ini termasuk tentang obyek, ada, ini dari kata impress itu, kesan
jadi, memiliki kesan, ada terdiri dari dua kata impresionis dan abstrak, impres
merupakan kesan dari obyek. Jadi kesan-kesan tidak mementingkan bentuk,
tetapi kesan simbul ada proporsi kemudian yang abstrak itu, saya memilih
abstrak karena ingin kebebasan saya terutama back-ground, kebebasan,
abstraksi, ekspresi memang sesuatu yang tak nyata, tetapi saya ingin emosi
saya bisa keluar, kalau tidak lukisan itu bisa seperti videografi.
Hakim: Jawabnya ada!
297
CDA: So there are similarities within the same movement?
G: It's different. Each movement is different, because individual identities
are different. But the object, the object that is painted is there. But each
person is different, because their identities are different. So within one
movement there must be differences.
CDA: So the forms can be different, can't they? Fundamentally you are
saying that when you make a painting you need an object. Can you or can
you not paint it several times, one time one way, and another time a different
way? We want to ask if the paintings that you call false have similarities to
yours?
G: They do. The ideas, the concepts are almost the same, especially the
frame and trappings, but not at all identical to mine. Then there's the dance.
They depict dance movements that are almost the same. My wife, after they
were examined by my wife and myself in a detailed way, I could see that the
technique, the technical ability was different in terms of the proportions,
form, profiles, colors, and lines that were there. The personality or character
was very different, the identity. The person that painted these, I believe
this is in accordance with what I testified to the police, does not have a
personality. I consider these paintings to be raw. (mentah).
Penasehat Hukum: Jadi ada kemiripan diantara sesama aliran?
Saksi: Beda, setiap aliran berbeda, karena pribadi itu berbeda, tapi satu obyek,
obyek yang dilukis itu ada, tetapi setiap orang berbeda karena kepribadian
itu berbeda, jadi suatu aliran itu harus berbeda -beda.
Penasehat Hukum: Jadi wujudnya bisa beda atau lain? Berdasarkan
pernyataan saudara, bahwa saudara saksi didalam membuat satu lukisan
itu perlu obyak yang sama, satu obyek. Bisa enggak saudara melukisnya
beberapa kali tetapi antara satu dan yang lain berbeda. Kami ingin tanyakan
bahwa lukisan yang saudara katakan palsu itu ada kemiripan apa?
Saksi: Ada dari ide, gagasan hampir sama, terutama frame, asesorinya, itu
bukan identik saya, kemudian tari, membuat gerak tari juga hampir sama,
istri saya, setelah dicek istri dan saya sendiri secara detail itu disana saya
lihat tehniknya, itu kemampuan tehnik yang berbeda baik dari proporsi,
bentuk, profil atau warnanya, goresan di sana apa-apa, pribadi atau karakter
berbeda-beda, jadi yang berkepribadian, orang yang melukis ini saya kira itu
memang sesuai dengan keterangan saya di kepolisian itu, ini tidak memiliki
kepribadian. Saya anggap ini suatu karya yang mentah.
CDA: So there are similarities in the ideas? Especially in the selection of
the object and the selection of the trappings of the frame, and so forth?
G: Yes, similarities and resemblances, but they are not the same.
CDA: Among the paintings that are here as evidence that resemble those
false paintings, where are the signatures that resemble your signature.
G: (Shows them to the lawyers and the accused). Because these paintings are
not my work, it goes without saying that anything he makes is a falsification.
So he should have distinguished his work from mine, so as not to deceive
the public and the customers and the art community, because his technique
is different, ft is unquestionably false.
CDA: For clarification, you pointed to some of the false paintings, is that
correct? And you recently testified that you had given some paintings to
Mr. Switha. What we would like to know is: are any of the paintings you
Penasehat Hukum: jadi kemiripan itu ada dalam ide?, khususnya dalam
pemilihan obyek kemudian pemilihan asesoris dalam frame, apakah
demikian?
Saksi: Ya, mirip-mirip, serupa tapi tak sama.
Penasehat Hukum: Saya kira diantara barang bukti yang berupa lukisan
palsu itu dimana yang ada tanda tangan yang mirip dengan tanda tangan
saudara?
Saksi: (Menunjukkan bersama Jaksa dan penasehat hukum terdakwa).
Karena ini lukisan bukan karya saya otomatis sebenarnya apa yang dia buat
adalah palsu, mestinya itu mengisahkan bahwa karya saya, seolah -olah
ini mengelabui para pemirsa atau pembeli atau komuni art, tapi tehniknya
berbeda, otomatis itu palsu.
Penasehat Hukum: Saudara saksi, untuk penegasan saja seperti yang anda
sampaikan tadi lukisan palsu ya?, saudara saksi tadi ada mengatakan
memberikan lukisan kepada saudara Switha. Yang kami tanyakan adalah
298
gave to him here among these paintings?
G: No.
CDA: How closely do you know Mr. Switha?
G: I met him on October first, 1989. He was
with Putu Jaya at Pecatu Graha, a staff employee
of Tommy. Putu Jaya asked me to make a
painting of Balangan Beach, so at that time Putu
Jaya sent Made Switha to pick me up and give
me a ride from Klungkung to Balangan. So that
is how I met him at that time. I don't have any
relationship with him. I only know him through
Putu Jaya.
CDA: That is your opinion of Made Switha. To your knowledge is Made
Switha a painter?
G: No, he is not a painter.
CDA: Does he own a gallery?
G: Yes, at that time he built Show Room Made Switha and I was asked to go
there to Nusa Dua to the art gallery. Well of course I was asked to open the
gallery, but I did so as a favor to give my imprimatur to the gallery. As an
old man I think that young people need support. It turned out differently
than what I had expected. He misused my trust. It appears that he said in
the police report that he brought ten of my paintings there. But although I
feel sympathy for him, it is not clear that the ten paintings I saw there were
the paintings I had given him at that time.
CDA: They were not the same?
G: They were not!
CDA: We apologize in advance for the next question because it might be
a little personal, but I had the opportunity to talk about it just now. The
question is whether or not you noticed any difference in the quality of your
paintings before and after your illness?
G: I believe that there is no difference in the work before and after my illness.
It is the same. But during the time I was sick I did take a complete rest and
diantara lukisan-lukisan ini ada lukisan yang
saudara berikan?
Saksi: Tidak ada.
Penasehat Hukum: Seberapa dekat saudara
mengenal saudara Switha?
Saksi: Saya mengenal ia pada 1 Oktober 1989,
ia diantar oleh Putu Jaya yang di Pecatu Graha
anak buahnya Tommy. Putu Jaya minta supaya
saya melukis pantai Balangan, kemudian pada
waktu itu Putu Jaya menyuruh Made Switha
untuk menjemput saya ke Klungkung antar
jemput PP dari Klungkung ke Balangan. Jadi
dengan demikian saya kenalnya pada waktu itu,
saya dengan dia tidak ada apa-apanya, Cuma kenal Putu Jaya.
Penasehat Hukum: Itu pendapat saudara saksi mengenai Made Switha.
Apakah sepengetahuan saksi Made Switha ini seorang pelukis?
Saksi: Tidak, dia bukan seorang pelukis.
Penasehat Hukum: Apakah ia memiliki Gallery?
Saksi: Ia, waktu itu ia membuat show room Made Switha, kemudian saya
disuruh kesana di Nusa Dua, disana ada Gallery seni. Nah tentu saya disuruh
membuka Gallery itu tapi saya secara dengan baik hati, saya tanda tangani
semua itu Gallerynya. Saya juga bilang sebagai orang tua tentu anak-anak
muda perlu di support. Ternyata berbeda dengan apa yang saya terima
ternyata ia menyalahgunakan kepercayaan saya, ternyata ia bilang dalam
BAP itu telah menderop sepuluh lukisan. Tapi yang sangat saya sayangkan
pikiran orang itu, tapi yang saya tidak jelas itu ternyata kesepuluh lukisan
yang saya lihat itu bukan lukisan yang saya berikan pada waktu itu.
Penasehat Hukum: Bukan?
Saksi: Bukan!!
Penasehat Hukum: Saudara saksi kami mohon maaf sebelumnya, mungkin
pertanyaan ini terlalu yah sedikit pribadi bisa dibilang begitu tadi sempat
saya ungkap. Pertanyaannya setelah sakit kalau saudara saksi bandingkan
apakah ada perbedaan dari kwalitas seni saudara dan sesudahnya?
Saksi: Saya menganggap tidak ada perbedaan sebelum dan setelah sakit,
sama. Tetapi waktu sakit itu memang istirahat total dan waktu saya sakit
299
the doctor said I only had lost a little control of my hands. After that I took
some medicine and painted again. I have a letter from the Sanglah hospital
stating that my body and soul were fine and back to normal.
CDA: A certificate of health?
G: But it is clear that my illness should not be exploited for making
insinuations about the difference between my true work and the falsifications.
That is a violation of human rights.
CDA: Are you sure they are not your paintings?
G: They are not. And a person's illness should not be brought up in this
trial. It is not proper!
HJ: Let me intervene a little, sir. It is clear to you that those paintings are
not yours. Do you know who painted them?
G: I do not know. That is a question for the police. If the police want to
make a case against Switha along with Sinyo, they should arrest them.
HJ: When you went to Gallery Cellini, Gallery Sinyo, did you ever meet
Sinyo there?
G: No.
HJ: So the paintings that are here seem to belong to Sinyo. Where did they
originate?
G: I don't know.
HJ: I think that concludes the testimony of the witness.
CDA: (Interrupting the Judge) Your Honor.
H J: If you have anything to add, please make it concise and to the point.
CDA: An additional question, sir. In your studio or in the museum at your
residence have you ever sold falsified paintings?
G: No.
HJ: Does the prosecuting attorney have any questions?
Prosecuting Attorney: Just a few. When other people want to exhibit your
paintings, do they receive an authorizing license from you?
G: They do. Whenever I have an exhibition in this country or abroad, there
is always a license. If you would like to see one I have it here.
PA: Can we see it?
G: Yes.
itu Dokter bilang Cuma kendala pada tangan saya, kemudian saya obati dan
melukis lagi dan saya baik jasmani dan rohani saya normal, saya ada surat
dari Rumah Sakit Sanglah.
Penasehat Hukum: Surat cek kesehatan?
Saksi: Tapi yang jelas jangan sakit itu diekseploitir untuk mengesahkan
antara karya yang sah dan karya yang palsu. Itu tidak berprikemanusiaan.
Penasehat Hukum: Yang jelas itu bukan lukisan bapak?
Saksi: Bukan, jangan sampai orang sakit dipakai dalam ruang sidang ini,
enggak benar itu!!
Hakim Ketua: Saya tambahkan sedikit pak ya, yang jelas itu bukan karya
bapak ya. Apakah bapak tahu siapa yang melukis?
Saksi: Saya tidak tahu, itu urusan Polisi. Kalau polisi itu mau sukses Switha
sama Sinyo ini harus segera diproses.
Hakim Ketua: Apakah pada waktu saudara datang ke Gallery Cellini,
Gallerynya Sinyo saudara ketemu dengan saudara Sinyo?
Saksi: Tidak.
Hakim Ketua: Terus apakah bahwa lukisan-lukisan yang ada disini ya itu
merupakan milik dari Sinyo itu asalnya dari mana?
Saksi: Saya tidak tahu.
Hakim Ketua: Saya kira keterangan saudara sudah cukup ya.
Penasehat Hukum: Bapak Majelis (dipotong Hakim)
Hakim ketua: Ada tambahan, silahkan singkat dan padat.
Penasehat Hukum: Saudara saksi, untuk tambahan saja, itu distudio saudara
atau di Museum tempat tinggal saudara apakah saudara saksi menjual
lukisan palsu?
Saksi: Tidak!
Hakim Ketua: Saudara terdakwa ada pertanyaan?
J P U: Saya ada tambahan sedikit, andaikata orang lain yang ingin
memamerkan lukisan karya saudara ditempat pameran-pameran itu apakah
ada lisensi dari saudara?
Saksi: Ada pak, jadi setiap saya pameran keluar negeri dan dalam negeri
untuk ijin semua ada, bapak mau lihat suratnya, saya sampaikan.
J P U: Bisa dilihat.
Saksi: Ada
300
PA: Another question. At the time of the exhibition was the Gallery on
Jalan Gatot Subroto easily accessible to the public. Could it be visited by
people on the street?
G: It was very visible because lots of people passing by on the street could
see it.
PA: It was easy to see?
HJ: I think that concludes the questioning of the prosecuting attorney.
Does the accused have anything to say?
Sinyo: What was your intention in making this sign for the Switha Gallery
that I am now going to show to the court. (He gestures to some men to bring
a framed painted sign into the courtroom)
G: Oh, that is a
S: So what is the meaning of this? I found this, Your Honor, in the Switha
Gallery, so it seems that he (Gunarsa) made this sign so it could be seen by
the public. And furthermore it appeared in the mass media.
HJ: Stop. The witness recognizes the signature, and therefore recognizes
the object, but the witness has not had a chance to answer the question of
what its purpose is.
G: Oh, it's like this: Switha would often give me a ride from Klungkung to
Balangan at the time that I was working on a commission for Sebudi in Nusa
Dua. He {Switha) requested that I open an exhibition at his Gallery. Out of
humanitarian feelings, since it was not any trouble, and I wanted to support
the activities of the younger generation, and it was not a problem, I agreed,
but it turned out that I was repaid with bullshit. So he teamed up with
Sinyo, and took advantage of the opportunity for falsifying the paintings.
HJ: Are there any other questions?
S: So in the testimony I have seen Gunarsa himself said that he gave paintings
to Switha. I got all the paintings here that are being called false from the
Switha Gallery. So now I want an answer, yes or no? About this matter
of Mr. Switha I invite Mr. Gunarsa to swear to the gods ('sumpah cor' is a
BaUnese ritual ofUquid Ubations) here and now.
HJ: What is your question?
S: Does Mr. Gunarsa want to swear to the gods or not?
G: I have already taken enough oaths here. Here I am under oath to the
/ P U: saudara saksi ada tambahan, ditempai Gallery di Gatot Subroto itu
apa mudah dilihat oleh umum, bisa dikunjungi oleh umum dari pinggir jalan?
Saksi: pukul satu, gampang dilihat karena banyak orang lewat, jelas
tampaknya itu.
J P U: Mudah dilihatnya itu?
Hakim Ketua: Saya kira dari rekan JPU sudah tidak ada pertanyaan lagi ya,
saudara terdakwa bagaimana?
Terdakwa: Apakah maksud saudara membikin slogan pada Switha Gallery,
sekarang saya mau tunjukkan bapak Majelis, (sambil menyuruh seseorang
membawa poster dalam frame).
Saksi: O o, ini adalah
Terdakwa: Jadi apa yang dimaksud, saya temukan ini pak (Majelis) di Switha
Gallery, jadi maksud dia membuat tulisan ini sehingga orang-orang yang
melihat ini, apa lagi masuk dalam media massa.
Hakim Ketua: Stop, tandatangannya dikenalkan pada saksi, kemudian
barangnya dikenalkan, terus yang belum dijawab oleh saksi tinggalnya barang
ini untuk apa?
Saksi: Oo begitu, Switha pada waktu itu menyuruh saya ke Nusa Dua
atau pekan kesenian itu bersama Sebudi kemudian hanya dia kerap antar
jemput saya dari Klungkung ke Balangan. Dia menyuruh saya membuka
pameran itu di Gallerynya dia. Nah, sebagai rasa kemanusiaan saya tidak
ada maksud apa-apa saya mendukung generasi muda melakukan hal itu,
itu tidak menjadi masalah, tidak ada maksud apa-apa, kemanusiaan itu
tetapi ternyata disambut dengan tahi. Jadi dia memihak ke Sinyo, dia jadikan
kesempatan itu permasalahannya.
Hakim: Ada lagi pertanyaan?
Terdakwa: Kemudian diantara kesaksian yang saya lihat Gunarsa sendiri
memberikan lukisan ke Switha, saya mendapat lukisan semua ini yang
dibilang palsu dari Switha Gallery. Nah selama ini yang saya tahu saya mau
jawab ya atau tidak, pak Switha mendasari mengajak pak Gunarsa sumpah
cor sampai sekarang ini?
Hakim: Pertanyaannya?
Terdakwa: Apakah Pak Gunarsa mau apa tidak sumpah cor.
Saksi: Saya sudah cukup disumpah disini. Ini sumpah pemerintah. Tadi kami
302
government. We just made an oath to the judge
and that is enough! Don't make things up. Don't
try to divert our attention to blur the issues. (He
raises his arms in the air as he speaks and receives
applause from the spectators in the court.) Don't
play around with swearing to the gods.
HJ: All right, I will intervene now.
G: I just took an oath here.
HJ: In the court's opinion the question you were
asked by the accused has no relevance to your
experience so you do not have to answer. And I
want to remind the accused to ask his questions
in a correct manner. All right, since that was not
a question, you have anything else to ask the
witness?
S: I don't have any more questions about that first issue, so secondly I
would like to ask about the part where Mr. Gunarsa stated that I went to his
house with good intentions and was asked to initial a letter as proof of his
requests.
HJ: Is it true that you went to his house with good intentions?
S: Yes, with good intentions.
HJ: All right, sir, this question is clear. Does the witness agree with this
testimony?
G: I clearly heard everything he said. I received him politely and did not
throw him out. I knew that the events between the 20th and the 25th were
not finished going back and forth, but I still received him with respect and
gave him jackfruit to eat at my house. "If you want to make peace, sign this"
(he makes a gesture of writing). If I were angry I would have thrown him
out at that time.
HJ: Is that all the clarification you have to give?
G: That is all.
HJ: My court is closed.
4^ » ^ sudah disumpah bapak (Hakim) sudah cukup
^nv ■ itu!! Jangan mengada-ada, jangan mengalihkan
^^P" B perhatian untuk mengaburkan kasus ini. (sambil
mengacungkan tangan keatas dan mendapat
aplaus pengunjung sidang). Jangan main-main
dengan sumpah cor!!
Hakim Ketua: Baik ya, saya ambil alih.
Saksi: Tadi saya sudah disumpah disini.
Hakim Ketua: Kembali saya jelaskan bahwa
apa yang ditanyakan kepada saudara dari
terdakwa sama sekali tidak ada relevansi dengan
pengalaman saudara sehingga pertanyaan yang
disampaikan pada saudara tidak usah dijawab
dan memperingatkan terdakwa agar memberi pertanyaan yang baik! Baik
ya, sudah tidak ada pertanyaan, apa masih ada yang ditanyakan kepada
saudara saksi?
Terdakwa: Saya tidak akan ada pertanyaan lagi itu yang pertama, kemudian
yang kedua, dimana pak Gunarsa mengatakan saya pernah kerumahnya
dengan itikad baik saya kesana dan disuruh paraf supaya ada bukti apa
permintaannya dia.
Hakim Ketua: Benar pernah kerumahnya dengan etikad baik?
Terdakwa: Pernah, benar beritikad baik.
Hakim Ketua: Demikian pak pertanyaan sudah jelas, apa bapak tetap
dengan keterangannya?
Saksi: Saya dengar jelas semuanya, saya terima dengan baik sayapun tidak
mengusir. Karena saya tahu kejadian tanggal 20 -25 tidak selesai balak balik
jadi tetap saya terima baik-baik dengan hormat dan dengan makan buah
cempedak dirumah saya. Kalau mau damai harus ini (sambil mengisyaratkan
gerak tangan orang menulis), tertulis, saya terima dengan baik, kalau saya
marah saya usir waktu itu.
Hakim Ketua: Jadi saudara tetap dengan keterangannya ya?
Saksi: Tetap.
Hakim Ketua: Sidang saya tutup.
303
THE HERON
AND THE CRAB
by
Ida Pedanda Ketut Sidemen
11
Burung Bangau
dan Kepiting
Oleh
Ida Pedanda Ketut Sidemen
305
Yudhistira made sure that this day, the
fourth day, was a propitious day for taking
a journey. Everyone understood this and
was happy. While relaxing by the sea, he
saw a heron bent over on a stone, hke a
person practicing meditation. He was
peeping down at the fish, but the fish were
too frightened to swim so near and the
heron was frustrated.
The heron was angry that many birds were
flying overhead, chasing away the fish and
mocking him. One of them dove down with
no fear for his life and plunged directly into
the water. It was a seagull whose name,
paksi langlang ulan, means eyes-wide-
open-for-finding-fish.' The seagull was
clever at searching for fish with his eyes
wide open, diving into the water, and flying
up again. He found many fish.
After the heron saw the maneuvers of the
seagull, he quickly decided he would imitate
that bird. He was confident that he could
do it. He was bigger than the seagull, with
a strong body and wide wings. So he flew
up into the air. He was very happy. From
above he could see many schools of fish
swimming together in swirling formations.
There were big fish and small ones. The
heron wanted very much to eat them.
He was verv sure that he could succeed in
V. o . o -/^ -i^ 'S , o-\
TSOBinjUMlO'EO
o o o r\ o
;i u 5Q O wi o o »£« ^ o CT O A^ Y^h yi 1^ n 5Q u tsi» ,j isvij ^ ri
Sapunika Dharmamurti, mitegesang, ring rahina
patpat, rikala pacang mamargi, sami ledang resep
sampun, ring pasisi ngulangunin, paksi cangake
kacingak, duwur batune ngarengkug, kadi anak
nginengyoga, ngintip ulam, ulamejejeh mamargi,
i cangak ipun sengitan.
;i u KU o CT ^^ yru jsu wi o JSi m
v^s''' o v o o ^
'nii2n'n»'U]5Sisuiuj)|K«sihsuiy
-" ■jiiUUJsuoihojO'iK»i)©|>^oura»jiK»io;js«JoriinJYai9
n o o r, OS ^ oo
?)^
TTjTTUiUlJjJSl'rjTlU
o^■^ r\ ^ 'o o'o'n
o
on^'Oiru^^sssiisu^uTiU'Ossijonji^ui)]
^1^
Gedeg ipun kasuryakin, sareng katah, ringpaksine
ngindang, pasliyur sami ngedekin, wenten paksi
kadi nglalu, macehur las ipun ring urip, maring
toyane ngumbang, wantah ipun kapituduh,
mwasta paksi langlang ulan, duwegpisan, nyilem
nglangi munggah malih, katah ipun polih ulam.
u 5Q K« «UI o 5® 95^1 u ri ^ ^ yi UTi Aj in 9s»i h ra wi u Ki o !si ^ ^ rTo o W||
'o o o n . ./» o^ o /■^ •
UT» 'U ra 15« u CT 9S1 h UVI !Q ITU ri 0 2^ n UI JSlIl 'O Jj ^ ^ UTJ UI 5Slfl Jl ISI» 9S1»
'E;ijiifiuiq\'0'n
o 1 ,uih u Ki 'n 5 ^ n o 'U (uissnsi ^ ^-nJ 'U 551
^^
UI» )Q 'inj 'O 'O ssvi 'isTi !? ^^ 'O «U uj] ri 5© h o ri o yi o n ic| 'O yi O SO O 'n iru CT h
o ^
.SSWSSl'
injisi
306
getting many fish, because he was brave and daring, so he dove down
deep into the dark blue water. His whole body was wet, and he could
not lift himself out of the water. Now he was floating, being pulled by
the tides. He was underwater, gasping for breath, being swept away.
Eventually the tide dragged him to onto the hot sand of the shore.
For a long time he was rolling around on the beach, being pummeled
by the crashing waves and bitten all over by tiny sea creatures. He did
not believe he would live much longer. He was blessed by the Lord Sang
Hyang Widhi. Suddenly a crab appeared, scrambling around, looking
for a meal on the beach. He was surprised to see the heron all curled
up and lifeless.
Then the crab asked, "Hey, heron, why are you here like this. The heron
answered through his tears, "I am miserable, and what is the reason?
It is because I wanted to help the fish. I felt so sorry for all of them,
gasping for air on the hot sand while the tide was out.
Many of them died under the heat of the sun's burning rays. It made
me feel so sad to see that. And so that is why I wanted to help the fish.
The high tide was coming. The water was rising and falling. Then I was
caught under the water. I couldn't breath and my body was drenched
with water. I was pummeled by the crashing waves." The crab was
laughing to himself because he knew what really happened.
Actually the heron and his ancestors had a long history of being evil:
lying to friends, engaging in nasty gossip, wearing white to give the
appearance of being holy. The crab was sure that he understood the
heron's evil nature. The crab said, "It is really good that you want to
help."
"You never think about your own safety, and you only want to help
your friends, even at the risk of death. This is because of your family
Punikan sane kapanggih, ring i cangak, glis ipun mamanah, nyadia ipun mituwutin,
andel maring dewek mampuh, awak siteng kampid luwih, mangkin nambyung
ipun munggah, lega pisan manah ipun, manggihin ulame katah, masliyuran,
rerod-rerod ageng alit, i cangak lintang dot pisan.
inj ^ rn» r\j w u 5© Kill JQJ CT 5 ^ o 9® jsi » o ao o SU ;si> 1« ri 9S1 h isii ra
Kuiuinim^i^
o o J ^ uij u QSj ji -:i o J] 9S1 in jsij ^ o yi u «u iui 5^ rii w )ffl| ^"^
Cageripunpacangpolih, ulam katah, dwaningipun elas, sahasa macehur mangkin,
ring toyane dalem pelung, belus ipun buka katih, nenten dados matingtingan
kambang mangkin ipun anyud, ring toyane sengal- sengal, kaanyudang, kampih
ipun sampun mangkin, maring pasisi kebusan.
«JOUUTJ
ujsi on;ioiru'^;siJO'iri«"so«huTUJSii'U5si»J5siho'injsir .
... .'^ n o o o v^ \ / o n ^ ^
1 1 Ki ;( tn io m 1 inj "
■> jC
^Y
isij^
^CT
Suwe ipun glalang-gliling, tigtig ombak, paling kepanesan, turing garang unting-
unting, mingdoh ipun pacang idup, dados wenten swecan Widhi sakadi wenten
nguduhang, wenten mangkin yuyu rawuh, grayang-grayang ngrereh teda, ring
sagara, tangkejut ipun manggihin, i cangak paling maplisan.
o oorio r\ ^oo o ^'»o^ n
uviwiWjyiriiuojQB5sraKuTjrTJMrnKijhuTJUio5®rnu»^20sou»rTir^oo8QB09Q^
v o o o o ^ o ■1^^'^ \ ■t" a y" \ n
UJ UJ] iru M 9®» UVI r? 9S1 ^ o UT« o inj JU Ulh o 9® ri u JQ ^ o UT» o Kll 5Q ^ o 15« TU ^ JCT r^
^ jo ri» uj n iu u o nj nji ^ u «UI 0 UT« o UTj in iru jci UTJ jo] ^
I yuyu raris nakenin, iba cangak, apa ne ngawanang, dadi iba buka kene, i cangak
ngelingmasawut, yuyu lacur kai j ani, olaskainengawinangkaimakenehmatulung,
kangen kai mangenotang, bene kandas, di biyase pagaliling, pasihe enggalan aad.
307
heritage. Your ancestor, the heron-priest, is famous for having made
extraordinary efforts to help my ancestors. In a story from long ago,
it is said that my ancestors almost died because the water in their lake
was very shallow, and many fish were splashing in puddles, gasping for
breath.
The heron-priest helped them all to move away, closer to the deep water.
That help was given in the past. Now you are following in the path of
your ancestors. I feel that I owe a debt to you and to your ancestor the
heron-priest. Now, what can I do? How can I repay the debt to balance
things out? It is a bad thing to remain in debt.
Then the heron spoke. "Yes, remember. In this world it is a very bad
thing to forget your debts. If you, crab, do not pay your debts, your life
will become like a living hell. Also if you make loans, things will not go
well until they are paid back, and your life will also be like hell on earth.
If you do things in opposition to this wisdom that is found in the sacred
books, your life will be filled with suffering."
Then the crab spoke again. "Alright, heron. I will pay my past debts.
What is the proper way for me to restore the balance?" The heron
answered, "If a debt is incurred through the performance of a deed, then
it should be repaid through the performance of a similar deed. This is
what the sacred books teach us. So please, crab, follow the correct path
that will make your ancestors happy.
Now you have to help me. Bring me to a cool, shady place." The crab
was laughing to himself as he dragged the heron to a shady spot. As
the heron began to dry out, he began to get cold and hungry. Since he
did not have anything to eat or drink all day, evil ideas popped into his
mind.
Now the shivering heron was staggering to his feet. The crab was ready,
(1 5Q Tl ra JQ \ ra rn in» UT» UI 551 JTI ISI» N TT» o KJl «SI UT» irU «1 CT 551
.... 'CIO ' n
UU UJ) lAJ] «1 o lO KU UT» CT ^ 'l ifUSl UU U] 30 5S1 u iU 5® h^
?i) ^ CT o no 'D o 5sfl \
[ > '151 / i/i ini (^
J J
^^
Buwin liyu ane mati, hendet surya, to ane ngawanang, kai kangen mangiwasin,
ditu lawut kai matulung, teka ombak gede gati, ngencah buwin turunan, nangkeb
kai enu ditu, bekbekan kai licitan, tigtig ombak, i yuyu kedek di ati, dening ipun
uning pisan.
ri UU so rn 9S1J Ji n 9SVI ri UU Ki h U Ki ^ 'l SOI 'D Ti ^ ^ ri m 9S1J n^ 5si« o J ru h iu
is»hiruOi«''^os€iousumournoo':)suu'UCT^^5Siyiuusosuu>'^o'\uuwuj 'V\\
o jsij CT Ki u 5S1 so rn Kti] ^ in ^si» SU r? UU TT» 'l UU 'D iru su] ^"^
Ring i cangak sakeng rihin, wantah corah, nguluk-uluk timpal, sai ngadu daya
lengit, laksanane mapi sadhu, mapanganggo sarwa putih, niru ida sangpandita, i
yuyu sumingkin sumbung, mikatin ipun i cangak, jati corah, i yuyu raris mamunyi,
jati saja iba olas.
^s^suuununis^rinuihis^'LS
lAjj^iUinj»
^ )© in ^ O 'l in 'D inj SU 5Q O ji iru K UJI ari 561 rTi in SU 5SI ISU ^ 551« UI CT in« 'l 5S1 0
tl UU so u u ^ >\ 'l in 'D 'AJ SU 551 lAJ)
^O^
o njl !5 ^ UU JO SU ISU UU 'l 551 o TU ^ 'l 5SIII 'D so u JCl TU m UU o
TU ^ ^ lO SU 'l 551 J 2fl ^ 'l ia; 5 ISU o «1 551 SU w 551 u SUJ ^ UU 'l rTJ 'l 551 TU lAJ] 5S1II >~U SU 55^
Tusing iba ngitung urip, tuwah nujwang, mangolasin timpal, yadin iba ngmasin
mati, kawitan ibane malu, sang baka kaucap luwih, ngolasin laluhur gelah, ada
satwa ane malu, kocap ida laluhur gelah, dasan seda, yeh tlagane sayan tipis, ebene
liyu kandasan.
UU rTl 55« ISI» 551» 'l rn 'D TU SU 551 h O ri SU 2Cl ^ UTI 'l rTI 'l 551 0 55« T^ ^ 5S1II UU ri 5511 'l UJ 'l UU O 'l w ^ 'l J^
OO onoo ^^■«'-
SU I 'l 551 o TU ^ r? 551 UU ri o 1S« u CT 551 h TU lAi 551» UIJ o SU o 1S« ^ CT o
o^, ^. \ o o -r- ov^
'D 551 so ^ ril 55« TU TU n UU CT o in u UI» in SU 20 ^^ r^ 'l TU UJI 551 in TU ^ UU ISI» ^^
ia; 551» UIJ o SU o 1S« ^ CT «1 551» 551 rU 55« UU 'l 551 o TU ^ in 551 UU u UU 'l in
/ baka teka ngolasin, mangisidang, ebene makejang, kaaba ka yehe gede, keto olas
ya ne malu, jani iba matuwutin, liyu kai mrasa mutang, teken i baka ane malu,
308
because he already knew that the heron was evil. He knew that the bird
had been a liar since the time of his ancestors. The heron suddenly
poised himself to attack and was ready to bite the crab. The crab quickly
retaliated by grabbing the heron's beak with the pincers on the ends of
his claws.
The mouth ofthe heron was held tight. The heron collapsed. He couldn't
make a sound. The bird just fluttered and shook, growing weaker and
weaker. Then the crab said, "Now you will receive what is owed to you
for your past evil actions. You were clever in speaking. Now you have
to reap the results of what you have sown. When the seeds you have
planted are harvested, you must eat the fruits of your past actions.
You never stopped doing evil deeds, like lying to your friends, having
bad intentions, getting your food the easy way, boasting that you are
rich, speaking loudly to make other people trust you, coveting your
neighbors' possessions, never thinking about what is right and what is
wrong, inventing your own rules of morality.
You are still lying, like your ancestor long ago, who imitated a holy
man, dressed in white, wearing the black sash of a priest and a Brahmin
headdress. He pretended to be a priest, an insolence that leads to a
cursed life. Now you are copying the example of the false heron-priest.
It is not necessary to imitate that model. Make an effort to look for the
proper path.
I have known these things for some time, but don't be sad. I will not kill
you, but will let you live as proof to the world of what happens to long-
mouthed liars. So now, to make you more handsome, I will cut your
mouth in half. Then the heron staggered. His beak had been cut.
The heron flew home quickly. When he arrived at his house his wife
was surprised and began to cry. "How did this sickness come to you
jani apa anggon icang, bakal nguliang, utange pang ingas dadi, jele yaning ngelah
utang.
Evi U ^si» o rTO ^ o isij ":> uvi ri CT ^ 2^ rn ri J u 5© CT 20 inij o n 9Q K« iTTi o u o i^
*^0»0lS1»'5OSU|!!U;i5QJUTU|^5SVI5Q5QO9;ST|WU1S1»oK9S|OUl«2«]UCTinilO
UTIIJOUOTJOJO
Icangak lawut mamunyi, to ingetang, da ngengsapin utang, digumine kabawosjele,
yan sing mayah utang yuyu, nraka idup mati dadi, keto masih yan masiliang, kanti
nagih tusing patut, nraka idup mati bakat, yaning tungkas, teken kecap sanghyang
aji, idupe nemwang sangsara.
o ooono ^ o ,'='
UT« uj uj o 'Ej rr:) o nji <; ^ UTj rii M in 9CTI h O ui« rii 9S1I1 ifu uj ^ ^ uTjj 1S1» ^ UT« n 5Q SU r^
n. o o o, ^ o A o -." n.
raohuvift3irnjCTiwuTjj;si)jyisuhiAj9QUTj]ij«u'iu;oni«u)QhouT«oinjsuor^
/ yuyu mamunyi malih, iba cangak, kai bakal mayah, utang ane suba lami, apa
patut anggon ngentug, i cangak masaut raris, yan mahutang piyolasan, olas anggo
mayah yuyu, nganutin kakecap sastra, kabawosang, patute jalan to alih, kawitane
apang ledang.
on o o o ^ „ „.,.,.
^ SU 5Q h JS« UIJ 5S1II w JO ^ « 2^ UJ] O UIJ UT» ril ^ UVI UJ U^ 5SVI o 10 o UIJ CT ^ UIJI Ml in
^'
. J
no> o 00. 0000.
jjKihyiJoujn'L/iJuiiiuisiinsaKsuiskoojisiujsisujussih
<, \r o o o n, o . o -.^ a o, v o
r^nj]»u9S]awjiKio^^o»«u5Q2orn5QjQhCTyi9siw?^ui«uuviCT»»iQu^u«uu
Nejani iba ngolasin, kai kisidang kadayuhe aba, i yuyu kedek di ati, i cangak kapaid
sampun, ring dayuhe ipun mangkin, sasampun ipun isisan, bulun ipun sayan etuh,
kantun ipun kadinginan, turin layah, awai tan keni napi, pesu pitungane corah.
SJiWi
^^oo^ 00 o'io o^o^ o
A«su|uiuTiu9®rn»hrTJrTJwi^9ahuTJUJW]wiiriin5|^'iaojsiui«u»
sj 5 ^ o j®« 5QJI u 5€] ji n JCT yi uij !s^ ^ uS M rn 5SVI rn K) u ip jsfl
ono ^■«'o^orl. <^ O..
« jiU5QKuTJUJUJrnrT5yi5s«UCThJuuiJsuui«ussi'no^5SiiiM(\
309
Srayang-sruyung ipun mangkin, bababuyutan, i yuyu taragia dening ipun
sampun uning, ring solah i cangak rusuh, mrekak ipun saking rihin, i cangak
mangkin narejak, sahasa nyotot i yuyu, sebet i yuyu ngwalesang, cepet pisan, i
yuyu ngenjirang kapit, sahasa ipun manyangkwak.
o r\ ^ -^ o r\ o ^ 01 o o.
rTi] in isij rn o 501 0 )S«i u CT K CT 9Q» O J iu 5® h UT» sa ri 9S« o uj '^ OT »j UJI 2«i so O o r^
V^ ^^v^nn o O o^■«'^ooo V.. o
joj r^ j« r* SU w 5Q SQ 3Q» n UI u» uj] ri ri wi o rno ^ o 59 »ji rn 8SW 50 1?« o J jo ^ u n
rTioinj^^ipssiuiJiinju^CT'a'^irj] 059 u 055135111 h
ujus) ITT] u ^ UU n m o ^ ^
Bungut cangake kakapit, tekek pisan, i cangak maguyang, fusing ya dadi mamunyi,
krejeng-krejeng sayan enduk, i yuyu raris mamunyi, ne cangak jani tampedang
pikolih ibane nutur ane pula iba mabwah, jani alap timuh buin apang mentik,
yang mabuwah iba ngamah.
;«juiuTjiajornvuri3sihJowio«iori^^joo5si'usji'E;iJ'njh»jiui
n 2Ci ^ i5i> u rn 5Q ^ SU o ^ ^ 'O ino 'l 551 in 5S1 uiJi n uiJ in ^ uiJ u UT« u 'O J5JI 3«
'n so 2o uj r? ^ 'iru ^ iji!) irui^sj 'O ^ 'ui( 'ITU 'U!» 'inj) ^\ Uli
U r i
ll]^0551IICT5Sl
''lAj <] 'U SU O \ UTJ u 'n» 9S1I1 CT r^^ ^s« SU 'n isij rii 3S1 !! u inj !j ^ ri O 'n 'S 'U O CT ^^
Tusing emed mangulurin, daya corah, demen ngapus timpal, sai ngadu daya jele
tulus ngamah ulih aluh, edot apang ngenah sugih, munyine jani aengang apang
awake kegugu, mikatin gelah pisaga, apang bakat tusing ngitung beneh pelih,
nganggo pamatut kadidian.
? 551 \ UT» 5S1 o son 5sfl \ o u SI
;isuaciicio\
v o ^v^nov^ 000 on
ounonosuuiuCT^^osunji'Ou^svi irj|5Q55«i^^ou'Ounuiossiii'33siJsih
o o o .ooo^o•^^.
o ^SlJ 'S 'En iO 351 inj ^ 'UVI 10 u 551 'O] 551» 'U» r^ 551« 'O 5S1 o VU ^ 'n 551 'U!» 'n» in» J^
UVl 'O 551 'O 551» o ISU "2 u ITU 'n 'U!» 3Slj ^ u 15« o ISU ui« inj ^ wi n CT ^^
uli ilu kayangjani, enu mrekak, mapi sadhu dharma, mapanganggo sarwa putih,
masalimpet bwin maketu, mapi-mapi ngawikonin, to madan tulah idupan, buka i
baka ne malu, jani iba bwin nuwutan tusing nyandang, ane keto palajahin, patute
alih saratang.
310
while you were out looking for food?. The husband heron told his story.
"Now I agree with what is written in the sacred books. It is very true
what is said there. It really is a bad thing to have a mouth that is too
long."
o v^v'' or) o r\ ^ o •r- -r -r- ^ \
S®» uvi SU ri» a ri Ki ui« )® I ^ UT)] TU r^ «J Ki I ^ UI» ini jf\ rTnin» i£T« ^
KinuTJirur^iuiKij^^
uoyi5;ri]Suiotr^|5€^uij^uTJiuui«rT»o»5Qisijyi^j«iooojQOJCTioo^nKir^
o Vo\o n. v.«'oo A on. o on
CT rn» 0 JQ nj 5Q \ n s® UTJ iJi uii ini rii nil «ui \ 1« O ru uij rii U 0 jsi rr5 \ uj UTJ w ri O \ O
wi 5S1 ii>n a jj 5S1 J 0 1?«
^'^^^
(Note: In Balinese the name of the kind of heron featured in this
story is 'baka.'
Today in Bali the word 'baka' has become synonymous with 'liar'
or hypocrite, as has the phrase "pedanda baka' meaning 'heron-
priest.' And when the Balinese say that someone has a 'long mouth'
or 'bungute lantang' it means that person is a liar.)
Kai suba mangenehin, uli busan iba da nyebetang, wireh fusing matiang kai,
apang ibane katiru, di gumine maka bhukti, ne bungut ibane lantang, jani apang
iba bagus, tugel kai buwin kenjang, ya i cangak, mapulisan muntag-mantig,
bungutnyane sampun pegat.
>^ o n . o ^ . o . ^^ o^.
™TU«uKrn'OVUUi'\yiu5uiu5QO^<^ojsiiiiU|'oriiJi-i09rT:>'i9Qin^
o o o n. o n o ^ . o s-' o ^ ■^ -r
o -r -rv -i
um Ml rusimsu n o TU «u
e
sri ao O o n » in» TU ri U) ^ ^ ri TU ^ Uli 'O ^ o UT« jq u 5CT ISI» j \ UTh »;s rn 3®ii I 'U] ssi
'uuu5|imosy'\sur!usussihasiirT)iouowiinoTUOCT^W5Qrijr]'nCTTTi«j
/ cangak makeber gelis, ngamulihang, rawuh ipun jumah,
makesiab somahnyane ngling, dadi kene beli rawuh, ngalih
amah maan sakit, i cangak mwani nuturang, jani beli mara
cumpu, teken kecap sanghyang sastra, saja pesan, kabawosang
jele gati, yaning bungute bas lantang.
311
EPILOGUE:
SYNESTHESIA-
The Soul of an Artist
Penutup:
Synesthesia-
Jiwa Seorang Seniman
313
"The clouds were like the eyes of spirits
watching everything. When you are a
child you sense the mystery of the natural
world all around you, but you don't have
words to express it."
- Nyoman Gunarsa
"They were like spirits," says Gunarsa
pointing to the clouds in a painting inspired
by childhood memories of his life in a small
village near Klungkung. The watercolor
depicts a landscape dominated by the sacred
mountain Gunung Agung surrounded by
clouds that resemble the eye-like shapes that
fill the sky in the classical Klungkung style paintings he grew up studying,
"The clouds were like the eyes of spirits watching everything. When you
are a child you sense the mystery of the natural world all around you, but
you don't have words to express it."
Now that he is an adult, Gunarsa expresses those ineffable mysteries through
his paintings. His ability to do so is what gives his artwork its soul or "j/wa."
The expert witnesses at his copyright trial referred often to the "j/wa" of
Gunarsa's paintings as a quality that was missing from the forgeries. They
noted the differences between the authentic paintings and the false ones
with technical references to perspective, anatomical proportions, and
dynamic lines, but the term they kept coming back to was "jiwa"
Like most artists, Gunarsa is reluctant to define the 'soul' of his work in
words, but one of his watercolor paintings offers clues to the essence and
"Embun tak ubahnya seperti mata-mata
spirit mengamati segala sesuatunya. Bila
anda seorang anak kecil anda rasakan
misteri sifat alami dunia semua diseputar
anda, tetapi anda tidak memiliki kata-
kata untuk menyatakanya.
- Nyoman Gunarsa.
"Semuanya itu seperti spirit," kata Gunarsa
menunjuk ke awan dalam sebuah lukisan
diinspirasikan oleh ingatan masa kanak-
kanaknya dari kehidupannya di sebuah
desa kecil dekat Klungkung. Lukisan cat
air menggambarkan sebuah pertamanan
didominasi oleh gunung suci yakni Gunung
Agung diitari oleh awan yang menyerupai bentuk mata yang memenuhi langit
di dalam lukisan gaya klasik Klungkung dimana dia tumbuh dan berkembang
serta mempelajarinya. "Awan-awan tak ubahnya seperti matanya spirit yang
mengamati segala sesuatunya. Bila anda seorang anak kecil anda rasakan
misteri sifat alami dari dunia semua diseputar anda, tetapi anda tidak
memiliki kata-kata untuk menyatakannya.
Sekarang dia sudah dewasa, Gunarsa mengekspresikan itu semua yang
selalu dikatakan misteri suci melalui lukisannya. Kemampuannya untuk
melakukan itu semualah yang memberikan hasil karyanya berjiwa. Para ahli
yang menyaksikan pada pengadilan hak cipta sering menunjuk pada "jiwa"
dari lukisan-lukisannya Gunarsa sebagai sebuah kualitas yang itulah tidak
muncul dari lukisan yang dipalsukan. Mereka memberi catatan tentang
perbedaan antara lukisan yang asli dengan yang tiruan dengan teknikal
referensi untuk perspektifnya, anatominya, proforsinya, dan dinamika garis,
akan tetapi istilah yang tetap muncul lagi adalah "jiwa."
Seperti kebanyakan seniman, Gunarsa segan untuk menggambarkan 'jiwa'
dari hasil karyanya di dalam susunan kata-kata, akan tetapi satu dari lukisan
314
origins of his artistic vision. It is a watercolor that combines words and
images, a variation of the format used in the palm leaf /owfar manuscripts of
sacred texts he often watched his father read. Gunarsa's handwritten words
are at the bottom of the painting beneath the slopes of a mountain framed by
the legs of two shadow puppets whose heads tower up over Gunung Agung
on either side. The puppet figures are indistinct as they might appear to
a child imagining that a cloud formation looks like the shadow play hero
Bhima on the right side of the sky ready to do battle with a shadow play
demon on the left side of the sky.
The cloud-capped adversaries face each other on opposite sides of the
mountain, suggesting the configuration of the puppets at the beginning of
a wayang puppet play, when the sacred mountain is placed at the center of
the dalangs screen flanked by the heroic characters on the right and the
villains on the left. The sun rising over the mountain in Gunarsa's painting
is placed where the flame would be burning on the coconut-oil lamp that
casts the play's shadows.
cat airnya memberikan jejak kepada esensi dan asal mula dari pandangan
artistiknya. Itu adalah cat air yang dikombinasikan dengan kata-kata dan
kesan, sebuah variasi dari format digunakan dalam daun manuskrip dari
teks sakral yang dituliskan di daun lontar yang sering dia lihat ketika dibaca
oleh ayahnya. Tulisan tangannya Gunarsa diterakan paling bawah bagian
dari lukisannya dibawah kaki gunung yang dibingkai oleh kaki dari dua
wayang yang kepalanya menjulang tinggi di atas Gunung Agung di kedua sisi.
Figur wayangnya tak jelas, nampak persis seperti bayi menghayalkan bahwa
formasinya awan kelihatannya bagaikan pertunjukan wayang kulit dimana
pahlawan Bima berada di sisi sebelah kanan langit siap melakukan perang
dengan bayangan yang berbentuk raksasa di sisi langit sebelah kiri.
Dibawah awan mereka bermusuhan berhadapan satu sama lain disebelah
menyebelah gunung mengingatkan pada konfigurasi awal pertunjukan
wayang, manakala gunung yang sakral diposisikan di tengah-tengah pada
kelirnya dalang diapit oleh oleh tokoh-tokoh kepahlawanan di sebelah kanan
dan tokoh jahat disebelah kiri. Matahari muncul di atas gunung, dalam
lukisannya Gunarsa diposisikan dimana api lampu belencong berminyak
kelapa dinyalakan untuk memproyeksikan bayangan tokoh di layar.
Although the composition of the watercolor echoes the shapes of wayang
theater as it was practiced by his grandfather, an accomplished puppet
master, Gunarsa points to another source of inspiration that is also deeply
rooted in his childhood memories. It is a black and white drawing of the
nawa sanga, the traditional Balinese vision of the universe as a circle divided
into nine sacred directional coordinates. "To the north is Vishnu and to the
South is Brahma," he says while gesturing back and forth between his two
creations. "Here is a sacred line that goes from the mountain down to the
sea," Gunarsa continues tracing a line that runs from the image of Gunung
Agung, between the cloudy shadow puppet figures down to the handwritten
text that seems now to be written on the surface of a shimmering sea that
reflects the sunlight and cloud shapes above it. "I here am in the middle,
between the heaven and the earth," he concludes confirming his place in the
cosmos as it is understood in the Balinese cosmology of the nawa sanga.
"My father told me that our village in Klungkung was at the center of the
Walaupun komposisi dari lukisan cat air memantulkan bentuk pertunjukan
teater wayang seperti yang pernah dipraktekkan oleh kakeknya seorang
dalang yang sukses, Gunarsa menunjuk pada sumber inspirasi yang lain yang
juga secara mendalam mengakar dalam ingatan masa kanak-kanaknya.
Itu adalah gambaran nawa sanga hitam putih, pandangan terhadap tradisi
orang Bali tentang alam semesta sebagai sebuah lingkaran dibagi ke dalam
sembilan koordinat arah suci. "Di sebelah utara adalah dewa Wisnu dan
di sebelah selatan adalah dewa Brahma" katanya sementara menunjuk
kembali bolak-balik diantara dua kreasinya. "Ini adalah sebuah garis sakral
dari gunung turun ke laut" Gunarsa lanjut menelusuri sebuah garis yang
membentang melintas dari gambaran Gunung Agung diantara figure wayang
kulit yang berawan, turun ke teks tulisan tangan yang nampaknya sekarang
ditulis dipermukaan laut yang merefleksikan sinar surya dan bentuk-bentuk
awan di atasnya. "Saya berada di sini di tengah, di antara sorga dan bumi"
dia menyudahi mengkonfirmasikan tempatnya di dalam kosmos seperti
315
\
t; -
l^.
- ^^
fSh^irlUc f^M^lA ^
world, with demons below us and
the gods up above."
To illustrate the sacred geography
he had learned from his father,
Gunarsa takes a pen and begins
drawing a silhouette of the
landscape that includes the mother
Temple Basakih on the slopes of
Mount Agung, goes past a pavilion
in Klungkung to another temple
by the sea at Kelotok. He draws a
dragon swimming out of the sea at Kelotok to emphasize the demonic nature
of that lower realm. All three drawings represent the codified relationship
between humans and the mysteries of the natural world that Balinese
children are exposed to from birth: the three worlds of bor, bwah, suah, the
underworld, the earth, and the heavens. It is a relationship that implicitly
underlies the composition of all Gunarsa's artwork, but in these three pieces
the painter makes the structure explicit. He also paints the cloud shapes in
a style that is clearly inspired by the eye-shaped ovals in classical Klungkung
styled paintings.
In most of his works those shapes are abstracted into the background in
seemingly random patterns, but they are always illuminated by traces of
Gunarsa's childhood memories. These kinetic emblems energize the spaces
between his central figures, like a secret alphabet that links each composition
to the invisible world of spirits that populate the Balinese landscape.
As he notes in his handwritten commentary the size of the figures has nothing
dimengerti di dalam nawa sanga
kosmologi Bali. "Ayah memberitaku
saya bahwa desa kami di Klungkung
adalah pusatnya dunia, dengan
alam setan dibawah kami dan alam
Tuhan di atas."
Untuk mengilustrasikan geografi
sakral yang dia pelaj ari dari ayahnya,
Gunarsa mengambil pena memulai
menggambar bayang-bayang hitam
sebuah pemandangan alam yang
menyertakan Pura terbesar di Bali
yakni Pura Besakih di kaki Gunung
I - AQunQ, membentang, melewati
balai di lungkung menuju ke pura
Batu Klotok yang berada di tepi laut. Dia menggambar seekor naga keluar
berenang di laut Klotok untuk menegaskan sifat alami dari setan yang berada
di bawah dunia. Ketiga gambaran tersebut mewakili susunan hubungan
diantara manusia dengan misteri sifat alami dunia bahwa anak-anak orang
Bali diarahkan sejak lahir: adanya tiga dunia yakni bhur, bhwah, dan swah,
dunia bawah, bumi, dan sorga. Itu adalah sebuah hubungan yang secara
implicit menggarisbawahi komposisi dari semua karya seninya Gunarsa,
akan tetapi pada ketiga lembar ini pelukis membuat srukturnya eksplisit. Dia
juga melukis bentuk-bentuk awan ke dalam gaya yang jelasnya diilhami oleh
bentuk mata yang oval dalam gaya lukisan-lukisan klasikal Klungkung.
Dalam kebanyakan karyanya bentuk-bentuk itu dibuatnya abstrak sebagai
latar belakang dengan pola yang tak beraturan, akan tetapi semuanya itu selalu
diterangi oleh penelusuran ingatan Gunarsa pada masa kanak-kanaknya.
Emblim kinetis memberi energi pada ruang diantara figure utamanya ibarat
abjad yang sakral yang menghubungkan setiap komposisi dengan dunia tidak
nyatanya spririt yang menghuni pulau Bali.
Seperti dia memberi catatan pada tulisan tangannya mengomentari ukuran
317
to do with realistic perspective. It depends on
the relative importance of the subjects being
drawn. In the mountain landscape the shadow
puppets loom large, the way they appeared to
Gunarsa as a child who saw ghosts and spirits
all around him. Under the watchful eyes' of the
clouds that hover over the mountain these two
puppet shapes seem ready to begin the battle
between good and evil that is depicted in every
shadow puppet play. The watercolor captures
a moment when the gods of the nawa sanga
are present in all directions as spectators at a
shadow play illuminated by the sun rising over
the sacred mountain. The puppet characters
are formed by the changing shapes of clouds,
and the battle between the forces of good and evil is about to be played out
on a landscape that stretches from the heavenly heights of Gunung Agung
down to the demon- infested sea.
The words he paints at the base of the drawing suggest the
scene is representative of the way his childhood imagination
theatricalized the landscape. "When I was young I sensed
all kinds of eerie things and was full of fantasies about the
natural world around me. Early in morning, when it was
still dark, it was as if the natural world was blanketed with
ghosts or spooky spirits."
As he looks at the watercolor Gunarsa begins to sing,
recalling the soundtrack of his childhood fantasy. It is a
song he learned at middle school about the mystery of a
Balinese sunrise. He voices the words softly in Indonesian:
dari figur-figur tidak ada hubungannya dengan
perspektif relistik. Itu tergantung pada relatif
pentingnya dari subjek yang digambar Pada
gambar pemandangan gunung bayangan
wayang tampak besar, kemunculan mereka bagi
Gunarsa sebagai anak kecil yang melihat hantu
dan spirit diseputarnya. Di bawah pandangan
mata-mata penuh kewaspadaan dari awan
yang menunggu dekat di atas gunung kedua
bentuk wayang ini nampaknya siap untuk
memulai peperangan diatara kekuatan baik
dengan buruk seperti yang digambarkan pada
setiap pertunjukan wayang kulit. Lukisan cair
air menangkap momen ketika dewata nawa
sanga dimunculkan di seluruh penjuru seperti
penonton dalam pertunjukan wayang kulit, diterangi oleh matahari muncul
di atas gunung yang sakral. Karakter wayangnya dibentak dari perubahan
bentuk dari awan dan pertempuran antara kekuatan baik dengan kekuatan
jahat seakan jelang dimainkan keluar dari pemandangan alam yang
membentang dari puncak Gunung Agung dan raksasa turun
mengerumuni laut.
Kata-kata yang dia terakan pada bagian bawah lukisannya
mengusulkan adegan sebagai perwujudan dari cara
masa kanak-kanaknya mendapat kesan pemandangan
diteatr ikalkan. "Ketika saya masih muda saya merasakan
berbagai macam ngeri tentang berbagai hal dan penuh
dengan fantasi tentang sifat alami dunia seputar saya. Di
pagi buta ketika masih agak gelap dunia diselimuti oleh
hantu atau spirit yang menyeramkan.
Sembari melihat pada lukisan cat airnya Gunarsa mulai
bernyanyi memanggil kembali lapisan suara dari fantasi
masa kanak-kanaknya. Sebuah lagu yang dia pelajari
ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama
318
"Fajar menyingsing terbit matahari, kabut melayang menarik hati, cuaca
terang di seluruh negeri , burung bernyanyi, bagai berperi." ("At dawn the
sun rises, and the clouds floating in the fog bring me joy. The climate of light
spreads across the entire country. The birds sing, like invisible spirits.")
"That is the song I heard while I made this painting," Gunarsa explains. "I
could also hear the birds singing,
like a mystery of nature. I listen to
the music of the birds so that I can
put it into the painting and hear it
when I look at it again."
A moment later the artist begins
to sing another song. This one is
in Balinese. He learned it from
a priest who visited his village
elementary school. He becomes
more animated as he repeats the
simple melody and begins to wave
his arms as if he were conducting
a gamelan ensemble. He voices
the sounds of each instrument in
the Balinese orchestra of gongs,
drums and metallophones, adding
layers of sound to his memory as if he were adding layers of color to the
painting. Eventually the song inspires him to move from his studio to a
nearby set of gamelan instruments where he actually does play the melody
on a metal xylophone. Lacking the proper mallet he improvises by hitting
the keys with a stick from his garden. The shimmering sound of the gamelan
encourages him to sing the song more forcefully, and his right arm dances
through the air in time with the music.
tentang misteri dari munculnya matahari di pagi hari. Dia suarakan kata-
katanya denga lirih dalam bahasa Indonesia: "Fajar menyingsing terbit
matahari, kabut melayang menarik hati, cuaca terang di seluruh negeri,
burung bernyanyi, bagai berperi"
"Nyanyian tersebutlah yang saya dengar ketika membuat lukisan ini.
Gunarsa menjelaskan. "Saya
juga mendengar burung-burung
bernyanyi, seperti misterinya
alam. Saya mendengarkan musik
dari burung-burung dengan
demikian saya bisa tuangkan
ke dalam lukisan saya dan saya
mendengarnya kembali ketika
saya melihat lukisannya lagi"
Beberapa saat kemudian si pelukis
kembali menyanyikan lagu yang
lain. Yang ini dalam bahasa Bali.
Dia belajar dari seorang pendeta
yang mengunjungi sekolah
dasarnya di desa. Dia menjadi lebih
hidup manakala dia mengulang
melodi yang sederhana dan mulai
melambaikan tangannya seperti
halnya dia sedang memimpin
penabuh barungan gamelan. Dia
menyuarakan suara masing-
masing instrumen gamelan Bali seperti kendang dan nada-nada bilah
kerawang, dengan menambahkan lapisan-lapisan suara melalui ingatannya
seperti halnya dia menambahkan lapisan warna dalam lukisannya. Akhirnya
nyanyian yang mengilhami dia untuk berpindah dari studio lukisannya ke
tempat dimana satu set gamelan yang terletak tidak begitu jauh dan di sana
dia dengan sungguh memainkan melodi gamelan tersebut. Karena tidak
ada tabuh alat pemukul gamelan dia berimprovisasi dengan menggunakan
319
^ 4->f ^ %
The open-air pavilion housing
the gamelan is surrounded by a
pool of lotus blossoms dappled
with the raindrops of a recent
shower. The lush garden is rich
with the aromas of mango trees
and cempaka flowers whose wet
fallen blossoms are scattered
across the ground. Still singing,
Gunarsa leaves the gamelan and
plucks a tamarind pod from a low
hanging branch. He takes a bite
and chews on the savory pulp.
The sound of flowing water and
singing birds has replaced the
melody of his childhood song,
but the words of the song still
reverberate in his memory as he
reflects on the power of music.
"Music softens your heart," he
says, pointing in the direction of
the gamelan. "It teaches you to
be refined, so that you won't just
be a wild cowboy. Art is not just
for beauty. It exists to transform
the character of the people it
touches."
320
batang kayu yang di ambil dari
kebunnya untuk memainkan
gamelan. Denting gemerincing
suara gamelan mendorong dia
untuk menyanyikan lagu lebih
keras dan tangan kanannya
menari di udara bersamaan
dengan irama musik.
Balai tempat gamelan sebuah
bangunan terbuka diitari oleh
telaga dengan bunga teratai
mekar diperciki dengan tetesan
air hujan yang baru saja turun
menggerimis. Taman yang
rimbun subur kaya dengan
aroma dari pohon mangga
dan bunga cempaka yang
basah berjatuhan berserakan
di tanah. Masih bernyanyi,
Gunarsa meninggalkan gamelan
dan memetik buah asam
yang menggayut rendah pada
cabangnya. Dia menggigit sedikit
dan mengunyahnya dengan
lezat sampai hancur. Suara dari
alunan air dan nyanyian burung
yang menggantikan melodi dari
lagu masa kanak-kanaknya, akan
tetapi kata-kata lagunya masih
menggema dalam ingatannya
seperti dia terefleksikan ke
dalam kekuatan musik. "Musik
memperlunak hatimu," kata dia,
menunjuk kearah gamelan "Itu
mengajarkan anda menjadi halus, dengan demikian anda tidak menjadi
buas seperti cowboy. Seni tidaklah hanya untuk keindahan. Keberadaannya
untuk mentransformasikan karakter orang-orang dengan sentuhan."
The song from his childhood that sent Gunarsa singing into his garden
is entitled Dharma Sadu which could be translated as "A Person of
Incorruptible Virtue." He associates it with the diagram of the nawa sanga
whose sacred structure is embedded in most of Gunarsa's work. Looking
at a drawing of a rice-field pindekan whose spinning wheel mirrors the
sacred wheel of nawa sanga, he observes, "In the Hindu religion of Bali the
movement of the wind from north to south and back again is similar
to the movement of life that spins back and forth between good and
evil as a result of the choices we make in this life. The wind that blows to
the east originates in the west and vice versa. You can't have one extreme
without the other, but people have to do their best to live the way the priest
suggested when he taught this song to the children in my school"
Nyanyian dari masa kanak-kanaknya yang mengirim Gunarsa untuk
bernyanyi di kebunnya berjudul Dharma Sadu yang kiranya dapat
diterjemahkan ke dalam "Seorang yang kebaikannya tak dapat disuap" Dia
asosiasikan itu dengan diagram dari nawa sanga yang struktur sakralnya
terpancang di dalam kebanyakan karyanya Gunarsa. Melihat pada lukisan
pindekan untuk sawah yang putaran rodanya mencerminkan roda suci nawa
sanga, dia mengobservasi. "Di dalam ajaran agama Hindu Bali, pergerakan
angin dari utara ke selatan dan kembali lagi adalah sama halnya dengan
gerakan hidup, sebagai hasil dari pilihan yang kita buat dalam hidup ini.
Angin yang mengembus ke timur berasal dari barat, demikian sebaliknya.
Anda tidak akan dapat satu ekstrim tanpa yang lain, akan tetapi orang-orang
harus melakukan apa yang terbaik untuk hidupnya seperti yang disarankan
oleh pendeta yang mengajarkan lagunya di sekolah kepada anak-anak di
sokolah saya"
Dharma Sadu
Ngiring durus
Sareng sami manut
Mangusahang raga
Mangulati kerahayon
Tunggalan bebaos
Saking jati tuwon
Nyudi sane becik
Budi utama luhur
The Highest Virtue
First come along
And follow all together
Make an effort
To weave a life of blessings
Speak words that are harmonious
Surrender yourself from your heart
To create goodness
With behavior of the utmost refinement
Dharma
Mari silahkan
Bersama mengikuti
Berusaha sendiri
Mencari keselamatan
Satukan pembicaran
Dari kesungguhan
Melakukan yang terbaik
Budi utama terhormat
Gunarsa's ability to make sound visible is one of the distinctive characteristics
that cannot be forged by imitators of his paintings. The soul of Gunarsa's
paintings is inseparable from their music. The painter himself put on a
performance in the courtroom to demonstrate that the forgeries could
not be 'danced' in the way that his own works could. His demonstration
Kemampuan Gunarsa untuk membuat suara itu menjadi tampak adalah
satu dari perbedaan karakteristiknya yang tak dapat dipalsukan oleh
sipeniru untuk lukisan-lukisannya, jiwa dari lukisan Gunarsa adalah
tidak terpisahkan dari musiknya. Pelukisnya sendiri meragakan ke dalam
pertunjukan di dalam ruang sidang pengadilan untuk mendemonstrasikan
321
in the courtroom displayed his gift of synesthesia, the abihty to activate
and merge all the senses at once. Gunarsa listens to music while he paints,
sometimes singing and dancing, and always surrounded by the aromas of
his lushly flowered garden studio. The art he creates is infused with sounds
that evoke the sights, tastes, and smells of Bali's natural landscape. In
Gunarsas depiction of a temple ceremony, one can hear the gentle ringing
of the priests bell, sniff the aroma of smoke rising in spirals from the
incense sticks, and feel the sprinkling of holy water on upturned hands. In
Gunarsas painting of a shadow puppet play one can hear the gutteral rasp
of the clown Twalen's voice and feel the heat of the coconut oil lamp that
illuminates the screen. When Gunarsa paints a performance of legong the
precision of his lines vibrates with the sounds of the gamelan gong music
that propels the dancers' bodies through space.
bahwa yang dipalsukan tidak bisa "menari" seperti halnya lukisannya
sendiri, menari. Demonstrasinya di ruang pengadilan mempertontonkan
(semua rasa dengar lihat lidah menyatu = synesthesia), kemampuan
untuk mengaktifkan dan menyatukan semua rasa menjadi satu. Gunarsa
mendengarkan musik ketika dia melukis, dan terkadang bernyanyi dan
menari, dan selalu diitari oleh aroma dari taman bunga studionya yang
subur. Seni yang dia ciptakan tertanam dengan suara yang menimbulkan
penglihatan, rasa, dan bau alami pemandangan tata ruang Bali. Dalam
lukisan Gunarsa sebagai penggambaran upacara di pura, pertama akan
didengar dentingan suara lembut dari gentanya pendeta, mengendus-endus
aroma asap yang mengangkat dalam spiral asap padupaan, dan merasakan
percikan air suci pada telapak tangan yang menengadah. Dalam lukisan
Gunarsa tentang pertunjukan wayang kulit seseorang akan mendengar
(suara mengeram rendah -parutan guttural deskripsikan suaranya tualen)
dari suaranya panakawan Twalen dan merasakan hangatnya api belencong
wayang berminyak kelapa yang mengiluminasikan layar. Ketika Gunarsa
melukis pertunjukan legong ketepatan garisnya digetarkan oleh suara
gamelan gong yang menggerakkan badan penari di dalam ruang.
The interpenetration of the senses that animates Gunarsa's best work is linked
both to the fluid motion of the lines that form his figures and the kinetic
charge of the shapes that pulsate in the spaces between them. Inspired by
the floating ovals in classical Klungkung paintings that he once imagined
were the eyes of the gods, Gunarsa has transformed these background
shapes into tiny abstractions that capture the dynamism of contemporary
Bali while maintaining the spiritual roots of its traditions.
Menjadikan satu semua rasalah yang menghidupkan kerja besarnya
Gunarsa memiliki hubungan baik untuk gerakan garisnya yang mengalir
yang membentuk figurnya dan tuntutan gerakan dari bentuk-bentuk
yang berdenyut di dalam ruang diantara semuanya. Diinspirasikan
oleh bentuk oval yang mengambang dari gaya klasik lukisan Klungkung
yang dia bayangkan sebagai mata-mata dari para dewa, Gunarsa telah
mentransformasikan latar belakang ini kedalam bentuk abstrak yang kecil-
kecil yang dapat menangkap kedinamisan kontemporer Bali sementara
memelihara akar spiritual dari tradisi itu sendiri.
Animated by dancing hieroglyphs that vibrate with the presence of Bali's
invisible deities, Gunarsa's paintings will outlive any attempts by judges
or forgers to diminish their value. His art is inspired by the movement
between extremes that awed him when he was a boy working in his father's
ricefields, watching the sky and listening to the wind whistle through the
spinning wheel oi the pindekan. "The wind that came from the east sent the
Dihidupkan oleh tarian hieroglyphs (bahasa dituliskan dalam simbol) yang
bergetar dengan kehadiran para dewata Bali yang tidak nampak, lukisan
Gunarsa akan hidup lebih lama kendati beberapa usaha apapun oleh hakim
atau pemalsu untuk mengurangi nilainya. Karya seninya diilhami oleh
gerakan diantara sifat pertentangan yang mengagumi dia ketika dia masih
kecil bekerja di sawah ayahnya, memandangi langit dan mendengarkan
322
wheel moving to the west and vice versa. It spun through all the directions
of the compass, pointing towards the dwelling place of each of the gods in
rapid succession. North became South. East became West. I didn't know
it then, but that was the essence of ruahinedal' As a child Gunarsa had no
words to express the mysteries he observed in the world around him, but
the older he gets, the more skilled he becomes in expressing those mysteries
with deft brush-strokes that fall on his canvas like musical notes serenading
unseen spirits in the clouds.
angin bersiul melalui putaran dari pindekan. "Angin yang datang dari
timur membuat roda putaran ke barat dan sebaliknya. Itu bisa berputar ke
segala arah mata angin, menunjuk pada stana setiap dewa dalam rangkaian
cepat. Utara menjadi selatan. Timur menjadi Barat. Saya tidak mengetahui
itu kemudian, akan tetapi itulah esensi dari ruabineda." Sebagai anak kecil
Gunarsa tidak memiliki kata-kata untuk mengungkapkan misteri yang
dia observasi di dunia sekelilingnya, akan tetapi susunannya didapatnya,
semakin meningkat keterampilannya di dalam mengekspresikan misteri itu
semua dengan kibasan kuas semakin cepat yang jatuh pada kanvasnya ibarat
notasi musik merayu dengan musik spirit yang tidak nampak di dalam awan.
323
List of Illustrations
All pen and ink sketches, oil paintings, pastels, and watercolors are the work of
Nyoman Gunarsa
Traditional paintings are from the Kertha Gosa Museum
Shadow puppet performance photos document the work ofWayan Nardayana
(Dalang CenkBlonk)
Photos of Nyoman Gunarsa's works are by Indrawati Gunarsa
Other photos are by Ron Jenkins and Franziska Blattner
Page 2 - Guneman -opening display of shadow puppets before the
performance begins
Page 4 - Legong dancer (pen & ink)
Page 6 - Ganesh - shadow puppet from the guneman opening display
Page 8 - The on^/cflra fl/csara as the source of dance movement (pen and
ink)
Page 12 - Aksara as the source ofoleg dancer's movements (pen and ink)
Page 14 - Ganesh
Page 15 - Twalen, Hanuman, and Merdah
Page 16 - Bhagawan Valmiki writing the Ramayana (pen and ink)
Page 17 - Twalen
Page 18 - Nyoman Gunarsa in his studio
Page 18 - Gunarsa's brush adding detail to painting of a flute player
Page 19 - Gunarsa's palette of colors
Page 20 - The birth of music and the Balinese pentatonic scale ( watercolor)
Page 23 - Cenk and Blonk with Condong - Three characters from a shadow
play (pen and ink)
Page 24 - Gunarsa in front of his painting of two heavenly guardians painted
in the ringgit or wayang style
Page 26 - The ongkara aksara as the source of all movement (pen and ink)
Page 28 - Tintia or Sang Hyang Tunggal and the kayonan shadow puppet
representing creation
Page 29 - Harmony of male and female dancers (pen and ink)
Page 30 - Movement of the fingers, feet, and eyes in process of creating
mudra gestures
Page 31 - Sanggut - Collection of the Gunarsa Museum
Page 32 - Cupak - Collection of the Gunarsa Museum -
Page 33 - Aksara as the source of the oleg tamulilingan dance (pen and ink)
Page 34
Page
36
Page
38
Page
40
Page
41
Page
42a
Page
42b
Page
43
Page
44
Page
45
Page
46
Page
47
Page
49a
Page
49b
Page
50
Page
51
Page
52
Page
54
Page
57
Page
58
Page
61
Page
62a
Page
62b
- Comparison of original and forged oil paintings of the oleg
tamulilingan dance
- Durga
- Agem kiri and agem kanan: dance movements born from aksara
- Comparison of authentic and forged oil paintings of pendet
dancers
- Moving forged painting into the courtroom
- Pelangkiran - offerings in the courtroom meant to provide
spiritual protection
- Defense lawyer in court
- Dance in front of temple gate (pen and ink)
- Women with offerings (pen and ink)
- Sugama, a reknowned performer, offering his support to Gunarsa
(pen and ink)
- Petition to uphold copyright laws signed by numerous Indonesian
artists
- Demonstration in front of court in which Sugama offers support to
Gunarsa
- Forged painting with sticker and forged signature
- Detail of forged painting of legong dancer
- Detailed comparison of Gunarsa's painting of dancer's foot with
forged painting of dancer's foot
- Gunarsa at copyright demonstration in front of governor's
mansion
- Offerings for otonon celebration for three-month old baby (pen
and ink)
- Comparison of authentic and forged watercolors of young men in
temple
- Saraswati, the goddess of art and knowledge: the birth of the arts
from the cecak (pen and ink)
- Barong and Rangda with protective aksara symbols (pen and ink)
- Rangda with rerajahan symbols meant to facilitate magical
transformations (pen and ink)
- Rerajahan drawing meant to provide spiritual protection
- Bhima with magic aksara rerajahan for spiritual protection (pen
and ink)
324
Page
63
Page
64
Page
67
Page
68
Page
70
Page
71
Page
72a
Page
72b
Page
73
Page
74
Page
75
Page
76a
Page
76b
Page
77
Page
78
Page
81
Page
82
Page
84
Page
85
Page
86
Page 88
Page 89
Page 90
Page 91a
Page 91b
Page 92
Page 93a
Page 93b
Page 94
Page 95a
- Gunarsa with his wife Indrawati, his daughter Linuwih, and staff
member Mayxin
- Gunaman opening puppet display including Mayasura, Hanuman,
and the Kayonan
- Temple of Denpasar 's courtroom in disrepair
- Dalang at work behind the puppet screen (oil)
- Dalang Wayan Nardayana with Nyoman Catra and Nyoman
Gunarsa
- Yudisthira in red and white painted in wayang or ringgit style (oil)
- Dalang Wayan Nardayana making offerings behind the screen
before his performance
- Cenk and Blonk
- Four clown servant characters: Delem, Sanggut, Merdah & Twalen
- Gunarsa Museum
- Ganesh
- Window to heaven guarded by Vishnu's weapon, the cakra
- Anggada
- Hanuman from the collection of the Nyoman Gunarsa museum
- Kayonan
- Twalen and Merdah
- Twalen and Merdah
- Delem and Sanggut
- Guneman opening display of puppets
- Emblem of CenkBlonk displayed on the dalang's truck
- The death of Mayasura after the astra geni he fired at Anggada
boomerangs back (watercolor)
- Shadow puppets of fire and arrow from the collection of the
Nyoman Gunarsa Museum
- Barong and Rangda painted in the Klungkung style (watercolor)
- Gunarsa with dalang CenkBlonk (Wayan Nardayana)
- Offerings behind the puppet screen
- Wayan Nardayana making offerings to make the performance
fluent and safe
- Vishnumurti, a puppet depicting the destructive side of Vishnu
- Kayonan on fire
- Dalang CenkBlonk animating the clown servants Delem and
Sanggut listening to Mayasura
- Astra geni (pen and ink)
- Guneman opening display of puppets
Page 95b - Wayan Nardayana and Nyoman Gunarsa
Page 96 - Twalen and merdah with Tintia or Sang Hyang Tunggal (pen and
ink)
Page 97a - Delem and Mayasura
Page 97b - Delem, Mayasura and Sanggut
Page 98a - Guneman opening display of puppets
Page 98b - Dalang CenkBlonk animates Hanuman
Page 100a - Twalen and Merdah
Page 100b - Sanggut and Delem
Page 101 - Sanggut and Delem
Page 102 - Door to puppet storage room at the home of Wayan Nardayana
Page 103a - Detail of door to puppet storage room featuring the four clown
servants of Balinese wayang
Page 103b - Guneman opening display with Sugriwa, Hanuman and Ganesh
Page 104a - Hanuman and Merdah
Page 104b - Rama and Twalen
Page 105 - Dalang CenkBlonk animates Barong
Page 106a - Guneman opening display with Hanuman and Wibisana,
the brother of Rawana
Page 106b - Sugriwa, Hanuman, Anggada, and soldiers
Page 106c - Raksasa demon
Page 107a - Cenk and Blonk
Page 107b - Cenk and Blonk
Page 108 - Mayasura asking rama for the astra geni weapon to kill Anggada
Page 109 - Pen and ink drawing of the crab with a paintbrush in Gunarsa's
studio
Page 110 - Balinese high priest performing a ceremony (pen and ink)
Page 112 - Ida Pedanda Ketut Sidemen
Page 114 - Details of paintings from Kertha Gosa telling the story of the crab
and the heron (1 8f 2)
Page 115 - Details of paintings from Kertha Gosa telling the story of the crab
and the heron (3 & 4)
Page 117 - Ida Pedanda Ketut Sidemen reading sastra
Page 118 - The ceremonial sacred bell of Ida Pedanda Ketut Sidemen
Page 121 - Nawasanga
Page 122 - Ida Pedanda Ketut Sidemen
Page 124 - Kris daggers dropping from a tree in hell (watercolor)
Page 127 - Death of a heron impersonating a judge (watercolor)
Page 128a - Nawasanga Senjata - sacred weapons
325
Page 128b - Pindekan (pen and ink), symbolizing the spinning of the world or
pengider bhuana
Page 130 - Delem and Sanggut - Collection of the Gunarsa Museum
Page 131a - Self-portrait of Gunarsa working in a ricefield and then wearing
shoes first time
Page 131b - The museum at Kertha Gosa
Page 132a - Carving of the Trisula sacred weapon of protection on the wall of
the Gunarsa Museum
Page 132b - Carving of the Cakra sacred weapon on the wall of the Gunarsa
Museum
Page 133 - Oil painting of Delem and Sanggut at the Gunarsa Museum
Page 134a - Painting of the Puputan KlungKung at the Kertha Gosa museum
Page 134b - Gunarsa's painting of Puputan Klungkung (watercolor)
Page 135 - Aksara as the source of dance movement (pen and ink)
Page 137a - Barong and Rangda - detail of painting from the Kertha Gosa
ceiling
Page 137b - Forgers in hell punished by demons (pen and ink)
Page 138a - Gunarsa as adult studying the ceiling of Kertha Gosa
Page 138b - Self portrait of Gunarsa as a child studying the ceiling of Kertha
Gosa
Page 139 - Twalen painted on wood, preserved from Kertha Gosa and now at
the Gunarsa Museum
Page 141a - Corrupt judge in hell punished by demons (pen and ink)
Page 141b - Punishment of liar in hell - detail from Kertha Gosa ceiling
Page 142a - Barong and Rangda - detail from Kertha Gosa ceiling
Page 142b - Punishment of judge who twists the law with lies (watercolor)
Page 144 - Pindakan - trisula - cakra - pengider bhuana (pen and ink)
Page 146 - Ceiling of Kertha Gosa - photo
Page 147 - Hanuman - Collection Gunarsa Museum
Page 148 - Anggada from Gunarsa Museum Collection
Pages 153-
157 - Watercolors by Gunarsa revising the tantri story of heron who
impersonates a priest
Page 158 - Gunaman opening display of puppets with Maya Cakru, Anggada
and the kayonan
Page 160a - Cenk and Blonk
Page 160b - Cenk and Blonk
Page 162 - Maya Cakru transforms himself into the false Anggada as his
clowns servants watch
Page
[66a
Page ]
L 66b
Page
169
Page
l71
Page
[72a
Page
[72b
Page
[74
Page
[77
Page
[78a
Page
[78b
Page
[80
Page 165 - Aksara as source of art - the first letter of the Balinese alphabet -
ha (pen and ink)
- Anggada asking Durga for magical powers
- Ganesh with Rama
- Anggada asking Durga for magical powers (watercolor)
- Aksara as source of art - the second letter of the Balinese alphabet
- na (pen and ink)
- Blonk
- Cenk
- Durga gives Anggada magical powers (watercolor)
- Aksara as source of art - the third letter of the Balinese alphabet -
ca (pen and ink)
- Sanggut & Delem (double shadow)
- The demon Maya Cakru
- Hanuman as judge speaks monkey language to test the false
Anggada (watercolor)
83 - Aksara as source of art - the fourth letter of the Balinese alphabet
- ra (pen and ink)
84a - Merdah & Hanuman
84b - Durga
85 - The real Anggada battles Maya Cakru after his deception is
uncovered (watercolor)
87 - Aksara as source of art - the fifth letter of the Balinese alphabet -
ka (pen and ink)
88a - Barong with clown servant
88b -Delem
89 - Aksara as source of art - the sixth letter of the Balinese alphabet -
da (pen and ink)
90 - Rama stops Anggada from fighting with Mayasura (watercolor)
91 - Aksara as source of art - the seventh letter of the Balinese alphabet
ta (pen and ink)
92a - Sanggut 8f Delem
92b - Gunaman opening display of puppets
93 - Siva grants magical powers to Hanuman (watercolor)
94a - Twalen and Hanuman with Kayonan
94b - Twalen
96 - Twalen and Merdah observed by Dewa Tintia (watercolor)
97 - Aksara as source of art - the eighth letter of the Balinese alphabet
sa (pen and ink)
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
Page
326
Page 198a - Raksasa with Blonk Page 227
Page 198b - Delem
Page 199 - Aksara as source of art - the ninth letter of the BaUnese alphabet - Page 228a
wa (pen and ink) Page 228b
Page 201 - The real Anggada asks Durga for power in acemetery while leyaks Page 231
test his power (watercolor)
Page 202 - Twalen & Merdah meet Suratma judging souls in heaven Page 232
(watercolor)
Page 203 - Aksara as source of art - the tenth letter of the Balinese alphabet - la Page 233
(pen and ink)
Page 204a - Kayonan Page 235
Page 204b - Durga
Page 205 - Aksara as source of art - the eleventh letter of the Balinese alphabet Page 236
- ma (pen and ink)
Page 206a -Blonk Page 239
Page 206b - Ganesh Page 240
Page 207 - The real Anggada asks Durga for help after being wrongly accused
by Mayasura (watercolor) Page 243
Page 209 - Aksara as source of art - the twelfth letter of the Balinese alphabet -
ga (pen and ink) Page 244
Page 210 - Twalen and Merdah observe sinners suflfering in hell as leyak shake
kris from tree (watercolor) Page 246a
Page 211 - Aksara as source of art -the thirteenth letter of the Balinese alphabet - Page 246b
ba (pen and ink)
Page 213 - Durga gives Anggada, Twalen & Merdah magical powers to fight Page 249
Mayasura (watercolor)
Page 214 - Hanuman exiles Anggada for a crime he did not commit Page 250
(watercolor)
Page 216a -Twalen Page 252a
Page 216b - Sanggut Page 252b
Page 219 - Aksara as source of art - the fourteenth letter of the Balinese Page 255
alphabet - nga (pen and ink)
Page 220 - Twalen & Merdah meet a prostitute asking for help in hell Page 256
(watercolor)
Page 222a - photo of delem and sanggut seeing his shadow - Page 258a
Page 222b - Tintia in front of a kayonan Page 258b
Page 225 - Aksara as source of art - the fifteenth letter of the Balinese Tintia
alphabet - (pen and ink) Page 261
Page 226 - Mayasura transforms himself into the false Anggada as clowns Page 262
watch (watercolor)
Aksara as source of art - the sixteenth letter of the Balinese
alphabet - ja (pen and ink)
Delem and Sanggut on the wayang puppet box (keropak)
Twalen and Merdah on the wayang puppet box (keropak)
Twalen tries unsuccesffuly to bribe (nyogok) Suratma to get into
heaven (watercolor)
The false Anggada is stopped by hanuman as he tries to enter
palace of Rama (watercolor)
Aksara as source of art - the seventeenth letter of the Balinese
alphabet - ya (pen and ink)
Hanuman talks to the real Anggada in front of Rama's palace
(watercolor)
Delem watches Mayasura chage from the false Anggada back to
himself (pastel and watercolor)
Sugriwa battles against Mayasura (watercolor)
Mr. Virtue (Wayan Polos) tries to convince Suratma to let him into
heaven (watercolor)
Merdah fights Sanggut as a raksasa demon fights the real Anggada
above them (watercolor)
Delem with shield fights Twalen with spear as Anggada fights
raksasa above them (watercolor)
Cenk and Blonk
Guneman opening display of puppets with Sugriwa and Anggada
and Sempati
Hanuman takes Twalen for a flight in the air as Merdah watches
from below (watercolor)
Hanuman brings Twalen and Merdah together into the air for
a joy-ride (watercolor)
Blonk and Sanggut
Cenk
Aksara as source of art - the eighteenth letter of the Balinese
alphabet - nya (pen and ink)
Raksasa demon king discusses war with his raksasa advisers as
Delem watches (watercolor)
Twalen and Merdah
Guneman opening display of puppets with Durga, Mayasura,
and the kayonan
Cenk and Blonk discuss the ethics of copyright law (watercolor)
Maya Cakru and the real Anggada transform into Rangda and
Barong (watercolor)
327
Page 264a - Twalen and Merdah on top of the wayang puppet box (keropak) Page 301
Page 264b - Malen next to the offerings on the wayang puppet box (keropak)
Page 266 - Three sacred syllables, ang ong mang, become aum and the source Page 303
of dance (pen and ink)
Page 268 - Judges with art in the courtroom Page 304
Page 269 - The accused {terdakwa) giving testimony in court (pen and ink)
Page 270 - Nyoman Gunarsa and Indrawati Gunarsa in court (pen and ink) Page 306
Page 271 - Indrawati Gunarsa testifying in court (pen and ink) Page 310
Page 273 - Indrawati Gunarsa gives testimony in front of judges (pen and ink) Page 311
Page 275 - Indrawati Gunarsa explains a painting to a judge in court
Page 276 - Authentic and forged paintings used as evidence in court Page 312
Page 278 - Gede Artison Andarawata gives testimony in court in front of
forged painting Page 314
Page 281 - Judge consults with lawyers in court
Page 282 - Anak Agung Rai Kalem testifies before judges and lawyers Page 316
Page 285 - Indrawati Gunarsa explains art to the judges (pen and ink)
Page 286 - Shadow puppets of fire and arrow from the collection of the Page 317
Nyoman Gunarsa Museum
Page 288 - Gunarsa at a demonstration in front of the court (pen and ink) Page 318a
Page 289 - The accused {terdakwa) watches a witness testify (pen and ink) Page 318b
Page 290 - Gunarsa makes his point in court by dancing
Page 293 - Forged and authentic paintings presented as evidence in court Page 319
Page 295 - Judge and lawyers examine documents (pen and ink) Page 320
Page 296 - Official from the National copyright office testifies before judges Page 323
Page 299 - Judges surrounded by art as evidence in court
- Caricature of judge in hell with bribe money falling out of his
clothes (watercolor)
- Art in court next to the Indonesian flag and the Garuda eagle, the
national symbol
- Heron impersonating a priest has his mouth cut off by the crab
(watercolor)
- Ida Pedanda Ketut Sidemen presides over a ceremony
- The sacred ceremonial bell of Ida Pedanda Ketut Sidemen
- Detail of fire and arrows from a painting on the Kertha Gosa
ceiling
- Clouds over a sacred mountain framed by wayang puppets, Bhima
and a demon (watercolor)
- Gunarsa in front of his painting "Offerings" at the Nyoman
Gunarsa Museum
- Diagram of Nawasanga locating gods and their weapons in their
sacred directions
- Bali's sacred geography (pen &: ink) with oil painting of Barong
and Rangda
- Nawasanga painting from the Kertha Gosa Museum
- Detail of demon puppet from an oil painting of a dalang in
performance (Gunarsa Museum)
- Gunarsa's garden studio
- Priest presiding over a ceremony (watercolor)
- Detail of clouds over the sacred mountain Gunung Agung
(watercolor)
328
Selected Bibliography
Artaud, Antonin. The Theater and Its Double, New York, 1958.
Bandem, M. 8f deBoer, F. Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition. Kuala
Lumpur, 1981.
Bateson, G. & Mead, M. Balinese Character: A Photographic Analysis, New York,
1942.
Belo, Jane. Bali: Rangda and Barong, New York, 1949.
Belo, Jane. Traditional Balinese Culture, New York, 1970.
Catra, N. & Jenkins, R. The Invisible Mirror- Siwaratrikalpa: Balinese Literature
in Performance Denpasar, 2008.
Covarrubias, Miguel. The Island of Bali, New York, 1937.
Creese, Helen. Parhayana: The Journeying of Partha: an 18th Century Balinese
Kakawin, Leiden, 1998.
de Zoete, B. & Spies, Walter. Dance and Drama in Bali, London. 1938.
Dibia, W. & Ballinger, R. Balinese Dance, Drama, and Music, Singapore, 2004.
Dwikora, Putu Wirata. Nyoman Gunarsa: lalan Panjang Martir Hak Cipta,
Malang, 2009.
Emigh, John. Masked Performance: The Play of Self and Other in Ritual and
Theater, Philadelphia, 1996.
Eiseman, Fred. Bali: Sekala and Niskala, Singapore, 1990.
Geertz, Clifford. Negara: The Nineteenth Century Theater State in Bali,
Princeton, 1980.
Geertz, Hildred. Images of Power: Balinese Paintings Made for Gregory Bateson
and Margaret Mead , Honolulu, 1994.
Geertz, Hildred. The Life of a Balinese Temple: Artistry, Imagination and History
in a Peasant Village, Honolulu, 2004.
Geertz, Hildred. Tales from a Charmed Life: A Balinese Painter Reminisces,
Honolulu, 2005.
Herbst, Edward. Voices in Bali: Energies & Perception in Vocal Music and Dance
Theater, Hanover, London, 1997.
Hinzler, H.I.R. Bima Swarga in Balinese Wayang, The Hague, 1981.
Hobart, Angela. Dancing Shadows of Bali, New York, 1987.
Holt, C. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithica, 1967.
Hooykaas, C. Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow Theater in Bali,
Amsterdam, 1973.
Jaman, S. Gede. Fungsi Dan Manfaat Rerahahan Dalam Kehidupan, Surabaya,
1999.
Jenkins, Ron. Subversive Laughter, New York, 1996.
McPhee, Colin. Music in Bali: A Study in Form and Instrumental Organization,
New Haven & London, 1966.
Mershon, Katharane. Seven Plus Seve: Mysterious Life Rituals in Bali, New York,
1971.
Pucci, Idanna. Bhima Suraga: The Balinese Journey of the Soul, Boston, 1992.
329
Ramseyer, U. The Art and Culture of Bali, Oxford, 1977.
Robson, Stuart. Arjunawiwaha, Leiden, 2008.
Rubenstein, Rachelle. Beyond the Realm of the Senses: The BalLnese Ritual of
Kakawin Composition, Leiden, 2000.
Santoso, Soewito. Ramayana Kakawin, New Delhi, 1980.
Sidemen, Ida Pedanda Ketut. Gaguritan Panca Satya, Denpasar, 2003.
Schulte Nordholt, Henk. Bali: An Open Fortress, Leiden, 2007
Stuart- Fox, David. Pura Besakih, Leiden. 2001.
Sukra, Wayan. Moksa, Jakarta, 2003.
Teeuw, A. 8f Robson, S.O. & Zoetmulder, P.J. Siwatratrikalpa of Mpu Tanakung,
Leiden, 1969.
Tenzer, Michael. Balinese Music, Singapore, 1991.
Toer, Pramoedya Ananta. Cerita Calonarang, Jakarta, 2003.
Vickers, Adrian. Bali: A Paradise Created, Ringwood, Victoria. 1989.
Vickers, Adrian. Journeys of Desire: A Study of the Balinese text Malat, Leiden,
2005.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, The Hague,
1974.
Zoetmulder, P.J. Old Javanese-English Dictionary, The Hague, 1982.
Zurbuchen, Mary. Language of the Balinese Shadow Theater, Princeton, 1981.
330
■JV
vA »«>—■- • •
- • - . ». >. ^ ■ » . , ■ ^. .■ - i ». »^c
,. . , -.. ■ ir .-.^.- .. ... . ■ .%,
-If "
• ^J
«"♦-i»!
f-->/^»
Ida Pedanda Ketut
Sidemen
Ida Pedanda Ketut
Sidemen
"Hi'-i
' ■_».- ■" \
•■v'^'^-:.^
Ida Pedanda Ketut Sidemen, also
known as Ida Pedanda Ketut Kencana
Singarsa, is a Balinese high Brahmin
priest. He has written numerous
volumes of poetry based on sacred
Hindu teachings, including "Panca
Satya" and "Pati Jelamit" Every
Sunday evening at his home in Gria
Taman in the village of Sanur, Ida
Pedanda hosts a group of fishermen,
teachers, and hotel workers, who
keep their cuhural traditions alive by
singing sacred Hindu poetry from
palm leaf manuscripts known as lontar.
Ida Pedanda Ketut Sidemen juga
dikenal dengan nama Ida Pedanda
Ketut Kencana Singarsa adalah seorang
pendeta dari kaum brahmana. Beliau
menulis sejumlah sanjak berdasar
pada pendidikan ajaran Hindu
diantaranya "Panca Satya" dan Pati
Jelamit" Setiap hari minggu malam di
tempat kediamnya di Gria Taman di
desa Sanur, Ida Pedanda menghimpun
grup terdiri dari para nelayan, guru,
karyawan hotel, menjaga kelangsungan
hidup tradisi budaya mereka dengan
menyanyikan sanjak-sanjak suci
yang ditulis pada daun lontar.
— *^ .^ .l' r •
I Wayan Nardayana / Wayan Nardayana
most popular and prolific dalangs.
A master of shadow puppetry in all
its dimensions, Nardayana performs
like the Ramayana and Mahabharata,
enacting the voices dozens of
characters at the same time that
he manipulates the shadows of the
leather puppets that represent them.
He is also known as Dalang
CenkBlonk in honor of the ;
traditional clown figures that
he has resurrected as the
voices of the common people,
Cenk and Blonk.
seorang dalang Bali yang amat popular
dan sukses. Seseorang ahli memainkan
wayang dari berbagai dimensinya,
Nardayana mempertunjukkan cpisod-
episod dari teks-teks Hindu kuno
seperti Ramayana dan Mahabharata, •
karakter tokoh dan pada saat
bersamaan dia memainkan bayangan
dari wayang kulit dengan
segala perwujudannya.
Dia dikenal dengan
dalang CenkBlonk sebagai
penghormatan pada figur
badutan tradisional yang dia
hidupkan mewakili suara
ebanvaKan meuinit
suaranya Ceng dan Blong.
This story of art forgery, mystical shadow puppets, international crime syndicates, and divine identity theft focuses on a landmark court case as seen from the perspective of three extraordinary Balinese
individuals: a painter, a puppet-master, and a high Brahmin priest. I Nyoman Gunarsa, one of Bali's most acclaimed artists, has devoted eight years to a legal battle over the forgery of his paintings,
a struggle he hopes will strengthen the enforcement of Indonesia's copyright laws for all artists. I Wayan Nardayana is one of Bali's most popular and accomplished dalangs, a master of shadow puppetry
whose witty performances of Hindu epics include references to modern moral dilemmas. Ida Pedanda Ketut Sidemen is a high Brahmin Hindu priest, who is also one of Bali's most gifted poets, the author
of verses that give renewed spiritual meaning to ancient Hindu teachings. With the copyright trial as a starting point each of these men comments on the underlying meanings of truth and falseness as
seen through the philosophy of ruabineda, a Balinese-Hindu principle that envisions opposites in a state of dynamic
equilibrium. Darkness and light. The true and the false. Good and evil. Gods and demons. The BaUnese believe that the
continuing tension between these contradictory forces is necessary for the balanced functioning of the world.
Nardayana transforms Gunarsa's copyright trial into an allegorical story based on characters from the Ramayana, animating
philosophical issues in a cinematic display of shifting shadows and enlightening comic commentary. Gunarsa creates a kinetic
series of watercolors that brings the shadow play to life with his distinctive style of swirling colors and dynamic lines. Ida
Pedanda Ketut Sidemen provides additional commentary on themes of truth and falsehood by quoting Hindu texts that are
the source of both his religious faith and his poetry.
%i ^ tJ T\ ^ ^.^
A:AA/A/.V.A ^ VJhlfWrVr -
A^ALA-^ ^^^-i/"^^ /'A^-A/d
B u K l' .V' i Z)/- '^ M^ ^^^ ^^' ' I
Lawyers for the Indonesian Anti-Corruption Movement (GerRAK) and Bali Corruption Watch have declared the trial an
example of "mafia justice," "a tragedy of the law" and "a valuable lesson of something that should never be repeated."
The painter, the puppet-master and the priest, each of them in their own way, rely on the animist-mystic traditions of the Balinese
Hindu religion to provide a sense of clarity, truth and justice that was missing from the decision of the judges in the court.
Ini ceritera tentang pemalsuan karya seni, pertunjukan wayang kulit mistis, sindikat kriminal internasional, dan identitas bersifat
kedewaan yang dicuri, difokuskan diseputar hal yang menonjol pada kasus pengadilan yang dipandang dari tiga perspektif dari
tiga orang yang luar biasa: seorang pelukis, seorang dalang, dan seorang pendeta dari kaum brahmana. I Nyoman Gunarsa salah
seorang pelukis Bali yang dielukan-elukan, selama delapan tahun telah mencurahkan usahanya untuk sebuah perjuangan hukum
atas pemalsuan lukisan-lukisannya, berjuang dengan harapan dia dapat memperkuat penyelenggaraan hukum hak cipta di Indonesia
untuk semua seniman. I Wayan Nardayana adalah salah seorang dalang yang paling popular dan sukses, ahli dan jenaka dalam
memainkan pertunjukan wayang dari epik Hindu termasuk memberi referensi tentang dilema moral mederen. Ida Pedanda Ketut
Sidemen adalah seorang pendeta Hindu dari golongan brahmana, yang juga salah seorang sastrawan penyair Bali, penulis sanjak-
sanjak yang memberikan pembaharuan pada arti spiritual untuk pendidikan Hindu. Dengan pengadilan hak cipta sebagai titik pijak
masing-masing orang ini memberikan komentarnya pada arti mendasar dari kebenaran dan kepalsuan dipandang melalui filsafat
ruabineda, prinsip mendasar bagi orang Bali Hindu yang memimpikan pertentangan ke dalam pernyataan dinamika keseimbangan.
Kegelapan dan terang. Baik dan buruk. Dewa dan Raksasa. Kepercayaan orang Bali ketegangan yang berlangsung terus-menerus
diantara kekuatan yang bertentangan adalah diperlukan untuk fungsi keseimbangan dunia.
Nardayana mentransformasikan pengadilan hak cipta ke dalam kiasan ceritera melalui karakter-karakter yang dipetik dari Ramayana,
menghidupkan persoalan-persoalan melalui filsafat ke dalam pertunjukan sinematik dengan mengganti-ganti bayangan serta
pencerahan komentarnya yang lucu. Gunarsa menciptakan serial kinetis dari cat air yang membawa pertunjukan wayang menjadi
hidup dengan gayanya yang khas dengan lingkaran warna dan garis-garisnya yang dinamis. Ida Pedanda Singarsa memberikan
komentar tambahan dalam tema dari kebenaran dan kepalsuan dengan menyitir teks sastra Hindu hal mana sebagai sumber baik
untuk kepercayaan maupun puisinya.
Para pengacara dari Indonesian Anti-Corruption Movement (GerRAK) dan Bali Corruption Watch telah mengumumkan pemeriksaan pengadilan sebagai sebuah contoh dari "mafia keadilan," "sebuah tragedi
hukum" dan pelajaran berharga dari sesuatu yang mesti tidak pernah terulang lagi.
Pelukis, dalang dan pendeta, masing-masing berada dalam jalannya sendiri bersandar kepada tradisional mistik- animisme dari agama Hindu Bali untuk memberikan kejernihan
rasa, kebenaran dan keadilan yang absen pada keputusan hakim di pengadilan.
ISBN TVfl-bDS-isaai-o-'i
||llllllllllll||llllllllllli||
9II786O29II582I 09"